Anda di halaman 1dari 11

BAB I`

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2018 adalah

meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

orang agar terwujud derajat kesehatn masyarakat yang optimal melalui

terciptanya masyarakat bangsa dan negara Indonesia ditadai oleh penduduknya

yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat untuk menjangkau

pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat

kesehatn yang optimal di seluruh Republik Indonesia (DepKes RI,1998)

Operasi adalah segala tindakan pengobatan yang menggunakan cara

invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan

ditangani, umumnya dilakukan dengan membuat sayatan yang diakhiri

dengan penutupan dan penjahitan luka (Syamsuhidajat, 2010). Sedangkan

pembedahan ymerupakan suatu tindakan yang dilakukan di ruang operasi

ruamah sakit dengan prosedur yang sudah ditetapkan (Burner & Suddart, 2012).

Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat

karena usus yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut

serta dalam system imun sektorik di saluran pencernaan. Namun, pengangkatan

apendiks tidak menimbulkan efek fungsi system imun yang jelas

(Syamsyuhidayat, 2010). Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensi

farmakologik juga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah


komplikasi dan memberikan implikasi pada perawat dalam bentuk asuhan

keperawatan.

Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya

perforasi dan pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan ketetapan

cairan inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respons

inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi

apendiks disertai dengan material abses, maka akan memberikan manifestasi

nyeri lokal akibat akumulasi abses dan kemudian juga akan memberikan 2

respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah nyeri

hebat yang tiba - tiba datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2010).

Angka kejadian apendisitis di dunia mencapai 3442 juta kasus tiap tahun

(Stacroce, 2013). Statistik di Amerika mencatat setiap tahun terdapat 30 – 35 juta

kasus apendisitis (Departemen Republik Indonesia, 2013). Penduduk di Amerika

10% menjalani apendektomy (pembedahan untuk mengangkat apendiks). Afrika

dan Asia prevalensinya lebih rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh

karena pola diitnya yang mengikuti orang barat.

Survey di 15 provinsi di Indonesia tahun 2014 menunjukan jumlah

apendisitis yang dirawat di rumah sakit sebanyak 4.351 kasus. Jumlah ini

meningkat drastis dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 3.236

orang. Awal tahun 2014, tercatat 1.889 orang di Jakarta yang dirawat di rumah

sakit akibat apendisitis (Depkes RI, 2014). Kementrian Kesehatan menganggap


apendisitis merupakan isu prioritas kesehatan di tingkat lokal dan nasional karena

mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2013).

Preoperative teaching atau penyuluhan pre operasi didefinisikan sebagai

tindakan suportif dan pendidikan yang dilakukan perawat untuk membantu pasien

bedah dalam meningkatkan kesehatannya sendiri sebelum dan sesudah

pembedahan. Penyuluhan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi

pasien dalam menjalani rangkaian prosedur pembedahan sehingga klien

diharapkan lebih kooperatif dalam perawatan pasca operasi, dan mengurangi

resiko komplikasi pasca operasi (Ignativicius, 1996 dalam Ayuningsih, 2011).

Oleh sebab itu perawat sebaiknya melakukan penyuluhan tentang apa yang harus

dilakukan pasca operasi khususnya mobilisasi dini, pada saat pre operasi.

Sehingga pasien mengetahui apa yang harus mereka lakukan pasca operasi.

Apabila pasien memahami alasan pentingnya penyuluhan ini, maka komplikasi

pada tahap pemulihan akan berkurang (Potter and Perry, 2011).

Pemulihan kesehatan pasca operasi merupakan hal yang sangat penting

bagi pasien untuk mencegah komplikasi (Depkes RI, 2010). Komplikasi yang

dapat muncul pasca operasi diantaranya perdarahan, infeksi pada luka operasi dan

ileus pasca operasi. Insiden ileus pasca operasi berkisar antara 4-32%. Insiden ini

biasanya meningkat pada bedah abdomen dan pelvis, laparotomi, dan penggunaan

anastesi inhalasi. Ileus secara fisiologis pulih dalam 24 – 48 jam pasca operasi.

Ileus ini berkurang seiring dengan penurunan efektivitas anastesi, diet bertahap

dan mobilisasi (Kehlet & Holte, 2011). Hampir semua pasien pasca bedah
dianjurkan untuk mulai melakukan mobilisasi. Dimulai dari latihan ringan di atas

tempat tidur (latihan pernafasan, latihan batuk efektif dan menggerakkan tungkai)

sampai dengan pasien bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan

berjalan ke luar kamar (Smeltzer, 2011 ).

Angka kejadian apendisitis di dunia mencapai 3442 juta kasus tiap tahun

(Stacroce, 2013). Statistik di Amerika mencatat setiap tahun terdapat 30 – 35 juta

kasus apendisitis (Departemen Republik Indonesia, 2013). Penduduk di Amerika

10% menjalani apendektomy (pembedahan untuk mengangkat apendiks). Afrika

dan Asia prevalensinya lebih rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh

karena pola diitnya yang mengikuti orang barat.

Survey di 15 provinsi di Indonesia tahun 2014 menunjukan jumlah

apendisitis yang dirawat di rumah sakit sebanyak 4.351 kasus. Jumlah ini

meningkat drastis dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 3.236

orang. Awal tahun 2014, tercatat 1.889 orang di Jakarta yang dirawat di rumah

sakit akibat apendisitis (Depkes RI, 2014). Kementrian Kesehatan menganggap

apendisitis merupakan isu prioritas kesehatan di tingkat lokal dan nasional karena

mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2013).

Manfaat mobilisasi dini menurut beberapa literatur adalah untuk

memperbaiki sirkulasi, mencegah Deep Vein Thrombosis (DVT), mengurangi

komplikasi imobilisasi pasca operasi, mempercepat pemulihan peristaltik usus

serta mempercepat proses pemulihan pasca operasi (Hinchliff, 1999;Craven &

Hirnle, 2009). Beberapa penelitian yang mendukung manfaat dari mobilisasi dini
diantaranya yaitu penelitian oleh Sulistyawati dkk yang berjudul “Efektivitas

Mobilisasi Dini Terhadap Penyembuhan Luka Post Operasi Apendisitis”

menyimpulkan ada perbedaan yang signifikan pada proses penyembuhan luka

antara klien dengan pemberian mobilisasi dini dan tanpa pemberian mobilisasi

dini.

Keberhasilan mobilisasi dini tidak hanya mempercepat proses pemulihan

luka pasca pembedahan namun juga mempercepat pemulihan peristaltik usus

pada pasien pasca pembedahan (Israfi dalam Akhrita, 2011). Selain itu, hasil

penelitian Chandrasekaran, dkk (2007) mengemukakan bahwa mobilisasi dini

pada 24 jam pertama setelah Total Knee Replacemen (TKR) adalah cara yang

murah dan efektif untuk mengurangi timbulnya thrombosis vena dalam pasca

operasi.

Mobilisasi juga akan mencegah kekakuan otot dan sendi, menjamin

kelancaran peredaran darah, memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh,

mengembalikan kerja fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya justru akan

mempercepat penyembuhan pasien dan mengurangi biaya perawatan pasien

(Kusumawan, 2012). Hal ini dibuktikan dari hasil studi yang dilakukan oleh

Barid (2012) yang menyebutkan dari 40 responden pasca bedah (20 perlakuan

dengan mobilisasi dini dan 20 kontrol tanpa intervensi) didapatkan hasil 85%

responden pada kelompok perlakuan mempunyai lama hari rawat 3 hari dan 15%

responden dengan lama hari rawat 4 hari. Adapun pada kelompok kontrol

didapatkan 55% respoden mempunyai lama hari rawat 3 hari, 30% responden
dengan lama hari rawat 4 hari serta 15% responden dengan lama hari rawat

selama 5 hari. Apabila pasien tidak melakukan mobilisasi dini dengan baik, maka

lama hari rawat pasien akan memanjang yang akhirnya dapat menyebabkan

peningkatan biaya perawatan (Corwin & Elizabeth J, 2010)

Banyak pasien yang tidak berani menggerakkan tubuh pasca operasi

karena takut jahitan operasi sobek atau takut luka operasinya lama sembuh.

Masalah yang sering terjadi adalah ketika pasien merasa terlalu sakit atau nyeri

dan faktor lain yang menyebabkan mereka tidak mau melakukan mobilisasi dini

dan memilih untuk istirahat di tempat tidur (Kozier et al, 1995 dalam Yanty 2010)

Tabel 1.2
Angka Kejadian IDO di RSUD Pariaman
Tahun 2017
Bulan Kejadian IDO Kasus Operasi %
TRM I 0 543 0

TRM II 1 571 0,02

TRM III 4 568 0,27

Sumber: Program Pengandalian Infeksi RSUD Pariaman 2017

Sementara data dinas kesehatan provisi sumatera barat menyebutkan

bahwa pada tahun 2014 jumlah kasus appendicitis sebanayak 5.980 penderita, dan

177 penderita diantaranya menyebabkan kematian. Dari data yang didapatkan

berdasarkan data rekapitulasi kejadian Appendisitis baik itu akut maupun kronis

selama tahun 2017 di Bangsal Bedah RSUD Pariaman bahwa angka kejadian
Apendisitis sebanyak 86 orang penderita dan yang sudah dilakukan

Appendictomy ataupun Laparatomy sebnyak 69 orang penderita.

Tabel 1.1
Angka Kejadian Appendik Di Bangsal Bedah RSUD Pariaman
Tahun 2017
KASUS
No. BULAN
Rawat OP
1 Januari 14 11
2 Februari 3 4
3 Maret 15 15
4 April 5 1
5 Mei 7 3
6 Juni 8 4
7 Juli 7 5
8 Agustus 6 9
9 September 5 5
10 Oktober 8 13
11 November 7 8
12 Desember 1 1
Total 86 79
Sumber: Medical Record RSUD Pariaman

Berdasarkan data yang didapatkan dari rangkuman data oleh Program

Pengendalian Infeksi di RSUD Pariaman selama tahun 2017 terdapat 5 kasus

Infeksi Daerah Operasi (IDO) dengan 1 kasus pada Trimester II dan 4 kasus pada

Trimester III. Data ini didapatkan berdasarkan telusur ke ruangan rawatan bedah

dengan kriteria kejadian 3 hari pasca operasi dan pasien mengalami infeksi pada

daerah bekas operasi.

Pemenuhan kebutuhan informasi merupakan salah satu indikator kualitas

pelayanan kesehatan dirumah sakit. Semakin tinggi tingkat keberhasilan

pemberian pendidikan kesehatan yang diberikan atau semakin tinggi tingkat


kepuasan pasien terhadap pendidikan kesehatan yang diberikan oleh perawat,

maka akan berdampak pada semakin tinggi pula kualitas pelayanan kesehatan

dirumah sakit tersebut (Ayuningsih, 2011)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pradnyani, Made A

(2014) tentang Pengaruh Preoperative Teaching Terhadap Pelaksanaan

Mobilasisi Dini Pasca Bedah Appendectomy di RSUP Sanglah Denpasar yang

mana penelitian dilakukan terhadap 20 orang sample dengan teknik Consecutive

Sampling. Adapun hasil dari penelitiannya menunjukan bahwa terdapat hubungan

yang bermakna antara pemberian preoperative teaching terhadap pelaksanaan

mobilasisi dini dengan hasil Pvalue = 0,008.

Sedangkan hasil survey awal yang peneliti lakukan terhadap 4 orang

pasien. 2 orang pasien sebelum dilakukan tindakan appendectomy yang tidak

dilakukan preoperative teaching tidak melakukan mobilisasi dini setelah 6 jam

pasca operasi karena alasan nyeri pada bekas operasi dan takut jahitannya lepas.

Setelah dilakukan auskultasi bising usus pasien masih lemah karena kurang nya

mobilisasi yang dilakukan pasca operasi. Kemudian dilakukan terhadap 2 orang

sebelum dilakukan tindakan appendectomy lalu dilakukan preoperative teaching

dan dijelaskan serta didemonstrasikan tata cara mobilasasi 6 jam pasca operasi

sampai pasien tersebut mampu memperagakan dan 6 jam pasca operasi pasien

melakukan mobilisasi dini walau mengeluhkan sakit pada wilayah bekas operasi

dan pasien ini lebih cepat pergerakan perstaltik usus nya dengan dilakukan

auskultasi serta ditandai dengan adanya flatus pasca operasi. Bahkan pasien ini
mampu melakukan aktivitas seperti halnya kekamar mandi untuk proses

eliminasi.

Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Pengaruh preoperative teaching terhadap Pelaksanaan

mobilisasi dini pada pasien post appendectomy di Bangsal Bedah RSUD

Pariaman”.

A. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah di atas didapatkan rumusan masalah “Adakah
pengaruh preoperative teaching terhadap pelaksanaan mobilisasi dini pada
pasien post appendectomy di RSUD Pariaman?"

A. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh preoperative teaching terhadap pelaksanaan

mobilisasi dini pasien post appendectomy di Bangsal Bedah RSUD Pariaman.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik subjek penelitian.

b. Mengidentifikasi pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien post op

appendictomy yang mendapat preoperative teaching di RSUD Pariaman.

c. Mengidentifikasi pelaksanaan mobilisasi dini pasien post op

appendictomy yang tidak mendapat preoperative teaching di RSUD

Pariaman
d. Menganalisis perbedaan pelaksanaan mobilisasi dini kelompok perlakuan

yang mendapat preoperative teaching dengan kelompok control tanpa

intervensi

B. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian yang nantinya akan diperoleh, peneliti berharap hal

tersebut memberikan manfaat, antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka

terutama dalam bidang keperawatan perioperatif, sebagai bahan acuan

bagi peneliti selanjutnya.

b. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi intervensi yang bisa diaplikasikan

pada pasien pre operasi sehingga dapat memaksimalkan perawatan pasien

pasca operasi.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh perawat sebagai pedoman

untuk memberikan intervensi berupa penyuluhan pada pasien pre operasi.

Tujuan dari penyuluhan ini agar pasien lebih siap menghadapi proses

pembedahan dan lebih memahami perawatan pasca operasi, sehingga

komplikasi pasca pembedahan dapat dihindari. Pemulihan kesehatan yang

baik tentu akan berpengaruh pada semakin berkurangnya length of stay


pasien di rumah sakit, sehingga biaya yang dikeluarkan pasien juga akan

berkurang.

Anda mungkin juga menyukai