Anda di halaman 1dari 74

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keperawatan adalah individu yang sehat atau sakit dengan aktivitas yang

menunjang kesehatan atau kesembuhan yang dilakukan tanpa bantuan bila

mempunyai kekuatan, kemauan, atau pengetahuan. Keperawatan juga membantu

klien menjalani terapi yang diprogramkan dan menjadi mandiri dari bantuan

sesegera mungkin (Carpenito 2009). Keperawatan perioperatif adalah istilah yang

digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan

dengan pengalaman pembedahan pasien. Kata “perioperatif” adalah suatu istilah

gabungan yang mencakup tiga fase pengalaman pembedahan yaitu praoperatif,

intraoperatif, dan pascaoperatif. Masing-masing dari setiap fase ini dimulai dan

berakhir pada waktu tertentu dalam urutan peristiwa yang membentuk

pengalaman bedah dan masing-masing mencakup rentang perilaku dan aktivitas

keperawatan yang luas yang dilakukan oleh perawat dengan menggunakan proses

keperawatan dan standar praktek keperawatan. Keperawatan pre operatif

merupakan tahapan awal dari keperawatan perioperatif. Pengkajian secara integral

dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik, biologis, dan psikologis sangat diperlukan

untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operatif. Persiapan mental merupakan

hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operatif karena mental

pasien yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya.

Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual pada

1
integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres psikologis maupun

fisiologis. Fase preoperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah

dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi (Asmadi 2009).

Sebelum dilakukan operasi terdapat masalah kecemasan yang merupakan

reaksi emosional pasien yang sering muncul. Hal ini sebagai respon antisipasi

pasien terhadap suatu pengalaman yang dianggap sebagai suatu ancaman terhadap

peran dalam kehidupan pasien, integritas tubuh dan bahkan kehidupannya.

Persiapan sebelum operasi sangat penting dilakukan untuk mendukung

kesuksesan tindakan operasi. Persiapan operasi yang dapat dilakukan diantaranya

persiapan fisiologis merupakan persiapan yang dilakukan mulai dari persiapan

fisik, persiapan penunjang, pemeriksaan status anastesi sampai informed consent.

Persiapan mental merupakan proses persiapan operasi karena mental pasien yang

tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Persiapan

mental dapat dilakukan dengan bantuan keluarga atau perawat. Persiapan mental

ini, dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien yang akan menjalani

tindakan operasi (Brunner & Suddarth, 2012).

Operasi merupakan suatu tindakan invasif dengan cara membuat sayatan atau

luka pada bagian tubuh yang bermasalah secara sengaja dengan tujuan untuk

menyembuhkan penyakit atau masalah pada tubuh yang dilakukan dengan terlebih

dahulu memberikan anastesi baik general maupun lokal kepada pasien. Operasi

terbagi atas operasi minor dan operasi mayor, operasi minor melibatkan sebagian

kecil pembedahan dari tubuh dan tidak menimbulkan resiko terlalu serius

2
sedangkan operasi mayor menimbulkan resiko yang serius karena melibatkan

sebagian besar perubahan pada tubuh (Uskenat, Puguh, & Solechan, 2012).

The World Bank menyatakan hingga tahun 2015 jumlah tindakan operasi

bedah di dunia terjadi sebanyak 4.511.101 per 100.000 populasi dengan benua

Australia yang menempati posisi tertinggi sekitar 28.907 per 100.000 populasi.

Data dari Wolrd Health Organization (WHO) tahun 2013 jumlah pasien yang

mengalami tindakan operasi terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan.

Tahun 2011 tercatat 140 juta jiwa pasien yang mengalami tindakan operasi di

seluruh rumah sakit di dunia.

3
4

Jumlah ini semakin meningkat pada tahun 2012 sebesar 148 juta jiwa. Kejadian di

Indonesia berdasarkan perhitungan data tabulasi Nasional Departemen Kesehatan

Republik Indonesia tahun 2009, menyatakan bahwa tindakan bedah menempati

urutan ke-11 dengan persentase 12,8%. Sepanjang tahun 2012 menurut data dari

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia jumlah tindakan operasi menempati

angka hingga mencapai 1,2 juta jiwa. Prevalensi bedah mayor tercatat sebanyak

75 kasus yang dilakukan dalam tiga bulan. Lebih dari 60% bedah mayor terjadi

pada kasus bedah digestif (DEPKES, 2009 dalam Anggraeni, 2018; WHO, 2013;

Julianto, Romadoni, Astuti, 2014; Wicaksono, 2015 dalam Barus, Simanullang, &

Gea, 2018).

Operasi mayor merupakan suatu tindakan invasif yang bertujuan untuk

pengobatan. Operasi mayor memiliki beberapa derajat resiko bagi pasien yang

menjalaninya contohnya kecacatan atau perubahan bentuk tubuh. Operasi mayor

menimbulkan dampak atau pengaruh psikologis pada pasien yang akan dilakukan

operasi (Ahsan, Lestari, & Sriati, 2017). Respon psikologis yang timbul pada

tindakan operasi yang direncanakan antara lain kecemasan atau ketakutan (Bansal

& Joon, 2017).

Kejadian kecemasan praoperasi disebabkan oleh perasaan takut akan

kematian, kehilangan fungsi normal tubuh, menderita selama operasi, nyeri akibat

luka operasi, takut tidak akan bangun lagi setelah dianastesi, kehilangan organ

serta jaringan, bermalamnya pasien dirumah sakit sambil menunggu operasi,

kurangnya pengetahuan tentang operasi, ketergantungan kepada orang lain,

perubahan kebiasaan hidup, serta takut kehilangan pekerjaan (Cakir & Gursoy,
5

2017; Berhe, Lemma, Tawye, & Gebregzi, 2017). Kecemasan berlebihan apabila

tidak ditangani dengan benar akan mengaktifan sistem saraf otonom simpatis yang

menyebabkan pengeluaran hormon adrenalin sehingga terjadi perubahan

hemodinamik seperti meningkatnya denyut jantung, frekuensi nafas, perubahan

suhu tubuh, berkeringat, gemetar, akral dingin, inkontinensia urin,

hipermetabolisme, serta peningkatan tekanan darah. Perubahan hemodinamik ini

dapat membahayakan selama operasi karena dapat meningkatkan pemakaian

energi yang besar dan menambah beban kerja jantung. Penggunaan anastesi lebih

banyak diperlukan selama operasi, serta masalah lain seperti hipotermi, dan

perdarahan intraoperatif dapat terjadi (Cakir & Gursoy, 2017).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2007 menyatakan bahwa 25,

1% atau 8.922 jiwa klien post operasi yang dirawat di unit perawatan intensif

mengalami gangguan kejiwaan dan 7% atau 2.473 orang klien mengalami

kecemasan. Hasil penelitian lain di Civil Hospital Karachi, Pakistan, yang

dilakukan oleh Masood (2006), mengatakan bahwa 57,65% pasien pre operasi

mengalami kecemasan. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa sebagian

besar pasien pre operasi mengalami kecemasan karena takut dengan pembiusan

dan anastesi (Rahmayati, Silaban, & Fatonah, 2018).

Perlu penatalaksanaan lebih lanjut untuk mengatasi kecemasan tersebut,

salah satu tindakan yang dapat diterapkan pada kecemasan adalah dengan

dukungan keluarga. Keluarga adalah pendukung utama yang memberikan

perawatan kepada klien yang sakit dengan secara langsung, peran keluarga

mampu mengambil keputusan dalam kesehatan klien dan memanfaatkan fasilitas


6

kesehatan untuk mengatasi kecemasan klien. Keluarga juga dapat memberikan

dukungan informasional yaitu keluarga memberikan nasihat, saran, jasmani dan

rohani. Keluarga dapat pula memberikan dukungan emosional yaitu dukungan

yang diberikan dalam bentuk afeksi, kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan

dengarkan. Ada pula dukungan penilaian yaitu dukungan yang diberikan dalam

tindakan bimbingan, membimbing, sebagai penengah pemecahan penyelesaina

dalam masalah, memeri support, penghargaan dan perhatian. Seta keluarga juga

dapat memberikan dukungan instrumental yaitu sebuah sumber pertolongan

praktis dan konkrit(Sitepu,2015).

Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember 2018 di RSUD. Dr.

Soedarso Pontianak didapatkan jumlah pasien yang menjalani bedah mayor

periode Januari hingga Oktober 2018 berjumlah 1.743 jiwa dengan kejadian

operasi paling banyak yaitu pada bedah ortopedi. Pada bulan September sampai

Oktober 2018 tercatat sebanyak 432 kasus bedah mayor dengan 86 kasus bedah

orthopedi, 36 kasus bedah anak, 60 kasus bedah umum, 66 kasus bedah gigi dan

mulut, 46 kasus bedah urologi, 46 kasus bedah plastik, 19 kasus bedah THT, 49

kasus bedah mata dan syaraf, dan 23 kasus bedah genekologi. Dari hasil

pengukuran kuisoner APAIS yang dilakukan di ruang bedah kepada 7 pasien yang

akan menjalani operasi didapatkan 2 orang dengan kecemasan ringan pada pasien

operasi urologi dengan jenis operasi orif tibia dan jenis srtriktur urea, 3 orang

dengan kecemasan sedang pada pasien yang akan operasi jenis 2 striktur urea dan

orif tibia, dan 3 orang dengan kecemasan berat pada pasien cancer mamae, cancer

nasofaring, dan fraktur kruris sinistra.


7

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu perawat di ruangan bedah

RSUD Dr. Soedarso bahwa ada kasus pasien yang mengalami kecemasan dapat

diketahui dari tekanan darah meningkat, nadi meningkat, dan akral dingin.

Perawat biasanya menggunakan teknik relaksasi napas dalam dan distraksi untuk

menurunkan kecemasan pasien karena relaksasi napas dalam adalah yang paling

mudah dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pasien di ruang bedah

RSUD Dr. Soedarso bahwa pasien mengalami kecemasan karena suasana ruangan,

pengaruh dari pasien yang postoperasi dalam satu kamar, takut tidak dapat

beraktifitas kembali, dan takut bius. Berdasarkan hasil wawancara dengan

keluarga pasien di ruang bedah RSUD Dr. Soedarso bahwa pasien biasanya

mengalami kecemasan karena dari kurang pengetahuan keluarga dengan penyakit,

dan takut operasi gagal.

Berdasarkan fenomena di atas peneliti perlu untuk melakukan penelitian yang

berjudul hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien

praoperasi bedah mayor di RSUD Dr. Soedarso Pontianak.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah terdapat Hubungan

Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Praoperasi Bedah Mayor

di RSUD. Dr. Soedarso Pontianak ?


8

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya Hubungan Dukungan

Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi Bedah Mayor di RSUD.

Dr. Soedarso Pontianak.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Mengindentifikasi karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin,

riwayat pekerjaan, riwayat pendidikan di ruang bedah RSUD. Dr. Soedarso.


b. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pada pasien pre operasi bedah mayor di

RSUD Dr. Soedarso Pontianak


c. Mengidentfifikasi hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan

pasien pre operasi bedah mayor di RSUD. Dr. Soedarso Pontianak.

1.4 Manfaat penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis

a. Menambah bahan referensi bagi penelitian sejenis di masa akan datang

dengan topik yang sama.

b. Penelitian dapat berguna sebagai bentuk publikasi yang berbasis bukti.

c. Menambah wawasan peneliti tentang kecemasan pada pasien praoperasi.

d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi

perawat untuk mengintegrasikannya dalam pembelajaran.

1.4.2 Manfaat Parktik


a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi

perawat untuk mengintegrasikannya dalam praktek keperawatan


9

b. Untuk meningkatkan pengetahuan pada responden dan keluarga tentang

kecemasan dan cara mengatasinya.


c. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu cara responden dalam

menangani kecemasan yang dialaminya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA,KERANGKA TEORI,HIPOTESIS

2.1 Konsep Operasi


2.1.1 Definisi
10

Pembedahan atau operasi adalah suatu tindakan pengobatan yang

menggunakan cara invasif dengan terlebih dahulu membuat sayatan untuk

menampilkan bagian tubuh yang menjadi target pengoperasian kemudian diakhiri

dengan penutupan dan penjahitan luka (Susetyowati, dkk, 2010). Selain itu

operasi merupakan tindakan penyembuhan yang dilakukan dengan memotong

atau membuat sayatan dengan sengaja pada bagian tubuh yang mengalami

masalah. Tindakan operasi membutuhkan persiapan mental dari diri pasien

sendiri. Sebelum operasi berlangsung pemberian anastesi baik anastesi general

maupun regional akan diberikan kepada pasien (Uskenat, Puguh, & Solechan,

2012).

Pembedahan merupakan suatu tindakan invasif yang dilakukan dengan

membuka atau menampilkan bagian tubuh yang mengalami masalah dengan

pemebrian anastesi terlebih dahulu sebelum memulai proses operasi. Tindakan

pembedahan akan menimbulkan reaksi psikologis maupun fisiologis (Maryunani,

2014). Beberapa alasan dilakukannya pembedahan seperti alasan diagnostik

(biopsi, eksplorasi, laparotomi), kuratif (apendiktomi, eksisi masa tumor),

restoratif (memperbaiki deformitas atau menyambung daerah yang terpisah),

paliatif (ketika menghilangkan nyeri atau perbaikan masalah) dan kecantikan

untuk perbaikan wajah (Hidayat, 2013).

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa operasi merupakan

suatu tindakan invasif bertujuan untuk pengobatan yang diawali dengan tindakan

pemberian anastesi kepada pasien. Tindakan operasi memiliki dampak psikologis

dan fisiologis pada pasien yang menjalaninya.


11

2.1.2 Jenis Operasi


Tindakan operasi dibagi atas beberapa jenis diantaranya sebagai berikut.
1. Menurut urgensi dilakukan tindakan pembedahan ada beberapa tingkatan,

yaitu.
a. Kedaruratan / Emergency
Pada pasien yang membutuhkan tindakan segera yang mengancam

jiwa. Indikasi dilakukan operasi tanpa ditunda seperti pendarahan hebat,

obstrukti kandung kemih atau usus, fraktur tulang tengkorak, luka tembak

atau tusuk, luka bakar sangat luas (Smeltzer & Bare, 2013).
b. Urgensi
Pada pasien yang akan dilakukan penundaan operasi dalam rentang

waktu 24-30 jam seperti infeksi kandung kemih akut dan batu ginjal

( batu pada ureter).


Pembedahan urgensi elektif dilakukan berdasarkan pilihan pasien,

tidak penting dan tidak dibutuhkan untuk kesehatan. Contohnya

rekonstruksi payudara atau vagina, operasi palstik wajah, bunionektomi,

perbaikan hernia (Potter & Perry, 2005; Taylor, Lillis, LeMone, & Lynn,

2008). Pada pembedahan urgensi darurat yang harus dilakukan sedini

mungkin untuk mencegah kondisi yang berbahaya. Contohnya perforasi

apendiks, memperbaiki amputasi tarumatik, mengontrol perdarahan

internal. Sedangkan pada pembedahan urgensi gawat Gawat yang

diperlukan untuk kesehatan atau mencegah timbulnya masalah yang baru

pada pasien (misalnya destruksi jaringan atau fungsi organ yang

terganggu) tidak harus selalu bersifat darurat. Contohnya eksisi tumor

ganas, pengangkatan batu kandung empedu, perbaikan vaskular akibat

obstruksi arteri misalnya bypass arteri koroner (Potter & Perry, 2005).
12

c. Efektif
pasien harus dioperasi ketika diperlukan. Indikasi pembedahan, bila tidak

dilakukan pembedahan maka tidak terlalu membahayakan,yaitu perbaikan

sesar, hernia sederhana, perbaikan vaginal.


d. Tujuan
Diagnostik bedah eksplorasi untuk memperkuat diagnosis dokter;

mungkin termasuk pengangkatan jaringan untuk pemeriksaan diagnostik

yang lebih lanjut. Contohnya laparotomi eksplorasi (insisi rongga

peritoneal untuk menginspeksi organ abdomen), biopsi massa payudara,

laparoscopy, bronkuskopi, eksplorasi laparotomi. Ablatif eksisi atau

pengangkatan bagian tubuh yang menderita penyakit. Contohnya

amputasi, pengangkatan apendiks, kolesistektomi, reseksi kolon,

gastrektomi parsial, subtotal tiroidektomi. Paliatif menghilangkan atau

mengurangi gejala penyakit tetapi tidak bersifat menyembuhkan.

Contohnya kolostomi, debridemen jaringan nekrotik, reseksi serabut

saraf, artroskopi (Potter & Perry, 2005).


e. Rekonstruktif
Mengembalikan atau penampilan jaringan yang mengalami trauma atau

malfungsi. Contohnya fiksasi internal fraktur, perbaikan jaringan parut,

cangkok kulit, rekonstruksi payudara (Potter & Perry, 2005; Taylor, Lillis,

LeMone, & Lynn, 2008)


f. Transplantasi
Dilakukan untuk Mengganti organ atau struktur yang mengalami

kerusakan fungsi. Contohnya transplantasi ginjal, kornea atau hati; total

hip replacement (Potter & Perry, 2005; Taylor, Lillis, LeMone, & Lynn,

2008).
g. Kontruktif
13

Mengembalikan fungsi yang hilang karena sebab anomali kongenital.

Contohnya bibir sumbing, penutupan defek katup jantung (Potter & Perry,

2005; Taylor, Lillis, LeMone, & Lynn, 2008).

2. Menurut faktor resiko operasi ada minor dan mayor, tergantung pada

keseriusan dari penyakit atau bagian tubuh yang terkena sulit dilakukan

operasi dan waktu pemulihan yang diharapkan, yaitu.


a. Bedah Minor
Bedah minor adalah operasi yang melibatkan sebagian kecil dari

tubuh yang memiliki komplikasi lebih kecil dibandingkan dengan

pembedahan mayor. Contoh operasi minor seperti ekstraksi katarak, graft

kulit, operasi plastik, ekstraksi gigi (Parker M., et al., 2010; Potter &

Perry, 2005).
b. Bedah Mayor
Bedah Mayor adalah operasi yang melibatkan organ tubuh secara

luas dan memiliki tingkat resiko yang tinggi terhadap kelangsungan

hidup klien. Contoh operasi mayor bypass arteri koroner, reseksi kolon,

reseksi lobus paru, angkatan laring (Parker M., et al., 2010; Potter &

Perry, 2005).

2.1.3 Periode Operasi


Periode operasi terdiri dari tiga tahapa, sebagai berikut :
a. Periode Praoperasi
Masa persiapan untuk pasien untuk menghadapi operasi atau

pembedahan, baik secara fisik maupun psikologis. Biasanya terdapat waktu

yang cukup untuk mengoreksi abnormalitas yang mungkin terjadi saat

prosedur pembedahan. Saat pasien sudah dijadwalkan mengikuti prosedur

pembedahan dengan antisipasi kehilangan darah dalam jumah banyak, masa

praoperasi adalah waktu yang tepat untuk pendonoran darah untuk digunakan
14

dalam proses pembedahan dan mulai mengonsumsi zat besi, asam folat,

vitamin B12, dan vitamin C untuk membantu produksi RBC [ CITATION

Dig14 \l 1057 ].
1) Persiapan Praoperasi
Pada tahap ini, semua perawat praktisi dan dokter harus mengetahui

riwayat medis pasien dan pengobatan yang sekarang pasien jalani, serta

dapat mengkaji secara adekuat risiko pembedahan yang kemungkinan

terjadi pada pasien. Hal yang harus dipertimbangkan ketika tahap

persiapan praoperasi yakni tipe pembedahan yang telah direncanakan,

potensi kehilangan darah ketika pembedahan, umur pasien, keadaan

umum dan ko-morbiditas, riwayat kesehatan yang lalu dan riwayat

pembedahan, pengobatan sekarang, penggunaan suplemen kesehatan atau

obat-obatan herbal, penggunaan alkohol, riwayat merokok, penggunaan

substansi lain, alergi, riwayat keluarga termasuk permasalahan dengan

pembedahan, dan hasil tes diagnostik [ CITATION Dig14 \l 1057 ].


Studi diagnostik biasanya berupa CBC (Hitung Darah Lengkap,

untuk identifikasi anemia dan tanda-tanda infeksi), panel metabolik

(identifikasi ketidakseimbangan elektrolit, glukosa abnormal, fungsi

ginjal atau hati), analisis urin (identifikasi infeksi, protein, glukosa),

PT/INR/PTT (identifikasi gangguan pembekuan darah), EKG

(identifikasi abnormalitas ritme jantung atau kerusakan pada

miokardium), X-ray dada (identifikasi patologi paru, atau siluet

pembesaran jantung), atau tes fungsi paru (untuk pasien dengan

gangguan respirasi seperti asma atau emfisema). CT scan, MRI, scan

PET, atau tes tingkat stres dapat dilakukan kepada pasien berdasarkan
15

riwayat kesehatan mereka, jenis pembedahan yang sudah direncanakan,

dan hasil dari pemeriksaan diagnostik [ CITATION Dig14 \l 1057 ].


2) Pengkajian kesehatan emosional
a) Kecemasan praoperasi
Kecemasan dalam praoperasi merupakan suatu respon antisipasi

terhadap suatu pengalaman yang dianggap pasien sebagai suatu

ancaman dalam peran hidup, integritas tubuh, bahkan kehidupan

individu itu sendiri (Smeltzer & Bare, 2013). Menurut Ahsan, Lestari,

& Sriati (2017) operasi mayor memberikan resiko besar yang harus

dihadapi oleh pasien yang menjalaninya seperti adanya bagian tubuh

yang hilang sehingga akan menimbulkan kecacatan dan perubahan

bentuk aslinya. Selain itu pembedahan juga menimbulkan trauma fisik

yang luas, dan resiko kematian sangat besar seperti halnya

pemebadahan pada abdominal histerektomi, reseksi kolon dan

pembedahan mayor lainnya. Resiko yang kemungkinan diprediksi akan

muncul dapat mempengaruhi kondisi psikologis pasien pre operasi.

Kecemasan pre operasi dapat muncul karena adanya ketidaktahuan

pasien akan pengalaman pembedahan yang dapat mengakibatkan

kecemasan terlihat dalam berbagai bentuk seperti marah, menolak, atau

apatis terhadap kegiatan keperawatan. Pasien yang cemas sering

mengalami ketakutan atau perasaan tidak tenang. Berbagai bentuk

ketakutan muncul seperti takut tidak bangun lagi setelah anastesi, nyeri

yang disebabkan sayatan saat operasi, terjadi perubahan fungsi normal

tubuh, operasi gagal, kehilangan pekerjaan, ketakutan akan perubahan

citra diri dan konsep diri, serta kematian (Cakir & Gursoy, 2017).
16

Kecemasan dapat menyebabkan aktifnya sistem saraf otonom

simpatis sehingga menyebabkan perubahan hemodinamik seperti

meningkatkan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, peningkatan

frekuensi napas serta secara umum mengurangi tingkat energi pada

pasien, perubahan hemodinamik menyebabkan penggunaan anastesi

yang banyak selama operasi, perdarahan intraoperatif dan hipotermi

mungkin dapat terjadi selama masa intraoperatif. Perubahan

hemodinamik dapat menyebabkan proses operasi ditunda atau

dibatalkan dan hal tersebut berakibat merugikan individu itu sendiri

(Cakir & Gursoy, 2017).


b) Perasaan
Pasien yang merasa takut biasanya sering bertanya, tampak tidak

nyaman jika ada orang asing memasuki ruangan, atau secara aktif

mencari dukungan dari teman dan keluarga. Jika pasien merasa tidak

berdaya, perawat harus menemukan alasannya, diagnosis medis dapat

menimbulkan pemahaman tentang meningkatnya rasa ketergantungan

dan kehilangan fungsi fisik atau mental. Pikiran bahwa pasien tidak

sadar selama masa anastesi menimbulkan rasa khawatir akan

kehilangan kontrol. Banyak pasien yang merasa perlu mempertahankan

kekuatnnya untuk membuat keputusan tentang terapi yang akan

dijalaninya. Perawat harus meyakinkan bahwa pasien berhak untuk

bertanya dan mencari informasi (Potter & Perry, 2005).


c) Konsep diri
Pasien dengan konsep diri positif lebih mampu menerima operasi

yang dialaminya. Pasien yang cepat mengkritik dan merendahkan


17

dirinya mungkin memiliki harga diri yang rendah atau sedang menguji

pendapat perawat mengenai karakter mereka, konsep diri yang buruk

mengganggu kemampuan beradaptasi dengan stres pembedahan dan

memperburuk rasa bersalah atau ketidakmampuannya (Potter & Perry,

2005).
d) Citra diri
Pembedahan yang melibatkan bagian tubuh yang luas

mengakibatkan perubahan bentuk dan perubahan fungsi tubuh yang

permanen. Rasa khawatir terhadap kelainan bentuk atau kehilangan

bagian tubuh akan menyertai rasa takut pasien. Seringkali pembedahan

mengubah aspek fisik atau psikologis seksual. Eksisi jaringan payudara,

kolostomi,ureterostomi, atau pengangkatan kelenjar prostat dapat

memengaruhi persepsi pasien tentang seksualitas mereka. Pembedahan

seperti perbaikan hernia atau ekstraksi katarak menyebabkan pasien

tidak melakukan hubungan seksual sampai aktivitas fisik mereka

kembali normal. Perawat harus mendorong pasien untuk

mengekspresikan rasa khawatir sehingga mereka dapat saling

memahami cara mengatasi keterbatasan fungsi seksual yang terjadi

(Potter & Perry, 2005).

e) Sumber koping
Pengkajian terhadap perasaan dan konsep diri akan membantu

perawat menentukan kemampuan pasien dalam mengatasi stres akibat

pembedahan. Perawat juga bertanya tentang menejemen stres yang

pernah dilakukan pasien sebelumnya, apabila pasien pernah menjalani

operasi sebelumnya maka perawat perioperatif dapat membantu pasien


18

dalam menghilangkan ketegangan atau kecemasannya, perawat dapat

menginstruksikan pasien untuk melakukan berbagai relaksasi untuk

mengontrol ansietas (Potter & Perry, 2005).


3) Informed Consent
Persutujuan pasien atau informed consent dilakukan jika terdapat

prosedur yang dapat membahayakan pasien. Alasan pembedahan, jenis

pembedahan yang dilakukan, risiko dari prosedur yang dilakukan, orang

yang terlibat dalam proses pembedahan, pilihan alternatif dan risiko yang

kemungkinan terjadi, risiko yang dihubungkan anastesi harus dijelaskan

kepada pasien. Pasien haruslah seorang dewasa yang kompeten agar

tanda persetujuan valid [ CITATION Dig14 \l 1057 ].


4) Pendidikan Pra operasi
Perawat harus mengerti jenis prosedur pembedahan seperti proses

pembedahan, jenis insisi yang dilakukan, antisipasi tingkat nyeri setelah

operasi, sehingga dapat memberi pendidikan yang sesuai pada pasien.

Pasien praoperasi harus dipuasakan, baik makan dan minum, dalam

beberapa jam sebelum prosedur pembedahan. Lamanya puasa tergantung

pada lokasi pembedahan, tipe anastesi, dan jadwal pembedahan.

Pengecualian jika terdapat pasien yang diharuskan untuk mengonsumsi

obat-obatan secara oral untuk proses pembedahan di pagi hari.

Pengobatan kardiovaskuler, diabetes, dan pengobatan tertentu lainnya

mungkin harus dikonsumsi walaupun pasien diinstruksikan untuk tidak

makan atau minum apapun [ CITATION Dig14 \l 1057 ].


Akses intravena dapat dilakukan untuk pembedahan. Cairan dapat

dimasukkan ke tubuh pasien melalui IV. Akses ini juga memudahkan

pasien untuk diberikan obat secara IV secara cepat. Persiapan kulit dapat
19

dilakukan dengan cara dibersihkan dengan cairan antimikroba. Pasien

kemungkinan juga akan dilakukan pencukuran rambut dibagian yang

akan dibedah dengan menggunakan pisau cukur atau agen depilator.

Sangat penting untuk tidak memotong kulit jika sedang dilakukan

pencukuran bagian yang akan dibedah. Akan dapat terjadi luka kecil atau

abrasi yang memudahkan proses infeksi. Agen depilator juga dapat

menyebakan iritasi atau bintik merah pada pasien tertentu, misalnya

pasien dengan riwayat alergi [ CITATION Dig14 \l 1057 ].


Pada pasien yang akan dilakukan operasi pada sistem pencernaan,

segala persiapan yang berkaitan dengan usus harus diselesaikan sebelum

pembedahan. Hal ini dikarenakan untuk mengurangi jumlah bakteri di

dalam usus. Pembersihan usus juga dilakukan untuk mengosongkan sisa

makanan di dalam usus sebelum tim bedah memotong usus besar ataupun

kecil. Kedua prosedur ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan

terjadi infeksi pada masa pascaoperasi. Tersedianya obat-obatan nyeri

pada pascaoperasi harus dijelaskan kepada pasien. Terdapat juga pasien

yang sudah mempersiapkan obat-obatannya sendiri, dan ada juga pasien

yang membutuhkan resep obat analgesia oral [ CITATION Dig14 \l

1057 ].

5) Pemindahan Pasien
Pada sebagian besar rumah sakit, klien lebih dulu masuk ke ruangan

prabedah. Perawat menjelaskan tahap-tahap yang akan dilaksanakan

untuk menyiapkan klien menjalani pembedahan. Perawat di ruang

prabedah terdiri dari petugas ruang operasi dan telah menggunakan


20

pakaian, topi, dan alas kaki khusus ruang operasi sesuai dengan

kebijakan pengontrolan infeksi rumah sakit. Pada beberapa tempat bedah

sehari, perawat perioperatif menerima kedatangan klien, menjadi perawat

sirkulator selama prosedur berlangsung, dan mengelola pemulihan serta

kepulangan klien (Potter & Perry, 2005).


Di dalam ruang pra bedah perawat anastesi memasangkan infus pada

klien sebagai prosedur rutin penggantian cairan dan obat-obatan melalui

intravena. Meskipun pasien sudah mendapatkan agen pra medikasi

praoperatif, tampak mengantuk, dan terlihat aman di atas brankar dengan

sabuk pelindung diatasnya, seorang perawat harus selalu ada

mendampingi klien agar pasien merasa tenang dan nyaman. Ketenangan

dapat dikomunikasikan secara verbal dan nonverbal melalui ekspresi

wajah, tingkah laku, genggaman hangat pada tangan, dan

memperlihatkan wajah perawat yang ramah dalam membantu persipan

pemindahan pasien ke ruang operasi (Potter & Perry, 2005).


b. Periode Intraoperasi
Masa operasi merupakan masa dimana operasi dilakukan yang

berfokus pada asepsis dan perlindungan pasien. Dalam masa ini, tim

bedah menggunakan seragam khusus untuk proses pembedahan

[ CITATION Dig14 \l 1057 ].


1) Tim Bedah
Tim bedah terdiri dari dokter bedah, asisten dokter bedah, dokter

anastesi, perawat, teknisi bedah. Setiap tim harus menggunakan

seragam khusus bedah dan memiliki peran masing-masing dalam

proses pembedahan [ CITATION Dig14 \l 1057 ].


2) Risiko Pembedahan
21

Pada saat pembedahan, pasien sudah dalam kondisi teranastesi.

Pasien diposisikan untuk memaksimalkan proses operasi. Saat

prosedur pembedahan selesai, luka ditutup untuk mengurangi risiko

kontaminasi. Penutupan luka bisa dilakukan dengan cara dijahit

dengan benang yang absorbable ataupun nonabsorbable, staples,

lem, atau pita perekat khusus bedah [ CITATION Dig14 \l 1057 ].


3) Anastesi
Anastesi dapat disuntikkan melalui jalur umum atau regional,

ataupun secara sadar (sedasi). Anastesi umum membuat pasien

hilang kesadaran perlahan dan tidak dapat bernapas sendiri, dan

reseptor nyeri diblokade. Pasien harus diberi intubasi dan ventilasi

pernapasan dalam durasi anastesi. Pembiusan secara regional hanya

bisa dilakukan untuk memblokade saraf ataupun anastesi epidural

atau spinal [ CITATION Dig14 \l 1057 ].

c. Periode Pascaoperasi
Setelah dioperasi, pasien memasuki masa pascaperasi. Pada masa ini,

pasien membutuhkan monitoring atau pengawasan berkelanjutan seiring

pasien dalam proses sadar setelah pembiusan. Pasien dapat dipulangkan

dalam hari yang sama ataupun setelah mendapatkan perawatan khusus.

Proses pemulihan ke aktivitas sehari-hari mungkin memakan waktu

berminggu-minggu [ CITATION Dig14 \l 1057 ].


1) Perawatan setelah anastesi
Pasien dipindahkan dari ruang operasi ke unit pascaanastesi

(PACU) untuk pengawasan ketat. Pengkajian inisial berfokus pada

ABC: airway, breathing, dan circulation. Monitor jalan napas pasien,

pertukaran gas, pulse oximetry, penggunaan otot bantu napas, dan


22

suara napas. Pasien kemungkinan akan mengalami stridor akibat

edema atau bronkospasme. Status kardiovaskuler akan dicek pada

proses selanjutnya. Tanda vital (denyut nadi, RR, dan TD) dicek

secara berkelanjutan sampai ritme jantung kembali normbal saat

dimonitor. Luka pascabedah juga diperiksa untuk melihat tanda

perdarahan. Dressing luka dan cairan IV juga diperiksa [ CITATION

Dig14 \l 1057 ].
2) Pengkajian neurologis
Pengkajian neurologis dilakukan untuk memeriksa tingkat

kesadaran. Setelah dilakukan pembiusan, kesadaran pasien akan

meningkat secara bertahap. Setelah efek bius menghilang, dilakukan

pemeriksaan tingkat nyeri. Hal ini dapat dikaji secara subyektif

melalui informasi dari pasien yang sadar, maupun secara obyektif dari

pasien yang masih setengah sadar (semi-conscious). Monitor tanda

vital, perubahan pergerakan untuk mengetahui tingkatan nyeri.

Pengkajian gastrointestinal dilakukan untuk melihat tanda adanya

mual dan muntah. Hal ini dapat terjadi akibat dari proses anastesi.

Kaji adanya distensi abdomen dan bising usus, Monitor drainase dari

NGT, catat jumlah dan warna dari pengeluarannya [ CITATION Dig14

\l 1057 ].
Hasil laboratorium juga diperlukan untuk melihat tingkat

elektrolit, hemoglobin, hematokrit, BUN, dan kreatinin, arterial blood

gases (ABG), atau lainnya setalah dilakukan operasi. Hasil

pemeriksaan diagnostik tergantung pada riwayat pasien, perkiraan


23

hilang darah saat operasi, dan jenis operasi yang telah dilakukan

[ CITATION Dig14 \l 1057 ].


3) Komplikasi Pascaoperasi

Dapat berpengaruh pada normalitas jantung, paru-paru, area

gastrointestinal, dan infeksi [ CITATION Dig14 \l 1057 ].

2.2 Konsep Bedah Mayor

Bedah mayor adalah operasi yang biasanya membawa resiko bagi pasien

yang menjadlani pembedahan di bagian tubuh yang hilang yang akan berdampak

kecacatan dan terjadi perubahan bentuk tubuh. Bedah mayor juga dapat

menimbulkan trauma fisik yang luas dan resiko kematian yang sangat serius,

misalnya abdominal histerektomi dan reaksi kolon. Resiko tinggi dapat

menimbulkan dampak atau pengaruh psikologi pada pasien preoperasi itu sangat

berbeda-beda respon nya namun yang dirasakan pada pasien preoperasi rasa takut

dan kecemasan yang umum yaitu takut dianastesi, takut nyeri pascaoperasi, takut

terjadi perubahan fisik menjadi buruk atau tidak berfungsi normal, takut mati

[ CITATION Ahs17 \l 1057 ].

Bedah Mayor adalah operasi yang melibatkan semua rongga tubuh seperti

tengkorak, pembedahan tulang atau kerusakan signifikan dari anatomis atau

fungsi bagian dari jaringan tubuh (Guide, 2004). Bedah mayor adalah juga biasa

dilakukan pada pembedahan kepala, leher, dada dan perut. Pemulihan dapat dalam

waktu panjang dan dapat melibatkan perawatan intensif dalam beberapa hari di

rumah sakit. Pembedahan ini memiliki resiko komplikasi yang lebih tinggi setelah
24

pembedahan (Virgina, 2004). Bedah mayor juga sering dilakukan di salah satu

badan utama di perut cavities (laparotomy), di dada (thoracotomy), atau tengkorak

(craniotomy) dan dapat juga pada organ vital. Operasi yang biasanya dilakukan

dengan menggunakan anastesi umum di rumah sakit ruang operasi oleh tim

dokter. Setidaknya pasien menjalani perawatan satu malam di rumah sakit setelah

operasi. Bedah mayor biasanya membawa beberapa derajat resiko bagi pasien

hidup, atau potensi cacat parah jika terjadi suatu kesalahan dalam operasi.

Misalnya dalam sebuah prosedur operasi besar dapat terjadi perubahan signifikan

ke anatomi yang terlibat. Seperti dalam situasi di mana organ akan dihilangkan,

atau sendi yang dibangun dengan komponen buatan. Setiap penetrasi organ tubuh

dianggap sebagai operasi besar, seperti pembedahan ekstensif pada tulang pada

kaki. Bedah syaraf umumnya dianggap utama karena resiko kepada pasien.

Beberapa contoh utama 12 bedah mayor, yaitu penggantian lutut, operasi

kasrdiovaskular, dan transplantasi organ. Prosedur ini pasti membawa risiko bagi

pasien seperti infeksi, pendarahan, atau komplikasi dari yang menyebabkan

kematirasaan(Smeltzer & Bare, 2013).

2.3 Konsep Kecemasan

2.3.1 Definisi
Kecemasan merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan,

pengalaman yang mengganggu pasien secara emosional, fisik, dan

psikologis (Guo, 2014). Kecemasan didefinisikan sebagai perasaan

khawatir, gugup, atau tidak nyaman tentang sesuatu dengan hasil yang
25

tidak pasti. Insiden kecemasan preoperatif bisa setinggi 80% (Mitchell,

2013). Faktor yang berhubungan dengan pasien seperti usia, jenis kelamin,

tingkat pendidikan dan status ekonomi, toleransi rasa sakit, operasi

sebelumnya dan paparan anestesi, masalah kejiwaan yang ada, jaminan

sosial dapat mempengaruhi tingkat kecemasan [ CITATION Vad17 \l

1057 ].
Faktor yang terkait dengan prosedur seperti operasi besar, kronisitas

masalah, prosedur darurat dan tidak terjadwal, dan prosedur yang salah

juga ikut berperan dalam mempengaruhi kecemasan. Selain itu sikap

penyedia perawatan kesehatan, keterampilan komunikasi para dokter,

keyakinan dan pendapat pasien mengenai operasi, informasi anastesi pra

operasi, anastesi serta pembedahan yang tiba-tiba terbukti secara

signifikan mempengaruhi tingkat kecemasan yang meningkat secara

keseluruhan. Faktor-faktor lain seperti takut cacat, kesalahan medis,

tingkat kebisingan, bau yang tidak menyenangkan, kerugian finansial,

pembatalan operasi juga memiliki pengaruh pada tingkat kecemasan

[ CITATION Vad17 \l 1057 ].


Kecemasan merupakan kondisi emosional yang ditandai dengan

kekhawatiran yang berlebihan, perasaan tertekan terhadap sesuatu yang

akan dihadapi yang berhubungan dengan berbagai peristiwa kehidupan

sehari hari. Kecemasan yang dirasaka sulit dikendalikan dan berhubungan

dengan gejala somatic, seperti ketegangan otot, iritabilitas, kesulitan tidur

dan kegelisahan. Kecemasan akan berkurang dan menghilang jika

seseorang berhasil beradaptasi dengan baik pada kesulitan itu sendiri


26

selain itu kecemasan juga pada sebagian orang dianggap sebagai motivator

untuk berbuat sesuatu (Utama, 2013; Yanti Erlamsyah, & Zikra, 2013).
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan

merupakan suatu kondisi emosional yang dialami oleh seseorang berupa

perasaan khawatir yang berkebihan, perasaan tertekan, pengalaman yang

tidak menyenangkan terhadap suatu kondisi yang belum terjadi dan

dengan hasil yang belum pasti, ditandai dengan gejala seperti ketegangan

otot, iritabilitas, kesulitan tidur dan kegelisahan.

2.3.2 Tingkat Kecemasan


Menurut kecemasan terbagi atas 3 tingkatan yaitu :
a. Kecemasan ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari-hari sehingga menyebabkan seseorang menjadi

waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ini

berdampak menumbuhkan motivasi belajar serta menghasilkan

pertumbuhan dan kreativitas (Sutejo, 2017).


b. Kecemasan sedang
Kecemasan sedang dapat membuat seseorang lebih fokus

terhadap sesuatu yang dianggap penting yang sedang dihadapi tanpa

menghiraukan lingkungan sekitarnya tetapi dapat melakukan sesuatu

yang lebih terarah (Sutejo, 2017).


c. Kecemasan berat
Kecemasan ini sangat mengurangi lahan persepsi seseorang.

Adanya kecendrungan untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci

dan spesifikasi serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua

perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan yang ada. Seseorang


27

pada tingkat kecemasan ini lebih memerlukan banyak pengarahan

untuk dapat memusatkan pada suatu hal lain (Sutejo, 2017).


d. Kecemasan berat sekali/panik
Kecemasan ini sudah pada tahap dimana seseorang merasa

ketakutan dan diteror sehingga tidak dapat melakukan sesuatu dengan

benar walaupun sudah ada pengarahan. Pada tingkatan panik gejala

yang dapat diamati meliputi peningkatan aktivitas motorik,

berkurangnya interaksi dengan orang lain, persepsi menyimpang,

tingkat konsentrasi menurun (Sutejo, 2017).

2.3.3 Rentang Respon Tingkat Kecemasan


Respon adaptif Respon maladaptif

Antisipasi ringan sedang berat panik

(Prabowo, 2014).

2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan


a. Faktor predisposisi
Menurut Stuart & Laria dalam Sutejo (2017) terdapat beberapa teori y

ang menjadi faktor penyebab kecemasan, antara lain :


1) Faktor biologis
Teori biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor

khusus yang dapat meningkatkan neuroregulator inhibisi (GABA) yang

berfungsi dalam mekanisme biologis yang berkaitan dengan kecemasan

seseorang. Reseptor benzodiazepin yang terdapat di otak, dapat

membantu mengatur kecemasan. Penghambat GABA juga berperan

penting dalam mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas

sebagaimana halnya dengan endorfin. Ansietas mungkin disertai dengan


28

gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk

mengatasi stersor (Sutejo, 2017).

2) Faktor psikologis
Faktor psikologis terbagi menjadi 3 pandangan, yaitu :
a) Padangan psikoanalitik
Kecemasan merupakan konflik emosional yang terjadi antara

dua elemen kepribadian (id seseorang dan superego). Id merupakan

dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego

mencerminkan gati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-

norma budaya seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua

elemen yang bertentangan dan fungsi kecemasan adalah

meningkatkan ego bahwa ada bahaya (Sutejo, 2017).


b) Pandangan interpersonal
Kecemasan timbul akibat perasaan takut tidak adanya

penerimaan dan penolakan interpersonal . kecemasan ini

berhubungan dengan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan,

yang menimbulkan kelemahan spesifik. Orang yang mengalami

harga diri rendah terutama mudah mengalami perkembangan

ansietas yang berat (Sutejo, 2017).


c) Pandangan perilaku
Ansietas menjadi produk frustasi, yaitu segala sesuatu yang

menganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang

diinginkan. Pakar perilaku menganggap sebagai dorongan belajar

berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan.

Individu yang terbiasa dengan kehidupan dini dihadapkan pada

etakutan berlebihan, sering menunjukkan ansietas dalam kehidupan

selanjutnya (Sutejo, 2017).


29

3) Sosial budaya
Kecemasan dapat ditemukan di dalam keluarga. Terdapat hal

yang berlawanan antara gangguan kecemasan dan gangguan kecemasan

dengan depresi. Faktor ekonomi dan latar belakang pendidikan

berpengaruh terjadinya kecemasan (Sutejo, 2017).

b. Faktor presipitasi
1) Ancaman integritas
Ancaman integritas seseorang meliputi ketidakmampuan

fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk

melakukan aktivitas hidup sehari-hari (Sutejo, 2017).


2) Ancaman terhadap sistem diri
Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan

identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang

(Sutejo, 2017).

2.3.5 Tanda dan Gejala Kecemasan


Menurut Sutejo (2017) tanda gejala kecemasan yaitu :
a. Pasien merasa cemas, khawatir, berfirasat buruk, takut dengan

pikirannya sendiri serta mudah tersinggung


b. Perasaan tegang, gelisah, dan mudah terkejut
c. Pasien mengatakan takut bila sendiri atau pada keramaian dan banyak

orang
d. Mengalami gangguan pola tidur, mimpi buruk
e. Gangguan konsentrasi dan mudah lupa
f. Gejala somatik berupa rasa sakit pada otot dan tulang belakang,

tinitus, palpitasi, sesak napas, gangguan pencernaan, nyeri kepala dan

sering berkemih.

2.3.6 Respon Kecemasan


a. Respon fisiologis
Kecemasan akan mengatifkan sistem saraf otonom yaitu saraf simpatis

dan saraf parasimpatis dimana saraf simpatis akan mengaktifkan respon


30

tubuh, sedangkan parasimpatis akan meminimalkan repon tubuh. Saat

korteks otak menerima suatu stimulus maka stimlus tersebut akan

diteruskan memlalui saraf simpatis ke kelenjar adrenal yang akan

melepaskan hormon adrenalin sehingga menimbulkan respon tubuh berupa

frekuensi nafas menjadi dalam, nadi meningkat, darah akan tercurah

kejantung, saraf pusat, dan otot. Dengan peningkatan glikogenolisis maka

glukasa darah akan mengalami kenaikan (Suliswati, 2005).


b. Respon psikologis
Kecemasan yang tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan gerak

reflek. Salah satu contoh ketika terjadi kesulitan mendengar yang akan

menganggu hubungan dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain

terganggu membuat individu menarik diri dan menurunkan keterlibatakn

dengan orang lain (Suliswati, 2005).


c. Respon kognitif
Kecemasan dapat mempengaruhi proses berpikir. Contohnya

seseorang kurang fokus, konsentrasi menurun, mudah lupa dan bingung

(Suliswati, 2005).
d. Respon afektif
Respon pasien terhadap keemasan adalah mengekspresikan

kebingungan dan curiga yang berlebihan (Suliswati, 2005).


Menurut Videbeck dalam Prabowo (2014) kecemasan dapat diamati

melalui respon fisik, respon kognitif dan respon emosional,sebagai berikut:


a. Kecemasan ringan
1) Respon fisik
Reson fisik berupa ketegangan otot ringan, sadar akan

lingkungan, sedikit gelisah, penuh perhatian, rajin (Prabowo,

2014).
2) Respon kognitif
31

Respon kognitif berupa ringan seperti lapang persepsi luas,

terlihat tenang atau percaya diri, perasaan sedikit gagal, waspada

dan lebih memperhatikan banyak hal, mempertimbangkan

informasi, tingkat pembelajaran optimal (Prabowo, 2014).


3) Respon emosional
Respon emosional berupa perilaku otomatis, sedikit tidak

sadar dengan lingkungan, aktivitas menyendiri, mudah

terstimulasi, tenang (Prabowo, 2014).


b. Kecemasan sedang
1) Respon fisik
Respon fisik berupa ketegangan otot sedang, tanda vital

meningkat, dilatasi pupil, berkeringat, mondar-mandir, memukul

tangan, nada suara berubah, ketegangan dan kewaspadaan

meningkat, sering berkemih, nyeri kepala, gangguan pola tidur,

nyeri punggung (Prabowo, 2014).


2) Respon kognitif
Respon kognitif berupa lapang persepsi menurun, tidak

selektif dalam perhatian, fokus stimulus meningkat, rentang

perhatian menururn, pembelajaran terjadi dengan memfokuskan

(Prabowo, 2014).
3) Respon emosional
Respon emosional berupa tidak nyaman, mudah tersinggung,

kepercayaan diri goyah, tidak sabar, gembira (Prabowo, 2014).


c. Kecemasan berat
1) Respon fisik
Respon fisik berupa ketegangan otot berat, hiperventilasi,

kontak mata buruk, pengeluaran keringat meningkat, bicara cepat,

nada suara tinggi, tindakan tanpa tujuan dan berantakan, rahang


32

menegang dan mengertakan gigi, mondar-mandir, berteriak,

meremas tangan, gemetar (Prabowo, 2014).


2) Respon kognitif
Respon kognitif berupa lapang persepsi terbatas, proses

berpikir terpecah-pecah, sulit berpikir, penyelesaian masalah

buruk, tidak mampu mempertimbangkan informasi, fokus dengan

ancaman, egosentris (Prabowo, 2014).


3) Respon emosional
Srespon emosional berupa sangat cemas, agitasi, takut,

bingung, merasa tidak adekuat, menarik diri, penyangkalan

(Prabowo, 2014).
d. Kecemasan berat sekali/Panik
1) Respon fisik
Respon fisik berupa flight, fight, atau freeze, ketegangan otot

sangat berat, agitasi motorik kasar, pupil dilatasi, tanda-tanda vital

meningkat kemudian menurun, tidak dapat tidur, hormon stress dan

neurotransmiter berkurang, wajah menyeringai, mulut ternganga

(Prabowo, 2014).
2) Respon kognitif
Respon kognitif berupa persepsi sangat sempit, pikiran

terganggu, kepribadian kacau, tidak dapat menyelesaikan masalah,

fokus pada pikiran sendiri (Prabowo, 2014).


3) Repon emosional
Respon emosional berupa merasa terbebani, merasa tidak

mampu, tidak berdaya, lepas kendali, mengamuk putus asa, marah

sangat takut, mengharapkan hasil yang buruk, kaget, takut, lelah

(Prabowo, 2014).
33

2.3.7 Alat Ukur Kecemasan


a. VAS (Visual Analogue Scale)
VAS merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur

kecemasan pasien yang telah divalidasi dan banyak digunakan do seluruh

dunia. Skor kecemasan VAS ditentukan dengan menginstruksikan kepada

pasien untuk memberi tanda pada suatu garis horizontal yang panjangnya

100 milimeter. Ujung sebelah kiri (angka 0) tidak ada kecemasan, untuk

ujung sebelah kanan (angka 100) kecemasan meksimal. Ukuran panjang

dalam milimeter dari ujung kiri sampai titik yang ditandai oleh pasien

merupakan skro kecemasan pasien (Firdaus, 2014).


b. STAI (State Trait Anxiety Inventory)
STAI merupakan kuesioner yang dikembangkan oleh Speilberger

tahun 1970 untuk mengukur kecemasan. Kuesioner STAI terdiri dari dua

bentuk yang pertama untuk mengukur kecemasan trait dan yang kedua

untuk mengukur kecemasan state. Kecemasan trait adalaah perbedaan

kecendrungan untuk mengalami kecemasan yang relatif stabil pada

seseorang sedangkan kecemasan state merupakan kecemasan pada situasi

khusus yang dihadapi. STAI kuesioner terdiri atas 20 pernyataan yang

diberi nilai oleh pasien sendiri mengenai bagaimana perasaan pasien pada

situasi khusus yang dihadapi. Setiap pernyataan di isi oleh pasien sendiri

menurut skala Likert 1-4. Waktu yang dibutuhkan untuk pengisisn cukup

lama bagi responden yaitu sekitar 10 menit (Firdaus, 2014).


c. APAIS (Amsterdam Preoperative Anxiety and Information Scale), APAIS

merupakan instrumen yang secara khusus digunakan untuk mengukur

kecemasan praoperatif. Moerman mengembangkan skala APAIS pada

tahun 1996 yang awalnya diteliti di Belanda terdiri dari 6 pertanyaan


34

singkat yang terbagi atas 4 pertanyaan evaluasi kecemasan anastesia dan

prosedur bedah dan 2 pertanyaan mengevaluasi kebutuhan akan informasi.

Semua pertanyaan dilakukan sistem skoring dengan nilai 1 hingga 5

dengan skala Likert. Enam item APAIS dibagi menjadi 3 komponen yaitu

kecemasan yang berhubungan dengan anastesia pada pertanyaan nomor 1

dan 2, kecemasan yang berhubungan dengan prosedur bedah pada nomor 4

dan 5, kebutuhan informasi pada pertanyaan nomor 2 dan 6. Dari versi

belanda kuesioner APAIS telah diterjemahkan ke berbagai bahasa lain

seperti inggris, jepang, prancis, dan jerman dengan konsistensi validitas

dan reabilitas (Firdaus, 2014; Huda, 2016).


Sebuah studi yang dilakukan oleh Boker di Canada yang

membandingkan APAIS dan STAI untuk mengukur kecemasan pre operatif

menyatakan bahwa APAISmerupakan instrumen baru yang menjanjikan

untuk mengukur kecemasan pre operatif. Boker menemukan korelasi

positif antara APAIS dan STAI. Pada studi penggunaan instrumen APAIS

yang pertama pada polulasi Jerman disimpulkan bahwa APAIS versi

jerman merupakan instrumen yang valid dan reliabel. Studi di Thailand

yang dilakukan oleh Kunthonluxamee menemukan bahwa APAIS

mempunyai korelasi yang reliabel dengan STAI. Berdasarkan data tersebut

dapat dinilai bahwa APAIS merupakan salah satu instrumen pengukur

kecemasan pre operatif yang sederhana, praktis, valid dan reliabel

(Firdaus, 2014).
Alat ukur ini terdiri dari 6 item kuesioner yaitu (Firdaus, 2014) :
a) Mengenai anastesi
35

1) Saya takut dibius (1= sama sekali tidak, 2= tidak terlalu, 3= sedikit, 4=

agak, 5= sangat).

2) Saya terus-menerus memikirkan tentang pembiusan (1= sama sekali tidak,

2= tidak terlalu, 3= sedikit, 4= agak, 5= sangat).

3) Saya ingin tahu sebanyak mungkin tentang pembiusan (1= sama sekali

tidak, 2= tidak terlalu, 3= sedikit, 4= agak, 5= sangat).

b) Mengenai pembedahan operasi

1) Saya takut dioperasi (1= sama sekali tidak, 2= tidak terlalu, 3= sedikit, 4=

agak, 5= sangat).

2) Saya terus-menerus memikirkan tentang operasi (1= sama sekali tidak, 2=

tidak terlalu, 3= sedikit, 4= agak, 5= sangat).

3) Saya ingin tahu sebanyak mungkin tentang operasi (1= sama sekali tidak,

2= tidak terlalu, 3= sedikit, 4= agak, 5= sangat).

6 item diatas dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Nurwulan, 2017)

a) 1-6 : tidak ada kecemasan

b) 7-12 : kecemasan ringan

c) 13-18 : kecemasan sedang

d) 19-24 : kecemasan berat

e) 25-30 : kecemasan berat sekali/panik

2.3.8 Penatalaksanaan Kecemasan


a. Penatalaksanaan Farmakologi
36

Terapi dengan farmakologi adalah pemakaian obat-obatan yang

digunakan untuk mengatasi gangguan pada fungsi neuro-transmitter

(sinyal pengahantar saraf) disusunan saraf pusat otak (sistem limbic). Jenis

obat – obatan yang sering digunakan adalah obat anti cemas (anxiolytic),

diantara obat premedikasi yang digunakan untuk ansiolytic, benzodiazepin

telah terbukti memberikan anti cemas yang konsisten. Diazepam adalah

salah satu benzodiazepin yang paling umum digunakan untuk tujuan ini

dan beberapa obat lainnya seperti clobazam, bromazepam, lorazepam,

buspirone HCL, meprobamate dan alprazolam juga digunakan dalam

mengatasi kecemasan (Prabowo, 2014).


b. Penatalaksanaan Non Farmakologi
1. Teknik relaksasi
Terapi relaksasi adalah tehnik yang didasarkan kepada keyakinan

bahwa tubuh berespon pada ansietas yang merangsang pikiran karena

nyeri atau kondisi penyakitnya. Teknik relaksasi dapat menurunkan

ketegangan fisiologis. Teknik ini dapat dilakukan dengan kepala

ditopang dalam posisi berbaring atau duduk di kursi. Hal utama yang

dibutuhkan dalam pelaksanaan teknik relaksasi adalah klien dengan

posisi yang nyaman, klien dengan pikiran yang beristirahat, dan

lingkungan yang tenang (Asmadi, 2009).


2. Terapi relaksasi genggam jari
Teknik ini merupakan teknik yang sangat mudah dan simpel untuk

dilakukan oleh seseorang karena hanye dengan menggunakan tangan.

Teknik relaksasi gengam jari adalah cara mudah untuk mengelola emosi

dan mengembangkan kecerdasan emosional. Teknik relaksasi membuat


37

pasien dapat mengendalikan diri ketika ketidaknyamanan atau rasa

sakit, tekanan fisik dan emosi (Windartik, Yuniartik, Akbar, 2017).


3. Distraksi
Distraksi m erupakan metode untuk menghilangkan atau

mengurangi rasa cemas dengan cara mengalihkan perhatian seseorang

terhadap hal lain agar orang tersebut lupa terhadap suatu masalah yang

dialaminya (Potter & Perry, 2005).


4. Imajinasi terbimbing
Teknik ini berupa menggunakan imajinasi individu dalam suatu

cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif.

Individu diinstruksikan untuk menutup mata dan membayangkan bahwa

setiap napas yang dihembuskan secara perlahan akan mengeluarkan

ketegangan otot dan ketidaknyamanan sehingga akan memberikan efek

rileks dan nyaman (Smeltzer & Bare, 2013).


5. Sentuhan terapeutik
Dikembangkan oleh Kunz & Krieger, berasal dari praktik kuno

yaitu “meletakkan tangan”. Individu yang sehat memiliki ekuilibrium

antara aliran energi didalam dan diluar tubuh. Penyakit mewakili

keetidakseimbangan energi yang dihasilkan. Sentuhan terapeutik ini

menggunakan tangan untuk secara sadar melakukan pertukaran energi.

Terdapat 4 langkah dasar dalam melakukan teknik ini, yaitu pemusatan,

pengkajian, terapi, dan evaluasi. Semua proses ini dilakukan selama

±25 menit (Potter & Perry, 2005).

2.4 Konsep Dukungan Keluarga

2.4.1 Dukungan Keluarga


38

Dukungan keluarga sangat berkalitan pada pasien dengan tingkat

kecemasan pra operasi, peran keluarga sangat penting dan diharapkan

seseorang dalam situasi appun afar dapat memenuhi harapan. Kecemasan

dapat terjadi jika ada konflik dalam keluarga yang akan menghadapi

penderitaan fisik dan mental terutama pasien yang memiliki penerimaan diri

rendah, harga diri rendah. Putus asa, cemas, frustasi, tertekan an takut

kehilangan seseorang terutama keluarga [ CITATION Set08 \l 1057 ].

2.4.2 Dukungan Sosial Keluarga


Dukungan sosial keluarga adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi

individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya sehingga

seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan menghargai

dan mencintainya dan proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan

sosial. Dalam semua tahap dukungan sosial keluarga dapat keluarga mampu

yang berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal sehingga akan

meningkatkan kesehatan dan adaptasi mereka dalam kehidupan. Dukungan

sosial dalam fungsi jaringan sosial dalam menghadapi kecemasan pasien

preoperasi, yaitu pemeliharaan identitas sosial yang positif, pemberian

dukungan emosi, pemberian bantuan material pelayanan nyata, akses ke

informasi, akses ke hubungan sosial dan peran sosial yang baru (Smeltzer &

Bare, 2013).
.

2.4.3 Jenis Dukungan Keluarga


39

Jenis dukungan keluarga Setiadi, 2008 mengemukakan bahwa ada 4

jenis dukungan keluarga :

a. Dukungan instrumental, yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan

praktis dan kongkrit


b. Dukungan informasional, yaitu keluarga berfungsi sebagai sebuah

kolektor dan disseminator (penyebar informasi)


c. Dukungan penilaian yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah umpan

balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai

sumber dan validator identitas keluarga.


d. Dukungan emosional yaitu keluarga sebagai tempat yang aman dan

damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan

terhadap emosi.

2.4.4 Ciri-ciri Bentuk Dukungan Keluarga


Ciri – ciri bentuk dukungan keluarga Menurut Setiadi, 2008 setiap

bentuk dukungan sosial keluarga mempunyai ciri – ciri antara lain :


a. Informative merupakan bantuan informasi yang disediakan agar dapat

digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan –

persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasihat, pengarahan, ide

– ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan dan informasi ini dapat

disampaikan kepada orang lain yang mungkin mengahadapi persoalan

yang sama atau hampir sama.


b. Emosional merupakan setiap orang pasti mempbutuhkan bantuan

afeksi dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan simpatik dan

empati, cinta, kepercayaan, dan penghargaan. Dengan demikian

seseorang yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak

menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang


40

memperhatikan, mau mendengar segala keluhan, bersimpati, dan

empati terhadap persoalan yang dihadapinya bahkan mau membantu

memecahkan masalah yang dihadapinya.


c. Instrumental merupakan bantuan bentuk ini bertujuan untuk

mempermudah seseorang dalam melakukan aktivitasnya berkaitan

dengan persoalan – persoalan yang dihadapinya, atau menolong secara

langsung kesulitan yang dihadapi, misalnya dengan menyediakan

peralatan lengkap dan memadai bagi penderita, menyediakan obat –

obat yang dibutuhkan dan lain – lain.


d. Penilaian merupakan suatu bentuk penghargaan yang diberikan

seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari

penderita. Penilaian ini bisa positif dan negatif pengaruhnya sangat

berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan dukungan sosial keluarga

maka penilaian sangat membantu adalah penilaian positif. Efek dari

dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan berfungsi

bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang

adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih

mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi.

Disamping itu, pengaruh positif dari dukungan sosial keluarga adalah

pada penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang penuh

dengan stress.
2.4.5 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan
Dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Liandi (2011)

bahwa dukungan keluarga sedang sebanyak 53,33% menyebabkan

kecemasan sedang, kecemasan rendah sebanyak 10% dan kecemasan


41

sedang 6,67% didapat pada anak yang memperoleh dukungan tinggi (baik)

dari keluarga mereka.

2.4.6 Instrument Dukungan Keluarga


1. Alat ukur (Blue Print)
Menurut Arikunto (2011), untuk mengungkap variabel dukungan

keluarga, menggunakan skala dukungan keluarga yang diadaptasi dan

dikembangkan dari teori House. Dan aspek-aspek yang digunakan untuk

mengukur dukungan keluarga adalah dukungan emosional, dukungan

penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informatif.


Pada pengisian skala ini, sampel diminta untuk menjawab

pertanyaan yang ada dengan memilih salah satu jawaban dari beberapa

alternatif jawaban yang tersedia. Skala ini menggunakan skala model likert

yang terdiri dari pernyataan dari empat alternatif 43 jawaban yaitu 1= tidak

pernah, 2= kadang-kadang, 3= sering , 4= selalu.

2.5 Kerangka Teori


Skema 2.1 Kerangka Teori

Proses Mengatasi Model Adaptif


Proses Adaptasi Model
Adaptasi Roy Proses Kontrol Subsistem Model Fungsi Peran
Stabilizer
Intervensi Sumber Daya Keluarga
Fokus Pada Stimulus Strategi Keluarga Mengatasi

Metodologi Praktik Metodologi Praktek Model


Adaptasi Roy — Proses Mengatasi
Model Adaptasi Roy—
– Bagian Proses Kontrol
Bagian Intervensi Subsistem Stabilizer
42

Metodologi Praktek Model


Adaptasi Roy — Model Adaptif–
Bagian Model
Fungsi Peran
[ CITATION Faw17 \l

1057 ]

2.6 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini yaitu;

a. Ho : Tidak ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan

pada psien preoperasi bedah mayor di RSUD Dr. Soedarso.

b. Ha : Ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pada

pasien pre operasi bedah mayor di RSUD. Dr. Soedarso.


43
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Menurut Dharma (2015) Penelitian ini menggunakan metode

penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian observasional

analitik dengan jenis penelitan cross sectional. Dalam penelitian cross

sectional peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel hanya

dilakukan satu waktu dan satu kali, tidak ada follow up. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui variabel independen dan variabel dependen

yaitu hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien

praoperasi bedah mayor di RSUD Dr. Soedarso Pontianak.

3.2 Populasi, Sampel dan Setting Penelitian

3.2.1 Populasi

Populasi merupakan suatu wilayah generalisasi yang terdiri dari

subjek atau objek yang mempunyai karakteristik dan kualitas tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dapat dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2017). Populasi target penelitian ini adalah

semua pasien di ruangan perawatan bedah yang sedang menjalankan

praoperasi pada bulan September sampai November dengan jumlah 432

orang. Rincian praoperasi tersebut meliputi, September dengan jumlah 177

orang, Oktober dengan jumlah 210 orang, dan November dengan jumlah

184 orang.

3.2.2 Sampel

44
Sampel terdiri dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan

sebagai subjek peneitian melalui sampling (Nursalam, 2017). Sampel

adalah sebagian atau wakil dari populasi yang akan diteliti atau sebagian

jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Besarnya sampel

ditentukan dengan rumus dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi,

dimana kriteria tersebut menentukan dapat dan tidaknya sampel tersebut

digunakan.

Subjek penelitian diplih dengan cara pemilihan berdasarkan peluang

(probability sampling) menggunakan metode stratified random sampling.

Jumlah atau besaran sample yang dijadikan responden pada penelitian ini,

sesuai dengan hasil rumus sampel untuk populasi kecil atau kurang dari

10.000. rumus yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah rumus

slovin sebagai berikut :

Skema 3.1. Rumus Besar Sampel Keterangan :

N
n=
1+ N ( d) 2
45
Keterangan

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d = Tingkat signifiksi (p)

N
Diketahui : n=
1+ N ( d ) 2

432
n=
1+ 432 ( 0,1 ) 2

n=81,2

n=81

Jadi, jumlah sampel pada penelitian ini adalah sejumlah 81 oraang responden.

Probability sampling adalah bahwa setiap subjek dalam populasi mempunyai

kesempatan untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel penelitian. Stratified

random sampling adalah suatu teknik sampling dimana peneliti

mempertimbangkan stratifikasi atau strata yang terdapat dalam pospulasi sehingga

setiap strata terwakili dalam penentuan sampel (Dharma,2015). Teknik

pengambilan sampel penelitian menggunakan stratified random sampling.

Populasi penelitian terdiri dari 3 kelompok, yaitu ruang rawat inap kelas 1, ruang

rawat inap kelas 2, dan ruang rawat inap kelas 3.

Jumlah pasien setiap kelas populasi


Jumlah sampel rawat inap perkelas= × Jumlah sampel
Jumlah pasien populasi

46
58
Jumlah sampel rawat inap kelas1= ×81=10,87=11 responden
432

49
Jumlah sampel rawat inap kelas2= × 81=9,1=9 responden
432

329
Jumlah sampel rawat inap kelas3= × 81=61,6=61 responde n
432

3.2.3 Kriteria Sampel Penelitian

3.2.3.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota

populasi yang dapat diambil sebagai sampel. Kriteria inkulsi dalam

penelitian ini adalah :

a. Pasien berusia 17-55 tahun

b. Pasien bersedia menjadi responden dan kooperatif

c. Pasien yang dapat membaca

d. Pasien yang akan menjalani operasi mayor

3.2.3.2 Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi adalah kriteria tiap anggota populasi yang tidak dapat

diambil sebagai sampel. Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah :

a. Pasien dengan tingkat kecemasan berat sekali (panik)

b. Pasien yang mengkonsumsi obat anti ansietas (obat penenang) yang

sering diberikan seperti obat golongan benzodiazepine (alprazolam,

diazepam, oksazepam, lorazepam, dan sebagainya).

3.2.3 Setting Penelitian

a. Lokasi penelitian

47
Penelitian ini akan dilaksanakan di RSUD. Dr. Soedarso Pontianak.

Alasan pemilihan tempat karena tingkat kejadian operasi perharinya

lebih banyak dilakukan di RSUD. Dr. Soedarso.

b. Waktu penelitian

Waktu pelaksanaan dilakukan pada bulan Maret 2019.

3.3 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian atau visualisasi

hubungan atau kaitan konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau

antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang

ingin diteliti (Notoatmodjo, 2015). Kerangka konsep dalam penelitian ini

terdiri dari dua variabel, yaitu:

a. Variabel independen adalah dukungan keluarga

b. Variabel dependen adalah tingkat kecemasan

Berikut ini kerangka konsep dalan penelitian ini :

Skema 3.2. Kerangka Konsep

48
Operasi mayor

Praoperatif
Pascaoperatif
Intraoperatif
Respon fisik/fisiologis tubuh:

Kecemasan

Terapi farmakologi : Dukungan keluarga yang meliputi : Terapi nonfarmakologi :


Benzodiazepin (diazepam, clobazam, 1. Teknik relaksasi
bromazepam, lorazepam, buspirone 1. Dukungan instrumental,
2. Terapi relaksasi genggam jari
HCL, meprobamate dan alprazolam) 2. Dukungan informasional,
3. Distraksi
3. Dukungan penilaian 4. Imajinasi terbimbing
4. Dukungan emosional 5. Sentuhan terapeutik
Tingkat kecemasan:

1. kecemasan ringan

2. kecemasan sedang

3. kecemasan berat
Keterangan : 4. kecemasan berat/ panik

Dicetak tebal: diteliti

(Sumber : Pinandita, Purwanti, & Utoyo, 2012; Digiulio, Jackson, & Keough,

2014; Prabowo, 2014; Sutejo, 2017; Setiadi,2008;Nurbaeti, 2018;).

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Variabel Independen (Bebas)

Merupakan karakteristikdari subjek yang dengan keberadaannya

mengakibatkan perubahan pada variabel lainnya (Dharma, 2015). Variabel

independen dalam penelitian ini adalah dukungan keluarga.

49
3.4.2 Variabel Dependen (Terikat)

Merupakan variabel yang berubah akibat hubungan dukungan

keluarga yang terjadi pada variabel independen (Dharma, 2015). Variabel

dependen dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan pada pasien pre

operasi bedah mayor.

3.5 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Skala
Operasional Ukur
Variabel Independen

50
Dukungan Dukungan Kuesioner Kuesioner tentang Skor Ordina
Keluarga Keluarga adalah tentang dukungan kelurga <20= l
dukungan yang dukungan dalam bentuk rendah
diberikan keluarga kelurga yang pengukuran : 21-
dalam bentuk terdiri dari 15 1= Selalu 39=
dukungan pernyataan 2= sering sedang
penilaian,dukungan untuk melihat 3= kadang-kadang 40=
instrumental, dukungan 4= tidak pernah tinggi
dukungan keluarga
informasioal, dan
dukungan
emosional kepada
pasien pre operasi
mayor

Variabel Dependen
Kecemasan Kecemasan adalah Kuesioner Kuesioner, scoring 1-30 Interv
ketakutan tidak APAIS menggunakan skala al
jelas yang terjadi (Amsterdam yang ditetapkan
pada responden Pre Operative dalam alat ukur
pada saat akan Anxiety and APAIS yaitu:
dilakukan operasi Information Sangat (5), Lumayan
Scale) yang (4), Agak (3), Tidak
terdiri dari 6 terlalu(2),Tidak
pernyataan sama sekali (1).
untuk melihat
tingkat
kecemasan
3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan dalam penelitian

untuk melakukan observasi maupun menilai suatu fenomena yang ada.

Setelah dilakukan analisis terhadap data yang telah diperoleh, kemudian

hasil analisis tersebut dapat digunakan sebagai bukti dari penelitian yang

51
dilakukan (Dharma, 2017). Penelitian ini akan dilakukan dengan instrumen

berupa kuesioner. Tingkat kecemasan pasien pre operasi bedah mayor

diukur dengan menggunakan kuesioner APAIS (Amsterdam Pre Operative

Anxiety and Information Scale) (Firdaus, 2014) dan kuesioner dukungan

keluaarga (Liandi,2011).

3.7 Uji Validitas dan Reabilitas

Uji Validitas menunjukkan ketepatan pengukuran suatu instrument,

artinya suatu instrument dikatakan valid apabila instrument tersebut

mengukur apa yang seharusnya diukur (Dharma, 2017). Instrument yang

digunakan dalam pengujian oleh peneliti ini adalah kuesioner APAIS yang

telah diterjemahkan dari bahasa Belanda (awal) kedalam versi bahasa

Indonesia yang melalui dua kali tahap penterjemahan untuk menjaga

konsistensi bahasa dari instrumen APAIS. Tahap penterjemah pertama

adalah kelompok pertama yang menterjemahkan instrumen APAIS dari

bahasa Belanda ke bahasa Indonesia, sedangkan tahap penterjemahan

kedua adalah kelompok kedua yang menterjemahkan instrumen APAIS

yang telah dimodifikasi dari versi bahasa Indonesia ke bahasa Belanda

(awal) tanpa ada komunikasi dengan kelompok penterjemah pertama.

Kelompok penterjemah pertama terdiri dari 2 orang yang berasal dari suatu

lembaga bahasa swasta yang kredibel dan untuk kelompok penterjemah ke

dua terdiri dari 2 orang yang berasal dari Institusi Lembaga Bahasa

Universitas Indonesia.

52
Pada penelitian ini peneliti tidak melakukan uji validitas dan

reliabilitas pada kuesioner APAIS. Instrumen APAIS merupakan alat ukur

yang sudah baku dan memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang baik.

Instrumen APAIS sebelumnya pernah dilakukan uji validitas oleh Firdaus

tahun 2014 Hasil yang didapatkan adalah nilai r tabel = 0,632 dan hasil

pengukuran diketahui r hitung dalam rentang 0,978-0,988. Dari hasil

tersebut maka kuesioner APAIS dapat dinyatakan valid untuk digunakan.

Reliabilitas adalah tingkat konsistensi dari suatu pengukuran yang

menunjukkan apakah pengukuran menghasilkan data yang konsisten jika

instrumen digunakan kembali secara berulang (Dharma, 2015). Instrumen

APAIS diuji dengan menggunakan metode konsistensi internal

mendapatkan nilai reabilitas yang baik. Nilai Cronbach Alpha komponen

kecemasan (pernyataan nomor 1,2,4, dan 5) adalah 0,825. Sedangkan

untuk komponen kebutuhan informasi (pernyataan 3 dan 6) didaptkan nilai

Cronbach Alpha 0,836 (Firdaus, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh

Boker, Brownell, & Donen (2002) di Canada menunjukkan nilai Cronbach

alpha untuk komponen kecemasan operasi (pernyataan 1, 2, 4, 5) adalah

0,84 dan untuk komponen kebutuhan informasi (pernyataan 3 dan 6)

adalah 0,77. APAIS merupakan alat praktis baru yang menjanjikan untuk

menilai tingkat kecemasan pasien sebelum operasi (Boker, Brownell, &

Donen, 2002).

Uji validitas Validitas menyatakan apa yang seharusnya di ukur, sebuah

instrumen dikatakan valid jika instrumen itu mampu mengukur apayang

53
seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi tertentu (Setiadi, 2007).

Dalam penelitian ini, kuesioner dukungan keluarga dilakukan uji validitas

di RSUD Cilacap dengan contoh sampel 15 sampel menggunakan teknik

korelasi Product Moment (Sugiyono, 2011). Untuk mengetahuin tentang

tingkat validitas kuesioner, dilakukan uji coba responden. Selanjutnya

dihitung dengan rumus korelasi Product moment dengan menggunakan

bantuan komputer. Pengujian dilakukan dengan melihat angka koefisien

korelasi (r) yang menyatakan hubungan antara skor pernyataan dengan

skor total (Item-total correlation). Hasilnya dibandingkan dengan r tabel

dengan menggunakan alpha = 5%, sehingga r tabel dalam uji validitas ini

sebesar 0,514. Jika r hitung > r tabel maka butir pernyataan dinyatakan

valid. Berdasarkan uji coba instrumen penelitian yang telah dilakukan,

peneliti memperoleh data dari 15 responden dengan hasil 55 uji coba

validitas yaitu total 16 item pernyataan diperoleh 14 pernyataan yang valid

dan 2 pernyataan yang tidak valid yaitu soal nomer 9 dan 13, sehingga

oleh peneliti pernyataan 9 dan 13 diganti.

Pada penelitian ini peneliti tidak melakukan uji validitas dan

reliabilitas pada kuesioner dukungan keluarga Instrumen dukungan

keluarga merupakan alat ukur yang sudah baku dan memiliki nilai validitas

dan reliabilitas yang baik. Instrumen dukungan keluarga sebelumnya

pernah dilakukan uji validitas oleh Lianti tahun 2011 dalam tesisnya.

Setelah didapatkan angka yang reliabilitas, selanjutnya membandingkan

harga reliabilitas dengan r tabel, apabila hasil hitung kurang dari r pada

54
derajat kemaknaan dengan taraf signifikan 5%, maka alat ukur tersebut

reliabel. Didapatkan hasil reliabilitas 0,757 dapat disimpulkan bahwa uji

reliabilitas kuesioner dukungan keluarga termasuk interpretasi kedalam

reliabilitas tinggi.

3.8 Tahap Pengumpulan Data

3.8.1 Tahap persiapan

a. Perizinan pelaksanaan penelitian dari Dekan Fakultas Kedokteran.

b. Penerimaan pelaksanaan penelitian dari Direktur RSUD. Dr. Soedarso.

3.8.2 Tahap Pelaksanaan

a. Peneliti melakukan penelitian pada ruang bedah RSUD.Dr.

Soedarso Pontianak

b. Peneliti meminta izin melalakukan perizinan penelitian pada ruang

bedah RSUD. Dr Soedarso dan memberikan penjelasan mengenai hal-

hal yang berkaitan dengan penelitian

c. Peneliti menjelaskan tujuan, manfaat dan prosedur penelitian serta

meminta persetujuan dari responden.

d. Responden menyatakan bersedia untuk mengikuti prosedur penelitian,

dan diminta untuk menandatangani lembar informed consent yang telah

disiapkan peneliti

e. Peneliti memberikan kuesioner APAIS untuk mengukur tingkat

kecemasan terlebih dahulu setelah selesai responden mengisinya

55
dilanjutkan pengisian kuesioner dukungan keluarga dan hasilnya dicatat

oleh peneliti

f. Peneliti memberikan reinforcement positif pada semua responden atas

keterlibatannya dalam penelitian.

3.9 Tahap Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul selama penelitian akan diolah dan disajikan

dalam bentuk tabel sehingga memudahkan untuk dianalisa dan ditarik

kesimpulan. Cara yang dilakukan dalam pengolahan data adalah sebagai

berikut Notoatmodjo (2015) :

3.9.1 Editing

Merupakan kegiatan pengecekan terhadap lembar kuesioner APAIS

untuk memastikan semua bagian kuesioner sudah terisi dengan lengkap

dan jelas. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau

setelah data terkumpul.

3.9.2 Coding (Memberi Kode)

Coding dilakukan pada karateristik responden yang meliputi, sebagai

berikut :

a. Jenis kelamin

1 : Laki –laki

56
2 : Perempuan

b. Usia

1 : 17- 25 tahun

2 : 26-35 tahun

3 : 36-45 tahun

4 : 46-55 tahun

c. Pekerjaan

1 : Bekerja

2 : Tidak bekerja

d. Pendidikan

1 : SD

2 : SMP

3 : SMA/SLTA

4 : Perguruan tinggi/ Sederajat

e. Tingkat kecemasan

1 : Kecemasan ringan

2 : Kecemasan sedang

3 : Kecemasan berat

f. Dukungan Keluarga

1: Selalu

2: sering

3: kadang-kadang

4: tidak pernah

57
3.9.3 Scoring

Scoring dilakukan pada data yang telah didapat dengan menggunakan

instrumen yang ditentukan. Dalam penelitian ini data mengenai tingkat

kecemasan didapatkan melalui observasi menggunakan Amsterdem

Preoperative Anxiety and Information Scale (APAIS).

Skor 7-12 : kecemasan ringan

Skor 13-18 : kecemasan sedang

Skor 19-24 : kecemasan berat

Kuesioner Dukungan Keluarga

0 : < 20 Ringan

1 : 21-39 Sedang

2 : > 40 Tinggi

3.9.4 Procesing

Melakukan pemroresan data dengan menggunakan program komputer

untuk diolah. Dalam entry data diperlukan ketelitian agar tidak terjadi bias.

3.9.5 Cleaning

Pengecekan kembali data-data yang sudah dimasukan ke program atau

sofware komputer untuk melihat kemungkinan tejadinya

ketidaklengkapan, kesalahan dan sebagainya. Kemudian dilakukan

pembetulan atau pengoreksian.

3.10 Analisis Data

3.10.1 Analisis Univariat

58
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan masing-masing

variabel yang diteliti. Analisis akan menghasilkan distribusi frekuensi dan

presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2015). Pada penelitian ini

analisis univariat digunakan terhadap data karakteristik usia, jenis kelamin,

pekerjaan dan pendidikan.

3.10.2 Analisis Bivariat

Analisa bivariat adalah untuk mengetahui hubungan atau korelasi

antara dua variable yaitu variable dependen dan variabel independen

(Notoatmodjo, 2015). Analisa bivariat yang dilakukan oleh peneliti adalah

untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (dukungan

keluarga) dengan variabel dependen (tingkat kecemasan). Untuk

mengetahui apakah ada hubungan antara dunkungan keluarga dan tingkat

kecemasan pada pasien pra operasi, maka dilakukan tabulasi dan analisis

data dengan menggunakan uji statistik uji pearson. Uji pearson ini

digunakan apabila distribusi datanya normal, dan jika distribusi data tidak

normal maka digunakan uji alternatif spearman. Untuk mengetahui normal

tidaknya distribusi data dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov karena

jumlah responden > 50 responden yaitu 68 responden. Data dikatakan

normal jika memiliki nilai signifikansi p value >0,1 (Dahlan, 2012).

3.11 Pertimbangan Etika Penelitian

Penelitian ini berhubungan langsung dengan responden sebagai

sampel penelitian, sehingga peneliti harus menerapkan mengenai prinsip-

59
prinsip etika dalam penelitian. Menurut Dharma (2015), beberapa prinsip-

prinsip etik penelitian antara lain :

3.11.1 Beneficence

Prinsip Beneficence menekankan peneliti untuk melakukan penelitian

yang memberikan manfaat bagi responden. Prinsip ini memberikan

keuntungan dengan cara mencegah dan menjauhkan bahaya,

membebaskan responden dari eksploitasi serta menyeimbangkan antara

keuntungan dan risiko. Dalam penelitian ini manfaat dari dukungan

keluarga dengan tingkat kecemasan agar keluarga mengetahui pentingnya

peran keluarga.

3.11.2 Non Maleficence (Tidak Membahayakan)

Prinsip ini menekankan peneliti untuk tidak melakukan tindakan yang

menimbulkan bahaya bagi responden. Responden diusahakan bebas dari

rasa tidak nyaman. Penelitian ini menggunakan kuesioner dukungan

keluarga dan kuesioner APAIS untuk mengukur kecemasan, sehingga

meminimalkan bahaya yang mungkin timbul pada responden.

3.11.3 Autonomy

Autonomy memberikan makna kebebasan bagi responden untuk

menentukan keputusan sendiri. Apabila responden menolak untuk diteliti,

maka tidak ada paksaan dari peneliti kepada responden serta tetap

menghormati dan menghargai keputusan, hak, pilihan dan privasi

responden. Dalam penelitian ini, peneliti tidak memaksa responden untuk

60
menjadi subjek penelitian. Subjek yang setuju menjadi responden secara

sukarela menandatangani informed consent.

3.11.4 Anonimity (Tanpa Nama)

Peneliti memberikan jaminan pada responden dengan cara tidak akan

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data karakteristik dan hasil

penelitian yang disajikan. Peneliti juga akan menjamin kerahasian semua

informasi hasil penelitian yang telah dikumpulkan dari responden.

3.11.5 Veracity (Kejujuran)

Prinsip Veracity atau kejujuran menekankan peneliti untuk

menyampaikan informasi yang benar. peneliti memberikan informasi

mengenai tujuan, manfaat dan prosedur penelitian tentang hubungan

dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien pre operasi

bedah mayor di RSUD.Dr. Soedarso Pontianak.

3.11.6 Justice (Keadilan)

Prinsip Justice atau keadilan menurut peneliti tidak melakukan

diskriminasi saat memilih responden penelitian. Peneliti akan memberikan

perlakuan dan keuntungan yang sama kepada seluruh subjek penelitian

tentang hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien

pre operasi mayor tanpa membedakan gender, agama, etnis.

DAFTAR PUSTAKA
Ahsan, Lestari, R., & Sriati. (2017). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kecemasan Pre Operasi Pada Pasien Sectio Caesarea Di Ruang Instalasi

61
Bedah Sentral Rsud Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang. Ejournal
UMM, 8(1), 1-12.
Anggraeni, R. (2018). Pengaruh Penyuluhan Manfaat Mobilisasi Dini Terhadap
Pelaksanaan Mobilisasi Dini Pada Pasien Pasca Pembedahan Laparotomi.
Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(2), 107-121.
Asmadi. (2008). Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC.
Asmadi. (2009). Tehnik Prosedural Keperawatan: Konsep dan aplikasi kebutuhan
dasar klien. Jakarta: Salemba Medika..
Bansal, T., & Joon, A. (2017). A Comparative Study To Assess Preoperative
Anxiety In Obstetric Patients Undergoing Elective Or Emergency
Cesarean Section. Anaesth, Pain & Intensive Care, 21(1) , 25-30.
Barus, M., Simanullang, M. S., & Gea, E. C. (2018). Pengaruh Progresif Muscle
Relaxation Terhadap Tingkat Kecemasan Pre Operasi Di Rumah Sakit
Santa Elisabeth Medan Tahun 2018. . Jurnal Mutiara Ners, 1(2), 98-108.
Berhe, Y. W., Lemma, G. F., Tawye , H. Y., & Gebregzi , A. H. (2017). Prevalence
And Associated Factors Of Preoperative Anxiety Among Elective Surgical
Patients At University Of Gondar Hospital. Gondar, Northwest Ethiopia,
2017. International Journal Of Surgery Open, 10, 1-23.
Boker , A., Brownell, L., & Donen , N. (2002). The Amsterdam preoperative
anxiety and information scale provides a simple and reliable measure of
preoperative anxiety . CAN J ANESTH, 49(8), 792-798.

Cakir , G., & Gursoy, A. (2017). The Effect Of Pre-Operative Distress On The
Perioperative Period. Journal Of Anasthesia & Intensive Care Medcine,
2(3), 1-3.
Carpenito. (2009) Diagnosa Keperawatan, aplikasi pada praktek klinis : Edisi 9.
Jakarta : EGC
Dahlan, S. (2012). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi 5. Jakarta:
Salemba Medika
Dharma, K. K. (2015). Metodologi penelitian keperawatan: Panduan
Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta: Trans
Infomedia
Digiulio, M., Jackson, D., & Keough, J. (2014). Medical surgical nursing second
edition. Amerika Serikat: Mc Grew Hill.
Fawcett, J. (2017). Applying Conceptual Models Of Nursing : quality
improvement, research, and practice . New York: Company,LLC.

62
Firdaus, M. F. (2014). Uji Validasi Konstruksi dan Realibilitas Instrumen The
Amsterdam Preoperative and Information Scale (APAIS) Versi Bahasa
Indonesia. Tesis. tidak dipublikasikan.
Friedman,M.M. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Riset, Teori dan
Praktek. Jakarta: EGC.
Guo, P. (2014). Preoperative education interventions to reduce anxiety and
improve recovery among cardiac surgery patients: a review of randomised
controlled trials. Journal of Clinical Nursing, 1-13.
Hidayat, A. (2013). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Hill, R. Y. (2011). Nursing From The Inside-Out:Living and nursing from the
Huda, A. M. (2016). Pengaruh Pemberian Terapi Murottal Al Qur’an
terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi Katarak di RSD. Dr.
Soebandi Jember. Skripsi. Tidak dipublikasikan.
Liandi, R. (2011). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan Pre
Operasi pada Anak Usia Sekolah di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Skripsi tidak dipublikasikan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiah.
Maryunani,A.(2014). Nyeri dalam persalinan " teknik dan cara penangananya".
Jakarta:Trans Info Media.
Mitchell, M. (2013). Anaesthesia type, gender and anxiety. Clinical Feature, ISSN
1750-4589, 23(3), 41-47.
Notoatmodjo, S. (2015). Metodelogi penelitian kesehatan. Jakarta: Renika Cipta.
Nurbaeti, I. (2015). Efektivitas Dzikrullah Terhadap Penurunan Kecemasan dan
nyeri Persalinan Kala 1 Fase Aktif Ibu Promigravida. Jurnal Ners, 10(1),
30-37.
Nursalam. (2017). Metodelogi penelitian ilmu keperawatan pendekatan praktik.
Jakarta: Salemba Medika.
Nurwulan, D. (2017). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan
Pada Pasien Pre Anestesi Dengan Tindakan Spinal Anestesi Di Rsud
Sleman. Skripsi. Tidak dipublikasikan.
Parker , M., Bowers , S., Bray, J., Harris , A., Belli , E., Pfluke, J., et al. (2010).
Hiatal mesh is associated with major resection at revisional operation.
Surgical Endoscopy,24(12), 3095–3101.
Prabowo, Eko. (2014). Konsep dan aplikasi asuhan keperawatan jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Potter, P.A. and Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
konsep, proses, dan praktik. Edisi 4, Volume 1, Alih Bahasa, Asih, Y., dkk.
Jakarta: EGC.
Pujianai, A., Kristyawati, S.P., Supriyadi. (2015). Jurnal Imu Keperawatan dan
Kebodanan (JIKK), 1-10.

63
Setiadi. 2008. Konsep Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta : Graha Ilmu
Rahmayati, E., & Handayani, R.S. (2017). Perbedaan Pengaruh Terapi
Psikoreligius dengan Terapi Musik Klasik terhadap Kecemasan Pasien Pre
Operatif di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Jurnal
Kesehatan, 8(2) , 191-198.
Rahmayati, E., Silaban, R. N., & Fatona, S. (2018). Pengaruh Dukungan Spritual
terhadap Tingkat Kecemasan pada Pasien Pre-Operasi. Jurnal Kesehatan,
9(1), 138-142.

Rajib, A. (2015). Gambaran Tingkat Kecemasan Dan Intervensi Keperawatan


Dalam Menurunkan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi Di Bangsal
Bedah Rsud Panembahan Senopati Bantul. Skripsi. Tidak Dipublikasikan.
Safriyani , R., Putrono, & Widiyanto, B. (2016). Pengaruh Slow Deep Breathing
Relaxation Dan Finger Hold Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien
Pre Operasi Bedah Mayor Dengan General Anestesi di RSUD Telogorejo.
Skripsi. Tidak Dipublikasikan.
Simsek, A. B., & Bilik, O. (2014). Surgical Nurse’s Touch to Life of Patients and
Their Family: Preoperative and Postoperative Psychological Approach.
International Journal of Basic and Clinical Studies (IJBCS), 3(1), 91-101.

Smeltzer & Bare B, G. (2012). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner &
Suddarth, vol 1, edisi 8. Jakarta ; EGC.

Smeltzer & Bare B, G. (2013). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner &
Suddarth edisi 9. Jakarta ; EGC.

Sugiyono. (2017). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan r&d. Bandung:


Alfabeta
Suliswati, S. dkk (2005). Konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta :
EGC.
Sutejo. (2017). Keprawatan Jiwa Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan
Kesehatan Jiwa: gangguan jiwa dan psikososial. Yogyakarka: Pustaka
Baru Press.
Uskenat, M. D., Puguh , S., & Solechan, A. (2012). Perbedaan Tingkat
Kecemasan Pada Pasien Pre Operasi Dengan General Anastesi Sebelum
Dan Sesudah Diberikan Relaksasi Otot Progresif Di Rs Panti Wilasa
Citarum Semarang. Skripsi. Tidak Dipublikasikan.

64
Utama, Hendra.(2013). Buku ajar psikiatri edisi 2. Jakarta: FKUI.
Vadhanan, P., Tripaty, D. K., & Balakrishnan, K. (2017). Pre-operative anxiety
amongst patients in a tertiary care hospital in India- a prevalence study.
Journal of Society of Anesthesiologists of Nepal, 4(1), 5-10.
Widyastuti, Y. (2013). Efektivitas Aromaterapi Lavender Dalam Menurunkan
Nyeri dan Kecemasan Pada Pasien Pre Operasi Fraktur Femur Di Rs
Ortopedi Prof. Dr.R Soeharso Surakarta. Prosiding Konferensi Nasional
PPNI Jawa Tengah 2013. 92-94.
Windartik, E., Yuniarti, E. V., & Akbar, A. (2017). Effectiveness of Relaxation
Handheld Finger Technique and Benson Relaxation to the Changes Level
of Post Operative Pain Sectio Caesarea in RSU Sakinah Mojokerto.
International Journal of Scientific Research and Management (IJSRM),
5(9), 7107-7111.
Yanti, S., Erlamsyah & Zikra. (2013). Hubungan Antara Kecemasan Dalam
Belajar Dengan Motivasi Belajar Siswa. Jurnal Ilmiah Konseling, 2(1),
283-288.
Yuliastuti, Christina. (2016). Effect Of Handheld Finger Relaxation On Reduction
Of Pain Intensity In Patients With Post-Appendectomy At Inpatient Ward,
Rsud Sidoarjo. International Journal Of Medicine And Pharmaceutical
Sciences (Ijmps), 5(3), 53-58.
Vadhanan, P., Tripaty, D. K., & Balakrishnan, K. (2017). Pre-operative anxiety
amongst patients in a tertiary care hospital in India- a prevalence study.
Journal of Society of Anesthesiologists of Nepal, 4(1), 5-10.
Widyastuti, Y. (2013). Efektivitas Aromaterapi Lavender Dalam Menurunkan
Nyeri dan Kecemasan Pada Pasien Pre Operasi Fraktur Femur Di Rs
Ortopedi Prof. Dr.R Soeharso Surakarta. Prosiding Konferensi Nasional
PPNI Jawa Tengah 20s13. 92-94.
Windartik, E., Yuniarti, E. V., & Akbar, A. (2017). Effectiveness of Relaxation
Handheld Finger Technique and Benson Relaxation to the Changes Level
of Post Operative Pain Sectio Caesarea in RSU Sakinah Mojokerto.
International Journal of Scientific Research and Management (IJSRM),
s5(9), 7107-7111.
Yanti, S., Erlamsyah & Zikra. (2013). Hubungan Antara Kecemasan Dalam
Belajar Dengan Motivasi Belajar Siswa. Jurnal Ilmiah Konseling, 2(1),
283-288.
Yuliastuti, Christina. (2016). Effect Of Handheld Finger Relaxation On Reduction
Of Pain Intensity In Patients With Post-Appendectomy At Inpatient Ward,
Rsud Sidoarjo. International Journal Of Medicine And Pharmaceutical
Sciences (Ijmps), 5(3), 53-58.

65
66
67

Lampiran 1

Lampiran 2

LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN

Dengan Hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini. Mahasiswa Program Studi Keperawatan

Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura :

Nama : Aina Rahayu Dewi

NIM : I1031151041

Saat ini sedang mengadakan penelitian dengan judul “ Hubungan

Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan Pasien Operasi Bedah Mayor Di

RSUD. Dr. Soedarso Pontianak” Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan

dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi bedah mayor.

Prosedur penelitian ini dengan melakukan kontrak penelitian dengan

responden, mencatat nama, jenis kelamin, pendidikan, dan memberikan kuesioner

kecemasan sebelum dan sesudah diberikan intervensi. Peneliti akan memberikan

kuesioner untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan tingkat

kecemasan.

Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan bagi responden dan

keluarga sebagai terapi mandiri dalam menurunkan kecemasan pre operasi,


68

sedangkan untuk bidang keperawatan dapat dijadikan sebagai teknik relaksasi

tambahan dalam mengatasi kecemasan pasien pre operasi.

Penelitian ini juga akan memperlakukan reponden secara adil selama

proses penelitian. Calon reponden dapat bertanya lebih lanjut mengenai penelitian

ini secara langsung kepada peneliti atau lewat telepon 08981834302. Calon

responden juga memiliki hak untuk ikut atau tidak ikut berpartisipasi serta

mengundurkan diri dalam penelitian ini. Jika bersedia menjadi responden, maka

dapat menandatangani lembar persetujuan menjadi responden yang terlampir.

Peneliti mengucapkan terimakasih kepada responden yang bersedia

meluangkan waktu dalam penelitian ini. Identitas serta hasil pengukuran

responden akan dijamin kerahasiannya dan peneliti akan bersedia semaksimal

mungkin menjaga kenyamanan elama proses penelitian. Semoga keikutsertaan

responden dapat memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan kesehatan.

Terimakasih

Pontianak, Februari 2018

Peneliti

(Aina Rahayu Dewi)


69

Lampiran 3

LEMBAR PERSETUJUAN

(INFORMED CONSENT)

Setelah menerima penjelasan tentang tujuan dan sasaran penelitian yang

disampaikan oleh peneliti, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama :

Umur :

Jenis kelamin : L/P

Pendidikan :

Pekerjaan :

Jenis operasi :

Menyatakan bersedia untuk berpartisipasi sebagai responden dalam

penelitian ini dengan judul “Relaksasi Genggam Jari terhadap Tingkat Kecemasan

pada Pasien Pre Operasi Bedah Mayor di RSUD. Dr. Soedarso Pontianak”.

Demikian lembar persetujuan ini saya isi dengan sebenar-benarnya dan dengan

penuh kesadaran tanpa unsur paksaan dari siapapun.

Pontianak, 2019

Nama Responden

( )

Kode Responden
70

Lampiran 4

Lembar Observasi Test Tingkat Kecemasan

Nama Inisial :

Usia :

Jenis kelamin :L/P

Pendidikan :

Pekerjaan :

Tanggal observasi :

Isilah tabel dibawah ini dengan tanda ( √ ) sesuai pilihan anda

Sama Tidak Sedikit Agak Sangat

sekali terlalu

tidak
1. Saya takut dibius
2. Saya terus-menerus memikirkan

tentang pembiusan
3. Saya ingin tahu sebanyak mungkin

tentang pembiusan
4. Saya takut dioperasi
5. Saya terus menerus memikirkan

tentang operasi
6. Saya ingin tahu sebanyak mungkin

tentang operasi

Sumber : (Boker , Brownell, & Donen , 2002; Firdaus, 2014)

Keterangan :

Sama sekali tidak :1


71

Tidak terlalu :2

Sedikit :3

Agak :4

Sangat :5

Pontianak,

Mengetahui

Nama jelas
72
73
74

Anda mungkin juga menyukai