Anda di halaman 1dari 48

MATA KULIAH

MANAJEMEN PATIENT SAFETY


MODUL PEMBELAJARAN MANAJEMEN PATIENT SAFETY
“Dibuat untuk memenuhi tugas manajemen patient safety”

DISUSUN OLEH:

Prasetyo Widodo

NIM : 12191028

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN ANGKATAN XXXI


STIKes PERTAMEDIKA
TAHUN AJARAN 2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Patient Safety dewasa ini menjadi spirit dalam pelayanan rumah sakit di seluruh dunia. World
Health Organization (WHO) telah mencanangkan World Alliance for Patient Safety, program
bersama dengan berbagai negara untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit (WHO,
2013). Tidak hanya rumah sakit di negara maju yang menerapkan keselamatan pasien untuk
menjamin mutu pelayanan yang baik, tetapi juga rumah sakit di negara berkembang seperti
Indonesia. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) telah mengeluarkan
Peraturan Menteri Kesehatan no 1691/2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit. Peraturan ini
menjadi tonggak utama operasionalisasi kesalamatan pasien di rumah sakit seluruh Indonesia.
Pada tanggal 2 Mei 2007, WHO Collaborating Center for Patient Safety resmi menerbitkan “Nine
Life Saving Patient Safety Solution” sebagai upaya untuk mengoptimalkan program World
Alliance for Patient Safety yang mendorong rumah sakit di Indonesia melalui Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) untuk menerapkan Sembilan Solusi “Life Saving”
Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Berdasarkan sembilan unsur solusi keselamatan pasien,
komunikasi efektif merupakan salah satu peran penting yang menduduki posisi ketiga setelah
keamanan obat dan identifikasi pasien. Komunikasi yang tidak efektif akan berdampak buruk
bagi pasien, hampir 70% kejadian sentinel di rumah sakit disebabkan karena kegagalan
komunikasi dan 75% nya mengakibatkan kematian (Linda, 2006). Selain itu standar akreditasi RS
2012 SKP.2/ JCI IPSG.2 mensyaratkan agar rumah sakit menyusun cara komunikasi yang efektif,
tepat waktu, akurat, lengkap dan jelas yang bertujuan untuk mengurangi kesalahan informasi.
Australian Comission on Safety and Quality in Health Care (2009) mewajibkan seluruh rumah
sakit untuk menerapkan komunikasi efektif di instalasi rawat inap dengan menerapkan
komunikasi secara benar saat serah terima/ timbang terima pasien sebagai upaya meningkatkan
keakuratan informasi dan kesinambungan perawat dalam pengobatan dan asuhan keperawatan.
Timbang terima merupakan transfer perawatan dan tanggung jawab dari satu perawat ke perawat
lain sehingga dapat memberikan perawatan yang aman dan berkualitas

B. TUJUAN

Mahasiswa akan dapat memahami, menerapkan dan menjadikan keselamatam pasien


sebagai budaya dalam melaksanakan tugas sebagai perawat dengan bsaik dan benar.

C. MANFAAT

1. Pengembangan ilmu pengetahuan Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan yang
bermanfaat untuk pengembangan wawasan keperawatan khususnya dalam meningkatkan
pengetahuan, sikap, motivasi dan supervisi perawat dan mengaplikasikan teknik komunikasi
SBAR seusai dengan standar yang berlaku.
2. Praktik keperawatan Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi bagi perawat dalam
pemecahan masalah yang berkaitan dengan komunikasi di rumah sakit
3. Pengembangan metodologi keperawatan Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk
penelitian lanjutan yang berkaitan dengan implementasi teknik komunikasi SBAR untuk
peningkatan patient safety di rumah sakit.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep patient safety


1. Pengertian patient safety
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011,
keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
2. Prinsip patient safety
1. Kesadaran (awareness) tentang nilai keselamatan pasien,
2. Komitmen pelayanan kesehatan berorientasi patient safety.
3. Kemampuan mengidentifikasi faktor risiko penyebab insiden terkait patient safety.
4. Kepatuhan pelaporan insiden terkait patient safety.
5. Kemampuan berkomunikasi yang efektif dengan pasien tentang faktor risiko insiden
terkait patient safety.
6. Kemampuan mengidentifikasi akar masalah penyebab masalah terkait patient safety.
7. Kemampuan memanfaatkan informasi tentang kejadian yang terjadi untuk mencegah
kejadian berulang.(Donny Susanto. 2011)
3. Komponen patient safety
a. Identify patients correctly (mengidentifikasi pasien secara benar)
b. Improve effective communication (meningkatkan komunikasi yang efektif)
c. Improve the safety of high-alert medications (meningkatkan keamanan dari pengobatan
resiko tinggi)
d. Eliminate wrong-site, wrong-patient, wrong procedure surgery (mengeliminasi
kesalahan penempatan, kesalahan pengenalan pasien, kesalahan prosedur operasi)
e. Reduce the risk of health care-associated infections (mengurangi risiko infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan)
f. Reduce the risk of patient harm from falls (mengurangi risiko pasien terluka karena
jatuh (Cecep, 2013).
4. Sasaran patient safety
Menurut Joint Commission International (2013) terdapat enam sasaran keselamatan
pasien yaitu: 1) Identifikasi pasien dengan benar 2) Meningkatkan komunikasi yang efektif 3)
Meningkatkan keamanan obat yang perlu diwaspadai 4) Kepastian tepat lokasi, tepat
prosedur, tepat pasien operasi 5) Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan 6)
Pengurangan risiko pasien jatuh.

5. Lingkup, standar dan kriteria patient safety


Lingkup
Lingkup Patient safety sudah berada dalam tataran yang ekstrem.
Milsalnya :
 Bagaimana bangunannya agar tidak menimbulkan potensi cedera
 Bagaimana pintunya
 Bagaimana selasarnya
 Bagaimana lantainya agar tidak licin, mencegah cedera pada pasien.
(Yayah Karyanah, BSc, MM (2016))
Standar
 Standar 1. Hak Pasien
 Standar 2. Mendidik Pasien dan Keluarga
 Standar 3. Keselamatan Pasien dan Kesinambungan Pelayanan
 Standar 4. Rumah Sakit
 Standar 5. Peran Kepemimpinan dalam Meningkatkan Keselamatan pasien
 Standar 6. Mendidik Staf Tentang keselamatan Pasien
 Standar 7. Komunikasi (Adventus MRL, SKM., M.Kes, Ns. Donny Mahendra,
S.Kep, I Made Mertajaya, S.St., M.Kes (2019))
Kriteria
 Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program KP
 Tesedianya mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua
komponen dari RS terintegrasi dan berpartisipasi dalam program KP
 Tersedianya mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan
dengan insiden termasukk penyediaan informasi yang benar dan jelas
tentang Analisis Akar Masalah (RCA) “ Kejadian Nyaris Cedera “ dan
“ Kejadian Sentinel “ pada saat program KP mulai dilaksanakan
 Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit
dan antar pengelola pelayanan di dalam RS dengan pendekatan antar
disiplin
 Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam
kegiatan perbaikan kinerja RS dan perbaikan keselamatan pasien,
termasuk evaluasivberkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut
 Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan
kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja RS
dan KP, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya
(Supri Yanto . 2013)

6. Kebijakan yang mendukung patient safety


Pasal 43 UU No.44/2009 : 1. RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien 2.
Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan
menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak
diharapkan. 3. RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang membidangi
keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri 4. Pelaporan insiden keselamatan pasien
dibuat secara anonym dan ditujukan untuk mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan
keselamatan pasien.
7. Implikasi patient safety dalam praktik keperawatan
ImplikasiPenerapan proses keperawatan mempunyai implikasi atau dampak terhadap
a) Profesi keperawatan
Secara profesional proses keperawatan menyajikan suatu lingkup praktik
keperawatan. Mll 5 langkah, keperawatan scr terus menerus mendefinisikan
perannya kepada si pasien dan profesi kesehatan lainnya. Hal ini menunjukkan
bahwa keperawatan tidak hanya melaksanakan rencana seperti yang telah
diresepkan dokter
b) Pasien
 Penggunaan proses keperawatan sangat bermanfaat bagi pasien dan
keluarga. Kegiatan ini mendorong mereka untuk berpartisipasi secara
aktif dalam keperawatan dengan melibatkan mereka ke dalam 5 langkah
proses.
 Klien menyediakan sumber untuk pengkajian, validasi diagnosa
keperawatan,dan menyediakan umpan balik untuk evaluasi.
 Perencanaan keperawatan yang tersusun dengan baik akan
memungkinkan perawat dpt memberikan pelayanan keperawatan secara
kontinyu, aman dan terciptanya lingkungan yang terapiutik.
 Keadaan tersebut akan membantu mempercepat kesembuhan klien dan
memungkinkan klien dapat beradaptasi terhadap lingkungan yang ada.
c) Perawat
 Proses keperawatan akan meningkatkan kepuasan dalam bekerja dan
meningkatkan perkembangan profesionalisasi.
 Peningkatan hubungan antara perawat dengan klien dapat dilakukan
melalui penerapan proses keperawatan.
 Proses keperawatan memungkinkan suatu pengembangan dan kreatifitas
dalam penjelasan masalah klien
 Mencegah pekerjaan yg rutinitas, kejenuhan perawat, task oriented
approach
( Doddy Sanjaya. 2017 )

8. Standar keselamatan pasien


Pentingnya akan keselamatan pasien dirumah sakit, maka dibuatlah standar keselamatan
pasien dirumah sakit. Standar keselamatan pasien dirumah sakit ini akan menjadi acuan setiap
asuhan yang akan diberikan kepada pasien. Menurut Depkes RI, (2011) ada tujuh standar
keselamatan pasien yaitu: 1) Hak pasien 2) Mendidik pasien dan keluarga 3) Keselamatan
pasien daam kesinambungan pelayanan 4) Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk
melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien 5) Peran kepemimpinan
dalam meningkatkan keselamatan pasien 6) Mendidik staf tentang keselamatan pasien 7)
Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien.

9. Langkah pelaksanaan patient safety


1. Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit Menurut Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/
VIII/ 2011 bahwa rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib
melaksanakan program dengan mengacu pada kebijakan nasional Komite Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Setiap rumah sakit wajib membentuk Tim
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit
sebagai pelaksana kegiatan keselamatan pasien. TKPRS yang dimaksud bertanggung
jawab kepada kepala rumah sakit. Keanggotaan TKPRS terdiri dari manajemen rumah
sakit dan unsur dari profesi kesehatan di rumah sakit. TKPRS melaksanakan tugas: 1.
Mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai dengan kekhususan
rumah sakit tersebut; 2. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program
keselamatan pasien rumah sakit; 3. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi,
edukasi, konsultasi, pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi) tentang terapan
(implementasi) program keselamatan pasien rumah sakit; 4. Bekerja sama dengan bagian
pendidikan dan pelatihan rumah sakit untuk melakukan pelatihan internal keselamatan
pasien rumah sakit; 5. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta
mengembangkan solusi untuk pembelajaran; 6. Memberikan masukan dan pertimbangan
kepada kepala rumah sakit dalam rangka pengambilan kebijakan keselamatan pasien
rumah sakit; dan 7. Membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit.

2. Standar Keselamatan Pasien Setiap rumah sakit wajib menerapkan Standar

Keselamatan Pasien. Standar Keselamatan Pasien meliputi (Permenkes 1691/ Menkes/


Per/ VIII/ 2011): a. hak pasien; b. mendidik pasien dan keluarga; c. keselamatan pasien
dalam kesinambungan pelayanan; d. penggunaan metode peningkatan kinerja untuk
melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien; e. peran
kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien; f. mendidik staf tentang
keselamatan pasien; dan g. komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien.

3. Sasaran Keselamatan Pasien Dalam Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011
menyatakan bahwa setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan Sasaran
Keselamatan Pasien. Sasaran Keselamatan Pasien meliputi tercapainya hal-hal sebagai
berikut : a. Ketepatan identifikasi pasien; b. Peningkatan komunikasi yang efektif; c.
Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai; d. Kepastian tepat-lokasi, tepat-
prosedur, tepat-pasien operasi; e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan;
dan f. Pengurangan risiko pasien jatuh. Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) merupakan
syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi
Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety
Solutions dari World Health Organization (WHO) dalam Sutanto (2014) Patient Safety
(2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI
(KKP-RS, PERSI), dan dari Joint Commission International (JCI). Maksud dari Sasaran
Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien.
Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan
menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas
permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin
sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh. Enam sasaran
keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut :

Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien


Standar SKP I
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki/meningkatkan ketelitian
identifikasi pasien. Maksud dan Tujuan Sasaran I Kesalahan karena keliru dalam
mengidentifikasi pasien dapat terjadi di hampir semua aspek/tahapan diagnosis dan
pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan
terbius/tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/ lokasi
di rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain. Maksud sasaran ini
adalah untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu: pertama, untuk identifikasi pasien
sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk
kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan dan/atau
prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi,
khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah, atau
produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau
pemberian pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan
sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor
rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain.
Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/
atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas berbeda di lokasi yang berbeda
di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau ruang operasi
termasuk identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif
digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan
semua kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi. Elemen Penilaian Sasaran I : 1.
Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan nomor
kamar atau lokasi pasien. 2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau
produk darah. 3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis. 4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/
prosedur. 5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang
konsisten pada semua situasi dan lokasi.

Sasaran II : Peningkatan Komunikasi Yang Efektif


Standar SKP II
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi
antar para pemberi layanan. Maksud dan Tujuan Sasaran II Komunikasi efektif, yang
tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh pasien, akan mengurangi
kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat
berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan
kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telepon.
Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil
pemeriksaan kritis, seperti melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke
unit pelayanan. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/
atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk: mencatat (memasukkan ke
komputer) perintah yang lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah;
kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah atau hasil
pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang
adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa
diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila tidak
memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat di IGD atau ICU.
Elemen Penilaian Sasaran II : 1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon
atau hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah. 2. Perintah
lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara lengkap oleh
penerima perintah. 3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah
atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan. 4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan
pelaksanaan verifikasi keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.
Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High-Alert)
Standar SKP III
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat
yang perlu diwaspadai (high-alert). Maksud dan Tujuan Sasaran III Bila obat-obatan
menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus berperan secara kritis
untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert
medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius
(sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan
(adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama
Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun Alike/LASA). Obat-
obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit
konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat,
kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat =50% atau
lebih pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan
baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih
dahulu sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif
untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan
proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit
konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah sakit secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat
yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau
prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat,
seperti di IGD atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan
bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk mencegah
pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-hati. Elemen Penilaian Sasaran III : 1.
Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan
lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat. 2. Implementasi
kebijakan dan prosedur. 3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien
kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian
yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan. 4. Elektrolit konsentrat yang
disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada
area yang dibatasi ketat (restricted).
Sasaran IV : Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-Pasien Operasi
Standar SKP IV
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepat-lokasi, tepat-
prosedur, dan tepat- pasien. Maksud dan Tujuan Sasaran IV Salah-lokasi, salah-prosedur,
salah-pasien pada operasi, adalah sesuatu yang mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi
di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang
tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien di dalam
penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi.
Di samping itu, asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak
adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah,
permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible
handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi yang sering
terjadi. Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan
dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan
ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety
Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal
Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery.
Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda
yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus
dibuat oleh operator/orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien
terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat.
Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel
struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau multipel level (tulang belakang). Maksud proses
verifikasi praoperatif adalah untuk: a. memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang
benar; b. memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang
relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang; dan c. melakukan verifikasi
ketersediaan peralatan khusus dan/ atau implantimplant yang dibutuhkan. Tahap
“Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan
diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan dilakukan, tepat
sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan
bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan checklist.
Elemen Penilaian Sasaran IV : 1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan
dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses
penandaan. 2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk
memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua
dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional. 3. Tim operasi
yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi/time-out” tepat
sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakan pembedahan. 4. Kebijakan dan prosedur
dikembangkan untuk mendukung proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi,
tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan
di luar kamar operasi.
Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Standar SKP V
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi yang
terkait pelayanan kesehatan. Maksud dan Tujuan Sasaran V Pencegahan dan
pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan,
dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan
kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk
infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia
(sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini
maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand
hygiene bisa dibaca kepustakaan WHO, dan berbagai organisasi nasional dan
internasional. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan
kebijakan dan/ atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand
hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu di rumah sakit.
Elemen Penilaian Sasaran V : 1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman
hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO
Patient Safety). 2. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif. 3.
Kebijakan dan/ atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara
berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Sasaran VI : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Standar SKP VI
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko pasien dari
cedera karena jatuh. Maksud dan Tujuan Sasaran VI Jumlah kasus jatuh cukup bermakna
sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat
yang dilayani, pelayanan yang disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu
mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko
cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap
konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan
oleh pasien. Program tersebut harus diterapkan rumah sakit. Elemen Penilaian Sasaran VI
: 1. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan
melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau
pengobatan, dan lain-lain. 2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh
bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh. 3. Langkah-langkah
dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari
kejadian tidak diharapkan. 4. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera
akibat jatuh di rumah sakit.

4. Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit


Rumah sakit harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor
dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif
insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi dan tujuan rumah sakit,
kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang
sehat dan faktorfaktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien (Permenkes 1691/ Menkes/
Per/ VIII/ 2011). Dalam rangka menerapkan Standar Keselamatan Pasien, rumah sakit
melaksanakan 7 (tujuh) langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit yang terdiri dari
(Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011) :
a. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien;
b. Memimpin dan mendukung staf;
c. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko;
d. Mengembangkan sistem pelaporan;
e. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien;
f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien;
g. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.

5. Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien


Menurut Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 menyatakan bahwa sistem pelaporan
insiden dilakukan di internal rumah sakit dan kepada Komite Nasional Keselamatan
Pasien Rumah Sakit Pelaporan insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit mencakup KTD, KNC, dan KTC dilakukan setelah analisis dan
mendapatkan rekomendasi dan solusi dari TKPRS. Sistem pelaporan insiden kepada
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus dijamin keamanannya, bersifat
rahasia, anonim (tanpa identitas), tidak mudah diakses oleh yang tidak berhak. Pelaporan
insiden ditujukan untuk menurunkan insiden dan mengoreksi sistem dalam rangka
meningkatkan keselamatan pasien dan tidak untuk menyalahkan orang (non blaming).
Setiap insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS dalam waktu paling
lambat 2x24 jam sesuai format laporan yang ada. TKPRS melakukan analisis dan
memberikan rekomendasi serta solusi atas insiden yang dilaporkan. TKPRS melaporkan
hasil kegiatannya kepada kepala rumah sakit. Rumah sakit harus melaporkan insiden,
analisis, rekomendasi dan solusi Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) secara tertulis
kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Komite Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan pengkajian dan memberikan umpan balik
(feedback) dan solusi atas laporan secara nasional (Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/
2011).

B. Kriteria monitoring dan evaluasi patient safety


1. Dokumentasi dan alur pelaporan
Dokumentasi
Dokumentasi adalah bukti pencatatan dan pelaporan yang dimiliki perawat dalam catatan
yang berguna untuk kepentingan klien atau pasien. Perawat dan tim kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan dengan dasar data yang akurat dan lengkap secara tertulis
sebagai tanggung jawab perawat (Wahid & Suprapto,2012).
Alur pelaporan
Alur Pelaporan Insiden Kepada Tim Keselamatan Pasien di RS (Internal)
1. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/KTC/KPC) di rumah sakit, wajib segera
ditindaklanjuti (dicegah / ditangani) untuk mengurangi dampak / akibat yang tidak
diharapkan.
2. Setelah ditindaklanjuti, segera membuat laporan insidennya dengan mengisi Formulir
Laporan Insiden pada akhir jam kerja/shiftkepadaAtasanlangsung.
(Palinglambat2x24jam); diharapkan jangan menunda laporan.
3. Setelah selesai mengisi laporan, segera menyerahkan kepada Atasan langsung pelapor.
(Atasan langsung disepakati sesuai keputusan Manajemen : Supervisor/Kepala Bagian/
Instalasi/ Departemen / Unit).
4. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
insiden yang dilaporkan.
5. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisa yang akan dilakukan
sebagai berikut :
Grade biru : Investigasi sederhana oleh Atasan langsung, waktu maksimal 1
minggu.
Grade hijau : Investigasi sederhana oleh Atasan langsung, waktu maksimal 2
minggu.
Grade kuning : Investigasi komprehensif/Analisis akar masalah/RCA oleh Tim
KP di RS, waktu maksimal 45 hari
Grade merah : Investigasi komprehensif/Analisis akar masalah / RCA oleh Tim
KP di RS, waktu maksimal 45 hari.
6. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan
insiden dilaporkan ke Tim KP di RS .
7. Tim KP di RS akan menganalisa kembali hasil Investigasi dan Laporan insiden untuk
menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan (RCA) dengan melakukan
Regrading.
8. Untuk grade Kuning / Merah, Tim KP di RS akan melakukan Analisis akar masalah /
Root Cause Analysis (RCA)
9. Setelah melakukan RCA, Tim KP di RS akan membuat laporan dan Rekomendasi
untuk perbaikan serta "Pembelajaran" berupa : Petunjuk / "Safety alert" untuk mencegah
kejadian yang sama terulang kembali.
10. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi
11. Rekomendasi untuk "Perbaikan dan Pembelajaran" diberikan umpan balik kepada
unit kerja terkait serta sosialisasi kepada seluruh unit di Rumah Sakit
12. Unit Kerja membuat analisa kejadian di satuan kerjanya masing - masing
13. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS. (Alur : Lihat Lampiran 5)

2. Tujuan pelaporan insiden keselamatan pasien


 Menurunkan jumlah insiden Keselamatan Pasien
 Meningkatkan mutu Pelayanan terhadap pasien
 Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
 Menurunnya KTD di RS
 Terlaksananya program-program pencegahan shg tidak terjadi pengulangan KTD.
3. Apa, masalah dan bagaimana
 Apa yang harus dilaporkan ?
 Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi
ataupun yang nyaris terjadi.
 Masalah yang sering menghambat dalam Laporan Insiden
 Laporan dipersepsikan sebagai pekerjaan perawat
 Laporan sering disembunyikan / underreport, karena takut disalahkan.
 Laporan sering terlambat
 Bentuk laporan miskin data karena adanya budaya menyalahkan (blame
culture).
 Bagaimana cara membuat Laporan Insiden?
 Karyawan diberikan pelatihan mengenai sistem pelaporan insiden mulai dari
maksud, tujuan dan manfaat laporan, alur pelaporan, bagaimana cara mengisi
formulir laporan insiden, kapan harus melaporkan, pengertian-pengertian
yang digunakan dalam sistem pelaporan dan cara menganalisa laporan.
(Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS). 2015)
4. Alur pelaporan
A. Alur Pelaporan Insiden Kepada Tim Keselamatan Pasien di RS (Internal)
1. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/KTC/KPC) di rumah sakit, wajib segera
ditindaklanjuti (dicegah / ditangani) untuk mengurangi dampak / akibat yang tidak
diharapkan.
2. Setelah ditindaklanjuti, segera membuat laporan insidennya dengan mengisi Formulir
Laporan Insiden pada akhir jam kerja/shiftkepadaAtasanlangsung.
(Palinglambat2x24jam); diharapkan jangan menunda laporan.
3. Setelah selesai mengisi laporan, segera menyerahkan kepada Atasan langsung pelapor.
(Atasan langsung disepakati sesuai keputusan Manajemen : Supervisor/Kepala Bagian/
Instalasi/ Departemen / Unit).
4. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
insiden yang dilaporkan.
5. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisa yang akan dilakukan
sebagai berikut :
Grade biru : Investigasi sederhana oleh Atasan langsung, waktu maksimal 1
minggu.
Grade hijau : Investigasi sederhana oleh Atasan langsung, waktu maksimal 2
minggu.
Grade kuning : Investigasi komprehensif/Analisis akar masalah/RCA oleh Tim
KP di RS, waktu maksimal 45 hari
Grade merah : Investigasi komprehensif/Analisis akar masalah / RCA oleh Tim
KP di RS, waktu maksimal 45 hari.
6. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan
insiden dilaporkan ke Tim KP di RS .
7. Tim KP di RS akan menganalisa kembali hasil Investigasi dan Laporan insiden untuk
menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan (RCA) dengan melakukan
Regrading.
8. Untuk grade Kuning / Merah, Tim KP di RS akan melakukan Analisis akar masalah /
Root Cause Analysis (RCA)
9. Setelah melakukan RCA, Tim KP di RS akan membuat laporan dan Rekomendasi
untuk perbaikan serta "Pembelajaran" berupa : Petunjuk / "Safety alert" untuk mencegah
kejadian yang sama terulang kembali.
10. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi
11. Rekomendasi untuk "Perbaikan dan Pembelajaran" diberikan umpan balik kepada
unit kerja terkait serta sosialisasi kepada seluruh unit di Rumah Sakit
12. Unit Kerja membuat analisa kejadian di satuan kerjanya masing - masing
13. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS. (Alur : Lihat Lampiran 5)

B. ALURPELAPORANINSIDENKEKKPRS-KOMITEKESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT


(Eksternal)

Laporan hasil investigasi sederhana / analisis akar masalah / RCA yang terjadi pada pasien dan
telah mendapatkan rekomendasi dan solusi oleh Tim KP di RS (internal) / Pimpinan RS
dikirimkan ke KKPRS dengan melakukan entry data (e-reporting) melalui website resmi
KKPRS : www.buk.depkes.go.id (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS). 2015)

5. Analisa Risk grading matrix


Penilaian matriks risiko adalah suatu metode analisa kualitatif untuk menentukan derajat
risiko suatu insiden berdasarkan Dampak dan Probabilitasnya.
a. Dampak (Consequences) Penilaian dampak / akibat suatu insiden adalah seberapa berat
akibat yang dialami pasien mulai dari tidak ada cedera sampai meninggal.
b. Probabilitas / Frekuensi / /Likelihood Penilaian tingkat probabilitas / frekuensi risiko
adalah seberapa seringnya insiden tersebut terjadi .
Setelah nilai Dampak dan Probabilitas diketahui, dimasukkan dalam Tabel Matriks
Grading Risiko untuk menghitung skor risiko dan mencari warna bands risiko.
a. SKOR RISIKO
SKOR RISIKO = Dampak x Probabilitas
Cara menghitung skor risiko : Untuk menentukan skor risiko digunakan matriks grading
risiko :
1. Tetapkan frekuensi pada kolom kiri
2. Tetapkan dampak pada baris ke arah kanan,
3. Tetapkan warna bandsnya, berdasarkan pertemuan antara frekuensi dan dampak.

b. SKOR RISIKO

Bands risiko adalah derajat risiko yang digambarkan dalam empat warna yaitu : Biru, Hijau,
Kuning dan Merah. Warna "bands" akan menentukan Investigasi yang akan dilakukan.

 Bands BIRU dan HIJAU : Investigasi sederhana


 Bands KUNING dan MERAH : Investigasi Komprehensif / RCA

WARNA BANDS : HASIL PERTEMUAN ANTARA NILAI DAMPAK YANG DIURUT


KEBAWAH DAN NILAI PROBABILITAS YANG DIURUT KE SAMPING KANAN

Contoh : Pasien jatuh dari tempat tidur dan meninggal, kejadian seperti ini di RS X terjadi pada 2
tahun yang lalu

Nilai dampak : 5 (katastropik ) karena pasien meninggal

Nilai probabilitas : 3 (mungkin terjadi) karena pernah terjadi 2 thn lalu

Skoring risiko : 5 x 3 = 15

Warna Bands : Merah (ekstrim). (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS). 2015)

6. Cara pengisian insiden keselamatan pasien


A. PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR LAPORAN IKP INTERNAL dan
EKSTERNAL
I. DATA PASIEN

Data Pasien : Nama, No Medical Record dan No Ruangan, hanya diisi di Formulir

Laporan Internal :

Nama Pasien : (bisa diisi initial mis : Tn AR, atau NY SY) No MR : (jelas)

Ruangan : diisi nama ruangan dan nomor kamar misal: Ruangan Melati kamar 301

Data Pasien : Umur, Jenis Kelamin, Penanggung biaya, Tgl masuk RS dan jam

diisi di Formulir Laporan Internal dan Eksternal (lihat = Lampiran Formulir Laporan
IKP)

Umur : bulan dan tahun (jelas)

Kelompok Umur : Pilih salah satu (jelas)


Jenis Kelamin : Pilih salah satu (jelas)

Penanggung biaya pasien : Pilih salah satu (jelas)

Tanggal masuk RS dan jam : (jelas)

II. RINCIAN KEJADIAN

1. Tanggal dan waktu insiden


 Diisi tanggal dan waktu saat insiden (KTD / KNC / KTC / KPC) terjadi.
 Buat prosedur pelaporan agar tanggal dan waktu insiden tidak lupa :
insiden harus dilaporkan paling lambat 2 x 24 jam atau pada akhir jam
kerja/ shift.
2. Insiden
 Diisi insiden misal : Pasien jatuh , salah identifikasi pasien , salah
pemberian obat, salah dosis obat, salah bagian yang dioperasi, dll.
1. Grading Risiko : hijau /biru/kuning/merah
2. Kronologis insiden
 Diisi ringkasan insiden mulai saat sebelum kejadian sampai
terjadinya insiden.
 Kronologis harus sesuai kejadian yang sebenarnya, bukan
pendapat / asumsi pelapor.
3. Jenis insiden. Pilih salah satu Insiden Keselamatan Pasien (IKP) :
KTD / KNC / KTC / KPC. Untuk laporan eksternal, KPC tidak perlu
dilaporkan
4. Orang pertama yang melaporkan Insiden
 Pilih salah satu pelapor yang paling pertama melaporkan
terjadinya insiden Misal : petugas / keluarga pasien dll
5. Insiden menyangkut pasien :
 Pilih salah satu : Pasien rawat inap / Pasien rawat jalan / Pasien
UGD
6. Tempat / Lokasi
 Tempat pasien berada, misal ruang rawat inap, ruang rawat jalan,
UGD
7. Insiden sesuai kasus penyakit / spesialisasi
 Pasien dirawat oleh Spesialisasi ? (Pilih salah satu). Bila kasus
penyakit / spesialisasi lebih dari satu, pilih salah satu yang
menyebabkan insiden. Misal : Pasien dengan gastritis kronis
dirawat oleh Dokter Spesialis Penyakit Dalam, dikonsulkan ke
Dokter Spesialis Bedah dengan suspect Appendicitis. Saat
appendectomy terjadi insiden, tertinggal kassa, maka
penanggung jawab kasus adalah : Dokter Spesialis Bedah. Bila
dirawat oleh dokter umum : isi Lain-lain : umum.
8. Unit / Departemen yang menyebabkan insiden

 Adalah unit / Departemen yang menjadi penyebab terjadinya


insiden Misalnya :
a. Pasien DHF ke UGD, diperiksa laboratorium,
ternyata hasilnya salah interpretasi.
Insiden : salah hasil lab. pada pasien DHF
Jenis Insiden : KNC (tidak terjadi cedera)
Tempat / Lokasi : UGD
Spesialisasi : Kasus Penyakit Dalam
Unit penyebab : Laboratorium
b. Pasien anak berobat ke poliklinik, diberikan
resep, ternyata terjadi kesalahan pemberian obat
oleh petugas farmasi. Hal ini diketahu setelah
pasien pulang. Ibu pasien datang kembali ke
Farmasi untuk menanyakan obat tersebut.
Insiden : Salah pemberian obat untuk pasien
anak
Jenis Insiden : KNC (tidak terjadi cedera)
Tempat / Lokasi : Farmasi
Spesialisasi : Kasus Anak
Unit penyebab : Farmasi
c. Pasien THT akan dioperasi telinga kiri tapi
ternyata yang dioperasi telinga kanan. Hal
initerjadi karena tidak dilakukan pengecekan
ulang bagian yang akan dioperasi oleh petugas
kamar operasi
Insiden : Salah bagian yang dioperasi : telinga
kiri, seharusnya kanan
Jenis Insiden : KTD (terjadi cedera)
Tempat / Lokasi : kamar operasi
Spesialisasi : Kasus THT
Unit penyebab : Instalasi Bedah.

9. Akibat insiden

 Pilih salah satu :


 Kematian : jelas
 Cedera irreversible / cedera berat : kehilangan fungsi
motorik, sensorik atau psikologis secara permanen misal
lumpuh, cacat.
 Cedera reversible / cedera sedang : kehilangan fungsi
motorik, sensorik atau psikologis tidak permanen misal
luka robek
 Cedera ringan : cedera / luka yang dapat diatasi dengan
pertolongan pertama tanpa harus di rawat misal luka
lecet.
 Tidak ada cedera, tidak ada luka.

10. Tindakan yang dilakukan segera setelah insiden

 Ceritakan penanganan / tindakan yang saat itu dilakukan agar insiden


yang sama tidak terulang lagi.

11. Tindakan dilakukan oleh

 Pilihlah salah satu :


 Bila dilakukan Tim : sebutkan timnya terdiri dari siapa saja
misal ; dokter, perawat.
 Bila dilakukan petugas lain : sebutkan misal ; analis, asisten
apoteker, radiografer, bidan.

12. Apakah Insiden yang sama pernah terjadi di unit kerja lain?

 Jika Ya, lanjutkan dengan mengisi pertanyaan dibawahnya yaitu :


 Waktu kejadian : isi dalam bulan / tahun.
 Tindakan yang telah dilakukan pada unit kerja tersebut untuk
mencegah terulangnya kejadian yang sama.

III. TIPE INSIDEN

Untuk mengisi tipe insiden, harus melakukan analisis dan investigasi terlebih dahulu.
Insiden terdiri dari : tipe insiden dan subtipe insiden.

Contoh :

 Insiden : Pasien jatuh dari tempat tidur


Tipe Insiden : Jatuh
Subtipe insiden : Tipe jatuh : slip / terpeleset,
Keterlibatan saat jatuh : toilet
 Insiden : Tertukar hasil pemeriksaan laboratorium
Tipe Insiden : Laboratorium
Subtipe insiden : Hasil.

IV. ANALISA PENYEBAB INSIDEN DAN REKOMENDASI

 Penyebab insiden dapat diketahui setelah melakukan investigasi dan analisa baik
investigasi sederhana (simple investigation) maupun investigasi komprehensif
(root cause analyisis).
 Penyebab insiden terbagi dua yaitu :
1. Penyebab langsung (immediate / direct cause) Penyebab yang langsung
berhubungan dengan insiden / dampak terhadap pasien
2. Akar masalah (root cause). Penyebab yang melatarbelakangi penyebab
langsung (underlying cause)

V. FAKTOR KONTRIBUTOR, KOMPONEN & SUBKOMPONEN

Faktor kontributor adalah faktor yang melatarbelakangi terjadinya insiden. Penyebab


insiden dapat digolongkan berdasarkan penggolongan faktor Kontributor seperti
terlihat pada tabel dibawah ini. Faktor kontributor dapat dipilih lebih dari satu.

7. RCA ( Root causa Analysis)


 Proses terstruktur yang menggunakan metode analitik yang dikenal
 Memungkinkan kita untuk bertanya “bagaimana” dan “mengapa” dengan cara
yang obyektif untuk mengungkap factor kausal yang menyebabkan insiden
keselamatan pasien

21 STEP RCA (JCI)

STEP 1 : Organize Team

STEP 2 : Define the problem

STEP 3 : Study the problem

STEP 4 : Determine what happened

STEP 5 : Identify contributing Process Factors

STEP 6 : Identify other contributing Process Factors

STEP 7 : Measure - collect and assess Data on Proximate and underlying Causes

STEP 8 : Design and implement immediate change

STEP 9 : Identify Which system are involved - The Root Causes

STEP 10 : Prune the list of Root Cause s

STEP 11 : Confirm Root Causes and consider Their Interrelationships

STEP 12 : Explore and Identify Risk Reduction Strategies

STEP 13 : Formulate improvement Action

STEP 14 : Evaluate proposesd improvement Actions

STEP 15 : Design Improvement

STEP 16 : Ensure Acceptability of the Action Plan


STEP 17 : Implement The Improvement Plan

STEP 18 : Develop Meas ures of Effectiveness and Ensure Their Success

STEP 19 : Evaluate Implementation of Improvement efforts

STEP 20 : Take Additional Action

STEP 21 : Communicate the Result

10 STEPS PROGRAM RCA YANG EFEKTIF (VICTORIA –AUSTRALIA)


Step 1: mengupayakan komitmen Senior
Management dan klinisi
Step 2: Implementasi kebijakan investigasi Insiden
Step 3: Menunjuk seorang koordinator RCA
Step 4: menetapkan Panitia Keselamatan dan mutu
Step 5: menetapkan Proses Incident Response
Step 6: menetapkan prosedur Investigasi RCA
Step 7: memahami pertimbangan2 Legal
Step 8: menetapkan hubungan dengan “Open Disclosure Process”
Step 9: Evaluasi Effektifitas program RCA
Step 10: menetapkan seperangkat instrumen RCA

8. HFMEA (Healthcare Failure Mode Effect and Analysis)


- Adalah metode perbaikan kinerja dgn mengidentifikasi dan mencegah potensi
kegagalan sebelum terjadi. Hal tersebut didesain untuk meningkatkan keselamatan
pasien.

- Modified by VA NCPS

Tujuannya : untuk melihat dimana terjadi kegagalan proses

Pertanyaan : apa yang dapat terjadi bukan apa yang akan terjadi

Fokus pada pencegahan dampak, meningkatkan keselamatan, meningkatkan outcome yang


positif dan meningkatkan kenyamanan pasien

Analisis prospektif modifikasi dari FMEA (Failure Mode and Effects Analysis), HCCP (Hazard
Analysis Critical Control Points), RCA (Root Cause Analysis)

Langkah- langkah HFMEA/AMKD by : VA NCPS

1. Tetapkan Topik HFMEA/AMKD


2. Bentuk Tim
3. Gambarkan alur proses
4. Buat Hazard Analysis
5. Tindakan dan pengukuran outcome
9. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi “Patient Safety”
Mengukur keselamatan bagaimanapun bukan semata-mata mengukur bahaya. Menilai
keselamatan dengan apa yang telah terjadi di masa lalu, meski informatif, tidak dengan
sendirinya memberitahu betapa bahagianya saat ini atau akan berada di masa depan.
Keselamatan berkaitan dengan berbagai cara dimana sistem dapat gagal berfungsi, yang
tentunya jauh lebih banyak daripada mode fungsi yang dapat diterima. Beberapa
kegagalan ini mungkin sudah tidak asing lagi, bahkan bisa diprediksi, namun sistem ini
mungkin juga tidak berfungsi dengan cara yang tidak terduga. Keselamatan sebagian
dicapai dengan waspada terhadap gangguan, merespon dengan cepat untuk menjaga agar
tetap berjalan lancar. Dokter perawat dan manajer keperawatan melakukan sepanjang
waktu dalam perawatan kesehatan, mungkin lebih besar daripada industri lainnya.
1. Dimensi Pengukuran dan Pemantauan Keselamatan
Vincent, Burnett, & Cartney (2013) mengelompokkan menjadi 5
dimensi : a. Kerusakan masa lalu: mencakup tindakan psikologis dan fisik b.
Keandalan: mencakup ukuran perilaku dan sistem c. Sensitifitas terhadap
operasi: informasi dan kapasitas untuk memantau keselamatan setiap jam
atau setiap hari d. Antisipasi dan kesiapan: kemampuan mengantisipasi, dan
bersiap menghadapi masalah e. Integrasi dan pembelajaran: kemampuan
untuk merespon dan memperbaiki, informasi keselamatan

2. Sistem Pelaporan

Sistem pelaporan dalam perawatan kesehatan pada awalnya ditujukan


untuk menyediakan sarana pengukuran dan pembelajaran baik dari kejadian
buruk maupun masalah keselamatan lainnya. Hasil penelitian Vincent, Burnett &
Cartney (2013) menunjukkan bahwa sistem pelaporan rutin yang diterapkan di
rumah sakit melewatkan sebagian besar insiden keselamatan pasien yang
diidentifikasi berdasarkan catatan kasus dan hanya mendeteksi 5% insiden yang
mengakibatkan kerusakan pada pasien.

3. Pelaporan Kejadian yang Ditargetkan

Beberapa organisasi menggunakan laporan kejadian prospektif atau


tertarget, seringkali untuk jangka waktu tertentu, untuk mengatasi masalah
keamanan yang diketahui. Misalnya, dalam beberapa praktik keperawatan
primer ada minggu-minggu tertentu ketika Setiap kejadian buruk dicatat.
Dari sini, tak mungkin diminta untuk melaporkan masalah spesifik seperti
kehilangan hasil tes berdasarkan target untuk bulan berikutnya (Australian
Commission on Safety and Quality in Helathcare, 2010).
4. Pelaporan Wajib ‘Tidak Pernah Kejadian’

Beberapa kejadian keselamatan jarang terjadi namun memiliki


konsekuensi tragis misalnya kematian karena menyuntikkan obat intravena ke
sumsum tulang belakang. Adalah peristiwa keselamatan yang paling menonjol
dan paling mengganggu yang sesuai dengan kecelakaan dominan lainnya.
Peristiwa-peristiwa tersebut dituangkan dalam daftar 28 ‘tidak pernah kejadian’
yang disusun oleh forum mutu nasional Inggris pada tahun 2004 dan sejak
diadopsi oleh banyak organisasi sebagai target keselamatan. Identifikasi kejadian
langka namun mengerikan ini selalu bergantung pada pelaporan, setidaknya
sampai cara yang dapat diandalkan untuk mencari rekam medis elektronik
muncul.

5. Monitoring dan Evaluasi Dilakukan Oleh Komite Mutu dan Keselamatan Pasien
• Monitoring 6 sasaran keselamatan pasien menggunakan indikator mutu,
yang mana pengambilan data dilakukan oleh petugas pengambil data
mutu unit, yang kemudian dimasukkan dalam sismadak. • Monitoring
tujuh langkah menuju keselamatan pasien dan 12 dimensi keselamatan
pasien dengan menggunakan survei pada seluruh ruang lingkup
penerapan budaya keselamatan pasien. • Petugas penyiapan kebutuhan
Survei adalah komite mutu dan keselamatan pasien. • Petugas monitoring
atau Survei adalah penanggung jawab pengambil data di setiap unit. •
Petugas analisa data adalah komite mutu dan keselamatan pasien. •
Petugas pembuat laporan pelaksanaan kegiatan komite mutu dan
keselamatan pasien. • Survey budaya keselamatan pasien menggunakan
kuesioner dari HSOPC (Hospital Survey on Patient Safety Culture) yang
dikembangkan oleh AHRQ (Agency for Healthcare Research and
Quality) 2016 dan disesuaikan dengan kondisi rumah sakit.
6. Waktu Pelaksanaan

• Analisa 6 sasaran keselamatan pasien dilakukan setiap 3 bulan • analisa 12


dimensi budaya keselamatan pasien dilakukan, setiap dimensi budaya
keselamatan pasien • Analisa dibuat menggunakan grafik • Analisa
mencakup analisa pencapaian dan permasalahan • Hasil pengumpulan data
dan analisa dilaporkan pada pimpinan atau direktur rumah sakit

7. Melakukan Tindak Lanjut Perbaikan


Data yang telah dianalisa, apabila sudah baik dipertahankan atau
ditingkatkan, Namun apabila masih kurang dilakukan perbaikan.
C. Infeksi Nosokomial
1. Pengertian infeksi nosocomial
Infeksi nosokomial adalah infeksi silang yang terjadi pada perawat atau pasien saat
dilakukan perawatan di rumah sakit. Jenis yang paling sering adalah infeksi luka bedah dan
infeksi saluran kemih dan saluran pernafasan bagian bawah (pneumonia). Tingkat paling
tinggi terjadi di unit perawatan khusus, ruang rawat bedah dan ortepedi serta pelayanan
obstetric (seksio sesarea). Tingkat paling tinggi dialami oleh pasien usia lanjut, mereka yang
mengalami penurunan kekebalan tubuh (HIV/AIDS, penggunaan produk tembakau,
penggunaan kortikosteroid kronis), TB yang resisten terhadap berbagai obat dan mereka yang
menderita penyakit bawaan yang parah (Hardianto, 2011).
2. Penyebab infeksi nosocomial
Penelitian lain yang dilakukan di Iran tahun 2011 dari 150 sampel telepon seluler yang
digunakan sebanyak 141 telepon seluler ditemukan adanya kontaminasi bakteri dan 50
telepon seluler ditemukan adanya kontaminasi bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia
coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter, Enterococcus faecalis dan Pseudomonas
aeruginosa, yang kita tahu semua bakteri tersebut penyebab infeksi nosokomial (Sichani et
al., 2011).
3. Factor resiko terjadinya infeksi nosocomial

Ada sejumlah faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang yang berada di lingkungan rumah
sakit untuk terkena infeksi nosokomial, antara lain:

 Memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, misalnya akibat HIV/AIDS atau


menggunakan obat imunosupresan
 Menderita koma, cedera berat, luka bakar, atau syok
 Memiliki akses atau sering kontak dengan pasien yang sedang menderita penyakit menular,
tanpa menggunakan alat pelindung diri yang sesuai standar operasional (SOP)
 Mendapatkan perawatan lebih dari 3 hari atau dalam jangka panjang di ICU
 Berusia di atas 70 tahun atau masih bayi
 Memiliki riwayat mengonsumsi antibiotik dalam jangka panjang
 Menggunakan alat bantu pernapasan, seperti ventilator
 Menggunakan infus, kateter urine, dan tabung endotrakeal (ETT)
 Menjalani operasi, seperti operasi jantung, operasi tulang, operasi penanaman peralatan medis
(misalnya alat pacu jantung atau implan), atau operasi transplantasi organ

Selain faktor-faktor di atas, lingkungan rumah sakit yang padat, kegiatan memindahkan pasien
dari satu unit ke unit yang lain, dan penempatan pasien sistem imun yang lemah dengan pasien
yang menderita penyakit menular di ruangan yang sama, juga dapat meningkatkan risiko
terjadinya infeksi nosokomial. (Mayo Clinic (2019). Diseases and Conditions. Urinary tract
infection.)
4. Proses terjadinya infeksi nosocomial
 Tiga faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi (termasuk infeksi yang di peroleh
dari Rumah Sakit yakni Infeksi Nosokomial) :
1.      Sumber Mikroorganisme yang dapat menmbulkan infeksi.
2.      Rute penyebaran mikroorganisme tersebut.
3.      Inang yang rentan terhadap infeksi oleh mikroorganisme tersebut

5. Proses penularan penyakit

a. Penularan secara kontak (Contact transmision)

Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, dan droplet.Kontak langsung terjadi
apabila sumber infeksi berhubungan langsung dengan penjamu, misalnya person to person
pada penularan infeksi virus hepatitis A secara fecal oral. Kontak langsung terjadi apabila
penularan membtuhkan objek perantara (biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena benda
mati tersebut telah terkontaminasi oleh infeksi, misalnya kontaminasi peralatan medis oleh
mokroorganisme.

b. Penularan melalui common vehicle


Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman, dan dapat
menyebabkan penyakit pada lebih dari satu penjamu. Adapun jenis-jenis common
vehicleadalah darah/produk darah, cairan intravena, obat-obatan, dan sebagainya.

c. Penularan melalui udara, dan inhalasi

Penularan terjadi karena mikroorganisme mempunyai ukuran yang sangat kecil sehingga
dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh, dan melalui saluran pernafasan.
Misalnya mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas (staphylococcus),
dan tuberculosis.

d. Penularan dengan perantara vektor

Terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut penularan secara mekanis dari
mokroorganisme yang menempel pada tubuh vector, missal shigella, dan salmonella oleh
lalat. (Septiari 2012)

6. Manajemen infeksi nosocomial

Langkah-langkah pencegahan infeksi nosokomial menjadi tanggung jawab seluruh orang


yang berada di rumah sakit, termasuk petugas kesehatan, seperti dokter dan perawat, pasien,
dan orang yang berkunjung. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah
penyebaran infeksi ini adalah:
1. Cuci tangan
Penting bagi semua orang yang berada di rumah sakit untuk mencuci tangan dengan cara
yang benar sesuai rekomendasi WHO. Ada 5 waktu wajib untuk cuci tangan saat berada di
rumah sakit, yaitu:

 Sebelum memegang pasien


 Sebelum melakukan prosedur dan tindakan kepada pasien
 Setelah terpapar dengan cairan tubuh (misalnya darah, urin, atau feses)
 Setelah menyentuh pasien
 Setelah menyentuh barang-barang di sekitar pasien

2. Jaga kebersihan lingkungan rumah sakit


Lingkungan rumah sakit perlu dibersihkan dengan cairan pembersih atau disinfektan. Lantai
rumah sakit perlu dibersihkan sebanyak 2–3 kali per hari, sementara dindingnya perlu
dibersihkan setiap 2 minggu.
3. Gunakan alat sesuai dengan prosedur
Tindakan medis dan penggunaan alat atau selang yang menempel pada tubuh, seperti infus,
alat bantu napas, atau kateter urine, harus digunakan dan dipasang sesuai SOP (standar
operasional prosedur) yang berlaku di tiap-tiap rumah sakit dan sarana kesehatan.
4. Tempatkan pasien berisiko di ruang isolasi
Penempatan pasien harus sesuai dengan kondisi dan penyakit yang diderita. Contohnya,
pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah atau pasien yang berpotensi untuk menularkan
penyakit ke pasien lain akan ditempatkan di ruang isolasi.
5. Gunakan APD (alat pelindung diri) sesuai SOP
Staf dan setiap orang yang terlibat dalam pelayanan di rumah sakit perlu menggunakan alat
pelindung diri sesuai SOP, seperti sarung tangan dan masker, saat melayani pasien. (Mehta, et
al. (2014). Guidelines for Prevention of Hospital Acquired Infections. Indian J Crit Care
Med. 18 (3), pp. 149-163 ).

D. Pencegahan dan Pengendalian infeksi silang


1. Prosedur perawatan pasien

Multi-disciplinary approach
Pendekatan multi-disipliner
Kami menerapkan pendekatan multi-disipliner terhadap manajemen dan perawatan pasien. Tim
dokter spesialis yang sangat berpengalaman, ahli bedah dan profesional kesehatan yang terkait
bekerja sama untuk memastikan perawatan yang optimal yang disediakan untuk pasien kami.
Perawatan pasien yang komprehensif dan tanpa batas
Untuk melengkapi fasilitas rawat jalan di pusat spesialis kami, Parkway Asian Transplant Unit
khusus yang terletak di Rumah Sakit Gleneagles, Singapura, menyediakan perawatan yang tanpa
batas dan personal untuk pasien yang membutuhkan ruang rawat inap dan fasilitas Intensive Care
Unit (ICU).
Teknologi inovatif
Telemedika memberikan akses 24/7 dan memantau kemajuan pasien, menyediakan komunikasi
langsung antara dokter, perawat dan pasien. Selain itu, kami juga bekerja sama dengan UPMC
pada Layanan Konsultasi Patologi yang menyediakan opini kedua yang komprehensif untuk
layanan patologi anatomi dasar untuk menawarkan tes diagnostik molekuler khusus dengan cara
yang hemat biaya dan tepat waktu.
Pasien international
Untuk memastikan bahwa pasien luar negeri kami beserta keluarga mereka menikmati kemudahan
dalam masa peralihan dan ketenangan ketika mereka menerima perawatan dan pengobatan
optimal, kami menyediakan layanan seperti:
 Evakuasi pesawat darurat internasional 24/7
 Mendampingi spesialis luar dan/atau staf perawat selama dalam transportasi darat maupun udara
 Layanan ambulans lokal dan internasional
 Bantuan logistik lokal (seperti akomodasi dan transportasi lokal); paspor, visa dan dokumen
pemulangan
 Layanan interpretasi (bahasa tertentu)

2. Prosedur pengelolaan alat dan bahan perawatan /pelayanan medis


 Peralatan Non Kritikal
Persiapan alat :
a) Desinfeksi dalam bentuk spray
b) Lap kering bersih atau tissue
c) APD berupa sarung tangan bersih dan masker

Cara kerja :

a) Petugas melakukan kebersihan tangan


b) Petugas menggunakan APD
c) Lap atau semprotkan desinfektan pada peralatan yang telah digunakan secara
merata dengan jarak semprot 20 – 30 cm
d) Diamkan permukaan selama 10 – 15 detik
e) Keringkan dengan lap kering bersih atau tissue
f) Simpan peralatan dalam tempatnya
 Peralatan Kritikal dan Semi Kritikal
Persiapan alat :
a) APD petugas berupa berupa masker, sarung tangan dan apron
b) Cairan Enzymatik
c) Cairan untuk DTT (Desinfektan Tingkat Tinggi)
d) Sikat alat
e) Lap kering bersih

Cara kerja :

a) Petugas melakukan kebersihan tangan


b) Petugas menggunakan APD
c) Cuci tangan dengan air mengalir, bersihkan darah, cairan tubuh dan jaringan
yang menempel
d) Kemudian dilakukan perendaman menggunakan cairan Enzymatik
e) Untuk peralatan semi kritikal dilakukan DTT dengan cara direndam dalam
larutan desinfektan kimiawi, sesuai prosedur
f) Untuk peralatan kritikal dilakukan sterilisasi sesuai
g) Setelah selesai, simpan peralatan dalam tempatnya

(RSUD. TJITROWARDOJO PURWOREJO. 2018)

3. Penjagaan kebersihan, penataan lingkungan dan sanitasi lingkungan

Penjagaan kebersihan

1. Mulai Dari Lingkungan Rumah

Hal paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan
adalah dengan menjaga kebersihan rumah dan halaman. Karena kebersihan rumah dan
halaman akan membuat kita menjadi lebih terbiasa untuk membersihkan lingkungan lainnya.
Pastikan kita selalu menyapu rumah setidaknya 2 kali sehari. Sapu juga halaman rumah
setidaknya 2 kali dalam seminggu.

2. Mendaur Ulang

Ada banyak jenis sampah yang akan mengotori lingkungan sekitar yang sebenarnya bisa
didaur ulang dengan baik. Misalnya saja memanfaatkan kaleng dan botol bekas untuk
dijadikan wadah apapun. Kaleng bekas bisa dirubah menjadi sebuah pot bunga dan kita
bahkan bisa menghiasnya. Ini akan menjadi hal yang positif dibandingkan membiarkannya
menjadi sampah yang menumpuk.
3. Pembuatan Pupuk Kompos

Pupuk kompos bisa dibuat dari sampah organik. Daripada membiarkannya terbengkalai dan
membusuk hingga menimbulkan bibit penyakit, lebih baik jika diolah menjadi pupuk kompos
yang berguna bagi pertanian dan perkebunan.

4. Tidak Membuang Sampah Sembarangan

Hal terpenting dalam menjaga kebersihan lingkungan adalah untuk tetap membiasakan hal-
hal baik seperti kebiasaan membuang sampah apada tempatnya. Jangan membiarkan sampah
bertebaran dimana-mana tanpa peduli untuk membuangnya ditempatnya.

Bahkan, jika memungkinkan selalu menanamkan pada diri kita masing-masing untuk tetap
menjaga kebersihan dengan memungut sampah yang berserakan di jalanan. Membuangnya
pada tempat yang seharusnya walaupun kita bukanlah petugas kebersihan.

5. Memisahkan Jenis Sampah

Menggunakan jenis tong sampah yang berbeda untuk sampah an organik dan sampah organik
adalah hal yang baik. Karena sampah organik adalah sampah yang bisa diolah dan dijadikan
pupuk. Sedangkan sampah an organik sebagian dari sampah tersebut juga bisa dijadikan
furniture tertentu. Memisahkan kedua jenis sampah ini akan membantu dalam proses
pengolahan.

6. Kegiatan Gotong Royong

Hal penting lainnya adalah untuk selalu rutin membiasakan kebiasaan gotong royong sesama
warga. Ini tidak hanya membantu membersihkan lingkungan sekitar, namun juga akan
membantu dalam mempererat jalinan kerja sama antar warga.

Biasanya kegiatan gotong royong ini akan dilakukan setidaknya sekali dalam seminggu agar
lingkungan benar-benar bersih dari sampah. Jadi, sangatlah penting untuk menjaga
kekompakan antar warga agar bisa sama-sama untuk mewujudkan kebersihan lingkungan
yang dibutuhkan oleh semua orang.

7. Meremukkan Sampah

Kebanyakan sampah anorganik seperti botol plastik maupun kedus dan lainnya akan
membuat volume sampah menjadi lebih banyak. Jadi, hal penting yang bisa dilakukan untuk
mengurangi jumlah volume sampah adalah dengan meremukkannya.

Meremukkan sampah ini tidak hanya mengurangi volume sampah yang ada, namun juga
berperan untuk meminimalisir penggunaan ulang sampah yang merugikan. Misalnya saja
oknum yang menggunakan sampah botol minuman untuk digunakan kembali tanpa proses
sterilisasi.

8. Penghijauan

Siapa sangka untuk mewujudkan lingkungan yang sehat, rindang dan asri bisa dilakukan
dengan mudah. Salah satunya adalah dengan proses penghijauan. Ajaklah tetangga untuk
menanam banyak bibit pohon di lingkungan sekitar.
Dengan banyaknya pepohonan yang ada maka lingkungan akan menjadi makin bersih dan
asri. Tanaman akan mendaur ulang udara yang tidak sehat menjadi lebih sehat dan membuat
kita menjadi lebih mudah mendapatkan udara yang bersih.

9. Penutupan Saluran Air

Menutup saluran-saluran air yang ada juga merupakan tindakan yang bisa dilakukan untuk
selalu menjaga kebersihan lingkungan. Karena biasanya saluran air yang terbuka akan
memicu banyak orang membuang sampah sembarangan dan menjadikan saluran tersebut
sebuah sarang sampah dan sumber berbagai penyakit.

10 Buat Lubang Sampah

Anda bisa emmbuat lubang khusus yang disediakan untuk memasukan sampah organik,
hingga nantinya bisa terdaur ulang dan meminimalisir bau.  Kita tahu bahwa sampah organik
akan emmbusuk dan akan menimbulkan bau yang tak sedap, oleh karena itu masukan
kedalam lubang dan timbun kembali.

11. Memperbanyak Tong Sampah

Orang-orang seringkali membuang sampah semabarangan dikarenakan kurangnya jumlah


tong sampah yang tersedia. Jadi, perbanyaklah jumlah tong sampah di jalanan maupun di
sekitar lingkungan perumahan.

12. Sosialisasi

Melakukan penyuluhan atau sosialisasi adalah hal yang diperlukan agar orang-orang
mengetahui bagaimana pentingnya upaya menjaga kebersihan lingkungan. Ini akan
menyadarkan banyak orang akan bahaya lingkungan kotor dan memotivasi agar bisa menjaga
kebersihan lingkungan.

( Dinas Perumahan, Permukiman dan Pertahanan. 2019)


Penataan lingkungan

Penataan lingkungan hidup adalah rangkaian kegiatan menata sebuah kawasan agar lebih
bermanfaat secara optimal berdasarkan ketentuan dalam rencana tata ruang wilayah.
Kawasan yang penataan rapih dan tertata dengan baik dan disesuaikan dengan fungsi
kawasan tersebut, akan menjadikan kawasan tersebut menjadi lebih bermanfaat.
Tujuan penataan lingkungan antara lain :
 Agar tercipta pengelolaan lingkungan secara terencana, rasional dan optimal sesuai daya
dukungnya.
 Agar terwujudnya keseimbangan tata guna lahan dengan daya dukung lingkungan.
 Agar tercipta kelestarian mutu lingkungan dan kesejahteran makhluk hidup .
( Ani Maryani. 2014)

Sanitasi lingkungan

Sanitasi lingkungan berkaitan erat pada perilaku menjaga kebersihan dan kesehatan pada
lingkungan tempat kita berada. Sanitasi lingkungan bertujuan untuk mencegah diri sendiri
maupun lingkungan untuk bersentuhan langsung dengan kotoran atau bahan buangan/limbah
lainnya. Ini berarti bahwa sanitasi lingkungan adalah segala sesuatu yang merupakan upaya
untuk menjaga kebersihan lingkungan kita. Misalnya membuang sampa pada tempatnya dan
melakukan pengolahan sampah dengan baik. Dengan ini sampah tidak menumpuk di sekitar
tempat kita tinggal dan menjadi masalah baru yang berdampak negatif terhadap kesehatan
orang-orang di lingkungan kita. Sanitasi lingkungan telah diperagakan manusia sejak ribuan
tahun yang lalu di lembah Hindus, Romawi, Mesir kuno, yang menyediakan air bersih baik
warganya.
Kegagalan sanitasi lingkungan dapat menjadikan bencana dan wabah mematikan. Menjelang
abad pertengahan di Eropa,sanitasi lingkungan begitu buruk, akibatnya wabah pes merajalela
dan menelan banyak korban jiwa. Ini adalah peristiwa penyakit terburuk dalam sejarah umat
manusia. Oleh karena itu sanitasi lingkungan harus dijaga dengan baik. Salah satunya adalah
dengan menjamin ketersediaan air dalam waktu yang lama. Air adalah zat yang penting
dalam menunjang kehidupan kita. Selain untuk diminum dan diperlukan dalam memasak, air
juga dibutuhkan untuk mendukung kesehatan, sederhana tapi fatal adalah ketika tidak ada air
untuk mencuci tangan. Padahal cuci tangan adalah perilaku sederhana yang mendorong pada
sanitasi lingkungan. Dengan cuci tangan seseorang telah menjauhkan mayoritas kotoran dan
kuman penyebab sakit dari tangannya yang secara otomatis mengurangi kans penyakit masuk
dalam tubuhnya.
Peran penting air untuk sanitasi lingkungan
Memang air memegang aspek yang penting terkait dengan kegiatan sanitasi terhadap
lingkungan, termasuk memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Kegiatan
sanitasi tersebut diantara lain:

 Air sangat berperan penting dalam buruk atau baiknya kesehatan masyarakat dikaitkan

dengan proses dan pengumpulan pembuangan limbah.

 Air yang disiram saat buang air, baik besar maupun kecil memakan 40% dari keperluan air

seluruh keluarga.

 Pengelolaan air buangan/limbah, baik industri maupun rumah tangga perlu dikelola dengan

baik. Jangan sampai buangan ini justru menjadi penyebab sakitnya masyarakat.

 Selokan dan kanal yang memadai akan mengalirkan air hujan sehingga tidak tergenang dan

menimbulkan kesempatan nyamuk berkembang biak. Selain itu juga menghindari terjadinya

bencana banjir yang juga mengancam kesehatan masyarakat.


Sanitasi ekologi dalam rangka kesehatan publik berarti segala daya, upaya dan proses untuk
mengolah limbah buangan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan dengan cara
menggunakan kembali air yang didaur ulang. Model sanitasi ini cukup asing di telinga orang
awam karena terasa aneh. Banyak orang yang bergidik ngeri ketika kita meminum air yang
sudah didaur ulang dari limbah rumah tangga, bekas kencing misalnya. Padahal itu bukan
suatu yang mustahil. Dengan teknologi yang ada kita bahkan dapat meminum langsung air
dari sumur atau sumber air tanpa harus dimasak. Dan sekarang semua sudah bisa dilakukan
dengan harga yang murah.
( dr. Marianti. 2019 )
4. Prinsip perlindungan diri dalam perawatan pasien
Prinsip yang harus dipenuhi dalam pemilihan APD:
• Harus dapat memberikan perlindungan terhadap bahaya yang spesifik atau bahaya-bahaya
yang dihadapi (Percikan, kontak langsung maupun tidak langsung).
• Berat APD hendaknya seringan mungkin, dan alat tersebut tidak menyebabkan rasa
ketidaknyamanan yang berlebihan.
• Dapat dipakai secara fleksibel (reuseable maupun disposable)
• Tidak menimbulkan bahaya tambahan.
• Tidak mudak rusak.
• Memenuhi ketentuan dari standar yang ada.
• Pemeliharaan mudah.
• Tidak membatasi gerak ( Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020)
5. Personal hygiene
Personal Hygiene (kebersihan diri) merupakan perawatan diri yang di lakukan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan diri sendiri baik secara fisik maupun mental.
Tingkat kebersihan diri seseorang umumnya di lihat dari penampilan yang bersih dan
rapih serta upaya yang di lakukan seseorang untuk menjaga kebersihan dan kerapihan
tubuhnya setiap hari (Lyndon saputra,2013)

6. Penerapan isolasi pada pasien dengan resiko tinggi penularan

Ruang isolasi merupakan ruangan yang didesain khusus untuk menangani pasien
dengan penyakit infeksi agar terpisah dari pasien lain. Tujuan adanya ruang isolasi di
rumah sakit adalah untuk mengendalikan penyebaran penyakit menular yang bisa
mewabah.
Mengingat ruangan isolasi di rumah sakit adalah ruangan khusus, orang-orang yang bisa
masuk ke ruangan ini juga sangat terbatas. Prosedur masuknya pun tidak sembarangan dan
harus ditaati oleh perawat, dokter, petugas rumah sakit, maupun anggota keluarga pasien.
Fungsi Ruang Isolasi
Secara umum, fungsi utama ruang isolasi adalah mencegah penularan penyakit ke orang lain.
Ruang isolasi terbagi dalam 2 jenis, yaitu ruangan yang menggunakan tekanan udara negatif
dan tekanan udara positif.
Ruang isolasi yang menggunakan tekanan udara negatif digunakan untuk pasien infeksi yang
penularannya bisa terjadi lewat udara. Dengan tekanan negatif ini, udara dari dalam ruang
isolasi yang mungkin mengandung kuman penyebab infeksi tidak keluar dan
mengontami/nasi udara luar.
Sebaliknya, ruangan isolasi yang menggunakan tekanan udara positif digunakan untuk pasien
yang rentan mengalami infeksi. Tekanan udara positif didapatkan dari udara bersih yang telah
disaring dan dibersihkan, kemudian dipompa ke dalam ruangan terus-menerus. Hal ini
membuat udara yang masuk ke ruangan isolasi tetap steril.
Kondisi yang Memerlukan Ruang Isolasi

Berikut ini adalah beberapa penyakit yang dapat direkomendasikan untuk dirawat dalam
ruang isolasi:

 SARS, MERS, COVID-19
 Difteri
 Kolera
 Tuberkulosis
 Infeksi organisme yang resisten terhadap beragam obat (multi-drug resistant
organisms/MDRO)
 Cacar air
 HIV/AIDS

Dalam kondisi tertentu, ada pasien yang diharuskan untuk menempati ruang isolasi sendirian
dan ada juga yang bisa ditempatkan bersamaan dengan pasien lain. Biasanya pasien yang
menempati ruang isolasi dengan pasien lain adalah mereka yang memiliki penyakit yang
sama.

Aturan Khusus Ruang Isolasi di Rumah Sakit

Setiap rumah sakit memiliki prosedur yang berbeda-beda bagi pengunjung yang ingin
menjenguk pasien di ruang isolasi. Ada yang diperbolehkan, ada juga yang tidak
diperbolehkan. Peraturan di ruang isolasi tergantung pada penyakit pasien yang sedang
dirawat di dalamnya.
Jika Anda dibolehkan mengunjungi pasien isolasi, pastikan Anda melaporkan diri terlebih
dahulu kepada dokter atau perawat yang menjaga ruangan tersebut. Ikutilah instruksi yang
diberikan untuk menjenguk pasien.
Aturan khusus yang perlu diikuti saat menjenguk pasien yang dirawat di ruang isolasi antara
lain:

 Mencuci tangan dengan benar, baik sebelum maupun sesudah menjenguk pasien di
ruang isolasi
 Mengenakan alat pelindung diri (APD) untuk mencegah penularan penyakit dari
pasien atau untuk melindungi pasien dari kuman penyakit yang mungkin dibawa oleh
pengunjung
 Menutup pintu dengan rapat setelah masuk maupun keluar dari ruangan isolasi
 Tidak masuk ruang isolasi bila sedang menderita flu atau penyakit lainnya yang
rentan menular atau rentan tertular penyakit

Pengunjung juga harus mengikuti petunjuk dan kebijakan lain yang berlaku di rumah sakit,
misalnya jam besuk. Umumnya, anak-anak tidak diperkenankan masuk ke dalam ruang
isolasi.
Ketika seseorang dirawat di ruang isolasi, besar kemungkinan penyakit yang ia alami akan
berbahaya jika menular ke orang lain. Kemungkinan lainnya, akan sangat berbahaya bagi
pasien jika ia terkena infeksi yang ringan sekalipun.
Efek yang terjadi bila peraturan di ruang isolasi tidak diindahkan bisa sangat besar, tidak
hanya untuk pasien, tapi juga untuk tenaga medis, petugas rumah sakit, pengunjung, bahkan
masyarakat luas. Itulah sebabnya semua orang yang masuk ke ruang isolasi harus mengikuti
peraturan dengan tertib. (Jacob, S., Yadav, S. S., & Sikarwar, B. S. (2019))

E. Peran perawat dalam patient safety

1. Peran perawat dalam patient safety


Peran Perawat dalam Patient Safety Penerapan patient safety di rumah sakit sangat
dipengaruhi oleh peran perawat. Hal ini karena perawat merupakan komunitas terbesar di
rumah sakit dan perawat adalah orang yang paling dekat dengan pasien. (Adventus MRL,
SKM., M.Kes, Ns. Donny Mahendra, S.Kep, I Made Mertajaya, S.St., M.Kes. (2019))

2. Pencegahan dan penurunan kejadian yang tidak diharapkan dari kesalahan


medis (medical error) di RS
Dampak dari medical error sangatlah merugikanpasien akan menjalani hari rawat yang
lebih lama serta peningkatan angka kecacatan serta kematian . Terdapat 7 teknik yang
dapat digunakan untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya medical error di lingkungan
rumah sakit yaitu :
 Chart Review,
 Claim Data,
 Laporan Insidental,
 Pemeriksaan Administratif,
 Monitoring computer,
 Peninjauan Langsung,
 Monitoring pasien

Selain teknik diatas, interview dengan pasien dapat dikerjakan untuk dapat melihat secara
langsung kualitas pelayanan keperawatan dan tindakan medis yang dilakukan,
menggunakan form kepuasan pasien, atau format yang telah disusun sebelumnya. Cara
ini efektif untuk dilakukan, mengingat medical error biasanya terjadi karena komunikasi
yang buruk dengan pasien. ( dr. M. Hardhantyo Puspowardoyo. 2015)

3. Peningkatan keselamatan pasien di RS

Untuk mencapai dan menjaga kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka dibutuhkan
tindakan yang komprehensif dan responsif terhadap kejadian tidak diinginkan (KTD), agar
kejadian serupa tidak terulang kembali; resiko KTD dapat diminimalkan bahkan dicegah
dengan memperhatikan keselamatan pasien.

Keselamatan Pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi
asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
Standar Keselamatan Pasien :
Standar Keselamatan Pasien wajib diterapkan fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah
sakit dan penilaiannya dilakukan dengan menggunakan Instrumen Akreditasi (Akreditasi
Rumah Sakit).

Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar yaitu:

1. Hak pasien.
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang
rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
2. Mendidik pasien dan keluarga.
Fasilitas pelayanan kesehatan harus mendidik pasien dan keluarganya tentang
kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
3. keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan.
Fasilitas pelayanan kesehatan menjamin keselamatan pasien dalam kesinambungan
pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien.
Fasilitas pelayanan kesehatan harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses
yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
menganalisis secara intensif insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan
kinerja serta keselamatan pasien.
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.
Pimpinan rumah sakit harus berperan terhadap keselamatan pasien di rumah sakit;
antara lain Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan
pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah
Menuju Keselamatan Pasien“.
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien.
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan terutama rumah sakit harus memiliki program
pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan
pasien sesuai dengan tugasnya masing-masing. Fasilitas pelayanan kesehatan
terutama rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung
pendekatan interdisipliner dalam pelayanan pasien.
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
Fasilitas pelayanan kesehatan merencanakan dan mendesain proses manajemen
informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan
eksternal. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

Sasaran Keselamatan Pasien :


Di Indonesia secara nasional untuk seluruh Fasilitas pelayanan Kesehatan,diberlakukan
Sasaran Keselamatan Pasien Nasional yang terdiri dari :

 SKP.1 : Mengidentifikasi Pasien Dengan Benar


 SKP.2 : Meningkatkan Komunikasi Yang Efektif.
 SKP.3 : Meningkatkan Keamanan Obat-obatan Yang Harus Diwaspadai.
 SKP.4 : Memastikan Lokasi Pembedahan Yang Benar, Prosedur Yang Benar,
Pembedahan Pada Pasien Yang Benar
 SKP.5 : Mengurangi Risiko Infeksi Akibat Perawatan Kesehatan.
 SKP.6 : Mengurangi Risiko Cedera Pasien Akibat Terjatuh.
Rumah sakit sebagai salah satu institusi pelayanan kesehatan memiliki fungsi penting dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga harus selalu meningkatkan mutu
pelayanan yang diberikan; dan diantaranya adalah fokus pada pencapaian 6 (enam) Sasaran
Keselamatan Pasien. (Permenkes Nomor 11 Tahun 2017)

4. Pelaksanaan program-program patient safety


Pelaksanaan “Patient safety” meliputi

1. Sembilan solusi keselamatan Pasien di RS (WHO Collaborating Centre for Patient 


Safety, 2 May 2007), yaitu:

1)      Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication
names)

2)      Pastikan identifikasi pasien

3)      Komunikasi secara benar saat serah terima pasien

4)      Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar

5)      Kendalikan cairan elektrolit pekat

6)      Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan

7)      Hindari salah kateter dan salah sambung slang

8)      Gunakan alat injeksi sekali pakai

9)      Tingkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi nosokomial.

2. Tujuh Standar Keselamatan Pasien (mengacu pada “Hospital Patient Safety


Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health
Organizations, Illinois, USA, tahun 2002),yaitu:

1.      Hak pasien

Standarnya adalah

Pasien & keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana &
hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan).

Kriterianya adalah

1)      Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan

2)      Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan


3)      Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan yang jelas dan
benar   kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau
prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya KTD

2.      Mendidik pasien dan keluarga

Standarnya adalah

RS harus mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggung jawab pasien
dalam asuhan pasien.

Kriterianya adalah:

Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dgn keterlibatan pasien


adalah partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS harus ada system dan
mekanisme mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggung jawab pasien
dalam asuhan pasien.Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien & keluarga dapat:

1)      Memberikan info yg benar, jelas, lengkap dan jujur

2)      Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab

3)      Mengajukan pertanyaan untuk hal yg tdk dimengerti

4)      Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan

5)      Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS

6)      Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa

7)      Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati

3.      Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

Standarnya adalah

RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar
unit pelayanan.

Kriterianya adalah:

1)      koordinasi pelayanan secara menyeluruh

2)      koordinasi pelayanan disesuaikan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya

3)      koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi

4)      komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan


4.      Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien

         Standarnya adalah

RS harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yg ada, memonitor &
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, &
melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta KP.

Kriterianya adalah

1)      Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik, sesuai
dengan  ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.

2)      Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja

3)      Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif

4)      Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis

5.      Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

Standarnya adalah

1)      Pimpinan dorong & jamin implementasi progr KP melalui penerapan “7 Langkah
Menuju KP RS ”.

2)      Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi risiko KP &


program mengurangi KTD.

3)      Pimpinan dorong & tumbuhkan komunikasi & koordinasi antar unit & individu
berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang KP

4)      Pimpinan mengalokasikan sumber daya yg adekuat utk mengukur, mengkaji, &
meningkatkan kinerja RS serta tingkatkan KP.

5)      Pimpinan mengukur & mengkaji efektifitas kontribusinyadalam meningkatkan


kinerja RS & KP.

         Kriterianya adalah

1)      Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.

2)      Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program
meminimalkan insiden,

3)      Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah
sakit terintegrasi dan berpartisipasi
4)      Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada
pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian
informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.

5)      Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden,

6)      Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden

7)      Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar
pengelola pelayanan

8)      Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan

9)      Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria


objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan
pasien

6.      Mendidik staf tentang keselamatan pasien

Standarnya adalah

1)      RS memiliki proses pendidikan, pelatihan & orientasi untuk setiap jabatan
mencakup keterkaitan jabatan dengan KP secara jelas.

2)      RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang berkelanjutan untuk


meningkatkan & memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin
dalam pelayanan pasien.

Kriterianya adalah

1)      memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik
keselamatan pasien

2)      mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice training
dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.

3)      menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna


mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.

7.      Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

           Standarnya adalah

1)      RS merencanakan & mendesain proses manajemen informasi KP untuk memenuhi


kebutuhan informasi internal & eksternal.

2)      Transmisi data & informasi harus tepat waktu & akurat.

           Kriterianya adalah


1)      disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk
memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.

2)      Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi
manajemen informasi yang ada

5. Komunikasi antar anggota team kesehatan


Standar akreditasi RS 2012 SKP.2 / JCI IPSG.2 mensyaratkan agar rumah sakit
menyusun cara komunikasi yang efektif, tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan dapat
dipahami penerima. Hal itu untuk mengurangi kesalahan dan menghasilkan perbaikan
keselamatan pasien. Bentuk komunikasi yang rawan kesalahan diantaranya adalah
instruksi untuk penatalaksanaan pasien yang diberikan secara lisan atau melalui telepon.
Bentuk lainnya berupa pelaporan hasil tes abnormal, misalnya petugas laboratorium
menelepon ke ruang perawatan untuk melaporkan hasil tes pasien. Rumah sakit perlu
menyusun kebijakan dan atau prosedur untuk mengatur pemberian perintah / pesansecara
lisan dan lewattelepon.
Kebijakan dan atau prosedur itu harus memuat:
1. Perintah lengkap, lisan dan lewat telepon, atau hasil tes dicatat si penerima.
2. Perintah lengkap, lisan dan lewat telepon, atau hasil tes dibaca-ulang
sipenerima.
3. Perintah dan hasil tes dikonfirmasikan oleh individu si pemberi perintah atau
hasiltes.
4. Pelaksanaan yang konsisten dari verifikasi tepat-tidaknya komunikasi lisan
danlewat telepon.
5. Alternatif yang diperbolehkan bila proses membaca-ulang tidak selalu
dimungkinkan, misalnya di ruang operasi dan dalam situasi darurat di bagian
gawat darurat atau unit perawatanintensif.

F. Early Warning Score


1. Pengertian

Early warning score (EWS) merupakan sebuah skor risiko klinis berdasarkan
parameter yang meliputi tanda-tanda vital yaitu denyut jantung, tekanan darah,
pernapasan, suhu, saturasi oksigen dan tingkat kesadaran untuk membantu pasien
mendapatkan tindakan medis secepatnya (Bonnici, et al., 2016). EWS merupakan
cara pendeteksian dini bagi penurrunan kondisi fisiologi pasien dengan enam
parameter yaitu tekanan darah sistolik, denyut nadi, pernapasan, suhu tubuh, saturasi
oksigen maupun tingkat kesadaran berdasarkan hasil pengkajian penilaian skor
sehingga dapat dilakukan intervensi yang sesuai dengan hasil pengkajian tersebut
( Royal College of Physicians, 2012).
2. Tujuan

Tujuan penerapan Early Warning Score (EWS) system ini untuk:


1. Menilai pasien dengan kondisi akut
2. Mendeteksi sejak dini penurunan kondisi klinis pasien selama dalam perawatan di rumah
sakit
3. Dimulainya respon klinik yang tepat waktu secara kompeten
(Royal College of Physicians, December 2017)

3. Aspek yang dinilai/parameter


Parameter yang dinilai dalam EWS mencakup 7 (tujuh) parameter yaitu :
1) Tingkat kesadaran
2) Respirasi/ Pernapasan,
3) Saturasi oksigen,
4) Oksigen tambahan (non-rebreathing mask, rebreathing mask, nasal kanula)
5) Suhu
6) Denyut nadi,
7) Tekanan darah sistolik (Royal College of Physicians, December 2017)

4. Cara penilaian dan analisis

Nilai EWS: 0
Frekuensi Monitoring:
Minimal 3 kali sehari
atau 1 kali/ shift  atau tiap 4 jam untuk pasien paska perawatan intensive

Respon Klinik :
Lanjutkan monitoring EWS rutin
Jika pada re-asesmen ditemukan skor > 0, ikuti petunjuk respon klinis skor rendah ( HIJAU )

Nilai EWS: Total 1 - 4 ( SKOR RENDAH )


Frekuensi Monitoring:
Tiap 4 jam

Respon Klinik:

 Hubungi  Dokter Jaga


 Dokter Jaga verifikasi kondisi pasien dalam waktu < 1 jam setelah dilaporkan
 Dokter Jaga memutuskan  frekuensi monitoring  ditambah atau ekskalasi ke Dokter
Penanggung Jawab Pasien (Dokter Spesialis)
 Jika pada re-asesmen ditemukan skor < 1 selama 4 jam observasi, lanjutkan observasi
sesuai petunjuk respon klinis skor 0 
 Sebaliknya, jika ditemukan skor > 2 setelah 2 jam observasi:                                             
-Lakukan re-asesmen dan tingkatkan frekuensi onservasi                                                   
-Lanjutkan observasi sesuai petunjuk skor medium ( KUNING )
Nilai EWS: Skor MEDIUM (Nilai 3 di sembarang parameter) atau Total 5 - 6
Frekuensi Monitoring: 
Terus menerus tiap 1 jam sampai kondisi membaik (EWS/ PEWS < 5)

Respon Klinis:
 Hubungi Dokter Jaga
 Dokter Jaga melakukan verifikasi dalam 30 menit sejak dilaporkan, melakukan
pemeriksaan dan penanganan pasien
 Jika pada re-asesmen ditemukan skor < 5 selama 4 jam observasi, lanjutkan observasi
sesuai petunjuk respon klinis skor rendah ( HIJAU )
 Sebaliknya, jika ditemukan skor > 6 setelah 1 jam observasi:
 Lakukan re-asesmen ( perawat/ Dokter Jaga )
 Tingkatkan frekuensi observasi tiap 30 menit.
 Observasi pasien sesuai petunjuk skor Tinggi ( MERAH )
Nilai EWS: Total 7 atau lebih   (SKOR TINGGI)
Frekuensi Monitoring: Continuous monitoring dan penanganan dalam 30 menit

Respon Klinik:
 Hubungi Dokter Jaga 
 Dokter Jaga melakukan verifikasi, pemeriksaan da penanganan pasien dalam waktu  < 15
menit sejak aktivasi EWS
 Dokter Jaga lapor Dokter Penanggung-Jawab Pasien, Bila >3x tidak dpt dihubungi,
kontak Dokter Spesialis yang sama bidangnya.
 Dokter Jaga menginformasikan kepada keluarga tentang kondisi pasien dan kemungkinan
pindah rawat ruang intensif
 Monitor secara kontinu dengan alat monitor portable ( jika tersedia )
 Jika dalam waktu 30 menit sejak penanganan dan konsultasi dengan Dokter Penanggung-
Jawab Pasien terjadi perburukan pasien, maka Dokter Jaga atas ijin Dokter Penanggung-
Jawab Pasien mengkonsultasikan kepada Intensivist dan rekomendasi untuk rawat di
ruang Intensif (ICU)
 Jika terjadi Cardiac Arrest, lakukan penanganan sesuai algorithme Code Blue.
 Jika respon pasien membaik, dan skor < dari 7 setelah 4 jam observasi secara terus
menerus, kembali ikuti petunjuk respon klinis medium ( KUNING )
 Jika SKOR tetap > 7, Dokter Penanggung-Jawab Pasien dan keluarga setuju rawat ruang
Intensif
 Pasien dipindahkan ke Ruang Intensif
Catatan: Dokter Penanggung-Jawab Pasien adalah dokter spesialis yang bertanggung jawab pada
pasien tersebut
(Royal College of Physicians, December 2017)

5. Penerapan Early Warning Score di ruang perawatan


Penerapan EWSS di gawat darurat karena terjadinya over crowding,sehingga memperpanjang
waktu tunggu rawat di IGD, Monitoring yang dilakukan tidak optimal menyebabkan pasien
mengalami perburukan dari katagori kuning menjadi merah.

Early warning scores lebih berfokus kepada mendeteksi kegawatan sebelum hal tersebut
terjadi. Sehingga diharapkan dengan tatalaksana yang lebih dini, kondisi yang mengancam
jiwa dapat tertangani lebih cepat atau bahkan dapat dihindari, sehingga output yang
dihasilkan lebih baik (Firmansyah, 2013).

G. Sterilisasi
1. Pengertian Sterilisasi

Sterilisasi merupakan salah satu metode menggunakan uap air pada suhu 211 C selama
beberapa waktu tertentu. Tujuan pemanasan adalah memusnahkan bakteri patogen dan
spora bakteri elostridium bolulinum yang berbahaya. Metodesterilisasi yang paling umum
dilakukan adalah menggunakan kaleng atau kemasantetra pack (Yuyun dan Gunaisa, 2011)

2. Klasifikasi dan penggolongan Sterilisasi ( mekanik, fisik, dan kimia)


a. Sterilisasi secara mekanik (filtrasi) menggunakan suatu saringan yang berpori sangat kecil
(0.22 mikron atau 0.45 mikron) sehingga mikroba tertahan pada saringan tersebut. Proses ini
ditujukan untuk sterilisasi bahan yang peka panas, misalnya larutan enzim dan antibiotik. 1 b.
Sterilisasi secara fisik dapat dilakukan dengan pemanasan & penyinaran. 1) Pemanasan a)
Pemijaran (dengan api langsung): membakar alat pada api secara langsung, contoh alat jarum
inokulum, pinset, batang L, dll. b) Panas kering: sterilisasi dengan oven kira-kira 60-1800 c)
Uap air panas: konsep ini mirip dengan mengukus. Bahan yang mengandung air lebih tepat
menggunakan metode ini supaya tidak terjadi dehidrasi. C. Sterilisasi panas kering cocok
untuk alat yang terbuat dari kaca misalnya erlenmeyer, tabung reaksi, dll. d) Uap air panas
bertekanan: menggunalkan autoklaf 2) Radiasi a) Sinar Ultra Violet (UV) juga dapat
digunakan untuk proses sterilisasi, misalnya untuk membunuh mikroba yang menempel pada
permukaan interior Biological Safety Cabinet (BSC) atau Laminar Air Flow (LAF) dengan
disinari lampu UV. b) Gamma bersumber dari Cu60 dan Cs c. Sterilisasi secara kimiawi
biasanya menggunakan senyawa desinfektan. Desinfektan adalah suatu bahan kimia yang
dapat membunuh sel-sel vegetatif dan jasad renik, bersifat merusak jaringan. Prosesnya
disebut desinfeksi. Contoh: alkohol, fenol, halogen. 137 dengan aktivitas sebesar 50-500 kilo
curie serta memiliki daya tembus sangat tinggi. Dosis efektifitasnya adalah 2,5 MRad.
Gamma digunakan untuk mensterilkan alat-alat yang terbuat dari logam, karet serta bahan
sintesis seperti pulietilen (Hadioetomo 1985). ( Prof. Dr. Agr. Sc. Ir. Vita Ratri Cahyani,MP.
2014. Petunjuk Praktikum M.K. Mikrobiologi Pertanian Semester Agustus 2014 – Januari
2015 Program Studi Agroteknologi )

3. Tujuan Sterilisasi
Pada dasarnya sterlisasi pada bidang mikrobiologi bertujuan agar: (1) Alat atau bahan bebas
dari mikroorganisme sebelum digunakan dan (2) mikroorganisme yang ditumbuhkan pada
medium tidak terganggu oleh mikroorganisme lain.
4. Manfaat dan Penggunaan Sterilisasi
manfaat sterilisasi yaitu
1) mencegah terjadinya infeksi
2) mencegah bahan makanan menjadi rusak
3) mencegah kontaminasi mikroorganisme dalam industry (Aloysius Martha. 2018)

5. Cara dan metode Sterilisasi


1. Sterilisasi secara fisik
Selama senyawa kimia yang disterilkan tidak berubah atau terurai akibat suhu tinggi dan
atau tekanan tinggi, selama itu sterilisasi secara fisik dapat dilakukan. Misalnya dengan
pemanasan udara panas, uap air bertekanan, pemijaran, penggunaan sinar-sinar
bergelombang pendek seperti sinar X, sinar gamma, UV dan sebagainya.Sterilisasi
dengan udara panas (kering) digunakan alat yaitu oven (Hot Air 63 Sterilizer). Cara ini
umum digunakan untuk mensterilkan peralatan gelas. Suhu yang digunakan 170 – 180OC
selama 2-3 jam. Sterilisasi dengan uap air bertekanan, merupakan cara yang paling
banyak digunakan. Alat yang dipakai adalah otoklaf, umumnya material yang disterilkan
berupa medium, air dan sebagainya. Suhu yang digunakan 1210C, dengan tekanan 15 lbs
selama 15 menit. Sterilisasi dengan otoklaf merupakan cara yang paling sering digunakan
karena; uap air panas dengan tekanan tinggi memperbesar kemungkinan terjadinya
penetrasi uap air ke dalam sel mikroorganisme, yang menyebabkan koagulasi protein
protoplasma sehingga mengakibatkan kematian sel mikroorganisme.
2. Sterilisasi secara kimia
Sterilisasi secara kimia yaitu memaparkan alat atau bahan yang mengandung
mikroorganisme terhadap suatu senyawa kimia sehingga dengan suatu reaksi tertentu
dapat membunuh atau menghentikan pertumbuhan mikroorganisme tersebut tanpa
merusak bahan atau alat yang disterilisasi. Selain waktu sterilisasi, efektivitas suatu
senyawa kimia dalam membunuh mikroorganisme dipengaruhi oleh beberapa faktor :
 Jumlah mikroorganisme. Semakin besar jumlah kontaminan maka semakin lama waktu
sterilisasi.
 Keadaan populasi mikroorganisme. Seringkali kontaminan yang harus dimusnahkan
bukan satu spesies, melainkan campuran bakteri, jamur, spora dan virus sehingga
membutuhkan spektrum bahan antimikroba yang luas.
 Temperatur dan pH dari lingkungan.
 Konsentrasi (dosis) senyawa antimikroba.
 Cara senyawa antimikroba dalam membunuh (mode of action).
 Adanya pelarut, senyawa organik lain yang menginterferensi dan inhibitor seperti
saliva, darah dan feces.
Senyawa kimia yang paling banyak digunakan sebagai desinfektan (senyawa yang dapat
menghancurkan sel) antara lain CuSO4, AgNO3, HgCl2, ZnO, alkohol dan campurannya.
Beberapa larutan garam 64 seperti NaCl (9%), KCl (11%), dan KNO3 (10%). Basa kuat
dan asam kuat dapat juga digunakan karena mampu menghidrolisis sel mikroorganisme.
Larutan KmNO4 (1%) dan HCl (1,1%) merupakan desinfektan kuat. HgCl2 (0,1%)
banyak digunakan hanya sifatnya sangat beracun dan korosif. Khlor banyak digunakan
sebagai desinfektan terutama pada tempat penyimpanan air, larutan lain yang juga dapat
digunakan yaitu larutan formalin (4-20%). Sterilisasi adalah mematikan seluruh (total)
mikroorganisme yang hidup pada suatu alat atau bahan. Namun istilah desinfeksi dapat
memberi kesempatan beberapa mikroorganisme dapat survive. Desinfektan adalah agen
kimia yang digunakan untuk mendesinfeksi objek tidak hidup (inanimate) seperti
permukaan benda. Terminologi sanitasi digunakan untuk mendeskripsikan kombinasi
desinfeksi dan pembersihan. Proses perusakan sel yang disebabkan desinfektan dapat
berupa koagulasi atau denaturasi protein karena bereaksi dengan enzim mikroorganisme.
Berikut adalah jenis-jenis senyawa kimia yang bersifat desinfektan. Alkohol; atau
ethanol telah digunakan sebagai desinfektan sejak lebih dari seabad lalu. Alkohol lebih
efisien dalam mematikan mikroorganisme pada konsentrasi dibawah 100%. Dengan
adanya air bercampur alkohol maka denaturasi protein lebih mudah terjadi (seperti halnya
uap panas lebih efisien dibanding panas kering). Konsentrasi yang sering digunakan
untuk desinfektan adalah 70%. Selain mendenaturasi protein, alkohol juga dapat
melarutkan lemak sehingga berpengaruh terhadap membran sel dan kapsul beberapa jenis
virus. Sel vegetatif dan hifa dapat dimatikan dengan alkohol, namun spora seringkali
resisten. Alkohol juga dapat digunakan sebagai pelarut desinfektan lain, seperti iodine
yang dapat meningkatkan efektivitas desinfeksinya.
Halogen; merupakan salah satu jenis halogen adalah klorin. Klorin (Chlorine) efektif
sebagai desinfeksi dalam bentuk gas bebas dan sebagai senyawa pelepas klorin
sepertichlorite dan chloramines. Gas klorin (compressed) umumnya digunakan sebagai
desinfektan pada pengolahan 65 air, kolam renang atau untuk keperluan industry. Bentuk
senyawa klorin lainnya adalah Sodium hypochlorite (bleach) yang dapat mengoksidasi
gugus sulphydryl (-SH) dan disulphide (S-S) pada protein. Seperti klotrin, hipoklorit
dapat diinaktivasi dengan keberadaan materi organik. Senyawa lain yang lebih stabil
yaitu chloramines yang memiliki keunggulan lebih tahan terhadap bahan organik.
Chloramines juga lebih tidak beracun dan mampu melepas klorin secara perlahan
sehingga memperpanjang efek bakterisidal desinfektan ini. Jenis halogen lain adalah
iodine. Daya kerja iodine adalah bereaksi dengan residu tyrosin pada protein. Efek
desinfeksi iodine dapat ditingkatkan dengan melarutkannya pada ethanol 70% (iodine1%
+ethanol70%).
Senyawa fenol (Phenolics); Senyawa fenol memiliki gugus asam karboksilat yang
bersifat mematikan dengan daya kerja merusak protein dan membrane. Salah satu
keuntungan menggunakan senyawa fenol adalah tetap aktif walaupun terdapat senyawa
organik dan detergen. Desinfektan seperti Dettol, Lysol dan Chlorhexidine adalah
derivatif dari senyawa fenol. Salah satu senyawa fenol bernama Hexachlorophene sangat
efektif membunuh bakteri gram positif seperti staphylococci atau streptococci sehingga
digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan sabun, deodorant dan shampo.
Surfactants; molekul surfactans atau surface active agents seperti sabun dan detergen
memiliki kemampuan memposisikan dirinya sendiri sejajar diantara dua lapisan. Dengan
sifat ini maka bahan tidak larut air akan dilingkupi oleh molekul surfactans. Sabun
ataupun detergen lebih berguna untuk memfasilitasi pemindahan kotoran dan
mikroorganisme dibandingkan dengan sifat desinfektannya. Pemindahan kotoran dapat
terjadi karena bahan tidak larut air seperti sekret minyak pada kulit dan kotoran akan
dilarutkan (emulsifying) pada air sehingga dapat dibasuh dan dibuang. Detergen dapat
berupa anionic (bermuatan negatif), cationic (bermuatan positif) atau non ionic. Detergen
cationicseperti quartenery ammonium compounds (senyawa ammonium kuartener) dapat
melisiskan sel dengan berkombinasi terhadap phospholipids membran sel dan
merusaknya.
Ethylene oxide; pada umumnya pendedahan secara kimia seperti contoh diatas adalah
hanya bersifat desinfeksi. Namun jika menggunakan gas ethylene oxide maka baik sel
vegetatif, spora dan virus dapat dimusnahkan sehingga istilah yang digunakan adalah
sterilisasi. Gasethylene oxideumumnya dipakai untuk sterilisasi peralatan kedokteran
dalam jumlah dan material yang tidak tahan panas seperti plastik. sedangkan pada
industri pangan gas ini digunakan sebagai zat antifungi fumigant untuk buah-buahan
kering, bawang dan kacang. Bahan yang akan disterilisasi ditempatkan ke dalam wadah
tertutup kemudian diisi gas dengan udara lembab pada 40-50OC selama beberapa jam.
Ethylene oxidesangat mudah terbakar dan penggunaanya dapat dengan mencampurkan
10% gas ini ke dalam gas lain yang tidak mudah terbakar seperti karbondioksida. Bahan
yang telah disterilisasi menggunakan gasethylene oxideharus dibasuh dengan udara segar
untuk menghilangkan gas ini karena sangat bersifat toksik. Cara kerja gasethylene oxide
membunuh mikroorganisme adalah dengan mendenaturasi protein dengan memindahkan
hydrogen labil seperti pada gugus sulphydryl dengan hydroxyl ethyl radical.
3. Sterilisasi secara mekanik.
Beberapa media atau bahan akan mengalami perubahan karena tidak tahan terhadap
pemanasan tinggi ataupun tekanan tinggi. Dengan demikian maka sterilisasi yang efektif
yaitu secara mekanik misalnya, penyaringan menggunakan filter khusus. Jenis filter yang
digunakan juga tergantung dari jenis medium. Beberapa filter atau saringan yaitu: Filter
Seitz, Filter Chamberland Pasteur dan Filter Berkefeld. Prinsip sterilisasi secara mekanik
(filtrasi) yaitu menyaring suatu cairan non steril dengan kertas membran sehingga cairan
yang melewatinya akan terbebas dari mikroorganisme (steril). Pada umumnya bahan
yang disterilkan melalui cara ini adalah bahan yang mengandung senyawa tidak tahan
suhu tinggi atau tekanan tinggi seperti serum darah, antibiotik, glukosa dll. Filter
apparatus umumnya terdiri dari corong, filter base, penjepit corong, labu pengumpul,
selang, dan pompa vakum. Filter apparatus juga dapat digunakan untuk menghitung
mikroorganisme dengan prinsip yang sama dengan sterilisasi filtrasi. Kertas membran
filter memiliki pori-pori yang sangat 67 kecil, lebih kecil dari ukuran bakteri pada
umumnya. Diameter poripori dapat berukuran 0,2 um, 0,45 um, 0,65 um dll. Kertas
membran yang baik adalah yang bebas dari bahan inhibitor atau stimulus pertumbuhan,
bebas dari bahan yang mampu menginterfrensi indikator media, tinta skala yang tidak
beracun, berdiameter 47 mm, berpori maksimal 0,45 um, minimal 70% luas area berpori.
Mampu dilewati dengan flowrate 55 ml/menit/cm2 pada 25OC, diharapkan tetap mampu
menyaring kultur cair 1x103 Serratia marcescens. Sedangkan ISO11133-1 (2009:8)
menyarankan menggunakan filter berukuran 0,2 µm dan membasuh kertas membran
setelah digunakan untuk melarutkan substansi yang tertinggal pada kertas membran
seperti protein dan antibiotik.
4. Pasteurisasi.
Pasteurisasi adalah teknik sterilisasi yang biasa digunakan untuk larutan-larutan yang
mudah rusak apabila terkena suhu tinggi lebih tepat digunakan untuk susu dan produk
susu. Pasteurisasi tidak membunuh semua mikroorganisme yang terdapat pada susu
namun menguranginya sehingga akan lebih tahan lama disimpan. Bakteri thermoduric
memiliki kemungkinan bertahan hidup lebih besar saat pasteurisasi. Pasteurisasi terdapat
dua cara yaitu metode lama (yang dikembangkan oleh Louis Pasteur), dengan
memanaskan susu pada 63OC selama 30 menit atau dengan flash pasteurisasi (HTST-
High Temperature Short-Term) yaitu pemanasan cepat pada 72OC selama 15 detik
kemudian didinginkan dengan cepat.
5. Tyndalisasi
Steaming (tyndallization) atau sterilisasi bertahap (discontinue) yang dikembangkan oleh
John Tyndall adalah istilah untuk cara sterilisasi dengan uap air panas yang dapat
mencapai suhu 100°C pada wadah tanpa tekanan. Sterilisasi menggunakan uap air panas
dapat dilakukan sekali atau tiga kali (tahap) dengan hari yang berlainan dengan
memanaskannya pada80°C selama satu jam. Tindalisasi dilakukan pada suhu 90-100°C
selama 30 menit secara bertahap 3 kali. Selama jeda tahapan media diinkubasi pada 37°C
semalam. Pemanasan tiga tahap 68 dimaksudkan untuk memberi kesempatan endospora
untuk berkecambah sehingga akan mati pada tahap pemanasan selanjutnya.

6. Faktor / prinsip yang mempengaruhi keberhasilan sterilisasi (prosedur


sterilisasi, lingkungan, perilaku manusia, karakteristik bahan/alat)

1. Faktor kuman
Bila mikroorganisme yang berkontaminasi pada alat banyak berkurang oleh karena
pembersihan, maka sterilisasi hanya memerlukan waktu kontak yang relatif singkat. 
Keadaan alamiah mikroorganisme pada spesies yang berbeda mempunyai kepekaan terhadap
panas atau zat kimia yang berlainan pula. Perbedaan paling jelas ialah diantara sel vegetatif
dengan endospora bakteri dimana lingkungan dapat meningkatkan atau menurunkan daya
kerja zat kimia tersebut.
2. Faktor penularan penyakit
Dalam pengendalian penyebaran infeksi, tindakan yang harus dilakukan adalah memutuskan
mata rantai proses penularan penyakit, yang dikenal dengan istilah “circulair chain of the
infectious process”, yaitu :
a) Penyebab (causative agent) merupakan mata rantai pertama yang harus dimusnahkan,
biasanya penyebab penyakit menular ini adalah mikroorganisme baik kuman, virus, jamur
dan sebagainya, untuk memusnahkannya dapat dilakukan dengan sterilisasi.
b) Penampung (reservoir) merupakan tempat-tempat mikroorganisme hidup dan
berkembang biak, maka untuk mematahkan mata rantai harus selalu dijaga kebersihan
ruangan, lingkungan serta alat-alat yang dipergunakan di tempat perawatan, selain itu
operator harus selalu menyadari bahwa setiap pasien mungkin merupakan pembawa dan
sumber infeksi.
c) Pintu keluar (portal of exit) yaitu rute atau jalur yang dilalui kuman-kuman pathogen
meninggalkan tubuh manusia.
d) Pemindahan (mode of transfer) adalah penularan bibit penyakit yang dapat terjadi dengan
berbagai cara diantaranya melalui udara, sentuhan badan atau melalui peralatan.
e) Pintu masuk (portal of entry) yaitu masuknya kuman-kuman pathogen ke tubuh manusia,
dapat melalui saluran pencernaan, saluran pernapasan, kulit dan selaput lender.
f) Kerentanan penerima (susceptible host) mata rantai ini sukar dipatahkan karena
tergantung pada daya tahan dan kesehatan perorangan.
3. Faktor pelaksana
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada faktor pelaksana antara lain: hygiene pribadi dan
hygiene tangan yang baik. Faktor pelaksanaan meliputi kebersihan badan dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Pelaksana selalu berpenampilan rapih, memakai baju pelindung dan
masker serta memperhatikan kebersihan tangan untuk menghindari pemindahan kuman ke
pasien atau sebaliknya

H. Desinfeksi
1. Pengertian Desinfeksi
Desinfeksi merupakan proses untuk merusak organisme yang bersifat patogen, namun tidak
dapat mengeliminasi dalam bentuk spora (Tille, 2017)
2. Klasifikasi dan penggolongan desinfektan

Golongan Desinfektan
Beberapa golongan desinfektan yang sering digunakan di peternakan antara lain:
 Alkohol
Desinfektan turunan alkohol, seperti etanol dan isopropanol, memiliki sifat non-korosif tapi
berefek kaustik (mengiritasi, seperti terbakar).
 Aldehid
Turunan aldehid seperti formaldehid, paraformaldehid, dan glutaraldehid bekerja
mendenaturasi protein sel bibit penyakit, memiliki spektrum luas, bersifat stabil,
persisten, biodegradable, dan cocok untuk desinfeksi beberapa material peralatan. Namun
senyawa ini mudah menimbulkan resistensi, berpotensi sebagai karsinogen, dan bisa
mengiritasi selaput lendir (Larson, 2013).
 Oxidizing Agent
Senyawa pengoksidasi (oxidizing agent) yang umum digunakan sebagai desinfektan adalah
hidrogen peroksida, iodine dan Chloramine-T. Mekanisme kerja senyawa ini ialah
mengganggu struktur dan proses sintesis protein serta asam nukleat. Desinfektan golongan ini
efektif membunuh bakteri, virus, dan jamur, namun memiliki sifat korosif terhadap logam.
 Fenol
Senyawa turunan fenol (misal kresol) memiliki aktivitas antimikroba dengan merusak lapisan
lemak (lipid) pada membran plasma bibit penyakit
 Ammonium Quartener (QUATS)
Turunan QUATS seperti benzalkonium chloride (BKC), benzetonium chloride, setrimid,
dan domifen bromida memiliki efek bakterisidal dan bakteriostatik terhadap bakteri Gram (+)
maupun (-), jamur serta protozoa. Tetapi turunan ini tidak aktif terhadap bakteri pembentuk
spora dan virus tidak beramplop. Keuntungan penggunaan QUATS: toksisitas rendah,
kelarutan dalam air besar, stabil dalam larutan air, tidak berwarna dan non-korosif terhadap
logam. ()

3. Penggunaan Desinfektan
Jenis desinfektan ini dibagi menjadi dua, yaitu desinfektan kimia dan desinfektan nabati.
Penggunaan disinfektan kimia dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan dampak negatif,
karena dalam penggunaannya, bahan kimia dapat meninggalkan residu yang berpotensi untuk
mengganggu kesehatan (Wastiti et al. 2017). Untuk itu, perlu mencari alternatif lain yaitu
dengan memanfaatkan tanaman atau disebut dengan desinfektan nabati. Desinfektan nabati
ini tidak menimbulkan residu karena terbuat dari bahan yang ada di alam sehingga mudah
menguap
4. Tujuan desinfeksi
Tujuan desinfeksi yaitu menghancurkan atau membunuh organisme patogen pada benda atau
instrumen, kecuali spora bakteria, dengan menggunakan campuran zat kimia cair atau
pasteurisasi basah.
5. Cara dan metode desinfeksi

Desinfeksi dengan metode fisika dilakukan dengan 3 cara yaitu:


a. Merebus pada suhu 1000 C selama 15 menit dapat membunuh bakteri vegetative.
b. Pasteurisasi pada suhu 630C selama 30 menit atau 720C selama 15 detik yang
berfungsi membunuh patogen pada makanan namun tidak mengurangi nutrisi dan
rasa dari makanan tersebut.
c. Menggunakan radiasi non-ionisasi seperti ultraviolet (UV). Sinar ultraviolet memiliki
panjang gelombang yang panjang dengan low energy. Contohnya adalah untuk
membunuh bakteri yang ada di permukaan BSCs. Sehingga, sebelum menggunakan
BSCs, sinar UV harus dinyalakan terlebih dahulu yaitu kurang lebih 30 menit
sebelum penggunaan.
Desinfeksi dengan metode kimiawi
Desinfeksi dengan metode kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan desinfektan.
Bahan yang termasuk dalam desinfektan yaitu:
d. Etil alcohol 70% lebih efektif dibandingkan dengan etil alcohol 95%, hal ini
dikarenakan kemampuan air (H2O) dalam menghidrolisis ikatan protein dari
mikroorganisme. Sehingga, proses membunuh mikroorganisme menjadi lebih efektif.
e. Aldehid yang berupa glutraldehid dan formaldehid memiliki kemampuan iritasi yang
besar sehingga tidak digunakan sebagai antiseptic.
f. Halogen, seperti chlorin dan iodine merupakan desinfektan yang seringali digunakan.
Persiapan sebelum dilakukan operasi seringkali menggunakan kombinasi etil alcohol
70% diikuti dengan povidon-iodine.
g. Logam berat, contohnya adalah air raksa. Karena logam ini sangat berbahaya bagi
lingkungan, maka penggunaannya sebagai desinfektan tidak direkomendasikan.
Namun dalam keadaan konsentrasi sangat rendah misalkan silver nitrat 1%, masih
efektif digunakan dalam pengobatan konjungtivitis neonatorum karena Neisseria
gonorrhoeae. (Tille, 2017)

6. Syarat tindakan aseptis


1. Ruangan steril yang terpisah 2. Laminar air flow atau clean classroom 100 3. Sistem
kualitas steril (adanya HEP A filter) 4. Biological Safety Cabinet 5. Adanya program jaminan
mutu Pencampuran sediaan steril harus memperhatikan perlindungan produk dari
kontaminasi mikroorganisme

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Keselamatan pasien (Patient safety) merupakan hak setiap pasien yang mendapatkan pelayanan
kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Rumah sakit Panti Rahayu Yakkum Purwodadi
merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan. Di
Rumah sakit sudah ada peraturan tentang peran perawat dalam pelaksanaan Patient safety dan
juga sudah dilakukan sosialisasi, akan tetapi dalam pelaksanan realisasinya di pelayanan
kesehatan belum sepenuhnya berdasarkan ketentuan peratutan tersebut. Hal yang dapat kita
simpulkan adalah bahwa untuk mewujudkan patient safety butuh upaya dan kerjasama
berbagai pihak, pasien safety merupakan upaya dari seluruh komponen sarana pelayanan
kesehatan.

B. SARAN

Seorang perawat harus mampu meningkatkan upaya keselamatan pasien dalam menjalankan
tugasnya di bidang keperawatan. Namun alangkah baiknya seorang perawat tidak boleh
membedakan pasien antar satu sama lain dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai