Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi luka operasi (ILO) merupakan infeksi yang sering terjadi pada pasien paska
pembedahan (Pandjaitan, 2013). Survey World Health Organization (WHO) melaporkan
bahwa angka kejadian ILO di dunia berkisar antara 5% sampai 15% (WHO, 2015). Data
WHO menunjukkan bahwa sekitar 5% -34% dari total infeksi nosokomial adalah ILO
(Haryanti dkk, 2013). National Nosocomial Infection Surveillace (NNIS, 2010) United
States America mengindikasikan bahwa ILO merupakan infeksi ketiga tersering yang
terjadi di rumah sakit sekitar 14-16% dari total pasien di rumah sakit mengalami ILO.
Penelitian di Nigeria tahun 2009 melaporkan bahwa dari pasien post operasi yang
dilakukan pemeriksaan kultur ILO 5%- 10% diantaranya berkultur positif mengandung
bakteri (Setyarini, Barus & Dwitari, 2013). Menurut DEPKES RI tahun 2011 angka
kejadian ILO pada rumah sakit pemerintah di Indonesia sebanyak 55,1% (Asyifa,
Suarniant & Mato, 2012). Hasil penelitian Yuwono (2013), membuktikan bahwa angka
kejadian ILO di RS Dr. Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang sebanyak 56,67% yang
terdiri dari ILO superfisial incision 70,6%, ILO deep incision 23,5% dan ILO organ
5,9%. ILO ditemukan paling cepat hari ketiga dan yang terbanyak ditemukan pada hari
ke lima dan yang paling lama adalah hari ketujuh. Data indikator mutu pelayanan yang
diperoleh dari RSUD Dr. 2 Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2011 (periode April
sampai September) terdapat angka kejadian infeksi luka operasi di sebuah ruangan yaitu
ruang C1 yang memiliki tingkat infeksi tertinggi yaitu untuk luka operasi mencapai
8.00% pada bulan Mei dan pada bulan Juni 6.25% (Sinaga & Tarigan, 2012). Kejadian
ILO di RS Umum Pemerintah (RSUP) Dr. Sardjito merupakan urutan kedua diperoleh
data sebanyak 17% setelah urinary tract infections (Dahesihdewi, 2015). Hasil penelitian
Rusmawati (2013) di RSUD Panembahan Senopati Bantul didapatkan data bahwa
sebanyak 87% pasien yang mendapatkan tindakan pembedahan terkena infeksi
superfisial dan 13% terkena infeksi deep incision dikarenakan faktor karakterisrik
responden yang meliputi usia, jenis kelamin, berat badan (BB), lama operasi, jenis
operasi serta faktor dari pelaksana operasi meliputi riwayat kesehatan, penggunaan obat,
penggunaan drain, implant, dressing serta perawatan luka. Faktor kejadian ILO antara
lain dari pasien misalnya diabetes mellitus, obesitas, malnutrsi berat serta faktor lokasi
luka yang meliputi pencukuran daerah operasi, suplai darah yang buruk ke daerah
operasi, dan lokasi luka yang mudah tercemar sedangkan, faktor operasi misalnya lama
operasi, penggunaan antibiotik profilaksis, ventilasi ruang operasi, tehnik operasi
(Septiari, 2012). Faktor kejadian ILO pada pra operasi meliputi persiapan kulit yaitu
tidak membersihkan daerah operasi atau tidak melakukan pencukuran didaerah bedah
dengan rambut yang lebat (Riyadi & Hatmoko, 2012). Faktor kejadian ILO intra operasi
salah satunya yaitu teknik operasi 3 yang harus dilakukan dengan baik untuk
menghindari kerusakan jaringan yang berlebihan, pendarahan, infeksi, lama operasi,
pemakaian drain (Septiari, 2012). Kejadian ILO terkait operasi juga disebabkan oleh
mikroorganisme patogen yang mengkontaminasi daerah luka operasi pada saat
berlangsungnya operasi atau sesudah operasi saat pasien dirawat di rumah sakit (Kurnia,
Tripriadi & Andrini, 2013). Faktor kejadian ILO post operasi meliputi nutrisi, personal
hygiene, mobilisasi dan perawatan luka (Riyadi&Hatmoko). Menurut Rosaliya (2010)
hari perawatan luka >5 hari akan meningkatkan terjadinya ILO. Prosedur perawatan luka
harus dilaksanakan sesuai yang ditetapkan bertujuan agar mempercepat proses
penyembuhan dan bebas dari infeksi luka yang ditimbulkan dari infeksi nosokomial
(Noch, Rompas & Kallo, 2015). Menurut Septiari (2012) mengatakan luka operasi
dikatakan terinfeksi apabila luka tersebut mengeluarkan nanah atau pus dan
kemungkinan terinfeksi apabila luka tersebut mengalami tanda-tanda inflamasi. Potter
dan Perry (2006) yang menyatakan bahwa infeksi luka paska operasi merupakan salah
satu masalah utama dalam praktek pembedahan dan infeksi menghambat proses
penyembuhan luka sehingga menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas bertambah
besar yang menyebabkan lama hari perawatan. Lama perawatan yang memanjang
disebabkan karena beberapa faktor, yaitu faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor
ekstrinsik terdiri dari pemenuhan nutrisi yang tidak adekuat, teknik operasi, obat-obatan,
dan 4 perawatan luka sedangkan faktor intrinsik terdiri dari usia, gangguan sirkulasi,
nyeri, dan penyakit penyerta serta faktor lainnya adalah mobilisasi (Majid, Judha, dan
Istianah, 2011). Penelitian Dias Minovanti (2014) didapatkan hasil bahwa mayoritas
infeksi luka operasi yang terjadi di RS Hermina Daan Mogot Jakarta Barat disebabkan
oleh berbagai faktor antara lain petugas kesehatan (perawat). Tingginya kejadian ILO
pada pasien paska pembedahan maka perawat dituntut bertanggung jawab menjaga
keselamatan klien di rumah sakit, salah satunya mengurangi angka kejadian ILO (Putra
& Asrizal, 2012). Menurunkan kejadian infeksi terkait dengan pencegahan ILO bisa
dilakukan oleh pelayanan kesehatan pada pasien, petugas kesehatan, pengunjung serta
fasilitas pelayanan kesehatan (Pandjaitan, 2015). Faktor kejadian ILO pada pasien dari
penyakit penyerta yang dialami pasien seperti diabetes atau pada pasien yang memiliki
kelebihan gula darah yang tidak terkontrol saat operasi diketahui dapat meningkatkan
risiko terhadap ILO (Faridah, Andayani & Inayati, 2012). Pasien dapat melakukan
perbaikan keadaan sebelum operasi meliputi diabetes mellitus, mal nutrisi, infeksi,
obesitas sehingga menurunkan angka kejadian ILO (Septiari, 2013). Menurunkan
kejadian ILO bisa dilakukan oleh perawat terhadap perawatan luka yang baik dan benar
sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) (Sutrisno, Intang &Suhartatik). Hasil studi
pendahuluan yang dilakukan pada bulan 26 November sampai 17 Desember 2015 yang
diperoleh dari Instalasi Rekam Medis RSU PKU Muhammadiyah Bantul didapatkan
bahwa pada tahun 2014 dilaporkan 5 5 pasien post pembedahan mengalami komplikasi
pembedahan yaitu ILO kemudian pada tahun 2015 (periode januari sampai oktober)
didapatkan angka kejadian ILO < 5% dan pada tanggal 01 november sampai 24
november 2015 < 5 sedangkan, jumlah pasien yang melakukan operasi di RS PKU
Muhammadiyah Bantul pada tahun 2014 sebanyak 2.592 dan tahun 2015 sebanyak
3.176. Jumlah pasien operasi umum mendapat kenaikan dua bulan terakhir dimana pada
bulan September 2015 82 pasien sedangkan, bulan Oktober 2015 berjumlah 93. Data
pasien yang mengalami ILO di RSU PKU Muhammadiyah Bantul masih banyak yang
belum terdeteksi karena untuk sistem pelaporan kejadian infeksi masih kurang maka dari
itu peneliti melakukan screening awal tanda-tanda infeksi yang terjadi pada pasien post
pembedahan serta masalah ini belum pernah diteliti sebelumnya di RSU PKU
Muhammadiyah Bantul.
Seksio Sesarea adalah prosedur operasi yang paling umum dilakukan di dunia untuk
melahirkan bayi melalui sayatan pada dinding perut dan uterus (Wiknjosastro, 2008:
173). Seksio Sesarea merupakan pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada
dinding abdomen dan uterus. Seksio Sesarea merupakan pembedahan bersih dan
seharusnya memiliki angka infeksi tidak lebih dari 2% (Boyle, 2009).
Adapun masalah keperawatan yang biasanya muncul pada klien dengan Seksio
Sesarea yaitu, Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas (mokus dalam jumlah berlebihan), Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
(pembedahan, trauma jalan lahir, episiotomi), Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kebutuhan nutrisi
postpartum, Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kurang pengetahuan
ibu, Gangguan eliminasi urine, Gangguan pola tidur berhubungan dengan lemah, Resiko
infeksi berhubungan dengan faktor resiko: episiotomi, laserasi jalan lahir, bantuan
pertolongan persalinan, Defisit perawatan diri (mandi/kebersihan diri, makan, toileting)
berhubungan dengan kelelahan postpartum, Konstipasi, Resiko syok (hipovolemik),
Resiko perdarahan, Defisiensi pengetahuan: perawatan postpartum berhubungan dengan
kurangnya informasi tentang penanganan postpartum (Nurarif dan Kusuma, 2015).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diangkat rumusan masalah.


Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada klien yang mengalami 4 Post Operasi Seksio
Sesarea dengan Resiko Infeksi di ruang Kalimaya Bawah RSUD dr.Slamet Garut?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Memperoleh pengalaman nyata dan mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan


pada klien yang mengalami Post Operasi Seksio Sesarea dengan Resiko Infeksi di RSUD
dr.Slamet Garut. Sesuai komprehensif dengan pedoman asuhan keperawatan meliputi bio,
psiko – sosio spiritual.

1.3.2 Tujuan khusus

A. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien yang mengalami Post Operasi Seksio
Sesarea dengan Masalah Keperawatan Resiko Infeksi di RSUD dr.Slamet Garut.

B. Menetapkan diagnosis keperawatan pada klien mengalami Post Operasi Seksio Sesarea
dengan Masalah Keperawatan Resiko Infeksi di RSUD dr.Slamet Garut.

C. Menyusun perencanaan keperawatan pada klien mengalami Post Operasi Seksio Sesarea
dengan Masalah Keperawatan Resiko Infeksi di RSUD dr.Slamet Garut.

D. Melaksanakan tidakan keperawatan pada klien mengalami Post Operasi Seksio Sesarea
dengan Masalah Keperawatan Resiko Infeksi di RSUD dr.Slamet Garut.

E. Melakukan evaluasi pada klien mengalami Post Operasi Seksio Sesarea dengan Masalah
Keperawatan Resiko Infeksi di RSUD dr.Slamet Garut.

F. Mendokumentasikan Asuhan Keperawatan pada klien Post Operasi Seksio Sesarea dengan
Masalah Keperawatan Resiko Infeksi di RSUD dr.Slamet Garut.
1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan referensi dan masukkan
ilmu keperawatan terkait Asuhan Keperawatan pada klien Post Seksio Sesarea dengan
Masalah Keperawatan Resiko Infeksi di RSUD dr.Slamet Garut.

1.4.1 Manfaat Praktis

A. Manfaat untuk Penulis Untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan


pengalaman penulis dalam melaksanakan Asuhan Keperawatan Post Operasi Seksio Sesarea
dengan Resiko Infeksi.

B. Manfaat untuk Perawat Memberikan wawasan bagi profesi atau tenaga kesehatan lainnya
dalam menangani kasus Asuhan Keperawatan Post Operasi Seksio Sesarea dengan Resiko
Infeksi.

C. Manfaat untuk Rumah Sakit Untuk meningkatkan mutu atau kualitas pelayanan dalam
memberikan Asuhan Keperawatan Post Seksio Sesarea dengan Resiko Infeksi.

D. Manfaat untuk Institusi Pendidikan Menambah referensi dan sebagai wacana bagi
mahasiswa mengenai Asuhan Keperawatan Post Operasi Seksio Sesarea dengan Resiko
Infeksi.

BAB II

KONSEP DASAR PENYAKIT


2.1 KONSEP DASAR PENYAKIT SEKSIO SESAREA

1. Pengertian Seksio Sesarea (SC)

adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus
melalui dinding depan perut. Melahirkan secara SC diindikasikan ketika kelahiran normal
tidak aman, berkaitan dengan masalah panggul ibu atau jalan lahir di liang peranakan yang
berpotensi membahayakan bayi baru lahir maupun sang ibu (Sofian, 2012).

2. Etiologi SC

ada dua yaitu etiologi yang berasal dari ibu dan etiologi yang berasal dari janin.
Etiologi yang berasal dari ibu yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primi para tua
disertai kelainan letak, disproporsi sefalo pelvik (disproporsi janin/ panggul), ada sejarah
kehamilan dan persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul, plasenta previa terutama
pada primigravida, solusio plasenta tingkat I-II, komplikasi kehamilan yaitu preeklampsi-
eklampsia, atas permintaan, kehamilan yang disertai penyakit (jantung, diabetes melitus),
gangguan perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri dan sebagainya). Sedangkan
etiologi yang berasal dari janin yaitu fetal distress/gawat janin, mal presentasi dan mal posisi
kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan persalinan vakum
atau forseps ekstraksi (Amin dan Hardi, 2013).

3. Patofisiologi

a. Fase inflamasi. Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Segera
setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi disertai
reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin membekukan darah.
Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi
Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateledderived Growth
Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk
terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas.Keadaan ini
disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi danakumulasi lekosit
Polymorphonuclear (PMN).Agregat trombosit akan mengeluarkan mediator inflamasi
Transforming Growth Factor beta 1 (TGF 1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya
TGF 1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen.

b. Fase proliferasi atau fibroplasi. Fase ini disebut fibroplasi karena pada masa ini
fibroblas sangat menonjol perannya. Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis
kolagen. Serat kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi
luka. Pada fase ini mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelialisasi.

c. Fase remodeling atau maturasi. Fase ini merupakan fase yang terakhir dan
terpanjang pada proses penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling
kolagen, kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen
berada dalam MKS, Th. 46, No. 3, Juli 2014 231 keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3
minggu sampai 2 tahun. Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang
yang mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal.Tiga fase tersebut diatas berjalan normal
selama tidak ada gangguan baik faktor luar maupun dalam.

4. Manifestasi klinis SC

Manifestasi klinis eklampsia dan pre eklampsia menurut Hacker (2001) adalah :

1. Pre eklampsia ringan Tekanan darah 140/90 mmHg sampai 160/110 mmHg atau sistolik
lebih dan atau sama dengan pcningkatan 30 mmHg, distolik lebih dan atau sama dengan
peningkatan 15 mmHg, proteinuria kurang dan 5 gram/24jam (+ 1 sampai +2), oedema
tangan atau muka.

2. Pre eklampsia berat Tekanan darah lebih dan 160/110 mmHg, Proteinuria lebih dan 5
gram/24 jam (+ 3 sampai + 4), oedema tangan dan atau muka.

3. Eklampsia Salah satu gejala di atas disertai kejang

5. Pemeriksaan Penunjang SC

a. Pre eklampsia

1. Tes kimia darah : ureum, keratin, asam urat, menilai fungsi ginjal,

2. Tes fungsi hati: bilirubin, SGOT

3. Urinalisis : proteinuria merupakan kelainan yang khas pada pasien dengan pre
eklampsia, jika 3+ atau 4+ urine 24 jam mengandung 5 gram protein atau lebih pre eklampsia
dinyatakan berat.

b. Sectio caesaria

1. Hemoglobin
2. Hematokrit

3. Leukosit

4. Golongan darah

6. Penatalaksanaan SC

indakan yang biasa dilakukan oleh tenaga kesehatan baik perawat maupun bidan untuk
menangani pasien post sc dimulai dari keluar ruang operasi yaitu sebagai berikut :

a) Analgesia Wanita dengan ukuran tubuh rata-rata dapat disuntik 75 mg meperidin ( intra
muskuler) setiap 3 jam sekali, bila diperlukan untuk mengatasi rasa sakit atau dapat
disuntikan dengan cara serupa 10 mg morfin. 10 - wanita dengan postur tubuh kecil,
diberikan dosis 50 mg meperidin - wanita dengan postur tubuh besar, dosisnya lebih tinggi
yaitu 100 mg meperidin - obat- obatan antiemetic, misalnya protasin 25 mg biasanya
diberikan bersama dengan pemberian preparat narkotik.

b) tanda – tanda vital Tanda- tanda vital harus diperiksa 4 jam sekali. Perhatikan tekanan
darah, nadi, jumlah urine serta jumlah darah yang hilang dan keadaan fundus harus diperiksa.

c) Terapi cairan dan diet Pemberian 3 liter larutan RL, dalam pedoman umum, terbutki
cukup selama pembedahan dan dalam 24 jam pertama berikutnya, meskipun demikian jika
output urine jauh dibawah 30 ml/jam, pasien harus segera dievaluasi kembali paling lambar
pada hari kedua.

d) Vesika urinarius dan usus Setelah 12 jam post operasi kateter dapat dilepaskan atau
keesokan paginya setelah operasi. Pada hari pertama setelah pembedahan biasanya bising
usus belum terdengar, pada hari kedua juga bising usus masih lemah. Kemudian usus baru
aktif di hari ketiga.

e) Ambulasi Pada hari pertama setelah pembedahan,pasien bangun dengan bantuan


perawatan dari tempat tidur sebentar, sekurang – kurangnya 2 kali pada hari kedua baru
pasien dapat berjalan dengan pertolongan.

f) Perawatan luka Luka sayatan diinspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang
alternative ringan tanpa banyak plester sangat menguntungkan, secara normal jahitan kulit
dapat diangkat setelah 11 hari keempat setelah pembedahan. Paling lambat hari ketiga post
partum, pasien dapat mandi tanpa membahayakan luka insisi atau sayatan
g) Laboratorium Secara rutin hematokrit diukur pada pagi setelah operasi tersebut dan harus
segera dicek kembali apabila ada kehilangan darah yang tidak biasa atau keadan lain yang
menunjukkan hipovolemia.

h) Perawatan payudara Jika ibu memutuskan tidak menyusui maka pemberian ASI dapat
dimulai pada hari post operasi, pemasangan pembalut payudara untuk mengencangkan
payudara tanpa banyak menimbulkan kompesi, biasa untuk mengurangi rasa sakit.

i) Pemulangan pasien dari rumah sakit Akan lebih aman jika seorang pasien yang baru
melahirkan bila diperbolehkan pulanh pada hari ke empat atau kelima post operasi, dan
aktivitas ibu untuk seminggu harus dibatasi hanya untuk perawatan bayinya dengan bantuan
orang lain. (Roberia, 2018)

BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Keperawatan Post SC Konsep Asuhan

1. Pengkajian

Menurut (Dermawan, 2012) untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien,
agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan
keperawatan klien baik secara bio,psiko, sosial dan spiritual adalah dengan dilakukannya
pengkajian karena pengkajian merupakan konsep dasar dari proses keperawatan. Tahap ini
adalah tahap penentuan untuk tahap berikutnya,pengkajian juga merupakan tahap dasar dan
awal dalam proses keperawatan. Diagnosis keperawatan akan ditentukan ditahap ini dengan
kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang 12 terjadi, maka dari itu pengkajian
harus dilaksanakan dengan teliti dan cermat sehingga seluruh kebutuhan perawatan pada
klien dapat diidentifikasi. Dalam pengkajian keperawatan post SC itu sendiri meliputi:
identitas klien, kleuhan utama, riwayat kesehatan, riawayat perkawinan,riwayat obstert,
riwayat persalinan sekarang, riwayat KB, pola-pola fungsi kesehatan pemeriksaan.

2. Diagnosa Keperawatan

Sebelum dilakukan diagnosa keperawatan maka haruslah mendiagnosa atau


menganalisis data subjektif dan objektif yang sbelumnya diperoleh pada tahap pengkajian.
Dengan data yang dikumpulkan dari klien,keluarga, rekam medis, dan pemberi pelayanan
kesehatan yang lain maka diagnosa akan melibatkan berfikir yang kompleks(Hutahaean,
2010) (Potter & Perry, 2011)mengatakan, ada 3 jenis diagnosa keperawatan yaitu diagnosis
aktual, adalah kondisi kesehatan 13 atauproses kehidupan klien ketika mengalami masalah
kesehatan yang digambarkan melalui resppon klien. Diagnosis risiko, adalah kondisi
kesehatan atau proses kehidupannya yang dapat menyebabkan klien berisiko mengalami
masalah kesehatan yang digambarkan melalui respon klien. Kemudian yang terakhir
diagnosis promosi kesehatan, yaitu untuk meningkatkan kondisi kesehatannya ketingkat yang
lebih baik atau optimal digambarkan dengan adanya keibginan dan motivasi klien. Diagnosis
keperawatan memiliki dua komponen utama yaitu masalah ( problem) dan indikator
diagnostik meliputi penyebab( etiologi),tanda (sign) dan gejala ( sympton) Pada kasus post
sectio caesarea biasanya terdapat diagnosa yang sering muncul adalah;

a) Nyeri akut berhubungan dengan agen penecedera fisik

b) Menyusui tidak efektif berhubungan dengan ketidak ada kekuatan reflek oksitosin

c) Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif

d) Resiko ketidak seimbangan cairan berhubungan dengan proses pembedahan mayor

e) Defisit pengetahuan tentang perawatan diri dan bayi Berhubungan ketidaktahuan


menemukan sumber informasi

3. Intervensi

Intervensi harus dilakukan oleh perawat. Untuk membantu klien mencapai hasil yang
diharapkan maka dilakukanlah intervensi. Ada tiga komponen utama yang harus ada dalam
sebuah rencana asuhan keperawatan, yaitu masalah yang diprioritaskan atau diagnosa
keperawatan, tujuan dan kriteria hasil yaitu menuliskan tujuan yang akan dicapai dan hal-hal
yang menjadi kriteria dalam keberhasilan pemberian asuhan keperawatan, intervensi yaitu
apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan atau kriteria hasil. Dalam penulisan tujuan
perawatan harus berdasarkan SMART, yaitu secara Spesific 14 (tidak menimbulkan arti
ganda) Measurable (dapat diukur,dilihat,didengar,diraba,dirasakan, atau dicium). Achievable
(dapat dicapai), Reasonable ( dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah), dan Time
( memiliki batas waktu yang jelas) (Budiono, 2016).

Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi,


mengatasi masalah – masalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan
(Rohmah, 2012).

Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Ketidakefektifan bersihan NOC: NIC:
jalan napas Definisi: a. Resipiratory status: Airway suction
ketidakmampuan untuk Ventilation a. Pastikan kebutuhan
membersihkan sekresi atau b. Respiratory status: airway oral/tracheal suctioning
obstruksi dari saluran patency b. Auskultasi suara napas
pernapasan untuk Kriteria Hasil: sebelum dan sesudah
mempertahankan kebersihan a. Mendemonstrasikan batuk suctioning.
jalan napas. Batasan efektif dan suara nafas yang c. Informasikan kepada klien
karakteristik: bersih, tidak ada sianosis dan dan keluarga tentang
a. Tidak ada batuk dispneu (mampu suctioning
b. Suara napas tambahan mengeluarkan sputum, d. Minta klien napas dalam
c. Perubahan frekuensi napas mampu bernafas dengan sebelum suctioning
d. Perubahan irama napas mudah, tidak ada pursed lips) e. Berikan Oksigen dengan
e. Sianosis b. Menunjukkan jalan nafas menggunakan nasal untuk
f. Kesulitan berbicara atau yang paten (klien tidak merasa memfasilitasi suksion
mengeluarkan suara tercekik, irama nafas, nasotrakeal
g. Penurunan bunyi napas frekuensi pernafasan dalam f. Gunakan alat yang streil
h. Dispneu rentang normal, tidak ada setiap melakukan tindakan
i. Sputum dalam jumlah yang suara nafas abnormal) g. Anjurkan klien untuk
berlebihan c. Mampu mengidentifikasikan istirahat dan napas dalam
j. Batuk yang tidak efektif dan mencegah faktor yang setelah kateter dikeluarkan
k. Orthopneu dapat menghambat jalan dari nasotrakeal
l. Gelisah nafas. h. Monitor status oksigen klien
m. Mata terbuka lebar i. Ajarkan keluarga bagaimana
Faktor – faktor yang cara melakukan suksion
berhubungan: j. Hentikan suksion dan
a. Lingkungan: berikan oksigen apabila klien
1) Perokok pasif menunjukkan bradikardi,
2) Mengisap asap peningkatan saturasi Oksigen
3) merokok b. Obstruksi jalan dan lain – lain.
napas Airway manajemen
1) Spasme jalan napas a. Buka jalan napas, gunakan
2) Mokus dalam jumlah teknik chin lift atau jaw thrust
berlebihan bila perlu
3) Eksudat dalam jalan alveoli b. Posisikan klien untuk
4) Materi asing dalam jalan memaksimalkan ventilasi
napas c. Identifikasi klien perlunya
5) Adanya jalan napas buatan pemasangan alat jalan napas
6) Sekresi bertahan/sisa buatan
sekresi d. Pasang mayo bila perlu e.
7) Sekresi dalam bronki c. Keluarkan sekret dengan batuk
Fisiologis: atau suction f. Auskultasi suara
1) Jalan nafas alergik napas, catat adanya suara
2) Asma tambahan
3) Penyaki paru obstruktif g. Lakukan suction pada mayo
kronik h. Berikan bronkodilator bila
4) Hiperplasia dinding bronkial perlu
5) Infeksi i. Berikan pelembab udara
6) Disfungsi neuromuskular kassa basah NaCl lembab
j. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan
k. Monitor respirasi dan status
oksigen

4. Implementasi Keperawatan
Jika perencanaan yang dibuat kemudian diaplikasikan kepada klien adalah contoh
dari tahap implementasi. Tindakan yang dilakukan mungkin sama, mungkin juga berbeda
dengan urutan yang telah dibuat pada perencaaan. Menurut (Debora, 2012)aplikasi yang
dilakukan kepada klien akan berbedan, diseuaikan dengan kondisi klien pada saat itu dan
kebutuhan yang paling dirasakan oleh klien. Menurut (Potter & Perry, 2011)implementasi
keperawatan ialah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat untuk membantu
klien dari masalah kesehatan yang dihdapi ke status kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.

5. Evaluasi Keperawatan

Pada tahap ini kita membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan
kriteria hasil yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masalah yang terjadi sudah teratasi
seluruhnya, hanya sebagian, atau bahkan belum teratasi semuanya. Evaluasi dilakukan
dengan pendekatan pada SOAP, yaitu S untuk data subjektif ialah data yang diutarakan klien
dan pandangannya tehadap data tersebut, O untuk data objektif ialah data yang didapat dari
hasil observasi perawat, termasuk tanda-tanda klinik dan fakta yang berhubungan dengan
penyakit klien, A untuk analisis ialah analisa ataupun kesimpulan dari data subjektif dan
objektif, P untuk perencanaan ialah pengembangan rencana segera atau yang akan datang
untuk mencapai status kesehatan klien yang optimal (Debora, 2012)
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN PENYAKIT INFEKSI PADA DAERAH OPERASI ( SC ) DI


RUANGAN NIFAS RSUD BIMA

DI SUUSN OLEH :

NAMA: INDRIANI

NIM: P00620220015

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK


KESEHATAN MATARAM PRODI D-III KEPERAWATAN BIMA

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN YANG BERJUDUL : LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN


KEPERAWATAN PADA PASIEN INFEKSI PADA DAERAH OPERASI ( SC)

DI SUSUN OLEH : INDRIANI

NIM : P00620220015

PRODI : D-III KEPERAWATAN BIMA

BIMA , Oktober 2022

Menyetujui

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Irma Fitria , SST

Nip:198007102005012026

Mengetahui

Ketua Program Studi

Abdul Haris ,SST.M .Pd,M.Kes

Nip : 196612081987031002
DAFTAR PUSTAKA

Aditya, R., 2018. Faktor Risiko Infeksi Luka Operasi Bagian Obstetri dan Ginekologi
RSUD Ulin Banjarmasin. Jurnal Berkala Kesehatan, 4(1), pp.10- 17. Agustina, Eva. and
Syahrul, F., 2017. The Effect of Operating Procedure with Infection Incidence on
Contaminated Cleaning Operating Patients (Case Control Study in RSU HAJI Surabaya).
Jurnal Berkala Epidemiologi, 5(3), pp.351-360. Asrawal, A., Hasan, D. and Daniel, D., 2019.

Faktor Risiko Terjadinya Infeksi Daerah Operasi pada Pasien Bedah Orthopedi di
Rsup Fatmawati Periode Juli-Oktober 2018. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 6(2), pp.104-112.
Baradero, M, Dkk. 2008. Prinsip Dan Praktek Keperawatan Perioperatif. Jakarta: EGC.
Faktor Yang Berhubungan dengan Tingkat Kecemasan Pada Pasien Pre Operasi Bedah
Umum Di RSUD Kabupaten Kepulauan Meranti. Jurnal Sains Vol. 7 No. 1 Tahun 2016.

Diakses 19 Juni 2020 Berríos-Torres, S.I., Umscheid, C.A., Bratzler, dkk. 2017.
Centers for disease control and prevention guideline for the prevention of surgical site
infection. JAMA surgery, 152(8), pp.784-791. Brunner & Suddarth. 2000. Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: EGC. Hubungan Gangguan Citra Tubuh dengan Tingkat Stress Pada
Pasien Pasca Operasi Bedah Mayor Di RSUD RSAM Bukittinggi Tahun 2017. Diakses 19
Juni 2020

Anda mungkin juga menyukai