Anda di halaman 1dari 35

SURVEY BUDAYA KESELAMATAN PASIEN

RSUP dr. BEN MBOI KUPANG

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT dr. BEN MBOI KUPANG


PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TAHUN 2023

1
2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Keselamatan Pasien/KP (Patient Safety) merupakan isu global dan
nasional bagi rumah sakit, komponen penting dari mutu layanan
kesehatan, prinsip dasar dari pelayanan pasien dan komponen kritis dari
manajemen mutu WHO (2004). Keselamatan Pasien sendiri merupakan
suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi asesmen
risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(Permenkes RI No. 11 tahun 2017).
Keselamatan pasien penting diperhatikan karena masih tingginya
angka Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dan Kejadian Tidak Cidera (KTC).
Keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan mendapatkan banyak
perhatian sejak Institute of Medicine (IOM) pada tahun 2000 menerbitkan
laporan yang berjudul “To Err is Human : Building a Safer Health System”
yang mengemukakan Angka Kematian Akibat KTD pada pasien rawat inap
di seluruh Amerika berjumlah 44.000-98.000 orang pertahun. Dengan
menggunakan estimasi yang lebih rendah, lebih banyak orang mati akibat
kesalahan medis dalam setahun dibandingkan kecelakaan jalan raya,
kanker payudara, atau AIDS. Laporan ini disusul dengan publikasi WHO
pada tahun 2004 yang menemukan KTD dengan rentang 3,2-16,6% dari
penelitian di berbagai negara (Depkes RI, 2008). Di Indonesia Laporan
Insiden Keselamatan Pasien menemukan adanya pelaporan kasus KTD
(14,41%) dan KNC (18,53%) yang disebabkan karena proses atau prosedur
klinik (9,26 %), medikasi (9,26%), dan Pasien jatuh (5,15%) (KKP RS, 2011).
Laporan diatas telah menggerakkan sistem kesehatan dunia untuk
merubah paradigma pelayanan kesehatan menuju keselamatan pasien
(patient safety). Gerakan ini berdampak juga terhadap pelayanan
kesehatan di Indonesia melalui pembentukan KKPRS (Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit) pada tahun 2004.
Salah satu tujuan keselamatan pasien yaitu menurunnya KTD
maupun KTC yang merupakan bagian dari insiden keselamatan pasien.
Namun, sampai saat ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah KTD
maupun KTC di RSUD SoE. Minimnya data insiden mengakibatkan
rendahnya proses pembelajaran yang berdampak buruk pada usaha
3

pencegahan dan pengurangan cedera pada pasien. Akibatnya, rumah sakit


mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi potensi bahaya atau risiko
yang dihadapi dalam sistem pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu
dibutuhkan suatu upaya untuk meningkatkan keberhasilan sistem
pelaporan dan pembelanjaran yang berfokus pada sistem mengurangi
terjadinya cedera pasien di RSUD SoE. Langkah penting yang harus
dilakukan adalah membangun budaya keselamatan. Langkah pertama
dalam membangun budaya keselamatan adalah melakukan survey budaya
keselamatan pasien rumah sakit. Survey budaya bermanfaat untuk
mengetahui tingkat budaya keselamatan rumah sakit sebagai acuan
menyusun program kerja dan melakukan evaluasi keberhasilan program
keselamatan pasien (Nieva, Sorra, 2003). Atas dasar itu peneliti menilai
penelitian tentang survey budaya keselamatan pasien ini perlu untuk
dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan
penelitian ini adalah bagaimana budaya keselamatan pasien di RSUP dr.
Ben Mboi Kupang

1.3. Tujuan Penelitian


Mengetahui budaya keselamatan pasien di RSUP dr. Ben Mboi
Kupang

1.4. Manfaat Penelitian


a. Memberikan masukan tentang gambaran budaya keselamatan
pasien yang ada di RSUP dr. Ben Mboi Kupang
b. Sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan terkait
dengan pelaksanaan program keselamatan pasien, khususnya
dalam membangun budaya keselamatan.
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keselamatan Pasien


2.1.1. Pengertian Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya
cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Sistem
tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi
untuk meminimalkan resiko (Depkes 2008).
Keselamatan pasien (patient safety) berdasarkan PMK RI Nomor
1691 tahun 2011 adalah suatu sistem dimana rumah sakit yang membuat
asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi assesemen resiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan
tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh
kelelahan dalam mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya dilakukan.
Rumah sakit sebagai tempat yang padat karya dengan berbagai
prosedur, profesi, teknologi dan standar menjadi tempat yang paling rawan
terhadap keselamatan pasien. Akibat insiden pada pasien dapat
mengakibatkan cidera, membahayakan jiwa, perpanjangan rawat, bahkan
kematian (Lumenta, 2006 dalam Cahyono 2008).
Definisi dari berbagai sumber di atas dapat dirumuskan menjadi
suatu kesimpulan mengenai keselamatan pasien. Keselamatan pasien
merupakan suatu bagian penting dalam mutu pelayanan yang
menekankan pada suatu kondisi yang tidak merugikan pasien, mengurangi
dan meminimalkan resiko melalui berbagai upaya sistemik yang
berorientasi pada optimalisasi hasil pelayanan yang diterima pasien.

2.1.2 Tujuan Keselamatan Pasien


Berikut adalah tujuan dari program keselamatan pasien:
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2. Meningkatnnya akuntabilitas rumah sakit, pasien dan masyarakat
5

3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit


4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan kejaadian tidak diharapkan.

2.1.3. Standart Keselamatan Pasien


Standar keselamatan pasien rumah sakit yang disusun ini mengacu
pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikelurkan oleh Join
Commission on Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA pada
tahun 2002 yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumah sakitan
di Indonesia. Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh
standar menurut Depkes (2008 )yaitu:
1. Hak Pasien
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan
informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan
terjadinya insiden.
2. Mendidik Pasien dan Keluarga
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang
kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
3. Keselamatan Pasien dan Kesinambungan Pelayanan
Rumah sakit menjamin keselamatan pasien dalam
kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan
antar unit pelayanan.
4. Penggunaan Metode Peningkatan Kinerja Untuk Melakukan Evaluasi
dan Program Keselamatan Pasien
Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki
proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui
pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan
melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan
pasien.
5. Peran Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Keselamatan Pasien
a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program
keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui
penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah
Sakit”.
b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk
identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau
mengurangi insiden.
c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan
koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan
keputusan tentang keselamatan pasien.
6

d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk


mengukur, mengkaji dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta
meningkatkan keselamatan pasien.
e. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.
6. Mendidik Staf Tentang Keselamatan Pasien
a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi
untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan
keselamatan pasien secara jelas.
b. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf
serta mendukung pendekatan interdisipliner dalam pelyanan pasien.
7. Komunikasi Merupakan Kunci Bagi Staf Untuk Mencapai Keselamatan
Pasien
a. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen
informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan
informasi internal dan eksternal.
b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

2.1.4 Insiden Keselamatan Pasien


Institute of Medication mendefinisikan patient safety sebagai
kejadian yang tidak diharapkan akibat dari melakukan atau tidak
melakukan tindakan yang seharusnya dan bukan akibat dari penyakit
maupun kondisi fisik pasien. Insiden keselamatan pasin merupakan akibat
dari melakukan suatu tindakan (comission) atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil (omission) (Depkes RI, 2008).
Sementara pengertian insiden keselamatan pasien berdasarkan
PMK RI Nomor 1691 tahun 2011 adalah setiap kejadian yang tidak
disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan
cidera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak
Diharapkan, Kejadian Nyaris Cidera, Kejadian Tidak Cidera dan Kejadian
Potensial Cidera.
Jenis insiden keselamatan pasien berdasarkan Permenkes No. 1691
Tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien, yaitu:
a. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
Suatu kejadian cidera yang diakibatkan karena mengambil
tindakan medis atau tidak mengambil tindakan medis yang seharusnya
dilakukan, atau dengan kata lain bukan karena penyakit dasarnya atau
kondisi pasien (Kohn, et al., 1999).
7

Suatu kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan


cidera pada pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil, dan bukan karena
penyakit dasarnya atau kondisi pasien. Kejadian tersebut dapat terjadi
di semua tahapan dalam perawatan dari diagnosis, pengobatan dan
pencegahan ( Reason, 1990 dalam To Err Is Human : Building A Safer
Health Sistem.)
b. Kejadian Nyaris Cidera (KNC)
Kejadian Nyaris Cidera adalah terjadinya insiden yang belum
sampai terpapar ke pasien. Misalnya suatu obat dengan overdosis
lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya
sebelum obat diberikan kepada pasien.
c. Kejadian Tidak Cidera (KTC)
Kejadian tidak cidera adalah suatu insiden yang sudah terpapar
ke pasien, tetapi tidak mengakibatkan cidera.
d. Kondisi Potensial Cidera (KPC)
Kondisi Potensial Cidera adalah kondisi yang sangat berpotensi
untuk menimbulkan cidera, tetapi belum terjadi insiden. Misalnya obat
LASA (Look Alike Sound Alike) disimpan berdekatan.
e. Kejadian Sentinel (KS)
Kejadian sentinel adalah suatu Kejadian Tidak Diharapkan
(KTD) yang mengakibatkan kematian atau cidera yang serius. Biasanya
dipakai untuk kejadian yang sangat tidak diharapkan atau tidak dapat
diterima seperti: operasi pada bagian tubuh yang salah. Pemilihan kata
'sentinel' terkait dengan keseriusan cidera yang terjadi (Misalkan
amputasi pada kaki yang salah) sehingga pecarian fakta terhadap
kejadian ini mengungkapkan adanya masalah yang serius pada
kebijakan dan prosedur yang berlaku. (Permenkes No. 1691 Tahun
2011)

2.1.5 Sasaran Keselamatan Pasien

Sasaran keselamatan pasien merupakan persyaratan untuk


diterapkan di setiap rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi
Rumah Sakit. Penyusunan sasaran mengacu kepada Nine Life-Saving
Patient Safety Solutions WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga
oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI) serta
Joint Commision International (JCI). Nine Life-Saving Patient Safety Solutions
merupakan suatu sistem untuk mencegah atau meminimalisir resiko
8

cidera pasien dan meningkatkan keselamatan pasien secara lebih nyata


(WHO, 2007).
Maksud dan tujuan dari penyusunan sasaran keselamatan pasien
adalah untuk mendorong perbaikan spesifik keselamatan pasien. Sasaran
menyoroti bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan sehingga
dapat dilakukan intervensi yang tepat sebagai upaya pemberian layanan
kesehatan yang aman dan bermutu tinggi. Enam sasaran keselamatan
pasien adalah tercapainya berbagai hal sebagai berikut, Depkes (2008):
a. Sasaran 1: Ketepatan Identifikasi Pasien
Kesalahan akibat keliru mengidentifikasi pasien dapat terjadi di
semua tahapan proses pelayanan kesehatan. Maksud sasaran
ketepatan identifikasi pasien adalah untuk melakukan dua kali
pengecekan yaitu: pertama, untuk identifikasi pasien sebagai individu
yang akan menerima pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk
kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap pasien tersebut.
b. Sasaran 2: Peningkatan Komunikasi yang Efektif
Komunikasi efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan
yang dipahami oleh pasien akan mengurangi kesalahan dan
menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat
berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah
terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan
secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang mudah terjadi
kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis,
seperti melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke
unit pelayanan.
c. Sasaran 3: Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai (High-
Alert)
Obat dapat menjadi bagian dari rangkaian suatu pengobatan
yang harus diperhatikan untuk memastikan keselamatan pasien. Obat
yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering
menyebabkan terjadi kesalahan serius (sentinel event), obat yang
berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse
outcome) seperti obat-obatan yang terlihat mirip dan kedengarannya
mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike
Sound Alike/LASA). Cara yang paling efektif untuk meminimalisir
kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan
obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit
konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi.
d. Sasaran 4: Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien
Operasi
9

Salah lokasi, salah-prosedur, pasien-salah pada operasi, adalah


sesuatu yang menkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit.
Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau
yang tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang atau tidak
melibatkan pasien didalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak
ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Disamping itu, asesmen
pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak
adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka
antaranggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan
tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible handwritting) dan pemakaian
singkatan adalah sejumlah faktor kontribusi yang sering terjadi.
e. Sasaran 5: Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan
terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya
untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para
profesional pelayanan kesehatan.
f. Sasaran 6: Pengurangan Resiko Pasien Jatuh
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cidera
bagi pasien rawat inap. Dalam konteks populasi atau masyarakat yang
dilayani, pelayanan yang disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit
perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk
mengurangi risiko cidera bila sampai jatuh.

2.1.6 Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden Keselamatan Pasien

The Institute of Medicine’s (IOM’s), melalui laporannya yang berjudul


To Err is Human: Building a Safer Health Sistem yaitu :
“Health care is composed of large set of interacting sistem-
paramedic, and emergency, ambulatory, impatient care, and home
health care; testing imaging laboratories; pharmacies; and so fort-that
are coupled in loosely connected but intricate network of individuals,
teams, procedures, regulations, communications, equipment, and
devices that function with diffused management in a variable and
uncertain environment. Physicians in community practice may be so
tenuously connected that they do not even view themselves as part of
the sistem of care”
Laporan tersebut menekankan bahwa yang meningkatkan
pencegahan terhadap insiden (adverse event) adalah berupa faktor yang
10

sistemik, artinya, tidak hanya berasal dari kinerja seorang perawat, dokter,
atau tenaga kesehatan lain (Sanders M et al, 1993). Laporan tersebut juga
memberi perhatian pada faktor komunitas manusia yang terlibat pada
masalah pelayanan kesehatan. Insiden keselamatan pasien dihasilkan dari
interaksi atau kecenderungan dari beberapa faktor yang diperlukan kecuali
beberapa faktor yang tidak sesuai. Kekurangan pada faktor terlihat pada
sistem, telah lama ada sebelum terjadi suatu insiden. Yang menjadi poin
penting adalah pada pemahaman bahwa ada kebutuhan untuk menyadari
dan memahami fungsi dari banyaknya sistem yang setiap sistem berkaitan
dengan penyedia layanan kesehatan dan bagaimana kebijakan serta
tindakan yang diambil pada suatu bagian (dalam sistem tersebut) akan
berdampak pada kemanan, kualitas dan efisiensi pada sistem bagian lain.
Pendekatan sistem memberikan perspektif yang luas dalam mencari
solusi dalam lingkungan secara fisik dan budaya. Sebagai contoh yaitu
bagaimana pengaturan unit, prosedur pelayanan kesehatan, transfer
pengetahuan oleh organisasi (organizational knowledge transfer), kesalahan
teknis, kurangnya kebijakan dan prosedur, komunikasi antar tim dan isu
dalam ketenagaan mempengaruhi seorang individu dalam memberikan
layanan yang aman dan berkualitas. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi
maka akan menghasilkan error atau kesalahan (Carayon, 2003).
Menurut Carayon (2003), tipe error dan bahaya dapat terklarifikasi
menurut domain atau kejadian dalam spectrum pelayanan kesehatan.
Akar permasalahan dari bahaya teridentifikasi menurut definisi berikut
yaitu:
a. Latent Failure yaitu melibatkan pengambilan keputusan yang
mempengaruhi kebijakan, prosedur organisasi dan alokasi sumber
daya.
b. Active Failure yaitu kontak langsung dengan pasien.
c. Organizational failure yaitu kegagalan secara tidak langsung yang
melibatkan manajemen, budaya, organisasi, proses/protokol, transfer
pengetahuan dan faktor eksternal.
d. Technical failure yaitu kegagalan secara tidak langsung dari fasilitas
atau sumber daya eksternal.
Depkes, (2008) mengungkapkan bahwa faktor yang berkontribusi
terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien adalah: faktor
eksternal/luar rumah sakit, faktor organisasi dan manajemen, faktor
lingkungan kerja, faktor tim, faktor petugas dan kinerja, faktor tugas,
faktor pasien, dan faktor komunikasi.
Agency for Healthcare Research and Quality/AHRQ (2003)
mengatakan bahwa faktor yang dapat menimbulkan insiden keselamatan
11

pasien adalah : komunikasi, arus informasi yang tidak adekuat, masalah


SDM, hal yang berhubungan dengan pasien, transfer pengetahuan di
rumah sakit, alur kerja, kegagalan teknis, kebijakan dan prosedur yang
tidak adekuat.
Sudut pandang dalam sistem pelayanan kesehatan dapat digunakan
untuk menggambarkan bagaimana suatu insiden terjadi. Teori James
Reason dalam (Cahyono, 2008) yang dikenal dengan Reason “Swiss
Cheese” Model of Human Error banyak dipakai untuk menjelaskan hal ini
(Gambar 2.1). Menurut James Reason, setiap organisasi atau perusahaan
(termasuk rumah sakit) pasti menerapkan suatu sistem pengamanan atau
sistem barier untuk mencegah terjadinya suatu insiden (KTD). Kerugian
atau KTD baru akan terjadi apabila sistem barier tidak berfungsi atau
dilanggar oleh individu yang melakukan kesalahan atau pelanggaran.
Teori Reason menyebutkan bahwa hampir semua kejadian tidak
diharapkan (KTD) terjadi karena kombinasi dari faktor laten dan faktor
aktif. Kegagalan sistem pertahanan atau sistem barier, kegagalan aktif
berupa faktor manusia yang melakukan pelanggaran serta kondisi yang
memudahkan terjadinya pelanggaran, sedangkan kondisi laten berupa
kegagalan organisasi dan manajemen merupakan rincian dari penyebab
KTD secara keseluruhan.

2.2. Budaya Keselamatan Pasien


2.2.1. Definisi Budaya Keselamatan Pasien
Menurut Blegen (2006) dalam Hamdani (2007), budaya keselamatan
pasien adalah persepsi yang dibagikan diantara anggota organisasi
ditujukan untuk melindungi pasien dari kesalahan tata laksana maupun
cidera akibat intervensi. Persepsi ini meliputi kumpulan norma, standar
profesi, kebijakan, komunikasi dan tanggung jawab dalam keselamatan
pasien. Budaya ini kemudian mempengaruhi keyakinan dan tindakan
individu dalam memberikan pelayanan. Budaya keselamatan pasien
merupakan bagian penting dalam keseluruhan budaya organisasi yang
diperlukan dalam istitusi kesehatan. Budaya keselamatan didefinisikan
sebagai seperangkat keyakinan, norma, perilaku, peran, dan praktek sosial
maupun teknis dalam meminimalkan pajanan yang membahayakan atau
mencelakakan karyawan, manajemen, pasien, atau anggota masyarakat
lainnya.
Kohn (2000) menyatakan dalam Hamdani (2007), budaya keselamatan
pasien dikembangkan dari konsep budaya keselamatan di dunia industri.
Walaupun memiliki karakteristik yang berbeda, berbagai penelitian budaya
keselamatan di industri lain menjadi dasar pengembangan konsep
12

keselamatan pasien di rumah sakit. Salah satu perbedaan konsep budaya


keselamatan yang ada di rumah sakit adalah fokus untuk melindungi
pasien lebih besar daripada perlindungan terhadap personel sendiri.
Menurut IOM, terciptanya lingkungan yang aman bagi pasien berarti
tercipta juga lingkungan yang aman bagi pekerja, karena keduanya terikat
satu sama lain.
Menurut Fleming (2006) dalam Hamdani (2007), budaya keselamatan
pasien merupakan suatu hal yang penting karena membangun budaya
keselamatan pasien merupakan suatu cara untuk membangun program
keselamatan pasien secara keseluruhan, karena apabila kita lebih fokus
pada budaya keselamatan pasien maka akan lebih menghasilkan
keselamatan yang lebih apabila dibandingkan hanya dengan memfokuskan
programnya saja. Walshe dan Boalden (2006) dalam Hamdani (2007)
menyatakan bahwa kesalahan medis sangat jarang disebabkan oleh faktor
kesalahan manusia secara individu, namun lebih banyak disebabkan
karena kesalahan sistem di rumah sakit yang mengakibatkan rantai sistem
terputus.
Menurut Bird (2005) dalam Hamdani (2007) manfaatbudaya
keselamatan pasien antara lain:
1. Organisasi lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika
kesalahan telah terjadi
2. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan
yang terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian sama yang
berulang kembali dan keparahan dari keselamatan pasien.
3. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah
error dan melaporkan jika ada kesalahan.
4. Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu karena
kesalahan yang telah diperbuat.
5. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang mengalami insiden
umumnya akan mengalami perpanjangan hari perawatan dan
pengobatan yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya
diterima pasien.
6. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan
terapi.
7. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan dalam menangani keluhan
pasien.
13

2.2.2. Komponen Budaya Keselamatan Pasien

Menurut Reason (1997) dalam Hamdani (2007) budaya keselamatan


terdiri dari empat komponen (subculture) yaitu:
1. Informed culture. Budaya dimana pihak yang mengatur dan
mengoperasikan sistem memiliki pengetahuan terkini tentang faktor
yang menjelaskan keselamatan dalam suatu sistem.‟
2. Reporting culture. Budaya dimana anggota di dalamnya siap untuk
melaporkan kesalahan atau near miss. Pada budaya ini organisasi
dapat belajar dari pengalaman sebelumnya. Konsekuensinya makin
baik reporting culture maka laporan kejadian akan semakin meningkat
3. Just culture. Budaya membawa atmofer trust sehingga anggota bersedia
dan memiliki motivasi untuk memberikan data dan informasi serta
sensitif terhadap perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat
diterima. Termasuk di dalamnya lingkungan non punitive (no blame
culture) bila staf melakukan kesalahan. Penting bagi setiap level di
organisasi untuk bersikap jujur dan terbuka.
4. Learning culture. Budaya dimana setiap anggota mampu dan bersedia
untuk menggali pengetahuan dari pengalaman dan data yang diperoleh
serta kesediaan untuk mengimplementasikan perubahan dan
perbaikan yang berkesinambungan (continous improvement). Learning
culture merupakan budaya belajar dari insiden dan near miss.
Pada tahun 2004 Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ)
suatu komite untuk kualitas kesehatan di Amerika meluncurkan Hospital
Survey on Patient Safety Culture (HSPSC) merupakan sebuah survei bagi
seluruh staf rumah sakit yang didesain untuk membantu rumah sakit
menilai budaya keselamatan pasien di institusinya. Sejak saat itu 100
rumah sakit di Amerika telah mengimplementasi survei ini (AHRQ, 2004).
Survei Hospital Survey On Patient Safety Culture menngukur budaya
keselamatan pasien dari segi perspektif staf rumah sakit. Survei ini dapat
mengukur budaya keselamatan pasien untuk seluruh staf rumah sakit dari
housekeeping, bagian keamanan, sampai dokter dan perawat. AHRQ
menilai budaya keselamatan pasien dipengaruhi oleh 3 aspek yang dibagi
kedalam 12 dimensi, diantaranya (AHRQ, 2004):
1. Tingkat unit, terdiri atas dimensi:
1) Supervisor/manager action promoting safety
2) Organizational learning – perbaikan berkelanjutan
3) Kerjasama dalam unit di rumah sakit
4) Komunikasi terbuka
5) Umpan balik dan komunikasi mengenai kesalahan
14

6) Respon tidak mempermasalahkan terhadap kesalahan (respon non-


punitive)
7) Staffing
2. Tingkat rumah sakit, terdiri atas dimensi:
1) Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien
2) Kerjasama antar unit di rumah sakit
3) Handsoff / perpindahan dan transisi pasien
3. Keluaran, terdiri atas dimensi:
1) Persepsi keseluruhan staf di rumah sakit terkait keselamatan pasien
2) Frekuensi pelaporan kejadian
Survei budaya keselamatan berguna untuk mengukur kondisi
organisasi yang dapat mengurangi KTD dan kecelakaan pasien di rumah
sakit. Rumah sakit yang ingin menilai budaya keselamatan pasien di
organasasi harus menyadari pelaksananan survei budaya keselamatan
pasien. Survei budaya keselamatan pasien dapat digunakan untuk (AHRQ,
2004):
1. Meningkatkan kesadaran staf rumah sakit mengenai keselamatan
pasien
2. Mendiagnosa dan menilai keadaan budaya keselamatan pasien saat itu
3. Mengidentifikasi kekuatan/kelebihan suatu area/unit untuk
pengembangan program keselamatan pasien
4. Menguji perubahan tren budaya keselamatan pasien sepanjang waktu
5. Mengevaluasi dampak budaya dari inisiatif dan intervensi keselamatan
pasien
6. Mengadakan perbandingan baik internal maupun eksternal

2.2.3. Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Budaya Keselamatan


Pasien
Menurut Geller dalam Chooper (2000), tentang Total Safety Culture,
menyebutkan bahwa ada tiga kelompok faktor yang dapat mempengaruhi
budaya keselamatan pasien, yaitu sebagai berikut (Chooper, 2000):
a. Faktor personal yaitu cenderung dari orang/ manusia yang bekerja
dalam suatu orgaisasi rumah sakit. Faktor personal ini terdiri dari:
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Motivasi
4. Kompetensi
5. Kepribadian
15

b. Faktor perilaku organisasi yaitu kondisi lingkungan kerja yang diukur


dari segi organisasi pelayanan kesehatan secara umum. Faktor perilaku
organisasi yaitu:
1. Kepemimpinan
2. Kewaspadaan Situasi
3. Komunikasi
4. Kerja Tim
5. Stress
6. Kelelahan
7. Kepemimpinan Tim
8. Pengambilan Keputusan
c. Faktor lingkungan merupakan pendukung proses pelayanan dalam
organisasi kesehatan, yang terdiri dari:
1. Perlengkapan
2. Peralatan
3. Mesin
4. Kebersihan
5. Teknik

2.2.4. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien Dengan Hospital


Survey On Patient Safety Culture (HSOPSC)
Budaya keselamatan pasien pada suatu organisasi menurut Agency
for Healthcare Research and Quality (AHRQ, 2004) adalah produk dari
individu dan kelompok yang merupakan nilai dari sikap, persepsi,
kompetensi dan perilaku yang menimbulkan komitmen dan pola dari suatu
manajemen kesehatan mengenai keselamatan pasien. Organisasi dengan
budaya keselamatan pasien yang positif mempunyai karakteristik
komunikasi saling terbuka dan percaya, serta persepsi yang sama
mengenai pentingnya keselamatan pasien dan kenyamanan dalam
pengukuran guna pencegahan.
Rumah sakit sebagai organisasi pelayanan kesehatan berusaha
untuk meningkatkan pertumbuhan budaya keselamatan pasien. Sutker
(2008) mengatakan bahwa budaya keselamatan pasien adalah wajib dan
seluruh pegawai bertanggung jawab terhadap keselamatan diri mereka
sendiri, pasien dan pengunjung. Fokus budaya keselamatan yang baru
adalah pembelajaran yang dilakukan setiap saat terhadap kesalahan yang
terjadi.
Seperti yang diungkapakan oleh Hipokrates “first do no harm” dalam
sebuah misi Safety Culture atau budaya keselamatan pasien yang harus
dijadikan misi prioritas dan utama suatu organisasi pelayanan kesehatan
16

(Heatlh Sistem Safety Toolkit University of Michigan, 2007). Sebuah


Atmosfer saling percaya ini harus dikembangkan dengan baik dimana para
staf atau petugas kesehatan bebas berbicara dan melapor mengenai
keselamatan pasien dan bagaimana penyelesaiannya tanpa merasa takut
untuk disalahkan atau dihukum. Budaya ini hanya dapat tercipta jika staf
memiliki kesadaran yang konstan dan aktif tentang hal yang potensial
menimbulkan kesalahan. Bersikap terbuka dan adil berarti membagi
informasi secara terbuka dan bebas, penanganan yang adil bagi staf bila
terjadi insiden. Mengubah budaya keselamatan pasien dari Blaming culture
(saling menyalahkan) menjadi Safety Culture merupakan kunci dalam
peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
Penerapan budaya keselamatan pasien dimulai dengan melakukan
survey tentang isu antara lain bagaimana kemampuan manajemen melihat
ke depan dan berkomitmen dengan keselamatan pasien, bagaimana
komunikasi antara staf dengan manajer, bagaimana sikap dan perilaku
dalam melaporkan suatu kejadian, blaming dan penghukumannya dan
bagaimana faktor dalam lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi
kinerja.
Mengukur budaya keselamatan pasien dengan menggunakan
instrument “Hospital Survey On Patient Safety Culture” (HSOPSC) yang
dirancang oleh AHRQ pada tahun 2004. Sebelum HSOPSC diperkenalkan
banyak penelitian penilaian budaya keselamatan pasien dengan
menggunkan instrument “Safety Climate Survey” (SCS) yang dirancang oleh
The Center of Excellence for Patient Safety Research and Practice,
merupakan gabungan dari beberapa fakultas kedokteran di Amerika.
Perbedaan kedua instrument adalah HSOPCS terbagi berdasarkan 12
dimensi budaya keselamatan pasien sedangkan SCS tidak terbagi (Colla et
al., 2005).
Dimensi penilaian Hospital Survey on Patient Safety Culture
(HSOPSC) tahun 2004 yang berjumlah 12 dimensi tersebut adalah:
1. Dimensi Persepsi
Persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang
dalam memahami tentang lingkungannya baik lewat penglihatan,
pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Muchlas (2005)
mengatakan bahwa hal yang berkaitan dengan dimensi persepsi
meliputi sikap, motif, interest, pengalaman masa lalu dan ekspektasi.
2. Dimensi Frekuensi Pelaporan
Pelaporan insiden keselamatan pasien adalah suatu sistem untuk
mendokumentasikan laporan insiden keselamatan pasien, analisis dan
solusi untuk pembelajaran. Sistem pelaporan akan mengajak semua
17

orang dalam organisasi untuk peduli akan bahaya/potensi bahaya yang


dapat terjadi kepada pasien. Pelaporan juga digunakan untuk
memonitor upaya pencegahan terjadinya error sehingga diharapkan
dapat mendorong dilakukannya investigasi selanjutnya (KKP-RS, 2008).
Pelaporan tidak bertujuan untuk mencari kesalahan petugas tetapi
untuk dijadikan sebagai usaha perbaikan pelayanan kesehatan dalam
suatu Rumah sakit.

3. Dimensi Supervisi

Dalam suatu organisasi peran pemimpin sangat dominan dalam


menentukan kegagalan dan keberhasilan suatu organisasi. Pada
dimensi ini mengarah kepada kemampuan pemimpin dalam
melaksankan fungsi controlling dan evaluating melalui kegiatan
supervisi sehingga bisa mengetahui apakah segala sesuatunya berjalan
sesuai dengan aturan serta untuk mengetahui permasalahan yang
terjadi beserta mencari solusinya (Swanberg, 1996).
4. Dimensi Pembelajaran Organisasi
Kesalahan yang terjadi akan menggiring menuju pada perubahan
yang positif dan perubahan yang terjadi akan selalu dievaluasi
efektifitasnya. Proses belajarakan terjadi dengan adanya perubahan
perilaku (Muchlas, 2005). Pada organisasi pembelajar anggota
organisasi memahami pentingnya kelangsungan pembelajaran yang
dilaksanakan secara menyeluruh dan terus menerus.
5. Dimensi Kerjasama Intra Bagian
Dimensi keja sama intra bagian merupakan pendukung
terwujudnya budaya keselamatan pasien di rumah sakit, apabila
terbentuk kerjasama yang solid antar staf dan antar tim. Dimensi ini
merupakan karakteristik yang berfungsi baik pada proses pengambilan
keputusan maupun pengambilan kebijakan.
6. Dimensi Keterbukaan Komunikasi
Dimensi keterbukaan komunikasi sangat diperlukan guna
membangun budaya keselamatan pasien. Staf mempunyai kebebasan
mengemukakan pendapat apabila menjumpai sesuatu yang bisa
berdampak negatif pada seorang pasien dan merasa bebas mengajukan
pertanyaan dengan lebih berani (AHRQ, 2016). Komunikasi adalah
pemindahan informasi yang bisa dimengerti dari satu orang atau
kelompok kepada orang atau kelompok lainnya. Rasa saling percaya
adalah syarat untuk menumbuhkan kerjasama dan komunikasi yang
baik.
18

7. Dimensi Timbal Balik Kesalahan


Dimensi timbal balik ini merupakan suatu respon manajemen
terhadap suatu kesalahan untuk mengetahui letak kesalahannya,
segera diberikan jalan keluar, setelah itu dicari cara pencegahannya
agar hal yang sama tidak terulang lagi.
8. Dimensi Sanksi Kesalahan
Diwujudkannya dimensi sanksi kesalahan merupakan wujud
untuk melakukan evaluasi dan koreksi terhadap kesalahan yang
dilakukan oleh petugas, bukan sebagai alat untuk mencari kesalahan.
Sehingga kesalahan yang dilakukan diharapkan dijadikan sebagai
pelajaran berharga dan sanksi yang diberikan sebagai efek jera sehingga
tidak mengulang kesalahan yang sama atau melakukan kesalahan
lainnya.
9. Dimensi Staf
Untuk mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien
diperlukan jumlah staf yang cukup untuk menangani beban kerja dan
jam kerja sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan terbaik
terhadap pasien.
10. Dimensi Dukungan Manajemen
Dimensi dukungan manajemen adalah manajemen rumah sakit
menyediakan iklim kerja yang mendukung keselamatan pasien dan
menunjukkan bahwa keselamatan pasien adalah prioritas (AHRQ,
2012). DepKes (2008) telah menyusun standar keselamatan pasien yang
terdiri dari 7 standar, peran kepemimpinan dalam meningkatkan
keselamatan pasien tertuang pada standar 5, yaitu: (1) Pimpinan
mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien
secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah
menuju Keselamatan Pasien”, (2) Pimpinan menjamin berlangsungnya
program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan
program menekan atau mengurangi KTD, (3) Pimpinan mendorong dan
menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu
berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien,
(4) Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk
mengukur, mengkaji dan meningkatkan kinerja Rumah sakit serta
meningkatkan keselamatan pasien, (5) pimpinan mengukur dan
mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah
sakit dan keselamatan pasien.
19

11. Dimensi Kerjasama Antar Bagian


Setiap unit/bagian saling bekerjasama dan berkoordinasi untuk
memberikan perawatan yang terbaik untuk pasien. Masalah
keselamatan pasien adalah masalah sistem, komponen demi komponen
tidak dapat dipisah-pisahkan melainkan sebagai suatu sistem antar
komponen saling berinteraksi dan berkoordinasi secara sinergis.
Cleaned mengatakan sistem adalah kumpulan bagian yang saling
tergantung dan berinteraksi secara teratur dan membentuk kesatuan
yang utuh (Tunas, 2007 cit cahyono 2008).
12. Dimensi Pemindahan dan Pergantian
Penerapan kerjasama antar bagian akan sangat dibutuhkan pada
dimensi pemindahan dan pergantian. Pada dimensi ini akan melibatkan
satu atau lebih unit kerja, apabila dalam proses tersebut tercipta
suasana kerjasama yang baik maka pelimpahan pasien atau transfer
informasi dapat berjalan dengan lancar.
20

BAB III
METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang digunakan dalam


penelitian yang meliputi: rancangan penelitian, variabel dan definisi
operasional, subyek penelitian, tempat dan waktu penelitian, etika
penelitian, alat pengumpul data penelitian , prosedur pengumpulan data
dan rencana analisis data.

3.1 Rancangan Penelitian


Rancangan dalam Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan
pendekatan cross sectional. Menurut Wilson Diers (1979) dalam Nursalam
(2003), penelitian deskriptif bertujuan untuk menjelaskan, memberi suatu
nama, situasi atau fenomena dalam menemukan ide baru.

1. Variabel dan Definisi Operasional


Tabel 1 Variabel dan Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Hasil Skala Ukur
Operasional Pengukuran Pengukuran
1. Budaya Suatu pola Menggunakan Respon Nilai respon
Keselamatan keyakinan, kuesioner survey positif: positif
Pasien Rumah nilainilai AHRQ yang pernyataan aspek/item
Sakit perilaku, terdiri atas setuju/sangat >75%:
norma-norma 12 aspek dan 42 setuju pada Area Kekuatan
yang item kalimat budaya
disepakati/diteri pernyataan. positif keselamatan
ma yang Mengelompokkan atau RS
tercermin dari dalam 4 pernyataan Nilai Respon
keinginan komponen tidak setuju positif
organisasi untuk budaya (Reason, atau aspek/item
belajar dari 1997) sangat tidak ≤50%: Area
kesalahan di Skala: setuju pada yang masih
RSUD SoE Menggunakan kalimat memerlukan
skala Likert yang reversi pengembangan
terdiri budaya
dari 5 label keselamatan
bergerak RS
mulai dari sangat
setuju,
setuju, kadang-
kadang,
tidak setuju,
sangat
tidak setuju.
2. Sistem Adalah suatu Formulir laporan Presentase
Pelaporan alur insiden yang Pelaporan
insiden pelaporan dikumpulkan insiden.
keselamatan insiden secara oleh staf RS
pasien tertulis Laporan insiden
untuk setiap dikategorikan:
kondisi potensial KTC,KTD,
cedera dan kematian,
insiden yang sentinel.
menimpa pasien,
21

keluarga,
maupun
pengunjung
kemudian
dilakukan
analisa
akar masalah
untuk
melakukan
perbaikan sistem
di RSUD SoE
3. Budaya Merupakan Lembar Kerja Presentase
pembelanjaran suatu RCA insiden yang
budaya yang telah
mengutamakan dilakukan
pembelanjaran analisa RCA
dari insiden
yang
terjadi untuk
perbaikkan
sistem

3.2 Subyek Penelitian


1) Populasi
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang diteliti (Arikunto, 2006;
Notoatmojo, 2005). Populasi adalah sejumlah besar subyek yang
mempunyai karakteristik tertentu. Populasi pada penelitian ini adalah
seluruh karyawan yang bekerja di RSUP dr. Ben Mboi Kupang dengan
jumlah 400 orang karyawan.

2) Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan subyek yang diteliti dan dipilih
dengan cara tertentu yang dianggap dapat mewakili populasi (Notoatmojo,
2005; Arikunto, 2006). Jenis Sampel dalam penelitian ini adalah probability
sampling yaitu setiap subyek dalam populasi mempunyai kesempatan yang
sama untuk terpilih dan tidak terpilih sebagai sampel yang representatif
(Nursalam, 2003). Teknik pengambilan sampel secara simple random
sampling, menurut rumus slovin didapatkan sampel kurang lebih
sebesar 210 sampel.

3. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan seluruh unit yang ada di Rumah Sakit
Umum Pusat dr. Ben Mboi Kupang

4. Waktu Penelitian
Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan
Desember 2022, sedangkan pengambilan data akan dilaksanankan
pada bulan September 2022.

5. Etika Penelitian
Brockopp & Tolsma (2000) menyatakan bahwa salah satu bentuk tanggung
jawab peneliti sebelum melakukan penelitian adalah harus mendapatkan
ijin penelitian. Hugler (1999) menyampaikan bahwa peneliti perlu
22

mempertimbangkan juga kebebasan responden dalam mengikuti


penelitian, dihormati dan dijaga kerahasiaan identitas dan informasi yang
diberikan serta dilindungi dari ketidaknyamanan baik secara fisik maupun
psikologis selama proses penelitian. Dalam melakukan penelitian ini,
lembar kuesioner pada pengumpulan data responden tidak mencantumkan
nama responden (anonimity). Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip etik
yaitu menjaga kerahasiaan data yang diberikan oleh responden. Sebelum
melakukan penelitian, peneliti melakukan informed concent dengan
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta cara menjawab kuesioner
yang diajukan kepada responden . Informed concent ini dilakukan kepada
responden dan responden berhak untuk menolak bila tidak bersedia.
Seperti disampaikan oleh Polit & Beck (2006), peneliti
menjelaskan bahwa responden terlindungi dalam aspek :

a. Self Determination, yaitu responden diberikan kebebasan untuk


menentukan apakah bersedia atau tidak menjadi responden untuk
mengikuti kegiatan penelitian secara suka rela setelah mendapatkan
secara jelas tentang manfaat dan prosedur pengambilan data.
b. Privacy, yaitu peneliti tetap menjaga kerahasiaan semua informasi yang
telah diberikan oleh responden dan hanya digunakan untuk kepentingan
penelitian.
c. Anonimity, yaitu dalam melakukan penelitian ini, lembar kuesioner
dalam pengumpulan data responden tidak mencantumkan nama untuk
menjaga kerahasiaan responden dan sebagai gantinya akan digunakan
nomor sebagai kode responden.
d. Confidentially, yaitu peneliti menjaga kerahasiaan identitas responden
dan informasi yang diberikannya dan setelah penelitian selesai, semua
berkas berkas penelitian yang telah diisi oleh responden dimusnahkan
demi menjaga kerahasiaan dan keamanan responden dikemudian hari.
e. Protection form discomfort, yaitu responden bebas dari rasa tidak nyaman
selama pengambilan data berlangsung, untuk mengantisipasi hal ini
peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan penelitian, cara/teknik
pengambilan data dan waktu (lamanya) pengisian kuesioner sebelum
pengambilan data berlangsung.
f. Alat Pengumpul Data Penelitian

B. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen “Hospital Survey on Patient Safety
Culture” (Survey Budaya Keselamatan Pasien Rumah Sakit) yang disusun
oleh AHRQ yang sudah teruji validitas dan reabilitasnya dan sudah
digunakan dibeberapa negara untuk mengukur tingkat budaya
keselamatan pasien di rumah sakit. Instrumen ini dirancang untuk
mengukur persepsi karyawan rumah sakit terhadap issue keselamatan
pasien, medical errors, dan pelaporan insiden. Instrumen ini terdiri atas 42
item pertanyaan dalam 12 aspek keselamatan pasien yang menilai persepsi
karyawan mengenai:
 Budaya keselamatan pasien level unit kerja:
 Budaya keselamatan pasien level managemen RS:
 Pengukuran Outcome Budaya Keselamatan Rumah Sakit: Survey
budaya keselamatan pasien AHRQ mengandung 4 komponen budaya
keselamatan menurut Reason (1997).
23

Tabel 2. Aspek Budaya Keselamatan dan Pengukuran Outcome dalam 4


komponen Reason(1997)

Komponen Reason’s Aspek Budaya Keselamatan dan


Pengukuran
Outcome
Budaya Pelaporan (Reporting Frekuensi Pelaporan Insiden (O)
Culture): Jumlah Pelaporan Insiden (O)
organisasi yang aman tergantung
pada
kesediaan pekerja untuk
melaporkan
kesalahan dan kondisi nyaris cedera
(nearmiss)
Budaya Adil (Just Culture): Pelaporan Bebas Hukuman (U)
manajemen memberi dukungan dan
penghargaan terhadap pelaporan
insiden oleh staf, mengutamakan
pendekatan
sistem daripada hukuman terhadap
individu.
Budaya Fleksibel (Flexible Culture): Kerja Tim dalam unit (U)
atasan menunjukkan sikap tenang Ketenagaan (Staffing) (U)
ketika Keterbukaan Komunikasi (U)
informasi keamanan disampaikan Kerja Tim antar unit di rumah
karena sakit (H)
atasan menghormati pengetahuan Pergantian Shift Jaga dan
atau Transfer Pasien
wawasan pekerja Antar Unit (H)
Budaya Belajar (Learning Culture): Tindakan atasan (H)
Kesediaan Dukungan Managemen Rumah
organisasi untuk melaporkan Sakit (U)
insiden dan Komunikasi dan Umpan Balik (U)
mengimplementasikan perbaikan Pembelanjaran organisasi (U)
yang Persepsi secara keseluruhan (O)
sesuai. Tingkat Budaya Keselamatan (O)
O: Pengukuran Outcome
U: Unit Kerja
H: Rumah Sakit

1. Nilai Respon (Frequency Respon)


Salah satu cara yang paling sederhana untuk mempresentasikan
hasil adalah dengan menghitung nilai respon setiap item penelitian.
Untuk mempermudah pembacaan hasil, dua kategori terendah
dikombinasikan (sangat tidak setuju/tidak setuju dan tidak pernah/jarang)
dan 2 kategori respon tertinggi dikombinasikan (sangat setuju/setuju dan
selalu/sering). Nilai tengah dilaporkan sebagai kategori yang terpisah
(bukan salah satu atau kadang-kadang).

2. Nilai Respon Aspek( Composite Frequency Respon)


Pertanyaan dalam survey ini dapat dikelompokkan menjadi aspek budaya
keselamatan. Cara perhitungan nilai respon aspek adalah dengan
menghitung total presentase respon positif dari setiap aspek.
Total presentase respon positif didapatkan dengan menghitung respon
positif dari setiap item dalam dimensi. Respon positif adalah jawaban pada
24

setiap item-“sangat setuju/setuju” atau “sering/selalu” pada kalimat


positif. Sedangkan pada kalimat reversi, ketidaksetujuan “sangat tidak
setuju/tidak setuju” atau “tidak pernah/jarang” mengindikasikan respon
positif. Kemudian hitung jumlah total respon masing-masing item dimensi
(data yang hilang/tidak ada tidak ikut dijumlah). Langkah selanjutnya
adalah membagi respon positif terhadap jumlah total respon. Hasil yang
diperoleh adalah berupa presentase

respon positif untuk setiap aspek:

C. Prosedur pengumpulan Data


Sebelum pengumpulan data dimulai, peneliti mengajukan
permohonan ijin penelitian ke Direktur RSUD SoE. Setelah
mendapatkan ijin, peneliti melakukan koordinasi dengan Kepala
Bidang Keperawatan dan bagian Audit Internal RSUD SoE dilanjutkan
berkoordinasi dengan Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Setelah
jajaran manajemen Rumah Sakit memahami tujuan dan rancangan
kegiatan penelitian, peneliti bersama tim keselamatan pasien rumah
sakit melakukan kegiatan perencanaan untuk mengintegrasikan
(menyatukan) kegiatan penelitian dengan program keselamatan pasien.
Selanjutnya peneliti dan tim keselamatan pasien rumah sakit
mengadakan pertemuan dengan “komite PMKP” keselamatan pasien
sejumlah 5 karyawan sebagai asisten peneliti untuk menjelaskan cara
melakukan pengumpulan data kepada para responden. Selanjutnya
peneliti, tim keselamatan pasien (dan para komite PMKP)
mengumpulkan data dengan cara membagikan kuesioner kepada
karyawan yang tersebar dibarbagai unit dan menjadi responden dalam
penelitian ini. Selain itu peneliti melihat dokumentasi pada pelaporan
insiden keselamatan pasien di RSUD SoE.

D. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara bertahap, meliputi : editing, coding, dan
tabulating dengan menggunakan komputer (Hastono,2007).
a. Editing
Dilakukan untuk mencermati kelengkapan dan kesesuaian jawaban dari
setiap pertanyaan. Proses ini dilakukan saat peneliti mengambil kembali
kuesioner setelah diisi oleh responden. Apabila terdapat data yang kurang
lengkap dikembalikan kepada responden dan diminta untuk melengkapi
data tersebut.
b. Coding
Coding dilakukan untuk memberikan kode nomor jawaban yang telah diisi
oleh responden dalam daftar pertanyaan. Masing-masing jawaban diberi
kode angka sesuai dengan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pemberian
kode dilakukan dengan cara melakukan pengisian pada kotak sebelah
kanan atas pada lembar pertanyaan untuk memudahkan proses entry data
pada komputer.
25

c. Tabulating
Adalah proses yang dilakukan dengan cara mengelompokkan data sesuai
dengan tujuan penelitiaan dan memasukkan kedalam tabel distribusi
frekuensi.
26

BAB IV
HASIL

4.1 Respon dan Demografi


Pada survey ini didapatkan jumlah responden 200 dan mencapai nilai
respon rate 75%. Demografi responden berdasarkan jabatan tahun 2019 :
perawat pelaksana 31,8 %, bidan pelaksana 11,5% ,bidan/perawat kepala
ruangan 6,4%, dokter umum 1,3%, dokter spesialis 1,9%, staf farmasi
3,8%, staf laboratorium 1,9%, lainnya sebesar 41,4%.

Data demografi responden berdasarkan


jabatan (persentase)
Perawat Pelaksana
Bidan Pelaksana
Kepala Ruangan
31.8 Dokter Umum
41.4 Dokter Spesialis
Staf Farmasi
Staf Laboratorium
Lainnya
11.5

6.4
1.9
3.8 1.9 1.3

Demografi responden berdasarkan unit kerja tahun 2022 : unit


laboratorium 3,2%, ponek 7,9%, UGD 6,6%, kamar operasi 6,6%, ruang
melati 4,6%, unit radiologi 3,2%, sanitasi 3,2%, fisioterapi 3,9%, ruang
perina 7,2%, manajemen 8,5%, ruang bougenville 5,7%, farmasi 4,9%,
ruang anggrek 7,2%, rekam medik 6,6%, IPSRS 1,3%, poliklinik 6,6%,
laundry 1,3%, ruang mawar 6.3%, gizi 5,2%,ambulans 3,2% dan Oksigen
1,3%

Demografi responden berdasarkan unit kerja


9 8.5
7.9
8 7.2 7.2
7 6.6 6.6 6.6 6.6 6.3
6 5.7
4.9 5.2
5 4.6
3.9
4 3.2 3.2 3.2 3.2 Total (%)
3
2 1.3 1.3 1.3
1
0
B K D I I I I E I S LI RY R IZI NS EN
LA NE UG OK LAT LOG TAS RAP INA MEN ILL AS REK EDIK SR PO ND WA G LA SIG
PO E IO NI TE ER JE NV RM GG M IP U A
M D SA O P A GE A N
F A AM LA M BU OK
RA IF SI AN U K AM
M BO RE

Sebanyak 74,6% responden adalah karyawan rumah sakit yang kontak


langsung dengan pasien sedangkan 25,4% tidak kontak langsung dengan
pasien.
27

Data karyawan RS yang kontak langsung


dan tidak langsung dengan pasien

Kontak Langsung dengan


25.4 Pasien
Tidak Kontak Langsung
dengan Pasien

74.6

Berdasarkan lama bekerja di RSUD SoE, sebagian besar responden 48%


dan 49% bekerja dalam kurun waktu 1 – 5 tahun dan 6 – 10 tahun,
sebanyak 12% karyawan bekerja selama kurang dari 1 tahun, 14% bekerja
selama 11 – 15 tahun, 22% bekerja selama 16 – 20 tahun dan sisanya 8%
bekerja selama 21 tahun atau lebih.

Data lama bekerja karyawan RSUD SoE


60

48 49
50

40
Total (%)
30
22
20
14
12
10 8

0
< 1 tahun 1-5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun 16-20 tahun 21 tahun
atau lebih

Berdasarkan jam kerja yang dijalani oleh para karyawan RSUD SoE maka
sebagian besar karyawan RS 66,2% mempunyai waktu bekerja 40-59 jam
per minggu, 25,5% bekerja selama 20-39 jam per minggu, 3,8% bekerja
selama 60-79 jam per minggu, 2% bekerja selama 80-99 jam per minggu,
serta 2,5% selama 100 jam per minggu.
28

Data lama waktu bekerja per minggu


2.5
2
3.8

40-59 jam
20-39 jam
60-79 jam
25.5
80-99 jam
100 jam

66.2

Berdasarkan lama bekerja di masing – masing unitnya maka sebanyak


37% dan 34,5% bekerja selama 1-5 tahun dan 6-10 tahun, sebanyak 5,7%
bekerja selama < 1 tahun, 12,7% bekerja selama 11-15 tahun, 7,6%
bekerja selama 16-20 tahun dan sebanyak 2,5% bekerja selama 21 tahun
atau lebih.

Data lama bekerja dalam unit


40 37
34.5
35

30

25
Total (%)
20

15 12.7
10 7.6
5.7
5 2.5
0
< 1 tahun 1-5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun 16-20 tahun 21 tahun
atau lebih
29

Dimensi 1 - 12
100 94.1
80 77.7 76.8
60 64.3 68
49.9 55.4 56.9
40 42.9 44.3
34.6
20 17.8
0

Respon positif (%) Column1 Column2

Kuesioner budaya keselamatan pasien dibagikan ke 21 unit kerja


yang ada di RSUD Soe. Unit yang ada antara lain laboratorium, ponek,
perina, IGD, ruang operasi, radiologi, fisioterapi, intalasi gizi, poliklinik,
rekam medis, farmasi, manajemen, ambulance, sanitasi, IPSRS,
laundry,Oksigen dan bangsal yang terdiri dari bangsal Bougenvile, Melati,
Mawar,serta Anggrek. Penilaian dimensi keselamatan pasien apalabila
persentase ≥75% menunjukkan budaya keselamatan pasien yang kuat dan
perlu dipertahankan dan apabila persentase dibawah 50% memerlukan
perbaikan sistem untuk bidang tersebut/aspek yang dinilai.
Grafik diatas merupakan rata-rata persentase ke 21 unit yang
dinilai. Dari semua dimensi yang ada hanya 3 dimensi yang menunjukkan
budaya keselamatan pasien kuat yaitu pada dimensi pembelajaran
organisasi dan perbaikan berkelanjutan (94.1%), kerja sama dalam satu
unit (77.7%) serta umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan
(76.8%). Terdapat 5 dimensi yang memiliki nilai <50% sehingga perlu
adanya perbaikan sistem. Kelima dimensi dengan nilai <50% adalah
tindakan pimpinan unit dalam mempromosikan/mendukung keselamatan
pasien (49.9%), komunikasi terbuka (42.9%), respon tidak menghukum
terhadap kesalahan (34.6%), staffing (44.3%) serta handsoffs dan transisi
(17.8%)
30

Grafik Aspek Nilai Positif

Persepsi karyawan mengenai tingkat budaya keselamatan (bagian F) 80.9


19.1
71.4
28.6
Aspek upaya atasan meningkatkan keselamatan pasien (B4r, B3r, 95
B2,B1) 5
80.9
19.1
Aspek komunikasi & umpan balik insiden keselamatan pasien (C5, C3, 80.9
C1) 19.1
95
5
Aspek pergantian shift & transfer pasien (F11r, F7r, F5r, F3r) 52.4
47.6
85.7
14.3
Aspek keterbukaan komunitas (C6r, C4, C2) 76.2
23.8
23.8
76.2
Budaya fleksibel (A11, A4, A3, A1) 5 95
62
38
Frekuensi pelaporan insiden D1, D2, D3 52.4
47.6
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

>50% <50%

Grafik diatas merupakan grafik persebaran nilai dari 14 aspek yang


dinilai pada 21 unit. Pada grafik diatas terlihat dari 14 aspek hampir
semua memiliki nilai >50% lebih banyak dibanding <50%. Hanya satu
aspek yaitu ketenagaan dengan nilai <50% lebih banyak, yaitu sebanyak
17 unit atau 76.2%. Selain itu ada 2 aspek yang memiliki proporsi
persebaran hampir seimbang yaitu aspek pergantian shift dan transfer
pasien yaitu sebanyak 11 unit dengan nilai >50% dan 10 unit dengan nilai
<50%, serta pada frekuensi pelaporan insiden sebanyak 11 unit memiliki
nilai >50% dan 10 unit memiliki nilai <50%.

Pelaporan Insiden
Tidak ada pelaporan 1 - 2 pelaporan 3 - 4 pelaporan

14%

48%

38%

Grafik diatas menunjukkan jumlah pelaporan insiden pada 21 unit.


Dari 21 unit yang ada sebagian besar (38%) pelaporan insiden dalam 12
bulan terakhir sebanyak 1- 2 pelaporan, kedua tidak ada laporan inseden
yaitu 48% dan yang terakhir sebanyak 3 – 5 pelaporan dalam 12 bulan
(14%).
31

BAB V
PEMBAHASAN
Survei ini merupakan penelitian mengenai gambaran budaya
keselamatan pasien yang kedua kali dilakukan di RSUD SoE. Kuesioner
yang digunakan diadopsi dari Hospital Survey on Patient Safety Culture
(HSoPSC) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Responden yang ikut dalam penelitian ini berasal dari seluruh
komponen unit kerja yang ada di rumah sakit, baik yang berhubungan
langsung dengan pasien maupun tidak. Sesuai dengan proporsi
berdasarkan profesi, dari 210 responden sebagian besar responden
berprofesi sebagai perawat pelaksana 31,8 %, diukuti profesi bidan
pelaksana sebanyak 11,5% ,bidan/perawat kepala ruangan 6,4%, staf
farmasi 3,8%, dokter 3,2% staf laboratorium 1,9%, lainnya sebesar 41,4%.
Nilai total rata-rata budaya positif di RSUD SoE sebesar 56.91% yang
berarti budaya keselamatan pasien di RSUD SoE belum baik. Hasil
tersebut didukung oleh data masing – masing dimensi. Dari 12 dimensi
yang diukur, lima diantaranya mempunyai nilai positif <50% sehingga pada
5 dimensi ini perlu adanya perbaikan. Empat dimensi memiliki nilai 50-
74% dan hanya 3 dimensi yang memiliki respon positif >75% yaitu dimensi
pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan (94.1%), kerja sama
dalam satu unit (77.7%) serta umpan balik dan komunikasi tentang
keselamatan (76.8%).
Dimensi yang mempunyai nilai sangat kurang adalah handsoffs dan
transisi (17.8%), pada dimensi ini sebagian besar responden memiliki
penilaian terdapat kesalahan maupun masalah yang timbul saat transfer
pasien. Kesalahan pada saat transfer pasien maupun pergantian shift
dapat terjadi disebabkan karena komunikasi yang kurang baik, data yang
dicatat kurang ataupun petugas tidak membaca dengan benar catatan
perkembangan pasien yang ditulis dokter. Hal ini dapat menimbulkan
terputusnya kesinambungan pelayanan sehingga berdampak kepada
tindakan perawatan yang tidak tepat dan berpotensi mengakibatkan
terjadinya cedera terhadap pasien. Hal tersebutlah yang menjadikan
kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi atau
pemindahan pelayanan pasien.
Hubungan antara staf dengan atasan terlihat kurang baik terlihat
dari rendahnya nilai positif pada respon tidak menghukum bila didapatkan
kesalahan (34.6%) dan keterbukaan komunikasi (42.9%). Rendahnya nilai
positif pada respon tidak menghukum bila didapatkan kesalahan terjadi
karena masih ada yang beranggapan bahwa kesalahan yang mereka
perbuat akan dicatat dalam data kepegawaian sehingga masih ada rasa
kekhawatiran bagi responden dalam melaporkan kesalahan.Padahal
kesalahan yang tidak dilaporkan itu akan berdampak kepada hilangnya
kesempatan bagi organisasi belajar, berubah dan berkembang dari
masalah keselamatan pasien yang ada.
Dimensi lain yang memiliki rendah adalah mengenai penempatan
staf/staffing (44.3%). Hal ini berarti bahwa banyak responden menyatakan
bahwa alokasi dan penempatan staf tidak adekuat bila dibandingkan
dengan beban kerja menangani pasien. Di RSUD SoE yang semakin
memperkuat data staffing belum kurang baik terlihat pada aspek
ketenagaan sebagian besar unit memiliki nilai <50%. Staf yang adekuat
juga menjadi faktor penentu dalam penerapan budaya keselamatan pasien.
32

Kurangnya jumlah maupun kualitas tenaga perawatan berdampak pada


tingginya beban kerja perawat yang merupakan faktor kontribusi terbesar
sebagai penyebab human error dalam pelayanan keperawatan. Oleh karena
itu, sangat direkomendasikan untuk meningkatkan jumlah staf yang
adekuat untuk meningkatkan keselamatan pasien
Perhatian pimpinan terkait upaya dalam mendukung keselamatan
pasien juga dinilai masih kurang terlihat dari pada dimensi ini respon
positif hanya 49.9%. Penerapan budaya dalam sebuah organisasi tidak
terlepas dari peran aktif atasan dalam hal ini supervisor ataupun manajer
dalam mempromosikan nilai-nilai yang dianut dengan melakukantindakan-
tindakan terkait yang mampu mendukung proses penanaman nilai yang
dimaksudkan. Masih banyaknya responden dengan kategori rendah untuk
aspek harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam mempromosikan
keselamatan pasien karena masih adanya responden yang menganggap
peran aktif manajer dalam menanamkan nilai-nilai keselamatan pasien
terbilang masih kurang maksimal. Hal tersebut terjadi, karena responden
yang menganggap bahwa supervisor/manajer mengabaikan masalah
keselamatan pasien dan tidak sepenuhnya mengawasi tindakan perawatan
yang dilakukan responden apabila sesuai atau tidak dengan prosedur
keselamatan pasien.
Selain dimensi yang belum sesuai dengan standar , dari penelitian
ini menunjukkan bahwa RSUD SoE mempunyai kekuatan yang dapat
digunakan sebagai modal dalam melakukan perbaikan dalam budaya
keselamatan pasien. Dimensi yang dapat digunakan sebagai kekuatan
RSUD SoE untuk meningkatkan upaya budaya keselamatan pasien adalah
pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan, kerja sama dalam
satu unit serta umpan balik dan komunikasi tentang keselamatan.
33

BAB VI
KESIMPULAN

Telah dilakukan pengukuran budaya keselamatan di RSUD SoE yang


secara umum memberikan hasil yang baik terhadap aspek aspek
yang dinilai namun memberikan hasil yang berbeda pada dimensi –
dimensi yang dinalai.

SARAN
1. Dari hasil survey budaya kesalamatan perlu adanya upaya untuk
meningkatkan nilai dimensi dengan nilai <75% untuk meningkatkan
budaya keselamatan pasien.
2. Perlu dilakukan pengukuran budaya keselamatan di tahun
berikutnya sebagai perbandingan dengan hasil yang ada pada tahun
ini.

SoE,
Direktur RSUD SoE

dr.Erwin Leo,M.Kes
Pembina Tk I
NIP.19790131 200804 1 002
34

BAB VII
DAFTAR PUSTAKA

1. Arjaty D, dalam materi Workshop Keselamatan Pasien dan Manajemen


Resiko Klinik, 2010
2. Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pndekatan Praktik.
Jakarta : Rineka Cipta.
3. Budiarto, E. (2004). Metodologi penelitian kedokteran sebuah pengantar.
Cetakan I. Jakarta:EGC.
4. Cahyono, Suharjo, J.B. (2008). Membangun Budaya Keselamatan Pasien
Dalam Praktik Kedokteran, Yogyakarta : Kanisius, cetakan ke-5
5. Dahlan, M.S. (2008). Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian
Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Sagung Seto
6. Depkes RI. (2006). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Jakarta
7. Djarwanto. (2001). Mengenal beberapa uji statistik dalam penelitian.
Yogyakarta : Liberty
8. Hastono, S.P (2007). Basic data analysis for health research. Depok :
FKM-UI
9. Hidayat, A.A.A. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.
Jakarta : Salemba Medika.
10. Hopkins, A., Safety Culture, Mindfulness and Safe Behavior: Converging
Idea?, The Australian National University, 2002
11. Leape, L et al, Preventing Medical Injury, Quality Review Buletin, 1993,
19:144-149
12. Kohn L., Corrigan J, Donaldson M: To Err is Human, Building a Safer
Health System. Institute of Medicine. Washington DC. National Academy
Press, 2000
13. Reason J, Managing the Risk of Organizational Accident, UK:Ashgate,
1997
14. Sorrs JS, Nieva. Hospital Survey on Patient Safety Culture. Rockville,
2004, Agency for Healthcare Research and Quality.
15. Sibthorp, Jim, Paisley K. et al’ Adressing Response Shift-Bias:
Retrospektif Pretest in Recreation Research and Evaluation, 2007.
16. Jones k., Skinner A., Interpretating Safety Culture Survey Results and
Action Plan Power Point,www.unmc.edu/rural/patient-safety, 2011
17. WHO, Draft Guidelines for Adverse Event Reporting and Learning
System.
18. Bahan Workshop Keselamatan Pasien dan Manajemen Resiko Klinik,
PERSI, KARS, IMRK, 2012
19. Joint Commission International. (2011). Standar Akreditasi Rumah
Sakit. Jakarta : PT Gramedia,edisi ke-4
20. Komite Keselamatan Rumah Sakit. (2007). Pedoman Pelaporan Insiden
Keselamatan Pasien (IKP) : Jakarta
21. Murti B. (2006). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Edisi III
Yogyakarta : Gajahmada University Press
22. PERSI-KKP-RS. (2011). Kumpulan Materi Workshop Keselamatan Pasien
dan Manajemen Risiko Klinis : Jakarta
23. Notoadmojo, S., (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta :
Rineka Cipta
35

24. Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan : Salemba Medika, Jakarta
25. Tim pasca sarjana FIK-UI. (2008). Pedoman penulisan tesis. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai