Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang
penting dalampelayanan kesehatan. Tindakan pembedahan bertujuan
untuk menyelamatkannyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi.
Namun demikian, pembedahan yang dilakukan juga dapat
menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan nyawa (Haynes,
et al. 2011). Oleh sebab itu diperlukan pelayanan pembedahan yang
aman untuk mengatasi komplikasi pembedahan.
Berbagai penelitian menunjukkan komplikasi yang terjadi
setelah pembedahan. Data WHO tahun 2009 menunjukkan komplikasi
utama pembedahan adalah kecacatan dan rawat inap yang
berkepanjangan 3-16% pasien bedah terjadi dinegara-negara
berkembang. Secara global angka kematian kasar berbagai operasi
sebesar 0,2-10%. Diperkirakan hingga 50% dari komplikasi dan
kematian dapat dicegah di negara berkembang jika standar dasar
tertentu perawatan diikuti.
WHO melaksanakan 19 item ceklist bedah dapat mengurangi
komplikasi,meningkatkan komunikasi tim dan menurunkan kematian
yang berhubungan dengan operasi. Save surgery Checklist diciptakan
oleh sekelompok ahli Internasionaldengan tujuan untuk meningkatkan
keselamatan pasien selama menjalani prosedurbedah di seluruh
dunia. WHO mengidentifikasi tiga fase operasi yaitu sebelum induksi
anestesi (sign in), sebelum sayatan kulit (time out) dan sebelum
pasienmeninggalkan ruang operasi (sign out) (Cavoukian, 2009).
Surgical Safety Checklist adalah sebuah daftar periksa untuk
memberikanpembedahan yang aman dan berkualitas pada
pasienSafety & complience (2012). Surgical Safety Checklist
merupakan alat komunikasi, mendorong teamwork untukkeselamatan
pasien yang digunakan oleh tim profesional diruang operasi
untukmeningkatkan kualitas dan menurunkan kematian serta
komplikasi akibatpembedahan, dan memerlukan persamaan persepsi
antara ahli bedah, anestesi danperawat.
Uji coba telah dilakukan terhadap penggunaan surgical safety
checklist didelapan rumah sakit di dunia. Kota Toronto (Kanada), New
Delhi (India), Amman(Yordania); Auckland (Selandia Baru), Manila
(Filipina), Ifakara (Tanzania), London(Inggris), dan Seattle, (Okt 2007 -
Sept 2008) yang mewakili berbagai kondisiekonomi dan populasi
dengan beragam pasien. Hasil penelitian menunjukkanpenurunan
kematian dan komplikasi akibat pembedahan. Menurut Houwerd
(2011)komplikasi bedah setelah penggunaan Surgical Safety
Checklist secara keseluruhanturun dari 19.9% menjadi 11,5%, dan
angka kematian menurun dari 1,9% menjadi0,2%.
Pelaksanaan Surgical Patient Safety telah membuktikan
pengurangan dalamangka mordibiti dan morbiliti dalam rawatan
dirumah sakit.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendrik
Hermawan(2015) di RSUDKebumen tentang penerapan surgical
pasien safety di kamar bedah central masih 72 %. Begitu juga dengan
Penelitian yang dilakukan oleh Triwahyermawan di,
MonaSaparwati(2015) tentang pelaksanaan surgical safety cheklist di
instalasi bedahcentral RSUD Harapan Insan Sendawar menghasilkan
pelaksanaan surgical safetycheklist masih 64 %dan pelaksanaan nya
belum sesuai dengan SPO.
Rendahnya pelaksanaan surgical safety cheklist di kamar
bedah menunjukanmasih rendahnya kesadaran perawat dalam
keselamatan pasien. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
No.1691 tentang keselamatan pasien dan Komite Akreditasi Rumah
Sakit (KARS) menuntut pelaksanaan surgery safety checklist di kamar
operasi harus 100% untuk mengeliminasi masalah yang
mengkhawatirkan dan kemungkinan kekeliruan diselesaikan dalam
tindakan operasi dimana pelaksanaan surgery safety cheklist
dilakukan pada semua item yang telah ditentukan.
Keselamatan pasienmerupakan prinsip dasar dalam
pemberian pelayanan dan merupakan komponen sangat penting
dalam manajemen pelayanan kesehatan di rumah sakit(WHO,2009).
Manajemen pelayanan kesehatan yang berfokus pada keselamatan
pasien meliputi fungsi perencanaan, fungsi pengorganisasian, fungsi
ketenagaan, fungsi pengarahan, dan fungsi pengendalian. Fungsi
perencanaan termasuk usaha merancang kegiatan untuk menetapkan
aktivitas yang dapat mendukung keselamatan pasien,fungsi
pengorganisasian terkait penetapan tim dan anggota yang
bertanggung jawab terhadap keselamatan pasien, serta fungsi
ketenagaan berupa kesesuaian jumlah staf dengan beban kerja.
Selanjutnya bentuk pengarahan terkait keselamatan pasien dapat
berupa komunikasi dan melakukan supervisi serta bentuk audit
keselamatan pasien pada fungsi pengendalian (Swanburg, 2002).
Keselamatan pasien dapat diperoleh bila faktor yang
berkontribusi terhadap insiden keselamatan dapat diminimalisir
bahkan dihindari. Faktor yang berkontribusit erhadap hal ini menurut
Henriksen, et.al. (2008) adalah faktor manusia yang meliputi sumber
daya yang tidak memenuhi persyaratan, dan sistem. Faktormanusia
meliputi pengetahuan, keterampilan, lama kerja, sedangkan sistem
meliputi kesalahan dalam mengambil keputusan klinis, salah persepsi,
pengetahuan manusia,keterbatasan mengoperasikan alat dan mesin,
sistem, tugas dan pekerjaan. Hal inijuga diungkapkan oleh Yahya
(2012) yang menyatakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
nyaris cedera (KNC) dan kejadian tidak diharapkan (KTD) melibatkan
faktor manusia meliputi standar, kebijakan dan aturan dalam
organisasi.
Tercapainya keselamatan pasien juga didukung oleh
beberapa komponen yangdapat menentukan keberhasilan
keselamatan pasien. Menurut Behal (dalam Cahyono,2012) ada
beberapa faktor yang mempangaruhi keberhasilan program
keselamatan pasien, meliputi : lingkungan eksternal, kepemimpinan,
budaya organisasi,manajemen, struktur dan sistem, serta tugas dan
keterampilaan individu,dan lingkungan kerja.
Perawat sebagai salah satu tim bedah yang melaksanakan
pembedahan yaitu sebagai perawat scrubs (instrumen) dan perawat
sirkuler yang melaksanakan program keselamatan pasien. Perawat
harus konsisten melakukan setiap item yang dilakukan dalam
pembedahan mulai dari fase sign in, time out, dan sign out sehingga
dapat meminimalkan setiap resiko yang tidak diinginkan (Weiser,
2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Christina Anugrahrini, Junaiti
Sahar, Mutika Sari (2015) mengatakan faktor dominan yang
berhubungan dengan menerapkan pedoman pasient safety yaitu
kepemimpinan. Begitu juga penelitan yang dilakukan oleh Nazvia
Natasia, Ahas Luqizana, Janik Kurniawati (2012) di RSUD Gambiran
Kediri mengatakan komponen penting dalam manajemen, faktor
budaya organisasi mempengaruhi perawat dalam melaksanakan
keselamatan pasien.
Hasil penelitian dari Andri Firman Saputra, Elsye Maria Rosa
(2015) menyatakan faktor budaya patient safety dikamar bedah masih
minim disertai dengan SDM yang kurang, serta kurangnya
pengawasan dan sosialisasi dari manajemen.Begitu juga dengan hasil
penelitian Ni Luh Putu Ariastuti, Ani Margawati, Wahyu Hidayati
(2015) bahwa faktor yang paling mempengaruhi pelaksanaan surgical
safety adalah pengetahuan. Hasil penelitian Ni Wayan Asri Ardiani
Saputri (2015) bahwa lingkungan kerja perawat sangat mempengaruhi
keselamatan pasien dikamar bedah.
RSUD Solok Selatan merupakan rumah sakit pemerintah
daerah Kabupaten Solok Selatan dengan tipe C. Rumah sakit ini
mempunyai beberapa unit perawatan, unit intensif dan unit khusus,
salah satunya Unit Kamar Operasi. Dalam peningkatan keselamatan
pasien, kamar operasi RSUD solok selatan sudah menggunakan
surgical safety checklist (ceklist keselamatan pembedahan) yang
diadopsi dari standar WHO, namun dalam pelaksanaan pengisiannya
belum optimal.
Dari hasil studi pendahuluan wawancara dengan kepala
ruangan kamar operasi RSUD Solok Selatan pada 1 Februari 2022
menjelaskan tentang pelaksanaan Surgical Safety Checklist masih
belum terlaksana 100%, dengan jumlah operasi pada bulan Januari
yaitu sebanyak 194 tindakan pembedahan, pelaksanaan Surgical
Safety Checklist baru terlaksana 55% dengan kategori 60 % yang
lengkap dan 40% masih belum lengkap.
Hasil wawancara dari tujuh orang perawat kamar operasi,
tiga orang perawat mengatakan ada melaksanakan surgery safety
cheklist tetapi tidak rutin, dan dua orang mengatakan kurang paham
dengan SPO surgery safety cheklist, dua orang mengatakan
mengetahui tapi belum sepenuhnya memahami dan menghapalnya.
Semua personil mengatakan bahwa sosialisasi SPO surgery safety
cheklist belum maksimal, dua orang perawat mengatakan kurangnya
perhatian dan pengawasan dari kepala ruangan apabila dilaksanakan
maupun tidak dilaksanakan sama saja dan tidakada konsekwensi
maupun kompensasinya. Dari data yang diberikan masih ditemukan
poin pada blangko checklist yang tidak terisi.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk
membuat makalaht entang “Pelaksanaan surgical safety checklist
(ceklist keselamatan pembedahan) di Kamar Operasi Rumah Sakit
Umum Daerah Solok Selatan Tahun 2022”.

B. RUMUSAN MASALAH
Surgical Safety Cheklist merupakan alat komunikasi untuk
keselamatan pasien, sebagai program dalam upaya menurunkan
komplikasipembedahan, perawat sebagai salah satu tim bedah yang
melaksanakan pembedahan yaitu perawat scrubs, dan perawat
sirkuler yang melaksanakan Surgical Safety Cheklist, pada fase sign,
time out dan sign out.
Pelaksanaan Surgical Safety Cheklist belum terlaksana
dengan baik, hal ini di ketahui dari belum 100 % pelaksanaan Surgical
Safety Cheklist dan masih adanya item dari point cheklist yang belum
terisi lengkap. Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan
masalah pada makalah ini adalah“ bagaimana pelaksanaan Surgical
Safety Checklis(ceklist keselamatan pembedahan) di kamar operasi
RSUD Solok Selatan tahun 2022?”.

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan gambaran tentang bagaimana
pelaksanaan surgical safety checklist (ceklist keselamatan
pembedahan) di Kamar Operasi Rumah Sakit Umum Daerah Solok
Selatan Tahun 2022”.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pelaksanaan surgical safety checklist (ceklist
keselamatan pembedahan) di Kamar Operasi Rumah Sakit
Umum Daerah Solok Selatan Tahun 2022”
b. Mengetahui penyebab kurang terlaksananya surgical safety
checklist (ceklist keselamatan pembedahan) di Kamar
Operasi Rumah Sakit Umum Daerah Solok Selatan Tahun
2022”.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Definisi Surgical Safety Checklist


Surgical safety checklist adalah sebuah daftar periksa untuk
memberikan pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien.
Surgical safety checklist merupakan alat komunikasi untuk
keselamatan pasien yang digunakan oleh tim profesional di ruang
operasi. Selain itu Tujuan dari program ini adalah untuk
memanfaatkan komitmen dan kemauan klinis untuk mengatasi isu-isu
keselamatan yang penting, termasuk praktek-praktek keselamatan
anestesi yang tidak memadai, mencegah infeksi bedah dan
komunikasi yang buruk di antara anggota tim. Untuk membantu tim
bedah dalam mengurangi jumlah kejadian ini, dan sebagai media
informasi yang dapat membina komunikasi yang lebih baik dan kerja
sama antara disiplin klinis ( KARS, 2011).
Surgical safety checklist yang dibuat oleh WHO tersebut
merupakan penjabaran dari enam sasran keselamtan pasien
diterjamahkan dalam bentuk formulir, yang diisi melakukan checklist.
Checklist tersebut sudah baku dari WHO yang merupakan alat
komunikasi praktis dan sederhana untuk memastikan keselamatan
pasien pada tahap pre operative, dan pasca operative dilakukan tepat
waktu dan memberikan kemudahan bagi tim bedah.
Surgical Safety Checklist di kamar operasi digunakan melalui
3 tahap, masing-masing  sesuai dengan alur waktu yaitu sebelum
induksi anestesi (Sign In), sebelum insisi kulit (Time Out) dan sebelum
mengeluarkan pasien dari ruang operasi (Sign Out).
1. FaseSign In (sebelum induksi)
Sign In merupakan fase verifikasi pertama sesaat pasien
tiba di ruang terima atau ruang persiapan atau sebelum pasien
dilakukan induksi anastesi, bahkan dari checklist yang disusun
oleh WHO itu, tim diwajibkan untuk mengkonfirmasi lokasi (site
marking) pada tubuh yang akan dilakukan pembedahan. Dibagian
mana, kiri atau kanan, depan atau belakang (WHO, 2011).
Tindakan yang dilakukan pada sign in adalah memastikan
identitas, lokasi/ area operasi, prosedur operasi serta persetujuan
operasi. Pasien atau keluarga diminta secara lisan untuk
menyebutkan nama lengkap, tempat tanggal lahir dan tindakan
yang akan dilakukan. Penadaan lokasi operasi yang harus
dilakukan oleh dokter bedah yang akan melakukan pembedahan.
Pemeriksaan keamanan anastesi yang dilakukan oleh ahli
anastesi dan harus memastikan kondisi pernafasan, resiko
perdarahan, antisipasi adanya komplikasi yang akan terjadi dan
riwayat alergi pada pasien. Memastikan peralatan anastesi
berfungsi dengan baik, tersedia alat dan obat-obatan anastesi dan
obat emergenci lengkap (Haynes 2009 dalam Irmawati, 2017).
Tujuan penerapan sign in dibagi menjadi empat yaitu:
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
b. Meningkatkan akuntabilitas terhadap rumah sakit
c. Menurunkan kejadian yang tidak diharapkan di rumas sakit.
d. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak
terjadipengulangan kejadian yang tidak diharapkan
(Kemenkes, 2011).
Penerapan sign in yang baik akan memberikan dampak
yang positif bagi rumah sakit, terkait dengan pelayanan
keselamatan pasien di rumah sakit. Jika perawat melaksanankan
sign in dengan tepat akan memberikan manfaat bagi rumah sakit
dan juga bagi pasien (Saputra Frman A, Elsa Maria R, 2014).
a. Pasien akan terhindar dari kesalahan praktik.
b. Keselamatan pasien akan terjamin.
c. Menurunkan angka komplikasi akibat tindakan pembedahan.
d. Menurunkan angka kematian.
Komponen komponen dalam pelaksanaan sign in:
a. Pasien tiba di ruang penerimaan
b. Evaluasi kembali rekam medis pasien yang bersangkutan
berkaitan dengan identitas, hasil pengukuran vital sign
terakhir, kelengkapan dokumen termasuk surat persetujuan
pembedahan atau formulir persetujuan operasi.
c. Menanyakan riwayat alergi
d. Resiko kehilangan darah saat pembedahan.
e. Resiko gangguan pada jalan nafas.
f. Konfirmasi lokasi pada tubuh yang akan dilakukan
pembedahan.
g. Konfirmasi kesiapan peralatan serta jenis anastesi yang akan
digunakan.
h. Konfirmasi kesiapan pulse oximetri dan berfungsi dengan
baik.
i. Konfirmasi kesiapan mesin anastesi telah berfungsi dengan
baik.
j. Konfirmasi pasien telah puasa.
k. Menanyakan kesiapan pasien siap dilakukan operasi serta
kesiapan perawat anastesi dan dokter.
l. Konfirmasi kesiapan obat-obatan anastesi dan obat
emergency
2. Fase time out (sebelum insisi)
Verifikasi dilaksanakan ketika pasien sudah siap diatas meja
operasi, sudah dalam keadaan terbius, dimana tim anestesi sudah
dalam keadaan siaga dan tim bedah sudah dalam keadaan steril.
Pada fase time out setiap anggota tim operasi memperkenalkan
diri dan peran masing-masing. Tim operasi memastikan bahwa
semua orang di ruang operasi saling kenal. Sebelum melakukan
sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi dengan suara
yang keras mereka melakukan operasi yang benar, pada pasien
yang benar. Mereka juga mengkonfirmasi bahwa antibiotik
profilaksis telah diberikan dalam 60 menit sebelumnya.
Komponen-komponen dalam pelaksanaan time out:
a. Tim bedah kembali mengkonfirmasi tentang pasien, lokasi
insisi pada tubuh pasien, prosedur yang akan dijalankan dan
kemungkinan kesulitan teknik pembedahan yang dihadapi
selama proses berlangsungnya operasi
b. Perawat bedah diwajibkan untuk menyatakan kesiapan alat /
instrument, keadaan sterilitas alat dan termasuk penghitungan
jumlah kassa
c. Pada kesempatan ini diungkapkan juga mengenai obat
profilaksis yang sudah diberikan dalam 60 menit sebelumnya
beserta hasil pemeriksaan penunjang seperti x-ray dan lain-
lain yang sewaktu-waktu mungkin dibutuhkan operator selama
operasi berlangsung
d. Kemungkinan resiko pembiusan selama berlangsungnya
operasi menjadi kewajiban tim anesthesia untuk
menyampaikannya.
3. Fase sign out (sebelum keluar ruang operasi)
Fase sign out dilakukan sebelum penutupan rongga tubuh
pasien yang dioperasi.
Komponen-komponen dalam fase sign out:
a. Menghitung jumlah instrument, jarum dan kassa secara benar,
disaksikan oleh perawat sirkuler dan didokumentasikan.
b. Pemberian label sesuai dengan identitas pasien pada jaringan
yang telah diangkat dari tubuh pasien.
c. Dokter operator dan dokter anestesi menyampaikan hal-hal
yang perlu diperhatikan pada masa pemulihan pasien dan
perawatan pasca operasi selanjutnya.

B. Keselamatan Pasien
1. Pengertian keselamatan pasien
Keselamatan pasien merupakan pencegahan cedera
terhadap pasien. Pencegahan cedera didefinisikan bebas dari
bahaya yang terjadi dengan tidak sengaja atau dapat dicegah
sebagai hasil perawatan medis. Praktek keselamatan pasien
untuk mengurangi risiko kejadian yang tidak diinginkan yang
berhubungan dengan paparan terhadap lingkungan diagnosis
atau kondisi perawatan medis (DeviDarliana, 2016). Hal
terpenting dalam pemberian pelayanan kesehatan adalah
keselamatan pasien (patient safety) itu sendiri.
Rumah sakit sebagai institusi pemberi pelayanan kesehatan
harus dapat menjamin pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada pasien karena keselamatan pasien di sebuah rumah sakit
merupakan bagian dari sistem rumah sakit untuk membuat
asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut berkaitan dengan
penanganan risiko, melakukan identifikasi dan pengobatan yang
berhubungan dengan risiko pasien, memberikan laporan dan hasil
analisis insiden atau kejadian yang terjadi, kemampuan untuk
belajar dari insiden dan tindak lanjut yang dilakukan serta solusi
yang diambil untuk mengurangi timbulnya risiko termasuk
pencegahan untuk menghindari cidera yang timbul akibat dari
kesalahan dalam mengambil suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya dilakukan (Permenkes RI, 2017).
Keselamatan pasien merupakan komponen penting dan
vital dalam asuhan keperawatan yang berkualitas. Hal ini menjadi
penting karena Patient safety merupakan suatu langkah untuk
memperbaiki mutu pelayanan dalam memberikan asuhan
keperawatan. Inti dari patient safety yaitu penghindaran,
pencegahan dan perbaikan dari kejadian yang tidak diharapkan
atau mengatasi cedera-cedera dari proses pelayanan kesehata.
Sehingga, program utama patient safety yaitu suatu usaha untuk
menurunkan angka kejadian tidak diharapkan (KTD) yang sering
terjadi pada pasien selama dirawat di rumah sakit yang sangat
merugikan baik pasien maupun pihak rumah sakit. Keselamatan
bertujuan menurunkan angka kejadian tidak diharapkan (KTD)
yang sering terjadi pada pasien selama dirawat ataupun selama
tindakan operasi dirumah sakit sehingga sangat merugikan baik
pasien sendiri dan pihak rumah sakit (Cahyono 2008 dalam
Triwibow, 2016).
Berdasarkan definisi dari berbagai sumber diatas dapat
disimpulkan bahwa keselamatan pasien merupakan suatu bagian
penting dalam mutu pelayanan yang menekankan pada suatu
kondisi yang tidak merugikan pasien, mengurangi dan
meminimalkan risiko melalui berbagai upaya sistemik yang
berorientasi pada optimalisasi hasil pelayanan yang diteliti pasien
a. Tujuan keselamatan pasien
Tujuan keselamatan pasien menurut Permenkes RI. (2017)
adalah untuk
1) Menciptakan budaya atau iklim keselamatan pasien di
rumah sakit
2) Meningkatkan kepercayaan pasien dan masyarakat
terhadap rumah sakit.
3) Mengurangi kejadian yang tidak diharapkan dan
4) Terwujudnya pelaksanaan program pencegahan sehingga
tidak terjadi kembali kejadian yang tidak diharapkan.
b. Sasaran Keselamatan Pasien
Enam sasaran keselamatan pasien (patient safety) rumah
sakit menurut Permenkes No. 1619/Memkes//Per/VIII//2011
yaitu ketepatan dalam identifikasi pasien; meningkatkan
komunikasi efektif; peningkatan keamanan obat yang perlu
diwaspadai, kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien
operasi; mengurangi resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan,
mengurangi resiko jatuh. Adapun penjelasan adalah sebgai
berikut:
1) Sasaran I : ketepatan mengidentifikasi pasien
Kegagalan atau kesalahan dalam melakukan
identifikasi terhadap pasien bisa terjadi di semua aspek/
tahapan diagnosis dan pengobatan, seperti ketika
pemberian obat dan darah, pengambilan darah dan
specimen lain untuk pemeriksaan klinis serta penyerahan
bayi kepda bukan keluarganya. Kesalahan dalam
mengidentifikasi pasien dapat juga terjadi saat pasien
dalam kondisi terbius atau tersedasi, mengalamin
disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur, kamar atau
lokasi di rumah sakit, adanya kelainan sensorik, atau akibat
situasi lain (Permenkes, 2011).
Tujuan dari sasaran yang pertama ini adalah untuk:
Melakukan identifikasi terhadap pasien sebagai individu
yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan atau
pengobatan, dan untuk memastikan kesesuaian pelayanan
atau pengobatan yang diberikan terhadap individu atau
pasien tersebut.
Elemen penilaian sasaran ketepatan identifikasi
pasien menurut Kemenkes, (2011) meliputi 5 elemen, yaitu:
a) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien
(nama pasien
b) nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas
pasien dengan bar
c) code), tidak boleh menggunakan nomor kamar atau
lokasi pasien dirawat.
d) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah
atau produk darah
e) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan
spesiemn lain untuk
f) pemeriksaan klinis
g) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan
dan tindakan prosedur
h) Kebijakan dan prosedur pengarahan pelaksanaan
identifikasi yang
i) konsisten pada semua situasi dan lokasi.
2) Sasaran II : Peningkatan komunikasi efektif
Komunikasi efektif adalah saling bertukar informasi,
ide, kepercayaan, perasaan dan sikap antara dua orang
atau kelompok yang hasilnya sesuai dengan harapan.
Komunikasi yang buruk merupakan penyebab yang paling
sering menimbulkan efek samping pada semua aspek
pelayanan kesehatan, sehingga menimbulkan
permasalahan dalam mengidentifikasi pasien, kesalahan
pengobatan dan tranfusi serta alergi diabaikan, salah
prosedur operasi, dan salah sisi bagian yang dioperasi.
Komunikasi yang efektif diimplementasikan dengan
menggunakan metode S-BAR yang meliputi S (Situation)
artinya situasi yang menggambarkan keadaan pasien
sehingga perlu dilaporkan, B (Background) artinya
gambaran riwayat atau hal yang mendukung terjadinya
kondisi atau situasi pasien saat ini, A (Assessment) artinya
kesimpulan dari hasil analisa terhadap gambaran situasi
dan background, dan R (Recomendation) artinya usulan
pelapor kepada dokter tentang alternatif tindakan yang
mungkin dilakukan (Permenkes, 2011).
Tujuan dari serah terima adalah untuk memberikan
dan menyediakan informasi secara akurat, tepat waktu
tentang rencana keperawatan, pengobatan, kondisi terkini
dan perubahan kondisi pasien yang baru saja terjadi
ataupun yang dapat diantisipasi. Serah terima informasi
pasien dilakukan antar perawat antar shift, pengalihan
tanggung jawab dari dokter ke perawat, dan pengalihan
tanggung jawab sementara (saat istirahat makan), antar
perawat per ruangan.
Elemen penilaian sasaran II menurut Permenkes
(2011), terdiri dari empat hal diantaranya:
a) Penyampaian perintah lengkap secara lisan dan tulisan
melalui telepon atau penerima perintah menuliskan
hasil pemeriksaan secara lengkap.
b) Penyampaian perintah lengkap secara lisan dan yang
melalui telepon atau penerima perintah membacakan
hasil pemeriksaan secara lengkap.
c) Pemberi perintah atau yang menyampaikan hasil
pemeriksaan mengkonfirmasikan perintah atau hasil
pemeriksaan dan
d) Pelaksanaan verifikasi ketepatan komunikasi lisan atau
melalui telepon secara konsisten diarahkan oleh
kebijakan dan prosedur yang berlaku.
3) Sasaran III : Peningkatan keamanan obat yang perlu
diwaspadai
Kesalahan pengobatan dapat menyebabkan bahaya
bagi pasien. Perawat mempunyai peran penting dalam
menyiapkan obat maka perawat perlu waspada dalam
mencegah keselahan obat. Hal yang paling sering
menjadi penyebab kesalahan obat (medication error)
adalah nama obat, rupa dan ucapan mirip (NORUM) atau
Look Alike Sound Alike (LASA) yang membingungkan
staf pelaksana (Permenkes, 2017).
Kesalahan pengobatan adalah peristiwa atau
kejadian yang dapat dihindari yang dapat membahayakan
pasien yang timbul sebagai akibat dari pemakaian obat
yang tidak sesuai. Perilaku perawat dalam melakukan
keamanan obat yang perlu diwaspadai yaitu melakukan
pemberian pengobatan dalam prinsip enam benar yaitu
benar obat, benar dosis, benar rute, benar waktu dan
benar pasien. Perawat masih banyak membuat
kesalahan meskipun telah diverifikasi dengan prinsip lima
benar, untuk itu perlu diverifikasi lagi dengan resep harus
terbaca, lingkungan yang kondusif tanpa gangguan
selama putaran pengobatan dan pola staf yang memadai.
Elemen penilaian Sasaran III menurut Permenkes
(2011) meliputi:
a) Pengembangan dari kebijakan dan prosedur
hendaknya mencantumkan proses identifikasi,
penetapan lokasi, pemberian label dan
penyimapanan elektrolit konsentrat.
b) Penerapan kebijakan dan prosedur
c) Unit pelayanan pasien tidak menyimpan elektrolit
konsentrat keculai jika dibutuhkan secara klinis. Hal
ini dilakukan untuk mencegah pemberian obat atau
cairan yang hati-hati di area tersebut sesuai dengan
kebijakan yang berlaku dan
d) Unit pelayanan pasien menyimpan elektrolit
konsentrat dengan memberi label yag jelas, dan
menyimpan pada tempat yang di batasi secara ketat
(restricted).
4) Sasaran IV : Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat
pasien yang akan dioperasi
Penyimpangan pada verifikasi (tepat lokasi, tepat
prosedur dan tepat pasien operasi) akan dapat
mengakibatkan pelaksanaan prosedur yang keliru atau
pembedahan sisi tubuh yang salah. Penyebabnya karena
kurangnya komunikasi atau informasi yang diterima tidak
benar bahkan tidak ada informasi sama sekali, pasien
kurang/tidak dilibatkan secara langsung dalam melakukan
penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur
untuk verifikasi lokasi operasi. Selain itu, pengkajian
pasien yang tidak tepat, pengecekan ulang rekam medis
atau catatan medis yang tidak tepat, iklim atau kondisi
yang tidak mendukung adanya komunikasi terbuka antar
anggota tim bedah, permasalahan yang timbul karena
tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible handwritting)
dan penggunaan singkatan yang tidak sesuai adalah
faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi (Permenkes,
2017).
Tujuan dari proses verifikasi preoperatif adalah
untuk memverifikasi atau memperjelas lokasi, prosedur,
dan pasien dengan benar; Memastikan bahwa semua
dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang relevan
tersedia, diberi label dengan baik, dipandang. Dan
melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus
dan/atau implant yang dibutuhkan.
Elemen penilaian sasaran IV menurut Permenkes
(2017) meliputi:
a) Dalam mengidentifikasi lokasi operasi, rumah sakit
menggunakan tanda yang jelas dan mudah dipahami
termasuk juga melibatkan pasien dalam proses
penandaan.
b) Rumah sakit mengunakan suatu checklist atau
proses lain untuk memverifikasi saat pre operasi tepat
lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien yang akan di
operasi dan semua dokumen serta peralatan yang
diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
c) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat
prosedur sebelum“insisi/time out” tepat sebelum
dimulainya suatu prosedur tindakan pembedahan
dan.
d) Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk
mendukung suatu proses yang seragam untuk
memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat
pasien termasuk prosedur medis dan dental yang
dilaksanakan diluar kamar operasi.
5) Sasaran V : Pengurangan Resiko Infeksi Terkait
Pelayanan Kesehatan
Tantangan terbesar yang dihadapi dalam
memberikan pelayanan kesehatan adalah pencegahan
dan pengendalian infeksi. Mahalnya biaya yang
diperlukan dalam mengatasi infeksi yang berkaitan
dengan pelayanan kesehatan menjadi masalah tersendiri
bagi pasien maupun stakeholder yang berkecimpung
dalam dunia kesehatan. Berbagai macam infeksi seperti
infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood
stream infections) dan pneumonia yang berkaitan
dengan ventilasi mekanis juga sering ditemukan dalam
pemberian pelayanan kesehatan.
Sumber dari timbulnya infeksi disebabkan karena
kurangnya kesadaran atau pemahaman perawat dalam
mencuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Bahkan
mengingat pentingnya mencuci tangan maka mencuci
tangan memakai sabun atau cairan anti septik, dan di
ruang operasi sebelum dilakukan tindakan pembedahan
perawat untuk menurunkan angka infeksi perawat harus
melakukan cuci tangan steril (Permenkes, 2017).
Dilakukan dengan enam langka yang menjadi standar
oleh WHO yaitu:
a) Pada saat sebelum dan setelah menyentuh pasien
b) Sebelum dan setelah melakukan tindakan aseptik
c) Setelah terpapar cairan tubuh pasien
d) Sebelum dan setelah melakukan tindakan invasiv
e) Setelah menyentuh area sekitar pasien/lingkungan
dan
f) Memakai alat pelindung diri (APD) seperti sarung
tangan, masker, tutup kepala, kacamata pelindung,
apron/jas dan sepatu pelindung yang digunakan untuk
melindungi petugas dari risiko pajanan darah, cairan
tubuh ekskreta, dan selaput lendir pasien.
6) Sasaran VI : Pengurangan Resiko Jatuh
Salah satu penyebab cidera bagi pasien dirumah
sakit adalah kejadian atau kasus jatuh pada pasien.
Pasien dengan tindakan pembiusan anastesi sangat
berpontesi untuk mengalami jatuh. Perawat harus
melakukan pengkajian ulang secara berkala mengenai
risiko pasien jatuh, termasuk risiko potensial yang
berhubungan dengan jadwal pemberian obat serta
mengambil tindakan untuk mengurangi semua risiko yang
telah diidentifikasi.
Berdasarkan hasil penelitian faktor risiko terjadinya
jatuh adalah karena usia, jenis kelamin, efek obat-obatan
tertentu, status mental, penyakit kronis, faktor lingkungan,
keseimbangan, kekuatan, mobilitas dan ketinggian tempat
tidur (Devi Darlian, 2016).
Perawat melakukan pedoman atau tindakan
kewaspadaan pencegahan pasien risiko jatuh untuk
mengurangi insiden jatuh yaitu dengan:
a) Memastikan bel mudah dijangkau
b) Roda tempat tidur pada posisi terkunci
c) Memposisikan tempat tidur pada posisi yang terkunci
d) Pagar pengaman dinaikan
e) Memonitoring ketat pasien resiko tinggi (kunjungi dan
monitor pasien setiap 1 jam, tempatkan pasien di
kamar yang paling dekat dengan nurse station jika
dimungkinkan) dan melibatkan pasien atau keluarga
dalam pencegahan jatuh ( Permenkes RI. 2011).
Elemen penilaian Sasaran VI menurut Permenkes,
(2011), meliputi:
a) Rumah sakit melakukan assemen awal terhadap
pasien yang memiliki resiko jatuh dan melakukan
assasemen ulang apa bila pasien mengalami
perubahan kondisi atau pengoabtan dan lain-lain
b) Melakukan upaya pencegahan untuk mengurangi
resiko jayuh bagi pasien yang ada hasil pemeriksaan
dianggap memiliki resiko jatuh
c) Langkah-langkah dimonitor hasill, baik keberhasilan,
pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari
kejadian yang tidak diharapkan dan
d) Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan berkelanjutan resiko
pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.
BAB III
PEMBAHASAN

Tujuan utama dari pembuatan dan penerapan surgical safety


checklist sendiri adalah untuk menurunkan kejadian yang tidak diinginkan
di kamar operasi. Dalam prakteknya checklist ini berfungsi juga untuk
memperkuat/membina kerjasama dan komunikasi yang lebih diantara tim
operasi, membantu memastikan setiap langkah yang ada di checklist telah
dijalankan secara konsisten sehingga meminimalkan dan menghindari
resiko cidera terhadap pasien.
WHO telah melakukan sejumlah inisiatif global dan regional yang
bertujuan untuk keselamatan bedah. Checklist keselamatan bedah WHO
dimulai dibulan Januari 2007. Checklist ini mengidentifikasi tiga fase
dalam suatu proses operasi. Sebelum induksi anastesi ”sign in”, sebelum
insisi kulit ”time out”, dan sebelum pasien meninggalkan kamar operasi
”sign out”. Dalam setiap fase koordinator checklist harus mengkonfirmasi
bahwa tim bedah telah menyelesaikan tugas pengisian checklist sebelum
operasi dimulai. Proses penerapan penyelesaian checklist yang berbeda
disesuaikan dengan keseharian tim bedah kamar operasi masing-masing
rumah sakit. Penerapan secara manual dirancang untuk membantu
memastikan bahwa tim bedah dapat menerapkan checklist secara
konsisten dan berkesinambungan. Dengan mematuhi langkah-langkah
penting tersebut, profesional kesehatan dapat meminimalisir resiko yang
paling umum dan mencegah hal-hal yang membahayakan kehidupan dan
kesejahteraan pasien bedah. Dengan ini terlihat bahwa Surgical Safety
Checklist WHO tersebut telah dirancang dengan secara efisien dan efektif
untuk dapat dipergunakan oleh tim bedah di kamar operasi, sehingga
diperlukan tambahan pengetahuan dan sosialisasi yang berkala bagi
personel kamar bedah untuk dapat meningkatkan pengetahuan,
penerimaan, dan kemampuan dalam menerapkan Surgical Safety
Checklist sehari-hari di kamar operasi. Pengetahuan dan keterampilan
tentang keselamatan memiliki hubungan yang kuat dengan kepatuhan.
Sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan No.1691 tentang
keselamatan pasien dan Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) menuntut
pelaksanaan surgery safety checklist di kamar operasi harus 100% untuk
mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan dan kemungkinan
kekeliruan diselesaikan dalam tindakan operasi dimana pelaksanaan
surgery safety cheklist dilakukan pada semua item yang telah ditentukan.
RSUD Solok Selatan sudah memiliki dokumen kebijakan Sasaran
Keselamatan Pasien dan Penerapan Surgical Safety Cheklist, serta
dokumen SPO Penggunaan Surgical Safety Checklist untuk pasien
operasi sudah ada di Kamar Operasi.
Tidak patuhnya pengisian Surgical Safety Checklist tidak terjadi
hanya karena satu atau dua penyebab melainkan banyak penyebab yang
bisa berkontribusi, mulai dari sistem yang menggerakan pelayanan
kesehatan, sarana dan prasarana sampai dengan kinerja perseorangan
yang bersentuhan langsung dengan pasien, yang kesemuanya
berkolaborasi sehingga kepatuhan tidak tercapai.
Dari hasil yang ditemukan di lapangan berdasarkan wawancara
pada tim operasi, pelaksanaan surgical safety Cheklist di kamar operasi
RSUD Solok Selatan belum terlaksana secara optimal. Hal ini disebabkan
karena kurangnya pemahaman petugas akan pentingnya pengisian
Surgical safety cheklist sebagai indikator Keselamatan pasien, kurangnya
sosialisasi tentang cara pengisian surgical safety cheklist dan kurangnya
evaluasi dari kepala ruangan dan komite mutu Rumah Sakit. Faktor lain
yang menyebabkan tidak terlaksananya surgical safety cheklist adalah
pelaksanaan operasi elektif yang tidak terjadwal dan kurangnya jumlah
tenaga perawat yang dinas di kamar operasi setiap shift sehingga perawat
tidak mempunyai waktu yang cukup untuk pengisian blangko surgical
safety cheklist karena terburu-buru untuk mempersiapkan operasi
selanjutnya.
Masalah kesadaran personil kamar bedah untuk melaksanakan
penerapan Surgical Safety Checklist dan masalah pengetahuan personel
tentang kapan, bagaimana, mengapa, dan untuk apa penerapan Surgical
Safety Checklist tersebut digunakan di kamar bedah perlu sangat
diperhatikan dan dipahami sebaik-baiknya. Program keselamatan pasien
safe surgery saves lifes sebagai bagian dari upaya WHO untuk
mengurangi jumlah kematian bedah di seluruh dunia bertujuan untuk
memanfaatkan komitmen dan kemauan klinis dalam mengatasi isu-isu
keselamatan yang penting, termasuk praktek-praktek keselamatan
anestesi yang tidak memadai, mencegah infeksi bedah dan komunikasi
yang buruk di antara anggota tim. Untuk membantu tim bedah dalam
mengurangi jumlah kejadian ini, WHO menghasilkan rancangan berupa
checklist keselamatan pasien di kamar bedah sebagai media informasi
yang dapat membina komunikasi yang lebih baik dan kerjasama antara
disiplin klinis.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan,
diantaranya:
1. Pengisian surgical safety checklist di kamar operasiRSUD Solok
Selatan belum terlaksana secara optimal
2. Hambatan dalam pelaksanaan surgical safety checklist di RSUD Solok
Selatan diantaranya adalah kurangnya pemahaman petugas akan
pentingnya pengisian Surgical safety cheklist, kurangnya sosialisasi
tentang cara pengisian surgical safety cheklist, kurangnya evaluasi dari
kepala ruangan dan komite mutu Rumah Sakit, pelaksanaan operasi
elektif yang tidak terjadwal dan kurangnya jumlah tenaga perawat yang
dinas di kamar operasi setiap shift.

B. SARAN
1. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
pelaksanaan Surgical Safety Checklist di kamar operasi yaitu
pelatihan/sosialisasi pelaksanaan Surgical Safety Checklist untuk
perawat kamar operasi, dimana pelatihan penerapan Surgical
Safety Checklist ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami
tahapan yang harus dilakukan sehingga pelaksanaan Surgical
Safety Checklist dapat berjalan dengan baik. Pembuatan video
pelaksanaan Surgical Safety Checklist merupakan alat bantu untuk
pelatihan. Dalam pelatihan perlu ada role play secara bergantian
agar para perawat semakin memahami pelaksanaan Surgical
Safety Checklist.
2. Lakukan monitoring dan evaluasi pengisian Surgical safety cheklist
secara berkala untuk mengetahui masalah atau hambatan yang
ada sehingga dapat dilakukan perbaikan secara
berkesinambungan.
3. Lakukan penjadwalan operasi elektif di kamar operasi sehingga
bisa mengatur berapa jumlah petugas yang dibutuhkan saat
operasi

Anda mungkin juga menyukai