Anda di halaman 1dari 23

GAMBARAN UMUM PATIENT SAFETY

Saat ini isu global yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan adalah
keselamatan pasien (patient safety). Isu ini praktis mulai dibicarakan kembali pada tahun
2000an, sejak laporan dari Institute of Medicine (IOM) yang menerbitkan laporan: To err is
human, building a safer health system, yang memuat data menarik tentang Kejadian Tidak
Diharapkan/ KTD (Adverse Event)
Organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah menegaskan pentingnya keselamatan
dalam pelayanan kepada pasien sehubungan dengan data KTD di Rumah Sakit di berbagai
negara menunjukan angka yang tidak kecil berkisar 3 - 16%. Gerakan keselamatan pasien
dalam konteks pelayanan kesehatan saat ini diterima secara luas di seluruh dunia. WHO
kemudian meluncurkan program World Alliance for Patient Safety pada tahun 2004. Di
dalam program itu dikatakan bahwa keselamatan pasien adalah prinsip fundamental
pelayanan pasien sekaligus komponen kritis dalam manajemen mutu.
Di Indonesia sendiri, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah
membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) pada tanggal 1 Juni 2005,
dan telah menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien. Panduan ini
dibuat sebagai dasar implementasi keselamatan pasien di rumah sakit. Dalam
perkembangannya, Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah
pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar
Akreditasi Rumah Sakit. Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus
dipenuhi setiap rumah sakit sebagai amanat Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit.
Sejak berlakunya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No.
29/2004 tentang Praktik Kedokteran, muncul berbagai tuntutan hukum kepada dokter dan
rumah sakit. Salah satu cara mengatasi masalah ini adalah dengan penerapan sistem
keselamatan pasien di rumah sakit. Keselamatan pasien sebagai suatu sistem di dalam
rumah sakit sebagaimana dituangkan dalam instrumen standar akreditasi rumah sakit ini
diharapkan memberikan asuhan kepada pasien dengan lebih aman dan mencegah cedera
akibat melakukan atau tidak melakukan tindakan. Dalam pelaksanaannya keselamatan
pasien akan banyak menggunakan prinsip dan metode manajemen risiko mulai dan
identifikasi, asesmen dan pengolahan risiko. Pelaporan dan analisis insiden keselamatan
pasien akan meningkatkan kemampuan belajar dari insiden yang terjadi untuk mencegah
terulangnya kejadian yang sama dikemudian hari.
ASPEK HUKUM KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY)
Menurut penjelasan Pasal 43 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang dimaksud
dengan keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu rumah sakit yang
memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk didalamnya asesmen resiko,
identifikasi, dan manajemen resiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk
mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko. Yang dimaksud dengan insiden
keselamatan pasien adalah keselamatan medis (medical errors), kejadian yang tidak
diharapkan (adverse event), dan nyaris terjadi (near miss).
Menurut Institute of Medicine (IOM), Keselamatan Pasien (Patient Safety)
didefinisikan sebagai freedom from accidental injury. Accidental injury disebabkan karena
error yang meliputi kegagalan suatu perencanaan atau memakai rencana yang salah dalam
mencapai tujuan. Accidental injury juga akibat dari melaksanakan suatu tindakan
(commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission).
Accidental injury dalam prakteknya akan berupa kejadian tidak diinginkan/KTD (adverse
event) atau hampir terjadi kejadian tidak diinginkan (near miss). Near miss ini dapat
disebabkan karena:
1. Keberuntungan (misal : pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul
reaksi obat)
2. Pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain
mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan
3. Peringanan (suatu obat dengan over dosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu
diberikan antidotenya)
Tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat global terhadap penerapan keselamatan
pasien adalah:
1. Identify patients correctly
2. Improve effective communication
3. Improve the safety of high-alert medications
4. Eliminate wrong-site, wrong-patient, wrong procedure surgery
5. Reduce the risk of health care-associated infections
6. Reduce the risk of patient harm from falls
Gerakan keselamatan pasien adalah suatu program yang belum lama
diimplementasikan diseluruh dunia, karena itu masih dimungkinkan pengembangan dalam
implementasinya. Di Indonesia, PERSI telah mensosialisasikan langkah-langkah yang
dipakai untuk implementasi di rumah sakit seluruh Indonesia.
Langkah-langkah implementasi keselamatan pasien tersebut adalah:
1. Membangun budaya keselamatan pasien (Create a culture that is open and fair).
2. Memimpin dan mendukung staf (Establish a clear and strong focus on Patient Safety
throughout your organization
3. Mengintegrasikan kegiatan-kegiatan manajemen risiko (Develop systems and
processes to manage your risks and identify and assess things that could go wrong
4. Meningkatkan kegiatan pelaporan (Ensure your staff can easily report incidents
locally and nationally)
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien (Develop ways to communicate
openly with and listen to patients)
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien (Encourage staff to use
root cause analysis to learn how and why incidents happen)
7. Menerapkan solusi-solusi untuk mencegah cidera (Embed lessons through changes
to practice, processes or systems).
Bisnis utama rumah sakit adalah merawat pasien yang sakit dengan tujuan agar
pasien segera sembuh dari sakitnya dan sehat kembali, sehingga tidak dapat ditoleransi bila
dalam perawatan di rumah sakit pasien menjadi lebih menderita akibat dari terjadinya
resiko yang sebenarnya dapat dicegah, dengan kata lain pasien harus dijaga keselamatannya
dari akibat yang timbul karena error. Bila program keselamatan pasien tidak dilakukan akan
berdampak pada terjadinya tuntutan sehingga meningkatkan biaya urusan hukum,
menurunkan efisisiensi, serta kerugian lainnya.
Element keselamatan pasien terdiri dari:
1. Adverse drug events (ADE)/ medication errors (ME)
2. Restraint use
3. Nosocomial infection
4. Surgical mishap
5. Pressure ulcers
6. Blood product safety/administration
7. Antimicrobial resistance
8. Immunization program
9. Falls
10. Blood stream vascular catheter care
11. Systematic review, follow-up, and reporting of patient/visitor incident reports
PATIENT SAFETY DI INDONESIA
Indonesia memulai gerakan keselamatan pasien pada tahun 2005 yaitu dengan
didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan Rumah
Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), dan telah menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien. Panduan ini dibuat sebagai dasar implementasi keselamatan pasien di
rumah sakit. Dalam perkembangannya, Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS)
Departemen Kesehatan telah pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit
dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit. Tujuan dilakukannya kegiatan Patient
Safety di rumah sakit adalah untuk menciptakan budaya keselamatan pasien di rumah sakit,
meningkatkan akuntabilitas rumah sakit, menurunkan KTD di rumah sakit, terlaksananya
program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak
diharapkan.
Tujuan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah :
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunnya KTD di Rumah Sakit.
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
KTD
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam
sebuah rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang dapat
digunakan sebagai acuan bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah
sakit yang saat ini digunakan mengacu pada Hospital Patient Safety Standards yang
dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada
tahun 2002 yang kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Penilaian
keselamatan yang dipakai Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan instrumen
Akreditasi Rumah Sakit yang dikeluarkan oleh KARS.
Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7 standar,
yakni:
1. Hak pasien
2. Mendididik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Untuk mencapai ke tujuh standar di atas Panduan Nasional tersebut Departemen
Kesehatan RI menganjurkan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit
yang terdiri dari:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Pimpin dan dukung staf
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko
4. Kembangkan sistem pelaporan
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi
menerbitkan Nine Life Saving Patient Safety Solutions (Sembilan Solusi Life-Saving
Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar
keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari
berbagai masalah keselamatan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu
mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan.
Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat bermanfaat membantu RS,
memperbaiki proses asuhan pasien, guna menghindari cedera maupun kematian yang dapat
dicegah.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di
Indonesia untuk menerapkan Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah
Sakit, atau 9 Solusi, langsung atau bertahap, sesuai dengan kemampuan dan kondisi RS
masing-masing.
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike
Medication Names).
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf
pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat
(medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan
puluhan ribu obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan potensi
terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek atau generik serta
kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk
pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan
perintah yang dicetak lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektronik.
2. Pastikan Identifikasi Pasien.
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara
benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun
pemeriksaan; pelaksanaan prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi kepada
bukan keluarganya, dan sebagainya. Rekomendasi ditekankan pada metode untuk
verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini;
standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem
layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta penggunaan
protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama.
3. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien.
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-
unit pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan
terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial
dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien.
Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk
penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis;
memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan
pertanyaan-pertanyaan pada saat serah terima,dan melibatkan para pasien serta
keluarga dalam proses serah terima.
4. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar.
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasus-kasus
dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah
sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau
informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap
kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah
yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis
kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan;
pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan
prosedur; dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur Time out sesaat sebelum
memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan sisi
yang akan dibedah.
5. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated).
Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras memiliki profil
risiko, cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah
berbahaya. Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran
dan istilah; dan pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit
pekat yang spesifik.
6. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan.
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi/pengalihan. Rekonsiliasi
(penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk
mencegah salah obat (medication errors) pada titik-titik transisi pasien.
Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat
dan seluruh medikasi yang sedang diterima pasien juga disebut sebagai home
medication list, sebagai perbandingan dengan daftar saat admisi, penyerahan
dan/atau perintah pemulangan bilamana menuliskan perintah medikasi; dan
komunikasikan daftar tsb kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien akan
ditransfer atau dilepaskan
7. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa
agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) yang
bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan spuit dan slang yang
salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru.
Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara
detail/rinci bila sedang mengerjakan pemberian medikasi serta pemberian makan
(misalnya slang yang benar), dan bilamana menyambung alat-alat kepada pasien
(misalnya menggunakan sambungan dan slang yang benar).
8. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan
HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik. Rekomendasinya
adalah penlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan;
pelatihan periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan kesehatan khususnya
tentang prinsip-pninsip pengendalian infeksi,edukasi terhadap pasien dan keluarga
mereka mengenai penularan infeksi melalui darah;dan praktek jarum sekali pakai
yang aman.
9. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi
Nosokomial.
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia
menderita infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan Tangan yang
efektif adalah ukuran preventif yang pimer untuk menghindarkan masalah ini.
Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan alcohol-
based hand-rubs tersedia pada titik-titik pelayan tersedianya sumber air pada
semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan taangan yang benar
mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan pengukuran kepatuhan
penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan tehnik-tehnik
yang lain.
MANAJEMEN RISIKO PATIENT SAFETY
Keselamatan pasien harus dilihat dari sudut pandang risiko klinis. Sekalipun staf
medis rumah sakit sesuai kompetensinya memberikan pelayanan berdasarkan standar
profesi dan standar pelayanan, namun potensi risiko tetap ada, sehingga pasien tetap
berpotensi mengalami cedera. UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 bertujuan memberikan
perlindungan kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia, mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, serta memberi kepastian hukum kepada
masyarakat dan rumah sakit.
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO)
memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang
dilakukan oleh rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko
terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu
sendiri. Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan
risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola
suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya
pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk
financing).
Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik
operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang tersebut.
Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed care dan risiko
kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan, corporate compliance dan
etik organisasi.
Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun
sebagian besarnya merupakan hasil belajar dari pengalaman dan menerapkannya kembali
untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari. Pada dasarnya
manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus, yang terdiri dari
empat tahap, yaitu:
1. Risk Awareness.
Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah sentral
memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing-masing dan aktivitas
yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko. Risiko tersebut tidak
hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non medis, sehingga upaya ini
melibatkan manajemen, komite medis, dokter, perawat bedah, perawat anestesi,
pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan ruang bedah dan instrument, dan
lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan
risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming merupakan
sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko.
2. Risk control (and or Risk Prevention).
Manajemen merencanakan langkah-langkah praktis dalam menghindari dan atau
meminimalkan risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang medis,
manajemen harus bekerjasama erat dan saling mendukung dengan komite medis.
Langkah-langkah tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik
perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber daya manusianya. Langkah
dimulai dengan penilaian risiko (risk assessment) tentang derajat dan probabilitas
kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari jalan untuk menghilangkan risiko
(engineering solution), atau bila tidak mungkin maka dicari upaya menguranginya
(control solution) baik terhadap probabilitasnya maupun terhadap derajat
keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk
mengurangi dampaknya. Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan
pemeliharaan bangunan dan instrumen yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan
bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan dan
pembaruan prosedur, standar dan check-list; pelatihan penyegaran bagi personil,
seminar, pembahasan kasus, poster, stiker, dan lain-lain.
3. Risk containment
Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian
ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka
sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan melakukan
langkah-langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan insidennya. Unsur
utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan
pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif.

4. Risk transfer
Akhirnya apabila risiko itu terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka
diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai,
misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi. Pemahaman manajemen risiko
sangat bergantung kepada sudut pandangnya. Dari segi bisnis dan industri asuransi,
manajemen risiko cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan
meningkatkan keuntungan bisnis dan pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan
dan keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien
atau masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu
komunitas pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan
para dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk
mengendalikan risiko bersama. Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko
dimulai dari pembuatan standar (set standards), patuhi standar tersebut (comply
with them), kenali bahaya (identify hazards), dan cari pemecahannya (resolve
them). Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka
memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen yang
harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors. Elemen-elemen
tersebut diterapkan bersama-sama dengan menerapkan manajemen risiko yang
bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko.
Elemen-elemen untuk mencegah medical errors tersebut, adalah:
1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada
keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem
sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan disiplin.
Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum
pelakunya harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan sukarela
melaporkan kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis, sehingga pada
akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di
kemudian hari.
2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini
manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam
menjalankan program-program manajemen risiko, termasuk ronde rutin bersama
ke unit-unit klinik.
3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang
keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya
meningkatkan keselamatan pasien.
4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf
interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk,
mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan
mengembangkan langkah koreksinya.
5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman.
6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak menimbulkan
kesalahan baru.
TINJAUAN HUKUM KESELAMATAN PASIEN DI INDONESIA
Perlindungan kepentingan manusia merupakan hakekat hukum yang diwujudkan
dalam bentuk peraturan hukum,baikperundangan-undangan maupun peraturan hukum
lainnya. Peraturan hukum tidak semata dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan
namun berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang diperintahkan oleh
perundangan-undangan. Undang-undang sebagai wujud peraturan hukum dan sumber
hukum formal merupakan alat kebijakan pemerintah negara dalam melindungi dan
menjamin hak-hak masyarakat sebagai warga negara.
UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 menyatakan pelayanan kesehatan yang aman
merupakan hak pasien dan menjadi kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan yang aman (Pasal 29 dan 32). UU Rumah Sakit secara tegas
menyatakan bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Standar
dimaksud dilakukan dengan melakukan pelaporan insiden, menganalisa dan menetapkan
pemecahan masalah. Untuk pelaporan, rumah sakit menyampaikannya kepada komite yang
membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). UU Rumah Sakit
juga memastikan bahwa tanggung jawab secara hukum atas segala kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan berada pada rumah sakit bersangkutan (Pasal 46).
Organ untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit lengkap karena UU Rumah
Sakit menyatakan pemilik rumah sakit dapat membentuk Dewan Pengawas. Dewan yang
terdiri dari unsur pemilik, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat
itu bersifat independen dan non struktural. Salah satu tugas Dewan adalah mengawasi dan
menjaga hak dan kewajiban pasien. Pada level yang lebih tinggi, UU Rumah Sakit juga
mengamanatkan pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia. Badan yang
bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan itu berfungsi melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap rumah sakit. Komposisi Badan terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat (Pasal 57).
Ketentuan mengenai keselamatan pasien juga diatur dalam UU Kesehatan No. 36 tahun
2009. Beberapa pasal yang berkaitan dengan keselamatan pasien dalam UU Kesehatan
tersebut adalah:
1. Pasal 5 ayat (2), menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.
2. Pasal 19, menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan
segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
3. Pasal 24 ayat (1), menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan
kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan,
dan standar prosedur operasional.
4. Pasal 53 ayat (3), menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan harus
mendahulukan keselamatan nyawa pasien.
5. Pasal 54 ayat (1), menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non
diskriminatif.
Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula
menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi
Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7
standar, yakni:
1. Hak pasien
2. Mendididik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap
rumah sakit sebagai amanat Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Tanggung Jawab Hukum Keselamatan Pasien
Kerugian yang diderita pasien serta tanggung jawab hukum yang ditimbulkannya
berpotensi untuk menjadi sengketa hukum. Pemerintah bertanggung jawab mengeluarkan
kebijakan tentang keselamatan pasien.
Tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58 UU Kesehatan No. 36
tahun 2009:
1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan
kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
Tanggung jawab hukum rumah sakit terkait keselamatan pasien diatur dalam:
1. Pasal 46 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009
- Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit
2. Pasal 45 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009
- Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau
keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat
kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif.
- Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka
menyelamatkan nyawa manusia.
KESIMPULAN
1. Keselamatan pasien merupakan upaya untuk melindungi hak setiap orang terutama
dalam pelayanan kesehatan agar memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu
dan aman.
2. Indonesia salah satu negara yang menerapkan keselamatan pasien sejak tahun 2005
dengan didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh
Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Dalam perkembangannya
Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan menyusun Standar
Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit.
3. Peraturan perundang-undangan memberikan jaminan kepastian perlindungan hukum
terhadap semua komponen yang terlibat dalam keselamatan pasien, yaitu pasien itu
sendiri, sumber daya manusia di rumah sakit, dan masyarakat. Ketentuan mengenai
keselamatan pasien dalam peraturan perundang-undangan memberikan kejelasan
atas tanggung jawab hukum bagi semua komponen tersebut.
SARAN
1. Agar pemerintah lebih memperhatikan dan meningkatkan upaya keselamatan pasien
dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan agar lebih bermutu dan aman
dengan mengeluarkan dan memperbaiki aturan mengenai keselamatan pasien yang
mengacu pada perkembangan keselamatan pasien (patient safety) internasional yang
disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia.
2. Agar setiap rumah sakit menerapkan sistem keselamatan pasien dalam rangka
meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan aman serta menjalankan peraturan
perundang-undangan yang mewajibkan untuk itu.
3. Agar seluruh komponen sarana pelayanan kesehatan bekerja sama dalam upaya
mewujudkan patient safety karena upaya keselamatan pasien hanya bisa bisa dicapai
dengan baik dengan kerjasama semua pihak.
KEPUSTAKAAN
1. Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. Dalam: Sanbar SS, Gibofsky A,
Firestone MH, LeBlang TR, editor. Legal Medicine. Edisi ke-4. St Louis: Mosby;
1998.
2. Cahyono JBS. Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktek kedokteran.
Jakarta: Kanisius; 2008.
3. Departemen Kesehatan RI. Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit
(patient safety). Edisi ke-2. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
4. Firmanda D. Keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit. [document on the
internet]. Jakarta: RSUP Fatmawati; 2008 (diunduh 21 Desember 2010). Tersedia
dari: http://www.scribd.com/doc/Dody-Firmanda-2008-Keselamatan-Pasien-
Patient-Safety
5. Frankel A, Gandhi TK, Bates DW. Improving patient safety across a large
integrated health care delivery system. International Journal for Quality in Health
care. 2003; 15 suppl. I: i31 i40.
6. Ghandi TK, Lee TH. Patient safety beyond the hospital. N Engl J Med. 2010; 363
(11): 1001-3.
7. Vincent C. Patient safety. Philadelphia: Elsevier; 2006.
8. Wachter RM, Shanahan J, Edmanson K, editor. Understanding patient safety. New
York: McGraw-Hill Companies; 2008.
9. Weeks WB, Bagian JP. Making the business case for patient safety. Joint
Commission on Quality and Safety. 2003; 29.
Data yang dirilis oleh Health and Human Service (HHS) menunjukkan bahwa
sepanjang 2010-2014 di Amerika telah terjadi penurunan kejadian terkait patient safety di
RS sebesar 17%. Hal ini telah memberi kontribusi utama terhadap menurunnya kematian
pasien (akibat kejadian tidak diinginkan) sebanyak 87 ribu kasus. Ini merupakan langkah
yang baik menuju zero patient harm bagi pelayanan kesehatan di Amerika. Namun
sepanjang tahun 2015 ada beberapa situasi yang menunjukkan adanya tantangan lain
bagi patient safety.
Berikut ini ada sepuluh isu keselamatan pasien yang perlu dipertimbangkan di
sepanjang tahun 2016 bagi penyelenggara pelayanan kesehatan, berdasarkan trend yang
terjadi di tahun 2015
1. Medical errors, merupaan satu dari berbagai error yang paling banyak terjadi,
dimana setiap tahun setidaknya ada 5% pasien rawat inap yang mengalami kejadian
tak diinginkan terkait dengan pemberian obat. Ini tidak hanya terjadi pada pasien
rawat inap, tapi juga pada pasien yang sedang menjalani dioperasi. Sebuah studi
oleh Massachusetts General Hospital yang diterbitkan pada bulan Oktober lalu
menyebutkan bahwa separuh operasi mengalami berbagai jenismedication errors.
Kesalahan dalam pelabelan, dosis tidak tepat, mengabaikan tindakan yang harus
dilakukan berdasarkan tanda vital pasien dan documentation errors adalah yang
tersering terjadi.
2. Diagnostic errors terungkap dengan adanya laporan penelitian Improving
Diagnosis in Health Care yang dibuat oleh Institute of Medicine. Laporan ini
menyebutkan bahwa 6 dari 17 persen kejadian tak diinginkan di RS
merupakandiagnostic error dan merupakan penyebab dari 10% kematian pasien.
Tingginya angka error dan kematian yang diakibatkannya ini
menyebabkan diagnostic error menjadi salah satu isu yang mendapat perhatian
khusus. Solusi yang telah terpikirkan antara lain kemitraan dengan pasien dan
keluarganya serta meningkatkan kerjasama tim antar-tenaga kesehatan dan antar-
pemberi layanan kesehatan.
3. Merumahkan pasien (home-care) pasca akut, dimana memulangkan pasien
merupaan momen kritis dalam perawatan pasien. Studi pada awal tahun 2000-an
menemukan bahwa hampir 20% pasien mengalami adverse event tiga minggu
setelah dipulangkan dari RS, dan banyak diantaranya yang sebenarnya bisa dicegah.
Pada April lalu sebuah model comprehensive care for joint replacement
memungkinkan adanya perhatian yang lebih tinggi terhadap jenis errorModel ini
membuat RS bertanggung jawab terhadap mutu pelayanan dan biaya bagi pasien
dengan kasus penggantian sendi selama 90 hari setelah pasien dipulangkan dari RS
yang bersangkutan.
4. Keselamatan di tempat kerja. Tanggung jawab RS adalah memastikan keselamatan
pasien, sementara itu para ahli lain berargumentasi bahwa pasien tidak bisa selamat
jika petugas kesehatan tidak merasa aman pada dirinya sendiri. Dengan kata lain,
jika RS aman, maka pasien juga akan lebih aman. Hal ini berdasarkan kejadian
dimana petugas terkena tusukan jarum, atau cedera saat mengangkat pasien, atau
merasa takut diserang oleh pasien.
5. Keselamatan di fasilitas RS yang seringkali menempatkan keselamatan pasien pada
risiko tinggi. Beberapa kali di tahun 2015 keselamatan di RS dikompromikan, atau
hampir dikompromikan, karena masalah bangunan atau pemeliharaan. Badan
Administrasi Kesehatan Florida melaporkan bahwa sebuah RS gagal menangani
kebocoran limbah termasuk gagal memastikan bahwa kotoran dibersihkan dengan
benar serta gagal melakukan penilaian risiko pengendalian infeksi. Investogator
juga menemukan adanya tikus-tikus yang hidup di langit-langit rumah sakit yang
dapat mencemari meja tempat menyiapkan makanan melalui lubang ventilasi AC.
Wabah Legionnaires juga merupakan masalah yang umumnya terkait dengan
struktur bangunan dan sistem perpipaan/saluran air yang kompleks seperti di RS.
6. Pemrosesan ulang. ECRI Institute memasukkan pembersihan endoskop fleksibel
yang tidak adekuat sebelum diberi desinfektan dalam daftar 10 Bahaya Teknologi
Kesehatan terbanyak. Para ahli menekankan pentingnya menggunakan alat yang
tepat dan mengikuti protokol untuk mencegah infeksi. Beberapa RS bahkan sudah
mulai melakukan kultur untuk mengamati perkembangan bakteri. Sementara itu,
beberapa anggota panel penasihan FDA merekomendasikan
bahwa duodenoscope harus disterilisasi untuk mencegah penyebaran infeksi.
7. Sepsis terjadi lebih dari 1 juta kasus per tahun menurut CDC, dan setengah dari
jumlah tersebut meninggal yang menyebabkan sepsis menjadi penyebab kematian
nomer 9. Meskipun sepsis bukan isu baru dalam keselamatan pasien, namun di
tahun 2016 ini menjadi pusat perhatian baru dengan ditambahkannya Severe Sepsis
and Septic Shock Early Management Bundle ke dalam aturan final sistem
pembayaran prospektif rawat inap di tahun anggaran 2016.
8. Bakteri super didefinisikan oleh Brian K. Coombes, PhD sebagai bakteri yang tidak
dapat ditanggulangi dengan menggunakan dua atau lebih antibiotik, berlanjut
menyerang pasien dan tampak menjadi lebih kuat. Laporan CDC yang
dipublikasikan pada Desember lalu mengungkapkan
adanya strain Enterobacteriaceae yang resisten. Beberapa ahli menyebutnya sebagai
phantom menace. Bukan hanya para ahli penyakit dan pemberi pelayanan
kesehatan yang mengamati superbugs ini, namun para peneliti di Cina juga telah
menemukan bakteri ini ada di babi, ayam broiler dan manusia yang mengandug gen
yang membuatnya resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, termasuk antibiotik
terbaru dan terkuat. Gen yang bertanggung jawab terhadap resistensi bakteri itu
disebut mcr-1, dan juga telah teridentifikasi di Denmark. Gen tersebut ditemukan
juga di E.coli dan bakteri Klebsiella pneumonia, menurut hasil studi di Cina
tersebut. Langkah kecil seperti meningkatkan pengaturan penggunaan antibiotik
perlu dilakukan tahun ini untuk membantu memerangi organisme ini
9. Ketidakamanan maya perangkat medis. Pada Bulan Juli lalu Administrasi Obat dan
Makanan AS mengeluarkan peringatan agar RS meninjau penggunaan Hospira
Sybiq Infusion System, yaitu sebuah pompa terkomputerisasi yang digunakan secara
luas pada terapi infus umum, setelah didapati bahwa ternyata hacker dapat secara
jarak jauh mengakses alat tersebut dan mengubah dosis. Para ahli telah
mengeluarkan peringatan serupa beberapa kali. Tahun 2011 seorang konsultan
analis dan peneliti pada sebuah perusahaan analitis dan keamanan data
mencengangkan audiens konferensi saat dia meretas pompa insulinnya
sendiri. Cyber-security telah bergeser dari kecemasan seorang ahli IT ke isu yang
mengancam keselamatan pasien secara serius dan perlu menjadi perhatian setiap
orang. Banyak sekali peralatan RS yag terkoneksi dengan dan beroperasi dalam
jaringan internet RS yang sesungguhnya rentar terhadap peretasan. Meskipun
sasarannya bukan pasien, namun peretas dapat masuk ke dalam jaringan sistem
informasi RS dan mengekspliotasi serta menyalahgunakan data sensitif yang ada di
dalamnya.
10. Transparansi data medis. Banyak RS yang menanyakan ke pasien tentang
pengalaman dan kepuasan mereka terhadap dokter selama dirawat. Namun sangat
sedikit yang menaruh informasi ini secara online agar bisa diakses oleh semua
orang, sekalipun hal ini dipercaya dapat meningkatkan keselamatan pasien. Seorang
peneliti patient safety di Harvard Universitys School of Public Health mengatakan
bahwa jika semua orang (dokter, pasien, institusi bahkan pers) tidak merahasiakan
data kinerja, maka dokter akan mengembangkan rasa akuntabilitas yang lebih besar
untuk menghasilkan pelayanan yang lebih berkualitas. Peringkat agregat dapat
membantu instrument pembelajaran untuk mereview kinerja individu, dan mereka
juga diberi insetif untuk melakukan cek ulang pekerjaan mereka dan lebih
memperhatikan area-area dimana sering terjadi kesalahan yang berdampak pada
peringkat mereka, dan tentu saja pasien-pasien yang menjadi tanggung jawab
mereka. Di beberapa institusi, hasil rating dipampang secara internal, dapat
digunakan untuk membandingkan secara berdampingan yang akan memunculkan
praktek terbaik (best practice) dan mendorong pada rasa persaingan sehat. Di masa
depan, keterbukaan ini bisa menjadi kebutuhan bagi RS dan sistem kesehatan yang
ingin berkompetisi dalam situasi pasar yang fokus pada transparansi. (pea)

Disadur dari: 10 top patient safety issues for 2016 (Beckers ASC Review).

JENJANG KARIR
Tulisan ini menceritakan bagaimana seseorang memutuskan karir sebagai seorang
perawat bagi dirinya. Perawat adalah pekerjaan kemanusiaan yang dihargai secara
professional. Jika pilihan kita menjadi seorang perawat maka kita akan menghabiskan
hidup untuk menolong orang lain, menggunakan skill, memadukan ilmu dengan caring
serta tehnologi dan touching.
Perawat merupakan bagian terbanyak dalam profesi kesehatan di seluruh dunia,
yaitu 2,6 juta RN dan banyak dibutuhkan di masa datang. Juga menjadi populasi terbanyak
di rumah sakit dan home care. Pertumbuhan populasi yang terus menerus, membuat
perawat tidak pernah kekurangan pekerjaan. Di berbagai negara termasuk Maryland, rata-
rata usia perawat meningkat, artinya akan banyak perawat berhenti dan selanjutnya
kekurangan perawat. Seperti di Baby Boomer, saat perawat berhenti, sedikit yang terlatih
yang menggantikannya. Artinya banyak kesempatan kerja bagi perawat dengan gaji yang
tinggi.
Artikel ini juga menjelaskan apa yang dilakukan seseorang bila ia telah menjadi
perawat. Keperawatan merupakan perpaduan ilmu dan tehnologi dengan seni caring dan
kemanusiaan. Setiap hari dalam bekerja perawat menggunakan ilmu yang telah
dipelajarinya di sekolah. Ketika bekerja perawat mengambil kursus kelanjutan
pendidikannya untuk mengikuti perkembangan ilmu keperawatan dan medis. Perawat
bekerja akrab dengan dokter dan profesi kesehatan lanilla. Perawat juga memberi advokasi
pada pasien dan keluarga.
Kemajuan tehnologi yang terus menerus, menolong manusia hidup lebih lama,
hidup lebih sehat, membuat perawat lebih dihargai bila dapat mengembangkan skillnya
sesuai area pekerjaannya. Tulisan ini menggambarkan bagaimana perawat itu melakukan
proses keperawatan dengan melakukan assessment di mana perawat mengumpulkan
informasi tentang kondisi fisik pasien, status emosi, gaya hidup, famili, harapan dan rasa
takut. Perawat juga menetapkan diagnosa di mana dia akan mengidentifikasi problem atau
kebutuhan pasien, baik emosional, fisik dan spiritual. Selanjutnya perawat membuat suatu
planning untuk mengatasi problem ini dan mensetting tujuan spesifik untuk
memperbaikinya. Bila memungkinkan perawat mendorong pasien untuk berpartisipasi
dalam perencanaan yang dibuat. Berikutnya perawat melaksanakan rencananya. Misalnya
perawat melakukan treatmen, memberi obat dan mengajar pasien bagaimana cara merawat
dirinya, menunjukkan bagaimana melakukan latihan untuk pemulihan fleksiibilitas pasca
operasi. Setelah implementasi, perawat secara reguler melakukan review hasil dari
perencanaan dan membuat penyesuaian pada hal-hal yang penting. Perawatan pasien
dilakukan dengan cara:
1 Perawat menolong melahirkan dan merawat ibu-ibu baru sebelum dan setelah
persalinan
2 Perawat menolong orang yang sakit dan terluka untuk menjadi lebih baik, sehat dan
tetap sehat.
3 Perawat melakukan pemeriksam fisik
4 Perawat memberi obat dan treatmen yang telah diorder dokter
5 Perawat memperhatikan kondisi emosional, sosial dan spiritual pasien
6 Perawat meberi penkes pada pasien dan keluarga, menjelaskan apa yang dapat
mereka lakukan pada saat proses pemulihan.
7 Perawat memberi penkes dan konselling pada komunitas
8 Perawat mengobservasi, mengkaji, mengevaluasi dan mencatat kondisi pasien dan
perkembangannya, kemudian menginformasikan kepada dokter dan tim kesehatan
lainnya.
9 Perawat menolong pasien dan keluarganya untuk menentukan rumah sakit dan
pelayanan kesehatan yang terbaik, home care, rehabilitasi, terapi fisik dan lain-lain
10 Perawat mengatur aktivitas yang sesuai dengan kegiatan keperawatan.
11 Perawat menolong pasien terminal agar meninggal dengan tenang dan menolong
keluarga menghadapinya.
Artikel ini menggambarkan bagaimana banyaknya peluang yang didapat karena
menjadi perawat. Hal ini disebabkan karena kebutuhan akan tenaga perawat sangat besar,
oleh karena perkembangan pelayanan kesehatan yang membuat manusia hidup lebih lama,
semakin meningkat populasi lansia yang membutuhkan perawatan, jumlah orang yang sakit
dan kebutuhan akan perawat yang mempunyai skill lebih banyak, kebutuhan akan tenaga
perawat di luar rumah sakit dan banyak perawat yang pensiun sehingga membutuhkan
banyak perawat untuk menggantikannya.
Artikel ini juga menggambarkan income perawat, yang dikemukakan oleh Joe
Kilmartin direktur Salary.com. Ia menyatakan gaji perawat RN yang baru bekerja $
44,600/tahun. Perbandingan antara rata-rata gaji untuk pekerja baru Accounting: $ 43,269,
Marketing: $ 33,873, Ekonom: $ 24,667 dan guru : $ 31,704.
Menurut The Bureau of Labor Statistic, perawat RN dibayar rata-rata $52,330 tahun
2004. Sekitar 50 % mereka dibayar antara $43,370 dan $ 63,360 dan yang paling rendah
yakni sekitar 10 % dibayar kurang dari $37,200 dan yang tertinggi sekitar 10 % dibayar
lebih dari $74,760. Peningkatan gaji perawat bertambah sesuai bertambahnya pengalaman.
apabila perawat bekerja shift dengan lembur maka gajinya bertambah di luar gaji dasar.
Sedangkan perawat klinik spesialist sekitar $41,226, perawat administrator $45,071,
perawat anestesi $113,000 dan perawat praktisioner $71,000.
Pada artikel ini juga diuraikan tentang peluang perawat untuk bekerja pada banyak
tempat, seperti pusat perawatan jangka panjang (Rehabilitasi, Perawatan di rumah,
Hospice), klinik kesehatan komunitas, freestanding pasien dan Surgery center, Medical
office (dokter mata, gigi, kebidanan, bedah), Home care (visiting nurse, perawat privat),
sekolah perawat (sebagai professor), kumpulan health center (keselamatan okupasional,
konsultan, pendidik), perusahaan asuransi dan manajemen care, perusahaan lain
(harmaceutical, tehnologi medical dan biotech), pusat riset (riset perawatan), sekolah,
militer, organisasi perdamaian internasional, dan regulator rumah sakit (survei kondukting,
inspeksi). Sedangkan pada area rumah sakit, perawat dapat bekerja di unit perawatan
pasien, kamar operasi, trauma center dan kamar emergensi, medical record atau unit X-ray
atau bagian diagnostik lain, di ICU, surgical dan unit recovery, pediatric, merawat anak,
beberapa surgery center, ruang rawat di rumah sakit atau unit perawatan intensif neonatus,
merawat bayi baru lahir, obstetric, menolong ibu baru melahirkan, psikiatrik dan pusat
perawatan pasien drug, laboratorium, helikopter dan ambulance, merawat pasien dalam
perjalanan ke rumah sakit.
Bila ditinjau dari jadwal kerja perawat perlu sangat fleksibel. Perawat bekerja siang,
sore atau malam. Shift perawat antara 8-12 jam. Beberapa perawat bekerja 36 jam dalam 3
hari atau 40 jam dalam 4 hari (kemudian libur 3-4 hari). Beberapa part time atau hanya
pada weekends. Biasanya perawat bekerja 40 jam perminggu seperti profesi lain.
Artikel ini juga menceritakan banyak perawat RN menambah pendidikannya untuk
menjadi Perawat klinik spesialis seperti kanker, kesehatan jiwa, bidan bersertifikat, perawat
anestesi, perawat riset, perawat praktisioner dan perawat psikiatrik. Untuk menjadi perawat
profesional, maka diperlukan kepemimpinan dan skill tentang organisasi, skill atau
keahlian, kesabaran, fleksibilitas, rasa kasihan, skill problem solving, sense humor dan
kemampuan untuk bersikap tenang pada saat kritis.
Bila tertarik pada karir keperawatan harus belajar pada sekolah perawat yang
terakreditasi. Semua sekolah perawat di Maryland telah terakreditasi. Kursusnya meliputi
biologi, kimia, fisika, ilmu sosial, teori keperawatan dan praktek serta humanistik. Pelajar
juga mendapat supervisi dari tenaga klinik berpengalaman di rumah sakit dan pelayanan
kesehatan lainnya. Pelajar harus giat belajar, mempunyai kritikal thingking dan skill
problem solving. Konfiden, keteguhan hati, rajin belajar akan menjadikan seseorang
menjadi perawat. Terdapat 1500 program pendidikan keperawatan di USA dengan 3 tipe
program training yaitu:
1 Bachelor of Science in Nursing (BSN), dengan program 4 tahun di Universitas
2 Associate Degree of Nursing (AND), program 2 tahun pada junior college atau
komunitas. Beberapa pendidikan keperawatan di rumah sakit dan Universitas
menyelenggarakan program AND ini.
3 Diploma untuk rumah sakit, program 2-3 tahun berdasarkan setting rumah sakit.
Banyak pendidikan diploma bergabung dengan junior college di mana pelajarnya
mengambil ilmu dasar dan English sesuai kebutuhan. Tidak ada program diploma di
Maryland.
BSN memberi peluang lebih tinggi untuk kemajuan dan lebih fleksibel pada 3 tipe
tingkatan dan syarat pada tingkat master keperawatan. Tingkat master diperlukan untuk
oleh perawat yang ingin praktek pada area spesialist yaitu nurse praktisioner, nurse
anestesi, nurse midwive, nurse klinik spesialist dan RN assistant pertama pada kamar
operasi. Perawat yang berminat menjadi perawat riset atau professor perawatan biasanya
harus pada tingkat Doktor.
Pada artikel ini juga dijelaskan tentang biaya kuliah, bervariasi tergantung pada
apakah seseorang kuliah di swasta atau kampus negeri dan apakah seseorang residen atau
tidak dan bagaimana cara mendapatkan beasiswa. Cek petunjuk yang ada untuk
menentukan dari mana sumber bisa diperoleh.
Seorang perawat harus mempunyai lisensi, dengan syarat kelulusan nasional untuk
menjadi RN, ujian dilakukan di mana seseorang tersebut berencana untuk praktek. Lihat
Maryland website untuk informasi lisensi, kadang-kadang dibutuhkan pendidikan
berkelanjutan atau praktek untuk mempertahankan lisensi perawat.

A. TREND DAN ISU PERAWAT


1 Kebutuhan akan tenaga perawat di luar negeri seperti Maryland sangat banyak
karena banyaknya perawat yang akan pensiun tanpa diikuti adanya tenaga pengganti
perawat tersebut. Hal ini memberi peluang bagi perawat Indonesia untuk bekerja
tetapi harus mempunyai skill dan pengetahuan yang mendukung. Menurut Robiun
Munadi (2006) dalam artikelnya mengatakan bahwa ada 100.000 (seratus ribu
perawat) yang menganggur di Indonesia. Ironisnya data WHO 2005 menyebutkan
dunia membutuhkan 2 juta perawat di AS, Eropa, Australlia dan Timur Tengah. Ini
seharusnya memberi peluang bekerja bagi perawat Indonesia, namun kenyataannya
perawat kita tidak mampu bersaing dengan perawat di negeri lain. Hal ini
disebabkan kesulitan berbahasa Inggris bila dibanding dengan perawat Filiphina,
Bangladesh dan India.(http://www.kompas.com)
2 Besar gaji perawat di Maryland disesuaikan dengan tingkatan karir perawat, sesuai
skill, waktu kerja dan tingkat pendidikannya. Sebaliknya situasi di Indonesia sangat
berbeda dengan Maryland. Besar gaji perawat di Indonesia masih berdasarkan
golongan dan masa kerja (PNS). Ini sesuai dengan artikel kompas tentang perawat
yang menyatakan pemerintah sulit membayar perawat karena defisit anggaran. Jadi
diharapkan konsumen penerima manfaat yang membayar gaji tersebut. Disadari saat
ini belum ada koordinasi yang baik antara perencanaan, pendidikan dan
pemanfaatan tenaga perawat. Depkes dan Kessos sebagai perencana, institusi
pendidikan yang melakukan pendidikan, rumah sakit, puskesmas atau masyarakat
yang menggunakan belum pernah duduk bersama membicarakan model
keperawatan seperti apa yang sebaiknya diterapkan. (http://www.inna.ppni).
Akibatnya tenaga perawat menjadi surplus tanpa diimbangi penempatan dan
pembayaran yang tepat, tanpa memperhitungkan tingkat pendidikan, keahlian
seseorang dan juga lamanya waktu ia bekerja.
3 Pendapatan seorang perawat di Maryland meningkat ketika ia menjadi perawat
praktisioner, perawat klinik spesialis, atau perawat riset. Di Indonesia hal ini masih
menjadi trend dan issue, umumnya belum berjalan masih dalam tahap sosialisasi.
Pada beberapa rumah sakit swasta di Indonesia ada yang telah menjalankan sistim
jenjang karir seperti di luar negri, yang akan kelompok bahas pada bagian berikut.
4
B. PENERAPAN JENJANG KARIR DI INDONESIA
Umumnya di Indonesia sistem jenjang karir perawat masih dalam tahap wacana
dan rencana. Belum mempunyai kepastian penjenjangan yang diikuti standar
pendapatan perawat, sesuai dengan kompetensinya. Beberapa rumah sakit di Indonesia
telah mencoba membuat sistem tersebut dengan tujuan agar kinerja perawat yang
dianggap sebagai tenaga mayoritas dalam pelayanan kesehatan dapat meningkat
sehingga mutu pelayanan juga meningkat. Mari kita melihat beberapa sistem jenjang
karir berikut:
1 Jenjang karir perawat oleh DEPKES RI dari sumber PPNI

Bid. Pengemb.
Pengemb. Jenjang
Karir Professional perawat

PK V PM V PP V PR V

PK IV PM IV PP IV PR IV

PK III PM III PP III PR III

PK II PM II PP II PR II

PK I PM I PP I PR I

Kesimpulan: Sistem jenjang karir Depkes RI baru dalam tahap draft belum
ditetapkan sebagai suatu sistem. Dan yang kami cermati adalah bahwa setelah PK V
baru menjadi PR I. Sedangkan pada kenyataannya bahwa pada PK I pun mungkin
saja ada perawat yang mampu melakukan penelitian. Karena itu sebaiknya ada suatu
kejelasan yang lebih terperinci mengenai penjenjangan tersebut.

2 Jenjang karir perawat di RS IMMANUEL Bandung

Model JK Perawat
di RS. Immanuel Bandung

.
N.5 Expert PK.5 PM.4 PP.3 PR.2

N.4 Proficient PK.4 PM.3 PP.2 PR.1

N.3 Competent PK.3 PM.2 PP.1

N.2 Advanced Beginner PK.2 PM.1

N.1 Beginner/Novice
PK.1

N.0 Fresh graduated

PK = Perawat Klinik PM = Perawat Manajer


PP = Perawat Pendidik PR = Perawat Riset

Kesimpulan: Sistem jenjang karir telah dilaksanakan selama satu tahun di RS


Immanuel Bandung dan setelah dilakukan evaluasi maka disimpulkan bahwa mutu
pelayanan meningkat khususnya pelayanan keperawatan. Kami mencermati bahwa
setelah PK 4 baru menjadi PR 1. Pada kenyataannya PK 1 pun mungkin juga
mampu melakukan penelitian. Karena itu sebaiknya ada suatu kejelasan yang lebih
terperinci mengenai penjenjangan ini.

3 Jenjang karir yang dibuat oleh RS JANTUNG HARAPAN KITA JAKARTA

PK KV
VI
PK KV
PK KV V
IV Expert II

PK KV
Expert I
III

PK KV Proficient
II
Competent

Advance
PK KV Beginner
I
PK KV
0 Beginner
Pre
Beginner

Kesimpulan: Sistem jenjang karir telah dilaksanakan di RS Jantung Harapan Kita


namun tidak disampaikan hasil evaluasi terhadap dampak pelaksanaan sistem
tersebut terhadap pelayanan.

4 Jenjang karir perawat di RS St. Carolus Jakarta

JENJANG FUNGSI TENAGA


PERAWAT (JFTK)

Sistem penjenjangan perawat melalui


kompetensi
Disusun menurut dasar pendidikan
Masing masing jenjang memp. peringkat
sbb:
- JF I : I.1 I.3 (Penjenang Kesehatan)
- JF II : II.1 II.6 (SPK)
- JF III : III.1 III.4 (D3)
- JF IV : IV.1 IV.3 (S1)
- JF V : V.1 V.3 (S2)

Kesimpulan: Sistem jenjang karir telah dilaksanakan di RS St. Carolus Jakarta


secara kontiniu, namun tidak disampaikan hasil evaluasi terhadap dampak
pelaksanaan sistem tersebut terhadap pelayanan.
BAB III
RANGKUMAN DAN USULAN

A. RANGKUMAN
Sistem jenjang karir perawat di luar negeri khususnya Maryland sangat jelas
dan perawat sangat dihargai sebagai pemberi layanan kesehatan kepada manusia.
Pendapatan perawat sangat baik dan telah diatur dengan jelas. Hal ini sangat membantu
seseorang untuk menetapkan pilihan karir dalam hidupnya. Dan hal ini juga sangat
mempengaruhi mutu layanan keperawatan secara khusus dan layanan kesehatan pada
umumnya.
Suatu kenyataan yang kita hadapi di Indonesia yang masih memprihatinkan
adalah belum ada sistem secara nasional untuk menentukan dengan pasti jenjang karir
dan pendapatan perawat. Keadaan ini mempengaruhi kinerja perawat yang juga
berpengaruh terhadap mutu layanan keperawatan maupun layanan kesehatan seperti
yang kita alami.
Beberapa rumah sakit di Indonesia yang telah menyadari pentingnya jenjang
karir dan pendapatan perawat dikelola dengan baik untuk meningkatkan mutu layanan
secara umum di rumah sakit tersebut telah menetapkan dan menerapkan secara local
sistem jenjang karir perawat. Namun yang kita harapkan adalah adanya suatu sistem
secara nasional yang dikelola oleh Depkes dan Organisasi Profesi Keperawatan. Sistem
yang ada juga masih dipertanyakan kejelasan dan kebenarannya untuk mempengaruhi
mutu layanan.

B. USULAN
Setelah mempelajari sistem jenjang karir di luar negeri khususnya Maryland,
maka kelompok memberikan usulan sebagai berikut:
1 Depkes bersama organisasi profesi keperawatan (PPNI) perlu dengan sungguh-
sungguh untuk duduk bersama membuat jenjang karir perawat yang jelas dan baik
dengan maksud meningkatkan kinerja perawat yang berdampak pada peningkatan
mutu pelayanan kesehatan di Indonesia.
2 Membentuk tim yang terdiri dari Keperawatan Depkes, PPNI dan perwakilan dari
pelayanan keperawatan di rumah sakit, Puskesmas serta pelayanan kesehatan lainnya
untuk meyusun sistem jenjang karir perawat
3 Mensosialisasikan sistem yang telah disusun
4 Melaksanakan dan memonitor sistem dengan konsisten
5 Mengevaluasi dampak pelaksanaan sistem untuk menetapkan hasil dan melakukan
revisi yang diperlukan.
Jenis-Jenis Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan

Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, melalui SK Direktur Jenderal Pelayanan Medik,


No.YM.00.03.2.6.7637 tahun 1993 telah menetapkan "Standar Asuhan Keperawatan di Rumah
Sakit". Standar Asuhan Keperawatan menurut Departemen Kesehatan meliputi enam standar yaitu:
(1) Pengkajian keperawatan, (2) Diagnosa keperawatan, (3) Perencanaan keperawatan, (4)
Intervensi keperawatan, (5) Evaluasi keperawatan, dan (6) Catatan asuhan keperawatan.

Dalam melaksanakan intervensi keperawatan terdapat 14 kebutuhan pasien yang harus mendapat
perhatian perawat yaitu:

1. Memenuhi kebutuhan oksigen


2. Memenuhi kebutuhan nutrisi dan keseimbangan cairan serta elektrolit
3. Memenuhi kebutuhan eliminasi
4. Memenuhi kebutuhan keamanan
5. Memenuhi kebutuhan kebersihan dan kenyamanan
6. Memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur
7. Memenuhi kebutuhan gerak dan kegiatan jasmani
8. Memenuhi kebutuhan spiritual
9. Memenuhi kebutuhan emosional
10. Memenuhi kebutuhan komunikasi
11. Mencegah dan mengatasi reaksi fisiologis
12. Memenuhi kebutuhan pengobatan dan membantu proses penyembuhan
13. Memenuhi kebutuhan penyuluhan
14. Memenuhi kebutuhan rehabilitasi.

Menurut Griffiths et.al.,2008 indikator keperawatan dapat mengambarkan keselamatan, efektifitas


dan perhatian dalam pelayanan keperawatan, yaitu: 1) Safety: kegagalan penyelamatan (kematian
pada pasien dengan komplikasi pengobatan); Jatuh; Hospital acquired infections; Hospital acquired
pneumonia; Dekubitus. 2) Effectiveness: Pola dan level perawat; Kepuasan perawat; Persepsi
perawat terhadap lingkungan kerja. 3) Compassion: pengalaman pasien selama dirawat;
Pengalaman pasien dalam komunikasi.

Standar Nasional American Nurses Association (ANA) dalam mengukur mutu perawatan telah
menyepakati indikator-indikator mutu keperawatan seperti yang ada pada Tabel 1:

Tabel 1. Indikator Mutu Keperawatan menurut ANA

Kategori Ukuran
Ukuran berfokus 1 Anga kematian pasien karena komplikasi operasi
outcomes pasien 2 Angka dekubitus
3 Angka pasien jatuh
4 Angka psien jatuh dengan cidera
5 Angka restrain
6 ISK karena pemasangan cateter di ICU
7 Blood stream infection karena pemasangan cateter line central di ICU dan HDNC
8 VAP di ICU dn HDNC
Ukuran berfokus 9 Konseling berhenti merokok pada kasus AMI
pada intervensi 10 Konseling berhenti merokok pada kasus Gagal jantung
perawat 11 Konseling berhenti merokok pada kasus Peneumonia
Ukuran berfokus 12 Perbandingan antara RN, LVN/LPN, UAP dan kontrak
pada sistem 13 Jam perawatan pasien per hari oleh RN,LPN/LPN dan UAP
14 Practice Environment ScaleNursing Work Index
15 Turn over

Sumber: The National Database of Nursing Quality Indicators (NDNQI),2007.

Sedangkan Pazargadi et.al, 2008 telah mengembangkan indikator mutu keperawatan di delapan
propinsi di Iran dan didapatkan bahwa indikator mutu keperawatan seperti yang ada pada Tabel 2
sebagai berikut:

Tabel 2. Indikator mutu Keperawatan di Iran

Jenis Kategori Indikator


struktur Management and 1 Tingkat pendidikan dan pengalaman kerja perawat manajer
2 Penetapan tujuan organisasi
3 Uraian tugas tenaga keperawatan
organizational
4 Supervisi keperawatan
leadership

Staffing and nursing 5 Perbandingan jumlah perawt: pasien di ICU


resources 6 Pendidikan berkelanjutan perawat
7 Jam kerja tenaga keperawatan
Facilities and 8 Jumlah jam peningkatan SDM perawat per tahun
budget 9 Fasilitas untuk meningkatkan pengetahuan perawat : Perpustakaan,
internet, dll
10 Pengelolaan dana untuk peningkatan keselamatan pasien
Proses Time and quality of 11 Respon time perawat di IGD
care 12 Standar Pelayanan keperawatan di RS
13 Respon time dokter di IGD
Nursing satisfaction 14 Lingkungan yang aman untuk perawat
and work conditions 15 Kepuasan kerja perawat
Outcomes Patient satisfaction 16 Kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan
17 Kepuasan pasien secara umum
18 Kepuasan pasien terhadap komunikasi perawat
Complications and 19 Rasio pasien dekubitus di ICU
adverse events 20 Rasio pasien infiltrasi intravaskuler pada pasien dengan terapi IV di
ICU

Sumber: International Council of Nurses, 2008.

Indikator mutu keperawatan juga dikembangkan di Thailand pada tahun 2005 oleh Kunaviktikul et
al., yang terdiri dari 3 kategori yaitu: structure, process, and outcome, seperti pada tabel 3 berikut:

Tabel 3. Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan di Thailand

No Indikator Definisi
1 Rasio Perawat Profesional Rasio Antara Tenaga Perawat Professional Dengan Total Jumlah Seluruh

Tenaga Keperawatan
Rasio jam perawatan per pasien per hari.

2 Jam Perawatan
Rasio pasien yang mengalami dekubitus setelah 72 jam perawatan dibagi
dengan jumlah pasien yang keluar pada periode yang sama
3 Integritas Kulit
Skala respon atas pertanyaan kepada para perawat, mengenai their employment
situation, meliputi : hubungan antar perawat, recognition, opportunity for
advancement, safety, autonomy, workload, pay and benefits, achievement, and
4 Kepuasan Perawat participation
Angka infeksi nosokomial pada saluran kemih adalah rasio infeksi saluran
kemih setelah 48 jam dipasang kateter urine dibagi jumlah pasien yang keluar
pada periode yang sama
5 Infeksi Nosokomial
Rasio antara pasien yang jatuh di rumah sakit dibagi dengan jumlah pasien
yang keluar pada periode yang sama
6 Jatuh
Persepsi pasien terhadap kegiatan yang dilakukan oleh perawat dalam
memberikan pendidikan kesehatan sesuai kondisi pasien baik dari isi materi
pendidikan kesehatan maupun cara penyampaian pendidikan kesehatan
7 Kepuasan Pasien Dalam

Pendidikan Kesehatan
Persepsi pasien terhadap perawat dalam pengelolaan nyeri meliputi perawatan,
perhatian, pengobatan, kebutuhan dan nasihat.
8 Kepuasan Pasien Dalam

Manajemen Nyeri
Kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan secara umum selama proses
perawatan, dengan pertanyaan meliputi: fisik, psikologis, emosional, spiritual,
hak-hak pasien dan partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan
9 Kepuasan Pasien Terhadap

Keperawatan Secara Umum

Anda mungkin juga menyukai