Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

APENDIKSITIS DAN APENDIKTOMI

DOSEN PENGAMPU:
DR. Hj. Nunung Herlina.,S,Kp.,M.Pd

ANGGOTA KELOMPOK 1:
Nur Ariska Meritama 2011102411037
Friska Meirina Andriani 2011102411043
Meylinda Cindy Rahmawati 2011102411047
Sherly Emelliya 2011102411002
Ari Dwi Nurhaliza 2011102411009
Khairun Nikmah 2011102411025
Wahidah Turrahmah 1811102411186
Rori Agustiawan Faronika 2011102411035
Farah Dila 2011102411045
Miftahul Jannah 2011102411028

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kami
panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-
Nya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang Apendiksitis dan
Apendiktomi.
Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak
sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang
dada menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Apendiksitis dan Apendiktomi ini bisa
memberikan manfaat maupun inspirasi untuk pembaca.

Samarinda,  5 Maret 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................3
C. Tujuan...................................................................................................................................3
D. Manfaat.................................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................4
A. Pengertian apendikstis dan apendiktomi..............................................................................4
B. Penyebab terjadinya apenditis dan apdendiktomi.................................................................5
C. Komplikasi dari apendiksitis dan apendiktomi.....................................................................8
D. Patofisiologi dari Apendiksitis dan Apendiktomi.................................................................8
E. Pathway Apendiksitis dan Apendiktomi............................................................................10
F. Konsep Asuhan Keperawatan.............................................................................................11
BAB III PENUTUP......................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apendiksitis merupakan peradangan apendik vermivormis, dan merupakan


penyebab masalah abdomen yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih, 2010).
Apendiksitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang terjadi. Insidensi pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak daripada wanita
(Santacroce dalam Muttaqin, 2013). Apendisitis ditemukan pada semua kalangan dalam
rentang usia 21-30 tahun (Ajidah & Haskas, 2014). Komplikasi apendisitis yang sering
terjadi yaitu apendisitis perforasi yang dapat menyebabkan perforasi atau abses sehingga
diperlukan tindakan pembedahan (Haryono, 2012)
Prevalensi tindakan bedah di Amerika Serikat tahun 2009 dari 27 juta orang yang
menjalani operasi setiap pelayanan kesehatan, pasien dengan infeksi pada daerah operasi
abdomen akan menjalani perawatan dua kali lebih lama di rumah sakit daripada yang
tidak mengalami infeksi (Jitowiyono & Kristiyanasari, 2010). Berdasarkan Data Tabulasi
Nasional Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009, tindakan bedah
menempati urutan ke 11 dari 50 pertama penyakit di rumah sakit se-Indonesia dengan
persentase 12.8% yang diperkirakan 32% diantaranya merupakan tidakan bedah
laparatomi (Hajidah & Haskas, 2014). Laporan Departemen Kesehatan (Depkes)
mengenai kejadian laparatomi atas indikasi apendiksitis meningkat dari 162 kasus pada
tahun 2005 menjadi 983 kasus pada tahun 2006 dan 1.281 kasus pada tahun 2007
(Hajidah & Haskas, 2014)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan pada tahun 2008 jumlah
penderita apendiksitis mencapai 591.819, pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang dan
insiden ini menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainnya
(Depkes RI, 2013). Penderita apendiksitis yang dirawat di rumah sakit pada tahun 2013
sebanyak 3.236 orang dan pada tahun 2014 sebanyak 4.351 orang (Depkes RI, 2013).
Kementrian Kesehatan menganggap apendiksitis merupakan isu prioritas kesehatan di
tingkat local dan nasional karena mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat
(Depkes RI, 2013). Apendisitis merupakan salah satu penyebab untuk dilakukan operasi

1
kegawatdaruratan abdomen. Hal-hal yang berhubungan dengan perawatan klien post
operasi dan dilakukan segera setelah operasi diantaranya adalah dengan melakukan
latihan napas dalam, batuk efektif serta latihan mobilisasi dini (Muttaqin, 2009).
Lama hari rawat inap pasien-pasien dengan post apendiktomi di rumah sakit sangatlah
bervariasi. Hal tersebut bergantung pada jenis apendisitisnya. Apabila apendiks tidak
ruptur, lama hari rawat pasien 1-2 hari. Namun jika terdapat perforasi maka dapat
memperlama hari rawat menjadi 4-7 hari,
terutama jika terjadi peritonitis (Sjamsuhidayat, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh
Yulfanita (2013) di RSUD H. Andi Sultan Dg. Radja Bulukumba, menunjukkan bahwa
dari 15 responden terdapat 2 responden dengan lama hari rawat ≤ 4 hari dan 13 responden
dengan lama hari rawat > 4 hari.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan lama hari rawat pasien post apendiktomi
salah satunya adalah kondisi kesehatan pasien. Perubahan kondisi kesehatan dapat
mempengaruhi sistem muskuloskeletal dan system saraf berupa penurunan koordinasi.
Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh nyeri yang dialami akibat luka operasinya
(Kozier & Erb, 2010). Tindakan keperawatan yang dapat mengurangi intensitas nyeri
selain distraksi dan relaksasi yaitu dengan melakukan mobilisasi dini. Penelitian yang
dilakukan oleh Akhrita (2011), menyebutkan bahwa klien post operasi yang melakukan
mobilisasi dini memiliki waktu penyembuhan yang lebih cepat dibandingkan
klien yang tidak melakukan mobilisasi dini. Menurut Potter & Perry (2010), pasien
dengan post apendiktomi biasanya merasakan nyeri yang mengakibatkan takut untuk
bergerak. Padahal efek anestesi bisa mengakibatkan gangguan fungsi tubuh, aliran darah
tersumbat, peningkatan intensitas nyeri, dan penumpukan sekret pada saluran pernapasan
yang dapat mengakibatkan pneumonia. Berdasarkan alas antersebut maka tindakan
mobilisasi dini sangatlah penting, namun mobilisasi harus tetap dilakukan secara hati-
hati. Mobilisasi dini merupakan kegiatan yang penting pada periode post operasi guna
mengembalikan kemampuan ADL pasien. Kurangnya mobilisasi dini dapat menimbulkan
lamanya hari perawatan dari pasien dengan laparatomi, selain itu kurangnya mobilisasi
dini pada pasien pasca operasi laparatomi dapat menimbulkan adanya infeksi (Jitowiyono
&Kristiyanasari,2010).

2
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari apendiksitis dan apendiktomi ?


2. Apa penyebab terjadinya apendiksitis dan apdendiktomi ?
3. Bagaiman komplikasi dari apendiksitis dan apendiktomi ?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan apenditis dan apendiktomi ?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk lebih mengetahui cara
memberikan asuhan keperawatan komprehensif pada pasien apenditis dan apediktomi

D. Manfaat
1. Mengerti apa itu apendiksitis dan apendiktomi
2. Mengerti apa penyebab terjadinya apendiksitis dan apendiktomi
3. Mengerti komplikasi dari apendikstis dan apendiktomi
4. Mengerti asuhan keperawatan pada pasien dengan apendiksittis dan apendiktomi

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian apendikstis dan apendiktomi

a. Apendiksitis
Apendiksitis adalah radang pada usus buntu atau dalam bahasa latinnya appendiks
vermivormis, yaitu suatu organ yang berbentuk memanjang dengan panjang 6-9 cm
dengan pangkal terletak pada bagian pangkal usus besar bernama sekum yang terletak
pada perut kanan bawah (Handaya, 2017). Apendisitis adalah peradangan akibat
infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks) (Wim de jong, 2005 dalam
Nurarif, 2015). Apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada
vermiforis.
Apendisitis adalah inflamasi saluran usus yang tersembunyi dan kecil yang
berukuran sekitar 4 inci yang buntu pada ujung sekum (Rosdahl dan Mary T.
Kowalski, 2015). Apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada
apendiks vermiformis. Apendiks vermiformis yang disebut dengan umbai cacing atau
lebih dikenal dengan nama usus buntu, merupakan kantung kecil yang buntu dan
melekat pada sekum (Nurfaridah, 2015)
Apendisitis dibagi menjadi 2, antara lain sebagai berikut :
 Apendiksitis akut
Apendisitis akut Peradangan pada apendiks dengan gejala khas yang memberi
tanda setempat. Gejala apendisitis akut antara lain nyeri samar dan tumpul
merupakan nyeri visceral di saerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini
disertai rasa mual muntah dan penurunan nafsu makan. Dalam beberapa jam nyeri
akan berpindah ke titik McBurney. Pada titik ini, nyeri yang dirasakan menjadi
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat
(Hidayat 2005 dalam Mardalena,Ida 2017)
 Apendiksitis Kronis
Apendiksitis kronis baru bisa ditegakkan apabila ditemukan tiga hal yaitu
pertama, pasien memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen
selama paling sedikit tiga minggu tanpa alternatif diagnosa lain. Kedua, setelah

4
dilakukan apendiktomi, gejala yang dialami pasien akan hilang. Ketiga, secara
histopatologik gejala dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif
atau fibrosis pada apendiks (Santacroce dan Craig 2006 dalam Mardalena, Ida
2017).
b. Apendiktomi
Apendiktomi adalah pembedahan atau operasi pengangkatan apendiks (Haryono,
2012). Apendiktomi merupakan pengobatan melalui prosedur tindakan operasi hanya
untuk penyakit apendisitis atau penyingkiran/pengangkatan usus buntu yang
terinfeksi. Apendiktomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko
perforasi lebih lanjut seperti peritonitis atau abses (Marijata dalam
Pristahayuningtyas, 2015).
Post apendiktomi merupakan peristiwa setelah dilakukannya tindakan
pembedahan pada apendik yang mengalami inflamasi. Kondisi post operasi dimulai
saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi
selanjutnya. Pasien yang telah menjalani pembedahan dipindahkan ke ruang
perawatan untuk pemulihan post pembedahan (memperoleh istirahat dan
kenyamanan) (Muttaqin, 2009).
Aktivitas keperawatan post operasi berfokus pada peningkatan penyembuhan
pasien dan melakukan penyuluhan. Peran perawat yang mendukung proses
kesembuhan pasien yaitu dengan memberikan dorongan kepada pasien untuk
melakukan mobilisasi setelah operasi (Potter & Perry, 2010). Mobilisasi penting
dilakukan karena selain mempercepat proses kesembuhan juga mencegah komplikasi
yang mungkin muncul (Muttaqin, 2009).

B. Penyebab terjadinya apenditis dan apdendiktomi

a. Penyebab terjadinya apendiksitis


Penyebab dari apendiksitis adalah adanya obstruksi pada lamen apendikeal oleh
apendikolit, tumor apendiks, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material
garam kalsium, debris fekal), atau parasit EHistolytica. (Katz 2009 dalam muttaqin,
& kumala sari, 2011).

5
Selain itu apendisitis juga bisa disebabkan oleh kebiasaan makan makanan
rendah serat sehingga dapat terjadi konstipasi. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang mengakibatkan terjadinya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon. Hal ini akan mengakibatkan
peningkatan kongesti dan penurunan perfusi pada dinding apendiks yang berlanjut
pada nekrosis dan inflamasi apendiks. Pada fase ini penderita mengalami nyeri pada
area periumbilikal. Dengan berlanjutnya pada proses inflamasi, akan terjadi
pembentukan eksudat pada permukaan serosa apendiks. Ketika eksudat ini
berhubungan dengan perietal peritoneum, maka intensitas nyeri yang khas akan
terjadi (Santacroce, 2009 dalam dalam muttaqin & kumala sari, 2011).
Dengan berlanjutnya proses obstruksi, bakteri akan berproliferasi dan
meningkatkan tekanan intraluminal dan membentuk infiltrat pada mukosa dinding
apendiks yang ditandai dengan ketidaknyamanan pada abdomen. Adanya penurunan
perfusi pada dinding akan menimbulkan iskemia dan nekrosis serta diikuti
peningkatan tekanan intraluminal, juga akan meningkatkan risiko perforasi dari
apendiks. Pada proses fagositosis terhadap respon perlawanan terhadap bakteri
ditandai dengan pembentukan nanah atau abses yang terakumulasi pada lumen
apendiks. Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya
perforasi dan pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi
dan bakteri masuk ke rongga abdomen kemudian akan memberikan respon inflamasi
permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai
dengan abses, maka akan ditandai dengan gejala nyeri lokal akibat akumulasi abses
dan kemudian akan memberikan respons peritonitis. Gejala yang khas dari perforasi
apendiks adalah adanya nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan
bawah (Tzanaki, 2005 dalam muttaqin, Arif & kumala sari, 2011).
b. Penyebab terjadinya apdendiktomi
Etiologi dilakukannya tindakan pembedahan pada penderita apendiksitis
dikarenakan apendik mengalami peradangan. Apendiks yang meradang dapat
menyebabkan infeksi dan perforasi apabila tidak dilakukan tindakan pembedahan.
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Disamping hiperplasia

6
jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askariasis dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis
ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E.histolytica (Sjamsuhidayat,
2011).
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks menurut Haryono
(2012) diantaranya:
 Faktor sumbatan
Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing, dan
sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.
 Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolit dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi dapat memperburuk
dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatastagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur yang banyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchius, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob lebih dari 10%.
 Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekolit dan menyebabkan obstruksi lumen.
 Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan Faktor ras
berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih
yang dulunya mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya
banyak serat. Namun saat sekarang kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah
mengubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru negara

7
berkembang yang dulunya mengonsumsi tinggi serat kini beralih ke pola makan
rendah serat, kini memiliki risiko apendisitis yang lebihtinggi.

C. Komplikasi dari apendiksitis dan apendiktomi

a. komplikasi dari apendiksitis


Komplikasi bisa terjadi apabila adanya keterlambatan dalam penanganannya.
Adapun jenis komplikasi menurut (LeMone, 2016) diantaranya sebagai berikut:
 Perforasi apendiks Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi nanah
sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi dapat diketahui dengan
gambaran klinis seperti suhu tubuh lebih dari 38,50C dan nyeri tekan pada
seluruh perut yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit.
 Peritonitis Peritonitis adalah peradangan peritoneum (lapisan membran serosa
rongga abdomen). Komplikasi ini termasuk komplikasi berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.
 Abses Abses adalah peradangan pada spendiks yang berirsi nanah. Teraba
massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis
b. Komplikasi apendiktomi
Komplikasi setelah pembedahan apendik menurut Muttaqin (2009):
 Infeksi pada luka, ditandai apabila luka mengeluarkan cairan kuning atau nanah,
kulit di sekitar luka menjadi merah, hangat, bengkak, atau terasa semakin sakit,
 Abses (nanah), terdapat kumpulan di dalam rongga perut dengan gejala demam
dan nyeri perut.
 Perlengketan usus, dengan gejala rasa tidak nyaman di perut, terjadi sulit buang
air besar pada tahap lanjut, dan perut terasa sangat nyeri d. Komplikasi yang
jarang terjadi seperti ileus, gangren usus, peritonitis, dan obstruksi usus.

D. Patofisiologi dari Apendiksitis dan Apendiktomi

a. Patofisiologi Apendiksitis
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh
feses yang terlibat atau fekalit. Sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa
apendisitis berhubungan dengan asupan makanan yang rendah serat. Pada stadium

8
awal apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian
berlanjut ke submukosa dan melibatkan peritoneal. Cairan eksudat
fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa
permukaan peritoneal yang bersebelahan. Dalam stadium ini mukosa glandular
yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen yang menjadi distensi dengan pus.
Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks
yang kurang suplai darah menjadi nekrosis ke rongga peritoneal. Jika perforasi
yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses local akan terjadi.

b. Patofisiologi Apendiktomi
Apendiktomi adalah pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat apendiks
yang terinflamasi. Pembedahan atau operasi adalah pengobatan yang
menggunakan cara invansif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh
yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan
membuat sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan
tindakan perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Sayatan
atau luka yang terjadi akan mencederai nosisieptor. Nosiseptor adalah reseptor
saraf untuk nyeri, nosiseptor berespon terhadap beberapa jenis stimulus berbahaya
yang berbeda yaitu mekanik, kimia, atau termal. Trauma jaringan, inflamasi dan
iskemia cenderung mengeluarkan sejumlah biokimia seperti bradikinin, histamin,
serotonin, dan ion kalium merangsang nosiseptor secara langsung dan
menghasilkan nyeri Nyeri dapat terjadi melalui empat proses tersendiri yaitu
transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi nyeri adalah proses
rangsangan yang menggangu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor
nyeri. Transmisi nyeri terdiri dari tiga bagian, pada bagian pertama nyeri
merambat dari serabut saraf perifer ke medulla spinalis. Dua jenis serabut
nosisseptor yang terlibat dalam proses tersebut adalah serabut C, yang
mentransmisikan nyeri tumpul dan menyakitkan, serabut A-Delta yang
menstransmisikan nyeri yang tajam dan terlokalisasi. Bagian kedua adalah
transmisi nyeri dari medulla spinalis menuju batang otak dan talamus melalui
jaras spinotalamikus (spinothalamic tract atau STT). STT merupakan suatu sistem

9
deskriminatif yang membawa informasi mengenai sifat dan lokasi stimulus ke
talamus. Selanjutnya, pada bagian ketiga, sinyal tersebut diteruskan ke korteks
sensori somatik (tempat nyeri dipersepsikan). Modulasi nyeri akan melibatkan
aktivitas saraf yang melalui jalur-jalur saraf desendens dari otak yang dapat
memengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi juga melibatkan
faktor-faktor kimiawi yang meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen
primer. Akhirnya, persepsi nyeri adalah pengalaman subjektif nyeri yang
dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri oleh saraf Nyeri akut sering ditandai
dengan tampak meringis, bersikap protektif (misalnya waspada, posisi
menghindari nyeri), gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah
meningkat, pola napas berubah, nafsu makan berubah, proses berfikir terganggu,
menarik diri, berfokus pada diri sendiri dan diaforesis.

E. Pathway Apendiksitis dan Apendiktomi

a. Pathway Apendiksitis

10
b. Pathway Apendiktomi

F. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
a. Data demografi Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor register.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah.
2) Riwayat kesehatan sekarang Klien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan
bawah yang menembus kebelakang sampai pada punggung dan mengalami demam
tinggi
3) Riwayat kesehatan dahulu Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya
pada colon.
4) Riwayat kesehatan keluarga Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis
penyakit yang sama.
c. Pemeriksaan fisik ROS (review of system)

11
1. Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai, konjungtiva
anemis.
2. Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat, edema, TD
>110/70mmHg; hipertermi.
3. Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada simetris, ada
tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping hidung, tidak terpasang
O2, tidak ada ronchi, whezing, stridor.
4. Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya
infeksi dan pendarahan.
5. Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang
serta tidak bisa mengeluarkan urin secara lancer.
6. Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena proses perjalanan
penyakit.
7. Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis, pucat.
8. Abdomen : terdapat nyeri lepas, peristaltik pada usus ditandai dengan distensi
abdomen.
d. Pola fungsi kesehatan menurut Gordon.
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat Adakah ada kebiasaan merokok,
penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan olahraga (lama frekwensinya),
karena dapat mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.
2. Pola nutrisi dan metabolism. Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan
nutrisi akibat pembatasan intake makanan atau minuman sampai peristaltik usus
kembali normal.
3. Pola Eliminasi. Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi
kandung kemih, rasa nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan
mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan mengalami gangguan
yang sifatnya sementara karena pengaruh anastesi sehingga terjadi penurunan
fungsi.
4. Pola aktifitas. Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa
nyeri, aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya setelah
pembedahan.

12
5. Pola sensorik dan kognitif. Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta
pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang
tua, waktu dan tempat.
6. Pola Tidur dan Istirahat. Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat
sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
7. Pola Persepsi dan konsep diri. Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya
kebiasaan gerak segala kebutuhan harus dibantu. Klien mengalami kecemasan
tentang keadaan dirinya sehingga penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
8. Pola hubungan. Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa
melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat. penderita
mengalami emosi yang tidak stabil.
9. Pemeriksaan diagnostic.
a) Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis akut.
b) Foto polos abdomen : dapat memperlihatkan distensi sekum, kelainan non
spesifik seperti fekalit dan pola gas dan cairan abnormal atau untuk mengetahui
adanya komplikasi pasca pembedahan.
c) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi.
d) Pemeriksaan Laboratorium.
a. Darah : Ditemukan leukosit 10.000 – 18.0000 µ/ml.
b. Urine : Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan eritrosit.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon klien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual
maupun potensial (PPNI, 2017). Berdasarkan pada semua data pengkajian diagnosa
keperawatan utama yang dapat muncul pada appendicitis, antara lain :
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi (inflamasi appendicitis).
(D.0077)
b) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik(Prosedur oprasi). (D.0077)
c) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (Infeksi pada appendicitis).
(D.0130)

13
d) Risiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara aktif (muntah).
(D.0034)
e) Resiko hipovolemia ditandai dengan efek agen farmakologis (D.0034)
f) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi (D.0080)
g) Resiko Infeksi ditandai dengan efek prosedur infasive (D.0142).
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan atau intervensi keperawatan adalah perumusan tujuan,
tindakan dan penilaian rangkaian asuhan keperawatan pada klien berdasarkan analisa
pengkajian agar masalah kesehatan dan keperawatan klien dapat diatasi (Nurarif, A. H., &
Kusuma, 2016).
Table 2.1
Intervensi Keperawatan Pre Operatif
No SDKI SLKI SIKI
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (I.08238).
berhubungan dengan keperawatan diharapkan Observasi :
agen pencedera tingkat nyeri (L.08066) 1.1 Identifikasi lokasi ,
fisiologi (inflamasi dapat menurun dengan karakteristik, durasi, frekuensi,
appendicitis).(D.0077) Kriteria Hasil : kulaitas nyeri, skala nyeri,
1. Keluhan nyeri menurun. intensitas nyeri
2. Meringis menurun 1.2 Identifikasi respon nyeri non
3. Sikap protektif menurun. verbal.
4. Gelisah menurun. 1.3 Identivikasi factor yang
memperberat dan memperingan
nyeri.
Terapeutik :
1.4 Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
1.5 Fasilitasi istirahat dan tidur.
1.6 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
Edukasi :
1.7 Jelaskan strategi meredakan
nyeri
1.8 Ajarkan teknik non
farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri .

14
Kolaborasi :
1.9 Kolaborasi pemberian
analgetik jika perlu
2. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hipertermia
berhubungan dengan keperawatan diharapkan (I.15506). Observasi :
proses penyakit termoregulasi (L.14134) 2.1 Identifikasi penyebab
(Infeksi pada membaik dengan Kriteria hipertermia.
appendicitis). Hasil : 2.2 Monitor suhu tubuh.
(D.0130) 1. Menggigil menurun. 2.3 Monitor haluaran urine.
2. Takikardi menurun. Terapeutik :
3. Suhu tubuh membaik. 2.4 Sediakan lingkungan yang
4. Suhu kulit membaik. dingin.
2.5 Longgarkan atau lepaskan
pakaian.
2.6 Berikan cairan oral
Edukasi :
2.7 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
2.8 Kolaborasi pemberian cairan
dan elektrolit intravena, jika
perlu.
3. Risiko Hipovolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hypovolemia
berhubungan dengan keperawatan Status cairan (I.03116).
kehilangan cairan (L.0328) membaik dengan Observasi :
secara aktif (muntah). Kriteria Hasil : 3.1 Periksa tanda dan gejala
(D.0034) 1 Kekuatan nadi meningkat. hipovolemia.
2 Membrane mukosa 3.2 Monitor intake dan output
lembap. cairan.
3 Frekuensi nadi membaik. Terapeutik :
4 Tekanan darah membaik. 3.3 Berikan asupan cairan oral
5 Turgor kulit membaik. Edukasi :
3.4 Anjurkan memperbanyak
asupan cairan oral.
3.5 Anjurkan menghindari
perubahan posisi mendadak.
Kolaborasi :
3.6 Kolaborasi peberian cairan
IV.
4. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Reduksi ansietas (I.09314).
dengan kurang keperawatan tingkat ansietas Observasi :

15
terpapar informasi (L.01006) menurun dengan 4.1 Identivikasi saat tingkat
(D.0080) Kriteria Hasil : ansietas berubah.
1. Verbalisasi kebingungan 4.2 Monitor tanda tanda ansietas
menurun. verbal non verbal.
2. Verbalisasi khawatir 4.3 Temani klien untuk
akibat menurun. mengurangi kecemasan jika
3. Prilaku gelisah menurun. perlu.
4. Prilaku tegang menurun. 4.4 Dengarkan dengan penuh
perhatian.
4.5 Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan.
4.6 Jelaskan prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin dialami.
4.7 Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama klien, jika perlu.
4.8 Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi.
4.9 Latih teknik relaksasi.
4.10 Kolaborasi pemberian obat
antiansietas jika perlu.

Table 2.2
Intervensi keperawatan Post operatif

No SDKI SLKI SIKI


1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (I.08238)
berhubungan dengan keperawatan tingkat nyeri Observasi :
agen pencedera (L.08066) menurun dengan 1.1 Identifikasi lokasi ,
fisik(Prosedur oprasi). Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi,
(D.0077) 1. Keluhan nyeri menurun. kulaitas nyeri, intensitas nyeri,
2. Meringis menurun. skala nyeri.
3. Sikap protektif menurun. 1.2 Identifikasi respon nyeri non
4. Gelisah menurun. verbal.
5. Frekuensi nadi membaik. 1.3 Identivikasi factor yang
memperberat dan memperingan
nyeri.
Terapeutik :
1.4 Berikan teknik non
farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri.

16
1.5 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
1.6 Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri.
Edukasi :
1.7 Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri.
1.8 Jelaskan strategi meredakan
nyeri
1.9 Ajarkan teknik non
farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri.
1.10 Kolaborasi pemberian
analgetik bila perlu.
2. Risiko hipovolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hypovolemia
ditandai dengan efek keperawatan Status cairan (I.03116) Observasi :
agen farmakologis (L.0328) membaik dengan 2.1 Periksa tanda dan gejala
(D.0034) Kriteria Hasil : hipovolemia.
1. Kekuatan nadi 2.2 Monitor intake dan output
meningkat. cairan.
2. Membrane mukosa Terapeutik :
lembap. 2.3 Berikan asupan cairan oral
3. Frekuensi nadi membaik. Edukasi :
4. Tekanan darah membaik. 2.4 Anjurkan memperbanyak
5. Turgor kulit membaik. asupan cairan oral.
2.5 Anjurkan menghindari
perubahan posisi mendadak.
Kolaborasi :
2.6 Kolaborasi peberian cairan
IV
3. Risiko Infeksi ditandai Setelah dilakukan tindakan Pencegahan infeksi (I.14539)
dengan efek prosedur keperawatan tingkat infeksi Observasi :
infasive (D.0142). (L.14137) dengan Kriteria 2.1 Monitor tanda dan gejala
Hasil : infeksi local dan sistemik.
1. Kebersihan tangan 2.2 Batasi jumlah pengunjung
meningkat. 2.3 Berikan perawatan kulit pada
2. Kebersihan badan area edema.
meningkat. 2.4 Cuci tangan seblum dan
3. Demam, kemerahan, sesudah kontak dengan klien dan

17
nyeri, bengkak menurun. lingkungan klien.
4. Kadar sel darah putih 2.5 Pertahankan teknik aseptic
meningkat. pada klien beresiko tinggi.
Edukasi :
2.6 Jelaskan tanda dan gejala
infeksi.
2.7 Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar.
2.8 Ajarkan etika batuk.
2.9 Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi.
2.10 Anjurkan meningkatkan
asupan cairan.
Kolaborasi :
2.11 Kolaborasi pemberian
imunisasi jika perlu.

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat


untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan
yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Potter, P., & Perry, 2014).

Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana


keperawatan dilaksanakan melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan, pada
tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat
dalam rencana perawatan klien. Agar implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan
efektif terhadap biaya, pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien,
kemudian bila perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respons klien
terhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia
perawatan kesehatan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi
dan merevisi rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan berikutnya
(Wilkinson.M.J, 2012).

Komponen tahap implementasi :

a. Tindakan keperawatan mandiri.


a. Tindakan keperawatan edukatif.
b. Tindakan keperawatan kolaboratif.
c. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan keperawatan.

18
5. Evaluasi Keperawatan

Menurut (Setiadi, 2012) dalam buku konsep dan penulisan asuhan keperawatan tahapan
penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.
Terdapat dua jenis evaluasi:

a. Evaluasi Formatif (Proses)

Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil tindakan
keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi 4
komponen yang dikenal dengan istilah SOAP :

1) S (subjektif) : Data subjektif dari hasil keluhan klien, kecuali pada klien yang afasia.

2) O (objektif) : Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan oleh perawat.

3) A (analisis) : Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang dianalisis atau dikaji
dari data subjektif dan data objektif.

4) P (perencanaan) : Perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan keperawatan,


baik yang sekarang maupun yang akan datang dengan tujuan memperbaiki keadaan
kesehatan klien.

b. Evaluasi Sumatif (Hasil)

Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas proses
keperawatan selesi dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor
kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Ada 3 kemungkinan evaluasi yang
terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan (Setiadi, 2012), yaitu:

1) Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien menunjukan perubahan sesuai dengan
standar yang telah ditentukan.

2) Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian atau klien masih dalam
proses pencapaian tujuan jika klien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria
yang telah ditetapkan.

3) Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika klien hanya menunjukkan sedikit
perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali.

19
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Apendiksitis merupakan peradangan apendik vermivormis, dan merupakan
penyebab masalah abdomen yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih, 2010).
Prevalensi tindakan bedah di Amerika Serikat tahun 2009 dari 27 juta orang yang
menjalani operasi setiap pelayanan kesehatan, pasien dengan infeksi pada daerah operasi
abdomen akan menjalani perawatan dua kali lebih lama di rumah sakit daripada yang
tidak mengalami infeksi (Jitowiyono & Kristiyanasari, 2010). Berdasarkan Data Tabulasi
Nasional Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009, tindakan bedah
menempati urutan ke 11 dari 50 pertama penyakit di rumah sakit se-Indonesia dengan
persentase 12.8% yang diperkirakan 32% diantaranya merupakan tidakan bedah. Laporan
Departemen Kesehatan (Depkes) mengenai kejadian laparatomi atas indikasi apendiksitis
meningkat dari 162 kasus pada tahun 2005 menjadi 983 kasus pada tahun 2006 dan 1.281
kasus pada tahun 2007 (Hajidah & Haskas, 2014) . Departemen Kesehatan Republik
Indonesia menyatakan pada tahun 2008 jumlah penderita apendiksitis mencapai 591.819,
pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang dan insiden ini menempati urutan tertinggi di
antara kasus kegawatan abdomen lainnya (Depkes RI, 2013). Penderita apendiksitis yang
dirawat di rumah sakit pada tahun 2013 sebanyak 3.236 orang dan pada tahun 2014
sebanyak 4.351 orang (Depkes RI, 2013).
B. Saran
Untuk meningkatkan masyarakat yang peduli dan paham mengenai apendiksitis adalah seringnya
tim kesehatan berkomunikasi sekaligus memberi pemahaman langsung mengenai apendiksitis.
Sehingga kasus yang terjadi akibat adanya apendiksitis dan apendiktomi ini berangsur menurun
hingga pada kondisi kasus yang tidak mengkhawatirkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/7255/3/BAB%20II%20Tinjauan
%20Pustaka.pdf

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1410/4/BAB%20II.pdf

http://eprints.umpo.ac.id/6137/3/BAB%202.pdf

21

Anda mungkin juga menyukai