Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. R L DENGAN KOLELITIASIS POST


OPERASI KHOLESISTECTOMI DI RUANG RAWAT INAP GARUDA

RSUD S.K.LERIK KOTA KUPANG

OLEH

KELOMPOK II :

NAMA :

1. NOVA TITI OEMATAN


2. ECARINA E. DJENMAI
3. KORNELIA P.J SALA
4. TRIFEBI HAEKASE
5. KORI MORINA SILA
6. ARDIANUS Y. SERAN
7. DENI NUBATONIS
8. MARLENDANG FANGIDAE

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STIKES MARANAHA

KUPANG

2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN SEMINAR KASUS

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. R L DENGAN KOLELITIASIS POST


OPERASI KHOLESISTECTOMI DI RUANG RAWAT INAP GARUDA

RSUD S.K.LERIK KOTA KUPANG”

TELAH DI SETUJUI PADA :

Hari/tanggal:

Oleh:

Preceptor Akademika Preceptor Klinikal

( ) (Ns. Hendrimina M. H. Suki, S.Kep)

Mengetahui,

Kepala Ruangan

(Maria Yosepha Melania, S.Kep)


DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Depan.................................................................................................................
Lembar Pengesahan..........................................................................................................
Kata Pengantar..................................................................................................................
Daftar Isi.............................................................................................................................
Daftar Lampiran
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

Lampiran 01. Undangan Seminar........................................................................................

Lampiran 02. Absensi Seminar...........................................................................................

Lampiran 03. Dokumentasi Seminar...................................................................................


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat,
petunjuk dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan seminar kasus
dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. R L DENGAN
KOLELITIASIS POST OPERASI KHOLESISTECTOMI DI RUANG RAWAT INAP
GARUDA RSUD S.K.LERIK KOTA KUPANG”.

Laporan seminar kasus ini dalam penyusunannya mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:

1. Direktur, Kepala Bidang Pelayanan dan Kepala Seksi Pelayanan Keperawatan beserta
staf yang telah mengijinkan kami menjalani praktik profesi di RSUD S.K.Lerik Kota
Kupang
2. Ns. Ersi selaku Pembimbing Akademik
3. Ns.Maria Yosepha Melania, S.Kep dan Sarline Haninuna, A.Md.Kep selaku Kepala
Ruangan dan Wakil
4. Ns. Hendrimina M. H. Suki, S.Kep selaku Pembimbing Klinik
5. Seluruh staf dan perawat di Ruang Rawat Inap Garuda RSUD S.K.Lerik Kota Kupang.
yang telah dengan sabar membimbing kami selama masa praktik.
Kami penullis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan oleh karena
itu, dengan segala kerendahan hati penulis siap menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan kasus ini. Semoga Tuhan senantiasa mencurahkan Rahmat
yang melimpah kepada semua pihak yang telah banyak membantu seminar kasus ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga seminar kasus ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya profesi
Keprawatan

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kolelitiasis atau batu empedu merupakan suatu pembentukan batu yang


berada di dalam kandung empedu yang terbentuk dari satu atau lebih endapan
berbagai jenis material seperti kolesterol, bilirubin, protein, garam empedu dan asam
lemak. (Hasanah, 2015). Respon penderita batu empedu berbeda pada tiap individu
saat merasakan gejala awalnya, sekitar 50% penderita penyakit batu empedu tidak
merasakan dan memiliki keluhan, dan sekitar 30% penderita penyakit batu empedu
merasakan gejala nyeri, sedangkan 20% baru merasakan keluhan saat sudah
berkembang menjadi komplikasi penyakit. Ketika penderita penyakit batu empedu
mengalami nyeri yang spesifik maka dapat menimbulkan masalah dan penyakit yang
lebih serius. (Purwanti, 2016)

Prevalensi kejadian penyakit batu empedu berbeda-beda pada setiap negara


dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah letak geografis. Di Asia, tahun
2013 prevalensi penyakit batu empedu berkisar 3% sampai 10%. Menurut data
terakhir yang telah didapatkan, prevalensi penyakit batu empedu di Jepang berjumlah
sekitar 3,2 %, China 10,7%, India Utara 7,1%, dan Taiwan 5,0%. Penelitian terhadap
jumlah kejadian penyakit batu empedu di Indonesia masih jarang dilakukan, sehingga
diperkirakan prevalensi penyakit batu empedu di Indonesia tidak jauh berbeda dengan
negara-negara di Asia. (Hakim, 2019)

Secara umum, penyakit batu empedu terjadi karena gangguan metabolisme


yang disebabkan oleh adanya perubahan susunan empedu, stasis empedu, dan infeksi
pada kandung empedu. Penyakit batu empedu sering kali di tandai dengan rasa nyeri
yang terjadi pada perut bagian kanan atas dan dirasakan menjalar ke punggung
sampai bahu kanan atas kadang juga disertai dengan rasa mual dan muntah. Penyakit
batu empedu sendiri dapat dingaruhi oleh banyak faktor diantaranya seperti usia, jenis
kelamin, aktivitas fisik, keturunan, jenis makanan, pola makan dan lain sebagainya.
(Hasanah, 2015)

Penatalaksanaan penyakit batu empedu dapat dilakukan dengan cara farmakologi


dan pembedahan. Secara farmakologi biasanya menggunakan analgesik dan antibiotik,
sedangkan untuk penatalaksanaan pembedahan salah satunya dapat menggunakan operasi
Kholesistectomi. Kholesistectomi merupakan prosedur operasi yang dilakukan dengan
cara tusukan kecil yang dibuat menembus dinding perut di umbilicus kemudian rongga
perut ditiup dengan gas karbon monoksida untuk membantu pemasangan endoskopi.
(Putra et al., 2017). Pasien yang telah menjalani prosedur operasi pasti merasakan nyeri
pada luka operasi, sehingga diperlukan peran perawat untuk membantu mengurangi rasa
nyeri tersebut melalui cara farmakologi maupun non farmakologi.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis mengangkat kasus penyakit Kolelitiasis


untuk di bahas lebih lanjut dalam Seminar Kasus “Asuhan Keperawatan pada Ny. R L
dengan Kolelitiasis Post Operasi Kholesistectomi di ruang Rawat Inap Umum Garuda
RSUD SK Lerik Kota Kupang”

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Mampu menerapkan Asuhan Keperawatan pada Ny. R L dengan Kolelitiasis Post
Operasi Kholesistectomi di ruang Rawat Inap Umum Garuda RSUD SK Lerik Kota
Kupang

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mampu menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,


pemeriksaan diagnostik, komplikasi, dan penatalaksanaan medis dari penyakit batu
empedu.

2. Mampu melakukan pengkajian data pada Ny. R L dengan Kolelitiasis Post Operasi
Kholesistectomi di ruang Rawat Inap Umum Garuda RSUD SK Lerik Kota Kupang
3. Mampu merumuskan diagnosa pada Ny. R L dengan Kolelitiasis Post Operasi
Kholesistectomi di ruang Rawat Inap Umum Garuda RSUD SK Lerik Kota Kupang

4. Mampu menyusun intervensi keperawatan pada Ny. R L dengan Kolelitiasis Post


Operasi Kholesistectomi di ruang Rawat Inap Umum Garuda RSUD SK Lerik Kota
Kupang

5. Mampu mengimplementasikan intervensi keperawatan pada Ny. R L dengan


Kolelitiasis Post Operasi Kholesistectomi di ruang Rawat Inap Umum Garuda
RSUD SK Lerik Kota Kupang

6. Mampu mengevaluasi implementasi yang dilakukan pada Ny. R L dengan


Kolelitiasis Post Operasi Kholesistectomi di ruang Rawat Inap Umum Garuda
RSUD SK Lerik Kota Kupang

1.3 Manfaat

1. Bagi Institusi
Adanya seminar kasus ini diharapkan dapat menambah informasi, bahan bacaan
atau pun referensi untuk pembelajaran tentang asuhan keperawatan pada pasien
Kolelitiasis post operasi Kholesistectomi .

2. Bagi Profesi Keperawatan


Dapat memberikan inovasi pemberian asuhan keperawatan pada pasien
Kolelitiasis post operasi Kholesistectomi

3. Bagi Lahan Praktik


Dapat memberikan informasi tambahan dalam pemberian asuhan keperawatan
pada pasien Kolelitiasis post operasi Kholesistectomi.

4. Bagi Masyarakat
Seminar kasus ini diharapkan bisa bermanfaat khususnya bagi pasien dan
keluarga untuk mengetahui cara perawatan pasien post operasi Kholesistectomi.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Penyakit

A. Pengertian
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran
empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu empedu bisa
terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra
hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang
terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus koleduktus) disebut
koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik disebelah
proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan
koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis. 

B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi
dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang
dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko
tersebut antara lain:

1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi
hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.

2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan orang degan usia yang lebih muda.

3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolisme umum, resistensi insulin, diabetes
militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi
kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan batu
empedu kolesterol.

4. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang
bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis), puasa
berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan berat
badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah
lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam
empedu, serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.

5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat hipolipidemik
meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya
meningkatkan resiko batu
empedu kolesterol. Analog somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk
batu empedu dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.

6. Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat dalam
bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol
meningkatkan kolesterol empedu.

7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah turun
temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal.

8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mucus.
Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.

9. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat
kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi kolesterol
dan meningkatkan resiko batu empedu.

10. Aktifitas fisik


Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

11. Nutrisi intravena jangka lama


Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

C. Manifestasi Klinik
1. Asimtomatik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa mempertimbangkan
jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang benar-benar mempunyai
batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah lima
tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa
nyeri dan hanya menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin
ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk
gangguan yang tidak berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua jenis
gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu sendiri dan
gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya
bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrum, seperti rasa penuh, distensi
abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi.

2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier


Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami
distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa
padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada
abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya
dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berahir setelah
beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan
muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah memakan makanan
dalam jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung
meningkat frekuansi dan intensitasnya. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan
gelisah karena tidak mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian
pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang
tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam
keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen
pada daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian kanan. Sentuhan ini akan
menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien
melakukan inspirasi dalam, dam menghambat pengembangan rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga membutuhkan
preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin dianggap dapat
meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.
3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan
presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi
pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas,
yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap oleh darah dan
penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa berwarna kuning.
Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit.

4. Perubahan Warna Urin dan Feses


Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap.
Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya
pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.

5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut
lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika
defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu proses
pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung
empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam
waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut,
penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis
generalisata.

D. Patofisiologi
Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak ke area lain dari
sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau pengisian kandung empedu
batu dapat pindah dan terjebak dalam leher kandung empedu. Selain leher cysticduct
(saluran cyste), atau saluran empedu menyebabkan bebuntuan. Ketika empedu tidak bias
mengalir dari kandung empedu. Terjadi bendungan dan iritasi lokal dari batu empedu
menyebabkan radang batu empedu (cholecystitis)
 Faktor yang mendukung :

1. Kadar kolesterol yang tinggi pada empedu


2. Pengeluaran empedu yang berkurang
3. Kecepatan pengosongan kandung empedu yang menurun
4. Perubahan pada konsentrasi empedu atau bendungan empedu pada kandung empedu
E. Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum
akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi
mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum
dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi
serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar
protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs
vitamin K.

2. Pemeriksaan sinar-X abdomen


Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit
kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun
demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat
tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

3. Foto polos abdomen


Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan
foto polos.  Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau
hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran
kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di fleksura hepatika.
Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab nilai
diagnostiknya rendah.

4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan
dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu, pemerikasaan
USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan
hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung
empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada
gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan merupakan
pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%. Kriteria
batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic shadowing dari gambaran
opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian, manfaat US untuk mendiagnosis
BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang mencakup 119 pasien dengan BSE
sensitivitas US didapatkan sebesar 40%, spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam
mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian distal saluran empedu tempat umumnya batu
terletak sering sulit diamati akibat tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran
empedu yang tidka melebar pada sejumlah kasus BSE.

5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk
penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya.Media kontras yang
mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu
diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan
radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada foto
rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan,
kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap
kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat
mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi
kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyakwaktu dan persiapan
dibandingkan ultrasonografi.

6. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)


Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya
dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi
endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai duodenum
pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus dan duktus
pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk
memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan
visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus
bagian distal untuk mengambil batu empedu.

7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)


Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara langsung
ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan
relative besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup
duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus koledokus, duktus sistikus dan
kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.

8. Computed Tomografi (CT)


CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya
batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun demikian,
teknik ini jauh lebih mahal dibanding US.

    

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut nyeri
kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit, dan jika
memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi, prosedur-
prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.

a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet


Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesik dan antibiotik. Intervensi
bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin memburuk.

b. Farmakoterapi
  Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak
mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier,
sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap yang
dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian asam kenodeoksikolat
adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih. Doasisnya 8-
10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien mengalami
kegemukan.Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu radiolusen secara
lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam kenodeoksikolat. Efek
sampingnya tidak ada. Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5
mg/kg/hari dangan 7,5 mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama
efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk)
telah digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil dan
terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan
kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dengan dosis
yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya adalah
menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi
getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi besarnya, batu yang kecil
dilarutkan dan batu yang baru dicegah pembentukannya. Pada banyak pasien
diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12 bulan untuk melarutkan batu empedu, dan
selama terapi keadaan pasien dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada berat
badan pasien. Terapi ini dilakukan pada pasien yang menolak terapi pembedahan
atau dianggap terlalu beresiko untuk menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien sesudah
terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini dengan dosis rendah dapat
dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut kolesistisis
berlanjut atau timbul kembali, intervensi bedah atau litotropis merupakan indikasi.

c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan


Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter
[MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu, atau
melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan batu
yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui endoskop
ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan
pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud
untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut
dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau muatan
elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat rendaman air atau
kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dkonvergensikan tersebut
dialirkan kepada batu empedu yang akan dipecah. Setelah batu dipecah secara
bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari kandung empedu atau duktus
koledokus dan dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan pelarut asam
empedu yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa
atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan diarahkan langsung pada
batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan cara irigasi dan
aspirasi.
2. Penatalaksanaan Pembedahan
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris, terjadi
dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini
telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini, yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang
paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera dalam pasien
dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah sakit yang sama. Jika tidak
ada bukti kemajuan setelah 24 jam penanganan medis, atau jika ada tanda-tanda
penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat harus dipertimbangkan.

b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk mengeluarkan
batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain mungkin dapat atau tidak
digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang ringan dan waktu rawat yang
singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk penanganan ini.

c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan dalam
pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara toritis dari prosedur ini
dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi perawatan di rumah
sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa kembali bekerja, nyeri
menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah
keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi mayor, seperti
misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi lebih sering selama
kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin merupakan ukuran
pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang
berkaitan dengan modalitas baru.

d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang
lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas.
Kandung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan
drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat dengan jahitan
kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan dengan sistem
drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu disekitar kateter atau perembesan
getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut, pasien
dapat kembali lagi untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah,
bedah kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai
setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses penyakit pasien yang mendasarinya.

e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani
tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini mencakup para penderita
sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal, paru atau hati.
Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus ditusukkan lewat dinding
abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu dengan dipandu oleh USG atau
pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk memastikan bahwa penempatan jarum
telah adekuat, dan kemudian sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu
tersebut untuk dekompresasi saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu
dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi
berkurang atau menghilang dengan segera.

f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke
dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter
ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu biasanya juga
mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan bersama-sama
kolesistektomi.

H. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada
dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap
ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap makan mungkin
dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema,
biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan
dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat
juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan
nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi
peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi
dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian
menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di
duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan
pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian
tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut beberapa
penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis:

1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus sehingga
tidak dapat diisi lagi  oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat peradangan akut
dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti peradangan kronis dengan
adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding tebal dan terdistensi oleh materi
steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh efek massa dalam kuadran kanan atas.
Hidrops kandung empedu dapat menyebabkan kolesistisi akut.

2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang
terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu dapat
menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu menjadi
lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal
penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi supurasi.
Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.

a. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis
supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik, demam
tinggi, menggigil dan leukositosis.

b. Nekrosisdan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan perforasi.
Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus Roktiansky-
Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi ruptura.
Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian vesica biliaris yang
paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas peritonialis bebas
jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya perlekatan dengan organ-
organ yang berdekatan dengan pembentukan abses local. Ruptura ke dalam organ
berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.

c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam civitas peritonialis menyebabkan syok parah.
Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada dinding
organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum, dapat terjadi
nekrosis dinding kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga terjadi perforasi ke
dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara kandung empedu dan
organ-organ tersebut.

4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi. Penyebab
utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54% disebebkan oleh
sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh organisme Enterokokal
dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan berwarna coklat tua dan gelap.
Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi dengan diskuamasi atau mukosa yang
ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.

5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran pankreas. Ini
disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus bergerak menutupi
ampula vetri.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan


Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik untuk
merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang melalui lima fase berikut yaitu
pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.

1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi:

a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat,
semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan tindakan
selanjutnya.

2) Identitas penanggung jawab


Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama,
umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.

b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian.
Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran
kanan atas.

2) Riwayat kesehatan sekarang


Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,
paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien, quality atau kualitas
(Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu
nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat
mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan
klien merasakan nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke
punggung atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu

3) Riwayat kesehatan yang lalu


Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat
sebelumnya.

4) Riwayat kesehatan keluarga


Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis.

c. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:

1) B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi
peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi.

2) B2-Blood
Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi.
3) B3-Brain
-

4) B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.

5) B5-Bowel
Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris sehingga
pigmen empedu tidak dibuang melalui feses.
6) B6-Bone
-

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan Agen Cedera Biologis: Obstruksi
Kandung Empedu
b. Risiko Infeksi berhubungan dengan Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif
c. TAMBAHKAN SEMUA DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN
MUNCUL PADA PASIEN POST OP KOLESISTETOMI (SECARA TEORI)
d. Intervensi Keperawatan (TAMBAHKAN SEMUA INTERVENSI UNTUK TIAP
DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL PADA PASIEN
POST OP KOLESISTETOMI (SECARA TEORI)

Diagnosa
SLKI SIKI
Keperawatan

Gangguan rasa Setelah diberikan asuhan keperawatan 1) Identifikasi lokasi,


nyaman selama …x24 jam diharapkan nyeri pada karakteristik, durasi,
pasien dapat berkurang dengan kriteria frekuensi, kualitas, intensitas
hasil: nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
1. Melaporkan nyeri terkontrol
3) Identifikasi respon nyeri non
2. Kemampuan mengenali onset
verbal
nyeri meningkat
4) Identifikasi factor yang
3. Kemampuan mengenali penyebab
memperberat dan
nyeri meningkat
memperingan nyeri
4. Kemampuan menggunakan
5) Identifikasi pengetahuan dan
Teknik non-farmakologis
keyakinan tentang nyeri
meningkat
6) Identifikasi pengaruh nyeri
5. Dukungan orang terdekat
pada kualitas hidup
meningkat
7) Monitor keberhasilan terapi
6. Keluhan nyeri menurun
komplementer yang sudah
7. Penggunaan analgesic menirun
diberikan
8) Monitor efek samping
penggunaan analgesic
9) Berikan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
10) Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
11) Fasilitasi istirahat dan tidur
12) Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
13) Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
14) Jelaskan strategi meredakan
nyeri
15) Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
16) Anjurkan menggunakan
analgesic yang secara tepat
17) Ajarkan Teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
18) Kolaborasi pemberian
analgesic, jika perlu

Risiko Infeksi Setelah diberikan asuhan keperawatan 1) Monitor tanda dan gejala
selama …x24 jam diharapakan tidak infeksi local dan sistemik
terjadi infeksi dengan kriteria hasil: 2) Batasi jumlah pengunjung
3) Berikan perawatan kulit
1. Kebersihan tangan meningkat
pada area edema
2. Kebersihan badan meningkat
4) Cuci tangan sebelum dan
3. Nafsu makan meningkat
sesudah kontak dengan
4. Demam menurun
pasien dan lingkungan
5. Tidak terjadi kemerahan
pasien
6. Tidak timbul rasa nyeri
5) Pertahankan Teknik aseptic
7. Tidak timbul bengkak
pada pasien berisiko tinggi
8. Tidak ada cairan berbau busuk
6) Jelaskan tanda dan gejala
9. Tidak terjadi sputum berwarna
infeksi
hijau 7) Ajarkan cara mencuci
10. Drainase purulent menurun tangan dengan benar
11. Pyuria menurun 8) Ajarkan etika batuk
12. Periode mailase menurun 9) Ajarkan cara memeriksa
13. Periode menggigil menurun kondisi luka atau luka oprasi
14. Letargi menurun 10) Anjurkan meningkatkan
15. Gangguan kognitif menurun asupan nutrisi
16. Kadar sel darah putih membaik 11) Anjurkan meningkatkan
17. Kultur darah membaik asupan cairan
18. Kultur urine membaik 12) Kolaborasi pemberian
19. Kultur sputum membaik imunisasi, jika perlu
20. Kultur area luka membaik
21. Kultur feses membaik
22. Kadar sel darah putih membaik
BAB 3
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus

Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni

(Hakim, 2019)

(Hasanah, 2015)

PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1st ed.). Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SIKI SPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1st ed.). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI SPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (1st ed.). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Purwanti, 2016

Putra et al., 2017

Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth.
Jakarta : EGC.

Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai