Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH SEMINAR GERONTIK

ASKEP LANSIA DENGAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah:


Keperawatan Gerontik

Disusun Oleh:
KELOMPOK 4 (A 2018 1)
M. Despa Reza (1811124306) Tri Anggraini (1811124573)
Silvia Ananda (1811110234) Ulfa Rahmadini (1811110186)
Sintia Adwi Pama. P (1811110370) Umi Nadatul. A (1811110262)
Siska Dwi Lestari (1811125238) Windasari (1811110290)
Siti Nurjannah (1811110090) Winda Wiranti. P (1811195439)
Suci Maharani (1811112414) Yayang Atika (1811112187)
Sukma Handayani (1811124664) Yuliana Husada (1811110294)
Sustiara Derma (1811112094) Zhafirah Annisa (1811124592)
Tika Rindiani (1811111954)

Dosen Pengampu:
Ns. Didi Kurniawan, M.Kep

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Atas bimbingan serta dukungan yang
diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Ns. Didi Kurniawan, M.Kep selaku Dosen Pengampu serta anggota
kelompok 4.

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Keperawatan Gerontik. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, agar kedepannya dapat memperbaiki makalah ini
baik bentuk maupun menambah isi dari makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.

Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan guna menyempurnakan
makalah ini.

Pekanbaru, 13 Oktober 2021

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................i
DAFTAR ISI .............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
A. Latar Belakang ...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................3
D. Manfaat Penulisan ..........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................4
A. Perubahan pada Sistem Tubuh Lansia ...........................................................4
B. Definisi Sistem Integumen dan Gangguan Sistem Integumen pada Lansia...11
C. Masalah Kesehatan Sistem Integumen pada Lansia ......................................13
D. Etiologi Gangguan Sistem Integumen pada Lansia .......................................18
E. Patofisiologi Gangguan Sistem Integumen pada Lansia ................................23
F. Manisfestasi Klinis Gangguan Sistem Integumen pada Lansia .....................24
G. Faktor Risiko Gangguan Sistem Integumen pada Lansia ..............................25
H. Komplikasi Gangguan Sistem Integumen pada Lansia..................................25
I. Penatalaksanaan Gangguan Sistem Integumen pada Lansia ..........................26
J. Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan Sistem Integumen .....29

BAB III PENUTUP ..............................................................................................30


A. Kesimpulan ....................................................................................................30
B. Saran ...............................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................31

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara dengan persentase penduduk


lanjut usia (lansia) terbanyak yaitu sebesar 55,52% (World Population
Prospect, 2010). Usia Harapan Hidup (UHH) merupakan salah satu indikator
keberhasilan pembangunan nasional termasuk dibidang kesehatan.
Keberhasilan pembangunan dibidang kesehaatan ini juga terlihat di Indonesia
dimana terdapat peningkatan UHH dari 70,7% pada periode 2010-2015
menjadi 71,7% pada periode 2015-2020 (Kemenkes, 2014). Sedangkan
pertambahan jumlah penduduk lansia di Indonesia juga terus terjadi. Hal ini
sesuai dengan data kenaikan jumlah lansia yaitu pada tahun 2005 berjumlah
15.814.511 jiwa atau 7,2% dan diperkirakan akan terus bertambah menjadi
28.822.879 jiwa atau 11.34% pada tahun 2020.
Berdasarkan hasil survei dari Susenas (2013) menyatakan bahwa
lansia yang tinggal didaerah perkotaan sebanyak 9,26 juta orang atau sekitar
7,49%. Lansia yang tidak tinggal di rumah sendiri biasanya tinggal dengan
saudara, anak dan bahkan tinggal di pinggir jalan dan terlantar. Berdasarkan
situasi tersebut, maka di daerah perkotaan muncul suatu tempat penampungan
bagi lansia yang tidak memiliki tempat tinggal dan sering disebut dengan
Sasana Tresna Werdha (Rahmi, 2016).
Meningkatnya jumlah lansia di Indonesia tentu saja akan
meningkatkan permasalahan kesehatan terkait lansia. Penyakit pada lansia
bebeda dengan dewasa muda, hal ini disebabkan karena penyakit pada lansia
merupakan gabungan antara penyakit dengan proses menua yaitu
menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri
serta mempertahankan fungsi dan struktur normalnya. Sehingga tidak dapat
bertahan terhadap penyakit (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan
yang didierita (Stanley, 2006).

1
Berdasarkan data Kemenkes (2011), masalah yang umum terjadi pada
lansia adalah hipertensi (4.02%), diabetes mellitus (2.1%), asam urat,
dispepsia (2.52%), penyakit jantung iskemik (2.84%) dan penyakit kulit
(2.33%). Perubahan secara fisik juga terjadi pada lansia yang ditandai dengan
kulit mulai keriput, rambut mulai memutih, berkurangnya fungsi pendengaran
dan penglihatan, melambatnya proses berpikir, serta aktivitas untuk bergerak
yang mulai melambat sehingga akan membutuhkan bantuan orang lain untuk
melakukan berbagai aktivitas (Wallace, 2008). Berdasarkan perubahan
tersebut, gangguan sistem integumen sering terjadi sehingga menimbulkan
masalah yang cukup serius pada lansia. Gangguan sistem integumen pada
lansia perlu penatalaksanaan segera agar tidak menimbulkan permasalahan
lain pada lansia. Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk
mengangkat judul makalah ini yaitu “Asuhan Keperawatan Lansia dengan
Gangguan Sistem Integumen”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diangkat berdasarkan latar belakang
diatas adalah:
1. Apa saja perubahan pada sistem tubuh lansia?
2. Apa definisi sistem integumen dan gangguan sistem integumen pada
lansia?
3. Apa saja masalah kesehatan sistem integumen pada lansia?
4. Bagaimana etiologi gangguan sistem integumen pada lansia?
5. Bagaimana patofisiologi gangguan sistem integumen pada lansia?
6. Apa saja manisfestasi klinis gangguan sistem integumen pada lansia?
7. Apa saja faktor risiko gangguan sistem integumen pada lansia?
8. Apa saja komplikasi gangguan sistem integumen pada lansia?
9. Bagaimana penatalaksanaan gangguan sistem integumen pada lansia?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan sistem
integumen?

2
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui dan memahami perubahan yang terjadi pada sistem
tubuh lansia.
2. Untuk mengetahui dan memahami definisi dari sistem integumen dan
definisi gangguan sistem integumen pada lansia.
3. Untuk mengetahui dan memahami masalah kesehatan sistem integumen
pada lansia.
4. Untuk mengetahui dan memahami etiologi gangguan sistem integumen
pada lansia.
5. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi gangguan sistem
integumen pada lansia.
6. Untuk mengetahui dan memahami manisfestasi klinis gangguan sistem
integumen pada lansia.
7. Untuk mengetahui dan memahami faktor risiko gangguan sistem
integumen pada lansia.
8. Untuk mengetahui dan memahami komplikasi pada gangguan sistem
integumen pada lansia.
9. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan gangguan sistem
integumen pada lansia.
10. Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada lansia
dengan gangguan sistem integumen.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
1. Bagi Penulis
Memperdalam wawasan dan pengetahuan tentang gangguan sistem
integumen pada lansia sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan
yang berkualitas dan sesuai dengan SOP yang berlaku pada lansia.

3
2. Bagi Pembaca
Dengan adanya makalah ini dapat memberikan pengetahuan kepada
pembaca tentang gangguan sistem integumen yang terjadi pada lansia
sehingga dapat melakukan upaya preventif serta kuratif jika terdapat
masalah gangguan integumen pada lansia.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perubahan pada Sistem Tubuh Lansia


Persepsi kesehatan dapat menentukan kualitas hidup seseorang.
Pemahaman persepsi lansia tentang status kesehatan merupakan hal esensial
yang digunakan untuk pengkajian sehingga hasil yang didapat akurat dan
berguna dalam pengembangan intervensi yang relevan secara klinis. Konsep
lansia tentang kesehatan umumnya bergantung pada persepsi pribadi terhadap
kemampuan fungsional. Lansia yang terlibat dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari biasanya menganggap dirinya sehat, sedangkan lansia yang
aktivitasnya terbatas karena kerusakan fisik, emosional atau sosial mungkin
merasa dirinya sakit (Potter, 2005).
Perubahan fisiologis bervariasi pada setiap lansia dan umumnya dapat
diantisipasi pada lansia. Perubahan fisiologis ini bukan proses patologi.
Perubahan ini terjadi pada semua orang tetapi pada kecepatan yang berbeda
dan bergantung keadaan dalam kehidupan. Terjadinya perubahan normal pada
fisik lansia dapat dipengaruhi oleh faktor kejiwaan sosial, ekonomi dan
medik. Perubahan tersebut akan terlihat dalam jaringan dan organ tubuh
seperti kulit menjadi kering dan keriput, rambut beruban dan rontok,
penglihatan menurun sebagian atau menyeluruh, pendengaran berkurang,
indra perasa menurun, daya penciuman berkurang, tinggi badan menyusut
karena proses osteoporosis yang berakibat pada perubahan badan menjadi
bungkuk, massa dan kekuatan tulang berkurang dan mudah patah, elastisitas
paru berkurang, nafas menjadi pendek, terjadi pengurangan fungsi organ di
dalam perut, dinding pembuluh darah menebal sehingga meningkatkan risiko
terjadinya hipertensi, adanya penurunan organ reproduksi, terutama pada
wanita, otak menyusut dan reaksi menjadi lambat terutama pada pria, serta
seksualitas tidak terlalu menurun. Menurut Maryam (2008), perubahan-
perubahan yang terjadi pada lanjut usia adalah:

5
1. Perubahan fisik
a. Sel
Perubahan sel pada lanjut usia meliputi terjadinya penurunan jumlah
sel, terjadi perubahan ukuran sel, berkurangnya jumlah cairan dalam
tubuh dan berkurangnya cairan intra seluler, menurunnya proporsi
protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati, penurunan jumlah sel pada
otak, terganggunya mekanisme perbaikan sel, serta otak menjadi atrofi
sehingga beratnya berkurang 5-10%.
b. Sistem persarafan
Perubahan persarafan meliputi berat otak yang menurun 10-20%
(setiap lansia berkurang sel saraf otaknya dalam setiap hari),
menurunnya hubungan sistem persarafan lainnya, lambat dalam
merespon dan bereaksi khususnya dengan stres, mengecilnya saraf
panca indera, berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran,
mengecilnya saraf penciuman dan perasa lebih sensitif terhadap
perubahan suhu dengan ketahanan terhadap sentuhan, serta kurang
sensitif terhadap sentuan.
c. Sistem pendengaran
Perubahan pada sistem pendengaran meliputi terjadinya presbiakusis
yaitu gangguan dalam pendengaran pada telinga dalam terutama
terhadap bunyi suara, nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas,
sulit mengerti kata-kata. Pada 50% kerjadian ini terjadi pada umur
diatas 65 tahun. Terjadinya otosklerosis akibat atrofi membran
timpani. Terjadinya pengumpulan serumen dapat mengeras karena
meningkatnya keratinin. Terjadinya perubahan penurunan pendengaran
pada lansia yang mengalami ketegangan jiwa atau stress.
d. Sistem penglihatan
Perubahan pada sistem penglihatan meliputi timbulnya sklerosis dan
hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk sferis (bola),
terjadi kekeruhan pada lensa yang menyebabkan katarak,

6
meningkatnya ambang pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap
kegelapan lebih lambat dan susah melihat pada cahaya gelap,
hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang, serta
menurunnya daya untuk membedakan warna biru atau hijau. Pada
mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil
menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap
akomodasi, lensa menguning dan berangsur-angsur menjadi lebih
buram mengakibatkan katarak, sehingga memengaruhi kemampuan
untuk menerima dan membedakan warna-warna. Kadang warna gelap
seperti coklat, hitam,dan marun tampak sama. Pandangan dalam area
yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang (sulit melihat
dalam cahaya gelap) menempatkan lansia pada risiko cedera.
Sementara cahaya menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan
membatasi kemampuan untuk membedakan objek-objek dengan jelas,
semua hal itu dapat memengaruhi kemampuan fungsional para lansia
sehingga dapat menyebabkan lansia terjatuh.
e. Sistem kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler meliputi terjadinya penurunan
elastisitas dinding aorta, katup jantung menebal dan menjadi kaku,
menurunnya kemampuan jantung untuk memompa darah yang
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya, kehilangan
elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah
perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi yang dapat mengakibatkan
tekanan darah menurun (posisi dari tidur ke duduk dan dari duduk ke
berdiri) yang mengakibatkan resistensi pembuluh darah perifer.
f. Sistem pengaturan temperatur tubuh
Perubahan pada sistem pengaturan tempertur tubuh terjadi pada
pengaturan sistem tubuh yaitu di hipotalamus. Hipotalamus dianggap
bekerja sebagai thermostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu.
Kemunduran terjadi akibat berbagai faktor yang memengaruhinya,

7
perubahan yang sering ditemui antara lain suhu tubuh menurun
(hipotermia) secara fisiologik kurang lebih 35°C, hal ini akan
mengakibatkan metabolisme tubuh menurun. Keterbatasan refleks
menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga
terjadi rendahnya aktivitas otot.
g. Sistem respirasi
Perubahan sistem respirasi meliputi otot pernapasan mengalami
kelemahan akibat atrofi, aktivitas silia menurun, paru kehilangan
elastisitas, berkurangnya elastisitas bronkus, oksigen pada arteri
menurun, karbon dioksida pada arteri tidak berganti, refleks dan
kemampuan batuk berkurang, sensitivitas terhadap hipoksia dan
hiperkarbia menurun, sering terjadi emfisema senilis, kemampuan
pegas dinding dada dan kekuatan otot pernapasan menurun seiring
pertambahan usia.
h. Sistem pencernaan
Perubahan pada sistem pecernaan, meliputi kehilangan gigi, penyebab
utama periodontal disease yang bisa terjadi setelah umur 30 tahun,
indera pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf pengecap
terhadap rasa asin, asam dan pahit, esophagus melebar, rasa lapar
nenurun, asam lambung menurun, motilitas dan waktu pengosongan
lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi,
fungsi absorpsi melemah, hati semakin mengecil sehingga tempat
penyimpanan menurun, dan aliran darah berkurang.
i. Sistem perkemihan
Perubahan pada sistem perkemihan terjadi di ginjal yang merupakan
alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui urine, darah
masuk ke ginjal disaring oleh unit terkecil dari ginjal yang disebut
nefron (glomerulus), kemudian mengecil dan nefron menjadi atrofi,
aliran darah ke ginjal menurun sampai 50% sehingga fungsi tubulus
berkurang, akibatnya kemampuan mengkonsentrasi urine menurun dan

8
berat jenis urine menurun. Selain itu, tot-otot vesika urinaria menjadi
lemah sehingga kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau
menyebabkan frekuensi BAK meningkat. Vesika urinaria sulit
dikosongkan sehingga terkadang menyebabkan retensi urine pada pria.
j. Sistem endokrin
Perubahan yang terjadi pada sistem endokrin meliputi produksi semua
hormon turun, aktivitas tiroid, BMR (basal metaboli rate), daya
pertukaran zat menurun, produksi aldosteron menurun, sekresi hormon
kelamin menurun (progesterone, estrogen, dan testoteron).
k. Sistem integumen
Perubahan pada sistem integumen, meliputi kulit yang mengerut atau
keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit cenderung
kusam, kasar, dan bersisik, timbul bercak pigmentasi, kulit kepala dan
rambut menipis dan berwarna kelabu, berkurangnya elestisitas akibat
menurunnya cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan
rapuh, serta jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang.
l. Sistem muskuloskeletal
Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi tulang kehilangan
densitas (cairan) dan semakin rapuh, kekuatan dan stabilitas tulang
menurun, terjadi kifosis, gangguan gaya berjalan, tendon mengerut dan
mengalami sklerosis, atrofi serabut otot, serabut otot mengecil
sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram dan manjadi tremor,
aliran darah ke otot berkurang sejalan dengan proses menua. Semua
perubahan tersebut dapat mengakibatkan kelambanan dalam gerak,
langkah kaki yang pendek, penurunan irama, kaki yang tidak dapat
menapak dengan kuat dan lebih cenderung goyah, perlambatan reaksi
mengakibatkan seorang lansia susah atau terlambat mengantisipasi bila
terjadi gangguan terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tiba sehingga
memudahkan jatuh.

9
2. Perubahan neurologis
Sedangkan perubahan yang terjadi pada sistem neurologis lansia
menurut Darmojo (2004) yaitu adanya perubahan dari sistem persarafan
dapat dipicu oleh gangguan dari stimulasi dan inisiasi terhadap respon
dan pertambahan usia. Perubahan pada lansia dapat diasumsikan terjadi
respon yang lambat yang dapat mengganggu dalam beraktivitas akan
menurun disebabkan oleh motivasi, kesehatan, dan pengaruh dari
lingkungan. Pada lansia yang mengalami kemunduran dalam kemampuan
mempertahankan posisi mereka dan menghindari kemungkinan jatuh.
Terdapat kemampuan untuk mempertahankan posisi dipengaruhi oleh tiga
fungsi yaitu keseimbangan (balance), postur tubuh, kemampuan
berpindah. Adapun gangguan yang sering muncul pada lansia diantaranya
dizziness, sinkop, hipotermi dan hipertermi, gangguan tidur, delirium, dan
demensia. Salah satu bentuk dari demensia pada lansia adalah alzheimers
disease yang penyebabnya belum diketahui.
Sedangkan menurut Kushariyadi (2010), perubahan yang terjadi
pada sistem neurologis lansia adalah perubahan pada lansia dari cara
bicara dan berkomunikasi, perubahan pada pola tidur lansia, perubahan
status mental, perubahan status memori, perubahan kepribadian dan
kehilangan keseimbangan (gangguan cara berjalan).
3. Perubahan mental
Faktor-faktor yang memengaruhi perubahan mental yaitu
perubahan fisik khususnya organ perasa, kesehatan umum, tingkat
pendidikan, keturunan (hereditas), dan lingkungan. Kenangan (memory)
terdiri dari kenangan jangka panjang (berjam-jam sampai berhari-hari
yang lalu mencakup beberapa perubahan), dan kenangan jangka pendek
atau seketika (0-10 menit atau kenangan buruk). Kemudian IQ
(Intellegentian Quantion) tidak berubah dengan informasi matematika
dan perkataan verbal, berkurangnya penampilan, persepsi dan

10
ketrampilan psikomotor (terjadinya perubahan pada daya membayangkan
karena tekanan-tekanan dari faktor waktu).
Semua organ pada proses menua akan mengalami perubahan
struktural dan fisiologis, begitu juga otak. Perubahan ini disebabkan
karena penurunan fungsi neuron di otak secara progresif. Kehilangan
fungsi ini akibat menurunnya aliran darah ke otak, lapisan otak terlihat
berkabut dan metabolisme di otak lambat. Selanjutnya sangat sedikit yang
diketahui tentang pengaruhnya terhadap perubahan fungsi kognitif pada
lasia. Perubahan kognitif yang dialami lansia adalah demensia dan
delirium.
B. Definisi Sistem Integumen dan Gangguan Sistem Integumen pada Lansia
1. Definisi sistem integumen
Sistem integumen adalah sistem organ yang membedakan,
memisahkan, dan menginformasikan kita dari lingkungan sekitar. Sistem
ini seringkali merupakan bagian dari sistem organ terbesar yang mencakup
kulit, rambut, kuku, kelenjar keringat, kelenjar minyak dan kelenjar susu.
Sistem integumen mampu memperbaiki dirinya sendiri apabila terjadi
kerusakan yang tidak terlalu parah (self-repairing) dan mekanisme
pertahanan tubuh pertama (pembatas antara lingkungan luar tubuh dengan
dalam tubuh). Lapisan kulit dibagi menjadi 3 lapisan yakni epidermis,
dermis dan subkutis (hipodermis) (Andriyani dkk, 2015).
2. Definisi gangguan sistem integumen pada lansia
Gangguan sistem integumen (penyakit kulit) adalah kelainan kulit
yang diakibatkan adanya jamur, kuman, parasit, virus maupun infeksi
yang dapat menyerang siapa saja. Penyakit kulit dapat menyerang seluruh
atau sebagian tubuh tertentu dan dapat membahayakan kondisi kesehatan
penderita jika tidak ditangani dengan serius. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan gangguan pada kulit yang sering ditemui misalnya faktor
lingkungan, iklim, tempat tinggal, kebiasaan hidup yang kurang sehat,
alergi dan lain-lain (Putri dkk, 2018).

11
C. Masalah Kesehatan Sistem Integumen pada Lansia
Gangguan integumen yang biasanya sering ditemui pada lansia adalah
kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan kurang elastik
karena menurunnya cairan dan kehilangan jaringan adiposa, kulit pucat dan
terdapat bintik-bintik hitam akibat menurunnya aliran darah ke kulit dan
menurunkannya sel-sel yang memproduksi pigmen, kuku pada jari tangan dan
kaki menjadi lebih tebal dan rapuh. Pada wanita usia lebih dari 60 tahun
rambut wajah meningkat, rambut menipis atau botak dan warna rambut
kelabu. Beberapa jenis penyakit integumen pada lansia juga sering terjadi.
jenis penyakit tersebut diantaranya:
1. Kandidiasis
Masalah infeksi kandida saat ini di Amerika Serikat merupakan
penyebab infeksi pada darah nomor empat paling banyak, dan tampaknya
infeksi ini akan meningkat terutama pada lansia. Infeksi jamur kandida ini
lebih sering terjadi pada lansia karena daya tahan tubuh yang menurun,
penyakit diabetes melitus, lebih sering menggunakan obat antibiotik,
memakai obat kortikosteroid yang dihirup misalnya memakai obat
triamcinolone pada penderita penyakit asma, penyakit paru obstruksi
menahun (PPOM) seperti bronkhitis, mulut kering (xerostomia) yang
dapat disebabkan penyakit dan obat, memakai alat-alat yang harus
dimasukkan ke dalam tubuh di dalam ruang rawat intensif, kurang gizi,
penyinaran dengan sinar rontgen dan lain-lain. Selain itu, pada lansia
lebih sering pula mengalami transplantasi atau pencangkokan organ-
organ vital tubuh, mendapat pengobatan dengan kemoterapi untuk
penyakit kanker secara agresif, serta mengalami penyakit-penyakit kulit
dan tulang, dan semua kondisi ini sering menggunakan obat-obat yang
dapat menurunkan daya tahan tubuh. Infeksi kandida juga menyebabkan
tingginya angkanya kesakitan bagi lansia. Hal ini dikarenakan pemakaian
obat-obat tertentu, perawatan diri yang kurang baik dan berkurangnya
produksi air ludah yang sering terjadi pada lansia. Oleh karena itu, infeksi

12
jamur kandida merupakan suatu masalah yang perlu dipertimbangkan
pada lansia, mengingat seringnya terjadi infeksi ini. Beberapa jenis
infeksi jamur kandida pada kulit dan kuku diantaranya:
a. Intertigo
Infeksi jamur kandida pada kulit di bawah payudara, daerah antara
kemaluan dan lubang dubur.
b. Paronychia
Infeksi jamur kandida pada bagian samping dan bawah kuku, ditandai
dengan menebalnya kuku bahkan dapat tanggal sendiri.
c. Onychomyosis
Pada penderita DM lebih sering mendapat infeksi jamur ini. Penyakit
ini ditandai dengan sulitnya memotong kuku kaki, yang memudahkan
penderita cenderung mengalami kukunya terbentur dan infeksi pada
kuku.
d. Vulvovaginitis
Infeksi yang terjadi pada daerah kemaluan dan liang senggama wanita.
Gejala yang paling sering adalah gatal pada daerah kemaluan terutama
pada malam hari, dan keluarnya sekret atau cairan dari liang senggama
berwarna keju sampai dengan keruh encer. Gejala yang dapat muncul
yaitu:
1) Infeksi pada lipatan kulit atau infeksi intertriginosa
2) Infeksi penis
3) Thrush
4) Perlcche
5) Paronikia
2. Herpes zoster
Penyakit ini ditandai dengan pembentukan gelembung-gelembung
berkelompok pada kulit. Gelembung tersebut berisi air pada dasar
peradangan. Ada 2 macam penyakit herpes, yaitu herpes genitalis dan
herpes zoster. Herpes genitalis disebabkan oleh virus herpes simplek dan

13
merupakan penyakit kelamin, sedangkan herpes zoster disebabkan oleh virus
varisella zoster dan menyerang kulit secara umum. Pada usia diatas 50
tahun, banyak orang yang terserang akibat daya tahan tubuhnya lemah.
Terjadinya nyeri pasca herpes disebabkan lambatnya pengobatan saat
seseorang terserang virus varisela zoster. Akibatnya, virus sempat merusak
jaringan saraf disekitarnya. Jika gejala ini terlanjur terjadi, kulit yang terkena
sentuhan sedikit saja bisa menimbulkan nyeri. Bahkan kadang saraf
memancarkan sinyal nyeri terus-menerus.
Sekitar 75% penderita nyeri ini mengaku rasanya seperti terbakar.
Faktor usia sangat menentukan kerentanan serangan nyeri. Semakin tua
seseorang saat terkena herpes zoster, semakin besar kemungkinannya
menderita nyeri. Jumlah mantan penderita yang berlanjut ke nyeri kira-kira
10-15% populasi. Pada usia diatas 50 tahun kemungkinannya menjadi 40%,
usia diatas 60 tahun jadi 50%, dan usia diatas 80 tahun menjadi 80% dari
populasi. Gejala yang yang timbul pada lansia yang menderita herpes zoster
diantaranya:
a. Demam
b. Malaise
c. Nyeri yang menyerupai appendisitis
d. Pleuritis
e. Nyeri muskuloskeletal
Gejala yang timbul pada lansia memerlukan penatalaksanaan yang
sesuai. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu:
a. Memberikan vaksin pada lansia
b. Mengalihkan perhatian untuk manajemen nyeri
c. Memberikan obat-obatan untuk memblok impuls di saraf kulit agar tidak
sampai ke otak, seperti penggunaan amitriplitin.
3. Psoriasis
Psoriasis merupakan kelainan kulit berupa bercak-bercak merah,
berbatas tegas, dan diatasnya terdapat sisik yang tebal. Psoriasis juga

14
merupakan penyakit menahun dan bersifat kekambuhan. Paling sering
ditemukan pada usia 15-35tahun. Penyakit ini dapat disebabkan oleh
sengatan matahari hebat, iritasi kulit atau cidera (luka bakar, gigitan
serangga, luka sayat, dan ruam), pemakaian obat anti malaria, pemakaian
litinium, infeksi virus atau bakteri, pemakaian alkohol yang berlebihan,
obesitas, serta cuaca dingin. Adapun gejala yang dapat muncul pada lansia
yaitu:
a. Kering dan merah
b. Tertutup oleh sisik berwarna keperakan
c. Bercak menonjol
d. Pinggiran merah
e. Bisa pecah dan menimbulkan nyeri
f. Biasanya terpisah satu sama lain
g. Ditemukan di siku, lutut, batang tubuh, kulit kepala.
4. Pruritus
Pruritus adalah suatu perasaan yang secara otomatis menuntut
penggarukan. Hal itu bisa menyebabkan kemerahan dan goresan dalam pada
kulit. Penggarukan bisa juga mengiritasi kulit dan menyebabkan
bertambahnya rasa gatal sehingga terjadi suatu lingkaran. Dalam jangka
panjang bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut dan penebalan kulit
kering yang umumnya pada lansia, atau xerrosis. Mekanisme rasa gatal itu
sendiri belum diketahui dengan pasti. Terapi histamine adalah suatu
mediator yang menyebabkan pruritus. Rasa gatal bisa juga disebabkan oleh
panas, perubahan suhu yang tiba-tiba, berkeringat, pakaian, produk
pembersih seperti sabun, kelelahan dan stres emosional, hal ini biasanya
lebih terasa kuat saat musim dingin. Pruritus bisa dihubungkan dengan
gangguan kulit atau penyakit sistemik. Sering juga pruritus diasosiasikan
dengan kulit kering, tapi bisa diasosiasikan dengan kudis, ekzema, reaksi
obat, penyakit hati atau ginjal, hiperglikemia, penyakit tiroid, gejala
prodormal dari herpes zozter, statis pada vena dan anemia.

15
5. Melanoma ganas
Melanoma merupakan neoplasma yang berasal dari melanosit yang
kemungkinan besar adalah kanker kulit yang menyebabkan kematian.
Kanker ini paling banyak dari insiden kanker yang ada. Insidennya
meningkat sangat cepat dan lebih banyak terjadi pada wanita, puncaknya
pada usia 50 dan 70 tahun. Melanoma menyebar melalui sistem vaskular dan
limfatik serta bermetastasis ke kelenjar getah bening regional, kulit paru dan
sistem saraf. Prognosisnya bervariasi berdasarkan ketebalan tumor.
Melanoma biasanya terjadi di kepala dan leher pada pria, tungkai pada
wanita, serta punggung pada individu yang terpajan sinar matahari secara
berlebih.
Ada 4 tipe melanoma:
a. Melanoma yang menyebar ke superficial
Biasanya terjadi diantara usia 40-50 tahun. Tumor ini tumbuh secara
horizontal selama bertahun-tahun tapi prognosis semakin memburuk
ketika pertumbuhan ventrikel terjadi.
b. Melanoma nodular
Terjadi diantara usia 40 dan 50 tahun. Tumor ini tumbuh secara vertikal,
menginvasi dermis, dan bermanifestasis lebih awal.
c. Melanoma lentigionosa-akral
Melanoma ini terjadi di telapak tangan dan telapak kaki serta di
sublingual.
d. Melanoma lentigo ganas
Melanoma ini jarang terjadi. Melanoma ini merupakan kanker kulit yang
paling jinak, pertumbuhannya paling lambat dan yang paling tidak agresif
dari keempat jenis melanoma. Melanoma biasanya terjadi di area yang
sering terpajan sinar matahari dan terjadi pada lansia diantara usia 60 dan
70 tahun. Melanoma ini berasal dari lentigo ganas pada permukaan kulit
yang terpajan.

16
Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya melanoma yaitu terpajan
sinar matahari, tipe kulit, faktor-faktor geneti, riwayat keluarga dan
riwayat masa lalu. Tanda dan gejala pada lansia yang menderita
melanoma diantaranya luka yang tidak kunjung sembuh, benjolan atau
pembengkakan yang menetap, perubahan tanda kulit yang telah ada
(seperti tahi lalat, tanda lahir, jaringan parut, bintik-bintik atau kutil), lesi
pada pergelangan kaki atau permukaan lutut (tampak merah, putih atau
biru diatas dasar cokelat atau hitam), dapat mengalami ulserasi dan
perdarahan pada penderita melanoma yang menyebar secara superfisial,
pada melanoma nodular nodul tampak pucat dan tidak seragam bentuknya
yang menyerupai blackberry keunguan, pada lentiginosa-akral lesi
berwarna kecoklatan dan hitam pada telapak angan dan telapak kaki serta
kemungkinan terdapat warna kecoklatan atau noda coklat pada kuku yang
berdifusi dari dasar.
6. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah
kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya
penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan
gangguan sirkulasi darah setempat. Dekubitus atau luka tekan adalah
kerusakan jaringan yang terlokalisir yang disebabkan karena adanya
kompresi jaringan yang lunak diatas tulang yang menonjol (bony
prominence) dan adannya tekanan dari luar dalam jangka waktu yang lama.
Kompresi jaringan akan menyebabkan gangguan pada suplai darah pada
daerah yang tertekan. Apabila ini berlangsung lama, hal ini dapat
menyebabkan insufisiensi aliran darah, anoksia atau iskemi jaringan yang
dapat mengakibatkan kematian sel.
7. Lentigo
Seiring dengan bertambahnya usia, akan timbul bercak hitam atau
kecokelatan pada kulit setiap orang. Bercak tersebut lebih sering muncul di
area yang terekspos sinar matahari seperti pada wajah dan punggung tangan.

17
Kondisi ini disebut lentigo atau liver spots.Lentigo dapat membesar dengan
sangat perlahan, seiring dengan bertambahnya usia. Bercak ini juga dapat
timbul secara tiba-tiba. Lentigines adalah istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan terdapatnya bercak multipel.
Terdapat beberapa tipe lentigo, yang bergantung dari penyebab dan
area timbulnya bercak tersebut pada tubuh:
a. Lentigo simpleks merupakan jenis yang paling sering ditemui. Bintik
tersebut dapat timbul pada badan, lengan, dan tungkai. Lentigo simpleks
sering kali mulai ditemui pada saat lahir atau masa kanak-kanak, dan
dapat hilang seiring dengan berjalannya waktu.
b. Lentigo solar disebabkan oleh paparan terhadap radiasi ultraviolet dari
sinar matahari. Tipe ini lebih sering ditemui pada orang yang berusia di
atas 40 tahun. Meski demikian, jenis ini juga dapat dialami oleh orang
yang berusia lebih muda. Bercak pada lentigo solar dapat membesar
seiring dengan berjalannya waktu. Lentigo solar terkadang juga disebut
sebagai age spots.
c. Lentigo ink-spot dapat timbul setelah kulit terpapar sinar matahari,
terutama pada individu yang memiliki kulit berpigmen muda.
d. Lentigo radiasi dapat timbul pada area kulit yang telah terekspos radiasi.
Misalnya untuk penanganan kanker jenis tertentu.
D. Etiologi Gangguan Integumen pada Lansia
Etiologi beberapa penyakit pada sistem integument lansia diantaranya:
1. Xerosis (kulit kering)
a. Definisi
Hal ini ditandai secara klinis dengan kulit yang kasar, bersisik, dan
kulit sering terasa gatal. Kulit kering disebabkan oleh kurangnya
kelembapan pada stratum korneum akibat penurunan kadar air.
b. Etiologi
Faktor endogen berupa genetik, usia, jenis kelamin, penyakit kulit,
penyakit sistemik. Sedangkan faktor eksogen berupa suhu dan

18
kelembapan udara, pajanan bahan kimia, radiasi sinar UV, polusi
udara, dan nutrisi. Pada lansia, terjadi penipisan kulit sehingga
terjadinya penurunan produksi lipid dan natural moisturizing factor di
stratum korneum dan menyebabkan kandungan air di dalam kulit
menurun yang mengakibatkan kulit kering. Faktor internal lain adalah
penyakit komorbid seperti diabetes melitus, gagal ginjal kronik,
penyakit hati kronik, hipotiroidisme, keganasan, dan infeksi human
immunodeciency virus (HIV). Riwayat konsumsi obat juga perlu
diperhatikan; obat-obatan seperti agen antihipertensi, diuretik, obat
hiperkolesterol, antiandrogen, antiepilepsi, bleomisin, dan simetidin
dapat berkontribusi pada kulit kering.
c. Manifestasi klinis
1) Karakteristik yang terlihat
Kemerahan, permukaan yang kusam, kering, bercak putih,
gambaran berlapis-lapis, pecah-pecah dan juga fisura.
2) Karakteristik yang dapat diraba
Kulit kusam dan tidak rata.
3) Karakteristik sensori
Kulit terasa kering tidak nyaman, nyeri dan gatal.
d. Penatalaksanaan
1) Edukasi pasien
Dapat dilakukan dengan cara identifikasi dan menghindari faktor
pencetus harus dijelaskan, serta memutus siklus gatal-garuk dengan
sederhana, seperti menjaga kuku tetap pendek.
2) Modikasi gaya hidup
a) Asupan cairan
Pada usia lanjut risiko dehidrasi meningkat karena perubahan
sistem kontrol fisiologis rasa haus dan kenyang.

19
b) Sabun
Sabun dapat menghilangkan emolien alami kulit, memperberat
kondisi kulit kering, dan dapat mengiritasi.
c) Pelembab
Gejala dari kulit kering dapat ditangani dengan meningkatkan
hidrasi stratum korneum dengan komposisi pelembap yaitu
oklusif, humektan, emolien untuk menghaluskan permukaan
kulit yang kasar.
d) Kelembapan udara
Kelembapan udara memegang peranan penting. Tingkat
kelembapan udara kurang dari 10% menyebabkan stratum
korneum kehilangan kelembapannya dan tingkat kelembapan di
atas 70% mengembalikan kelembapan ke dalam stratum
korneum. Akan tetapi, bukan berarti pasien harus tinggal di
lingkungan dengan kadar kelembapan 70%. Menggunakan air
humidifier dengan pengaturan luaran kelembapan udara sebesar
45-60% cukup untuk mencegah kelembapan udara turun kurang
dari 10%.
e) Kebiasaan mandi
Kebiasaan mandi terlalu lama atau berendam di air panas
menyebabkan kulit kering. Lebih disarankan mandi dengan
pancuran air hangat selama 10 menit.
f) Efek photoaging
Efek photoaging juga dapat menyebabkan kulit kering. Paparan
sinar matahari berintensitas radiasi ultraviolet tinggi, terutama
pukul 10.00-16.00, harus dihindari. Sel-sel kulit menyerap
radiasi dan memproduksi reactive oxygen species (ROS), yang
dapat merusak DNA dan dinding sel.

20
2. Pruritus
a. Definisi
Pruritus adalah sensasi kulit yang iritatif dan ditandai oleh rasa gatal,
serta menimbulkan rangsangan untuk menggaruk.
b. Etiologi
Pruritus dapat terjadi pada orang yang berusia lanjut sebagai akibat
dari kulit yang kering. Rasa gatal dapat pula disebabkan oeh faktor
psikologik seperti stres yang berlebihan dalam keluarga atau
lingkungan kerja. Seseorang dengan pruritus dapat memperlihatkan
ruam tetapi bisa pula tidak.
c. Manifestasi Klinis
Pruritus secara khas akan menyebabkan pasien menggaruk yang
biasanya dilakukan semakin intensif pada malam hari dan efek
sekunder mencakup ekskorisi, kemerahan bagian kulit yang menonjol
(bidur), infeksi dan perubahan pigmentasi. Rasa gatal yang hebat akan
menganggu penampilan pasien.
d. Pemeriksaan penunjang
1) Tes laboratorium darah
2) Tes kelenjar tiroid, fungsi ginjal, dan fungsi liver
3) Skin prick test atau skin patch test
4) Tes kadar fosfat, alkaline fosfatase atau enzim pada tulang, hati, dan
kalsium
5) Tes gula darah puasa, dilakukan untuk mengetahui kadar glukosa
setelah puasa semalam.
3. Infeksi jamur (tinea pedis)
a. Definisi
Tinea pedis dikenal dengan dermatofitosis pada telapak kaki dan sela
jari kaki. Tinea pedis atau athlete’s foot atau jungle rot merupakan
dermatomikosis pada kaki. Tinea pedis paling sering terjadi di sela-
sela jari dan telapak kaki.

21
b. Etiologi
Tinea pedis diakibatkan oleh tiga spesies antropofilik yaitu
Trichophyton rubrum, Trichophyton interdigitale, dan
Epidermophyton floccosum.
c. Faktor risiko
1) Keadaan seperti iklim tropis, banyak keringat, dan lembab
2) Kondisi ekonomi rendah dikuti status gizi buruk serta daya tahan
tubuh yang lemah
3) Infeksi tinea pedis juga menyerang berbagai tingkat pekerjaan,
khususnya pekerjaan yang menuntut pemakaian sepatu yang ketat
dan tertutup, bertambahnya kelembaban karena keringat, pecahnya
kulit karena mekanis, dan paparan terhadap jamur merupakan faktor
predisposisi yang menyebabkan tinea pedis (Hakim, 2013).
d. Manifestasi klinis
1) Tipe interdigital (Intertriginous kronik)
Terdapat erosi dan eritema pada kulit interdigital dan subdigital,
terutama di sisi lateral jari ketiga, keempat dan kelima.
2) Tipe kronik hiperkeratotik (Moccasin)
Terdapat lesi pada sebagian atau seluruh telapak kaki, bagian lateral
dan medial kaki.
3) Tipe vesikobulosa
Tinea pedis tipe vesikobulosa umumnya disebabkan oleh T.
interdigitale (T. mentagrophytes var. mentagrophytes), memiliki
wujud kelainan kulit seperti vesikel dengan diameter lebih dari 3
mm, vesikopustula, atau bulla pada telapak kaki dan area
periplantar.
4) Tipe akut ulseratif
Temuan klinis yang didapat adalah vesikopustula dan ulserasi
purulen pada telapak kaki. Sering juga ditemukan sellulitis,
limfangitis, limfadenopati, dan demam.

22
e. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan mikroskopik
2) Kultur
3) Lampu wood
4) Pencegahan dan pengendalian
E. Patofisiologi Gangguan Sistem Integumen pada Lansia
1. Xerosis (kulit kering)
a. Kadar air menurun pada stratum korneum. Pada keadaan normal, air
mengalir secara difusi dari dermis menuju ke epidermis melalui dua
cara yaitu melalui stratum korneum dan ruang intraseluler.
b. Menurunnya faktor pelembab alami (Natural Moisturizing Factor).
Kulit mempunyai kemampuan untuk menyimpan kelembapan sendiri
yang disebut dengan pelembab alami atau Natural Moisturizing Factor
(NMF). Stratum korneum terdiri dari 58% keratin, 30% NMF dan 11%
lipid. NMF terdiri dari asam amino bebas, urea, elektrolit garam dan
fraksi gula.
c. Gangguan keratinisasi menyebabkan perubahan struktur dan kohesi
korneosit. Penurunan kadar air dalam stratum korneum pada kulit
kering akan menyebabkan gangguan deskuamasi abnormal pada
korneosit.
2. Pruritus
Pruritus merupakan salah satu dari sejumlah keluhan yang paling
sering dijumpai pada gangguan dermatologi yang menimbulkan gangguan
dermatologi sehingga terjadinya gangguan rasa nyaman dan perubahan
integritas kulit jika pasien meresponnya dengan garukan. Reseptor rasa
gatal tidak bermielin, mempunyai ujung saraf mirip sikat (peniciate) yang
hanya ditemukan dalam kuit, membran mukosa dan kornea (Sher, 1992).
3. Infeksi jamur (tinea pedis)
Dermatofitosis disebabkan oleh jamur dermatofita dari famili
Arthrodermataceae. Famili ini terdiri lebih dari 40 spesies yang dibagi

23
dalam tiga genus: Epidermophyton, Microsporum, dan Trichophyton
(William, et al., 2016). Dari 41 spesies yang telah dikenal, 17 spesies
diisolasi dari infeksi jamur pada manusia, 5 spesies Microsporum
menginfeksi kulit dan rambut, 11 spesies Trichophyton menginfeksi kulit,
rambut dan kuku, 1 spesies Epidermophyton menginfeksi hanya pada
kulit dan jarang pada kuku (Andrew, 2013). Sedangkan Tinea Pedis
disebabkan tersering oleh Trichophyton rubrum atau Trichophyton
mentagrophytes, Epidermophyton floccosum dan Microsporum namun
sangat jarang sekali (Andrew, 2013).
4. Infeksi virus
Banyak virus yang dapat menyebabkan infeksi, salah satunya
adalah Human Papiloma Virus (HVP). HVP dapat bereplikasi pada sel-
sel epidermis dan menular kepada orang yang tidak memiliki imunitas
spesifik terhadap dirinya. Keberadaan virus ini menyebabkan munculnya
veruka vulgaris atau kutil yang kasar pada badan, tungkai, tangan, lengan,
genetalia, bahkan membran mukosa. Kemunculan kutil disebabkan oleh
replikasi di dalam sel-sel epidermis dengan menimbulkan penebalan yang
tidak teratur pada stratum korneum di daerah yang terinfeksi.
F. Manisfestasi Klinis Gangguan Sistem Integumen pada Lansia
Menurut Maryam (2008), perubahan sistem integumen yang terjadi
pada lansia, meliputi:
1. Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak
2. Permukaan kulit cenderung kusam, kasar, dan bersisik
3. Timbul bercak pigmentasi
4. Kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu
5. Berkurangnya elestisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi
6. Kuku jari menjadi keras dan rapuh
7. Jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang.

24
G. Faktor Risiko Gangguan Sistem Integumen pada Lansia
Perubahan kulit yang terjadi pada lansia dapat disebabkan dari faktor
instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik yang menyebabkan
terjadinya perubahan kulit pada lansia karena adanya proses penuaan dan
perubahan biologis yang terprogram, sedangkan faktor ekstrinsik yang dapat
memengaruhi perubahan kulit pada lansia adalah lingkungan seperti terpapar
matahari dan polusi, gaya hidup dan kebersihan diri (Farage et al, 2010 dalam
Voegeli, 2012).
Faktor instrinsik pada lansia dapat disebabkan karena adanya
perubahan pada fungsi dan struktur sistem integumen. Hal ini terjadi karena
adanya penurunan melanin pada lapisan epidermis, sehingga terjadi
penurunan respons perlindungan kulit terhadap sinar matahari. Oleh karena
itu, lansia berisiko tinggi untuk mengalami kerusakan kulit akibat terpajan
sinar matahari yang berlebihan. Sementara faktor ekstrinsik dapat bersumber
dari lingkungan dan kebersihan diri. Ketika kulit menjadi kering seiring
dengan penuaan, kelembapan yang rendah merupakan faktor predisposisi bagi
lansia mengalami pruritus yang diakibatkan oleh kulit yang kering.
H. Komplikasi Gangguan Sistem Integumen pada Lansia
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah:
1. Infeksi yang menyebar atau kambuh setelah diobati
2. Kerusakan permanen pada kulit
3. Abses atau kumpulan nanah, yang terbentuk di bawah kulit
4. Necrotizing fasciitis, atau infeksi pada jaringan lunak di bawah kulit
5. Gangren atau kematian jaringan akibat kekurangan pasokan darah
6. Poshterapetik neuralgia yaitu nyeri yang terjadi karena kerusakan saraf
akibat herpes
7. Kebutaan, jika infeksi terjadi di sekitar mata
8. Ensefalitis atau radang otak
9. Sepsis, atau infeksi di aliran darah.

25
I. Penatalaksanaan Gangguan Sistem Integumen pada Lansia
1. Penatalaksanaan Farmakologi
Dalam pengobatan penyakit kulit cukup banyak digunakan obat-
obat topikal. Macam dan jenis-jenis obat topikal ini banyak sekali,
diantaranya salep dan bedak, minyak, gel, krim, solusi, atau astringen.
Perawat perlu mempelajari sifat dan jenis, obat-obat topikal ini karena
dalam proses perawatan kulit, perawat banyak memegang peranan, baik
pada tahap promotif, preventif, kuratif, maupun pada tahap rehabilitatif.
Pada penggunaan obat-obatan topikal, jangan oleskan obat terlalu tebal
karena dapats menyebabkan iritasi bahan kimia dan akan menghambat
proses penyembuhan. Di samping itu, obat jadi banyak terbuang.
Sediaan topikal umumnya terdiri dari dua bahan pokok, yaitu:
a. Bahan aktif
Bahan ini umumnya berasal berbagai golongan obat, antara lain
golongan antibiotik, kortikostiroid, analgesik, dan lain-lain.
b. Bahan dasar
Fungsi dari bahan dasar yaitu:
1) Pemberi bentuk, menentukan bentuk dari sediaan yang akan dibuat
2) Distributor, membawa bahan aktif baik untuk diratakan atau
dipenetralisasikan ke dalam kulit
3) Pengawet, mempertahankan khasiat bahan aktif yang lebih lama.
Dibawah ini akan dijelaskan karekteristik dari beberapa bahan topikal,
yaitu:
a. Salep
Salep ialah bahan aktif yang dicampur dengan bahan dasar
vaselin atau lanonin. Fungsi vaselin adalah sebagai bahan dasar
pembentuk salep dan mendistribusikan bahan aktif dipermukaan kulit
dan memasukkannya ke dalam kulit. Contoh dari salep yaitu kemisitin,
bahan aktifnya berasal dari dari golongan antibiotik, yaitu
kloramfenikol yang dicampur dengan bahan dasar vaselin.

26
b. Krim
Krim ialah bahan aktif yang dicampur dengan bahan dasar
emulsi. Contohnya, krim hidrokortison 2%, bahan aktifnya dari steroid
yang dicampur dengan bahan dasar emulsi (emulgade cream).
c. Bedak
Bedak ialah bahan aktif yang dicampur dengan bahan dasar
talcum atau talek. Misalnya, talcum asidum borikum yang biasa
dikenal dengan boortalek, bahan aktifnya asidum borikum yang
dicampur dengan bahan dasar dasar talcum. Talcum asidum salisikum
adalah bahan aktif asidum salisikum (asam salisilat) yang dicampur
dengan talk sehingga menjadi sediaan bedak yang lebih dikenal
dengan nama salisil. Talcum atau talk itu sendiri merupakan bedak
dengan sifat kimia netral/tidak aktif. Pada saat memberi bedak,
keringkan dahulu lesi untuk menghindari terjadinya kerak, dan jangan
memberi bedak pada lesi yang basah dan kotor.
d. Gel
Gel ialah bahan dasar yang banyak dipakai untuk dicampur
dengan bebagai bahan aktif atau hanya untuk pelicin. Gel ini mudah
diabsorbsi dan cepat kering serta tidak lengket. Gel harus digunakan
secara hati-hati, karena ada beberapa gel yang menggunakan bahan
dasar alkohol sehingga jika diberikan pada area yang sensitif/abrasi
dapat menyebabkan rasa terbakar.
e. Solusio
Solusio ialah satu sediaan topikal dengan bahan dasar “air”.
Jenis obat ini banyak digunakan untuk kompres basah pada kulit atau
mandi, tergantung pada luas dan lokasi kelainan kulit.

Dalam melakukan perawatan kulit, prinsip umum yang perlu


diperhatikan meliputi kondisi kulit, obat topikal, dan cara pemberiannya.

27
Disamping itu, pengobatan topikal harus mempertimbangkan stadium,
luas, kedalaman, dan lokalisasi penyakit.
a. Stadium
Pada stadium akut jenis lesi eritema, edema, papul, vesikel,
erosi, atau ekskoriasi, dapat digunakan obat cair (solusio) untuk
kompres atau mandi, bergantung pada luas dan lokasinya. Pemberian
bahan aktif perlu diperhatikan, makin akut penyakitnya makin ringan
konsentrasi obat yang digunakan. Pada stadium subakut ketika eritema
dan edema sudah berkurang, erosi dan ekskoriasi sudah menjadi
krusta, dapat digunakan bahan dasar/vesikulum berbentuk krim atau
pasta. Pada stadium kronis biasanya kulit menebal (hyperkeratosis)
sehingga perlu dibentuk salep atau gel.
b. Luas atau distribusi
Luas permukaan tubuh yang terkena perlu pertimbangan dalam
pemilihan obat topikal yang akan digunakan. Bila sangat luas, dapat
digunakan bedak, bedak kocok, mandi rendam, atau krim sesuai
dengan stadiumnya. Sedangkan pada lokasi yang terbatas penggunaan
jenis obat lebih leluasa kecuali pada daerah tertentu.
c. Kedalaman lesi
Kedalaman lesi perlu menjadi bahan pertimbangan untuk
pemilihan bahan dasar obat topikal. Untuk lesi yang dalam atau tebal,
misalnya dermatitis kronis atau psoriasis, bahan dasar yang sesuai
adalah salep karena penetrasinya dalam. Pada lesi yang inflamasinya
dangkal, bahan dasar yang sesuai adalah bedak atau bedak kocok.
d. Lokasi lesi
Lokasi lesi perlu diperhatikan, terutama di daerah wajah,
skrotum, atau bagian kulit yang tipis, bagian kulit yang tebal (palmo-
plantar), atau daerah berambut. Pada daerah yang kaya vaskularisasi,
selain memperhatikan konsentrasi, bahan aktif yang digunakan juga
harus berbahan dasar krim. Sedangkan salep dapat digunakan dengan

28
pertimbangan tertentu. Demikian pula pada daerah berambut, solusio
atau krim lebih mudah diberikan dan dibersihkan. Untuk daerah yang
memiliki kulit yang tebal sebaliknya digunakan salep agar obat dapat
berpenetrasi lebih baik.
2. Penatalaksanaan non-farmakologi
Adapun beberapa penatalaksanaan secara non-farmakologi yang dapat
dilakukan yaitu dengan:
a. Edukasi
Edukasi dapat diberikan kepada lansia mengenai pentingnya menjaga
kebersihan diri dan juga kulit, menjaga pola diet dan juga istirahat
pada lansia, menggunakan pakaian, sepatu serta kaus kaki yang
menyerap keringat dan tidak menggunakan barang yang lembab.
b. Terapi virgin coconut oil (VCO)
Terapi ini dapat diberikan selama 3 minggu dan dalam 1 minggu
diberikan selama 2 hari. Pada 1 kali perlakuan, VCO dioleskan secara
tipis pada daerah yang mengalami pruritus sebanyak tiga kali dengan
jeda 5 menit.
c. Terapi gel lidah buaya
Terapi gel lidah buaya merupakan terapi yang dapat dilakukan pada
lansia yang mengalami xerosis. Gel lidah buaya dapat melembapkan
kulit karena mengandung kadar air yang tingi (94,83%). Gel lidah
buaya mengandung glucomanans, asam amino, lipid, sterol dan
vitamin yang dapat membantu mengurangi keluhan pada lansia yang
mengalami xerosis (Khioirini, 2016).
J. Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan Sistem Integumen
1. Pengkajian
a. Pengkajian identitas
Pengkajian yang dapat dilakukan yaitu nama, usia, suku, pekerjaan dan
hobi.

29
b. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling sering dirasakan oleh lansia sehingga
mencari pertolongan.
c. Riwayat kesehatan
1) Kesehatan masa lalu
2) Pandangan lansia tentang kesehatannya
3) Kegiatan yang mampu dilakukan lansia
4) Kebiasaan lansia merawat diri sendiri
5) Kebiasaan makan, minum, istirahat atau tidur, BAB atau BAK
6) Kebiasaan menggerakkan badan/olahraga
7) Perubahan-perubahan fungsi tubuh yang sangat bermakna dirasakan
8) Kebiasaan lansia dalam memelihara kesehatan dan kebiasaan
minum obat.
d. Riwayat keluarga
Riwayat penyakit keluarga yang pernah diderita.
e. Riwayat pengobatan
Apakah lansia pernah menggunakan obat-obatan. Pengkajian yang
dilakukan oleh perawat yaitu kapan pengobatan dimulai, dosis dan
frekuensi serta waktu berakhirnya minum obat.
f. Riwayat diet
Kaji BB, TB, serta makanan yang dikonsumsi oleh lansia. Nutrisi
yang kurang adekuat dapat menyebabkan kulit mudah mengalami lesi.
g. Status sosial ekonomi
Mengidentifikasi lingkungan dan tingkat perekonomian yang dapat
memengaruhi pola hidup sehari-hari.
h. Pengkajian psikososial
Pengkajian psikosial yang dapat dilakukan yaitu mengidentifikasi
apakah lansia mengalami perasaan depresi, frustasi, kecemasan,
keputusasaan, gangguan konsep diri atau nyeri.
i. Aktivitas sehari-hari

30
Kegiatan apa yang dapat dilakukan oleh lansia, tingkat kemandirian
serta kekuatan otot.
j. Pemeriksaan fisik
Pada sistem integumen, yang dilakukan yaitu :
1) Amati kulit lansia
2) Adakah jaringan parut
3) Keadaan rambut
4) Kuku
5) Kebersihan lansia secara umum
6) Gangguan-gangguan lain yang umum pada kulit (Mubarak et al.,
2012).
2. Diagnosa
Diagnosa yang dapat diangkat pada lansia yang mengalami gangguan
pada sistem integumen diantaranya:
a. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor risiko
suhu lingkungan yang ekstrim, bahan kimia iritatif, kelembaban,
proses penuaan
b. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gangguan stimulus
lingkungan
c. Risiko infeksi dengan faktor risiko kerusakan integritas kulit
d. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan injuri fisik

3. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI

31
1. Risiko gangguan Integritas Kulit dan Perawatan Kaki
integritas kulit Jaringan 1. Identifikasi perawatan
berhubungan dengan Setelah dilakukan kaki yang bisa dilakukan
faktor risiko suhu tindakan keperawatan 2. Periksa adanya iritasi,
lingkungan yang diharapkan gangguan retak, lesi, kapalan,
ekstrim, bahan kimia integritas kuit kelainan bentuk atau
iritatif, kelembaban, membaik dengan edema
proses penuaan kriteria hasil : 3. Monitor tingkat
DS : 1. Hidrasi dari 3 kelembapan kaki
• Pasien mengatakan (sedang) menjadi 5 4. Keringkan sela-sela jari
kakinya kering, (meningkat) kaki
gatal dan pecah- 2. Tekstur dari 2 5. Berikan pelembab kaki
pecah (sedang) menjadi 5 sesuai kebutuhan
DO : (membaik) 6. Bersihkan dan atau potong
• Kulit kaki pasien kuku jika perlu
tampak kering
• Kulit kaki pasien
tampak pecah-pecah
dan seperti bersisik
• Pasien tampak
sesekali menggaruk
kakinya
• Jari kuku kaki
tampak panjang

32
2. Gangguan rasa Status Kenyamanan Kompres dingin
nyaman Setelah dilakukan 1. Identifikasi kondisi kulit
berhubungan dengan tindakan keperawatan yang akan dilakukan
gangguan stimulus diharapkan gangguan kompres dingin
lingkungan rasa nyaman 2. Pilih metode kompres
DS : membaik dengan yang nyaman dan mudah
• Pasien mengatakan kriteria hasil : didapat
kakinya terasa gatal 1. Keluhan tidak 3. Pilih lokasi kompres
DO : nyaman 4. Balut alat kompres
• Pasien tampak ditingkatkan ke dengan kain pelindung
sesekali menggaruk skala 5 (menurun) 5. Lakukan kompres dingin
kakinya 2. Gatal dari 3 pada daerah yang cedera
• Kulit kaki pasien (sedang)
tampak kering dan ditingkatan ke 5
pecah-pecah (menurun)

33
3. Risiko infeksi dengan Integritas Kulit dan Pencegahan Infeksi
faktor risiko Jaringan 1. Monitor tanda dan
kerusakan integritas Setelah dilakukan gejala infeksi lokal dan
kulit tindakan keperawatan sistemik
DS : diharapkan gangguan 2. Cuci tangan sebelum
• Pasien mengatakan integritas kuit dan sesudah kontak
kakinya kering dan membaik dengan dengan pasien dan
gatal kriteria hasil : lingkungan pasien
DO : 1. Hidrasi dari 3 3. Anjurkan
• Kulit kaki pasien (sedang) menjadi 5 meningkatkan asupan
tampak kering (meningkat) nutrisi
• Kulit kaki pasien 2. Tekstur dari 2 4. Anjurkan
tampak pecah- (sedang) menjadi 5 meningkatkan asupan
pecah dan seperti (membaik) cairan
bersisik 5. Jelaskan tanda dan

• Pasien tampak gejala infeksi

sesekali menggaruk
kakinya
• Jari kuku kaki
tampak panjang

34
4. Gangguan rasa Setelah dilakukan Terapi Relaksasi
nyaman nyeri tindakan keperawatan Identifikasi tingkat
berhubungan dengan diharapkan gangguan penurunan energi,
injuri fisik rasa nyaman nyeri ketidakmampuan
DO : membaik dengan konsentrasi, atau gejala lain
• Terdapat nyeri kriteria hasil : yang mengganggu
tekan pada kaki 1. Keluhan tidak kemampuan kognitif
yang sakit nyaman
• Klien tampak ditingkatkan ke
kesakitan skala 5
• Suhu : 36 derajat (menurun)

• TD : 200/90 2. Keluhan sulit

mmHg tidur ditingkatkan

DS : ke skala

• Klien mengeluh 5(menurun)

nyeri pada bagian 3. Gangguan

yang sakit Gelisah

• Klien mengatakan ditingkatkan ke

nyeri diperberat skala 5

jika tubuh (menurun)

digerakkan
• Nyeri dirasakan
hampir setiap saat
terutama pada
malam hari

35
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem integumen adalah sistem organ yang membedakan,
memisahkan, dan menginformasikan kita dari lingkungan sekitar. Gangguan
sistem integumen (penyakit kulit) adalah kelainan kulit yang diakibat adanya
jamur, kuman, parasit, virus maupun infeksi yang dapat menyerang siapa saja.
Gangguan integumen yang biasanya sering ditemui pada lansia adalah kulit
keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan kurang elastik
karena menurunnya cairan dan kehilangan jaringan adiposa. Penyakit kulit
yang sering dijumpai seperti kandidiasis, herpes zoster, psoriasis, pruritus,
melanoma ganas, dan dekubitus.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini kami selaku penulis sangat berharap
kepada seluruh mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang Askep
Lansia dengan Gangguan Sistem Integumen. Semoga dengan adanya makalah
ini dapat membawa pengaruh yang baik dan bermanfaat bagi kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu kami mengharapkan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini.

36
DAFTAR PUSTAKA

Andrew, W & Berger, D. T. (2013). Disease of the Skin Twelfth Edition.


Philadelphia: Elsevier.

Khoironi, F. (2016). Peran Gel Lidah Buaya dalam Mengurangi Xerosis. Jurnal
Media Kesehatan, 9(1), 72-78.

Maryam, S. (2008). Menengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba


Medika.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). (2017). Standar Diagnosis


Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). (2018). Standar Intervensi


Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). (2019). Standar Luaran Keperawatan


Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Pratiwi, S. (2010). Teori Penuaan, Perubahan pada Sistem Tubuh dan Implikasinya
pada Lansia. Semarang: Universitas Diponegoro.

Rahmi, Z. (2016). Asuhan Keperawatan pada Lansia yang Mengalami Gangguan


Integritas Kulit pada Kaki Melalui Perawatan Kaki (Foot Care). Jakarta:
Universitas indonesia.

Siti, N. K. (2016). Keperawatan Gerontik. Jakarta: Kemenkes RI.

37

Anda mungkin juga menyukai