Anda di halaman 1dari 63

HUBUNGAN ANTARA WAKTU PELAKSANAAN OPERASI DENGAN

KEPATUHAN TIM OPERASI DALAM MENJALANI SIGN OUT


DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSD dr SOEBANDI JEMBER

SKRIPSI

DHIKY PANDUWINATA

NIM : 22102351

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS dr. SOEBANDI JEMBER
2022
HUBUNGAN ANTARA WAKTU PELAKSANAAN OPERASI DENGAN
KEPATUHAN TIM OPERASI DALAM MENJALANI SIGN OUT
DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSD dr SOEBANDI JEMBER

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Mempe


roleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

DHIKY PANDUWINATA

NIM : 22102351

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS dr. SOEBANDI JEMBER
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan di

rumah sakit maka pelaksanaan kegiatan patient safety rumah sakit sangatlah

penting. Melalui kegiatan ini diharapkan terjadi penekanan/penurunan insiden

sehingga dapat lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit

di Indonesia. Penanganan kesehatan pasien memerlukan kehati-hatian dan

mematuhi prinsip dasar patient safety . Menurut World Health Organization (WHO)

atau Badan Kesehatan Dunia adalah prinsip dasar perawatan kesehatan adalah

Patient safety (WHO, 2017), yang diperingati pertama kali pada tanggal 17

September 2019. Melalui peringatan itu, WHO meluncurkan kampanye global

untuk menciptakan kesadaran terhadap patient safety dan mendesak untuk

menunjukkan komitmen mereka untuk membuat perawatan kesehatan lebih aman,

karena sekitar 90% penanganan terkait cedera dan kecacatan yang meningkatkan

risiko angka kematian mayoritas ditemukan di negara yang berpenghasilan rendah

dan menengah (LaGrone et al., 2016).

Salah satu program patient safety adalah surgical safety checklist. Pada Juni

2008, WHO mempelopori peluncuran surgical safety checklist (T. G. Weiser &

Haynes, 2018). Program ini bertujuan untuk mengurangi angka morbiditas dan

mortalitas perioperatif (Hyman, 2017).

Surgical safety checklist diuji coba penggunaan di delapan rumah sakit di

dunia dan mengumpulkan data pada sekitar 4000 pasien dari beragam kelompok.

Mulai Oktober 2007-September 2008, hasilnya diterbitkan pada bulan Januari 2009
dan menunjukkan hasil bahwa pengaplikasian checklist Keselamatan Bedah ini

berdampak positif seperti menurunkan angka komplikasi rawat inap (11,0-7,0%)

dan kematian (1,5-0,8%). Daftar periksa keselamatan bedah dirancang terutama

untuk mencegah kematian akibat kesalahan perioperatif (Hyman, 2017;Russ et al.,

2015), dan pada tahun 2009 penerapan checklist keselamatan bedah mulai

dilaksanakan di beberapa rumah sakit (Russ et al., 2014).

WHO melaporkan penggunaan surgical safety checklist berdasarkan data

yang dikumpulkan pada tahun 2011 (2 tahun setelah publikasi WHO), Penggunaan

daftar periksa mendekati 100% di Denmark, Prancis, Irlandia, Belanda dan Inggris,

sementara itu 30 % lebih rendah di Kroasia, Siprus, Ceko Republik, Estonia,

Yunani, Hungary, Latvia, Lithuania, Polandia (Weiser & Haynes, 2018). Sekarang

lebih dari 4000 rumah sakit di dunia telah menerapkan surgical safety checklist atas

saran dari WHO checklist tersebut dapat dimodifikasi sesuai keadaan setempat

(Spendlhofer et al., 2015). Penerapan surgical safety checklist oleh tim bedah

membantu meminimalkan kesalahan tindakan pembedahan. Pembedahan yang

salah hanya dapat dicegah dengan kewaspadaan oleh tim bedah 3 (Rolston &

Berger, 2018).

Menurut Houwerd (2011) komplikasi bedah setelah penggunaan Surgical

Safety Checklist secara keseluruhan turun dari 19.9% menjadi 11,5%, dan angka

kematian menurun dari 1,9% menjadi 0,2%. Pelaksanaan Surgical Patient Safety

telah membuktikan pengurangan dalam angka mordibiti dan morbiliti dalam

rawatan dirumah sakit.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Instalasi Bedah Sentral

RSD dr Soebandi Jember, peneliti mengambil data dengan bertanya kepada salah
satu perawat anastesi dan perawat bedah yang bertugas di Ruang persiapan atau

Ruang penerimaan dan peneliti sendiri mengobservasi perawat dalam pelaksanaan

sign in saat itu selama 3 jam. Didapatkan data bahwa sebagian besar yang

melaksanakan sign in di Instalasi Bedah Sentral adalah perawat bedah, yang seharus

menjadi tugas dan tanggung jawab perawat anastesi namun yang dilaksanakan sign

in perawat bedah. Perawat dalam pelaksanaan sign in sudah patuh dalam

pelaksanaan sign in sesuai prosedur atau SOP namun ada beberapa prosedur yang

tidak melaksanakan seperti pengecekan tanda vital pasien, pengecekan jalan nafas,

pengecekan bentuk leher panjang atau pendek, pengecekan malampati, penegcekan

kesulitan intubasi dan ada juga yang sering terlewatkan dalam konfirmasi riwayat

alergi pasien dan konfirmasi lokasi operasi sehingga didapatkan kasus salah lokasi

operasi.

Rendahnya pelaksanaan surgical safety cheklist di kamar bedah,

menunjukan masih rendahnya kesadaran perawat dalam keselamatan pasien. Sesuai

dengan peraturan Depkes no.1691 tentang keselamatan pasien dan Komite

Akreditasi Rumah Sakit (Kars) menuntut pelaksanaan surgery safety checklist di

kamar operasi harus 100% untuk mengeliminasi masalah yang mengkhwatirkan dan

kemungkinan kekeliruan diselesaikan dalam tindakan operasi dimana pelaksanaan

surgery safety cheklist dilakukan pada semua item yang telah ditentukan.

Keselamatan pasien merupakan prinsip dasar dalam pemberian pelayanan dan

merupakan komponen sangat penting dalam manajemen pelayanan kesehatan di

rumah sakit (WHO,2009)

Tercapainya keselamatan pasien juga didukung oleh beberapa

komponen yang dapat menentukan keberhasilan keselamatan pasien. Menurut


Behal (dalam Cahyono, 2012) ada beberapa faktor yang mempangaruhi

keberhasilan program keselamatan pasien, meliputi : lingkungan eksternal,

kepemimpinan, budaya organisasi, manajemen, struktur dan sistem, serta tugas dan

keterampilaan individu,dan lingkungan kerja. Perawat sebagai salah satu tim bedah

yang melaksanakan pembedahan yaitu sebagai perawat scrubs (instrumen) dan

perawat sirkuler yang melaksanakan program keselamatan pasien. Perawat harus

konsisten melakukan setiap item yang dilakukan dalam pembedahan mulai dari fase

sign in, time out, dan sign out sehingga dapat meminimalkan setiap resiko yang

tidak diinginkan (Weiser, 2011) Fakta dari hasil studi WHO, (2017). Dengan

tingginya jumlah operasi dan komplikasi yang ditimbulkan juga terlihat pada studi

pendahuluan yang didapatkan dari dokumentasi tindakan pembedahan di IBS

Emergency RSD dr Soebandi Jember pembedahan dibagi dalam 4 kategori yaitu

pembedahan khusus, besar, sedang, dan kecil dengan jumlah operasi pada bulan

September sampai Desember 2021 terdapat 649 kasus (operasi khusus 341 kasus,

operasi besar 166 kasus, operasi sedang 149 kasus dan operasi kecil 0 kasus) sedang

pada bulan Januari-Juli 2022 terdapat 1.696 kasus (operasi khusus 843 kasus,

operasi besar 545 kasus, operasi sedang 278 kasus operasi kecil 30

kasus).melonjaknya jumlah operasi dikarenakan jumlah paparan penyakit pandemic

covid 19 sudah mulai berangsur-angsur mereda dikalangan masyarakat dikarenakan

sudah banyak yang melaksanakan vaksin covid 19 dari dosis 1 sampai dosis 3 .

Tingginya jumlah operasi yang dilaksanakan di RSD dr Soebandi Jember

dan masih rendahnya pelaksanaan surgical safety checklist di kamar bedah dapat

berdampak terhadap pelayanan kesehatan fakta bahwa rendahnya pelaksanaan

surgical safety checklist terlihat pada tingkat kejadian pasien dan alat yang
tertinggal diduk/kain operasi pada bulan juli sampai September 2022 terdapat alat

yang tertinggal di duk/kain operasi sebanyak 2 kali sehingga diharuskan untuk

melakukan tindakan pencegahan agar Mesin Cuci medis tidak rusak akibat

instrument yang tertinggal di duk/kain operasi

Kesalahan intraoperatif sering terjadi dalam operasi, dan alat bedah yang

tertinggal di duk/kain operasi berupa klem,koker,dukklam dan disinfeksi klam dan

alat instrumentasi yang tertinggal tersebut yang dapat mengakibatkan kerusakan

pada mesin cuci duk kotor dan akibatnya mesin tidak dapat dioperasikan sehingga

alat instrumentasi yang hilang tersebut akan mempengaruhi jalannya operasi jika

nantinya alat tersebut diperlukan pada operasi selanjutnya

Tingginya tindakan pembedahan di RSD dr Soebandi Jember dan

rendahnya kepatuhan penerapan format surgical safety checklist di kamar bedah,

menunjukan masih rendahnya kesadaran tim bedah dalam intraoperative dan

menerapkan menghitung jumlah instrumentasi sebelum dan sesudah melaksanakan

operasi.. Olehnya karena itu peneliti melihat permasalahan yang muncul dan sangat

pentingnya penerapan surgical safety checklist terhadap pelaksanaan prosedur

bedah, yang dapat memberikan standar kegiatan tim bedah dalam meminimalkan

kesalahan tindakan pembedahan (perilaku positif) dan meminimalkan perawat salah

hitung alat instrument sebelum dan sesudah operasi agar alat instrument tidak

tertinggal di duk/kain operasi atau lupa ambil saat alat tersebut jatuh dari meja

operasi pada saat setelah operasi, maka peneliti tertarik untuk menganalisa

kepatuhan penerapan surgical safety checklist dengan pelaksanaan operasi bedah di

rumah sakit?
B. Rumusan Masalah

Surgical Safety Cheklist merupakan alat komunikasi untuk keselamatan

pasien, sebagai program dalam upaya menurunkan komplikasi pembedahan, dan

meminimalkan perawat instrument benar saat menghitung sebelum dan sesudah

operasi. Perawat sebagai salah satu tim bedah yang melaksanakan pembedahan

yaitu perawat scrubs, dan perawat sirkuler yang melaksanakan Surgical Safety

Cheklist, pada fase sign, time out dan sign out.

Namun langkah-langkah kepatuhan penerapan surgical safety checklist ini

masih sering diabaikan oleh individu (perawat bedah,perawat anestesi dan operator)

(Anwer M & Munee N, 2016) di RSD dr Soebandi Jember sehingga menjadi

kebiasaan buruk dan dapat mengakibatkan kelalaian yang dapat berakibat fatal.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah

“Bagaimana kepatuhan tim bedah (dokter bedah, perawat anestesi,perawat bedah)

dalam penerapan surgical safety checklist dengan pelaksanaan operasi bedah di

Instalasi Bedah Sentral RSD dr Soebandi Jember “ ?


C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengidentifikasi perbandingan faktor determinan Pelaksanaan Surgical Safety

checklist antar RSD dr Soebandi jember

2. Tujuan Khusus :

a. Mengidentifikasi distribusi frekuensi karakteristik perawat kamar bedah di

lingkungan RSD dr Soebandi jember

b. Mengidentifikasi distribusi frekuensi pelaksanaan kelengkapan pengisian surgical

safety cheklist pada fase sign in, time out, sign out di lingkungan RSD dr Soebandi

jember

c. Mengidentifikasi distribusi ferkuensi faktor – faktor yang mempengaruhi

pelaksanaan surgical safety cheklist meliputi : faktor lingkungan eksternal,

kepemimpinan, budaya organisasi, struktur dan sistem, lingkungan kerja, dan

penegetahuan antar rumah sakit di lingkungan RSD dr Soebandi

d. Analisis faktor – faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan pengisian surgical

safety cheklist di lingkungan RSD dr Soebandi jember

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :

1. Bagi peneliti Dengan penelitian ini didapatkan gambaran bagi peneliti tentang

bagaimana pelaksanaan surgical safety cheklist di lingkungan RSD dr Soebandi

jember

2. Bagi Rumah Sakit RSD dr Soebandi khususnya di kamar bedah surgery safety

checklist sangat bermanfaat karena melindungi perawat dan tim bedah lainnya
karena dapat dijadikan sebagai aspek legal yang dapat dipertanggung jawabkan

karena seluruh kegiatan yang dilakukan pada pasien akan diverifikasi dan

terdokumentasi didalamnya termasuk kegiatan persiapan pembedahan, dan

melakukan evaluasi dan tetap memotivasi tim agar kondisi apapun tetap

menggunakannya.

3. Bagi Keperawatan

Bagi keperawatan akan melindungi perawat bedah yang terlibat didalam tim karena

ada pernyataan khusus yang ditujukan kepada perawat sebagai instrumentator yang

akan diverifikasi persiapan alat dan kelengkapan alat setelah tindakan pembedahan

selesai.

4. Bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

menjadi bahan rujukan dan dikembangkan terutama untuk penelitian sejenis. Dapat

memberikan konstribusi bagi perkembangan riset keperawatan khususnya pada

penelitian manajemen keperawatan tentang pelaksanaan surgical safety cheklist

dikamar operasi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Surgical Safety Checklist

Surgical Safety Checklist merupakan bagian dari Safe Surgery

Saves Lives yang berupa alat komunikasi untuk keselamatan pasien

yang digunakan oleh tim bedah di ruang operasi. Surgical Safety

Checklist adalah sebuah daftar periksa untuk memberikan pembedahan

yang aman dan berkualitas pada pasien. Surgical safety checklist

merupakan alat komunikasi untuk keselamatan pasien yang digunakan

oleh tim bedah di ruang operasi. Tim bedah terdiri dari perawat, dokter

bedah, anestesi dan lainnya. Tim bedah harus konsisten melakukan

setiap item yang dilakukan dalam pembedahan mulai dari sign in, time

out, sign out sehingga dapat meminimalkan setiap risiko yang tidak

diinginkan (Safety & Compliance, 2012).

2.1.1 Tiga fase operasi

Dalam pelaksanaan prosedur safety surgical operasi meliputi tiga fase

yaitu :

1. Pelaksanaan Sign In

Sign In adalah prosedur yang dilakukan sebelum induksi anastesi

prosedur Sign In idealnya dilakukan oleh tiga komponen, yaitu pasien

(bila kondisi sadar/memungkinkan), perawat anastesi , dan dokter

anastesi.

Pada fase Sign In dilakukan konfirmasi berupa identitas pasien,


sisi operasi yang sudah tepat dan telah ditandai, apakah mesin anastesi

sudah berfungsi, apakah pulse oksimeter pada pasien berfungsi, serta

faktor resiko
pasien seperti apakah ada reaksi alergi, resiko kesulitan jalan nafas, dan adanya

resiko kehilangan darah lebih dari 500ml

Langkah-langkah Surgical Safety Checklist yang harus dikonfirmasi saat

pelaksanaan Sign In adalah :

1. Konfirmasi identitas pasien

Koordinator Checklist secara lisan menegaskan identitas pasien, jenis

prosedur pembedahan, lokasi operasi, serta persetujuan untuk

dilakukan operasi. Langkah ini penting dilakukan agar petugas kamar

operasi tidak salah melakukan pembedahan terhadap pasien, sisi, dan

prosedur pembedahan. Bagi pasien anak-anak atau pasien yang tidak

memungkinkan untuk berkomunikasi dapat dilakukan kepada pihak

keluarga, itulah mengapa dilakukan konfirmasi kepada pasien sebelum

pembedahan.

2. Konfirmasi sisi pembedahan

Koordinator Checklist harus mengkonfirmasi kalau ahli bedah telah

melakukan penandaan terhadap sisi operasi bedah pada pasien

(biasanya menggunakan marker permanen) untuk pasien dengan

kasuss lateralitas (perbedaan kanan atau kiri) atau beberapa struktur

dan tingkat (misalnya jari tertentu, jari kaki, lesi kulit, vertebrata) atau

tunggal (misalnya limpa). Penandaan yang permanen dilakukan dalam

semua kasus, bagaimanapun, dan dapat memberikan ceklist cadangan

agar dapat mengkonfirmasi tempat yang benar dan sesuai prosedur.


3. Persiapan mesin pembedahan dan anestesi

Koordinator Checklist melengkapi langkah berikutnya dengan

meminta bagian anastesi untuk melakukan konfirmasi penyelesaian

pemeriksaan keamanan anastesi, dilakukan dengan pemeriksaan

peralatan anastesi, saluran untuk pernafasan pasien nantinya (oksigen

dan inhalasi), ketersediaan obat-obatan, serta resiko pada pasien setiap

kasus.

4. Pengecekan pulse oximetri dan fungsinya

Koordinator Checklist menegaskan bahwa pulse oksimetri telah

ditempatkan pada pasien dan dapat berfungsi benar sebelum induksi

anastesi. Idealnya pulse oksimetri dilengkapi sebuah sistem untuk

dapat membaca denyut nadi dan saturasi oksigen, pulse oksimetri

sangat direkomendasikan oleh WHO dalam pemberian anastesi, jika

pulse oksimetri tidak berfungsi atau belum siap maaka ahli bedah

anastesi harus mempertimbangkan menunda operasi sampai alat-alat

sudah siap sepenuhnya.

5. Konfirmasi tentang alergi pasien

Koordinator Checklist harus mengarahkan pertanyaan ini dan dua

pertanyaan berikutnya kepada ahli anastesi. Pertama, koordinator harus

bertanya apakah pasien memiliki alergi? Jika iya, apa itu? Jika

koordinator tidak tahu tentang alergi pada pasien maka informasi ini

harus dikomunikasikan.
6. Konfirmasi Resiko Operasi

Ahli anastesi akan menulis apabila pasien memiliki kesulitan jalan

nafas pada status pasien, sehingga pada tahapan Sign In ini tim bedah

dapat mengetahuinya dan mengantisipasi pemakaian jenis anastesi

yang digunakan. Resiko terjadinya aspirasi dievaluasi sebagai bagian

dari penilaian jaln nafas sehingga apabila pasien memiliki gejala

refluks aktif atau perut penuh, ahli anastesi harus mempersiapkan

kemungkianan terjadi aspirasi. Resiko aspirasi dapat dikurangi dengan

cara memodifikasi rencana anastesi, misalnya menggunakan teknik

induksi cepat dan dengan bantuan asisten memberikan tekanan krikoid

selama induksi untuk mengantisipasi aspirasi pasien yang telah

dipuasakan enam jam sebelum operasi.

7. Konfirmasi resiko kehilangan darah lebih dari 500 ml (700ml/kg pada

anak-anak)

Dalam langkah keselamatan , koordinator Checklist meminta tim

anastesi memastikan apa ada resiko kehilangan darah lebih dari

setengah liter darah selama operasi karena kehilangan darah merupakan

salah satu bahaya umum dan sangat penting bagi pasien bedah, dengan

resiko syok hipovolemik terjadi ketika kehilangan darah 500ml

(700ml/kg pada anak- anak), Persiapan yang memadai daoat dilakukan

dengan perencanaan jauh- jauh hari dan melakukan resusitasi cairan

saat pembedahan berlangsung.


2. Pelaksanaan Time Out

Time Out adalah prosedur keselamatan pembedahan pasien yang dilakukan

sebelum dilakukan insisi kulit, Time Out dikoordinasi oleh salah satu dari anggota

petugas kamar operasi (dokter atau perawat). Saat Time Out setiap petugas kamar

operasi memeperkenalkan diri dan tugasnya, ini bertujuan agar diantara petugas

operasi dapat saling mengetahui dan mengenal peran masing-masing. Sebelum

melakukan insisi petugas kamar operasi dengan suara keras akan mengkonfirmasi

mereka melakukan operasi dengan benar, pasien yang benar, serta

mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan minimal 60 menit

sebelumnya.

Langkah-langkah Surgical Safety Checklist yang harus dikonfirmasi saat

pelaksanaan Time Out adalah :

Sebelum melakukan insisi atau sayatan pada kulit, jeda sesaat harus

diambil oleh tim untuk mengkonfirmasi bahwa beberapa keselamatan penting

pemeriksaan harus dilakukan

1. Konfirmasi nama dan peran anggota tim

Konfirmasi dilakukan dengan cara semua anggota tim

memperkenalkan nama dan perannya, karena anggota tim sering berubah

sehingga dilakukan manajemen yang baik yang diambil pada tindakan

denagn resiko tinggi seperti pembedahan. Koordinator harus

mengkonfirmasi bahwa semua orang telah diperkenalkan termasuk staf,

mahasiswa, atau orang lain


2. Anggota tim operasi melakukan konfirmasi secara lisan identitas

pasien, sisi yang akan dibedah, dan prosedur pembedahan.

Koordniator Checklist akan meminta semua orang berhenti dan

melakukan konfirmasi identitas pasien, sisi yang kan dilakukan

pembedahan, dan prosedur pembedahan agar tidak terjadi kesalahan

selama proses pembedahan berlangsung. Sebagai contoh, perawat secara

lisan mengatakan “sebelum kita melakukan sayatan pada kulit (Time Out)

apakah semua orang setuju bahawa ini adalah pasien X?, mengalami

Hernia Inguinal kanan?”. Ahli anastesi, ahli bedah, dan perawat secara

eksplisit dan individual mengkonfirmasi kesepakatan, jika pasien tidak

dibius akan lebih mudah membantu baginya untuk mengkonfirmasi hal

yang sama.

3. Konfirmasi antibiotik profilaksis telah diberikan 60 menit terakhir

Koordinator Checklist akan bertanya dengan suara keras apakah

antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60 menit terakhir, anggota tim

yang bertanggung jawab dalam pemberian antibiotik profilaksis adalah

ahli bedah, dan harus memberikan konfirmasi secara verbal. Jika antibiotik

profilaksis telah diberikan 60 menit sebelum, tim harus

mempertimbangkan pemberian ulang pada pasien.

4. Antisipasi Peristiwa kritis

Untuk memastikan komunikasi pada pasien dengan keadaan kritis,

koordinaor Checklist akan memimpin diskusi secara cepat antara ahli

bedah, ahli anastesi, dan perawat terkait bahaya kritis dan rencana selama

pembedahan.
Hal ini dapat dilakukan dengan meminta setiap pertanyaan langsung

dijawab, urutan diskusi tidak penting, tetapi masing-masing disiplin klinis

saling berkomunikasi, isi diskusi meliputi:

a. Untuk dokter bedah : langkah kritis apa, berapa lama kasus ini

dilakukan, dan bagaimana antisipasi kehilangan darah

Diskusi langkah-langkah kritis ini dimaksutkan untuk

meminimalkan resiko pembedahan. Semua anggota tim

mendapat informasi tentang resiko kehilangan darah, cidera,

morbiditas. Kesempatan ini juga dilakukan untuk meninjau

langkah-langkah yang mungkin memerlukan peralatan khusus,

implan, atau persiapan yang lainnya.

b. Untuk dokter anastesi : kekhawatiran pada pasien yang

mungkin terjadi

Pada pasien dengan resiko untuk kehilangan darah besar,

ketidakstabilan hemodinamik, atau morbiditas (seperti penyakit

jantung, paru, aritmia, kelainan darah, dll), anggota tim anastesi

harus meninjau ulang rencana spesifik dan kekhawatiran untuk

resusitasi khususnya. Dalam diskusi ini dokter anastesi cukup

mengatakan, “saya tidak punya perhatian khusus mengenai hal

ini”

c. Untuk perawat : konfirmasi sterilitas (termasuk hasil

indikator) Masalah peralatan atau masalah apapun.


d. Perawat menanyakan kepada ahli bedah apakah alat-alat

yang diperlukan sudah diperlukan sehingga perawat dapat

memastikan instrumen di kamar operasi telah steril dan

lengkap

5. Pemeriksaan penunjang berupa foto perlu ditampilkan di kamar

operasi

Ahli bedah memberi keputusan apakah foto penunjang diperlukan

dalam pelaksanaan operasi atau tidak

3. Pelaksanaan Sign Out

Sign Out adalah prosedur keselamatan pembedahan yang dilakukan oleh

petugas kamar operasi sebelum penutupan luka, dikoordinasi oleh salah satu

anggota petugas kamar operasi (dokter atau perawat). Saat Sign Out akan

dilakukan review tindakan yang telah dilakukan sebelumnya, dilakukan juga

pengecekan kelengkapan kassa steril, penghitungan instrumen, pemberian label

pada spesimen, kerusakan alat atau masalah yang perlu ditangani, selanjutnya

langkah akhir adalah memusatkan perhatian pada manajemen post-operasi serta

pemulihan pasien sebelum dipindah dari kamar operasi.

Pemeriksaan keamanan ini harus diselesaikan sebelum pasien

meninggalkan kamar operasi, tujuannya adalah untuk memfasilitasi transfer

informasi penting kepada tim perawatan yang bertanggung jawab untuk pasien

setelah pembedahan.
Langkah-langkah Surgical Safety Checklist yang harus dikonfirmasi saat

pelaksanaan Sign Out adalah :

1. Review pembedahan

Koordinator Checklist harus mengkonfirmasikan dengan ahli bedah

dan tim apa prosedur yang telah dilakukan, dapat dilakukan dengan

pertanyaan, “apa prosedur yang telah dilakukan?” atau sebagai konfirmasi,

“kami melakukan prosedur X, benar?”

2. Penghitungan instrumen, kassa steril, dan jumlah jarum

Perawat harus mengkonfirmasi secara lisan kelengkapan akhir

instrumen, kassa steril, dan jarum, dalam kasus rongga terbuka jumlah

instrumen dipastikan harus lengkap, jika jumlah tidak lengkap maka tim

harus waspada sehingga dapat mengambil langkah (seperti memeriksa

tirai, sampah, luka, atau jika perlu mendapatkan gambar radiografi).

3. Pelabelan spesimen

Pelabelan digunakan untuk pemeriksaan dianostik patologi. Salah

melakukan pelabelan berpotensi menjadi bencana untuk pasien dan

terbukti menjadi salah satu penyebab error pada laboratorium. Perawat

sirkuler harus mengkonfirmasi dengan benar dari setiap spesimen

patologis yang diperoleh selama prosedur dengan membacakan secara

lisan nama pasien, deskripsi spesimen, dan setiap tanda berorientasi.

4. Konfirmasi masalah peralatan

Apakah ada masalah peralatan di kamar operasi yang bersifat

universal sehingga koordinator harus mengidentifikasi peralatan yang


bermasalah agar instrumen atau peralatan yang tidak berfungsi tidak

menganggu jalannya pembedahan di lain hari.

5. Ahli bedah, ahli anastesi, dan perawat meninjau rencana pemulihan dan

pengelolaan pasien

Sebelum pasien keluar dari ruang operasi maka anggota tim bedah

memberikan informasi tentang pasien kepada perawat yang bertanggung

jawab di ruang pemulihan (recovery room), tujuan dari langkah ini adalah

transfer efisien dan tepat informasi penting untuk seluruh tim.

Dengan langkah terakhir ini, Checklist WHO selesai, jika diinginkan

Checklist dapat ditempatkan dalam catatan pasien atau perlu dipertahankan untuk

kualitas ulasan jaminan

2.1.2 Dasar Hukum Surgical Safety Checklist

1. Rekomendasi WHO (World Health Organization) tentang Patient Safety

dan Safe Surgical Saves Live

2. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1691/menkes/Per/VIII/2011 tentang

keselamatan pasien di rumah sakit yang tertuang dalam Bab IV Pasal 8

ayat 1 dan 2 yang isinya adalah :

1). Setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran

keselamatan pasien

2). Sasaran keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat 1

meliputi :

a. ketepatan identifikasi pasien

b. peningkatan komunikasi yang efektif

c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai


d. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat

pasien operasi

e. Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

f. Pengurangan resiko pasien jatuh

2.1 Kepatuhan Perawat

Kepatuhan perawat adalah perilaku perawat sebagai seorang yang profesional

terhadap suatu anjuran, prosedur atau peraturan yang harus dilakukan atau ditaati.

(Ulum & Wulandari, 2013). Menurut Bastable dalam Warsono (2013), kepatuhan

adalah istilah untuk menjelaskan mengenai ketaatan atau pasrah pada tujuan
yang telah ditentukan. Kepatuhan pada program kesehatan adalah perilaku

yang dapat diamati dan dengan begitu dapat langsung diukur.

Menurut Wursanto dalam Warsono (2013), kepatuhan berkaitan dengan

disiplin yang secara etimologi dalam bahasa latin “disipel” yang berarti pengikut.

Dalam perkembangannya mengalami perubahan menjadi “disipline” yang berarti

kepatuhan atau yang membuat tata tertib. Kepatuhan berkaitan dengan disiplin kerja

yaitu suatus sikap ketaatan seseorang terhadap aturan atau ketentuan yang berlaku

dalam organisasi, yaitu : menggabungkan diri dalam organisasi itu atas dasar

keinsyafan, bukan unsur paksaan.

1. Faktor-Faktor Kepatuhan Perawat

Faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat, yaitu (Ulfa &

Sarzuli, 2016):

Faktor Internal :

a. Usia

Semakin cukup usia seseorang maka tingkat kematangan dan kekuatan

seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Semakin dewasa

seseorang, maka cara berfikir semakin matang dan teratur melakukan suatu

tindakan. Sehingga semakin matang usia perawat diharapkan dapat meningkatkan

kinerja, dan dapat menyalurkan pengetahuan dan


pengalamannya untuk meningkatkan pelayanan kepada pasien rumah sakit

(Ulfa & Sarzuli, 2016).

b. Jenis Kelamin

Perbedaan nilai dan sifat berdasarkan jenis kelamin ini akan mempengaruhi

pria dan wanita dalam membuat keputusan dan praktik. Para pria akan bersaing

untuk mencapai kesuksesan dan lebih cenderung melanggar peraturan yang ada

karena mereka memandang pencapaian prestasi sebagai suatu persaingan.

Berkebalikan dengan pria yang mementingkan kesuksesan akhir atau relative

performance, para wanita lebih mementingkan self performance. Wanita akan lebih

menitikberatkan pada pelaksanaan tugas dengan baik dan hubungan kerja yang

harmonis, sehingga wanita akan lebih patuh terhadap peraturan yang ada (Ulfa &

Sarzuli, 2016).

c. Masa kerja

Pengalaman atau masa kerja adalah keseluruhan pelajaran yang diperoleh

seseorang dari peristiwa yang dialami selama perjalanan kerja. Semakin lama

seseorang bekerja dalam satu bidang maka semakin terampil seseorang dalam

pekerjaannya. (Ulfa & Sarzuli, 2016).

Masa kerja lama di ruang bedah dapat memiliki pengalaman yang sangat

besar dan bermanfaat dalam menentukan hasil pembedahan, terutama bagi yang

bertugas di kamar pembedahan


khusus seperti perawat instrumen bedah syaraf, bedah jantung, bedah

onkologi dan lain-lainnya (Warsono, 2013).

d. Pengetahuan

Menurut Notoatmojo (2011) dalam Warsono (2013), pengetahuan

merupakan hasil tahu dan ini merupakan kejadian setelah orang melakukan

pengindraan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman dan penelitian terbukti

bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku

yang tidak didasari pada pengetahuan.

Sebuah penelitian menyatakan bahwa perilaku seseorang itu didasari oleh

pengetahuan yang diketahuinya, semakin banyak pengetahuan seseorang maka

perilakunya lebih baik dari pada seseorang yang pengetahuannya sedikit.

Pengetahuan seseorang bisa didapatkan dari pendidikan formal, nonformal, dan

juga dari pengalaman seseorang (sesuatu yang pernah dialami seseorang tentang

sesuatu hal) (Ulfa & Sarzuli, 2016).

e. Sikap

Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan terhadap suatu objek.

Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap

stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari - hari merupakan reaksi yang bersifat

emosional terhadap stimulus sosial. Seseorang akan cenderung


bersikap positif jika memilki pengetahuan dan faktor eksternal yang

mendukung orang tersebut (Ulfa & Sarzuli, 2016).

Faktor Eksternal :

a. Karakteristik Kelompok

Persepsi perawat terhadap pekerjaannya meliputi lingkungan kerja yang

baik, anggota kelompok atau tim yang kompak dalam melaksanakan pekerjaan, yang

mendorong perawat merasa tertantang dengan lingkungan pekerjaan saat ini.

Persepsi perawat pelaksana dalam melihat pekerjaan dan lingkungannnya dapat

memberikan dampak bagi kinerja yang ditunjukkan perawat dalam memberikan

pelayanan keperawatan. Kinerja perawat dipengaruhi secara bersama-sama oleh

kepuasan kerja dan persepsi perawat tentang kepemimpinan. Karakteristik

kelompok dapat dinilai dalam tiga aspek yaitu dalam kesempatan pengembangan

diri dengan adanya karakter dalam suatu kelompok yang berbeda, hubungan antar

teman yang memungkinkan terbentuknya sebuah karakterdan baik buruknya kerja

sama dalam suatu kelompok (Ulfa & Sarzuli, 2016).

b. Lingkungan kerja

Lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan

pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau

kelompok. Lingkungan
kerja yang baik bagi seorang perawat sangatlah penting misalnya

membangun dukungan sosial dari pimpinan rumah sakit, kepala perawat, perawat itu

sendiri dan teman-teman sejawat. Lingkungan yang harmonis dan positif akan

membawa dampak yang positif pula pada kinerja perawat, kebalikannya lingkungan

negatif akan membawa dampak buruk pada proses pemberian pelayanan asuhan

keperawatan (Ulfa & Sarzuli, 2016).

Seseorang cenderung berperilaku sama dengan rekan atau sesama dalam

lingkungan sosialnya. Orang cenderung bersama sesuai dengan kelompok sosialnya

misalnya Usia, jenis kelamin, ras, agama, hobi, pekerjaan cenderung bertindak dan

berperilaku seperti anggota dari kelompok tersebut. Menurut Encina, salah satu

faktor penyebab ketidakpatuhan adalah kehadiran atau keberadaan rekan yang

menolak untuk patuh. Menurut Fernald, Lingkungan yang tidak patuh akan

memudahkan seseorang untuk berbuat ketidakpatuhan sehingga sama dengan

lingkungannya meskipun kepatuhan adalah sesuatu yang penting (Ulum &

Wulandari, 2013). Menurut Pratama (2016) indikator lingkungan kerja yaitu sebagai

berikut:

1) Suasana kerja

Suasana kerja adalah kondisi yang ada disekitar karyawan yang sedang

melakukan pekerjaan yang dapat


memengaruhi pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Suasana kerja ini akan

meliputi tempat kerja, fasilitas dan alat bantu pekerjaan, kebersihan, pencahayaan,

ketenangan termasuk juga hubungan kerja antara orang-orang yang ada ditempat

tersebut.

2) Hubungan dengan rekan kerja

Hubungan dengan rekan kerja yaitu hubungan dengan rekan kerja harmonis

dan tanpa ada saling intrik diantara sesama rekan sekerja. Salah satu faktor yang

dapat memengaruhi karyawan tetap tinggal dalam satu organisasi adalah adanya

hubungan yang harmonis diantara rekan kerja.

3) Hubungan antara bawahan dengan pimpinan

Hubungan antara karyawan dengan pimpinan yaitu hubungan dengan

karyawan yang baik dan harmonis dengan pimpinan tempat kerja. Hubungan yang

baik dan harmonis dengan pimpinan tempat kerja merupakan faktor penting yang

dapat memengaruhi kinerja karyawan.

4) Tersedianya fasilitas kerja

Hal ini dimaksudkan bahwa peralatan yang digunakan untuk mendukung

kelancaran kerja lengkap/mutakhir. Tersedianya fasilitas kerja yang lengkap,

walaupun tidak baru merupakan salah satu penunjang proses dalam bekerja.
c. Beban Kerja

Faktor beban kerja terdiri dari quantitative workload, qualitative workload

dan workload variability. Beban kerja dapat mempengaruhi stres kerja karyawan

selain itu juga dapat mempengaruhi pelayanan kepada pasien serta keselamatan

pasien sehingga kinerja perawat menjadi rendah. (Ulfa & Sarzuli, 2016).

Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya seorang karyawan akan

dihadapkan kepada banyak problem baik secara pribadi maupun dalam kelompok

kerjanya. Berbagai problem tersebut dapat berdampak secara psikologis atau fisik,

hal ini tergantung apa penyebab problem tersebut. Menghadapi problem dalam

pekerjaannya, seorang karyawan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya cara

menyelesaikan masalahnya. Ketangguhan dalam menghadapi masalah di bidang

pekerjaan pada umumnya diketahui melalui besar kecilnya beban kerja yang dialami

oleh seorang karyawan. Beban kerja dalam jumlah tertentu dapat mengarah ke

gagasan-gagasan yang inovatif dan keluaran konstruktif (Zuraida, 2013).

Beban kerja adalah reaksi individu terhadap kondisi lingkungan dan

pekerjaannya (Zuraida, 2013). Item beban kerja meliputi:


1) Kondisi psikologi karyawan dalam menjalankan tugas dan

kewajiban

2) Problem pribadi maupun kelompok dalam organisasi

3) Ketangguhan karyawan dalam menghadapi masalah

4) Kondisi struktur organisasional di perusahaan

5) Dorongan karyawan dalam mencapai prestasi

Menurut Nursalam (2015), beberapa hal yang perlu

dipertimbangkan dalam menentukan beban kerja perawat antara lain :

1) Jumlah pasien yang dirawat setiap hari/bulan /tahun di unit

tersebut.

2) Kondisi atau tingkat ketergantungan pasien.

3) Rata-rata hari perawatan

4) Pengukuan keperawatan langsung, perawatan tidak langsung

dan pendidikan kesehatan.

5) Frekuensi tindakan keperawatan yang dibutuhkan pasien

6) Rata-rata waktu perawatan langsung , tidak langsung dan

pendidikan kesehatan.
2.2 Konsep Keperawatan Perioperatif

Keperawatan perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan

pengalaman pembedahan pasien. Kata “perioperatif” adalah suatu istilah

gabungan yang mencakup tiga fase pengalaman pembedahan : praoperatif ,

intraoperatif, dan pasca operatif. Seperti yang diperlihtkan pada bab sebelumnya

tentang fase perioperatif , masing masing dari setiap fase ini dimulai dan berakhir

pada waktu tertentu dalam urutan peristiwa yang membentuk pengalaman bedah,

dan masing – masing mencakup rentang waktu perilaku dan aktifitas keperawatan

yang luas yang dilakukan oleh perawat denga menggunaan proses keperawatan

dan standart praktek keperawatan (Brunner&suddart;2002).


2.3 Kerangka Teori

Kerangka teori ini disusun dengan modifikasi konsep-konsep yang

diuraikan diatas. Adapun kerangka teori penelitiannya sebagai berikut:

Faktor Internal :

Usia
Jenis Kelamin
Persiapan Pengetahuan
Masa Kerja
Pre Operasi Sikap
Pre medikasi

Fase Sign In
Kepatuhan Pelaksanaan
Keperawatan Intra Prosedur Sesuai SOP
Perioperatif Operasi Fase Time Out

Fase Sign Out

Pasca Observasi
Operasi Pemulihan
Faktor Eksternal :

1. Karakteristik
Kelompok
2. Lingkungan Kerja
3. Beban Kerja

Gambar 1. Kerangka Teori Determinan Kepatuhan Perawat Terhadap Pelaksanaan


Prosedur Time Out Sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP)

Sumber : (Majid, dkk, 2011), (WHO,2009), (Hermawan, dkk, 2014), (Ulum & Wulandari, 2013),
(Warsono,2013), (Ulfa & Sarzuli, 2016),
2.4 Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Faktor- faktor yang


mempengaruhi :

Faktor Internal :

Usia
Jenis Kelamin
Pengetahuan
Masa Kerja Kepatuhan Pelaksanaan
Prosedur Sesuai SOP
Sikap Faktor Eksternal :
Karakteristik Kelompok pada fase Sign Out
Lingkungan Kerja
Beban Kerja

Gambar 2. Kerangka Konsep Determinan Kepatuhan Perawat Terhadap Pelaksanaan


Prosedur Time Out Sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP)

Sumber : (Majid, dkk, 2011), (WHO,2009), (Hermawan, dkk, 2014), (Ulum & Wulandari, 2013),
(Warsono,2013), (Ulfa & Sarzuli, 2016)
2.5 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan


dalam penelitian ini adalah

1. Usia perawat mempengaruhi kepatuhan


pelaksanaan prosedur

Sign Out sesuai SOP

2. Jenis kelamin perawat mempengaruhi

kepatuhan pelaksanaan

prosedur Sign Out sesuai SOP.

3. Pengetahuan perawat mempengaruhi

kepatuhan pelaksanaan prosedur Sign

Out sesuai SOP.

4. Masa kerja perawat mempengaruhi

kepatuhan pelaksanaan prosedur Sign

Out sesuai SOP.

5. Sikap perawat mempengaruhi kepatuhan


pelaksanaan prosedur

Sign Out sesuai SOP.

6. Karakteristik kelompok perawat

mempengaruhi kepatuhan

pelaksanaan prosedur Sign Out sesuai

SOP.
7. Lingkungan kerja perawat

mempengaruhi kepatuhan pelaksanaan

prosedur Sign Out sesuai SOP.

8. Beban kerja di perawat mempengaruhi

kepatuhan pelaksanaan prosedur Sign

Out sesuai SOP.


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan

menggunakan pendekatan kuantitatif. Pada desain penelitian

deskriptif ini, peneliti tidak melakukan perlakuan atau intervensi

apapun terhadap variable penelitian. Data yang didapat berupa data

yang sudah ada sebelumnya maupun data yang dibuat kemudian tanpa

campur tangan peneliti (Jasaputra et al., 2008). Penelitian deskriptif

ini dimaksud untuk mendapatkan gambaran dan keterangan –

keterangan mengenai tingkat kepatuhan pengisian surgical safety

checklist sebelum dan sesudah akreditasi dilaksanakan.

B. Obyek Penelitian

Penelitian ini meneliti tentang kelengkapan pengisian surgery

safety checklist yang dikeluarkan oleh WHO. Obyek yang digunakan

pada penelitian ini adalah 75 surgical safety checklist di RSD dr

Soebandi Jember dengan kriteria sebagai berikut:


1. Surgical safety checklist pada pasien dengan tindakan operasi

pada bulan Juni tahun 2017, Agustus tahun 2017, Januari tahun

2018, Juli tahun 2018, dan Januari 2019.

2. Surgical safety checklist pada pasien yang mendapatkan tindakan

anestesi umum dan spinal.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh Karyawan Bedah di

RSD dr Soebandi Jember. Sedangkan sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Karyawan Instalasi Bedah Sentral yang menjalani

operasi yang disertai surgery safety checklist pada bulan Februari 2023,

Maret 2023, April 2023, Mei 2023 dan Juni 2023 masing – masing

sebanyak 15 sampel sehingga semua berjumlah 75 sampel.

D. Variabel Penelitian

Variabel bebas pada penelitian ini berupa akreditasi rumah sakit.

Akreditasi rumah sakit merupakan suatu penilaian sistematis dan

pengakuan yang dilakukan oleh pemerintah pada organisasi kesehatan

terhadap rumah sakit karena telah sesuai dengan standar yang


disyaratkan (Kusbaryanto, 2010). Akreditasi merupakan salah satu

alat untuk mengevaluasi pelaksanaan kinerja organisasi kesehatan.

Variabel terikat pada penelitian ini adalah kepatuhan surgical

safety checklist. Indikator untuk mengukur kepatuhan surgical safety

checklist yaitu melakukan pelaksanaan surgical safety checklist saat

sign in, time out, dan sign out.

1. Sign In (sebelum induksi anestesi)

a. Konfirmasi identitas, lokasi operasi, prosedur operasi,

dan inform consent (persetujuan tindakan medis).

b. Tanda lokasi operasi.

c. Keamanan mesin dan obat anestesi.

d. Pulse oximetry.

e. Riwayat alergi pasien.

f. Risiko aspirasi dan kesulitan jalan nafas pasien.

g. Risiko kehilangan darah >500ml.

2. Time Out (Sebelum Sayatan Kulit)

a. Operator memastikan identitas pasien, lokasi, dan

prosedur operasi.

b. Apakah antibiotik profilaksis telah diberikan?

c. Antisipasi kejadian kritis.


d. Adakah langkah – langkah kritis atau yang tidak diharapkan,

durasi operasi, dan antisipasi kehilangan darah.

e. Apakah pasien mempunyai pertimbangan khusus tertentu.

f. Apakah sterilisasi telah dikonfirmasi dan apakah

ada pemberitahuan mengenai peralatan atau yang

lain.

g. Penempatan pencitraan untuk diagnostik.

3. Sign Out (Sebelum Pasien Meninggalkan Ruang Operasi)

a. Perawat melakukan konfirmasi secara verbal dengan

tim mengenai nama prosedur yang telah dilakukan.

b. Perhitungan instrument, jarum, dan kassa.

c. Jika ada specimen harus dilakukan pelabelan.

d. Permasalahan berbagai peralatan.

e. Pemeriksaan keselamatan pada tahap akhir

sebelum mengeluarkan pasien dari ruang operasi.

E. Definisi Operasional

1. Akreditasi

Akreditasi rumah sakit merupakan suatu penilaian sistematis

dan pengakuan yang dilakukan oleh pemerintah pada organisasi

kesehatan terhadap rumah sakit karena telah sesuai dengan standar

yang disyaratkan (Kusbaryanto, 2010). Akreditasi merupakan

salah
satu alat untuk mengevaluasi pelaksanaan kinerja organisasi

kesehatan. Selain itu, akreditasi juga merupakan salah satu

program untuk meningkatkan mutu eksternal organisasi

kesehatan. Penyelenggara menggunakan instrumen akreditasi

sebagai alat ukur untuk menilai suatu rumah sakit dalam

memenuhi standar pelayanan rumah sakit (Kemenkes RI, 2012).

Berdasarkan Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 yang

menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh

pelayanan kesehatan yang bermutu, sehingga dalam hal tersebut

pemerintah menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan. Untuk

mewujudkannya maka upaya yang dapat dilakukan oleh rumah

sakit untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan adalah

dengan melaksanakan akreditasi rumah sakit secara berkala

minimal tiga tahun sekali (Presiden RI, 2009).

Variabel ini diukur dengan cara telaah dokumen yang

kemudian memberi hasil berupa data nominal yaitu sebelum

penerapan akreditasi dan setelah akreditasi.

2. Surgical Safety Checklist

Surgical safety checklist adalah sebuah alat berupa checklist

resmi yang diriliskan oleh WHO pada tahun 2008 untuk menilai

yang memuat tiga tahapan yaitu, tahapan sebelum induksi anestesi


yang terdiri dari tujuh pertanyaan, sebelum insisi kulit yang terdiri

dari tujuh pertanyaan, dan sebelum pasien meninggalkan kamar

operasi yang terdiri dari lima pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan

yang ada terkait dengan apa yang dilakukan oleh dokter bedah

atau operator operasi, dokter anestesi, dan tim perawat. Penilaian

yang dilakukan untuk variabel ini yaitu dengan cara telaah

dokumen surgical safety checklist dengan hasil berupa data

kategorik nominal yaitu lengkap dan tidak lengkap. Lengkap

apabila memenuhi semua item yang ada, dan tidak lengkap apabila

tidak memenuhi salah satu atau lebih item yang ada.

F. Instrumen Penelitian

1. Surgical Safety Checklist

Penelitian ini menggunakan instrumen surgical safety checklist

WHO 2009 yang telah diterjemahkan dan diadopsi ke dalam

Bahasa Indonesia. Surgical safety checklist ini dibagi menjadi 3

tahapan prosedur verifikasi, yaitu verifikasi dokumen pra operasi

(sign in), memberi tanda pada tempat operasi, dan melakukan

pemeriksaan singkat (time out) sesaat sebelum operasi dimulai

(Pinzon, 2007). Ketiga tahapan tersebut harus dilakukan dan diisi

dengan lengkap karena bertujuan untuk meningkatkan budaya safe


surgery di instalasi bedah sentral (IBS). Seluruh poin yang ada

pada checklist ini, terutama pada fase sign in, harus diisi, jika tidak

diisi atua tidak lengkap makan poin 0, jika diisi atau lengkap maka

mendapatkan poin 1. Menurut hasil poin yang diperoleh dari

pengisian checklist tersebut, apabila seluruh poin dalam setiap

tahap diisi 100% maka dapat dikatakan patuh.


Gambar 3. 3. Surgical Safety Checklist yang Diadopsi di RSD dr Soebandi
Jember

G. Tahapan Penelitian

1. Tahap Perencanaan

a. Mengurus surat ijin penelitian berupa surat pengantar

permohonan ijin dari program Strata satu RSD dr Soebandi

Jember

b. Meminta ijin untuk penelitian kepada direktur RSD dr Soebandi


Jember.

cek list time out

c. Mempersiapkan checklist sebagai alat penelitian pelaksanaan

surgical safety checklist dari WHO, yang kemudian

didiskusikan dengan pembimbing penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan
Melakukan penilaian kelengkapan pengisian surgical safety checklist dengan

cara telaah dokumen surgical safety checklist.

3. Tahapan terakhir yaitu setelah didapatkan data, maka dilakukan

penyusunan laporan berupa hasil dan pembahasan serta penarikan

kesimpulan.

H. Analisis Data

Analisis data kuantitatif dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Pengolahan data melalui tahapan pengumpulan data yang diperoleh,

kemudian mengelompokkan data.

2. Rekapan data yang diperoleh dari surgical safety checklist disajikan dalam

bentuk tabel kemudian dideskripsikan dalam bentuk naratif

3. Penarikan kesimpulan hasil penelitian dengan membandingkan pertanyaan

penelitian dengan hasil penelitian yang sebelumnya maupun teori – teori

yang ada di dalam literatur.

I. Etika Penelitian

Sebelum penelitian ini dilakukan, peneliti sudah mendapatkan persetujuan

dari pihak program Strata satu Universitas dr Soebandi Jember, ijin penelitian

dari pihak RSD dr Soebandi Jember, ijin dari kepala instalasi bedah sentral

RSD dr Soebandi Jember, dan ijin dari kepala bagian rekam medis RSD dr

Soebandi Jember.
55

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di ruang IBS RSD dr Soebandi Jember.

Ruang IBS mempunyai 12 kamar operasi dengan 12 kamar tidur. Tim operasi

rberjumlah 80 orang yang terdiri dari dokter spesialis bedah, dokter anestesi,

perawat anestesi dan perawat bedah. Jumlah kasus bedah di RSD dr Soebandi

Jember cukup tinggi dengan rata-rata 150 perbulan. Pada bulan November

2016 tercatat ada 163 kasus, bulan Desember 2016 tercatat 169 kasus dan

pada bulan Januari 2017 sampai dengan tanggal 14 tercatat 76 kasus.

Karakteristik Tim operasi dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin,

pendidikan dan lama kerja. Gambaran karakteristik tim operasi adalah

sebagian besar tim operasi adalah laki-laki yaitu 24 orang (80%), umur 41-50

tahun yaitu 17 orang (56,7%), berpendidikan S2 yaitu 1 orang

(46,7%) dan lama bekerja 11-15 tahun yaitu 9 orang (30%). Dati 30 anggota

tim operasi dikelompokkan menjadi 4 kelompok (masing-masing 7 orang)

terdiri dari dokter spesialis bedah, dokter anestesi, asisten, instrumentator,

perawat anestesi dan dua perawat on loop. Sedangkan 2 orang sisanya lagi

sebagai cadangan bilamana diperlukan.

Proses pelaksanaan oeprasi di RSD dr Soebandi Jember dimulai dari

serah terima antara perawat anestesi dengan perawat ruangan saat pasien

masuk OK. Tindakan operasi dimulai dengan pemeriksaan status dan

identitas pasien, pemeriksaan hasil laboratorium dan pemeriksaan penunjang

lainnya. Kemudian dilakukan sign in oleh perawat anestesi dan dokter

anestesi.

55
Pemeriksaan dimulai dengan teknik regional anestesi (RA) atau general

anestesi (GA), kemudian pasien dibaringkan di meja operasi. Kemudian

dilakukan sitemark pada daerah yang akan dilakukan operasi lalu ditutupi

kain steril, semua tim operasi siap melakukan operasi. Sebelum dilakukan

insisi, dilakukan time out oleh perawat dan dokter bedah. Setelah operasi

berjalan kurang lebih 1 jam, sebelum luka ditutup atau sebelum pasien keluar

dilakukan sign out oleh perawat anestesi, dokter anestesi dan operator.

1. Pelaksanaan Operasi di IBS RSD dr Soebandi Jember

Tabel 2
Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Operasi di IBS RSD dr Soebandi Jember
No. Pelaksanaan Operasi Frekuensi Persentase (%)
1. Elektif 36 55.4
2. Emergency 29 44.6
Total 65 100.0
Sumber : Data Primer 2016

Tabel 2 memperlihatkan bahwa pelaksanaan operasi elektif lebih

banyak yaitu 36 kegiatan operasi (55,4%) dibandingkan pelaksanaan

operasi emergensi yaitu 29 kegiatan operasi (44,6%).

2. Tindakan Operasi di IBS RSD dr Soebandi Jember

Tabel 3
Distribusi Frekuensi Tindakan Operasi di IBS RSD dr Soebandi Jember

No. Tindakan Operasi Frekuensi Persentase (%)


1. App 2 3,1
2. Kistektomi 1 1,5
3. Laparascopi 1 1,5
4. Miomektomi 2 3,1
5. SC 55 84,6
6. Sircumsisi 1 1,5
7. TAH 3 4,6
Total 65 100.0
Sumber : Data Primer 2016
Tabel 3 memperlihatkan bahwa tindakan operasi yang paling banyak

dilakukan adalah SC yaitu 55 kegiatan operasi (85,6%) sedangkan

tindakan yang paling sedikit dilakukan adalah kistektomi, laparascopi dan

sircumsisi yaitu masing-masing 1 kegiatan operasi (1,5%).

1. Hubungan pelaksanaan operasi dengan Kepatuhan tim operasi dalam


menerapkan Surgical safety checklist fase sign in di IBS RSD dr Soebandi
Jember

Tabel 4
Tabulasi Silang Hubungan Pelaksanaan Operasi Dengan Kepatuhan Tim
Operasi Dalam Menerapkan Surgical Safety Checklist Fase Sign In

di IBS RSD dr Soebandi Jember 2017

No. Kepatuhan Patuh Tidak patuh Chi square


f % f % P value
1. Elektif 10 15,4 26 40 0,122
2. Emergensi 14 21,5 15 23,1
Total 24 36,9 41 63,1
Sumber : Data Primer 2016

Tabel 4 memperlihatkan bahwa pada operasi elektif sebagian besar

tim operasi tidak patuh dalam menerapkan Surgical safety checklist fase

sign in sebanyak 26 (40%), sedangkan pada operasi emergensi sebagian

besar tidak patuh dalam menerapkan Surgical safety checklist fase sign in

sebanyak 15 kegiatan operasi (23,1%).

Hasil uji chi square didapat signifikansi (p) 0,122 sehingga dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan Pelaksanaan Operasi dengan

Kepatuhan Tim operasi Dalam Penerapan Surgical safety checklist fase

Sign in di IBS RSD dr Soebandi Jember.


2. Hubungan pelaksanaan operasi dengan Kepatuhan tim operasi dalam
menerapkan Surgical safety checklist fase time out di IBS RSD dr
Soebandi Jember

Tabel 5
Tabulasi Silang Hubungan Pelaksanaan Operasi Dengan Kepatuhan Tim
Operasi Dalam Menerapkan Surgical Safety Checklist Fase Time Out di IBS
RSD dr Soebandi Jember 2017

No. Kepatuhan Patuh Tidak patuh Chi square


f % f % P value
1. Elektif 6 9,2 30 46,2 0,147
2. Emergensi 10 15,4 19 29,2
Total 16 24,6 49 75,4
Sumber : Data Primer 2016

Tabel 5 memperlihatkan bahwa pada operasi elektif sebagian besar

tim operasi tidak patuh dalam menerapkan Surgical safety checklist fase

time out sebanyak 30 (46,2%), sedangkan pada emergensi juga sebagian

besar tidak patuh dalam menerapkan Surgical safety checklist fase time

out sebanyak 19 kegiatan operasi (29,2%).

Hasil uji chi square didapat signifikansi (p) 0,147 sehingga dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan Pelaksanaan Operasi dengan

Kepatuhan Tim operasi Dalam Penerapan Surgical safety checklist fase

time out di IBS RSD dr Soebandi Jember.


3. Hubungan pelaksanaan operasi dengan Kepatuhan tim operasi dalam
menerapkan Surgical safety checklist fase sign out di IBS RSD dr
Soebandi Jember

Tabel 6
Tabulasi Silang Hubungan Pelaksanaan Operasi Dengan Kepatuhan Tim
Operasi Dalam Menerapkan Surgical Safety Checklist Fase Sign Out di IBS
RSD dr Soebandi Jember 2017

No. Kepatuhan Patuh Tidak patuh Chi square


f % F % P value
1. Elektif 5 7,7 31 47,7 0,011
2. Emergensi 13 20 16 24,6
Total 18 27,7 47 72,3
Sumber : Data Primer 2016

Tabel 6 memperlihatkan bahwa pada operasi elektif sebagian besar

tim operasi tidak patuh dalam menerapkan Surgical safety checklist fase

sign out sebanyak 31 (47,7%), sedangkan pada emergensi juga sebagian

besar patuh dalam menerapkan Surgical safety checklist fase sign out

sebanyak 13 kegiatan operasi (20%).

Hasil uji chi square didapat signifikansi (p) 0,011 sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan Pelaksanaan Operasi dengan

Kepatuhan Tim operasi Dalam Penerapan Surgical safety checklist fase

Sign out di IBS RSD dr Soebandi Jember.


4. Hubungan Pelaksanaan Operasi dengan Kepatuhan Tim operasi Dalam
Penerapan Surgical safety checklist di IBS RSD dr Soebandi Jember

Tabel 7
Tabulasi Silang Hubungan Pelaksanaan Operasi dengan Kepatuhan Tim
Operasi Dalam Penerapan Surgical Safety Checklist di IBS RSD dr
Soebandi Jember

No. Pelaksanaan Kepatuhan Surgical safety Chi square


Operasi checklist
Patuh Tidak patuh
F % F % P value
1. Elektif 4 6,2 32 49,2 0,114
2. Emergensi 8 12,3 21 32,3
Total 12 18,5 53 81,5
Sumber : Data Primer 2016

Tabel 7 memperlihatkan bahwa sebagian besar tim operasi tidak

patuh dalam penerapan Surgical safety checklist yaitu 32 kegiatan operasi

(49,2%) untuk pelaksanaan operasi elektif dan 21 kegiatan operasi (32,2%)

untuk pelaksanaan operasi emergency. Tim operasi yang patuh

menerapkan Surgical safety checklist sebanyak 8 kegiatan operasi (12,3%)

untuk pelaksanaan operasi emergency dan 4 kegiatan operasi (6,2%) untuk

pelaksanaan operasi elektif.

Hasil uji chi square didapat signifikansi (p) 0,114 sehingga dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan Pelaksanaan Operasi dengan

Kepatuhan Tim operasi Dalam Penerapan Surgical safety checklist di IBS

RSD dr Soebandi Jember.


B. Pembahasan

1. Pelaksanaan Operasi di IBS RSD dr Soebandi Jember

Tabel 2 memperlihatkan bahwa pelaksanaan operasi elektif lebih

banyak yaitu 36 kegiatan operasi (55,4%) dibandingkan pelaksanaan

operasi emergensi yaitu 29 kegiatan operasi (44,6%).

Operasi merupakan tindakan yang paling singkat dari rangkaian

perawatan pasien bedah, tetapi yang paling berpengaruh terhadap hasil

akhir perawatan sebagaimana dinyatakan oleh Brunner & Sudarth (2010).

Sedangkan operasi elektif merupakan pembedahan yang dilakukan ketika

diperlukan dan kalau tidak dilakukan juga tidak terlalu membahayakan

nyawa.

Tindakan operasi yang paling banyak dilakukan diRSD dr Soebandi

Jemberadalah bedah elektif. Hal ini sangat mungkin terjadi karena SKIA

Sadewa sebagai rumah sakit yang khusus menangani ibu dan anak

terutama persalinan ibu. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa

tindakan operasi yang paling banyak dilakukan adalah SC yaitu 55

kegiatan operasi (85,6%) seperti diperlihatkan tabel 4.

Menurut Muttaqim dan Sari (2009) bedah elektif dikerjakan pada

waktu yang cocok bagi pasien serta tim operasi. Dokter akan menjelaskan

operasi yang dimaksud selama konsultasi rawat-jalan dengan rincian

mengenai manfaat dan risiko operasi. Tenggang waktu dari konsultasi

rawat-jalan sampai masuk RS bervariasi dari beberapa hari sampai

berbulan-bulan. Penyelidikan dan penilaian masalah-masalah medis diatasi


pada tahap ini, termasuk rujukan ke spesialis yang relevan. Pengaturan

fase ini bervariasi menurut rumah sakit dan dokter bedahnya. Bedah elektif

pada pasien dengan penyakit dalam menahun sebaiknya hanya dikerjakan

bila kondisi medis telah dioptimalkan dan risiko minimal.

Pada penelitian ini juga didapatkan pelaksanaan operasi emergensi

yaitu 29 kegiatan operasi (44,6%). Tindakan emergency dilakukan apabila

kondisi pasien mendesak untuk segera dilakukan operasi karena

membahayakan nyawa. Tindakan pembedahan emergensi yang dilakukan

tim operasi RSD dr Soebandi Jember lebih banyak dilakukan pada pasien

SC mengingat bahwa sebagian besar tindakan yang dilakukan adalah

tindakan SC.

Muttaqim dan Sari (2009) menjelaskan pasien emergensi memiliki

mortalitas dan morbiditas lebih tinggi, terutama jika disertai hipovolemia,

penyakit jantung, masalah pernapasan atau kemunduran fungsi ginjal.

Dengan waktu yang tersedia sebelum operasi, setiap kelainan

kardiovaskular dan respiratorik harus didiagnosis dan diobati segera.

Kontak dini dengan spesialis anestesi akan menghasilkan rencana tindakan

untuk periode pra bedah. Setelah diskusi, operasi kadang-kadang

dianjurkan untuk ditunda untuk memungkinkan pengobatan medis

memperbaiki keadaan umum pasien.

2. Kepatuhan tim operasi dalam menerapkan Surgical safety checklist fase


sign in di IBS RSD dr Soebandi Jember

Tabel 4 memperlihatkan bahwa pada operasi elektif sebagian besar

tim operasi tidak patuh dalam menerapkan Surgical safety checklist

fase
sign in sebanyak 26 (40%), sedangkan pada operasi emergensi sebagian

besar tidak patuh dalam menerapkan Surgical safety checklist fase sign in

sebanyak 15 kegiatan operasi (23,1%).

Hasil uji chi square didapat signifikansi (p) 0,122 sehingga dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan Pelaksanaan Operasi dengan

Kepatuhan Tim operasi Dalam Penerapan Surgical safety checklist fase

Sign in di IBS RSD dr Soebandi Jember.

Menurut Tamsuri (2006) surgical patient safety fase sign in

merupakan tahapan awal dari tindakan perioperatif. Persiapan pre operasi

penting sekali untuk memperkecil risiko operasi, karena hasil akhir suatu

pembedahan sangat tergantung pada pengkajian fase ini. Hal ini

disebabkan karena pada fase ini merupakan awalan yang menjadi tolok

ukur kesuksesan pada tahap-tahapan selanjutnya dan untuk menjamin

keselamatan pasien intra operatif. Seseorang yang memiliki motivasi

tinggi maka tingkat kepatuhannya akan meningkat dan jika motivasian

rendah maka tingkat kepatuhannya semakin rendah.

Pada fase sign in, tim operasi melakukan memeriksa kesiapan

pasien, informed consent, site marking, persediaan darah, waktu makan

dan minum terakhir, risiko aspirasi, pelepasan perhiasan, tambahan

informasi dan jam verifikasi. Fase sign in dimaksudkan untuk memastikan

kesiapan pasien dan peralatan yang digunakan untuk melakukan operasi.

Tindakan tim operasi sesuai dengan prosedur operasi sign in yang

ditetapkan oleh WHO. Menurut WHO 2008 menyebutkan bahwa fase sign
in adalah fase sebelum induksi anestesi dimana koordinator secara verbal

memeriksa apakah identitas pasien telah di konfirmasi, prosedur dan sisi

operasi sudah benar, sisi yang akan di operasi telah ditandai, persetujuan

untuk operasi telah diberikan, pulse oximeter pada pasien berfungsi.

Koordinator dengan profesional anestesi mengkonfirmasi risiko pasien

apakah pasien ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, atau

reaksi alergi.

Dari hasil penelitian tentang kepatuhan tim operasi dalam penerapan

surgical patient safety pada operasi di RSD dr Soebandi Jember, dapat

disimpulkan bahwa tim operasi RSD dr Soebandi Jember tidak patuh

dalam menerapkan surgical patient safety fase sign in yang terdiri dari

mengkonfimasi identitas pasien, konfirmasi lokasi insisi, pengecekan

mesin anestesi dan obat-obatan, konfirmasi apakah pasien mempunyai

riwayat alergi, konfirmasi apakah pasien ada kesulitan bernafas/resiko

aspirasi dan penggunaan alat bantu nafas,konfirmasi resiko

kehilangan darah dan konfimasi akses

intravena/rencana terapi cairan. Menurut Tamsuri (2007) pada fase sign in

merupakan awalan yang menjadi tolok ukur kesuksesan pada tahap-

tahapan selanjutnya dan untuk menjamin keselamatan pasien intra operatif.

Ketidakpatuhan tim operasi untuk menerapkan sign in dapat

dipengaruhi oleh kondisi tim operasi yang capek karena banyaknya operasi

yang harus ditangani. Kondisi tersebut mempengaruhi motivasi tim operasi

untuk mengisi lembar sign in dengan lengkap. Menurut Notoatmodjo

(2010) salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah motivasi.


Motivasi pada dasarnya merupakan interaksi seseorang dengan situasi

tertentu yang dihadapinya, jadi motivasi adalah suatu alasan seseorang

untuk bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

3. Kepatuhan tim operasi dalam menerapkan Surgical safety checklist fase


time out di IBS RSD dr Soebandi Jember.

Tabel 5 memperlihatkan bahwa pada operasi elektif sebagian besar

tim operasi tidak patuh dalam menerapkan Surgical safety checklist fase

time out sebanyak 30 (46,2%), sedangkan pada emergensi juga sebagian

besar tidak patuh dalam menerapkan Surgical safety checklist fase time

out sebanyak 19 kegiatan operasi (29,2%).

Hasil uji chi square didapat signifikansi (p) 0,147 sehingga dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan Pelaksanaan Operasi dengan

Kepatuhan Tim operasi Dalam Penerapan Surgical safety checklist fase

time out di IBS RSD dr Soebandi Jember.

Menurut WHO (2008) surgical patient safety fase time out

merupakan perpanjangan waktu untuk komunikasi antar tim operasi

sehingga petugas kamar operasi lebih percaya diri dan siap untuk operasi.

Fase time out adalah pemberian pelayanan pembedahan yang aman pada

periode setelah induksi dan sebelum bedah sayatan dimulai.

Tindakan yang dilakukan tim operasi pada fase time out meliputi

pemeriksaan identitas tim operasi, konfirmasi dokter operastor, dokter

anestesi dan perawat IBS, konfirmasi dokter operator dan dokter anestesi,

konfirmasi perawat instrumentator dan jam verifikasi. Pada fase ini tim

operasi saling memperkenalkan diri untuk memastikan bahwa tim operasi


yang benar-benar orang yang berkompeten dibidangkan sehingga dapat

mengurangi risiko operasi. Tindakan tim operasi sesuai dengan pendapat

WHO (2008) yang menyebutkan bahwa fase time out merupakan fase

dimana setiap tim operasi memperkenalkan diri dan fungsinya masing-

masing dalam operasi tersebut, dan memastikan bahwa setiap anggota tim

saling mengenal.

Dari hasil penelitian tentang kepatuhan tim operasi dalam penerapan

surgical patient safety pada operasi di RSD dr Soebandi Jember, dapat

disimpulkan bahwa tim operasi RSD dr Soebandi Jember tidak patuh

dalam menerapkan surgical patient safety fase time out yang terdiri dari

tim operasi memperkenalkan diri dan perannya, tim operasi konfirmasi

identitas pasien dan lokasi sayatan, ahli anestesi mengkonfirmasi

pemberian antibiotik profilaksis, konfirmasi adanya keadaan kritis, foto

rontgen ditampilkan di kamar operasi.

Hasil uji chi square disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

Pelaksanaan Operasi dengan Kepatuhan Tim operasi Dalam Penerapan

Surgical safety checklist fase time out di IBS RSD dr Soebandi Jember.

Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Suharyanto (2011) yang menyebutkan terdapat hubungan yang bermakna

antara time out dengan pasient safety.

Ketidakpatuhan tim operasi dalam menerapkan surgical patient

safety fase time out dapat disebabkan karena adanya kebanyakan tim

operasi masih berusia produktif sehingga belum memiliki pengalaman


dalam menerapkan surgical patient safety fase time out. Menurut

Notoatmodjo (2010) usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan

sampai saat akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan

bekerja. Dari segi kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih

dipercaya dari pada orang yang belum cukup tinggi tingkat

kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan

jiwanya. Semakin dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin matang

dan teratur dalam melakukan suatu tindakan.

4. Kepatuhan tim operasi dalam menerapkan Surgical safety checklist fase


sign out di IBS RSD dr Soebandi Jember.

Tabel 6 memperlihatkan bahwa pada operasi elektif sebagian besar

tim operasi tidak patuh dalam menerapkan Surgical safety checklist fase

sign out sebanyak 31 (47,7%), sedangkan pada emergensi juga sebagian

besar patuh dalam menerapkan Surgical safety checklist fase sign out

sebanyak 13 kegiatan operasi (20%).

Hasil uji chi square didapat signifikansi (p) 0,011 sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan Pelaksanaan Operasi dengan

Kepatuhan Tim operasi Dalam Penerapan Surgical safety checklist fase

Sign out di IBS RSD dr Soebandi Jember.

Surgical patient safety fase sign out merupakan tahap akhir yang

dilakukan saat penutupan luka operasi atau sesegera mungkin setelah

penutupan luka sebelum pasien dikeluarkan dari kamar operasi. Dampak

dari tidak dilaksanakannya prosedur ini menyebabkan medical error dalam


memberikan pelayanan kesehatan, mulai dari yang ringan hingga yang

berat berupa kecacatan atau bahkan kematian.

Tindakan yang dilakukan tim operasi pada fase sign out meliputi

jenis tindakan, kelengkapan instrumen, kasa dan jarum tersedia, specimen

(produk operasi), masalah dengan peralatan, kabelisasi produk operasi,

perhatian khusus pengelola, jam verifikasi dan tim operasi tanda tangan.

Tindakan tim operasi ini sesuai dengan pedoman sign out dari WHO

(2008) yang menyebutkan fase sign out adalah fase dimana tim operasi

akan meninjau operasi yang telah dilakukan. Dilakukan pengecekan

kelengkapan kasa, penghitungan instrumen, pemberian label pada

spesimen, kerusakan alat atau masalah lain yang perlu ditangani. Langkah

akhir yang dilakukan tim operasi adalah rencana tindak lanjut dan

memusatkan perhatian pada manajemen post operasi serta pemulihan

sebelum memindahkan pasien dari kamar operasi.

Menurut WHO (2008) perawatan post operasi merupakan hal yang

penting dan wajib dilakukan, mengingat pasien masih dalam pengaruh

obat-obatan dan mengalami trauma fisik. Meninjau ulang perawatan post

operasi dan rencana pemulihan perawatan selanjutnya, berfokus pada

resiko yang mungkin terjadi pada pasien. Tujuan dari langkah ini adalah

meningkatkan keselamatan pasien yang meliputi perawatan yang harus

diberikan pada pasien post operasi. Tim operasi harus berdiskusi terkait

dengan informasi perawatan lanjutan pada pasien.


Dari hasil penelitian tentang kepatuhan tim operasi dalam penerapan

surgical patient safety pada operasi bedah mayor di Instalasi Bedah Sentral

RSD kalisat, dapat disimpulkan bahwa tim operasi RSD dr Soebandi

Jembermayoritas patuh dalam menerapkan surgical patient safety fase sign

out yang terdiri dari konfirmasi pencatatan prosedur operasi, pelabelan

spesimen, konfirmasi apakah ada masalah peralatan saat operasi, dan

review manajemen pasien selanjutnya. Namun ada beberapa tim operasi

yang tidak patuh dalam penghitungan instrumen setelah operasi. Walaupun

berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suharyanto (2011) didapatkan

hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Sign Out

dengan pasient Safety, akan tetapi menurut WHO (2008) penghitungan

istrumen yang digunakan setelah operasi merupakan hal yang wajib

dilakukan untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan seperti

tertinggalnya instrument dalam tubuh pasien, medical error dalam

memberikan pelayanan kesehatan, mulai dari yang ringan hingga yang

berat berupa kecacatan atau bahkan kematian.

Kepatuhan tim operasi terhadap surgical patient safety fase sign out

dapat disebabkan oleh masa kerja tim operasi . Tim operasi yang bekerja

lebih lama memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan

dengan yang bekerja belum lama. Tanggung jawab yang besar menuntut

tim operasi untuk melengkapi surgical patient safety fase sign out.

Menurut Mila (2006) masa kerja adalah kurun waktu atau lamanya

tenaga kerja itu bekerja di suatu tempat. Masa kerja dapat mempengaruhi
tenaga kerja baik itu positif atau negatif. Pengaruh positif jika tenaga kerja

dengan semakin lama bekerja maka akan semakin berpengalaman dalam

melakukan tugasnya. Sebaliknya akan memberi pengaruh negatif jika

semakin lamanya seseorang bekerja maka akan menimbulkan kebosanan.

5. Hubungan Pelaksanaan Operasi dengan Kepatuhan Tim operasi Dalam


Penerapan Surgical safety checklist di IBS RSD dr Soebandi Jember

Tabel 7 memperlihatkan bahwa sebagian besar tim operasi tidak

patuh dalam penerapan Surgical safety checklist yaitu 32 kegiatan operasi

(49,2%) untuk pelaksanaan operasi elektif dan 21 kegiatan operasi (32,2%)

untuk pelaksanaan operasi emergency. Tim operasi yang patuh

menerapkan Surgical safety checklist sebanyak 8 kegiatan operasi (12,3%)

untuk pelaksanaan operasi emergency dan 4 kegiatan operasi (6,2%) untuk

pelaksanaan operasi elektif.

Hasil uji chi square didapat signifikansi (p) 0,114 sehingga dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan Pelaksanaan Operasi dengan

Kepatuhan Tim operasi Dalam Penerapan Surgical safety checklist di IBS

RSD dr Soebandi Jember.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tim operasi yang

melakukan operasi elektif maupun emergency tidak patuh dalam

menerapkan surgical safety checklist. Tidak adanya hubungan antara

pelaksanaan operasi dengan penerapan surgical safety checklist

menunjukkan bahwa penerapan Surgical safety checklist dipengaruhi oleh

banyaknya pelaksanaan operasi yang dilakukan.


Berdasarkan data yang diperoleh peneliti selama melakukan studi

pendahuluan didapatkan jumlah operasi bedah diRSD dr Soebandi Jember

sampai tanggal 20 September 2016 adalah 138 orang dengan rincian

operasi elektif 106 orang dan operasi emergency 32 orang menurun

dibandingkan jumlah operasi pada bulan sebelumnya yaitu pada bulan

Agustus 2016 jumlah operasi 152 orang dengan rincian elektif 125 orang

dan emergency 27 orang. Jumlah operasi pada bulan Juli 2016 berjumlah

148 dengan rincian operasi emergency 26 kasus dan operasi elektif 122

kasus. Jumlah kasus bedah di RSD dr Soebandi Jember cukup tinggi dengan rata-

rata 150 perbulan. Pada bulan November 2016 tercatat ada 163 kasus, bulan

Desember 2016 tercatat 169 kasus dan pada bulan Januari 2017 sampai dengan

tanggal 14 tercatat 76 kasus.

Dibandingkan dengan rumah sakit lain yang setingkat seperti RSD

Balung maupun RSD kalisat,RSD dr Soebandi Jember mempunyai

frekuensi operasi bedah yang lebih tinggi. Rata-rata operasi RSD balung

adalah 20-30 orang dengan rincian operasi elektif 14-22 orang dan operasi

emergency 6-8 orang. Sedangkan rata-rata operasi bedah di RSD kalisat

adalah 40-50 orang dengan rincian operasi elektif 30 orang dan operasi

emergency 20 orang.

Tindakan operasi atau pembedahan, baik elektif maupun

kedaruratan adalah peristiwa kompleks yang menegangkan. Kebanyakan

prosedur bedah dilakukan di kamar operasi rumah sakit, meskipun

beberapa prosedur yang lebih sederhana tidak memerlukan hospitalisasi

dan dilakukan di klinik-klinik bedah dan unit bedah ambulatori. Individu


dengan masalah kesehatan yang memerlukan intervensi pembedahan mencakup

pula pemberian anastesi atau pembiusan yang meliputi anastesi lokal, regional

atau umum.

C. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak semua tim operasi mengisi

Surgical safety checklis secara utuh mulai dari sign in sampai dengan sign out,

pengisian hanya dilakukan oleh anggota tim operasi.


DAFTAR PUSTAKA

WHO. WHO Guidelines for Safe Surgery 2017. WHO Press.

Haynes, A.B., Weiser, T.B., Berry, W.R., Lipsitz, S.R., & Sc, D. A Surgical Safety Checklist to
Reduce Morbidity and Mortality in a Global Population. The New England Journal of Medicine,
2009. 491-499. .

WHO. Implementation Manual WHO Surgical Safety Checklist 2009. Safe Surgery Saves Lives.
Geneva: World Health Organization. 2009.

Haynes AB, Weisser TG, Berry WR, A Surgical Safety Checklist to Reduce Morbidity and
Mortality in a Global Population, N Eng J Med, 2009, 360:491-499

Neal C, Haynes D, Surgical Safety Checklist for Patient Safety, WHO, 2000

WHO. World Alliance for Patient Safety, 1-36. Retrieved from

www.who.int/patientsafety/research.2008

Depkes, (2006). Panduan Nasional keselamatan pasien RS (Patient Safety) – jakarta : Depkes RI.

Depkes, (2008). Panduan Nasional keselamatan pasien RS (Patient Safety) edisi 2. Jakarta :
Depkes RI.

WHO, (2014). World Alliance for Patient Safety, World Health organization : Geneva.

Yahya Adib A. (2006) permasalahan Pasien Safety di kamar operasi /bedah.

Panduan Nasional keselamatan pasien RS (Patient Safety). 2005.

http://.marsenorhudy.wordpress.com/2011/01/07 .

Meeting the International Patient Safety Goals.

Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta : Selemba Medika.

American Academy of Orthopedic Surgeons : Sign Your Site : Wrong-Site


Surgery. http://www5.aaos.org/wrong/viewscrp.cfm (accessed May 10, 2006.)

Anda mungkin juga menyukai