Anda di halaman 1dari 17

Tugas

Kebijakan Persiapan Pembedahan fase Operatif dan Pasca Operatif, Faktor-faktor yang
berkontribusi pada kesalahan pembedahan dan Hambatan potensial pada pelaksanaan
pembedahan

Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas


Mata kuliah : Management PS
.Dosen Pengampu:Tiurlan M Doloksaribu, S.Kep., Ns, M.Kep

KELOMPOK 2

DI SUSUN OLEH :
-CHOTIBUL UMAM PURBA
- DELIA PUTRI SALSABILA
-DESCIA ROTALENTA PASARIBU
-EKA CHRISMAS WARUWU
-ELSIN ROY S SAGALA
-FIKA SAFITRI
-VERA TAMARA SIMANJUNTAK

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN


JURUSAN D-IVKEPERAWATAN
TAHUN 2020
Kebijakan Persiapan Pembedahan fase Operatif dan Pasca Operatif

Pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang penting dalam pelayanan
kesehatan. Tindakan pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi. Namun demikian, pembedahan
yang dilakukan juga dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan nyawa (WHO,
2009). Data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa selama lebih dari satu abad
perawatan bedah telah menjadi komponen penting dari perawatan kesehatan di seluruh dunia.
Diperkirakan setiap tahun ada 230 juta operasi utama dilakukan di seluruh dunia, satu untuk
setiap 25 orang hidup (Haynes, et al. 2009). Penelitian di 56 negara dari 192 negara anggota
WHO tahun 2004 diperkirakan 234,2 juta prosedur pembedahan dilakukan setiap tahun
berpotensi komplikasi dan kematian (Weiser, et al. 2008). Berbagai penelitian menunjukkan
komplikasi yang terjadi setelah pembedahan. Data WHO menunjukkan komplikasi utama
pembedahan adalah kecacatan dan rawat inap yang berkepanjangan 3-16% pasien bedah terjadi
di negara-negara berkembang. Secara global angka kematian kasar berbagai operasi sebesar 0,2-
10%. Diperkirakan hingga 50% dari komplikasi dan kematian dapat dicegah di negara
berkembang jika standar dasar tertentu perawatan diikuti (WHO, 2009).

Kejadian luka traumatis, kanker dan penyakit kardiovaskular terus meningkat. WHO
memprediksi bahwa dampak dari intervensi bedah pada sistem kesehatan masyarakat akan juga
terus tumbuh. Untuk alasan ini, WHO telah melakukan inisiatif untuk upaya keselamatan bedah.
Dunia Aliansi untuk keselamatan pasien mulai bekerja pada Januari 2007 dan WHO
mengidentifikasi tiga fase operasi yaitu sebelum induksi anestesi ("sign in"), sebelum sayatan
kulit ("time out"), dan sebelum pasien meninggalkan ruang operasi ("sign out") (Cavoukian,
2009). Tiga fase operasi sebelum seperti pada gambar dibawah ini:

Fase Sign In
Fase sign In adalah fase sebelum induksi anestesi koordinator secara verbal
memeriksa apakah identitas pasien telah dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi
yang akan dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk operasi telah diberikan, oksimeter pulse
pada pasien berfungsi. Koordinator dengan profesional anestesi mengkonfirmasi risiko pasien
apakah pasien ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi alergi.

Fase  Time Out


Fase Time Out adalah fase setiap anggota tim operasi memperkenalkan diri dan peran
masing-masing. Tim operasi memastikan bahwa semua orang di ruang operasi saling kenal.
Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi dengan suara yang keras
mereka melakukan operasi yang benar, pada pasien yang benar. Mereka juga mengkonfirmasi
bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60 menit sebelumnya.

Fase  sign out


Fase Sign Out adalah fase tim bedah akan meninjau operasi yang telah dilakukan.
Dilakukan pengecekan kelengkapan spons, penghitungan instrumen, pemberian label pada
spesimen, kerusakan alat atau masalah lain yang perlu ditangani. Langkah akhir yang dilakukan
tim bedah adalah rencana kunci dan memusatkan perhatian pada manajemen post operasi serta
pemulihan sebelum memindahkan pasien dari kamar operasi (Surgery & Lives, 2008).
Kematian dan komplikasi akibat pembedahan dapat dicegah. Salah satu
pencegahannya dapat dilakukan dengan surgical safety checklist. Surgical Safety
Checklist adalah sebuah daftar periksa untuk memberikan pembedahan yang aman dan
berkualitas pada pasien. Surgical safety checklist merupakan alat komunikasi untuk keselamatan
pasien yang digunakan oleh tim profesional di ruang operasi. Tim profesional terdiri dari
perawat, dokter bedah, anestesi dan lainnya. Tim bedah harus konsisten melakukan setiap item
yang dilakukan dalam pembedahan mulai dari the briefing phase, the time out phase, the
debriefing phase sehingga dapat meminimalkan setiap risiko yang tidak diinginkan (Safety &
Compliance, 2012).

Telah dilakukan uji coba penggunaan surgical safety checklist di delapan rumah


sakit di dunia. Hasil penelitian di delapan rumah sakit menunjukkan penurunan kematian dan
komplikasi akibat pembedahan. Dari total 1750 pasien yang harus dilaksanakan operasi dalam 24
jam (emergency) dibagi 842 pasien sebelum pengenalan surgical safety checklist dan 908 pasien
setelah pengenalan surgical safety checklist. Dari 842 pasien yang belum diberikan
pengenalan surgical safety checklist mendapat komplikasi pembedahan 18,4% (N=151) dan
setelah diberikan pengenalan surgical safety checklist angka komplikasi menjadi 11,7%
(N=102). Data kematian sebelum pengenalan surgical safety checklist 3,7% menjadi 1,4%
(Weiser, et al. 2010). Komplikasi bedah setelah penggunaan surgical safety checklist secara
keseluruhan turun dari 11% sampai 7%, dan angka kematian menurun dari 1,5% menjadi 0,7%
(Howard, 2011).

Beberapa penelitian tentang penggunaan SSCL menghasilkan:

Surgical safety checklist dapat menurunkan angka kematian dan komplikasi (Robertson


& Vijayarajan 2010 ; Latosinsky, et al. 2010) . Penelitian di negara Amerika Serikat
menunjukkan adanya penurunan angka komplikasi dari 11 % menjadi 7% dan penggunaan
antibiotik profilaksis yang meningkat dari 56% menjadi 83%, infeksi luka operasi (ILO)
berkurang 33% sampai 88% (Baldrige & Quality, 2009).
Menurunkan surgical site infection dan mengurangi risiko kehilangan darah lebih dari
500 ml. Penelitian Weiser menunjukkan angka infeksi luka operasi (ILO) mengalami penurunan
setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan SSCL. Angka ILO turun dari 11,2% menjadi
6,6% dan risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml turun dari 20,2% menjadi 13,2% (Weizer, et
al. 2008). Menurunkan proporsi pasien yang tidak menerima antibotik sampai insisi kulit. Vries
pada penelitiannya tentang 'a surgical Patient safety system" menghasilkan penerapan SSCL pra
operasi menghasilkan waktu yang lebih lama dari 23,9-29,9 menjadi 32,9 menit, akan tetapi
jumlah pasien yang tidak menerima antibiotik sampai insisi kulit menurun sebesar 6% (Vries, et
al. 2009). Fungsi yang paling umum adalah menyediakan informasi yang detail mengenai kasus
yang sedang dikerjakan, korfimasi detail, penyuaraan fokus diskusi dan pembentukan tim
(Lingard et al. 2005).
Penggunaan ceklist kertas merupakan salah satu solusi karena ceklist kertas dapat disediakan
dengan cepat dan membutuhkan biaya sedikit, selain itu ceklist kertas juga dapat disesuaikan
ukuran dan bentuknya sesuai dengan kebutuhan serta tidak memerlukan penguasaan teknologi
yang tinggi untuk mengisinya (Verdaasdonk et al. 2009).

A. Konsep Keperawatan Kamar Bedah (Perioperatif)

1. Pengertian Keperawatan Perioperatif

Keperawatan perioperatif merupakan proses keperawatan untuk mengembangkan rencana


asuhan secara individual dan mengkoordinasikan serta memberikan asuhan pada pasien yang
mengalami pembedahan atau prosedur invasif (AORN, 2013). Keperawatan perioperatif tidak
lepas dari salah satu ilmu medis yaitu ilmu bedah. Dengan demikian, ilmu bedah yang semakin
berkembang akan memberikan implikasi pada perkembangan keperawatan perioperatif
(Muttaqin, 2009).
Perawat kamar bedah (operating room nurse) adalah perawat yang memberikan asuhan
keperawatan perioperatif kepada pasien yang akan mengalami pembedahan yang memiliki
standar, pengetahuan, keputusan, serta keterampilan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan
khususnya kamar bedah (AORN, 2013 dalam Hipkabi, 2014). Keperawatan perioperatif
dilakukan berdasarkan proses keperawatan sehingga perawat perlu menetapkan strategi yang
sesuai dengan kebutuhan individu selama periode perioperatif (pre, intra, dan post operasi)
(Muttaqin, 2009).
Perawat kamar bedah bertanggung jawab mengidentifikasi kebutuhan pasien, menentukan
tujuan bersama pasien dan mengimplementasikan intervensi keperawatan. Selanjutnya, perawat
kamar bedah melakukan kegiatan keperawatan untuk mencapai hasil akhir pasien yang optimal
(Hipkabi, 2014). Perawat kamar bedah dalam pelayanannya berorientasi pada respon pasien
secara fisik, psikologi spiritual, dan sosial-budaya (AORN, 2013).

2. Fase Pelayanan Perioperatif


Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien. Kata
“perioperatif” adalah suatu istilah gabungan yang mencakup tiga fase pembedahan yaitu pre
operatif, intra operatif, dan post operatif (Hipkabi, 2014).

Keahlian seorang perawat kamar bedah dibentuk dari pengetahuan keperawatan profesional
dan keterampilan psikomotor yang kemudian diintegrasikan kedalam tindakan keperawatan yang
harmonis. Kemampuan dalam mengenali masalah pasien yang sifatnya resiko atau aktual pada
setiap fase perioperatif akan membantu penyusunan rencana intervensi keperawatan (Muttaqin,
2009).

Fase Pre Operatif


Fase pre operatif dimulai ketika ada keputusan untuk dilakukan intervensi bedah dan diakhiri
ketika pasien dikirim ke meja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut
dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien di tatanan klinik ataupun rumah, wawancara
pre operatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan serta pembedahan (Hipkabi,
2014). Asuhan keperawatan pre operatif pada prakteknya akan dilakukan secara
berkesinambungan, baik asuhan keperawatan pre operatif di bagian rawat inap, poliklinik, bagian
bedah sehari (one day care), atau di unit gawat darurat yang kemudian dilanjutkan di kamar
operasi oleh perawat kamar bedah (Muttaqin, 2009).

Fase Intra Operatif


A. Pengertian
Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk kamar bedah dan berakhir saat pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan atau ruang perawatan intensif (Hipkabi, 2014). Pada fase ini
lingkup aktivitas keperawatan mencakup pemasangan infus, pemberian medikasi intravena,
melakukan pemantauan kondisi fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan
menjaga keselamatan pasien. Dalam hal ini sebagai contoh memberikan dukungan psikologis
selama induksi anastesi, bertindak sebagai perawat scrub, atau membantu mengatur posisi pasien
di atas meja operasi dengan menggunakan prinsip-prinsip kesimetrisan tubuh (Smeltzer, 2010).
Pengkajian yang dilakukan perawat kamar bedah pada fase intra operatif lebih kompleks dan
harus dilakukan secara cepat dan ringkas agar segera dilakukan tindakan keperawatan yang
sesuai. Kemampuan dalam mengenali masalah pasien yang bersifat resiko maupun aktualakan
didapatkan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman keperawatan. Implementasi dilaksanakan
berdasarkan pada tujuan yang diprioritaskan, koordinasi seluruh anggota tim operasi, serta
melibatkan tindakan independen dan dependen (Muttaqin, 2009).
Keperawatan intra operatif merupakan bagian dari tahapan keperawatan perioperatif.
Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini adalah segala macam aktivitas yang dilakukan oleh
perawat di ruang operasi. Aktivitas di ruang operasi oleh perawat difokuskan pada pasien yang
menjalani prosedur pembedahan untuk perbaikan, koreksi atau menghilangkan masalah-masalah
fisik yang mengganggu pasien. Tentunya pada saat dilakukan pembedahan akan muncul
permasalahan baik fisiologis maupun psikologis pada diri pasien. Untuk itu keperawatan intra
operatif tidak hanya berfokus pada masalah fisiologis yang dihadapi oleh pasien selama operasi,
namun juga harus berfokus pada masalah psikologis yang dihadapi oleh pasien. Sehingga pada
akhirnya akan menghasilkan outcome berupa asuhan keperawatan yang terintegrasi.
Untuk menghasilkan hasil terbaik bagi diri pasien, tentunya diperlukan tenaga kesehatan yang
kompeten dan kerja sama yang sinergis antara masing-masing anggota tim. Secara umum
anggota tim dalam prosedur pembedahan ada tiga kelompok besar, meliputi pertama, ahli
anastesi dan perawat anastesi yang bertugas memberikan agen analgetik dan membaringkan
pasien dalam posisi yang tepat di meja operasi, kedua ahli bedah dan asisten yang melakukan
scrub dan pembedahan dan yang ketiga adalah perawat intra operatif.
Perawat intra operatif bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan (well
being) pasien. Untuk itu perawat intra operatif perlu mengadakan koordinasi petugas ruang
operasi dan pelaksanaan perawat scrub dan pengaturan aktivitas selama pembedahan. Peran lain
perawat di ruang operasi adalah sebagai RNFA (Registered Nurse First Assitant). Peran sebagai
RNFA ini sudah berlangsung dengan baik di negara-negara amerika utara dan eropa. Namun
demikian praktiknya di indonesia masih belum sepenuhnya tepat. Peran perawat sebagai RNFA
diantaranya meliputi penanganan jaringan, memberikan pemajanan pada daerah operasi,
penggunaan instrumen, jahitan bedah dan pemberian hemostatis.
Untuk menjamin perawatan pasien yang optimal selama pembedahan, informasi mengenai
pasien harus dijelaskan pada ahli anastesi dan perawat anastesi, serta perawat bedah dan dokter
bedahnya. Selain itu segala macam perkembangan yang berkaitan dengan perawatan pasien di
unit perawatan pasca anastesi (PACU) seperti perdarahan, temuan yang tidak diperkirakan,
permasalahan cairan dan elektrolit, syok, kesulitan pernafasan harus dicatat, didokumentasikan
dan dikomunikasikan dengan staff PACU.

B. PRINSIP-PRINSIP UMUM
a. Prinsip asepsis ruangan
Antisepsis dan asepsis adalah suatu usaha untuk agar dicapainya keadaan yang memungkinkan
terdapatnya kuman-kuman pathogen dapat dikurangi atau ditiadakan, baik secara kimiawi,
tindakan mekanis atau tindakan fisik. Termasuk dalam cakupan tindakan antisepsis adalah selain
alat-alat bedah, seluruh sarana kamar operasi, semua implantat, alat-alat yang dipakai personel
operasi (sandal, celana, baju, masker, topi dan lain-lainnya) dan juga cara
membersihkan/melakukan desinfeksi dari kulit/tangan.

b. Prinsip asepsis personel


Teknik persiapan personel sebelum operasi meliputi 3 tahap, yaitu : Scrubbing (cuci tangan
steril), Gowning (teknik peggunaan gaun operasi), dan Gloving (teknik pemakaian sarung tangan
steril). Semua anggota tim operasi harus memahami konsep tersebut diatas untuk dapat
memberikan penatalaksanaan operasi secara asepsis dan antisepsis sehingga menghilangkan atau
meminimalkan angka kuman. Hal ini diperlukan untuk meghindarkan bahaya infeksi yang
muncul akibat kontaminasi selama prosedur pembedahan (infeksi nosokomial).
Disamping sebagai cara pencegahan terhadap infeksi nosokomial, teknik-teknik tersebut juga
digunakan untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan terhadap bahaya yang
didapatkan akibat prosedur tindakan. Bahaya yang dapat muncul diantranya penularan berbagai
penyakit yang ditularkan melalui cairan tubuh pasien (darah, cairan peritoneum, dll) seperti
HIV/AIDS, Hepatitis dll.

c. Prinsip asepsis pasien


Pasien yang akan menjalani pembedahan harus diasepsiskan. Maksudnya adalah dengan
melakukan berbagai macam prosedur yang digunakan untuk membuat medan operasi steril.
Prosedur-prosedur itu antara lain adalah kebersihan pasien, desinfeksi lapangan operasi dan
tindakan drapping.

d. Prinsip asepsis instrumen


Instrumen bedah yang digunakan untuk pembedahan pasien harus benar-benar berada dalam
keadaan steril. Tindakan yang dapat dilakukan diantaranya adalah perawatan dan sterilisasi alat,
mempertahankan kesterilan alat pada saat pembedahan dengan menggunakan teknik tanpa
singgung dan menjaga agar tidak bersinggungan dengan benda-benda non steril.

C. FUNGSI KEPERAWATAN INTRA OPERATIF


Selain sebagai kepala advokat pasien dalam kamar operasi yang menjamin kelancaran
jalannya operasi dan menjamin keselamatan pasien selama tindakan pembedahan. Secara umum
fungsi perawat di dalam kamar operasi seringkali dijelaskan dalam hubungan aktivitas-aktivitas
sirkulasi dan scrub (instrumentator).
Perawat sirkulasi berperan mengatur ruang operasi dan melindungi keselamatan dan
kebutuhan pasien dengan memantau aktivitas anggota tim bedah dan memeriksa kondisi di
dalam ruang operasi. Tanggung jawab utamanya meliputi memastikan kebersihan, suhu yang
sesuai, kelembapan, pencahayaan, menjaga peralatan tetap berfungsi dan ketersediaan berbagai
material yang dibutuhkan sebelum, selama dan sesudah operasi. Perawat sirkuler juga memantau
praktik asepsis untuk menghindari pelanggaran teknik asepsis sambil mengkoordinasi
perpindahan anggota tim yang berhubungan (tenaga medis, rontgen dan petugas laboratorium).
Perawat sirkuler juga memantau kondisi pasien selama prosedur operasi untuk menjamin
keselamatan pasien.
Aktivitas perawat sebagai scrub nurse termasuk melakukan desinfeksi lapangan pembedahan
dan drapping, mengatur meja steril, menyiapkan alat jahit, diatermi dan peralatan khusus yang
dibutuhkan untuk pembedahan. Selain itu perawat scrub juga membantu dokter bedah selama
prosedur pembedahan dengan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan seperti
mengantisipasi instrumen yang dibutuhkan, spon, kassa, drainage dan peralatan lain serta terus
mengawasi kondisi pasien ketika pasien dibawah pengaruh anastesi. Saat luka ditutup perawat
harus mengecek semua peralatan dan material untuk memastikan bahwa semua jarum, kassa dan
instrumen sudah dihitung lengkap. Kedua fungsi tersebut membutuhkan pemahaman,
pengetahuan dan ketrampilan perawat tentang anatomi, perawatan jaringan dan prinsip asepsis,
mengerti tentang tujuan pembedahan, pemahaman dan kemampuan untuk mengantisipasi
kebutuhan-kebutuhan dan untuk bekerja sebagai anggota tim yang terampil dan kemampuan
untuk menangani segala situasi kedaruratan di ruang operasi.

D. AKTIVITAS KEPERAWATAN SECARA UMUM


Aktivitas keperawatan yang dilakukan selama tahap intra operatif meliputi 4 hal, yaitu :
a. Safety Management
b. Monitoring Fisiologis
c. Monitoring Psikologis
d. Pengaturan dan koordinasi Nursing Care
Safety Management
Tindakan ini merupakan suatu bentuk jaminan keamanan bagi pasien selama prosedur
pembedahan. Tindakan yang dilakukan untuk jaminan keamanan diantaranya adalah :
1. Pengaturan posisi pasien
Pengaturan posisi pasien bertujuan untuk memberikan kenyamanan pada klien dan
memudahkan pembedahan. Perawat perioperatif mengerti bahwa berbagai posisi operasi
berkaitan dengan perubahan-perubahan fisiologis yang timbul bila pasien ditempatkan pada
posisi tertentu. Faktor penting yang harus diperhatikan ketika mengatur posisi di ruang operasi
adalah:
a. Daerah operasi
b. Usia
c. Berat badan pasien
d. Tipe anastesi
e. Nyeri : normalnya nyeri dialami oleh pasien yang mengalami gangguan pergerakan, seperti
artritis.
Posisi yang diberikan tidak boleh mengganggu sirkulasi, respirasi, tidak melakukan
penekanan yang berlebihan pada kulit dan tidak menutupi daerah atau medan operasi.
Hal-hal yang dilakukan oleh perawat terkait dengan pengaturan posisi pasien meliputi :
a. Kesejajaran fungsional
Maksudnya adalah memberikan posisi yang tepat selama operasi. Operasi yang berbeda akan
membutuhkan posisi yang berbeda pula. Contoh :
• Supine (dorsal recumbent) : hernia, laparotomy, laparotomy eksplorasi, appendiktomi,
mastectomy atau pun reseksi usus.
• Pronasi : operasi pada daerah punggung dan spinal. Misal : Lamninectomy
• Trendelenburg : dengan menempatkan bagian usus diatas abdomen, sering digunakan untuk
operasi pada daerah abdomen bawah atau pelvis.
• Lithotomy : posisi ini mengekspose area perineal dan rectal dan biasanya digunakan untuk
operasi vagina. Dilatasi dan kuretase dan pembedahan rectal seperti : Hemmoiroidektomy
• Lateral : digunakan untuk operasi ginjal, dada dan pinggul.

b. Pemajanan area pembedahan


Pemajanan daerah bedah maksudnya adalah daerah mana yang akan dilakukan tindakan
pembedahan. Dengan pengetahuan tentang hal ini perawat dapat mempersiapkan daerah operasi
dengan teknik drapping.

c. Mempertahankan posisi sepanjang prosedur operasi


Posisi pasien di meja operasi selama prosedur pembedahan harus dipertahankan sedemikian
rupa. Hal ini selain untuk mempermudah proses pembedahan juga sebagai bentuk jaminan
keselamatan pasien dengan memberikan posisi fisiologis dan mencegah terjadinya injury.
2. Memasang alat grounding ke pasien
3. Memberikan dukungan fisik dan psikologis pada klien untuk menenagkan pasien selama
operasi sehingga pasien kooperatif.
4. Memastikan bahwa semua peralatan yang dibutuhkan telah siap seperti : cairan infus, oksigen,
jumlah spongs, jarum dan instrumen tepat.

Monitoring Fisiologis
Pemantauan fisiologis yang dilakukan meliputi :
1. Melakukan balance cairan
Penghitungan balance cairan dilakuan untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien. Pemenuhan
balance cairan dilakukan dengan cara menghitung jumlah cairan yang masuk dan yang keluar
(cek pada kantong kateter urine) kemudian melakukan koreksi terhadap imbalance cairan yang
terjadi. Misalnya dengan pemberian cairan infus.
2. Memantau kondisi cardiopulmonal
Pemantaun kondisi kardio pulmonal harus dilakukan secara kontinu untuk melihat apakah
kondisi pasien normal atau tidak. Pemantauan yang dilakukan meliputi fungsi pernafasan, nadi
dan tekanan darah, saturasi oksigen, perdarahan dll.
3. Pemantauan terhadap perubahan vital sign
Pemantauan tanda-tanda vital penting dilakukan untuk memastikan kondisi klien masih dalam
batas normal. Jika terjadi gangguan harus dilakukan intervensi secepatnya.

Dukungan Psikologis (sebelum induksi dan bila pasien sadar)


Dukungan psikologis yang dilakukan antara lain :
1. Memberikan dukungan emosional pada pasien
2. Berdiri di dekat klien dan memberikan sentuhan selama prosedur induksi
3. Mengkaji status emosional klien
4. Mengkomunikasikan status emosional klien kepada tim kesehatan (jika ada perubahan)
Pengaturan dan Koordinasi Nursing Care
Tindakan yang dilakukan antara lain :
1. Memanage keamanan fisik pasien
2. Mempertahankan prinsip dan teknik asepsis

D. TIM OPERASI
Setelah kita tahu tentang aktivitas keperawatan yang dilakukan di kamar operasi, maka
sekarang kita akan membahas anggota tim yang terlibat dalam operasi. Anggota tim operasi
secara umum dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu anggota tim steril dan anggota tim non
steril. Berikut adalah bagan anggota tim operasi.
Steril :
a. Ahli bedah
b. Asisten bedah
c. Perawat Instrumentator (Scub nurse).

Non Steril :
a. Ahli anastesi
b. Perawat anastesi
c. Circulating nurse
d. Teknisi (operator alat, ahli patologi dll.).

Surgical Team:
 Perawat steril bertugas :
a. Mempersiapkan pengadaan alat dan bahan yang diperlukan untuk operasi
b. Membatu ahli bedah dan asisten saat prosedur bedah berlangsung
c. Membantu persiapan pelaksanaan alat yang dibutuhkan seperti jatrum, pisau bedah, kassa dan
instrumen yang dibutuhkan untuk operasi.
 Perawat sirkuler bertugas :
a. Mengkaji, merencanakan, mengimplementasikan dan mengevaluasi aktivitas keperawatan
yang dapat memenuhi kebutuhan pasien.
b. Mempertahankan lingkungan yang aman dan nyaman
c. Menyiapkan bantuan kepada tiap anggota tim menurut kebutuhan.
d. Memelihara komunikasi antar anggota tim di ruang operasi.
e. Membantu mengatasi masalah yang terjadi.

E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan pada tahap intra operatif yang biasanya muncul adalah:
• Resiko infeksi b.d prosedur invasif (luka incisi)
• Resiko injury b,d kondisi lingkungan eksternal misal struktrur lingkungan, pemajanan
peralatan, instrumentasi dan penggunaan obat-obatan anastesi.

F. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi tindakan keperawatan yang bisa dilakukan antara lain :
1. Memberikan dukungan emosional
Kesejahteraan emosional pasien harus dijaga selama operasi. Sebelum dianastesi perawat
bertanggung jawab untuk membuat pasien nyaman dan tidak cemas. Bila pasien sadar atau
bangun selama prosedur pembedahan. Perawat bertugas menjelaskan prosedur tindakan yang
dilakukan, memberikan dukungan psikologis dan menyakinkan pasien. Ketika pasien sadar dari
pengaruh anastesi, penjelasan dan pendidikan kesehatan perlu dilakukan. Hal ini dilakukan
terhadap semua pasien, terutama pada operasi dengan sistem anastesi lokal maupun regional.
Pemantauan kondisi pasien akan mempengaruhi kondisi fisik dan kerja sama pasien.

2. Mengatur posisi yang sesuai untuk pasien


Posisi yang sesuai diperlukan untuk memudahkan pembedahan dan juga untuk menjamin
keamanan fisiologis pasien. Posisi yang diberikan pada saat pembedahan disesuaikan dengan
kondisi pasien. Lihat keterangan di atas.

3. Mempertahankan keadaan asepsis selama pembedahan


Perawat bertanggung jawab untuk mempertahankan keadaan asepsis selama operasi
berlangsung. Perawat bertanggung jawab terhadap kesterilan alat dan bahan yang diperlukan dan
juga bertanggung jawab terhdap seluruh anggota tim operasi dalam menerapkan prinsip steril.
Jika ada sesuatu yang diangggap tidak steril menyentuh daerah steril, maka instrumen yang
terkontaminasi harus segera diganti.

4. Menjaga kestabilan temperatur pasien


Temperatur di kamar operasi dipertahankan pada suhu standar kamar operasi dan
kelembapannya diatur untuk mengahmabat pertumbuhan bakteri. Pasien biasanya merasa
kedinginan di kamar operasi jika tidak diberik selimut yang sesuai. Kehilangan panas pada
pasien berasal dari kulit dan daerah yang terbuka untuk dilakukan operasi. Ketika jaringan tidak
tertutup kulit akan terekspose oleh udara, sehingga terjadi kehiilangan panas akan berlebihan.
Pasien harus dijaga sehangat mungkin untuk meminimalkan kehilangan panas tanpa
menyebabkan vasodilatasi yang justru menyebabkan bertambahnya perdarahan.

5. Memonitor terjadinya hipertermi malignan


Monitoring kejadian hipertermi maligan diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi
berupa kerusakan sistem saraf pusat atau bahkan kematian. Monitoring secara kontinu diperlukan
untuk menentukan tindakan pencegahan dan penanganan sedini mungkin sehingga tidak
menimbulkan komplikasi yang dapat merugikan pasien.

6. Membantu penutupan luka operasi


Langkah terakhir dalam prosedur pembedahan adalah penutupan luka operasi. Penutupan
luka dilakukan lapis demi lapis dengan menggunakan benag yang sesuai dengan jenis jaringan.
Penutupan kulit menggunakan benang bedah untuk mendekatkan tepi luka sampai dengan terjadi
penyembuhan luka operasi. Luka yang terkontaminasi dapat terbuka seluruhnya atau sebagian
saja. Ahli bedah memilih metode dan tipe jahitan atau penutupan luka beedasarkan daerah
operasi, ukuran dan dalamnya luka operasi serta usia dan kondisi pasien. Setelah luka operasi
dijahit kemudian dibalut dengan kassa steril untuk mencegah kontaminasi luka, mengabsorpsi
drainage, dan membantu penutupan incisi. Jika penyembuhan luka terjadi tanpa komplikasi,
jahitan biasanya bisa dibuka setelah 7 sampai dengan 10 hari tergantung letak lukanya.

7. Membantu drainage
Drain ditempatkan pada luka operasi untuk mengalirkan darah, serum,debris dari tempat
operasi yang bila tidak dikeluarkan dapat memperlambat penyembuhan luka dan menyebabkan
terjadinya infeksi. Ada beberapa tipe drain bedah yang dipilih berdasarkan ukuran luka. Perawat
bertanggung jawab mengkaji bahwa drain berfungsi dengan baik. Darain bisaasanya dicabut bila
produk drain sudah berkurang dalam jumlah yang signifikan. Dan bentuk produk sudah serous,
tidak dalam bentuk darah lagi.

8. Memindahkan pasien dari ruang opersai ke ruang pemulihan/ICU


Sesudah operasi, tim operasi akan memberikan pasien pakain yang bersih, kemudian
memindahkan pasien dari meja operasi ke barankard. Selama pembedahan ini tim operasi
meghindari membawa pasien pasien tanpa pakaian, karena disamping memalukan bagi pasien
juga merupakan salah satu predisposisi terrjadinya kehilangan panas, infeksi respirasi dan shock,
mencegah luka operasi terkontaminasi serta kenyamanan pasien. Hindari juga memindahkan
pasien dengan tiba-tiba dan perubahan posisi yang terlalu sering yang merupakan predisposisi
terjadinya hipotensi. Perubahan posisi pada pasien harus dilakukan secara bertahap, misalnya
dari litotomi ke posisi horizontal kemudian kearah supinasi dan lateral. Saat memindahkan
pasien post operasi harus dilakukan ekstra hati-hati dan mendapatkan bantuan yang adekuat dari
staff. Sesudah memindahkan pasien ke barnkard, pasien ditutup dengan selimut dan dipasang
sabuk pengaman. Pengaman tempat tidur (side rail) harus selalu dipasang untuk keamanan
pasien, karena pasien biasanya akan mengalami periode gelisah saat dipindahkan dari ruang
operasi.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi selama operasi bisa muncul sewaktu-waktu selama tindakan pembedahan.
Komplikasi yang paling sering muncul adalah hipotensi, hipotermi dan hipertermi malignan.
 Hipotensi
Hipotensi yeng terjadi selama pembedahan, biasanya dilakukan dengan pemberian obat-
obatan tertentu (hipotensi di induksi). Hipotensi ini memang diinginkan untuk menurunkan
tekanan darah pasien dengan tujuan untuk menurunkan jumlah perdarahan pada bagian yang
dioperasi, sehingga menungkinkan operasi lebih cepat dilakukan dengan jumlah perdarahan yang
sedikit. Hipotensi yang disengaja ini biasanya dilakukan melalui inhalasi atu suntikan medikasi
yang mempengaruhi sistem saraf simpatis dan otot polos perifer. Agen anastetik inhalasi yang
biasa digunakan adalah halotan.
Oleh karena adanya hipotensi diinduksi ini, maka perlu kewaspadaan perawat untuk selalu
memantau kondisi fisiologis pasien, terutama fungsi kardiovaskulernya agar hipotensi yang tidak
diinginkan tidak muncul, dan bila muncul hipotensi yang sifatnya malhipotensi bisa segera
ditangani dengan penanganan yang adekuat.

 Hipotermi
Hipotermia adalah keadaan suhu tubuh dibawah 36,6 oC (normotermi : 36,6- 37,5 oC).
Hipotermi yang tidak diinginkan mungkin saja dialami pasien sebagai akibat suhu rendah di
kamar operasi (25 – 26,6 oC), infus dengan cairan yang dingin, inhalasi gas-gas dingin, kavitas
atau luka terbuka pada tubuh, aktivitas otot yang menurun, usia lanjut atau obat-obatan yang
digunakan (vasodilator, anastetik umum, dan lain-lain).
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari hipotermi yang tidak diinginkan adalah
atur suhu ruangan kamar operasi pada suhu ideal (25-26,6 oC) jangan lebih rendah dari suhu
tersebut, caiaran intravena dan irigasi dibuat pada suhu 37 oC, gaun operasi pasien dan selimut
yang basah harus segera diganti dengan gaun dan selimut yang kering. Penggunaann topi operasi
juga dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotermi. Penatalaksanaan pencegahan
hipotermi ini dilakukan tidak hanya pada saat periode intra operatif saja, namun juga sampai saat
pasca operatif.

 Hipertermi Malignan
Hipertermi malignan sering kali terjadi pada pasien yang dioperasi. Angka mortalitasnya
sangat tinggi lebih dari 50%. Sehingga diperlukan penatalaksanaan yang adekuat. Hipertermi
malignan terjadi akibat gangguan otot yang disebabkan oleh agen anastetik. Selama anastesi,
agen anastesi inhalasi (halotan, enfluran) dan relaksan otot (suksinilkolin) dapat memicu
terjadinya hipertermi malignan.
Ketika diinduksi agen anastetik, kalsium di dalam kantong sarkoplasma akan dilepaskan
ke membran luar yang akan menyebabkan terjadinya kontraksi. Secara normal, tubuh akan
melakukan mekanisme pemompaan untuk mengembalikan kalsium ke dalam kantong
sarkoplasma. Sehingga otot-otot akan kembali relaksasi. Namun pada orang dengan hipertermi
malignan, mekanisme ini tidak terjadi sehingga otot akan terus berkontraksi dan tubuh akan
mengalami hipermetabolisme. Akibatnya akan terjadi hipertermi malignan dan kerusakan sistem
saraf pusat. Untuk menghindari mortalitas, maka segera diberikan oksigen 100%, natrium
dantrolen, natrium bikarbonat dan agen relaksan otot. Lakukan juga monitoring terhadap kondisi
pasien meliputi tanda-tanda vital, EKG, elektrolit dan analisa gas darah.

Fase Post Operatif


Fase post operatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan (recovery room) atau
ruang intensive dan berakhir berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan rawat inap,
klinik, maupun di rumah.lingkup aktivitas keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas
selama periode ini. Pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen anastesi dan memantau
fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada
peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut, serta
rujukan untuk penyembuhan, rehabilitasi, dan pemulangan (Hipkabi, 2014).
3. Faktor resiko terhadap pembedahan menurut Potter & Perry ( 2005 ) antara lain :

Usia Pasien dengan usia yang terlalu muda (bayi/anak-anak) dan usia lanjut mempunyai
resiko lebih besar. Hal ini diakibatkan cadangan fisiologis pada usia tua sudah sangat menurun,
sedangkan pada bayi dan anak-anak disebabkan oleh karena belum matur-nya semua fungsi
organ.
Nutrisi Kondisi malnutrisi dan obesitas/kegemukan lebih beresiko terhadap pembedahan
dibandingakan dengan orang normal dengan gizi baik terutama pada fase penyembuhan. Pada
orang malnutrisi maka orang tersebut mengalami defisiensi nutrisi yang sangat diperlukan untuk
proses penyembuhan luka. Nutrisi-nutrisi tersebut antara lain adalah protein, kalori, air, vitamin
C, vitamin B kompleks, vitamin A, Vitamin K, zat besi dan seng (diperlukan untuk sintesis
protein).
Pada pasien yang mengalami obesitas. Selama pembedahan jaringan lemak, terutama sekali
sangat rentan terhadap infeksi. Selain itu, obesitas meningkatkan permasalahan teknik dan
mekanik. Oleh karenanya defisiensi dan infeksi luka, umum terjadi. Pasien obes sering sulit
dirawat karena tambahan berat badan; pasien bernafas tidak optimal saat berbaring miring dan
karenanya mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonari pasca operatif. Selain itu,
distensi abdomen, flebitis dan kardiovaskuler, endokrin, hepatik dan penyakit biliari terjadi lebih
sering pada pasien obesitas.
Penyakit Kronis Pada pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler, diabetes, PPOM
( Penyakit Paru Obstruksi Menahun), dan insufisiensi ginjal menjadi lebih sukar terkait dengan
pemakaian energi kalori untuk penyembuhan primer. Dan juga pada penyakit ini banyak masalah
sistemik yang mengganggu sehingga komplikasi pembedahan maupun pasca pembedahan sangat
tinggi.
Ketidaksempurnaan respon neuroendokrin pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
endokrin, seperti diabetes mellitus yang tidak terkontrol, bahaya utama yang mengancam hidup
pasien saat dilakukan pembedahan adalah terjadinya hipoglikemia yang mungkin terjadi selama
pembiusan akibat agen anestesi, atau juga akibat masukan karbohidrat yang tidak adekuat pasca
operasi atau pemberian insulin yang berlebihan. Bahaya lain yang mengancam adalah asidosis
atau glukosuria. Pasien yang mendapat terapi kortikosteroid beresiko mengalami insufisinsi
adrenal. Penggunaan obat-obatan kortikosteroid harus sepengetahuan dokter anestesi dan dokter
bedah. Merokok Pasien dengan riwayat merokok biasanya akan mengalami gangguan vaskuler,
terutama terjadi arterosklerosis pembuluh darah, yang akan meningkatkan tekanan darah
sistemik. Alkohol dan obat-obatan Individu dengan riwayat alkoholik kronik seringkali
menderita malnutrisi dan masalah-masalah sistemik, seperti gangguan ginjal dan hepar yang
akan meningkatkan resiko pembedahan.

 Komplikasi dan penanganan pada kasus bedah

Semua jenis operasi, baik yang sederhana maupun rumit, dapat menyebabkan komplikasi
pasca bedah karena berbagai alasan, terkontrol atau tidak. Walaupun ada yang hanya bersifat
sementara dan tidak berbahaya, namun komplikasi lain dapat bersifat serius dan membahayakan
nyawa. Resiko komplikasi ini perlu dipertimbangkan sebelum pembedahan, saat pembedahan,
dan setelah pembedahan. Prosedur penanganan komplikasi pasca bedah juga sudah harus
dipersiapkan untuk keamanan pasien.
Kemungkinan terjadinya komplikasi pasca bedah ditentukan oleh beberapa faktor,
termasuk jenis operasi yang dilakukan, kondisi pasien sebelum operasi, apakah pasien dirawat
jalan atau rawat inap, dan sebagainya. Beberapa komplikasi yang paling umum terjadi akibat
pembedahan dan obat bius adalah:
 Terbentuknya abses
 Kebingungan akut atau delirium
 Reaksi alergi
 Atelektasi basal atau kolaps/malfungsi paru
 Kehilangan darah
 Penyumbatan pencernaan (seringkali karena adhesi sel) atau terganggunya sistem
pencernaan.
 Komplikasi kardiovaskular (misalnya disritmia, infarksi, dan cedera iskemik)
 Trombosis vena dalam (TVD) atau emboli paru
 Luka tidak sembuh dengan baik (karena komplikasi)
 Hematoma atau memar
 Berkurangnya produksi urin dan tubuh tidak mendapatkan pengganti cairan yang cukup
 Mual dan muntah
 Pneumonia
 Demam pasca operasi
 Dekubitus atau luka tekan
 Pendarahan primer (dapat terjadi selama atau setelah pembedahan karena meningkatnya
tekanan darah).
 Cedera bedah karena kerusakan jaringan yang tak dapat dihindari, misalnya pada saraf di
sekitar area bedah.
 Infeksi luka atau pecahnya luka (jahitan bedah teterlepas
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam beberapa minggu atau bulan setelah
pembedahan adalah keloid, hernia di tempat sayatan bedah, radang sinus yang susah
hilang, dan kambuhnya penyebab bedah (misalnya pada kasus kanker atau penyebaran
kanker).

Siapa yang Perlu Menjalani Penanganan Komplikasi Pasca Bedah dan Hasil yang
Diharapkan?

Perawatan pasca bedah akan diberikan pada semua pasien yang menjalani pembedahan,
baik operasi rawat jalan kecil atau operasi besar yang dilakukan di ruang operasi. Bahkan, proses
perawatan ini sudah dilakukan sebelum pembedahan, yaitu dengan mempersiapkan pasien dan
memberikan konseling. Perawatan sebelum bedah meliputi pemeriksaan kesehatan, identifikasi
faktor resiko, dan memberikan informasi jelas tentang prosedur serta pemulihan jangka pendek
dan panjang. Perawatan sebelum dan sesudah bedah biasanya akan saling melengkapi.

Saat ini, terdapat protokol untuk mencegah komplikasi pasca bedah. Langkah pencegahan
dasar meliputi pengaturan berat badan dan pola makan, intervensi untuk resiko kehilangan darah,
persiapan teknis yang baik (misalnya jenis sayatan, teknik, drainase, dan sebagainya), intervensi
kebocoran anastomosis, dan pencegahan dengan antibiotik. Melalui proses ini, pasien dan ahli
kesehatan dapat saling bekerjasama untuk memastikan keberhasilan operasi serta lancarnya
proses pemulihan.

Cara Kerja Penanganan Komplikasi Pasca Bedah

Penanganan komplikasi pasca bedah dapat dibedakan menjadi masa penanganan langsung
dan tertunda. Pada penanganan langsung, prosedur di bawah ini biasanya akan langsung
dilakukan setelah pembedahan:

 Penanganan nyeri – Dokter akan meredakan nyeri pasien dengan memberikan obat
pereda nyeri oral atau intravena, obat penenang, antibiotik, antikoagulan, dan antiemetik.
 Perawatan luka – Bekas sayatan dan penutup luka akan terus diperiksa untuk mencari
tanda-tanda infeksi.
 Pengawasan – Tekanan darah dan denyut jantung pasien akan diawasi secara rutin.
Cairan yang masuk dan keluar tubuh pasien juga akan diperhatikan, begitu juga jumlah
sel darah dan elektrolit untuk pengganti cairan. Sistem pernapasan dan suhu tubuh juga
akan diperiksa. Perawat juga akan memeriksa apakah terjadi gangguan pencernaan,
edema kaki, bercak merah abnormal, dan nyeri (TVD).
 Mobilisasi – Mobilisasi dini akan selalu dianjurkan setelah operasi. Pasien sebaiknya
sebisa mungkin bergerak, mengambil napas dalam, latihan menguatkan otot, dan
menggunakan alat bantu berjalan, jika diperlukan.
 Komunikasi – Pasien akan terus diberitahu mengenai perkembangan kondisi mereka dan
diyakinkan akan adanya penanganan pasca bedah.

Tergantung pada jenis komplikasi dan kapan komplikasi terdeteksi, dokter dapat
melakukan berbagai penanganan. Sebagai contoh, pneumonia diobati dengan antibiotik
dan fisioterapi, sedangkan masalah kardiovaskular akan ditangani dengan obat-obatan atau
operasi tambahan. Pendarahan akan ditangani dengan transfusi darah, infeksi luka dengan
antibiotik topikal atau oral, dan pecahnya luka dengan analgesik atau penjahitan ulang. Pasien
harus terus diawasi agar komplikasi dapat terdeteksi sejak dini dan segera ditangani dengan baik.

Setelah pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit, perawatan pasca bedah dapat terus
berlanjut. Pasien (atau keluarga pasien) akan diberi riwayat diagnosis, rangkuman prosedur
medis, dan instruksi, misalnya untuk obat atau terapi tambahan. Informasi untuk konsultasi
lanjutan akan dicantumkan di surat pulang pasien.

Kemungkinan Komplikasi dan Resiko Penanganan Komplikasi Pasca Bedah

Semua prosedur bedah memiliki resiko dan komplikasi tertentu, sehingga penanganan
komplikasi pasca bedah menjadi hal yang sangat penting. Penanganan ini merupakan proses
rutin yang dilakukan oleh dokter bedah, dokter, dan perawat untuk menjaga keamanan,
kesehatan, dan kondisi pasien. Prosedur ini harus dilakukan oleh ahli kesehatan berpengalaman
agar komplikasi pasca bedah dapat dicegah dan ditangani dengan baik bila terjadi. 

Faktor-faktor yang berkontribusi pada kesalahan pembedahan

1. Alat kedokteran tertinggal di dalam tubuh


Hal ini telah terjadi beberapa kali karena perawat yang ikut melakukan operasi pada
pasien biasanya melupakan jumlah peralatan yang digunakannya dalam tubuh. Ketika
selesai, mereka terkadang melupakan satu atau dua alat dalam tubuh pasien. Jika Anda
mendapat rasa sakit tak wajar, pembengkakan, atau demam setelah operasi, sebaiknya
segera periksakan.

2. Salah pasien
Salah pasien atau pasien yang tertukar bisa terjadi ketika staf rumah sakit salah
mencampurkan nama atau penyakit yang diderita. Sebelum melakukan prosedur operasi
di sebuah rumah sakit, sebaiknya cek ulang biodata Anda pada perawat. Pastikan nama,
tempat tanda lahir, dan informasi lainnya benar.

3. Dokter palsu
Beberapa aktor atau orang pernah berpura-pura menjadi dokter. Tentunya obat atau
pemeriksaan yang mereka berikan pada pasien juga palsu dan bisa semakin memperburuk
keadaannya. Sebelum diperiksa dokter, sebaiknya periksa apakah dokter atau rumah sakit
yang Anda datangi memiliki kredibilitas tinggi.

4. Instalasi Gawat Darurat yang penuh


Ketika UGD sudah penuh, seseorang bisa merasa sangat kesakitan hanya karena
menunggu tempat tidur kosong. Ada baiknya jika Anda terlebih dahulu memesan tempat
atau meminta dokter menelepon instalasi gawat darurat sebelum Anda tiba.

5. Gelembung udara dalam darah


Penggunaan tabung dada cukup umum di rumah sakit. Namun kesalahan bisa terjadi
ketika perawat tidak menutup tabung dada dengan rapat, Hal ini berbahaya karena udara
bisa terjebak dan memotong suplai darah ke paru-paru, jantung, ginjal, dan otak.

6. Mengobati bagian tubuh yang salah


Meski jarang terjadi, namun hal ini sangat bisa terjadi. Hal ini dikarenakan grafik
pasien yang tidak benar atau dokter yang salah membaca hasil rontgent. Ada baiknya
Anda mengonfirmasi perawat dan dokter bedah mana yang melakukan operasi serta
bagian tubuh mana yang seharusnya dioperasi.

7. Bangun ketika operasi


Ini tentu tak ingin dialami oleh semua orang. Beberapa dokter memberikan anestesi
yang lebih sedikit sehingga memungkinkan penumpang bangun saat difoto. Jika kadar
anestesi yang digunakan cukup kecil maka seseorang bisa terbangun atau terjaga, namun
tak bisa merasakan apa yang dilakukan. Kebanyakan pasien hanya bisa merasakan
tekanan setiap kali bagian tubuhnya dicolek, atau dipotong.

Kecelakaan di atas sangat bisa dihindari. Sebaiknya Anda sebagai pasien lebih aktif
dalam menanyakan perawatan dan prosedur yang dilakukan dokter. Begitu juga jika Anda
berprofesi sebagai dokter. Lebih baik teliti daripada terjadi hal-hal yang tak diinginkan oleh
pasien.

Hambatan potensial:

- Kurangnya "perjanjian" ahli bedah dengan pendekatan standar dan kesulitan untuk mengubah
budaya.
- Gagal mengenali risiko dalam pengaturan prosedural selain ruang operasi.
- Keengganan perawat dan staf lainnya untuk menanyai ahli bedah bila ada kemungkinan
kesalahan diidentifikasi.
- Sumber daya dan pengetahuan manusia yang tidak memadai untuk memudahkan proses
ditantang.
- Perilaku "rutinitas" selama proses time-out ("berjalan sesuai" tapi tanpa komunikasi
yang berarti).
- Kurangnya penelitian, data, dan pertimbangan ekonomi yang diterima secara umum mengenai
analisis biaya-manfaat atau pengembalian investasi (ROI) untuk menerapkan rekomendasi ini.

Anda mungkin juga menyukai