Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

ASUHAN KEPERAWATAN TONSILEKTOMI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

1. JUANA INANTA CAHYA SAFITRI (P07120419049)


2. KHOFIFAH NAJWATURRIZKAEN (P07120419050)
3. PUSPITA OKTAFANI (P07120419058)
4. SAKYANANDI (P07120419062)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN MATARAM
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. karena dengan rahmat
dan hidayahnya penyusun dapat menyelesaikan makalah Asuhan Keperawatan
Leukemia Pada Anak, yang di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata
Keperawatan Medikal Bedah II (KMB II).

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam pembuatannya. Untuk itu,
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Kami sadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna,
maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang telah
membaca makalah ini, demi perbaikan dimasa yang akan datang.

Mataram, 26 Maret 2021

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

Halaman Sampul...........................................................................................................

Kata Pengantar.............................................................................................................i

Daftar Isi......................................................................................................................ii

Bab I. Pendahuluan......................................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................................1

Bab II. Pembahasan.....................................................................................................3

A. Definisi Tonsilektomi......................................................................................3
B. Epidemiologi...................................................................................................3
C. Indikasi............................................................................................................4
D. Kontraindikasi.................................................................................................5
E. Prosedur Tonsilektomi.....................................................................................5
F. Perawatan PostOperasi...................................................................................10
G. Komplikasi......................................................................................................11

Bab III. Asuhan Keperawatan Tonsilektomi..............................................................14

A. Pengkajian......................................................................................................14
B. Diagnosa Keperawatan...................................................................................15
C. Intervensi Keperawatan..................................................................................15

Bab IV. Penutup.........................................................................................................20

A. Kesimpulan.....................................................................................................20

Daftar Pustaka.............................................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tonsilektomi didefinisikan sebagai metode pengangkatan seluruh tonsil,
berasal dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat
menggantungkan sepatu, serta dari bahasa yunani ektomi yang berarti eksisi.
Tonsilektomi sudah sejak lama dikenal yaitu sekitar 2000 tahun yang lalu.
Cornelius celcus seorang penulis dan peneliti romawi yang pertama
memperkenalkan cara melepaskan tonsil dengan menggunakan jari dan disarankan
memakai alat yang tajam, jika dengan jari tidak berhasil.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasii yang praktis dan aman, namun hal
ini bukan berarti tonsilektomi merupakan prosedur operasi minor karena tetap
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya. Di Amerika, tonsilektomi digolongkan operasi mayor karena
kekhawatiran komplikasi, sedangkan di Indonesia tonsilektomi digolongkan
operasi sedang karena durasi operasi pendek dan tidak sulit.
Di Indonesia data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun data yang didapatkan dari RSUPNCM
selama 5 tahun terakhir (1993 – 2003) menuunjukkan kecendrungan penurunan
jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua
(275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus).

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari tonsilektomi?
2. Apa tujuan dari tonsilektomi?
3. Apa epidemiologi dari tonsilektomi?
4. Apa saja indikasi dari tonsilektomi?
5. Apa saja kontraindikasi dari tonsilektomi?
6. Bagaimana prosedur tindakan tonsilektomi?
7. Apa saja komplikasi dari tonsilektomi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi tonsilektomi.
2. Untuk mengetahui tujuan tonsilektomi.
3. Untuk mengetahui epidemiologi dari tonsilektomi.
4. Untuk mengetahui indikasi dari tonsilektomi.

1
5. Untuk mengetahui kontraindikasi dari tonsilektomi.
6. Untuk mengetahui apa saja prosedur tindakan tonsilektomi.
7. Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari tonsilektomi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Tonsilektomi merupakan prosedur bedah yang dilakukan dengan atau tanpa
adenoidektomi yaitu mengangkat tonsil seluruhnya, termasuk bagian kapsul,
dengan melakukan diseksi pada rongga peritonsiler antara kapsul tonsil dan
dinding muskuler. Tonsilektomi bertujuan untuk mengangkat jaringan tonsil
sehingga menghilangkan patologii yang terjadi pada jaringan tersebut.

B. Epidemiologi
Berdasarkan American Association of Otolaryngology, tonsilektomi
merupakan tindakan bedah kedua yang paling sering dilakukan pada pasien anak-
anak (Hashmi et al., 2012). Tonsilektomi pertama kali diperkenalkan 2000 tahun
yang lalu oleh Celcus dengan cara diseksi digital radikal. Menjerat dan
menggunting tonsil (tonsilektomi) diperkenalkan sekitar abad 19, begitu juga alat
pengungkit tonsil (tonsil elevator). Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah
dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya
setiap tahunnya di Amerika Serikat. Pada saat itu tonsilektomi dilakukan dengan
anestesi lokal dan pasien dalam keadaan duduk. Namun dari waktu ke waktu
angka ini mengalami penurunan, diperkirakan 278.000 anak-anak dibawah 15
tahun dilakukan tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi (Younis dan
Lazar, 2002).
Pada tahun 2006, terdapat 530.000 tonsilektomi yang dilakukan pada anak-
anak dengan usia kurang dari 15 tahun (Baugh et al., 2011). Pada usia lebih dari
16 tahun, angka tonsilektomi mencapai 78 per 100.000 pada tahun 1996, yaitu
3200 bedah (Paradise et al., 2002). Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah
bedah tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi masih belum jelas. Diketahui pada
tahun 1999-2003 terdapat 427 kasus di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta

3
(Hermani dkk., 2004). Sedangkan, di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta didapatkan
332 kasus pada tahun 2006-2011 (Jenny dkk., 2013). Di RSUD dr. Muwardi
Surakarta, didapatkan 832 kasus tonsilektomi dan tonsiloadenoidektomi pada
tahun 2010-2013 (Rekam medis RSUD dr. Muwardi Surakarta).

C. Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat
ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil
(Wanri, 2007).
Pasien yang menjalani tonsilektomi dengan usia kurang dari 3 tahun akan
membutuhkan perawatan di ruang observasi khusus, seperti Intensive Care Unit
(ICU) atau mungkin waktu perawatan akan lebih panjang. Sedangkan, untuk
anak-anak usia lebih dari 4 tahun tanpa komorbiditas ataupun obstruksi saluran
napas atas yang berat, dalam beberapa penelitian observasional mengungkapkan
bahwa tidak ada risiko komplikasi yang berat bila menjalani tonsilektomi
(Isaacson, 2012).
Indikasi tonsilektomi dibagi atas 2 kategori berdasarkan America Academy
of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS), yaitu indikasi absolut
dan indikasi relatif (Drake dan Carr, 2013) :
1. Indikasi absolut
 Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
 Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
 Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan diagnosis
patologi anatomi.
2. Indikasi relatif

4
 Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
 Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten.
 Pembesaran tonsil unilateral yang diduga keganasan.

D. Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun
bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat

E. Prosedur Tonsilektomi
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah
teknik Gullotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke
19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat
tonsil. Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya
merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan uvulotome.
Uvulotome merupakan alat yang dirancang untuk memotong uvula yang
edematosa atau elongasi (Hermani dkk, 2004).
2. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Di
negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi
umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat
pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsilektomi

5
dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak digunakan pada pasien anak
(Hermani dkk, 2004).
Pasien menjalani anestesi umum dengan teknik operasi meliputi :
memegang tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa,
mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari
fossa dengan manipulasi hati-hati. Kemudian dilakukan hemostasis dengan
elektrokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut
dengan salin (Hermani dkk., 2004).

Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan disamping


teknik diseksi standar, yaitu :
1. Electrosurgery (Bedah listrik)
Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum,
karena mudah memicu terjadinya ledakan. Namun, dengan makin
berkembangnya zat anestetik yang nonflammable dan perbaikan peralatan
operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik makin meluas.
Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi
radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4
MHz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya
gangguan konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak
menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran baru
yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC) dan
pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway).
Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade,
monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga
listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan
atau untuk koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang
dapat melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur.
Dapat pula digunakan sebagai tambahan pada prosedur operasi lain.

6
2. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.
Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6
minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan
berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi
radiofrekuensi diberikan pada medium penghantar seperti larutan salin.
Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk
memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi pada suhu
rendah (40oC – 70oC), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak.
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie, Elmed
Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus
somnoplasty system (bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare coblation
system dan Argon plasma coagulators. Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat
dibuang seluruhnya, ablasi sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan
teknik radiofrekuensi dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi. Namun
masih diperlukan studi yang lebih besar dengan desain yang baik untuk
mengevaluasi keuntungan dan analisa biaya dari teknik ini.
3. Skalpel harmonic
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong
dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik
ini menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan
laser. Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila
temperatur sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut
(biasanya 150oC - C400oC), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur
disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 50oC - 10oC. Sistem
skalpel harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel
penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.
Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang
bergetar dengan frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih dari 80 µm (paling

7
penting), dan hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung
pemotong saat kontak dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan dan
penurunan tekanan jaringan internal, sehingga menyebabkan fragmentasi
berongga dan pemisahan jaringan. Koagulasi muncul ketika energi mekanik
ditransfer kejaringan, memecah ikatan hidrogen tersier menjadi protein
denaturasi dan melalui pembentukan panas dari friksi jaringan internal akibat
vibrasi frekuensi tinggi.
Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding teknik
bedah lain, yaitu:
 Dibandingkan dengan elektrokauter atau laser, kerusakan akibat panas
minimal karena proses pemotongan dan koagulasi terjadi pada temperatur
lebih rendah dan charring, desiccation (pengeringan) dan asap juga lebih
sedikit. Tidak seperti elektrokauter, skalpel harmonik tidak memiliki
energi listrik yang ditransfer ke atau melalui pasien, sehingga tidak ada
stray energi (energi yang tersasar) yang dapat menyebabkan shock atau
luka bakar.
 Dibandingkan teknik skalpel, lapangan bedah terlihat jelas karena lebih
sedikit perdarahan, perdarahan pasca operasi juga minimal.
 Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan elektrokauter, teknik ini
mengurangi nyeri pascaoperasi.
 Teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa
mentoleransi kehilangan darah seperti pada anak-anak, pasien dengan
anemia atau defisiensi faktor VIII dan pasien yang mendapatkan terapi
antikoagulan.
4. Coblation
Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasmamediated tonsillar
ablation, ionised field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation;
bipolar radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation.
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan
listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan natrium

8
klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium yang dapat
merusak jaringan sekitar. Coblation probe memanaskan jaringan sekitar
lebih rendah dibandingkan probe diatermi standar (suhu 60 oC (45-85oC)
dibanding lebih dari 100oC).
National Institute for clinical excellence menyatakan bahwa efikasi
teknik coblation sama dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini
bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah
perdarahan.
5. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Meskipun
mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan
tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan
ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai
kapsulnya.
Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk
menghindari terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi dan
memberikan lapisan “pelindung biologis” bagi otot dari sekret. Hal ini akan
mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya
peradangan lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi nyeri
pasca operasi dan mempercepat waktu pemulihan. Jaringan tonsil yang
tersisa akan meningkatkan insiden tonsillar regrowth. Tonsillar regrowth dan
tonsilitis kronis merupakan hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam
teknik tonsilektomi intrakapsuler. Tonsilitis kronis dikontraindikasikan
untuk teknik ini.
Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca
operasi lebih rendah dibanding tonsilektomi standar. Tetapi masih
diperlukan studi dengan desain yang baik untuk menilai keuntungan teknik
ini.
6. Laser (CO2-KTP)

9
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium
Titanyl Phospote) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.
Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan „recesses‟ pada
tonsil yang meyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
LTA dilakukan selama 15-20 menit dan dapat dilakukan di poliklinik
dengan anestesi lokal. Dengan teknik ini nyeri pascaoperasi minimal,
morbiditas menurun dan kebutuhan analgesia pascaoperasi berkurang.
Tekhnik ini direkomendasikan untuk tonsilitis kronik dan rekuren, sore
throat kronik, halitosis berat atau obstruksi jalan nafas yang disebabkan
pembesaran tonsil.

F. Perawatan postoperasi
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah
yang secara jelas menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan
menyebabkan perdarahan postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan
secara rutin saat pasien bangun dan secara bertahap pindah ke makanan lunak
merupakan standar di banyak senter. Cairan intravena diteruskan sampai pasien
berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai intake oral. Kebanyakan
pasien bisa memulai diet cair selama 6 - 8 jam setelah operasi dan bisa
dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral secara
adekuat, muntah berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai
pasien dalam keadaan stabil. Pengambilan keputusan untuk tetap mengobservasi
pasien sering hanya berdasarkan pertimbangan perasaan ahli bedah daripada
adanya bukti yang jelas dapat menunjang keputusan tersebut.
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah
studi randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara
berkurangnya nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika
postoperasi. Antibiotika yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap
flora rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per oral. Pasien yang
menjalani tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki

10
riwayat faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan antibiotika.
Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin pada
pasien dengan kelainan jantung.
Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga,
analgesia yang berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena
letargi. Selain itu juga bisa menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring.
Sebelum operasi, pasien harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah
operasi selesai untuk mengurangi keluhan pembengkakan faring dan pada
akhinya rasa nyeri.

G. Komplikasi Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum
maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan
komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani
tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi anestesi
dalam 5-7 hari setelah operasi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani
tonsilektomi dan adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini
terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang
dapat ditemukan berupa:
 Laringospasme
 Gelisah pasca operasi
 Mual muntah
 Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
 Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan henti
jantung
 Hipersensitif terhadap obat anestesi
2. Komplikasi bedah
a. Perdarahan.

11
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus). 37
Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di
rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien. Sebanyak
1 dari 100 pasien kembali karena masalah perdarahan dan dalam jumlah
yang sama membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early
bleeding, perdarahan primer atau “reactionary haemorrage” dengan
kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat selama
operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini
sangat berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh
anestesi dan refleks batuk belum sempurna. Darah dapat menyumbat jalan
napas sehingga terjadi asfiksia.
Perdarahan dapat menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan syok.
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed
bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10
pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%.
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, bisa karena infeksi
sekunder pada fosa tonsilar yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah
dan perdarahan dan trauma makanan yang keras.
b. Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi
kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi. Nyeri tenggorok
muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi. Penggunaan
elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik “cold”
diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian
analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat
kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi.

12
Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit untuk
pemberian cairan intravena dibutuhkan.
c. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi
velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.

13
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TONSILEKTOMI

A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas / Istirahat
Gejala :
 Kelemahan
 Kelelahan (fatigue)
2. Sirkulasi
Tanda :
 Takikardia
 Hiperfentilasi (respons terhadap aktivitas)
3. Intergritas Ego
Gejala :
 Stress
 Perasaan tidak berdaya
Tanda :
 Tanda-tanda ansietas, mual : gelisah, pucat, berkeringat, perhatian
menyempit.
4. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih
Tanda : Warna urine mungkin pekat
5. Makanan/ Cairan
Gejala :
 Anoreksia
 Masalah menelan
 Penurunan menelan
Tanda :
 Membrane mukosa kering
 Turgor kulit jelek
6. Nyeri/ Kenyamanan
Gejala :
 Nyeri pada daerah tenggorokan saat digunakan untuk menelan.
 Nyeri tekan pada daerah sub mandibula.
 Faktor pencetus : menelan, makanan dan minuman yang dimasukkan
melalui oral, obat-obatan.

14
Tanda : Wajah berkerut, berhati-hati pada area yang sakit, pucat, berkeringat,
perhatian menyempit.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan jaringan; insisi bedah.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi nafas karena
adanya benda asing.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman, pemajaran/
mengingat.
4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan resiko perdarahan
akibat tindakan operatif tonsilektomi.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa 1
Nyeri berhubungan dengan pembekakan jaringan; insisi bedah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan diharapkan nyeri pasien berkurang dan
pembengkakan hilang.
Kriteria Hasil :
 Melaporkan atau menunjukkan nyeri hilang/ terkontrol.
 Melaporkan bisa beristirahat.

Intervensi :
Mandiri
 Berikan tindakan nyaman (pijatan punggung, perubahan posisi) dan
aktivitas hiburan.
Rasional : Meningkatkan relaksasi dan membantu pasien memfokuskan
perhatian pada sesuatu disamping diri sendiri/ ketidaknyamanan.
 Dorong pasien untuk mengeluarkan saliva atau penghisap mulut dengan
hati-hati bila tidak mampu menelan.
Rasional : Menelan menyebabkan aktifitas otot yang dapat menimbulkan
nyeri karena adanya edema/ regangan jahitan.
 Selidiki perubahan karakteristik nyeri, periksa mulut jahitan atau trauma
baru.
Rasional : Dapat menunjukkan terjadinya komplikasi yang memerlukan
evaluasi lanjut/ intervensi jaringan yang terinflamasi dan kongesti, dapat
dengan mudah mengalami trauma dengan penghisapan kateter, selang
makanan.
 Catat indicator non verbal dan respon automatic terhadap nyeri, evaluasi
efek analgesic.

15
Rasional : Alat menentukan adanya nyeri, kebutuhan terhadap
keefektifan obat.
 Jadwalkan aktifitas perawatan untuk keseimbangan dengan periode tidur
manajemen stress. Contoh : teknik relaksasi, bimbingan imajinasi.
Rasional : Mencegah kelelahan/ terlalu lelah dan dapat meningkatkan
koping terhadap stress/ ketidaknyamanan.

Kolaborasi
 Berikan irigasi oral, anestesi sprei dan kumur-kumur. Anjurkan pasien
melakukan irigasi sendiri.
Rasional : Memperbaiki kenyamanan, meningkatkan penyembuhan dan
menurunkan bau mulut. Bahan pencuci mulut berisi alcohol/ fenol harus
dihindari karena mempunyai efek mengeringkan.
 Berikan analgetik terhadap stress/ ketidaknyamanan.
Rasional : Meningkatkan rasa sehat, tidak menurunkan kebutuhan
analgesic dan meningkatkan penyembuhan.
 Meningkatkan rasa sehat, tidak menurunkan kebutuhan analgesic dan
meningkatkan penyembuhan.
Rasional : Derajat nyeri sehubungan dengan luas dan dampak psikologi
pembedahan sesuai dengan kondisi tubuh.

2. Diagnosa 2
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi nafas
karena adanya benda asing; produksi secret.
Tujuan : Mempertahankan kepatenan jalan nafas dengan bunyi nafas
bersih/jelas.
Criteria Hasil :
 Mengeluarkan/ membersihkan secret dan bebas aspirasi.
 Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/ mempertahankan jalan nafas
bersih dalam tingkat kemampuan/ situasi.

Intervensi :
Mandiri
 Awasi frekuensi/kedalaman pernafasan, catat kemudahan bernafas,
auskultasi bunyi nafas, selidiki kegelisahan.
Rasional : Perubahan pada pernafasan, penggunaan otot aksesori
pernafasan, dan/ adanya ronki/ mengi diduga ada retensi secret. Obstruksi
jalan nafas (meskipun sebagian) dapat menimbulkan tidak efektifnyatidak

16
efektifnya pola pernafasan dan gangguan pertukaran gas, contoh henti
nafas.
 Dorong menelan bila pasien mampu.
Rasional : Mencegah pengumpulan secret oral, menurunkan resiko
aspirasi. Catatan : Menelan terganggu bila epiglottis diangkat dan/ edema
pasca operasi bermakna dan nyeri terjadi.
 Dorong batuk efektif dan nafas dalam.
Rasional : Mobilisasi secret untuk membersihkan jalan nafas dan
membantu mencegah komplikasi pernafasan.

Kolaborasi
 Berikan humidifikasi tambahan, contoh tekanan udara/oksigen penahan
leher berupa humidifier ruangan, peningkatan masukan cairan.
Rasional : Fisiologi normal (hidung/jalan hidung) berarti menyaring atau
melembabkan udara yang lewat tambahan kelembaban menurunkan
mengerasnya mukosa dan memudahkan batuk./penghisapan secret
melalui stoma.
 Awasi seri GDA/ nadi oksimetri, foto dada.
Rasional : Pengumpulan secret/ adanya atelektasis dapat menimbulkan
pneumonia yang memerlukan tindakan terapi lebih agresif.

3. Diagnose 3
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman, pemajaran/
mengingat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien atau keluarga dapat
memahami penyakit yang diderita.
Criteria Hasil :
Pasien atau keluarga memahami mengenai penyakit yang diderita pasien.

Intervensi :
Mandiri
 Kaji ulang prosedur pembedahan khusus dan harapan pascaoperasi.
Rasional : Memberikan dasar pengetahuan dimana pilihan informasi
dapat dibuat dan tujuan dapat disusun.
 Berikan perhatian tentang gangguan ukuran/ gambaran tubuh.
Rasional : Antisipasi masalah yang dapat membantu dalam menerima
situasi yang memburuk.
 Kaji ulang program pengobatan, dosis, dan efek samping.

17
Rasional : Pengetahuan dapat meningkatkan kerja sama dengan program
terapi dan mempertahankan jadwal.
 Anjurkan menghindari alcohol.
Rasional : Dapat mempengaruhi disfungsi hati/pancreas.
 Diskusikan tanggung jawab untuk perawatan diri dengan pasien/ orang
terdekat.
Rasional : Kerja sama sangat penting untuk keberhasilan hasil setelah
prosedur.
 Dorong latihan progresif/ keseimbangan program aktivitas dengan
periode istirahat adekuat.
Rasional : Meningkatkan berat badan, meningkatkan tonus otot dan
meminimalkan pasca operasi yang juga mencegah kelemahan yang tak
perlu.

4. Diagnose 4
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan resiko
perdarahan akibat tindakan operatif tonsilektomi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 2x24 jam kekurangan volume cairan
pada pasien teratasi.
Criteria Hasil :
 Keseimbangan cairan yang adekuat
 Pengeluaran urine individu yang sesuai

Intervensi :
Mandiri
 Catat karakteristik muntah dan atau drainase.
Rasional : Membantu dalam membedakan penyebab distress gaster
kandungan empedu kuning kehijauan menunjukkan bahwa pylorus
terbuka.
 Awasi tanda vital : bandingkan dengan hasil normal pasien/ sebelumnya,
ukur TD dengan posisi duduk, berbaring, berdiri bila perlu.
Rasional : Perubahan TD dan nadi dapat digunakan untuk perkiraan
kehilangan darah.
 Ukur kehilangan darah/cairan melalui muntah, penghisapan gaster/lavase
dan deteksi.
Rasional : Memberikan pedoman untuk penggantian cairan.
 Pertahankan pencatatan akurat subtotal cairan/ darah selama terapi
penggantian cairan.

18
Rasional : Potensial kelebihan tranfusi cairan, khususnya bila volume
tambahan diberikan sebelum tranfusi darah.
 Catat tanda perdarahan baru setelah terhentinya pendarahan awal.
Rasional : Meningkatkan kepenuhan/distensi abdominal, mual/muntah
baru dan diare baru dapat menunjukkan perdarahan ulang.

Kolaborasi
 Berikan cairan atau darah sesuai indikasi.
Rasional : Penggantian cairan tergantung pada derajat hipovolemia dan
lamanya perdarahan (akut atau kronis).
 Darah lengkap segar atau kemasan sel darah merah.
Rasional : Darah lengkap segar diindikasikan untuk perdarahan akut
dengan syok karena darah simpanan dapat kekurangan faktor pembekuan.
 Masukkan/ pertahankan selang NG pada perdarahan akut.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk menghilangkan sekresi iritan
gaster, darah, bekuan.

BAB III

PENUTUP

19
A. Kesimpulan
Tonsilektomi merupakan prosedur bedah yang dilakukan dengan atau tanpa
adenoidektomi yaitu mengangkat tonsil seluruhnya, termasuk bagian kapsul,
dengan melakukan diseksi pada rongga peritonsiler antara kapsul tonsil dan
dinding muskuler.
Tonsilektomi bertujuan untuk mengangkat jaringan tonsil sehingga
menghilangkan patologi yang terjadi pada jaringan tersebut.
Pasien yang menjalani tonsilektomi dengan usia kurang dari 3 tahun akan
membutuhkan perawatan di ruang observasi khusus, seperti Intensive Care Unit
(ICU) atau mungkin waktu perawatan akan lebih panjang. Sedangkan, untuk anak-
anak usia lebih dari 4 tahun tanpa komorbiditas ataupun obstruksi saluran napas
atas yang berat, dalam beberapa penelitian observasional mengungkapkan bahwa
tidak ada risiko komplikasi yang berat bila menjalani tonsilektomi.

DAFTAR PUSTAKA

20
Adams GL,Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL,Boies
buku ajar penyakit THT,Jakarta, Penerbit buku kedokteran EGC edisi 6, 1994 :
337-40

Liston SI. Embriologi, anatomi dan fisiologi rongga mulut, faring,esophagus dan
leher. Dalam : Adam,Boies dan Higler. Boies. EGC. Jakarta. 1997:263-71

https://www.academia.edu/38440886/Tonsilektomi_pada_Anak_dan_Dewasa_2_

21

Anda mungkin juga menyukai