Anda di halaman 1dari 40

Tugas Mata Kuliah

Keperawatan Medikal Bedah 1

Ca Colon

Dosen Pembimbing:
Ns. Centia Komala Sari, M.Kep

Kelompok l:

1. Adryan Rifaldo 2021001


2. Anisa Salsabilla 2021006
3. Deni Idelvia 2021012
4. Fira Eka Putri 2021018
5. Gusnita Yespi Urly 2020023
6. Melvi Ardiva 2021029
7. Muhammad Ikhsan 2021034
8. Nofa Ramadhani 2021039
9. Risti Intan Nurhalizah 2021044
10.Suci Heriyentisa 2021049
11.Wifa Ghazala Fajri 2021054
12.Servy Dwi Rahayu 2020026

AKPER YPTK
Solok
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul Ca Colon tepat pada waktunya. Makalah Ca Colon tini disusun guna
memenuhi tugas dosen pembimbing pada mata kuliah keperawatan medikal bedah. Selain itu,
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibuk Ns. Centia Komala Sari, M.Kep, selaku
dosen pembimbing mata kuliah keperawan medikal bedah 1 yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang studi yang ditekuni penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses
pembuatan dan penyusunan makalah ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari dosen dan juga para pembaca
demi sempurnanya makalah ini.

Solok, 03 Oktober 2022

Pemakalah
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................i

Daftar Isi.................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.................................................................................................................1
1.2. Tujuan...............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1. LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi Ca Colon ........................................................................................................3
B. Klasifikasi Ca Colon....................................................................................................3
C. Etiologi Ca Colon.........................................................................................................5
D. Patofisiologi/WOC Ca Colon.......................................................................................6
E. Manifestasi Klinis Ca Colon........................................................................................7
F. Pemeriksaan Penunjang/Diagnosti dari Ca Colon........................................................7
G. Komplikasi Ca Colon...................................................................................................8
2.2. Askep Teoritis dari Glomerulonefritis
A. Identitas.........................................................................................................................8
B. Riwayat Penyakit...........................................................................................................9
C. Pengkajian Persistem.....................................................................................................10

BAB III
A. Penutup.........................................................................................................................12
B. Saran.............................................................................................................................12

Daftar Pustaka........................................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Karsinoma kolon ( ca colon ) adalah suatu bentuk keganasan dari masa abnormal/
neoplasma yang muncul dari jaringan ephitel kolon (Haryono, 2010). Kanker kolorektal
ditunjukkan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon dan rektum (Penzzoli dkk, 2007). Ca
Colon merupakan salah satu penyakit kanker dengan prevalensi kejadian yang cukup tinggi.
Hal tersebut didukung oleh data dari Globocan (2012) yang menyatakan bahwa insiden
kejadian kanker kolorektal diseluruh dunia menempati urutan ketiga yaitu 9,7% atau
sebanyak 1.360 jiwa dari 100.000 penduduk. Dan menduduki peringkat keempat sebagai
penyebab kematian terbesar diseluruh dunia yaitu 8,5% atau 694 jiwa dari 100.000 penduduk.
Di Indonesia sendiri angka kejadian Ca Colon menempati urutan ketiga terbanyak menurut
Depkes dengan jumlah kasus 1,8 dalam 100.000 penduduk ( Haryono, 2012). Setidaknya
pada setiap tahunnya sekitar 1.666 orang meninggal akibatkanker kolorektal (Rahmianti,
2013). Tingginya angka kejadian Ca Colon diperlukan penatalaksanaan yang tepat untuk
mengatasinya. Penatalaksanaan pada kanker kolon terdiri dari penatalaksanaan medis, bedah
dan keperawatan. Penatalaksanaan bedah dilakukan tergantung tingkat penyebaran dan lokasi
tumor itu sendiri. Menurut Gravante et al (2016) menyatakan bahwa salah satu tindakan
pembedahan yang dapat dilakukan pada kanker kolon yaitu dengan tindakan hemicolectomy.
Hemicolectomy merupakan tindakan pembedahan dengan mengangkat sebagiandari kolon
beserta pembuluh darah dan saluran limfe. Hemicolectomy dilakukan untuk kanker kolon
yang masih dapat direseksi dan tidak ada metastasis jauh (Kemenkes, 2017). Prosedur ini
dilakukan dengan cara membuka rongga perut atau disebut dengan laparatomi abdomen.
Laparatomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara membuka dinding abdomen
untuk mencapai isi rongga abdomen (Jitowiyono, 2010).

Pasca dilakukannya tindakan laparatomi berupa sayatan pada abdomen maka akan
terjadi perubahan kontinuitas jaringan, tubuh melakukan mekanisme untuk pemulihan dan
penyembuhan pada jaringan yang mengalami sayatan atau perlukaan. Pada saat inilah timbul
respon tubuh pasien dalam merasakan nyeri pasca pembedahan. Pada proses operasi
digunakan anestesi agar pasien tidak merasakan nyeri pada saat dibedah. Namun setelah
operasi selesai dan pasien mulai sadar, ia akan merasakan nyeri pada bagian tubuh yang
mengalami pembedahan (Wall & Jones, 1991).
Nyeri pasca pembedahan merupakan salah satu masalah yang paling sering terjadi
pada setiap pasien post operasi. Nyeri yang dirasakan timbul dari luka bekas insisi yang
disebabkan karena adanya stimulasi nyeri sehingga keluarnya mediator nyeri yang dapat
menstimulasi transmisi impuls di sepanjang serabut syaraf aferen nosiseptor ke substansi dan
diinterpretasikan sebagai nyeri (Smeltzer & Bare, 2002). Nyeri dirasakan secara berbeda-
beda dari setiap masingmasing individu. Hal tersebut dikarenakan nyeri sebagai pengalaman
yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya suatu kerusakan (Potter & Perry, 2009). Seorang Individu
dapat berespons secara biologi dan prilaku akibat nyeri yang dapat menimbulkan respon fisik
dan psikis. Respon fisik meliputi keadaan umum, respon wajah dan perubahan tanda – tanda
vital, sedangkan respon psikis akibat nyeri dapat merangsang respon stres sehingga sistem
imun dalam peradangan dan menghambat penyembuhan (Potter & Perry, 2009). Keluhan
pasca laparatomi tidak hanya nyeri. Menuruti Muttaqin dan sari (2011) menyatakan bahwa
komplikasi yang bisa terjadi pada pasien paska laparatomi adalah adanya kelemahan
sehingga pasien tidak toleran terhadap aktifitas sehari-harinya, resiko infeksi karena luka
insisi post laparatomi dan pemantauan terhadap nutrisi dan diit setelah menjalani operasi.
Oleh karena itu diperlukan penatalaksanaan yang menyeluruh untuk mengatasi masalah
tersebut. Terdapat beberapa penatalaksanaan dalam mengatasi komplikasi yang muncul pasca
laparatomi.

menurut Smeltzer dan Bare (2009) pentalaksanaan pada pasien post laparatomi yaitu
memberikan posisi semi fowler, monitor cairan secara intra vena dan pemantauan selang
drain, serta pemasangan NGT untuk pengurangan distensi abdomen serta manajemen nyeri.
Hal tersebut juga didukung oleh Muttaqin dan sari (2011) yang menyatakan bahwa
mengoptimalkan oksigenasi dan ventilasi, mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit, mengajarkan ambulasi dan mobilisasi dini untuk mencegah tromboplebitis, dan
manajemen nyeri dapat dijadikan cara untuk mencegah komplikasi pasca laparatomi.
Individu yang merasakan keluhan dan komplikasi pasca laparatomi akan mencoba mencari
upaya untuk mengatasi keluhan tersebut. Disanalah peran perawat dituntut untuk memberikan
intervensi dalam mengatasi masalah keperawatan seperti keluhan nyeri pasca laparatomi.
Intervensi yang diberikan dapat berupa farmakologis maupun non farmakologis. Teknik
farmakologi adalah cara yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri terutama untuk nyeri
yang sangat hebat yang berlangsung selama berjam- jam atau bahkan berhari – hari.
Pentingnya teknik farmakologi dalam menurunkan skala nyeri, dapat dikombinasikan dengan
teknik non farmakologis mungkin cara yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri
(Smeltzer & Bare, 2002).

Teknik non farmakologis merupakan salah satu terapi komplementer sebagai


alternatif dalam mengatasi nyeri yang muncul pasca operasi atau pembedahan. Menurut
Potter dan Perry (2013) teknik non farmakologis merupakan suatu tindakan mandiri perawat
dalam mengurangi nyeri, diantaranya seperti teknik relaksasi, distraksi, biofeedback,
Transcutan Elektric Nervous Stimulating (TENS), guided imagery, terapi musik, accupresur,
aplikasi panas dan dingin, massage dan hipnotis. Salah satu terapi nonfarmakologi yang dapat
menurunkan intensitas nyeri yaitu dengan teknik massage. Massage adalah salah satu
intervensi keperawatan dengan memberikan stimualsi pada kulit dan jaringan dengan
berbagai level tekanan yang bertujuan untuk menurunkan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan
memperbaiki sirkulasi (Bulecheck,2013). Massage efektif dalam memberikan relaksasi fisik
dan mental, mengurangi nyeri dan meningkatkan keefektifan dalam pengobatan. Massage
pada daerah yang diinginkan selama 3-5 menit dapat merelaksasikan otot dan memberikan
istirahat yang tenang dan kenyamanan (Potter & Perry, 2009). Massage terdiri dari beberapa
bagian, dan salah satunya yaitu foot massage. Foot massage merupakan salah satu terapi
komplementer yang dapat digunakan sebagai manajemen nyeri pasca operasi atau
pembedahan. Foot massage therapy merupakan gabungan dari empat teknik masase yaitu
effleurage (mengusap), petrissage (memijit), Friction (menggosok) dan tapotement
(menepuk). Foot massage merupakan mekanisme modulasi nyeri yang dipublikasikan untuk
menghambat rasa sakit dan untuk memblokir transmisi impuls nyeri sehingga menghasilkan
analgetik dan nyeri yang dirasakan setelah operasi diharapkan berkurang (Chanif, 2012).
Dimana kaki mewakili dari seluruh organ – organ yang ada didalam tubuh. Foot Massage
dilakukan 2 kali sehari pagi dan sore hari mulai hari ke dua post operasi selama 20 menit
setelah 4-6 jam pemberian obat penghilang nyeri (Chanif, 2013). Foot massage terbukti
efektif dalam mengurangi respon nyeri yang dirasakan individu pasca operasi.

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Kim (2002), dikutip dari Chanif (2013)
terhadap pasien post abdominal surgery didapatkan penurunan intensitas nyeri setelah foot
massage dilakukan secara teratur. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Shehata (2016) di
rumah sakit Menoufia, Mesir menunjukkan bahwa terdapat penurunan skala nyeri pada
pasien post operasi abdomen setelah diberikan foot massage. Foot massage sangat dianjurkan
sebagai salah satu intervensi keperawatan yang dapat meningkatkan peran perawat dalam
manajemen nyeri, karena sebagai metode penghilang nyeri yang aman, tidak membutuhkan
peralatan yang khusus, mudah dilakukan dan mempunyai efekktifitas yang tinggi
(Chanif,2013). Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Cassileth dan Vickers (2004) yang
menunjukkan bahwa terdapat 50% penurunan nyeri, kelelahan, stress/kecemasan, mual dan
muntah pada klien paska operasi yang secara terus menerus menggunakan terapi foot
massase.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan mahasiswa pada tanggal 8 Agustus


2018 dengan salah satu perawat diruangan Bedah Pria RSUP Dr.M.Djamil Padang terkait
manajemen nyeri secara non farmakologi pada pasien post operasi abdomen di dapatkan
bahwa teknik relaksasi napas dalam dan teknik distraksi merupakan terapi komplementer
yang paling sering diberikan. Sedangkan terapi foot massage belum pernah dilakukan sebagai
terapi non farmakologis dalam manajemen nyeri. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan
foot massage diruangan dan melihat keefektifannya sebagai Evidence Based Practise (EBP)
dalam mengatasi nyeri pada pasien post operasi terutama operasi abdomen. Hal tersebut
dikarenakan foot massage merupakan salah satu terapi komplementer yang telah terbukti
dalam berbagai penelitian dapat mengurangi nyeri pasca operasi .

Berdasarkan data sebulan terakhir yaitu bulan Agustus 2018 di ruang bedah pria
RSUP Dr.M.Djamil Padang terdapat 9 orang pasien yang dirawat pasca operasi laparatomi
dan salah satunya Tn.Y. Klien mengeluhkan nyeri pada luka post operasi di abdomen dengan
skala nyeri 6. Klien juga mengalami penurunan nafsu makan disertai mual dan muntah. Oleh
karena itu penulis tertarik untuk memberikan asuhan keperawatan pada Tn.Y dengan
menggunakan Evidence Based Practise (EBP) yaitu foot massage dalam mengatasi nyeri
pada pasien post operasi laparatomy.

1.2.Tujuan

1. Dapat memahami Definisi Ca Colon


2. Dapat memahami Klasifikasi Ca Colon
3. Dapat memahami patofisiologi Ca Colon
4. Dapat memahami Etiologi Ca Colon
5. Dapat memahami Manifestasi Klinis Ca Colon
6. Dapat memahami Pemeriksaan Penunjang/Diagnosti dari Ca Colon
7. Dapat memahami Komplikasi Ca Colon
8. Dapat memahami Askep Teoritis dari Ca Colon
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. LAPORAN PENDAHULUAN


A. Definisi
a. Menurut ahli
Karsinoma kolon ( ca colon ) adalah suatu bentuk keganasan dari masa
abnormal/ neoplasma yang muncul dari jaringan ephitel kolon (Haryono, 2010).
Kanker kolorektal ditunjukkan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon dan
rektum (Penzzoli dkk, 2007).
b. Menurut ANA(American Nurses Association)
Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar,
terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan/atau rektum (bagian kecil
terakhir dari usus besar sebelum anus). Menurut American Cancer Society, kanker
kolorektal (KKR) adalah kanker ketiga terbanyak dan merupakan kanker penyebab
kematian ketiga terbanyak pada pria dan wanita di Amerika Serikat.
c. RS UNAND
Kanker kolon (usus besar) adalah Tumbuhnya sel kanker yang ganas didalam
permukaan usus besar atau rektum.
d. Alodokter
Kanker kolorektal adalah kanker yang tumbuh di usus besar (kolon) atau di
bagian paling bawah usus besar yang terhubung ke anus (rektum). Kanker kolorektal
dapat dinamai kanker kolon atau kanker rektum, tergantung pada lokasi tumbuhnya
kanker.

Kesimpulan:
Kanker kolon (Ca Colon) adalah sel kanker yang ganas berasal dari jaringan usus
besar, di bagian paling bawah kolon (bagian terpanjang dari usus besar) yang
terhubung bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus(rektum).

B. Klasifikasi
Klasifikasi kanker kolon menurut modifikasi DUKES adalah sebagai berikut:
A: Kanker hanya terbatas pada mukosa dan belum ada metastasis.
B1: kanker telah meinfiltrasi lapisan muskularis mukosa.
B2: kanker telah menembus lapisan muskularis sampai lapisan propria.
C1 : kanker telah mengadakan metastasis ke kelenjar getah bening sebanyak satu
sampai
empat buah
C2 : kanker telah mengadakan metastasis ke kelenjar getah bening lebih dari lima
buah.
D : kanker telah mengadakan metastasis regional tahap lanjut dan penyebaran yang
luas
dan tidak dapat di operasi lagi.

C. Etiologi
Adapun beberapa faktor yang menpengaruhi kejadian kanker kolorektal menurut
(Soebachman, 2011) yaitu :
1. Usia
Risiko terkena kanker kolon meningkat dengan bertambahnya usia. Kebanyakan
kasus terjadi pada orang yang berusia 60 - 70 tahun. Jarang sekali ada penderita
kanker kolon yang usianya dibawah 50. Kalaupun ada, bisa dipastikan dalam sejarah
keluarganya ada yang terkena kanker kolon juga.
2. Polip
Adanya polip pada kolon, khususnya polip jenis adenomatosa. Jika polip ini langsung
dihilangkan pada saat ditemukan, tindakan penghilangan tersebut akan bisa
mengurangi risiko terjadinya kanker kolon di kemudian hari.
3. Riwayat kanker
Seseorang yang pernah terdiagnosis mengidap kanker kolon ( bahkan pernah dirawat
untuk kanker kolon ) berisiko tinggi terkena kanker kolon lagi dikemudian hari.
Wanita yang pernah mengidap kanker ovarium ( indung telur), kanker uterus, dan
kanker payudara juga memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena kanker kolon.
4. Faktor keturunan / genetika
Sejarah adanya kanker kolon dalam keluarga, khususnya pada keluarga dekat. Orang
yang keluarganya punya riwayat penyakit FAP ( Familial Adenomatous Polyposis )
atau polip adenomatosa familial memiliki risiko 100% untuk terkena kanker kolon
sebelum usia 40 tahun bila FPA-nya tidak diobati. Penyakit lain dalam keluarga
adalah HNPCC ( Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer ), yakni penyakit
kanker kolorektal nonpolip yang menurun dalam keluarga, atau sindrom Lynch.
5. Penyakit kolitis ( radang kolon ) ulseratif yang tidak diobati.
6. Kebiasaan merokok.
Perokok memiliki risiko jauh lebih besar untuk terkena kanker kolon dibandingkan
dengan yang bukan perokok.
7. Kebiasan makan
Pernah diteliti bahwa kebiasaan makan banyak daging merah ( dan sebaliknya sedikit
makan buah, sayuran serta ikan ) turut meningkatkan risiko terjadinya kanker kolon.
Mengapa? Sebab daging merah ( sapi dan kambing ) banyak mengandung zat besi.
Jika sering mengonsumsi daging merah berarti akan kelebihan zat besi.
8. Terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung pewarna, apalagi jika
pewarnanya adalah pewarna nonmakanan.
9. Terlalu banyak mengonsumsi makanan makanan yang mengandung bahan
pengawet.
10. Kurangnya aktivitas fisik, Orang yang beraktivitas lebih banyak memiliki risiko
lebih rendah untuk terkena kanker kolon.
11. Berat badan yang berlebihan ( obesitas ).
12. Infeksi virus tertentu seperti HPV (Human Papiloma Virus) turut andil dalam
terjadinya kanker kolon.
13. Kontak dengan zat-zat kimia tertentu. Misalnya logam berat, toksin, dan ototoksin
serta gelombang elektromagnetik.
14. Keniasaan mengonsumsi minuman beralkohol, khususnya bir. Usus mengubah
alkohol menjadi asetilaldehida yang meningkatkan risiko
terkena kanker kolon.
15. Bekerja sambil duduk seharian. Misalnya para eksekutif, pegawai administrasi,
atau pengemudi kendaran umum.
D. Patofisiologi dan Pathway/WOC
a. Patofisiologi
Kanker kolon dan rektum (95 %) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel
usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta
merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat
terlepas dari tumor primer dan menyebar kebagian tubuh yang lain (paling sering ke
hati) Japaries, 2013. Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi
penyumbatan lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta
perdarahan. Penetrasi kanker dapat menyebabkan perforasi dan abses, serta timbulnya
metastase pada jaringan lain. Prognosis relativ baik bila lesi terbatas pada mukosa dan
submukosa pada saat reseks dilakukan, dan jauh lebih jelek telah terjadi mestatase ke
kelenjr limfe (Japaries, 2013).
Menurut Diyono (2013), tingakatan kanker kolorektal dari duke sebagai berikut :
1. Stadium 1 : terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding rektum dan kolon).
2. Stadium 2 : menembus dinding otot, belum metastase.
3. Stadium 3 : melibatkan kelenjar limfe.
4. Stadium 4 : metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke organ lain.
Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker usus yang dapat tumbuh
secara lokal dan bermetastase luas. Adapun cara penyebaran ini melalui beberapa
cara. Penyebaran secara lokal biasanya masuk kedalam lapisan dinding usus sampai
keserosa dan lemak mesentrik, lalu sel kanker tersebut akanmengenai organ
disekitarnya. Adapun penyebaran yang lebih luas lagi didalam lumen usus yaitu
melalui limfatik dan sistem sirkulasi. Bila sel tersebut masuk melalui sistem sirkulasi,
maka sel kanker tersebut dapat terus masuk ke organ hati, kemudian metastase ke
organ paru-paru. Penyebaran lain dapat ke adrenal, ginjal, kuli, tulang, dan otak. Sel
kanker pu dapat menyebar ke daerah peritoneal pada saat akan dilakukan reseksi
tumor (Diyono, 2013).
Hampir semua kanker kolorektal ini berkembang dari polip adenoma jenis
villous, tubular, dan viloutubular. Namun dari ketiga jenis adenoma ini, hanya jenis
villous dan tubular yang diperkirakan akan menjadi premaligna. Jenis tubular
berstruktur seperti bola dan bertangkai, sedangkan jenis villous berstuktur tonjolan
seperti jari-jari tangan dan tidak bertangkai. Kedua jenis ini tumbuh menyerupai
bunga kol didalam kolon sehingga massa tesebut akan menekan dinding mukosa
kolon. Penekanan yang terus-menerus ini akan mengalami lesi-lesi ulserasi yang
akhirnya akan menjadi perdarahan kolon. Selain perdarahan, maka obstruksi pun
kadang dapat terjadi. Hanya saja lokasi tumbuhnya adenoma tersebut sebagai acuan.
Bila adenoma tumbuh di dalam lumen luas (ascendens dan transversum), maka
obstruksi jarang terjadi. Hal ini dikarenakan isi ( feses masih mempunyai konsentrasi
air cukup) masih dapat melewati lumen tersebut dengan mengubah bentuk
(disesuaikan dengan lekukan lumen karena tonjolan massa). Tetapi bila adenoma
tersebut tumbuh dan berkembang di daerah lumen yang sempit (descendens atau
bagian bawah), maka obstruksi akan terjadi karena tidak dapat melewati lumen yang
telah terdesak oleh massa. Namun kejadian obstruksi tersebut dapat menjadi total atau
parsial (Diyono, 2013).
Secara genetik, kanker kolon merupakan penyakit yang kompleks. Perubahan
genetik sering dikaitkan dengan perkembangan dari lesi permalignan (adenoma)
untuk adenokarsinoma invasif. Rangkain peristiwa molekuler dan genetik yang
menyebabkan transformsi dari keganasan polip adenomatosa. Proses awal adalah
mutasi APC (adenomatosa Poliposis Gen) yang pertama kali ditemukan pada individu
dengan keluarga adenomatosa poliposis (FAP= familial adenomatous polyposis).
Protein yang dikodekan oleh APC penting dalam aktivasi pnkogen c-myc dan
siklinD1, yang mendorong pengembangan menjadi fenotipe ganas (Muttaqin, 2013).
b. WOC/PATHWAY

E. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda kanker usus
Seperti yang sudah dijelaskan, sebagian besar orang sulit mendeteksi kanker
kolorektal. Terlebih, gejala awal kanker kolorektal sering memicu masalah kesehatan
lainnya seperti wasir, infeksi saluran cerna, irritable bowel syndrome, hingga radang
usus.
Secara umum, ciri-ciri kanker usus adalah sebagai berikut: 
1. Sakit perut, kram, kembung, atau gas
2. Diare atau sembelit
3. Kelemahan dan kelelahan
4. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
5. Perubahan konsistensi tinja, seperti tinja yang encer dan sempit
6. Keluarnya darah dalam tinja sehingga tinja tampak berwarna coklat tua atau hitam.
Pendarahan juga bisa berwarna merah terang dari dubur. 
7. Rasa mulas yang menyebabkan Anda menginginkan buang air besar terus menerus
walaupun sudah buang air besar
8. Sindrom iritasi usus
9. Anemia defisiensi besi
10. Penurunan berat badan dan sakit perut biasanya terjadi pada stadium lanjut
penyakit.
11. Jika kanker menyebar ke lokasi baru di tubuh, seperti hati, maka akan memicu 
gejala tambahan, seperti penyakit kuning.  
12. Kanker usus pada wanita juga bisa berupa rasa sakit ketika menstruasi, menderita
anemia ketika menstruasi, hingga siklus menstruasi yang tidak teratur.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
1. Endoskopi:
Pemeriksaan endoskopi perlu dilakukan baik sigmoidoskopi maupun kolonoskopi.
Gambaran yang khas karsinoma atau ulkus akan dapat dilihat dengan jelas pada
endoskopi, dan untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan biopsi.
a). Perubahan metaplasia pada epitel dinding kolon
b). Kerusakan jaringan pembuluh darah pada dinding kolon
c). Kompresi ujung saraf dinding kolon
d). Intervensi bedah kolostomi
e). Asupan nutrisi tidak adekuat
f). Pasca bedah
g). Pecahnya pembuluh darah dinding kolon
h). Perdarahan intestinal, feses bercampur darah
i). Nyeri kronik
j). Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
k). Luka pasca bedah
l). Risiko Infeksi

2. Radiologis
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan antara lain adalah foto dada dan foto
kolon (barium enema). Foto dada dilakukan untuk melihat apakah ada metastasis
kanker ke paru.Pemeriksaan dengan enema barium mungkin dapat memperjelas
keadaan tumor dan mengidentifikasikan letaknya. Tes ini mungkin menggambarkan
adanya kebuntuan pada isi perut, dimana terjadi pengurangan ukuran tumor pada
lumen. Luka yang kecil kemungkinan tidak teridentifikasi dengan tes ini. Enema
barium secara umum dilakukan setelah
3. Ultrasonografi (USG)
Sulit dilakukan untuk memeriksa kanker pada kolon, tetapi digunakan untuk melihat
ada tidaknya metastasis kanker ke kelenjar getah bening di abdomen dan hati.
4. Histopatologi
Biopsy digunakan untuk menegakkan diagnosis. Gambar histopatologis karsinoma
kolon adalah adenokarsinoma dan perlu ditentukan diferensiansi sel.
5. Laboratorium
Pemeriksaan Hb penting untuk memeriksa kemungkinan pasien mengalami
perdarahan (FKUI, 2001 : 210). Tumor marker (petanda tumor) yang biasa dipakai
adalah CEA. Kadar CEA lebih dari 5 mg/ ml biasanya ditemukan karsinoma
kolorektal yang sudah lanjut. Berdasarkan penelitian, CEA tidak bisa digunakan untuk
mendeteksi secara dini karsinoma kolorektal, sebab ditemukan titer lebih dari 5 mg/ml
hanya pada sepertiga kasus stadium III. Pasien dengan buang air besar lendir
berdarah, perlu diperiksa tinjanya secara bakteriologi terhadap shigella dan juga
amoeba.
6. Scan (misalnya, MR1. CZ: gallium) dan ultrasound
Dilakukan untuk tujuan diagnostik, identifikasi metastatik, dan evaluasi respons pada
pengobatan.
7. Biopsi (aspirasi, eksisi, jarum)
Dilakukan untuk diagnostik banding dan menggambarkan pengobatan dan dapat
dilakukan melalui sum – sum tulang, kulit, organ dan sebagainya.
1. Pemeriksaan laboratorium urin
2. Test gangguan kompleks imun
3. Pada rontgen
4. Pemeriksaan sinar-X pada dada
5. Elektrokardiogram (EKG)
6. Mungkin normal namun dapat juga menunjukkan adanya hipertensi disertai
hipertropi ventrikel kiri dan gangguan elektrolit.
7. Pemeriksaan laboratorium darah

G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat muncul akibat kanker kolorektal adalah obstruksi,
perdarahan saluran cerna bagian bawah, dan perforasi kolon. Perforasi kolon juga
merupakan komplikasi dari divertikulitis. Komplikasi juga dapat muncul setelah
tindakan operasi, seperti infeksi dan risiko kebocoran anastomosis. Komplikasi
lainnya meliputi perdarahan, tromboemboli, dan komplikasi pasca radiasi.
Pada pasien dengan usia semakin lanjut atau stadium kanker yang semakin tinggi,
risiko terjadinya komplikasi akan semakin besar.

2.2. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


A. Identitas
a). Jenis kelamin : kanker usus ini lebih banyak menyerang pada laki –laki.
b). Umur : paling sering menyerang orang yang berusia lebih dari 40 tahun
B. Riwayat penyakit
1. Keluhan utama
2. Alasan masuk rumah sakit
Area nyeri: daerah perut
Gastrointestinal: darah dalam tinja, mengeluarkan gas secara berlebihan,
perubahan kebiasaan buang air besar, sembelit atau tinja tipis
Seluruh tubuh: anemia atau kelelahan
Juga umum: penurunan berat badan
3. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama.Lakukan
pertanyaan yang bersifat ringkas sehingga jawaban yang diberikan klien hanya
kata “ya” atau “tidak” atau hanya dengan anggukan kepala atau gelengan.
4. Riwayat penyakit sebelumnya
Pengkajian yang mendukung adalah mengkaji apakah sebelumnya klien
pernah menderita penyakit lain. Orang yang sudah pernah terkena kanker usus
besar dapat terkena kanker usus besar untuk kedua kalinya.Selain itu, wanita
dengan riwayat kanker di indung telur, uterus (endometrium) atau payudara
mempunyai tingkat risiko yang lebih tinggi untuk terkena kanker usus besar.
5. Riwayat penyakit keluarga
Secara patologi kanker colon tidak diturunkan, tetapi perawat perlu
menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga
lainnya mempunyai riwayat kanker usus besar pada keluarga, maka
kemungkinan terkena penyakit ini lebih besar, khususnya jika saudara anda
terkena kanker pada usia muda
6. Riwayat pengobatan
Pengobatan kanker kolorektal tergantung pada kondisi kesehatan pasien, serta
lokasi dan stadium kanker. Berikut ini adalah beberapa metode pengobatan
kanker kolorektal:
a). Operasi
Operasi adalah metode utama untuk mengatasi kanker kolorektal. Ada
beberapa jenis operasi yang dapat dipilih oleh dokter, yaitu:
Polipektomi, untuk mengangkat polip kolorektal berukuran kecil melalui
prosedur kolonoskopi
Endoscopic mucosal resection, untuk mengangkat polip kolorektal dan lapisan
dalam usus besar, melalui kolonoskopi
Bedah laparoskopi, untuk mengangkat polip yang tidak dapat ditangani
dengan prosedur kolonoskopi
Partial colectomy, untuk memotong bagian usus besar yang terserang kanker,
bersama sebagian jaringan sehat di sekitarnya
Pada pasien yang menjalani pengangkatan bagian kolon atau rektum yang
terkena kanker, dokter akan melakukan anastomosis, yaitu penyatuan masing-
masing ujung saluran cerna yang sudah dipotong dengan cara dijahit.
Jika bagian kolon yang sehat hanya tersisa sedikit dan tidak mungkin
disambung, dokter akan melakukan pembuatan lubang di dinding perut untuk
jalan keluar tinja (kolostomi) dan menempelkan kantong di bagian luar
dinding perut. Tinja pasien akan keluar melalui stoma dan tertampung di
kantong yang ditempelkan.
Kolostomi bisa bersifat sementara atau permanen. Kolostomi sementara
dilakukan hingga bagian kolon yang dipotong pulih. Sedangkan kolostomi
permanen dilakukan pada pasien yang telah menjalani pengangkatan rektum
secara keseluruhan.
Operasi pengangkatan kanker kolorektal dapat diikuti dengan operasi
pengangkatan kelenjar getah bening, untuk melihat apakah kelenjar tersebut
sudah terkena kanker.

b). Kemoterapi
Kemoterapi adalah pemberian obat-obatan untuk membunuh atau
menghancurkan sel kanker. Kemoterapi dapat dilakukan sebelum operasi
untuk mengecilkan ukuran kanker agar mudah diangkat. Selain itu, kemoterapi
juga bisa dilakukan setelah operasi untuk mengurangi risiko kanker kolorektal
kembali kambuh.
Dokter dapat meresepkan obat tunggal atau kombinasi obat, seperti
fluorouracil, capecitabine, dan oxaliplatin. Bila diperlukan, dokter dapat
mengombinasikan obat kemoterapi dengan terapi target.

c). Terapi target


Terapi target adalah pemberian obat-obatan yang secara spesifik menargetkan
gen, protein, atau jaringan tubuh yang berkontribusi dalam perkembangan sel-
sel kanker. Obat yang digunakan dalam terapi target berfungsi untuk
menghambat pertumbuhan sel kanker dan mencegah kerusakan lebih lanjut
pada sel-sel yang sehat.
Obat yang digunakan dalam terapi target dapat berupa obat tunggal atau
kombinasi. Jenis obatnya antara lain bevacizumab, regorafenib, dan
cetuximab.

d). Imunoterapi
Imunoterapi adalah pemberian obat-obatan yang merangsang daya tahan tubuh
untuk melawan sel kanker. Terapi ini biasanya ditujukan untuk pasien kanker
kolorektal stadium lanjut.
Imunoterapi bekerja dengan dua cara, yaitu:
1). Obat yang mendorong sistem kekebalan tubuh untuk menyerang sel kanker
dengan lebih efektif
2). Obat dengan kandungan senyawa buatan, yang meniru cara kerja sistem
kekebalan tubuh

e). Radioterapi
Radioterapi atau terapi radiasi adalah pengobatan yang menggunakan sinar-X
atau proton untuk membunuh sel kanker. Radioterapi dapat dilakukan dengan
menembakkan sinar radiasi dari mesin radioterapi ke lokasi kanker, atau
dengan menempatkan material radioaktif ke dalam tubuh pasien (brakiterapi).

Radioterapi bisa dilakukan sebelum operasi untuk menciutkan ukuran kanker,


atau setelah operasi untuk menghancurkan sel kanker yang mungkin
tertinggal. Jika diperlukan, radioterapi dapat dikombinasikan dengan
kemoterapi.

f). Ablasi
Ablasi digunakan untuk menghancurkan kanker yang yang telah menyebar ke
hati (liver) atau paru-paru dan berdiameter kurang dari 4 cm. Ada empat
teknik ablasi yang dapat digunakan untuk menangani kanker kolorektal, yaitu:
1). Radiofrequency ablation, yaitu teknik ablasi dengan menggunakan
gelombang radio berfrekuensi tinggi
2). Microwave ablation, yaitu teknik ablasi dengan memanfaatkan suhu tinggi
dari gelombang mikro elektromagnetik
3). Ethanol ablation, yaitu teknik ablasi yang dilakukan dengan menyuntikkan
alkohol tepat ke area tumor, menggunakan bantuan USG atau CT scan
4). Cryosurgery atau cryotherapy, yaitu teknik ablasi yang dilakukan dengan
membekukan tumor, menggunakan nitrogen cair

g). Embolisasi
Embolisasi digunakan untuk menghancurkan kanker kolorektal yang telah
menyebar ke liver dan berdiameter lebih dari 5 cm. Teknik ini bertujuan untuk
menyumbat arteri liver yang memberi asupan nutrisi dan oksigen ke kanker.
Embolisasi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
Embolisasi arteri, yang dilakukan dengan memasukkan zat penyumbat arteri
melalui kateter
1). Kemoembolisasi, yang dilakukan dengan mengombinasikan embolisasi
arteri dengan kemoterapi
2). Radioembolisasi, yang dilakukan dengan mengombinasikan embolisasi
arteri dengan radioterapi
7. Riwayat Tumbuh Kembang Kelainan – kelainan fisik atau kematangan dari
perkembangan dan pertumbuhan seseorang yang dapat mempengaruhi
keadaan penyakit seperti gizi buruk atau obesitas.
8. Riwayat Sosial Ekonomi Pada riwayat sosial ekonomi pasien terkait makanan
dan nutrisi yang dikonsumsi oleh pasien setiap harinya.
9. Riwayat Psikologi Cara pasien menghadapi penyakitnya saat ini, dapat
menerima, ada tekanan psikologis berhubungan dengan sakitnya itu.Kita kaji
tingkah laku dan kepribadian
10. Persepsi kesehatan dan cara pemeliharaan kesehatan Cara klien menjaga
kesehatan, cara menjaga kesehatan, pengetahuan klien tahu tentang
penyakitnya, tanda dan gejala apa yang sering muncul, perilaku mengatasi
kesehatan, pengetahuan penyebab sakitnya.
11. Nutrisi metabolik Makan atau minum, frekuensi, jenis, waktu, volume, porsi,
obat-obatan yang dikonsumsi.
12. Eliminasi Pola buang air besar atau buang air kecil : teratur, frekuensi, warna,
konsistensi, keluhan nyeri.
13. Aktivitas dan latihan Aktivitas sehari-hari yang dilakukan dalam memenuhi
kebutuhan seharihari, bantuan dalam melakukan aktivitas, keluhan klien saat
beraktivitas.
14. Tidur dan istirahatKualitas tidur klien, kebiasaan tidur klien, kebiasaan
sebelum tidur klien.
15. Kognitif dan persepsi sensori Pengkajian nyeri PQRST, penurunan fungsi
Panca indera, alat bantu yang digunakan misalnya kaca mata.
16. Persepsi dan konsep diri Cara klien menggambarkan dirinya sendiri,
pandangan klien terhadap penyakitnya, harapan klien terhadap penyakitnya.
17. Peran dan hubungan dengan sesama Hubungan klien dengan sesama,
hubungan klien dengan orang lain keluarga, perawat dan dokter
18. Reproduksi dan seksualitas Gangguan pada hubungan seksualitas klien,
mekanisme koping dan toleransi terhadap stres.
19. Mekanisme koping dan toleransi terhadap stres Cara klien menghadapi
masalah, cara klien mengatasi solus.
20. Nilai dan kepercayaan Kebiasaan dalam menjalankan agama, tindakan medis
yang bertentangan dengan kepercayaan klien, menjalankan ajaran agama yang
dianut klien, persepsi terkait dengan penyakit yang dialami dilihat dari sudut
pandang nilai dan kepercayaan klien.

C. Pengkajian persistem

1. Sistem pernafasan
Keluhan: sesak, nyeri waktu bernafas, batuk produktif
a. inspeksi
- bentuk dada : simetris
- irama nafas : teratur
- pola pernafasan : normal
b. Palpasi
- ekspansi paru : anterior dada
c. Perkusi
- donor
d. Aukultrasi
- suara nafas : vesikuler
- suara ucapan : baik

2. Sistem kardiovaskuler
Nyeri dada tidak ada
a. Inspeksi
- sianosis : tidak ada
- bentuk dada normal
b. Palpasi
- Ictus cordus: akral
c. Perkusi
- batas atas: sonor
- batas bawah: sonor
- batas kanan: sonor
- batas kiri: sonor
d. Auskultasi
- BJ ll aorta: normal
- BJ ll pulmonal: normal
- BJ l trikuspidalis: normal
- BJ l Mittal: normal

3. Sistem pencernaan
Keluhan: nyeri pada abdomen
P: nyeri pada bagian abdomen
Q: nyeri terasa teriris-iris
R: nyeri terasa pada bagian abdomen
S: skala nyeri 5
T: nyeri secara terus menerus dan berdurasi lama

a. Inspeksi
- abdomen : simetris
- benjolan tidak ada
- luka operasi ada
- kondisi area kemerahan
b. Palpasi
- tonus otot: nyeri tertekan dan tegang
- nyeri: normal
- masa: normal
c. Perkusi
- cairan: normal
- udara: normal
- masa: normal
d. Auskultasi
- Peristaltik

4. Sistem persyarafan
- memori : panjang
- perhatian: dapat mengulang
- bahasa: baik
- kognisi: baik
- syaraf koordinasi cerebral : iya
- reflek patologis: babinsky
- keluhan pusing: tidak
- istirahat: tidak bisa tidur
- syaraf kranial
N1 : dapat membedakan bau
N2 : penglihatan sedikit kabur
N3 dapat menggerakkan bola mata
N4 dapat menggerakkan bola mata
N5 dapat tersenyum simetris
N6 dapat mendengar
N7 dapat membedakan rasa
N8 dapat menelan
N9 dapat menggerakkan leher
N10 normal
N11 normal
N12 normal

5. Sistem perkemihan
- kebersihan : bersih
- kemampuan berkemih: spontan
- warna urin : putih
- kandung kemih: tidak membesar
- kandung kemih: tidak nyeri saat di tekan

6. Sistem muskuluskeletal dan integumen

- Ekstremitas atas
Inspeksi : gerak tangan antara dekstra dan sinistra seimbang,
kekuatan otot Palpasi: tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan, tidak ada massa
- Ekstremitas Bawah
Inspeksi : kekuatan otot dekstra sinistra 5
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan, tidak ada mas

- kelainan ekstemitas: tidak ada


- kelainan tulang belakang: tidak ada
- fraktur: tidak ada
- gips: tidak ada
- turgor: baik
- luka: ada
- warna luka: merah

7. Sistem endokrin
- pembesaran tyroid: tidak ada
- pembesaran kelenjar getah bening: tidak ada

8. Seksualitas dan reproduksi


- payudara: tidak ada benjolan
- kehamilan: tidak ada
BAB III

HASIL STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Studi Kasus

3.1.1 Pengkajian

Pengkajian dilakukan pada pasien berinisial Tn. J.M berjenis kelamin

laki-laki, Tn. J.M berusia 83 tahun, beragama Kristen Protestan, suku

Rote, dan bertempat tinggal di Liliba. Tn J.M Rujukan dari rumah sakit

Kartini pada tanggal 19-05-2019 dengan diagnosa medik Ca Colon

(kanker usus)

Pengkajian dilakukan tanggal 27 Mei 2019 pada istri dan Tn. J.M

karena Tn J.M mengalami gangguan pendengaran. Menurut hasil

pengkajian yang dilakukan pada Ny. K didapatkan bahwa kondisi Tn. J.M

mengalami nyeri pada perut, nafsu makan menurun dan mual muntah. Ny.

K juga menambahkan bahwa pasien di rujuk dari rumah sakit Kartini ke

RSUD Prof. Dr. W.Z. Johanes Kupang dengan alasan untuk mendapatkan

tindakan lanjutan.

Tn. J.M tinggal serumah dengan istri. Dalam keluarga tidak ada

keluarga yang sakit sama seperti pasien, hasil yang didapatkan pada saat

pengkajian Tn. J.M adalah sebelum sakit Tn. J.M tidak pernah merokok,

tidak minum alkohol, dan juga tidak minum kopi.

Pada saat dilakukan pengkajian fisik didapatkan hasil bahwa, keadaan

umum pasien tampak lemah, kesadaran composmentis didapatkan tekanan

darah 110/70 mmHg, pernapasan 22x/menit, nadi 82x/menit teraba kuat,

suhu badan 36,70

c, konjungtiva anemis, skelera jaundice, mukosa bibir

tampak kering dan pucat, CRT<3 detik, akral hangat, tidak ada pernapasan

cuping hidung, tidak ada tarikan dinding dada, saat di auskultasi terdengar
suara napas vesikuler.

Hasil pemeriksaan Tn. J.M pada tanggal 27 Mei 2019 jam 19:39

didapatkan Hb 11,1 g/dl seharusnya Hb normal adalah 13,0-18,0. Jumlah

eritrosit 4.15 10ʌ 6

/µl. Nilai normalnya 4,50-6,20 10ʌ 6

/µl. Hematokrit

29,8% dengan nilai normalnya adalah 40,0-54,0 %. MCV 71.8 fl, dengan

nilai normalnya 81.0 – 96.0. MCH 26.7 pg, dengan nilai normal 27.0 –

36.0 pg. MCHC 37.2, g/l, dengan nilai normal 31,0 – 37,0. Jumlah lekosit

11,36 10ʌ 3

/µl, dengan nilai normalnya 4,0 – 10,0 10ʌ 3

/µl. Neutrofil 72.1

%, dengan nilai normalnya 50 – 70 %. Limfosit 14.8 %, dengan nilai

normal 20 – 40 %. Monosit 10.9 %, dengan nilai normalnya 2 – 8 %.

Jumlah neutrofil 8.19 10ʌ 3

/µl, dengan nilai normalnya 1.50 – 7.00 10ʌ 3

/µl.

Jumlah monosit 1.24 10ʌ 3

/µl, dengan nilai normalnya 0.00 – 0.70 10ʌ 3

/µl.

Elektrolit 125 mmol/L, nilai normalnya 132 – 147 mmol/L

Pasien mengatakan merasa nyeri pada perut. Pengkajian nyeri

PQRST. P : nyeri pada bagian abdomen, Q : nyeri terasa seperti teriris –

iris, R : nyeri terasa pada bagian abdomen, S : skala nyeri 5 (nyeri sedang),

T : nyeri dirasakan terus menerus, dengan durasi yang lama. Wajah pasien

tampak meringis dan memegang bagian perut. TD110/70 mmHg, RR:

22x/menit, nadi 82x/menit, suhu 36,70


c.

Saat dilakukan pengkajian didapatkan bahwa nafsu makan pasien

berkurang mual dan muntah setelah makan, tidak menghabiskan porsi

makan, hanya makan 4 – 5 sendok. pasien tampak lemas, konjungtiva

anemis, Hb 11,1 g/dl BB pasien sebelum sakit 72 kg saat sakit BB pasien

68 kg

Pasien mengatakan sulit tidur karena nyeri pada perut sejak 18 Mei

2019, pasien terlihat mengantuk pada pagi hari, terus berbaring di tempat

tidur.

Pada saat dilakukan pengkajian didapatkan hasil bahwa, pasien tidak

dapat membasuh tubuh, tidak dapat mengakses kamar mandi, pasien

mengatakan badan lemas, tidak dapat melakukan aktivitas sendiri saat

makan, minum dan mandi dibantu oleh keluarga (istri dan anak).

Pasien mengatakan tidak dapat melakukan aktivitas BAK dan BAB

sendiri pasien tidak mampu ke toilet sendiri sehingga keluarga

memakaikan pempres. Pasien mengatakan merasa lemah, pusing, pasien

tampak lemah, konjungtiva anemis, Hb11,1g/dl.

3.1.2 Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan ditegakan berdasarkan data-data yang telah dikaji

dan dengan menetapkan, masalah, penyebab, dan data penunjang. Masalah

keperawatan yang ditemukan adalah :

1. Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera biologis yang

ditandai dengan pasien mengatakan nyeri pada bagian perut,

Pengkajian nyeri PQRST : P : nyeri pada bagian abdomen, Q :

nyeri terasa seperti teriris – iris, R : nyeri terasa pada bagian

abdomen, S : skala nyeri 5 (nyeri sedang), T : nyeri dirasakan terus

menerus, dengan durasi yang lama. Wajah pasien tampak meringis


dan memegang areah perut.

2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

pemasukan nutrisi yang tidak adekuat ditandai dengan pasien

mengatakan tidak ada nafsu makan, mual dan muntah, terasa sakit

pada tenggorokan saat menelan, tidak menghabiskan porsi

makanan, hanya makan 4 – 5 sendok saja. pasien tampak lemas,

konjungtiva anemis, BB sebelum sakit 72 kg, saat sakit BB pasien

68kg

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik, ditandai

dengan pasien mengatakan badan lemas, tidak dapat melakukan

aktivitas makan minum dan berpakaian secara mandiri dan harus di

bantu oleh keluarga. Kekuatan otot tangan kanan 4, tangan kiri 4,

kaki kanan 3 dan kaki kiri 3

3.1.3 perencanaan keperawatan

Perencanaan keperawatan merupakan tahap ketiga dalam proses

keperawatan dibuat setelah menegakkan diagnosa keperawatan.

1. Untuk diagnosa pertama adalah dengan tujuan nyeri yang dirasakan

pasien akan berkurang selama dalam perawatan, dengan objektif

dalam waktu 3x24jam pasien mengenali kapan nyeri terjadi,

menggambarkan faktor penyebab, menggunakan tindakan

pencegahan, intervensi yang dapat diambil, melakukan pengkajian

nyeri secara komprehensif, diskusikan bersama faktor-faktor yang

dapat menurunkan dan memperberat nyeri, mengajarkan prinsipprinsip manajemen nyeri


yaitu teknik relaksasi napas dalam, dan

distraksi serta melibatkan keluarga dalam modalitas penurunan

nyeri dan kolaborasi pemberian analgetik (ketorolac 30 mg)

2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


pemasukan nutrisi yang tidak adekuat dengan tujuan nafsu makan

pasien meningkat dan objektifnya dalam waktu 3x24 jam pasien

memiliki hasrat untuk makan, menyukai makanan yang disiapkan,

pasien menghabiskan porsi makan yang disediakan. Intervensi yang

dapat diambil tentukan status gizi pasien untuk memenuhi

kebutuhan gizi, anjurkan pasien untuk duduk tegak saat makan,

anjurkan pasien untuk makan makanan yang hangat, anjurkan

pasien untuk makan makanan sedikit tapi sering.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik dengan

tujuannya pasien akan meningkatkan toleransi terhadap aktivitas

dengan objektif dalam jangka waktu 3x24 jam Pasien tidak pusing

saat beraktivitas merasa nyaman untuk beraktivitas. Dengan

intervensi : mengkaji aktivitas yang mampu di lakukan, memonitor

respon kardiovaskuler terhadap aktivitas, meningkatkan tirah

baring dan batasi kegiatan, dan membantu ADL.

3.1.4 Implementasi keperawatan

Merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan, di buat setelah

menetapkan intervensi pada diagnosa yang diambil. Pada tanggal 27 – 29

Mei 2019, tidak semua diagnosa dilakukan implementasi setiap harinya.

untuk diagnosa pertama adalah nyeri kronik berhubungan dengan agen

cedera biologis, implementasi yang dilakukan yaitu melakukan pengkajian

nyeri secara komperhensif mendiskusikan bersama pasien faktor – faktor

yang dapat menurunkan dan memperberat nyeri, mengkaji tipe dan sumber

nyeri, mengajarkan prinsip – prinsip manajemen nyeri yaitu teknik

relaksasi napas dalam dan distraksi serta melibatkan keluarga dalam

modalitas penurunan nyeri, Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

(ketorolac (30 mg)


Untuk diagnosa keperawatan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh,

dilakukan implementasi, menentukan status gizi pasien dan kemampuan

pasien untuk memenuhi kebutuhan gizi, menentukan jumlah makanan dan

kalori untuk memenuhi kebutuhan gizi menganjurkan pasien untuk duduk

tegak saat makan, menganjurkan pasien untuk makan makanan yang

hangat, menganjurkan pasien untuk makan sedikit tapi saring

Untuk diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

fisik, dilakukan intervensi mengkaji status fisiologis pasien yang

menyebabkan kelelahan, mengobservasi adanya pembatasan klien dalam

melakukan aktivitas, mengkaji status fisiologis pasien yang menyebabkan

kelelahan, Menentukan jenis dan banyaknya aktivitas yang akan

dilakukan, Membantu pasien untuk memilih aktivitas yang akan dilakukan,

Menganjurkan aktivitas fisik untuk meningkatkan ADL.

3.1.5 Evaluasi

Tahap evaluasi adalah tahap dimana mahasiswa menilai asuhan

keperawatan yang telah di implementasikan kepada Tn. J.M sesuai dengan

intervensi yang sudah dibuat atau di implementasikan. Berikut ini

dipaparkan evaluasi hasil dari tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa

pada tanggal 27 – 29 Mei 2019

Evaluasi yang dinilai dari implementasi yang dilakukan pada tanggal

27 Mei 2019 untuk diagnosa pertama yaitu nyeri kronis berhubungan

dengan agen cedera biologis adalah pasien mengerti dan paham dengan

teknik relaksasi napas dalam dan distraksi yang sudah diajarkan oleh

mahasiswa dan pasien dapat mempraktikkannya. Keluarga juga terlibat

dalam penanganan teknik nyeri non farmakologi dan dapat memahami

kondisi pasien.

Berdasarkan tindakan keperawatan yang dilakukan untuk


menyelesaikan diagnosa kedua yaitu nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan intake yang tidak adekuat, didapatkan hasil bahwa

nafsu makan pasien menurun, mual muntah setiap kali makan, dan tidak

menghabiskan porsi makan yang disediakan.

Selanjutnya evaluasi yang didapatkan untuk menilai hasil dan

tindakan keperawatan yang dilakukan untuk diagnosa intoleransi aktivitas

berhubungan dengan kelemahan fisik didapatkan hasil bahwa pasien masih

merasa lemas, aktivitas makan, minum, berpakaian, dan toeleting masih

dibantu oleh keluarga pasien belum bisa melakukan aktivitas secara

mendiri.

3.2 Pembahasan

Pada pembahasan studi kasus, yang akan dibahas adalah kesenjangan

antara teori yang ada dan dengan praktek di lapangan. Dalam memberikan

asuhan keperawatan pada pasien, menggunakan proses keperawatan yang

dimulai dari melakukan pengkajian sampai tahap evaluasi keperawatan.

Pada pengkajian keperawatan yang dilakukan mengambil data – data

melalui proses wawancara ( anamnesa) dan melalui pengkajian fisik,

dimana data – data yang diambil dapat berupa data primer maupun

sekunder dan dapat bersifat subjektif maupun objektif. Kemudian data

yang telah didapat di analisa untuk menegakkan diagnosa keperawatan

menggunakan rumus P E S (problem, etiologi, sing and symptom)

Setelah menegakkan diagnosa keperawatan, maka langkah selanjutnya

adalah membuat perencanaan keperawatan dengan menggunakan Nursing

Outcome Classification (NOC) dan Nursing Intervention (NIC). Setelah

menyusun perencanaan, langkah selanjutnya yaitu melakukan tindakan

keperawatan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Setelah

melakukan tindakan keperawatan, diperlukan melakukan evaluasi untuk


mengetahui keberhasilan dari tindakan keperawatan. Evaluasi dapat berupa

evaluasi formatif maupun evaluasi sumatif ( hasil).

Begitu pun dengan asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa

medik kanker usus (Ca colon). Dalam pembahasan ini juga akan dilihat

apakah selama memberikan asuhan keperawatan pada pasien kanker usus

terdapat kesenjangan antara teori dan praktek pada kasus nyata yang ada di

Ruang Asoka RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.

3.2.1 Pengkajian Keperawatan

Menurut Niman (2013), pada pasien kanker usus biasanya ditemukan

gejala klinis berupa sakit perut, berat badan turun, ikterus, anoreksia, mual,

muntah, hepatomegali dan anemia.

Hasil pengkajian yang sudah dilakukan pada tanggal 27 Mei 2019

didapatkan hasil riwayat kesehatan Tn.J.M dimana saat pasien di bawah ke

IGD pasien merasa nyeri pada perutnya, mual, muntah, dan merasa lemas

serta anemia (11.1 g/dl). Berdasarkan hasil pengkajian fisik didapatkan hasil

bahwa pasien mengalami hepatomegali. Pada prinsipnya hepatomegali

dapat terjadi apabila sel kanker sudah bermetastase ke bagian hepar. Tn. J.M

mengalami hepatomegali karena sel kanker dari colon sudah bermetastase

ke bagian tubuh lain yaitu hepar. Dalam hal ini tidak terjadi kesenjangan

antara teori dan praktik pada kasus nyata.

Menurut konsep teori dijelaskan bahwa riwayat kesehatan keluarga

dengan kanker usus dan juga penyakit DM tipe II, dapat mempengaruhi

terjadinya kanker. pada pasien dengan diabetes, sering digunakan beberapa

obat diabetes untuk meningkatkan produksi insulin dalam tubuh. Tingginya

kadar insulin dalam tubuh dapat menyebabkan hiperinsulinemia yang bisa

mendorong pertumbuhan tumor dengan mengikat reseptor hormon

pertumbuhan IGF-1.
Namun menurut hasil pengkajian yang dilakukan didapatkan hasil

bahwa keluarga Tn. J.M tidak mengalami penyakit DM dan keluarga Tn.

J.M tidak ada yang memiliki sakit seperti yang dialami oleh pasien saat ini.

Dengan demikian didapatkan hasil bahwa ada kesenjangan antara teori

dengan kasus nyata yang ada pada lapangan.

Menurut konsep teori, pada pasien dengan kanker usus ada beberapa

pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa dan

juga untuk mengetahui status kesehatan pasien. Pemeriksaan penunjang

yang dilakukan antara lain adalah Endoskopi, Radiologis, Ultrasonografi

(USG), Histopatologi, Laboratorium, Scan (misalnya, MR1. CZ: gallium)

dan ultrasound, Biopsi (aspirasi, eksisi, jarum).Namun pada kasus nyata

yang ditemukan adalah pasien hanya melakukan pemeriksaan tes darah, CT

scan, USG dan Colonoscopy. Dalam hal ini terjadi kesenjangan antara teori

dan praktik pada kasus nyata, dimana tidak semua pemeriksaan penunjang

dilakukan.

Menurut konsep teori pada pasien dengan kanker usus saat dilakukan

pemeriksaan laboratorium yaitu pengecekan Hb darah, pasien dengan ca

colon atau kanker usus pasti akan mengalami anemia. Dimana anemia

terjadi karena kerusakan jaringan pembulu darah pada dinding kolon

sehingga terjadi perdarahan intestinal.

Menurut pengkajian yang dilakukan pada Tn.J.M didapatkan hasil

bahwa pasien mengalami anemia, Dengan demikian dapat diambil

kesimpulan bahwa tidak terjadi kesenjangan antara teori dan praktik pada

kasus nyata.

3.2.2 Diagnosa Keperawatan

Dalam teori diagnosa yang keperawatan yang dapat diambil pada

pasien dengan kanker usus adalah Nyeri kronik berhubungan dengan agens
cedera biologis, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan tidak mampu dalam mencerna makanan, dan

intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik dan resiko infeksi

berhubungan dengan insisi (kolostomi)

Dalam hal ini terdapat kesenjangan antara teori dan kasus nyata,

mahasiswa tidak mengangkat semua diagnosa yang dipaparkan dalam teori

karena mahasiswa menyesuaikan dengan kondisi Tn. J.M saat pengkajian

dilakukan. Berdasarkan pengkajian, ditemukan 3 diagnosa keperawatan

yaitu nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis, dengan

karakteristik : pasien mengatakan nyeri pada bagian perut, Pengkajian nyeri

PQRST : P : nyeri pada bagian abdomen, Q : nyeri terasa seperti teriris –

iris, R : nyeri terasa pada bagian abdomen, S : skala nyeri 5 (nyeri sedang),

T : nyeri dirasakan terus menerus, dengan durasi yang lama. Wajah pasien

tampak meringis dan memegang areah perut.

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pemasukan

yang tidak adekuat, dengan karakteristik : pasien mengatakan tidak ada

nafsu makan, mual dan muntah, terasa sakit pada tenggorokan saat menelan,

tidak menghabiskan porsi makanan, hanya makan 4 – 5 sendok saja. pasien

tampak lemas, konjungtiva anemis, BB sebelum sakit 72 kg, saat sakit BB

pasien 68 kg.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik, dengan

karakteristik : pasien mengatakan badan lemas, tidak dapat melakukan

aktivitas makan minum dan berpakaian secara mandiri dan harus di bantu

oleh keluarga. Kekuatan otot tangan kanan 4, tangan kiri 4, kaki kanan 3

dan kaki kiri 3. Diagnosa-diagnosa lain yang ada pada teori tidak ditemukan

pada pasien Tn.J.M.

3.2.3 Intervensi Keperawatan


Penyusunan intervensi keperawatan pada konsep asuhan keperawatan

menggunakan outcome (NOC) dengan kriteria waktunya, skala dan hasil

yang diharapkan serta rencana tindakannya (NIC). Pada penerapannya

dalam kasus nyata tidak ada kesenjangan karena penyusunan rencana

tindakan keperawatan menggunakan Nursing Outcome Classification

(NOC) dengan adanya kriteria waktu dan hasil yang diharapkan dan

Nursing Intervention Classification (NIC) untuk rencana tindakan. Pada

diagnosa keperawatan pertama nyeri kronis berhubungan dengan agens

cedera biologis infiktrasi tumor, dalam teori intervensi yang dapat dibuat

yaitu Pain Manajemen : lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif

termasuk lokasi, karakteristik, durasi frekuensi, kualitas dan faktor

presipitasi, observasi reaksi nonverbal dan ketidaknyamanan. Pada kasus

Tn. J.M, seluruh intervensi dilakukan berdasarkan teori, sehingga dapat

disimpulkan tidak terdapat kesenjangan antara teori dan praktek.

3.2.4 Implementasi

Untuk pelaksanaan tindakan keperawatan, semuanya sesuai dengan

teori yang berdasarkan pada rencana keperawatan yang telah dibuat. Pada

hari pertama tanggal 27 Mei 2019 untuk diagnosa pertama nyeri kronis

berhubungan dengan agens cedera biologis, implementasi yang dilakukan

yaitu diambil melakukan pengkajian nyeri komperhensif, mendiskusikan

bersama pasien faktor – faktor yang dapat menurunkan dan memperberat

nyeri, mengajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri yaitu teknik relaksasi

napas dalam dan distraksi, memberikan injeksi analgetik (ketorolac 30 mg),

serta melibatkan keluarga dalam modalitas penurunan nyeri.

Untuk diagnosa keperawatan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

dilakukan implementasi tentukan status gizi pasien untuk dan kemampuan

pasien untuk memenuhi kebutuhan gizi, menganjurkan pasien untuk duduk


tegak saat makan, menganjurkan pasien untuk makan makanan yang hangat,

menganjurkan pasien untuk makan makanan sedikit tapi sering.

Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa ketiga yaitu intoleransi

aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik adalah mengkaji status

fisiologis pasien yang menyebabkan kelelahan, mengobservasi adanya

pembatasan klien dalam melakukan aktivitas, mengkaji status fisiologis

pasien yang menyebabkan kelelahan, Menentukan jenis dan banyaknya

aktivitas yang akan dilakukan, Membantu pasien untuk memilih aktivitas

yang akan dilakukan. Menganjurkan aktivitas fisik untuk meningkatkan

ADL.

Semua implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang dibuat

berdasarkan Nanda, Noc, dan Nic.

3.2.5 Evaluasi

Tahap evaluasi adalah tahap dalam asuhan keperawatan dimana

mahasiswa menilai asuhan keperawatan yang telah diimplementasikan pada

Tn. J.M sesuai dengan implementasi yang dilakukan pada intervensi yang

sudah dibuat. Berikut ini dipaparkan evaluasi hasil dari tindakan yang

dilakukan oleh mahasiswa pada tanggal 27 – 29 Mei 2019.

Evaluasi yang dinilai dari implementasi yang dilakukan pada diagnosa

pertama yaitu nyeri kronis berhubungan dengan agens cedera biologis

adalah dalam waktu perawatan 3x24 jam nyeri yang dialami oleh pasien

sedikit berkurang yaitu dari 6 menjadi 4. Dalam hal ini pasien sudah mampu

mengenali kapan nyeri terjadi, mengambarkan faktor penyebap nyeri, dan

mengunakan tindakan pencegahan non farmakologi untuk mengontrol nyeri

(napas dalam)

Berdasarkan tindakan keperawatan yang dilakukan untuk

menyelesaikan diagnosa kedua nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan intake yang tidak adekuat didapatkan hasil bahwa

pasien tidak dapat menghabiskan porsi makan yang disediakan, mual,

muntah. Dalam hal ini pasien belum mampu untuk memenuhi kebutuhan

nutrisi.

Evaluasi hasil yang dinilai dari diagnosa intoleransi aktivitas

berhubungan dengan kelemahan fisik didapatkan hasil bahwa pasien tidak

dapat mekukan aktivitas secara mandiri, masih dibantu oleh keluarga.

Dimana pasien masih mengeluh pusing saat beraktifitas, masih marasa tidak

nyaman saat beraktifitas (makan, minum)


BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai