OLEH
KELOMPOK II :
NAMA :
KUPANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN
Hari/tanggal:
Oleh:
Mengetahui,
Kepala Ruangan
Halaman
Halaman Depan.................................................................................................................
Lembar Pengesahan..........................................................................................................
Kata Pengantar..................................................................................................................
Daftar Isi.............................................................................................................................
Daftar Lampiran
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat,
petunjuk dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan seminar kasus
dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. R L DENGAN
KOLELITIASIS POST OPERASI KHOLESISTECTOMI DI RUANG RAWAT INAP
GARUDA RSUD S.K.LERIK KOTA KUPANG”.
Laporan seminar kasus ini dalam penyusunannya mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Direktur, Kepala Bidang Pelayanan dan Kepala Seksi Pelayanan Keperawatan beserta
staf yang telah mengijinkan kami menjalani praktik profesi di RSUD S.K.Lerik Kota
Kupang
2. Ns. Ersi selaku Pembimbing Akademik
3. Ns.Maria Yosepha Melania, S.Kep dan Sarline Haninuna, A.Md.Kep selaku Kepala
Ruangan dan Wakil
4. Ns. Hendrimina M. H. Suki, S.Kep selaku Pembimbing Klinik
5. Seluruh staf dan perawat di Ruang Rawat Inap Garuda RSUD S.K.Lerik Kota Kupang.
yang telah dengan sabar membimbing kami selama masa praktik.
Kami penullis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan oleh karena
itu, dengan segala kerendahan hati penulis siap menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan kasus ini. Semoga Tuhan senantiasa mencurahkan Rahmat
yang melimpah kepada semua pihak yang telah banyak membantu seminar kasus ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga seminar kasus ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya profesi
Keprawatan
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
2. Mampu melakukan pengkajian data pada Ny. R L dengan Kolelitiasis Post Operasi
Kholesistectomi di ruang Rawat Inap Umum Garuda RSUD SK Lerik Kota Kupang
3. Mampu merumuskan diagnosa pada Ny. R L dengan Kolelitiasis Post Operasi
Kholesistectomi di ruang Rawat Inap Umum Garuda RSUD SK Lerik Kota Kupang
1.3 Manfaat
1. Bagi Institusi
Adanya seminar kasus ini diharapkan dapat menambah informasi, bahan bacaan
atau pun referensi untuk pembelajaran tentang asuhan keperawatan pada pasien
Kolelitiasis post operasi Kholesistectomi .
4. Bagi Masyarakat
Seminar kasus ini diharapkan bisa bermanfaat khususnya bagi pasien dan
keluarga untuk mengetahui cara perawatan pasien post operasi Kholesistectomi.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran
empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu empedu bisa
terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra
hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang
terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus koleduktus) disebut
koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik disebelah
proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan
koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis.
B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi
dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang
dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko
tersebut antara lain:
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi
hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolisme umum, resistensi insulin, diabetes
militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi
kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan batu
empedu kolesterol.
4. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang
bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis), puasa
berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan berat
badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah
lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam
empedu, serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat hipolipidemik
meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya
meningkatkan resiko batu
empedu kolesterol. Analog somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk
batu empedu dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.
6. Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat dalam
bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol
meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah turun
temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal.
8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mucus.
Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
9. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat
kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi kolesterol
dan meningkatkan resiko batu empedu.
C. Manifestasi Klinik
1. Asimtomatik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa mempertimbangkan
jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang benar-benar mempunyai
batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah lima
tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa
nyeri dan hanya menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin
ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk
gangguan yang tidak berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua jenis
gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu sendiri dan
gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya
bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrum, seperti rasa penuh, distensi
abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi.
5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut
lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika
defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu proses
pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung
empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam
waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut,
penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis
generalisata.
D. Patofisiologi
Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak ke area lain dari
sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau pengisian kandung empedu
batu dapat pindah dan terjebak dalam leher kandung empedu. Selain leher cysticduct
(saluran cyste), atau saluran empedu menyebabkan bebuntuan. Ketika empedu tidak bias
mengalir dari kandung empedu. Terjadi bendungan dan iritasi lokal dari batu empedu
menyebabkan radang batu empedu (cholecystitis)
Faktor yang mendukung :
4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan
dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu, pemerikasaan
USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan
hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung
empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada
gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan merupakan
pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%. Kriteria
batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic shadowing dari gambaran
opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian, manfaat US untuk mendiagnosis
BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang mencakup 119 pasien dengan BSE
sensitivitas US didapatkan sebesar 40%, spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam
mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian distal saluran empedu tempat umumnya batu
terletak sering sulit diamati akibat tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran
empedu yang tidka melebar pada sejumlah kasus BSE.
5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk
penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya.Media kontras yang
mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu
diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan
radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada foto
rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan,
kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap
kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat
mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi
kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyakwaktu dan persiapan
dibandingkan ultrasonografi.
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut nyeri
kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit, dan jika
memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi, prosedur-
prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
b. Farmakoterapi
Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak
mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier,
sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap yang
dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian asam kenodeoksikolat
adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih. Doasisnya 8-
10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien mengalami
kegemukan.Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu radiolusen secara
lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam kenodeoksikolat. Efek
sampingnya tidak ada. Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5
mg/kg/hari dangan 7,5 mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama
efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk)
telah digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil dan
terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan
kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dengan dosis
yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya adalah
menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi
getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi besarnya, batu yang kecil
dilarutkan dan batu yang baru dicegah pembentukannya. Pada banyak pasien
diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12 bulan untuk melarutkan batu empedu, dan
selama terapi keadaan pasien dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada berat
badan pasien. Terapi ini dilakukan pada pasien yang menolak terapi pembedahan
atau dianggap terlalu beresiko untuk menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien sesudah
terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini dengan dosis rendah dapat
dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut kolesistisis
berlanjut atau timbul kembali, intervensi bedah atau litotropis merupakan indikasi.
b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk mengeluarkan
batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain mungkin dapat atau tidak
digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang ringan dan waktu rawat yang
singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk penanganan ini.
c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan dalam
pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara toritis dari prosedur ini
dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi perawatan di rumah
sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa kembali bekerja, nyeri
menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah
keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi mayor, seperti
misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi lebih sering selama
kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin merupakan ukuran
pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang
berkaitan dengan modalitas baru.
d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang
lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas.
Kandung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan
drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat dengan jahitan
kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan dengan sistem
drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu disekitar kateter atau perembesan
getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut, pasien
dapat kembali lagi untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah,
bedah kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai
setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses penyakit pasien yang mendasarinya.
e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani
tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini mencakup para penderita
sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal, paru atau hati.
Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus ditusukkan lewat dinding
abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu dengan dipandu oleh USG atau
pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk memastikan bahwa penempatan jarum
telah adekuat, dan kemudian sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu
tersebut untuk dekompresasi saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu
dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi
berkurang atau menghilang dengan segera.
f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke
dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter
ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu biasanya juga
mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan bersama-sama
kolesistektomi.
H. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada
dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap
ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap makan mungkin
dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema,
biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan
dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat
juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan
nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi
peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi
dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian
menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di
duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan
pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian
tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut beberapa
penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis:
1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus sehingga
tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat peradangan akut
dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti peradangan kronis dengan
adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding tebal dan terdistensi oleh materi
steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh efek massa dalam kuadran kanan atas.
Hidrops kandung empedu dapat menyebabkan kolesistisi akut.
2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang
terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu dapat
menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu menjadi
lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal
penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi supurasi.
Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.
a. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis
supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik, demam
tinggi, menggigil dan leukositosis.
b. Nekrosisdan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan perforasi.
Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus Roktiansky-
Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi ruptura.
Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian vesica biliaris yang
paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas peritonialis bebas
jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya perlekatan dengan organ-
organ yang berdekatan dengan pembentukan abses local. Ruptura ke dalam organ
berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.
c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam civitas peritonialis menyebabkan syok parah.
Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada dinding
organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum, dapat terjadi
nekrosis dinding kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga terjadi perforasi ke
dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara kandung empedu dan
organ-organ tersebut.
4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi. Penyebab
utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54% disebebkan oleh
sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh organisme Enterokokal
dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan berwarna coklat tua dan gelap.
Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi dengan diskuamasi atau mukosa yang
ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.
5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran pankreas. Ini
disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus bergerak menutupi
ampula vetri.
1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi:
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat,
semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan tindakan
selanjutnya.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian.
Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran
kanan atas.
c. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:
1) B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi
peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi.
2) B2-Blood
Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi.
3) B3-Brain
-
4) B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.
5) B5-Bowel
Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris sehingga
pigmen empedu tidak dibuang melalui feses.
6) B6-Bone
-
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan Agen Cedera Biologis: Obstruksi
Kandung Empedu
b. Risiko Infeksi berhubungan dengan Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif
c. TAMBAHKAN SEMUA DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN
MUNCUL PADA PASIEN POST OP KOLESISTETOMI (SECARA TEORI)
d. Intervensi Keperawatan (TAMBAHKAN SEMUA INTERVENSI UNTUK TIAP
DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL PADA PASIEN
POST OP KOLESISTETOMI (SECARA TEORI)
Diagnosa
SLKI SIKI
Keperawatan
Risiko Infeksi Setelah diberikan asuhan keperawatan 1) Monitor tanda dan gejala
selama …x24 jam diharapakan tidak infeksi local dan sistemik
terjadi infeksi dengan kriteria hasil: 2) Batasi jumlah pengunjung
3) Berikan perawatan kulit
1. Kebersihan tangan meningkat
pada area edema
2. Kebersihan badan meningkat
4) Cuci tangan sebelum dan
3. Nafsu makan meningkat
sesudah kontak dengan
4. Demam menurun
pasien dan lingkungan
5. Tidak terjadi kemerahan
pasien
6. Tidak timbul rasa nyeri
5) Pertahankan Teknik aseptic
7. Tidak timbul bengkak
pada pasien berisiko tinggi
8. Tidak ada cairan berbau busuk
6) Jelaskan tanda dan gejala
9. Tidak terjadi sputum berwarna
infeksi
hijau 7) Ajarkan cara mencuci
10. Drainase purulent menurun tangan dengan benar
11. Pyuria menurun 8) Ajarkan etika batuk
12. Periode mailase menurun 9) Ajarkan cara memeriksa
13. Periode menggigil menurun kondisi luka atau luka oprasi
14. Letargi menurun 10) Anjurkan meningkatkan
15. Gangguan kognitif menurun asupan nutrisi
16. Kadar sel darah putih membaik 11) Anjurkan meningkatkan
17. Kultur darah membaik asupan cairan
18. Kultur urine membaik 12) Kolaborasi pemberian
19. Kultur sputum membaik imunisasi, jika perlu
20. Kultur area luka membaik
21. Kultur feses membaik
22. Kadar sel darah putih membaik
BAB 3
DAFTAR PUSTAKA
(Hakim, 2019)
(Hasanah, 2015)
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1st ed.). Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI SPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1st ed.). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI SPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (1st ed.). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Purwanti, 2016
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth.
Jakarta : EGC.
Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media.