Anda di halaman 1dari 62

0

HUBUNGAN INTENSITAS NYERI DAN KECEMASAN DENGAN POLA


TIDUR PADA PASIEN POST OPERASI DI RUANGAN PERAWATAN
BEDAH RSUD PROF.DR.H.M.ANWAR MAKKATUTU
KABUPATEN BANTAENG
TAHUN 2019

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :
INDRA PUTRI RANI
NIM. C.17.04.061

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
PANRITA HUSADA BULUKUMBA
2019
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan

yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan

bagian tubuh yang akan ditangani. Pembedahan baik elektif maupun

kedaruratan adalah peristiwa kompleks yang menegangkan.

Kebanyakan prosedur bedah dilakukan di ruang operasi rumah sakit.

Pasien post operasi memiliki masalah kesulitan tidur merupakan

masalah yang sering terjadi, sedangkan fungsi dari tidur adalah

sintesis pemulihan, perilaku, waktu perbaikan tubuh dan otak (Ndode

et al., 2018).

Menurut data dari World Health Organization (WHO) jumlah

pasien dengan tindakan operasi mencapai angka peningkatan yang

sangat signifikan dari tahun ke tahun. Tercatat di tahun 2011 terdapat

140 juta pasien di seluruh rumah sakit di dunia, pada tahun 2012 data

mengalami peningkatan sebesar 148 juta jiwa. Sedangkan untuk

kawasan Asia pasien dengan tindakan operasi mencapai angka 77 juta

pada tahun 2012 (Barus et al., 2018).

Di Indonesia terjadi peningkatan tindakan pembedahan pada

tahun 2000 sebesar 47,22% tahun 2001 sebesar 45,19% tahun 2002

sebesar 47,13% dan mengalami peningkatan pada tahun 2006 yaitu

sebesar 53,68%. Berdasarkan Data Tabulasi Nasional Departemen

Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009, tindakan bedah menempati

1
2

urutan ke-11 dari 50 pertama pola penyakit di rumah sakit se-Indonesia

dengan persentase 12,8%” (Badriah et al., 2017).

Di Sulawesi Selatan, berdasarkan data yang didapat dari data

Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar merupakan Rumah

Sakit Pusat rujukan untuk Wilayah Indonesia bagian timur angka

tindakan operasi laparatomi setiap tahunnya semakin meningkat

dimana pada tahun 2010 pelaksanaan operasi laparatomi yakni 143

kasus, 2011 sebanyak 163 kasus, sedangkan pada bulan Januari

sampai Oktober 2012 sebanyak 231 bulan dengan rata-rata tiap bulan

sebanyak 30 kasus (Hasnatang et al., 2016).

Data rekam medik tentang jumlah pasien dengan tindakan

pembedahan yang didapatkan di RSUD Prof.Dr.H.M Anwar Makkatutu

Bantaeng menunjukkan bahwa pada tahun 2016 terdapat 1.181 kasus

pasien yang mengalami pembedahan, pada tahun 2017 terdapat 1.491

kasus pasien yang mengalami pembedahan sedangkan pada tahun

2018 terdapat 1611 kasus pasien yang mengalami pembedahan.

Berdasarkan data yang didapatkan ini dapat dilihat bahwa tindakan

pembedahan di RSUD Bantaeng setiap tahun semakin meningkat.

Gangguan tidur adalah suatu kondisi yang jika tidak di obati,

umumnya menyebabkan tidur terganggu yang menghasilkan salah

satu dari tiga masalah insomnia, yaitu: gerakan abnormal atau sensasi

saat tidur atau ketika terbangun dimalam hari. Setiap penyakit yang

menyebabkan rasa sakit dan ketidaknyamanan fisik, atau masalah


3

dengan suasana hati, seperti kecemasan atau depresi, sering

menyebabkan gangguan tidur (Damayanti et al., 2017).

Potter dan Perry (2005), menjelaskan bahwa pasien yang baru

mengalami pembedahan sering terbangun pada malam hari dan hanya

mendapat sedikit tidur akibat nyeri setelah pembedahan. Selain itu,

intensitas nyeri yang semakin bertambah dapat menimbulkan

kecemasan. Kecemasan yang terjadi pada klien post operasi mayor

yang dirawat di rumah sakit perlu mendapatkan perhatian serius dari

perawat, apabila klien mencapai harapan yang realistik terhadap nyeri

dan mengetahui cara mengatasinya, rasa cemas akan jauh berkurang

(Badriah et al., 2017).

Nyeri setelah pembedahan merupakan hal yang fisiologis, tetapi

hal ini merupakan salah satu keluhan yang paling ditakuti oleh pasien

setelah pembedahan. Sensasi nyeri mulai terasa sebelum kesadaran

pasien kembali penuh, dan semakin meningkat seiring dengan

berkurangnya pengaruh anestesi. Adapun bentuk nyeri yang dialami

oleh pasien pasca pembedahan adalah nyeri akut yang terjadi karena

adanya luka insisi bekas pembedahan (Afdal, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Afdal pada tahun 2015 dengan judul hubungan antara nyeri dan

kecemasan dengan kualitas tidur pada pasien post operasi laparatomi

di Instalasi Rawat Inap Ruang Bedah RSUP.Dr. M.Djamil Padang

dengan menggunakan metode deskriptif korelasional terhadap 25

jumlah sampel pada penelitian tersebut, menemukan bahwa terdapat


4

hubungan yang bermakna antara nyeri dengan pola tidur pasien post

laparatomi di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2015 dengan nilai

p=0,020 dan nilai korelasi r=-0,462, yang berarti kekuatan korelasi

sedang dengan arah negatif dimana semakin tinggi skala nyeri

semakin buruk pola tidur pasien post laparatomi.

Tindakan pembedahan atau operasi ini merupakan pengalaman

yang sulit bagi hampir semua pasien. Berbagai kemungkinan buruk

bisa saja terjadi yang akan membahayakan bagi pasien, tidak heran

jika seringkali pasien dan keluarganya menunjukkan sikap yang agak

berlebihan dengan kecemasan yang mereka alami. Kecemasan yang

mereka alami biasanya terkait dengan segala macam prosedur asing

yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap keselamatan

jiwa akibat segala macam prosedur pembedahan dan tindakan

pembiusan (Riyadhi, 2014).

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Badriah.dkk

pada tahun 2017 dengan judul Faktor-faktor yang berhubungan

dengan kualitas tidur pada klien post operasi bedah mayor di Ruang

Bedah Kelas III RSUD 45 Kuningan dengan menggunakan metode

cross sectional terhadap 40 jumlah sampel melalui wawancara

terhadap 9 klien post operasi mayor saat itu, didapatkan hasil bahwa 7

klien (78%) merasakan nyeri disertai perasaan cemas terhadap

kondisinya, ditambah mengalami kesulitan untuk memulai tidur, tidur

hanya bisa 5-6 jam, serta sering terbangun di malam hari.


5

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada

tanggal 04 Februari 2019 di Ruangan Perawatan Bedah terhadap 10

orang pasien post operasi ditemukan hasil bahwa 6 diantara pasien

tersebut mengatakan tidak bisa tidur karena adanya rasa nyeri pada

luka bekas operasi, dan selebihnya mereka mengatakan tidurnya

terganggu karena cemas terhadap penyakitnya serta lingkungan

Rumah Sakit yang tidak mendukung atau kurang nyaman.

Kurangnya tidur selama periode yang lama dapat menyebabkan

penyakit lain atau memperburuk penyakit yang ada. kesulitan atau

terganggunya tidur ini jika dibiarkan akan mengganggu proses

penyembuhan dimana fungsi dari tidur adalah untuk regenerasi sel-sel

tubuh yang rusak menjadi baru (Afdal, 2015).

Nyeri dan kecemasan merupakan faktor yang paling sering

menganggu pola tidur pada pasien post operasi. Nyeri dan kecemasan

bersifat kompleks, sehingga keberadaanya tidak terpisahkan.

Kecemasan meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat

menimbulkan suatu perasaan cemas. Apabila rasa cemas tidak

mendapatkan perhatian, maka rasa cemas tersebut akan menimbulkan

suatu masalah serius dalam penatalaksanaan nyeri (Apriansyah et al.,

2015).

Seseorang yang mengalami nyeri akan berdampak pada

aktivitas sehari-hari. Seseorang tersebut akan terganggu pemenuhan

kebutuhan istirahat tidur, pemenuhan individu, juga aspek interaksi

sosialnya yang dapat berupa menghindari percakapan, menarik diri


6

dan menghindari kontak. Selain itu seorang yang mengalami nyeri

hebat akan berkelanjutan, apabila tidak ditangani pada akhirnya dapat

mengakibatkan syok neurogenic pada orang tersebut (Faridah, 2015).

Kecemasan juga sering kali mengganggu pola tidur pada pasien

post operasi. Seseorang yang pikirannya dipenuhi dengan masalah

pribadi dan merasa sulit untuk rileks akan sulit pula saat memulai tidur.

Kecemasan meningkatkan kadar norepinefrin dalam darah melalui

stimulasi system saraf simpatis. Perubahan kimia ini menyebabkan

kurangnya waktu tidur tahap IV NREM dan tidur REM serta lebih

banyak perubahan dalam tahap tidur lain dan lebih sering terbangun

(Afdal, 2015).

Mengingat pentingnya kebutuhan akan tidur terhadap

pemulihan pada klien, maka peranan perawat sangat dibutuhkan

karena perawat menghabiskan lebih banyak waktunya bersama klien

dibanding tenaga profesional kesehatan lainnya sehingga perawat

mempunyai kesempatan lebih banyak untuk membantu meningkatkan

pola tidur klien post operasi.

Tingginya jumlah pasien yang mengalami pembedahan di

RSUD Prof.Dr.H.M Anwar Makkatutu Kabupaten Bantaeng setiap

tahunnya yang berdampak terhadap komplikasi nyeri terhadap pasien

yang mengalami pembedahan serta timbulnya kecemasan pada

pasien post operasi maka penting bagi peneliti untuk mengidentifikasi

dan menangani gangguan pola tidur pada pasien, peneliti harus


7

memahami pola tidur, intensitas nyeri, tingkat kecemasan pada pasien

post operasi.

Oleh karena itu berdasarkan uraian latar belakang diatas maka

peneliti ingin melakukan penelitian mengenai “Hubungan intensitas

nyeri dan kecemasan terhadap pola tidur pada pasien post operasi di

Ruangan Perawatan Bedah RSUD Prof.Dr.H.M.Anwar Makkatutu

Kabupaten Bantaeng”.

B. Rumusan Masalah

Jumlah pasien dengan tindakan pembedahan yang didapatkan

di RSUD Prof.Dr.H.M Anwar Makkatutu Bantaeng pada tahun 2016

yaitu terdapat 1.181 pasien, pada tahun 2017 terdapat 1.491 pasien

dan pada tahun 2018 terdapat 1611 pasien yang mengalami

pembedahan. Peningkatan ini memberikan gambaran bahwa tindakan

pembedahan (operasi) mengalami peningkatan yang setiap tahunnya.

Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 04

Februari 2019 di Ruangan Perawatan Bedah terhadap 10 orang pasien

post operasi ditemukan hasil bahwa 6 diantara pasien tersebut

mengatakan tidak bisa tidur karena adanya rasa nyeri pada luka bekas

operasi, dan selebihnya mereka mengatakan tidurnya terganggu

karena cemas terhadap penyakitnya serta lingkungan Rumah Sakit

yang tidak mendukung atau kurang nyaman. Perubahan pola tidur

pada pasien dapat menyebabkan gangguan rasa nyaman dan hal ini

akan mengganggu proses pemulihan pasien post operasi, sehingga


8

perlu diidentifikasi lebih lanjut mengenai pola tidur pada pasien post

operasi.

Oleh karena itu berdasarkan uraian diatas maka peneliti

merumuskan masalah yaitu “Bagaimanakah hubungan antara

intensitas nyeri dan kecemasan dengan pola tidur pada pasien post

operasi di Ruangan Perawatan Bedah RSUD Prof.Dr.H.M Anwar

Makkatutu Kabupaten Bantaeng ?

C. Hipotesis Penelitian

Pada penelitian ini digunakan jenis Hipotesis alternatif (Ha),

hipotesis ini menyatakan adanya suatu hubungan, pengaruh, dan

perbedaan antara dua atau lebih variabel. Hubungan, perbedaan, dan

pengaruh tersebut dapat sederhana atau kompleks, dan bersifat sebab

akibat[ CITATION Nur16 \l 1033 ]. Adapun hipotesis pada penelitian ini

adalah :

 Ada hubungan antara intensitas nyeri dengan pola tidur pada

pasien post operasi di Ruangan Perawatan Bedah RSUD

Prof.Dr.H.M Anwar Makkatutu Kabupaten Bantaeng

 Ada hubungan antara kecemasan dengan pola tidur pada pasien

post operasi di Ruangan Perawatan Bedah RSUD Prof.Dr.H.M

Anwar Makkatutu Kabupaten Bantaeng

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi hubungan intensitas nyeri dan

kecemasan terhadap pola tidur pasien post operasi di Ruangan


9

Perawatan Bedah RSUD Prof.Dr.H.M Anwar Makkatutu Kabupaten

Bantaeng.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi intensitas nyeri pada pasien post operasi

di Ruangan Perawatan Bedah RSUD Prof.Dr.H.M Anwar

Makkatutu Kabupaten Bantaeng

b. Untuk mengidentifikasi kecemasan pada pasien post operasi di

Ruangan Perawatan Bedah RSUD Prof.Dr.H.M Anwar

Makkatutu Kabupaten Bantaeng

c. Untuk mengidentifikasi pola tidur pada pasien post operasi di

Ruangan Perawatan Bedah RSUD Prof.Dr.H.M Anwar

Makkatutu Kabupaten Bantaeng

d. Untuk mengidentifikasi hubungan antara intensitas nyeri dengan

pola tidur pada pasien post operasi di Ruangan Perawatan

Bedah RSUD Prof.Dr.H.M Anwar Makkatutu Kabupaten

Bantaeng

e. Untuk mengidentifikasi hubungan antara kecemasan dengan

pola tidur pada pasien post operasi di Ruangan Perawatan

Bedah RSUD Prof.Dr.H.M Anwar Makkatutu Kabupaten

Bantaeng

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi

ilmiah mengenai perbedaan intensitas nyeri dan kecemasan dalam


10

mempengaruhi pola tidur pada pasien post operasi, penelitian ini

juga sebagai wujud penerapan ilmu yang telah dipelajari sehingga

dapat mengembangkan wawasan peneliti dan menambah bahan

kepustakaan dalam lingkungan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

(STIKES) Panrita Husada Bulukumba.

2. Manfaat Aplikatif

Penelitian ini dapat memberikan solusi dalam meningkatkan

pola fikir masyarakat yang lebih baik sehingga dapat memahami

situasi dan kondisi jika mengalami gangguan pola tidur pada saat

setelah pembedahan.
11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori Tentang Pola Tidur

1. Definisi

Guyton (1986) dalam buku (Sutanto and Fitriana, 2017),

mendefinisikan tidur sebagai kondisi tidak sadar, dimana persepsi

reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang dan dapat

dibangunkan kembali dengan stimulus dan sensor yang cukup.

Tidur adalah status perubahan kesadaran ketika persepsi

dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun (Wahyudi and

Wahid, 2016).

Tidur dapat dikatakan sebagai kondisi ketika seseorang tidak

sadar, tetapi dapat dibangunkan oleh stimulus atau sensoris yang

sesuai. Kondisi ini ditandai dengan aktivitas fisik yang minim,

tingkat kesadaran bervariasi, terjadi perubahan proses fisiologis,

dan terjadi penurunan respons terhadap stimulus eksternal

(Saputra, 2013).

2. Jenis tidur

Tidur dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu tidur NREM dan

tidur REM :

a. Tidur NREM (Norapid Eye Movement)/Tidur Gelombang Lambat

Tidur NREM adalah tidur yang nyaman dan dalam. Saat

tidur seperti ini, gelombang otak lebih lambat dibandingkan

pada orang yang sadar atau tidak tidur. Tanda-tandanya yaitu

11
12

mimpi berkurang, keadaan istirahat, tekanan darah turun,

kecepatan pernapasan turun, metabolisme turun dan gerakan

bola mata lambat (Sutanto and Fitriana, 2017). Tanda tidur

NREM adalah sebagai berikut :

1) Mimpi berkurang

2) Keadaan istirahat

3) Tekanan darah turun

4) Kecepatan pernafasan turun

5) Metabolisme turun

6) Gerakan mata lambat (Heriana, 2014).

b. Tidur REM (Rapid Eye Movement)

Tidur REM (Rapid Eye Movement) berlangsung pada

tidur malam selama 5-20 menit atau rata-rata 90 menit. Periode

pertama terjadi selama 80-100 menit, namun jika kondisi

seseorang sangat lelah, maka awal tidur sangat cepat bahkan

jenis tidur ini tidak ada. Tidur ini memiliki ciri antara lain disertai

dengan mimpi aktif dan lebih sulit dibangunkan. Selain itu tonus

otot selama tidur tidak teratur frekuensi jantung dan pernafasan

terjadi gerakan otot yang tidak teratur (Sutanto and Fitriana,

2017). Karakteristik tidur REM adalah sebagai berikut :

1) Mimpi yang bermacam-macam

2) Otot-otot kendor, gerakan itit tidak teratur

3) Pernafasan : ireguler (tidak teratur) kadang dengan apnea

4) Nadi : cepat dan ireguler


13

5) Tekanan darah meningkat

6) Gelombang otak EEG aktif

7) Siklus tidur sulit dibangunkan

8) Sekresi lambung meningkat

9) Gerakan mata cepat.

3. Tahapan tidur

a. Tahapan tidur NREM

Menurut (Sutanto and Fitriana, 2017), ada empat

tahapan tidur NREM yaitu sebagai berikut :

1) Tahap I

Tahap I merupakan tahap transimisi antara bangun

dan tidur. Hal ini dicirikan dengan perasaan santai, masih

sadar dengan lingkungan, merasa mengantuk, bola mata

bergerak dari samping ke samping, frekuensi nadi dan

napas sedikit menurun. Pada tahap I seseorang dapat

bangun dengan segera, selama tahap ini berlangsung

selama lima menit (Sutanto and Fitriana, 2017).

2) Tahap II

Tahap II merupakan tahap tidur ringan dan proses

tubuh terus menurun. Ciri-cirinya antara lain, mata

menetap/diam, denyut jantung dan frekuensi napas

menurun, temperature tubuh menurun, metabolisme

menurun berlangsung pendek dan berakhir 5-10 menit

(Sutanto and Fitriana, 2017).


14

3) Tahap III

Tahap III merupakan tahap tidur. Ciri-cirinya yaitu

denyut nadi dan frekuensi napas dan proses tubuh lainnya

lambat karena disebabkan oleh dominasi sistem saraf

parasimpatis dan sulit bangun.

4) Tahap IV

Tahap IV merupakan tahap tidur dengan ciri-ciri

antara lain kecepatan jantung dan pernafasan turun, jarang

bergerak dan sulit dibangunkan, gerak bola mata cepat,

sekresi lambung turun, dan tonus otot turun.

b. Tahapan tidur REM

Menurut (Heriana, 2014), tahap tidur REM adalah

sebagai berikut :

1) Lebih sulit dibangunkan dibandingkan dengan tidur NREM

2) Pada orang dewasa normal REM : 20-25% dari tidur

malamnya

3) Jika individu terbangun pada tidur REM maka biasanya

terjadi mimpi

4) Tidur REM penting untuk keseimbangan mental, emosi dan

juga berperan dalam belajar, memori dan adaptasi.

4. Faktor yang mempengaruhi tidur

Menurut [ CITATION Wah16 \l 1033 ], ada beberapa faktor

yang mempengaruhi tidur yaitu sebagai berikut :


15

a. Adanya penyakit

Seseorang yang mengalami sakit memelrkukan waktu

tidur lebih banyak dari normal. Namun demikian, keadaan sakit

menjadikan pasien kurang tidut atau tidak dapat tidur.

b. Lingkungan

Pasien yang biasa tidur pada lingkungan yang tenang

dan nyaman, kemudian terjadi perubahan suasana seperti

gaduh makan akan menghambat tidurnya.

c. Motivasi

Motivasi dapat mempengaruhi tidur dan dapat

menimbulkan keinginan untuk tetap bangun dan waspada

menahan kantuk.

d. Kelelahan

Apabila keadaan kelelahan dapat memperpendek periode

pertama dari tahap REM

e. Kecemasan

Pada keadaan cemas seseorang mungkin meningkatkan

aktivitas saraf simpatis sehingga mengganggu tidurnya.

f. Alkohol

Alkohol menekan REM secara normal, seseorang yang

tahan minum alkohol dapat mengakibatkan insomnia dan lekas

marah.
16

g. Obat-obatan

Beberapa jenis obat yang dapat menimbulkan gangguan

tidur antara lain :

1) Diuretik : menyebabkan nokturia

2) Antidepresan : menekan REM, menurunkan total waktu REM

3) Kafein : meningkatkan saraf simpatis/mencegah orang tidur

4) Beta bloker : menimbulkan insomnia, mimpi buruk

5) Narkotika : mensupresi REM, meningkatkan kantuk siang

hari

6) Alkohol: mengganggu tidur REM, membangunkan

seseorang pada malam hari dan menyebabkan kesulitan

untuk kembali tidur.

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Badriah, et

al., pada tahun 2017 yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan

dengan kualitas tidur pada klien post operasi bedah mayor di

Ruang Bedah Kelas III RSUD 45 Kuningan tahun 2014

menggunakan desain cross sectional dengan jumlah responden 40

orang. Didapatkan hubungan yang bermakna antara intensitas

nyeri (p value = 0,000), tingkat kecemasan (p value = 0,000) dan

faktor lingkungan (p value = 0,002) dengan kualitas tidur

Disimpulkan terdapat hubungan yang bermakna antara intensitas

nyeri dan tingkat kecemasan dengan kualitas tidur.


17

5. Gangguan tidur

Menurut [ CITATION Wah16 \l 1033 ] ada beberapa

gangguan tidur yaitu sebagai berikut :

a. Insomnia

Insomnia adalah ketidakmampuan untuk memenuhi

kebutuhan tidur baik secara kualitas maupun kuantitas.

Gangguan tidur ini umumnya ditemui pada individu dewasa.

Penyebabnya bisa karena gangguan fisik atau karena

faktor mental seperti perasaan gundah atau gelisah. Ada tiga

jenis insomnia yaitu :

1) Insomnia Inisial : kesulitan untuk memulai tidur

2) Insomnia Intermitten : kesulitan untuk tetap tertidur karena

seringnya terjaga

3) Insomnia Terminal : bangun terlalu dini dan sulit untuk tidur

kembali.

b. Hypersomnia

Hypersomnia adalah kebalikan dari insomnia, yaitu tidur

yang berlebihan terutama pada siang hari. Gangguan ini dapat

disebabkan oleh kondisi tertentu, seperti kerusakan system

saraf, gangguan pada hati atau ginjal, atau karena gangguan

metabolisme (misalnya hipertiroidisme). Pada kondisi tertentu,

hipersomnia dapat digunakan sebagai mekanisme koping untuk

menghindari tanggung jawab pada siang hari.


18

c. Parasomnia

Parasomnia adalah perilaku yang dapat mengganggu

tidur atau muncul saat seseorang tidur. Gangguan ini umum

terjadi pada anak-anak. Beberapa turunan parasomnia antara

lain sering terjaga (misalnya tidur berjalan, night terror),

gangguan transisi bangun tidur (misalnya mengigau),

parasomnia yang terakit dengan tidur REM (misalnya mimpi

buruk) dan lainnya (misalnya Bruksisme).

d. Narkolepsi

Narkolepsi adalah gelombang kantuk yang tak

tertahankan yang muncul secara tiba-tiba pada siang hari.

Gangguan ini disebut sebagai “serangan tidur” atau sleep

attack. Penyebab pastinya belum diketahui. Diduga karena

kerusakan genetik system saraf pusat yang menyebabkan tidak

terkendali lainnya periode tidur REM. Penyebab pastinya belum

diketahui. Diduga karena kerusakan genetik system saraf pusat

yang menyebabkan tidak terkendali lainnya periode tidur REM.

Alternative pencegahannya adalah dengan obat-obatan seperti :

amfetamin atau metilpenidase, hidroklorida atau dengan

antidepresan seperti imipramin hidroklorida

e. Apnea saat tidur

Apnea saat tidur atau sleep apnea adalah kondisi

terhentinya nafas secara periodik pada tidur saat tidur. Kondisi


19

ini diduga terjadi pada orang yang mengorok dengan keras,

sering terjaga dimalam hari, insomnia, mengantuk berlebihan.

6. Skala pengukuran pola tidur

Pengukuran pola tidur diukur dengan menggunakan

panduan wawancara dengan mengacu pada insomnia rating scale

yang digunakan oleh kelompok studi biologi Jakarta (KSPBJ),

sehingga dapat mengetahui skor insomnia secara objektif

(Asapuah, 2013).

Jumlah skor maksimun untuk insomnia rating scale adalah

25. Seseorang dikatakan insomnia apabila skornya lebih atau sama

dengan 10. Analisis statistik KSPBJ-IRS dan keluhan insomnia

dengan skor lebih dari 10 merupakan spesifitas yang optimal dan

prediktif value dari keluhan insomnia. Klasifikasi gangguan tidur :

<10 = tidak ada gangguan tidur

>10 = ada atau mengalami gangguan tidur

Skala pengukuran insomnia ini tersusun atas 8 pertanyaan

terdiri dari :

a. Lamanya tidur

Nilai 0 : untuk jawaban tidur lebih dari 6,5 jam

Nilai 1 : untuk jawaban 5 jam 30 menit sampai 6 jam 30 menit

Nilai 2 : untuk jawaban antara 4 jam 30 menit sampai 5 jam 30

menit

Nilai 3 : untuk jawaban tidur kurang dari 4 jam 30 menit


20

b. Mimpi-mimpi

Nilai 0 : untuk jawaban tidak bermimpi sama sekali

Nilai 1 : untuk jawaban terkadang bermimpi dan mimpi yang

menyenangkan

Nilai 2 : untuk jawaban selalu bermimpi dan mimpi yang

mengganggu

Nilai 3 : untuk jawaban selalu mimpi buruk dan tidak

menyenangkan.

c. Kualitas tidur

Nilai 0 : untuk jawaban tidur sangat lelap dan sulit terbangun

Nilai 1 : untuk jawaban tidur nyenyak dan sulit terbangun

Nilai 2 : untuk jawaban tidur nyenyak dan sangat mudah untuk

terbangun

d. Mulai tidur

Nilai 0 : untuk jawaban mulai waktu tidur <5 menit

Nilai 1 : untuk jawaban memulai waktu tidur antara 5 menit

sampai 15 menit

Nilai 2 : untuk jawaban memulai waktu tidur antara 16 sampai

29 menit

Nilai 3 : untuk jawaban memulai waktu tidur antara 30 sampai

44 menit

Nilai 4 : untuk jawaban memulai waktu tidur antara 45 sampai

60 menit

Nilai 5 : untuk jawaban memulai waktu tidur >60 menit


21

e. Bangun malam hari

Nilai 0 : untuk jawaban tidak terbangun sama sekali

Nilai 1 : untuk jawaban terbangun 1-2 kali

Nilai 2 : untuk jawaban terbangun 3-4 kali

Nilai 3 : untuk jawaban terbangun >4 kali

f. Waktu untuk kembali tidur setelah bangun malam hari

Nilai 0 : untuk jawaban <5 menit

Nilai 1 : untuk jawaban antara 6 sampai 15 menit

Nilai 2 : untuk jawaban antara 16-60 menit

Nilai 3 : untuk jawaban lebih dari 1 jam

g. Bangun dini hari

Nilai 0 : untuk jawaban bangun pada waktu biasa

Nilai 1 : untuk jawaban 30 menit lebih cepat dari biasanya dan

tidak bias tidur lagi

Nilai 2 : untuk jawaban bangun satu jam lebih cepat dan tidak

bias tidur lagi

Nilai 3 : untuk jawaban lebih dari 1 jam bangun lebih awal dan

tidak dapat tidur lagi.

h. Perasaan diwaktu bangun

Nilai 0 : untuk jawaban perasaan segar

Nilai 1 : untuk jawaban tidak begitu segar

Nilai 2 : untuk jawaban tidak segar sama sekali


22

B. Tinjauan Teori Tentang Nyeri

1. Definisi nyeri

Nyeri dapat diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak

menyenangkan baik secara sensori maupun emosional yang

berhubungan dengan adanya suatu kerusakan jarigan atau faktor

lain, sehingga individu merasa tersiksa, menderita yang pada

akhirnya mengganggu aktivitas sehari-hari, psikis dan lain-lain

(Sutanto and Fitriana, 2017).

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual atau

potensial [ CITATION Wah16 \l 1033 ].

Menurut International Association For Study Of Pain (IASP)

dalam (Saputra, 2013), nyeri adalah sensori subjektif dan

emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan

kerusakan jaringan actual maupun potensial, atau menggambarkan

kondisi terjadinya kerusakan.

2. Penyebab rasa nyeri

Menurut (Sutanto and Fitriana, 2017), penyebab rasa nyeri

dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu yang berhubungan

dengan fisik dan nyeri psikologis

a. Nyeri fisik

Nyeri disebabkan oleh faktor fisik berkaitan dengan

terganggunya serabut saraf reseptor nyeri. Serabut saraf ini

terletak dan tersebar pada lapisan kulit dan pada jaringan-


23

jaringan tertentu yang terletak lebih dalam. Penyebab nyeri cara

fisik yaitu akibat trauma (trauma mekanik, termis, kimiawi,

maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi

darah dan lain-lain :

1) Trauma mekanik. Trauma mekanik menimbulkan rasa nyeri

karena ujung-ujung saraf bebas, mengalami kerusakan

akibat benturan, gesekan ataupun luka.

2) Trauma termis. Trauma termis menimbulkan rasa nyeri

karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat

panas atau dingin.

3) Trauma kimiawi. Trauma kimiawi terjadi karena tersentuh zat

asam atau basa yang kuat

4) Trauma elektrik. Trauma elektrik dapat menimbulkan rasa

nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai

reseptor rasa nyeri.

5) Neoplasma. Neoplasma menyebabkan nyeri karena

terjadinya tekanan darah dan kerusakan jaringan yang

mengandung reseptor nyeri dan juga karena tarikan, jepitan

atau metastase.

6) Nyeri pada peradangan. Nyeri pada peradangan terjadi

karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya

peradangan atau terjepit oleh pembengkakan.


24

b. Nyeri psikologis

Nyeri yang disebabkan faktor psikologis merupakan nyeri

yang dirasakan bukan keran penyebab organic, melainkan

akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. Kasus

ini dapat dijumpai pada kasus yang termasuk kategri

psikosomatik. Nyeri karena faktr ini disebut psychgenic pain.

3. Klasifikasi nyeri

Menurut (Sutanto and Fitriana, 2017) Nyeri dapat

diklasifikasikan berdasarkan tempat, sifat, dan berat ringannya

nyeri, dan waktu lamanya serangan yaitu sebagai berikut :

a. Nyeri berdasarkan tempat

1) Pheriperal pain yaitu nyeri yang terasa pada permukaan

tubuh, misalnya pada kulit atau mukosa.

2) Deep pain yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh

yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh secara

visceral.

3) Refered pain yaitu nyeri dalam yang disebabkan penyakit

organ atau struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke

bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal

nyeri.

4) Central pain yaitu nyeri yang terjadi akibat rangsangan pada

sistem saraf pusat, spinal cord batang otak, hiphothalamus,

dan lain-lain.
25

b. Nyeri berdasarkan sifat

1) Incidental pain yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang

2) Steady pain yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta

dirasakan dalam waktu lama

3) Paroxysmal pain yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas

tinggi dan sangat kuat. Nyeri ini biasanya menetap selama

10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.

c. Nyeri berdasarkan berat ringannya

1) Nyeri ringan yaitu nyeri dengan intensitas rendah

2) Nyeri sedang yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi

3) Nyeri berat yaitu nyeri dengan intensitas tinggi

d. Nyeri berdasarkan lama waktu penyerangan

Berdasarkan lama penyerangan nyeri, maka dapat

dibedakan antara nyeri akut dan nyeri kronis :

1) Nyeri akut

Nyeri akut yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu

yang singkat dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber

dan daerah nyeri dapat diketahui dengan jelas. Rasa nyeri

diduga ditimbulkan dari luka, misalnya luka operasi atau

akibat penyakit tertentu, misalnya arteriosclerosis pada arteri

coroner.
26

2) Nyeri kronis

Nyeri kronis merupakan nyeri yang dirasakan lebih

dari enam bulan. Nyeri kronis ini memiliki pola yang beragam

dan bisa berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-

tahun. Ragam pola nyeri ini ada yang nyeri dalam periode

tertentu yang diselingi dengan interval bebas dari nyeri, lalu

nyeri akan timbul kembali (Sutanto and Fitriana, 2017).

4. Faktor yang mempengaruhi nyeri

Menurut [ CITATION Wah16 \l 1033 ], faktor yang

mempengaruhi nyeri adalah sebagai berikut :

a. Usia

Usia merupakan variable penting yang mempengaruhi

nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Anak kecil

mempunyai kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang

dilakukan perawat yang menyebabkan nyeri. Anak-anak juga

mengalami kesulitan secara verbal dalam mengungkapkan dan

mengekspresikan nyeri sedangkan pasien yang berusia lanjut,

memiliki risiko tinggi mengalami situasi yang membuat mereka

merasakan nyeri akibat adanya komplikasi penyakit dan

degeneratif.

b. Jenis kelamin

Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin

misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus


27

berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan

boleh menangis dalam situasi yang sama.

c. Kebudayaan

Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin

misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus

berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan

boleh menangis dalam situasi yang sama, namun secara

umum, pria dan wanita berbeda secara bermakna dalam

berespons terhadap nyeri.

d. Makna nyeri

Individu akan mempersepsi nyeri dengan cara yang

berbeda-beda, apabila nyeri tersebut member kesan ancaman,

suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Makna nyeri

mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang

beradaptasi terhadap nyeri.

e. Perhatian

Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada

nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang

meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat

sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan

respons yang menurun.

f. Ansietas

Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi

nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Apabila


28

rasa cemas tidak mendapat perhatian dapat menimbulkan suatu

masalah penatalaksanaan nyeri yang serius.

g. Keletihan

Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin

intensif dan menurunkan kemampuan koping sehingga

meningkatkan persepsi nyeri.

h. Pengalaman sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri

sebelumnya namun tidak selalu berarti bahwa individu tersebut

akan menerima nyeri dengan lebih mudah dimasa datang.

i. Gaya koping

Individu yang memiliki lokus kendali internal

mempersepsikan diri mereka sebagai individu yang dapat

mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu

peristiwa seperti nyeri. Sebaliknya, individu yang memiliki lokus

kendali eksternal mempersepsikan faktor lain didalam

lingkungan mereka seperti perawat sebagai individu yang

bertanggung jawab terhadap hasil akhir suatu peristiwa.

j. Dukungan keluarga dan sosial

Kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana

sikap mereka terhadap pasien mempengaruhi respons nyeri.

Pasien dengan nyeri memerlukan dukungan, bantuan dan

perlindungan walaupun nyeri tetap dirasakan namun kehadiran


29

orang yang dicintai akan meminimalkan kesepian dan

ketakutan.

5. Respon individu terhadap nyeri

a. Tahap aktivasi (Aktivation)

Dimulai saat pertama individu menerima rangsangan nyeri

sampai tubuh bereaksi terhadap nyeri yang meliputi (Heriana,

2014).

1) Respons Simpatoadrenal

Respons yang tidak disengaja seringkali juga

dinamakan respons autonomy juga bersifat protektif,

mencakup peningkatan pengeluaran keringat, TD naik, RR

naik, Takipnea, dilatasi pupil (pembesaran pupil), ketegangan

otot, mual dan muntah, dan pucat.

2) Respons Muskular

Respons yang disengaja merupakan reaksi otot yang

mencetuskan usaha untuk menghilangkan rangsangan rasa

sakit, juga bersifat protektif, sebagai contoh menggeliat

kesakitan, mengusap daerah yang sakit, imobilitas dan buru-

buru menarik tangan dari sebuah benda yang panas.

3) Respons Emosional

Respons emosional terhadap rasa sakit mempunyai

ambang yang sangat luas dan berbeda-beda dari orang ke

orang. Respons emosional terhadap sakit antara lain


30

bergejolak, mudah tersinggung, perubahan tingkah laku,

berteriak, menangis, diam, kewaspadaan meningkat.

b. Tahap pemantulan

Nyeri sangat hebat tetapi sangat singkat, pada tahap ini

sistem saraf parasimpatis mengambil alih tugas, sehingga

terjadi respons yang berlawanan dengan tahap aktivasi.

c. Tahap adaptasi

Saat nyeri berlangsung lama, tubuh mencoba untuk

beradaptasi melalui peran endorphin. Rekasi adaptasi tubuh ini

terhadap nyeri dapat berlangsung beberapa jam/beberapa hari

(Heriana, 2014).

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hayati

pada tahun 2014 dengan judul pengaruh tehnik distraksi dan

relaksasi terhadap tingkat nyeri pada pasien post operasi di Rumah

Sakit Immanuel Bandung dengan desain one-group pretest-post

test yang dilakukan pada 140 pasien post operasi yang dirawat di

Rumah Sakit Immanuel Bandung didapatkan hasil penelitian yaitu

pasien dengan tingkat nyeri sedang sebanyak 62,9 % dari 140

responden dan pasien dengan tingkat nyeri ringan yaitu 71,4% dari

140 responden.

6. Penanganan nyeri

Menurut [ CITATION Wah16 \l 1033 ] ada 2 cara

penanganan nyeri yang bisa dilakukan yaitu secara farmakologi

dan nonfarmakologi.
31

a. Farmakologi

1) Analgesik narkotik

Analgesik narkotik terdiri dari berbagai derivate opium

seperti morfin dan kodein. Narkotik dapat memberikan efek

penurunan nyeri dan kegembiraan karena obat ini

mengadakan ikatan dengan reseptor opiate dan

mengaktifkan penekan nyeri endogen pada susunan saraf

pusat.

2) Analgesik non narkotik

Analgesik non narkotik seperti aspirin, asetaminofen

dan ibuprofen selain memiliki efek anti nyeri juga memiliki

efek anti inflamasi dan antipiretik. Obat golongan ini

menyebabkan penurunan nyeri dengan menghambat

produksi prostaglandin dari jaringan yang mengalami trauma

atau inflamasi.

b. Non farmakologi

1) Relaksasi progresif

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari

ketegangan stress. Teknik relaksasi memberikan individu

control diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress

fisik dan emosi pada nyeri.


32

2) Stimulasi kutaneus placebo

Placebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologi

dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai obat seperti

kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.

3) Teknik distraksi

Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan

nyeri dengan cara mengalihkan perhatian pasien pada hal-

hal yang lain sehingga pasien akan lupa terhadap nyeri yang

dialami.

7. Pengukuran nyeri

a. Skala deskriptif

Skala pendeskripsi verbal (Verbal Description Scale,

VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima

kata penderskripsian yang tersusun dengan jarak yang sama

disepanjang garis [ CITATION Wah16 \l 1033 ].

Gambar 2.1 Skala Nyeri Deskriptif

b. Skala penilaian numerik

Numerical Rating Scale (NRS) menilai nyeri dengan

menggunakan skala 0-10. Skala ini sangat efektif untuk

digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah

intervensi terapeutik.
33

Gambar 2.2 Numerical Rating Scale (NRS)

Keterangan :

1-3 Nyeri ringan (Bisa ditoleransi dengan baik/tidak


mengganggu aktivitas)
4-6 Nyeri sedang (Mengganggu aktivitas fisik)
7-9 Nyeri berat (Tidak mampu melakukan aktivitas secara
mandiri)
10 Nyeri sangat berat (Mallignan/ nyeri sangat hebat dan
tidak berkurang dengan terapi/obat-obatan pereda nyeri
dan tidak dapat melakukan aktivitas.

c. Skala analog visual

Visual/Verbal Analog Scale (VAS) merupakan

pengukuran derajat nyeri dengan cara menunjuk satu titik pada

garis skala nyeri (0-10 cm). satu ujung menunjukkan tidak nyeri

dan ujung lain menunjukkan nyeri hebat. Oanjang garis mulai

dari titik tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukkan

besarnya nyeri. Kebebasan penuh pada pasien untuk

mengidentifikasi keparahan nyeri.

Gambar 2.3 Skala Analog Visual


34

d. Skala nyeri 0-10 Comparative Pain Scale

Gambar 2.3 Skala Analog Visual

Keterangan :

0 Tidak ada Nyeri (merasa normal)


1 Nyeri hampir tidak terasa (nyeri sangat ringan). Sebagian
besar tidak pernah berfikir tentang rasa sakit, seperti
gigitan nyamuk
2 Tidak menyenangkan. Nyeri ringan seperti suntikan oleh
dokter
3 Bisa ditoleransi. Nyeri sangat terasa, seperti suntikan oleh
dokter.
4 Menyedihkan. Kuat , nyeri yang dalam, seperti sakit gigi
atau rasa sakit dari sengatan lebah
5 Sangat menyedihkan. Kuat, dalam nyeri yang menusuk,
seperti kaki terkilir
6 Intens. Kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat
sehingga tampak mempengaruhi sebagian indra,
menyebabkan tidak fokus, komunikasi terganggu
7 Sangat intens. Sama seperti skala 6, rasa sakit benar-
benar mendominasi indra, tidak mampu berkomunikasi
dengan baik dan tidak mampu melaksanakan perawatan
diri.
8 Benar-benar mengerikan. Nyeri sangat kuat dan sangat
mengganggu sampai sering mengalami perubahan
perilaku jika nyeri terjadi
9 Menyiksa tak tertahankan. Nyeri sangat kuat, tidak bisa
ditoleransi dengan terapi
10 Nyeri tak terbayangkan dan tak dapat diungkapkan. Nyeri
sangat berat sampai tidak sadarkan diri

Dikelompokkan menjadi :

Skala nyeri Grade Interpretasi


1-3 Nyeri ringan Nyeri yang bisa ditahan,aktivitas
tidak terganggu
4-6 Nyeri sedang Mengganggu aktivitas fisik
7-10 Nyeri berat Tidak dapat melakukan aktivitas
secara mandiri.

Tabel 2.1 Skala Nyeri


35

C. Tinjauan Teori Tentang Kecemasan

1. Definisi

Kecemasan adalah kondisi emosi dengan timbulnya rasa

tidak nyaman pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman

yang samar-samar disertai dengan perasaan yang tidak berdaya

serta tidak menentu yang disebabkan oleh suatu hal yang belum

jelas (Annisa and Ifdil, 2016).

Kecemasan adalah keadaan dimana individu atau kelompok

mengalami perasaan gelisah dan aktivasi system saraf autonom

dalam merespon ancaman yang tidak jelas (Arbani, 2015).

2. Jenis-jenis kecemasan

Menurut Spilberger dalam (Annisa and Ifdil, 2016)

menjelaskan kecemasan dalam dua bentuk yaitu :

a. Trait anxiety

Trait anxiety, yaitu adanya rasa khawatir dan terancam

yang menghinggapi diri seseorang terhadap kondisi yang

sebenarnya tidak berbahaya. Kecemasan ini disebabkan oleh

kepribadian individu yang memang memiliki potensi cemas

dibandingkan dengan individu yang lainnya.

b. State anxiety

State anxiety, merupakan kondisi emosional dan

keadaan sementara pada diri individu dengan adanya perasaan

tegang dan khawatir yang dirasakan secara sadar serta bersifat

subjektif
36

3. Manifestasi kecemasan

National Health Commite (1998) dalam (Arbani, 2015),

menyebutkan beberapa manifestasi kecemasan secara umum yang

dapat muncul berupa :

a. Respons fisik seperti sulit tidur, dada berdebar-debar, tubuh

berkeringat meskipun tidak gerah, tubuh panas atau dingin,

sakit kepala, otot tegang atau kaku, sakit perut atau sembelit,

terengah-engah atau sesak nafas.

b. Respons perasaan seperti merasa diri berada dalam khayalan,

derealisation, merasa tidak berdaya dan ketakutan pada

sesuatu yang akan terjadi.

c. Respons pikiran seperti mengira hal yang paling buruk akan

terjadi dan sering memikirkan bahaya.

d. Respons tingkah laku seperti menjauhi situasi yang

menakutkan, mudah terkejut, hyperventilation dan mengurangi

rutinitas.

4. Faktor faktor yang mempengaruhi kecemasan (Anxiety)

Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi

kecemasan yaitu sebagai berikut :

a. Pengalaman negatif pada masa lalu

Sebab utama dari timbulnya rasa cemas kembali pada

masa kanak-kanak, yaitu timbulnya rasa tidak menyenangkan

mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi pada masa

mendatang, apabila individu menghadapi situasi yang sama dan


37

juga menimbulkan ketidaknyamanan, seperti pengalaman

pernah gagal dalam mengikuti tes (Annisa and Ifdil, 2016).

b. Pikiran yang tidak rasional

Pikiran yang tidak rasional terbagi dalam empat bentuk,

yaitu.

1) Kegagalan ketastropik, yaitu adanya asumsi dari individu

bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya.

Individu mengalami kecemasan serta perasaan

ketidakmampuan dan ketidaksanggupan dalam mengatasi

permasalahannya.

2) Kesempurnaan, individu mengharapkan kepada dirinya

untuk berperilaku sempurna dan tidak memiliki cacat.

Individu menjadikan ukuran kesempurnaan sebagai sebuah

target dan sumber yang dapat memberikan inspirasi.

3) Persetujuan

4) Generalisasi yang tidak tepat, yaitu generalisasi yang

berlebihan, ini terjadi pada orang yang memiliki sedikit

pengalaman (Annisa and Ifdil, 2016).

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Indri,

U.V pada tahun 2014 yang berjudul hubungan antara nyeri,

kecemasan dan lingkungan dengan kualitas tidur pada pasien

post operasi apendisitis menggunakan desain deskriptif korelasi

dengan pendekatan cross sectional dan jumlah sampel

sebanyak 54 orang didapatkan hasil yaitu terdapat sebanyak 36


38

responden (66,7%) dengan tingkat kecemasan sedang dan dari

hasil analisa bivariat menggunakan uji statistik chi square

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

kecemasan dengan kualitas tidur pada pasien post operasi

apendisitis (p value = 0.000 dan 0.000) yang berarti (p<α).

5. Tingkat kecemasan

Kecemasan merupakan masalah pskiatri yang paling sering

terjadi, tahapan tingkat kecemasan akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi

waspada dan meningkatkan persepsi.

b. Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk

memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan

yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang

selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

c. Kecemasan berat sangat mengurangi persepsi seseorang yang

cenderung memusatkan pada sesuatu yang terinci, spesifik dan

tidak dapat berfikir tentang hal lain.

d. Tingkat panik (sangat berat) berhubungan dengan terperangah

ketakutan dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali,

orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu

walaupun dengan pengarahan (Arbani, 2015).


39

6. Alat ukur kecemasan

Untuk mengetahui tingkat kecemasan pada pasien apakah

masuk kedalam tingkat kecemasan ringan, sedang atau berat,

menggunakan instrument ukur yaitu Hamilton Anxiety Rating Scale

(HARS). Skala ini dibuat oleh Max Hamilton tujuannya adalah untuk

menilai kecemasan sebagai gangguan klinikal dan mengukur gejala

kecemasan. Kuesioner HARS berisi empat belas pertanyaan yang

terdiri dari tiga belas kategori pertanyaan tentang gejala

kecemasan dan satu kategori perilaku saat wawancara (Nurwulan,

2017).

Dengan keterangan tersebut terdapat aspek penialaian

kuesioner HARS diantaranya :

Table 2.2 Aspek Penilaian HARS

No Aspek Penilaian
1 Ketakutan
2 Kecemasan
3 Kegelisahan/ ketegangan
4 Optimisme
5 Kesedihan/depresi
6 Intelektual
7 Minat
8 Otot (somatik)
9 Insomnia
10 Kardiovaskuler
11 Pernafasan
12 Perkemihan
13 Gastrointestinal
14 Perilaku

a. Penilaian

1 : Tidak ada (Tidak ada gejala sama sekali)

2 : Ringan (Satu gejala dari pilihan yang ada)


40

3 : Sedang (Separuh dari gejala yang ada)

4 : Berat (Lebih dari separuh dari gejala yang ada)

5 : Sangat Berat (Semua gejala ada)

b. Penilaian derajat kecemasan

Skor < 6 (Tidak ada kecemasan)

Skor 6-14 (Kecemasan ringan)

Skor 15-27 (Kecemasan sedang)

Skor >27 (Kecemasan berat)

D. Tinjauan Teori Tentang Post Operasi

1. Pengertian operasi

Bedah atau operasi merupakan tindakan pembedahan cara

dokter untuk mengobati kondisi yang sulit atau tidak mungkin

disembuhkan hanya dengan obat-obatan sederhana. Pembedahan

merupakan cabang dari ilmu medis yang ikut berperan terhadap

kesembuhan dari luka atau penyakit melalui prosedur manual atau

melalui operasi dengan tangan (Riyadhi, 2014).

Fase pos operatif merupakan tahap lanjutan dari perawatan

pre op dan intra operatif yang dimulai ketika klien diterima di ruang

pemulihan (recovery room)/pasca anestesi dan berakhir sampai

evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau rumah. Pada fase ini

lingkup aktifitas keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas

selama periode ini (Wahyudi and Wahid, 2016).

Pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen enastesi

dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas


41

keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan pemyembuhan

pasien dan melakukan penyuluhan perawatan tindak lanjut dan

rujukan yang penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi serta

pemulangan ke rumah (Wahyudi and Wahid, 2016).

2. Indikasi Pembedahan

Tindakan pembedahan atau operasi dilakukan berdasarkan

atau sesuai dengan indikasi. Beberapa indikasi yang dapat

dilakukan pembedahan diantaranya sebagai berikut :

a. Diagnostik, misalnya biopsi atau laparatomi eksplorasi.

b. Kuratif, misalnya eksisi tumor atau mengangkat apendiks yang

mengalami inflamasi.

c. Reparatif, misalnya memperbaiki luka multiple.

b. Rekonstruksi atau kosmetik, misalnya mammoplasty atau bedah

plastik.

c. Paliatif, misalnya menghilangkan nyeri atau memperbaiki

masalah, seperti pemasangan selang gastrostomi yang

dipasang untuk mengkompensasi terhadap ketidakmampuan

menelan makanan (Riyadhi, 2014).

3. Klasifikasi Pembedahan

Berdasarkan klasifikasi urgensi dilakukan tindakan

pembedahan, maka tindakan pembedahan dapat diklasifikasikan

menjadi 5 tingkatan, yaitu

a. Kedaruratan/emergensi: pasien membutuhkan perhatian

segera, gangguan mungkin mengancam jiwa. Indikasi dilakukan


42

pembedahan tanpa di tunda. Contoh: pendarahan hebat,

obstruksi kandung kemih atau usu, fraktur tulang tengkorak,

luka tembak atau tusuk, luka bakar sanat luas

b. Urgen: pasien mebutuhkan perhatian segera. Pembedahan

dapat dilakukan dalam 24-30 jam. Contoh: infeksi kandung akut,

batu ginjal atau batu pada uretra.

c. Diperlukan: pasien harus menjalani pembedahan. Pembedahan

dapat direncanakan dalam beberapa minggu atau bulan.

Contoh: hyperplasia prostat tanpa obstruksi kandung kemih.

Gangguan tyroid, katarak.

d. Alektif: pasien harus dioperasi ketika diperlukan. Indikasi

pembedahan, bila tidak dilakukan pembedahan makan tidak

terlalu membahayakan. Contoh: perbaikan scar, hernia

sederhana, perbaikan vaginal.

e. Pilihan : keputusan tentang dilakukan pembedahan diserahkan

sepenuhnya pada pasien. Indikasi pembedahan merupakan

pilihan pribadi dan biasanya terkait dengan estetika. Contoh :

bedah kosmetik (Wahyudi and Wahid, 2016).

Sedangkan menurut faktor risikonya, tindakan pembedahan

di bagi menjadi:

a. Pembedahan minor : menimbulkan trauma fisik yang minimal

dengan risiko kerusakan yang minim. Contoh: insisi dan

drainase kandung kemih, sirkumsisi.


43

b. Pembedahan mayor : menimbulkan trauma fisik yang luas,

risiko kematian sangat serius. Contoh: total abdominal

histerektomi, reseksi colon, dan lain-lain (Wahyudi and Wahid,

2016).

4. Komplikasi post operatif

Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi

pada fase post operasi serta penatalaksanaannya menurut

(Wahyudi and Wahid, 2016), yaitu sebagai berikut :

a. Syok

Syok yang terjadi pada pasein bedah biasanya berupa

syok hipovolemik. Tanda-tanda syok adalah : pucat, kulit dingin,

basah, pernapasan cepat, sianosis pada bibir, gusi dan lidah,

nadi cepat, lemah dan bergetar, penurunan tekanan darah.

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah

kolaborasi dengan dokter terkait dengan pengobatan yang

dilakukan seperti terapi obat, terapi pernapasan, memberikan

dukungan psikologis, pembatasan penggunaan energy,

memantau reaksi pasien terhadap pengobatan, dan

peningkatan periode istirahat.

b. Pendarahan
Penatalaksanaanya pasien diberikan posisi terlentang

dengan posisi tungkai kaki membentuk sudut 20 derajat dari

tempat tidur sementara lutut harus dijaga tetap lurus. Kaji

penyebab pendarahan., luka bedah harus selalu di inspeksi

terhadap pendarah.
44

c. Thrombosis vena profunda


Thrombosis vena profunda adalah thrombosis yang

terjadi pada pembulu darah vena bagian dalam. Komplikasi

serius yang bias ditimbulkan adalah embolisme pilmonari dan

sindrom pasc flebitis.


d. Retensi urine
Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus

pembedahan rectum, anus dan vagina. Penyebabnya adalah

adanya spasme spinter kandung kemih. Intervensi

keperawatan yang dapat dilakukan adalah pemasangan kateter

untuk membantu mengeluarkan urine dari kandung kemih.


e. Infeksi luka operasi (dehisiensi, evicerasi, fistula, nekrosis,

abses)
Infeksi luka pos operasi dapat terjadi karena andanya

kontaminasi luka operasi pada saat operasi maupun pada saat

perawatan di ruang perawatan. Pencegahan infeksi penting

dilakukan dengan pemberian antibiotic sesuai indikasi dan juga

perawatan luka dengan prinsip steril.


f. Sepsis
Sepsis merupakan komplikasi serius akibat infeksi di

mana kuman berkembang biak. Sepsis dapat menyebabkan

kematian karena dapat menyebabkan kegagalan multi organ.


g. Embolisme pulmonal
Embolisme dapat terjadi karena benda asing (bekuan

darah, udara dan lemak) yang terlepas dari tempat asalnya

terbawa di sepanjang aliran darah. Embolus ini bias menyumbat

arteri pulmonal yang akan mengkibatkan pasien merasa nyeri

seperti ditusuk tusuk dan sesak nafas, cemas dan sianosis.


45

Intervensi keperawatan seperti ambilatori pasca operatif dini

dapat mengurangi risiko embolus pilmonal.


h. Komplikasi gastrointestinal
Komplikasi gastrointestinal sering terjadi pada pasien

yang mengalami pembedahan abdomen dan pelvis.

Komplikasinya meliputi obstruksi intestinal, nyeri dan distensi

abdomen.
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Afdal pada

tahun 2015 yang berjudul hubungan antara nyeri dan kecemasan

dengan kualitas tidur pada pasien post laparatomi di Instalasi

Rawat Inap Ruang Bedah RSUP dr. M. Djamil Padang

menggunakan desain penelitian deskriptif korelasional dengan

jumlah sampel 25 pasien post laparotomy hari ke-2 menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara nyeri dengan

kualitas tidur pasien post laparatomi di Instalasi Rawat Inap Bedah

RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2015 dengan nilai p=0,020 dan

nilai korelasi r=-0,462, yang berarti kekuatan korelasi sedang

dengan arah negatif dimana semakin tinggi skala nyeri semakin

buruk kualitas tidur pasien post laparatomi dan juga terdapat

hubungan yang bermakna antara kecemasan dengan kualitas tidur

pasien post laparatomi di Instalasi Rawat Inap Bedah RSUP Dr. M.

Djamil Padang tahun 2015 dengan nilai p=0,000 dan nilai korelasi

r=-0,676, yang berarti kekuatan korelasi kuat dengan arah negatif

dimana semakin tinggi derajat kecemasan semakin buruk kualitas

tidur pasien post laparatomi.


46

E. Kerangka Konsep

Intensitas nyeri

Pola Tidur Pasien Post


Operasi

Kecemasan

Keterangan :

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Penghubung antar variabel

Gambar 2.1 : Kerangka Konsep


47

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif non eksperimen.

Pada penelitian ini digunakan rancangan/desain penelitian korelasional

dengan pendekatan cross sectional yaitu jenis penelitian yang

menekankan waktu pengukuran/observasi data variable independen

dan dependen hanya satu kali pada satu saat. Dengan studi ini akan

diperoleh prevalensi atau efek suatu fenomena (variable dependen)

dihubungkan dengan penyebab (variable independen) [ CITATION

Nur16 \l 14345 ].

B. Waktu dan lokasi penelitian

1. Waktu penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian akan dilakukan pada bulan

April - Mei 2019.

2. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian akan dilakukan di Perawatan Bedah

Marina, Eremerasa dan Bissappu RSUD Prof.Dr.H.M Anwar

Makkatutu Kabupaten Bantaeng.


48

C. Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya manusia

atau klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan

[ CITATION Nur16 \l 14345 ].

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang


48
telah menjalani tindakan pembedahan (operasi) di Ruangan

Perawatan Bedah RSUD Prof.Dr.H.M Anwar Makkatutu Kabupaten

Bantaeng sebanyak 102 orang.

2. Sampel

Sampel adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk

dapat mewakili populasi[ CITATION Nur16 \l 14345 ].

Tehnik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah

purposive sampling disebut juga judgement sampling adalah suatu

tehnik penepatan sampel di antara populasi sesuai dengan yang

dikehendaki peneliti (tujuan/masalah), sehingga sampel tersebut

dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal

sebelumnya [ CITATION Nur16 \l 14345 ].

Pada penelitian ini sampel dipilih dengan menggunakan

kriteria inklusi dan ekslusi yaitu sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu

dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil


49

sebagai sampe [ CITATION Not18 \l 1033 ]. Kriteria inklusi pada

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Pasien post operasi yang sudah pulih dari efek anastesi

2) Pasien dengan tindakan operasi bedah mayor menggunakan

anastesi umum.

3) Pasien dengan usia > 26 tahun (usia dewasa menurut

Depkes RI, 2009).

4) Bersedia menjadi responden dan menandatangani informed

consent yang diberikan.

b. Kriteria ekslusi

Kriteria ekslusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang

tidak dapat diambi sebagai sampel [ CITATION Not18 \l 1033 ].

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :

1) Kondisi belum pulih dari efek anastesi setelah operasi

2) Pasien operasi bedah minor menggunakan anastesi lokal

3) Membutuhkan perawatan intensif

4) Tidak bersedia menjadi responden

Adapun besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan

menggunakan rumus penentuan besar sampel menurut [ CITATION

Nur16 \l 14345 ] yaitu sebagai berikut :

n = N
1 + N (d)2

= 102
1 + 102 (0,1)2
= 102
1 + 102. (0,01)
= 102
50

1 + 1,02
= 102
2,02

n = 50, 4 = 50 orang responden

Keterangan :

n : Besar sampel

N : Besar populasi (diketahui = 102 orang)

d : Tingkat signifikansi 10% (d = 0,1)

Berdasarkan perhitungan rumus diatas diperoleh jumlah

sampel sebanyak 50 orang, oleh karena itu sampel pada penelitian

ini adalah pasien yang telah menjalani tindakan pembedahan

(operasi) di Ruangan Perawatan Bedah RSUD Prof.Dr.H.M Anwar

Makkatutu Kabupaten Bantaeng yang memenuhi kriteria inklusi

yang telah dibuat oleh peneliti sebanyak 50 orang.

D. Variabel penelitian

1. Variabel Dependen (terikat)

Variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan oleh variabel

lain. Variabel terikat adalah factor yang diamati dan diukur untuk

menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel

bebas [ CITATION Nur16 \l 14345 ]. Variabel dependen pada

penelitian ini adalah pola tidur.

2. Variabel Independen (bebas)

Variabel independen adalah variabel yang memengaruhi

atau nilainya menentukan variabel lain. Variabel bebas biasanya


51

dimanipulasi, diamati, dan diukur untuk diketahui hubungannya

atau pengaruhnya terhadap variabel lain [ CITATION Nur16 \l

14345 ]. Variabel independen pada penelitian ini adalah intensitas

nyeri dan kecemasan.

E. Definisi operasional

1. Pola tidur

Pola tidur yang dimaksud pada penelitian ini adalah hal-hal

yang mencakup tentang kebiasaan pada saat tidur diantaranya

lama tidur, mimpi-mimpi, kualitas tidur, mulai tidur, bangun malam

hari, waktu untuk kembali tidur setelah bangun malam, bangun dini

hari, dan perasaan segar di waktu bangun yang diukur dengan

menggunakan skala ukur ISR (Insomnia Rating Scale).

 Kriteria Objektif :

o Teratur : Jika skor <10

o Tidak teratur : Jika skor >10

 Alat ukur : Lembar Observasi

 Skala Ukur : Ordinal

2. Intensitas nyeri

Yang dimaksud nyeri dalam penelitian ini adalah adanya

perasaan nyeri yang dialami setiap responden post operasi dalam

skala dan tingkatannya dan diukur melalui skala Intensitas Nyeri

Numerik (0-10)

 Kriteria Objektif :

o Nyeri ringan : Apabila skor 1-3


52

o Nyeri sedang : Apabila skor 4-6

o Nyeri berat : Apabila skor 7-10

 Alat ukur : Pengukuran intensitas nyeri numeric (1-10)

 Skala ukur : Ordinal

3. Kecemasan

Kecemasan dalam penelitian ini adalah sejumlah gejala

yang dirasakan oleh klien post operasi berupa gangguan

pemenuhan kebutuhan dasar dan berbagai sistem tubuh dalam

skala dan tingkatannya dan diukur melalui skala Hamilton Anxiety

Rating Scale (HARS)

 Kriteria Objektif :

o Skor < 6 (Tidak ada kecemasan)

o Skor 6-14 (Kecemasan ringan)

o Skor 15-27 (Kecemasan sedang)

o Skor >27 (Kecemasan berat)

 Alat ukur : Kuesioner

 Skala ukur : Ordinal

F. Instrument penelitian

1. Pola tidur

Pola tidur diukur dengan menggunakan lembar observasi

dengan mengacu pada insomnia rating scale (IRS)yang digunakan

oleh kelompok studi biologic Jakarta (KPSPBJ). Insomnia Rating

Scale ini digunakan berdasarkan pada penelitian yang telah

dilakukan KPSBJ-IRS pada 175 pasien non psikiatrik pada poliklinik


53

umum untuk keluhan gangguan tidur jumlah skor maksimun untuk

insomnia rating scale adalah 25.

Skala pengukuran pola tidur ini terdiri dari 8 pertanyaan yang

terdiri dari pertanyaan tentang lama tidur, mimpi-mimpi, kualitas

tidur, mulai tidur, bangun malam hari, waktu untuk kembali tidur

setelah bangun malam, bangun dini hari, dan perasaan segar di

waktu bangun.

2. Intensitas nyeri

Untuk mengukur variabel independen intensitas nyeri

digunakan Skala Intensitas Nyeri Numerik dengan skor 0 untuk

tidak nyeri, 1-3 untuk nyeri ringan, 4-6 untuk nyeri sedang, 7-9

untuk nyeri berat, 10 untuk nyeri sangat berat

3. Kecemasan

Variabel kecemasan pada penelitian ini diukur dengan

menggunakan kuesioner berdasarkan Hamilton Anxiety Rating

Scale (HARS). Skala ini dibuat oleh Max Hamilton tujuannya adalah

untuk menilai kecemasan sebagai gangguan klinikal dan mengukur

gejala kecemasan. Kuesioner HARS berisi empat belas pertanyaan

yang terdiri dari tiga belas kategori pertanyaan tentang gejala

kecemasan dan satu kategori perilaku saat wawancara.

G. Tehnik pengumpulan data

Adapun tehnik atau prosedur pengumpulan data yang dilakukan

oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1. Data primer
54

Pada penelitian ini data primer yang dikumpulkan oleh

peneliti adalah sebagai berikut :

a. Data tentang pola tidur pasien yang dikumpulkan oleh peneliti

melalui kuesioner yang mengacu pada skala pengukuran pola

tidur insomnia rating scale.

b. Data tentang intensitas nyeri yang dikumpulkan peneliti melalui

lembar observasi menggunakan skala pengukuran nyeri

numeric rating scale.

c. Data tentang kecemasan yang dikumpulkan peneliti melalui

kuesioner menggunakan skala pengukuran kecemasan yaitu

Hamilton anxiety rating scale (HARS).

d. Data hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap 10

orang pasien post operasi melalui wawancara tidak terstruktur.

e. Data yang dikumpulkan kemudian di tabulasi kedalam master

tabel dan dianalisis untuk ditarik suatu kesimpulan.

2. Data sekunder

Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah

data tentang jumlah pasien dengan tindakan pembedahan selama

3 tahun terakhir yaitu tahun 2016, 2017 dan 2018 yang didapatkan

dari rekam medik RSUD Prof.Dr.H.M Anwar Makkatutu Kabupaten

Bantaeng.
55

H. Alur penelitian

Proposal Penelitian

Hipotesis : Ada hubungan antara intensitas nyeri dan kecemasan dengan


pola tidur pada pasien Post Operasi di Ruangan Perawatan Bedah RSUD
Populasi Prof.Dr.H.M Anwar
: Semua pasien Makkatutu
yang Kabupaten
telah menjalani Bantaeng
tindakan pembedahan
(Operasi) di Ruangan Perawatan Bedah
Tehnik sampling : purposive sampling adalah tehnik penepatan sampel
sesuai dengan yang dikehendaki peneliti sehingga sampel tersebut dapat
mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya
Instrumen Penelitian : Kuesioner (Angket) dan Lembar Observasi
Izin penelitian
Pengurus izin penelitian Stikes Panrita
Husada Bulukumba
Variable Variable dependen:
Independen : Pengumpulan Pola Tidur Pasien
Intensitas Nyeri Post Operasi
dan Kecemasan Analisa data Univariat
dan Bivariat
Kesimpulan
Saran
Gambar 3.1 Alur Penelitian

I. Pengolahan dan analisa data

1. Pengolahan data

Pada penelitian ini peneliti menggunakan komputer untuk

mengolah data hasil penelitian. Berikut ini adalah tahap-tahap

pengolahan data menurut [ CITATION Not18 \l 1033 ] yaitu sebagai

berikut:

a. Editing

Hasil wawancara, angket atau pengamatan dari lapangan

harus dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu. Secara


56

umum editing adalah merupakan kegiatan untuk pengecekan

dan perbaikan isian formulir atau kuesioner tersebut.

b. Coding

Setelah semua kuesioner diedit atau disunting selanjutnya

dilakukan pengkodean atau “coding”, yakni mengubah data

berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.

c. Memasukkan data (Data Entry) atau Processing Data

Jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang

dalam membentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan

kedalam program atau “software” computer. Software computer

ini bermacam-macam, masing-masing mempunyai kelebihan

dan kekurangannya. Salah satu paket program yang paling

sering digunakan untuk “entry data” penelitian adalah paket

program SPSS for Window.

d. Pembersihan data (Cleaning)

Apabila semua data dari setiap sumber data atau

responden selesai dimaksukkan. Perlu dicek kembali untuk

melihat kemungkinan-kemungkinan kesalahan-kesalahan kode,

ketidaklengkapan dan sebagainya, kemudian dilakukan

pembetulan atau koreksi. Proses ini disebut pembersihan data

(data cleaning).

2. Analisa data
57

Analisa data yang digunakan untuk mencari hubungan

antara variable independen dan variable dependen yaitu sebagai

berikut :

a. Analisis Univariat

Analisis Univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variable penelitian. Bentuk

analisis univariat tergantung dari jenis datanya [ CITATION

Not18 \l 1033 ].

b. Analisis Bivariat

Analisis Bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap

dua variable yang diduga berhubungan atau berkorelasi

(Notoatmodjo, 2018).

Pada penelitian ini penentuan uji statistik yang akan

digunakan ditentukan dengan langkah sebagai berikut :

1) Skala pengukuran = kategorik

2) Jenis hipotesis = komparatif

3) Masalah skala variable = kategorik x kategorik = kategorik

4) Menentukan pasangan = tidak berpasangan

5) Jumlah kelompok = 2 kelompok

Sehingga pada penelitian ini berlaku tabel (B x K) dan uji

statistik yang akan digunakan adalah Uji Chi Square alternative

Uji Fisher dan Uji Kolmogorov-Smirnov.

Untuk melihat adanya hubungan antara variable bebas

dengan variable terikat maka digunakan batas kemaknaan nilai


58

α = 0,05 dengan dengan cara membandingkan nilai p (p value)

dengan nilai α = 0,05 pada taraf kepercayaan 95% dengan

kaidah keputusan yaitu apabila nilai p (p value) ≤ 0,05 maka H a

diterima dan H0 ditolak yang berarti ada hubungan atau

pengaruh yang bermakna antara variable bebas dengan

variable terikat.

J. Etika penelitian

Pada penelitian ini peneliti menekankan masalah prinsip etika

penelitian menurut [ CITATION Not18 \l 1033 ] yang meliputi :


1. Menghormati harkat dan martabat manusia (Respect for human

dignity)
Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian

untuk mendapatkan informasi tentang tujuan peneliti melakukan

penelitian tersebut. Disamping itu, peneliti juga memberikan

kebebasan kepada subjek untuk memberikan informasi atau tidak

memberikan informasi (berpartisipasi).


2. Menghormati privasi dan kerahasian subjek penelitian (respect for

privacy and confidentiality)


Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk

privasi dan kebebasan individu dalam memberikan informasi.

Setiap orang berhak untuk tidak memberikan apa yang

diketahuinya kepada orang lain. Oleh sebab itu, peneliti tidak boleh

menampilkan informasi mengenai identitas dan kerahasiaan

identitas subjek. Peneliti seyogjanya cukup menggunakan coding

sebagai pengganti identitas responden.


3. Keadilan dan inklusivitas/keterbukaan (Respect for justice

inclusiveness)
59

Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti

dengan kejujuran, keterbukaan dan kehati-hatian. Untuk itu,

lingkungan penelitian perlu dikondisikan sehingga memenuhi

prinsip keterbukaan, yakni dengan menjelaskan prosedur

penelitian.
4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang di timbulkan

(Balancing harm and benefist)


Sebuah penelitian hendaknya memperoleh manfaat

semaksimal mungkin bagi masyarakat pada umumnya, dan subjek

penelitian pada khususnya. Peneliti hendaknya berusaha

meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subjek.

K. Jadwal penelitian
Berikut ini adalah tabel jadwal pelaksanaan penelitian yang

akan dilaksanakan sesuai jadwal berikut :

Tahun 2019
N Kegiatan Bulan
Ja Feb Mar Ap Mei Jun Jul
o
n r
1 Tahap Persiapan
Penelitian
a. Pengajuan judul
b. Penyusunan
proposal
c. Ujian Proposal
d. Perizinan penelitian
2 Tahap pelaksanaan
a. Pengumpulan data
b. Analisis data
3 Tahap penyusunan
laporan
60

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, R. 2015. Gambaran tingkat kecemasan dan intervensi


keperawatan dalam menurunkan tingkat kecemasan pasien pre
operasi di bangsal bedah RSUD Panembahan Senopati Bantul.
Stikes Jenderal Achmad Yani Yogyakara.

Afdal, R. 2015. Hubungan antara nyeri dan kecemasan dengan kualitas


tidur pada pasien post laparatomi di Irna Ruang Bedah Rsup dr. M.
Djamil Padang. Fakultas keperawatan.

Arbani, F. A. 2015. Hubungan Komunikasi Terapeutik Dengan Tingkat


Kecemasan Pasien Pre Operasi di RS PKU Muhammadiyah
Sukoharjo. Skripsi tidak dipublikasi.

Annisa, D. F. & Ifdil, I. 2016. Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut


Usia (Lansia). Konselor, 5, 93-99.

Apriansyah, A., Romadoni, S. & Andrianovita, D. 2015. Hubungan Antara


Tingkat Kecemasan Pre-Operasi dengan Derajat Nyeri Pada
Pasien Post Sectio Caesarea di Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang Tahun 2014. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, 2, 1-7.

Asapuah, S. 2013. Kumpulan Kuesioner dan Instrumen Penelitian


Kesehatan, Yogyakarta, Nuha Medika.

Badriah, D. L., Negara, A. P. & Nur, A. S. 2017. Faktor-faktor yang


berhubungan dengan kualitas tidur pada klien post operasi bedah
mayor di Ruang Bedah Kelas III RSUD 45 Kuningan tahun 2014.
Jurnal kesehatan indra husada, 5, 1-6.
61

Barus, M., Simanullang, M. S. D. & Gea, E. C. P. 2018. Pengaruh


Progressive Muscle Relaxation Terhadap Tingkat Kecemasan Pre
Operasi Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2018.
Jurnal Mutiara Ners, 98, 108.

Damayanti, A., Kadrianti, E. & Ismail, H. 2017. Faktor-faktor yang


berhubungan dengan gangguan pemenuhan kebutuhan tidur
pasien yang dirawat di Ruang Baji Kamase Rsud Labuang Baji
Makassar. Jurnal ilmiah kesehatan diagnosis, 5, 535-542.

Faridah, V. 2015. Penurunan Tingkat Nyeri Pasien Post Op Apendisitis


Dengan Tehnik Distraksi Nafas Ritmik. Program Studi S1
Keperawatan STIKES Muhammadiyah Lamongan.

Anda mungkin juga menyukai