PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan tempat yang sangat kompleks, terdapat ratusan macam obat, ratusan
tes dan prosedur, berbagai alat dan teknologi, bermacam profesi dan non profesi yang memberikan
pelayanan pasien selama 24 jam secara terus-menerus, dimana keberagaman dan kerutinan pelayanan
tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat terjadi kejadian tidak diharapkan (KTD), dimana
KTD merupakan kejadian yang akan mengancam keselamatan pasien (Depkes RI,2006). Kejadian
tidak diharapkan (KTD) adalah suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan
pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau karena tidak bertindak (ommission), bukan
Keselamatan pasien di rumah sakit menjadi isu penting karena banyaknya kasus medical error
yang terjadi diberbagai negara. Setiap tahun di Amerika hampir 100.000 pasien yang dirawat di
rumah sakit meninggal akibat medical error, selain itu penelitian juga membuktikan bahwa kematian
akibat cidera medis 50% diantaranya sebenarnya dapat dicegah (Cahyono, 2012). Di rumah sakit
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) provinsi pada tahun 2007, ditemukan
sejumlah kasus jenis KNC sebesar 63%, dan KTD sebesar 46,2%, sedangkan pada tahun
2010 kasus KTD meningkat menjadi 63%, yang terdiri dari 12 provinsi di Indonesia
(Muthmainnah, 2014).
Budaya keselamatan pasien merupakan hal yang penting. Budaya keselamatan pasien akan
menurunkan adverse event (AE) sehingga akuntabilitas rumah sakit di mata pasien dan masyarakat
governance, organisasi dapat lebih menyadari kesalahan yang telah terjadi, menganalisis dan
mencegah bahaya atau kesalahan yang akan terjadi, mengurangi komplikasi pasien, kesalahan
berulang serta sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi keluhan dan tuntutan. (Cahyono, 2012).
Menurut WHO (2009), rumah sakit yang ingin memperbaiki mutu pelayanan terkait
keselamatan pasien, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan menerapkan budaya
keselamatan pasien. Hal pertama yang harus diperhatikan dalam menerapkan budaya keselamatan
pasien adalah komitmen pemimpin akan keselamatan. Karena, untuk menciptakan budaya
keselamatan pasien yang kuat dan menurunkan KTD, diperlukan pemimpin yang efektif dalam
menanamkan budaya yang jelas, mendukung usaha pegawai, dan tidak bersifat menghukum. Aspek
kepemimpinan yang dimaksud di sini adalah kepemimpinan pada tingkat dasar, seperti kepala
ruangan atau kepala unit. Hal ini dikarenakan keselamatan pasien dipengaruhi oleh kebiasaan
pegawai atau error yang terjadi. Kebiasaan pegawai atau error ini dipengaruhi oleh faktor unit
Upaya peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit akan sangat berarti dan efektif bilamana
keselamatan pasien menjadi budaya kerja sehari-hari dari setiap unsur di rumah sakit termasuk
pimpinan, pelaksana pelayanan dan staf penunjang (Bea, 2013). The Institute of Medicine ( IOM )
menyatakan bahwa tantangan terbesar dalam gerakan perubahan menuju sistem pelayanan kesehatan
yang lebih aman adalah mengubah budaya keselamatan pasien, di mana sebuah kesalahan dianggap
sebagai kesempatan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan mencegah insiden keselamatan pasien (
Sebagai respon terhadap rekomendasi IOM tersebut, organisasi pemberi layanan kesehatan
sejak tahun 2006 mulai berfokus pada budaya keselamatan di unit kerjanya. Langkah pertama adalah
dengan menetapkan status budaya keselamatan di rumah sakit (Sammer, CE dkk. 2010 ). Konsep
budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai produk dari nilai – nilai, sikap, persepsi, kompetensi
dan pola perilaku individu maupun kelompok yang akan mempengaruhi komitmen dan kemampuan
organisasi dalam mengatur manajemen keselamatan. Budaya positif telah dikaitkan dengan
tentang keselamatan pasien rumah sakit. Pedoman tersebut di antaranya berisi tentang enam sasaran
keselamatan pasien yaitu ketepatan identifikasi pasien; peningkatan komunikasi yang efektif;
peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai; kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat
pasien operasi; pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; pengurangan risiko pasien
jatuh. Lebih lanjut ditegaskan pada bab IV pasal 8 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap rumah sakit
keperawatan yang bermutu. Pelayanan kesehatan yang bermutu tidak cukup dinilai dari kelengkapan
teknologi, sarana prasarana yang canggih dan petugas kesehatan yang profesional, namun juga
ditinjau dari proses dan hasil pelayanan yang diberikan (Ilyas, 2004). Rumah sakit harus bisa
memastikan penerima pelayanan kesehatan terbebas dari resiko pada proses pemberian layanan
kesehatan (Cahyono, 2008; Fleming & Wentzel, 2008). Penerapan keselamatan pasien di rumah sakit
dapat mendeteksi resiko yang akan terjadi dan meminimalkan dampaknya terhadap pasien dan
kesalahan dalam pemberian layanan kesehatan. Penerapan budaya keselamatan pasien akan
mendeteksi kesalahan yang akan dan telah terjadi (Fujita et al., 2013; Hamdan & Saleem, 2013).
Budaya keselamatan pasien tersebut akan meningkatkan kesadaran untuk mencegah error dan
melaporkan jika ada kesalahan (Jeffs, Law, & Baker, 2007). Hal ini dapat memperbaiki outcome
yang dihasilkan oleh rumah sakit tersebut. Outcome yang baik dapat tercapai jika terjadi peningkatan
Peningkatan tersebut harus dipantau dan dapat diukur. Oleh karena itu perlu adanya budaya
keselamatan pasien yang baik di lingkungan kerja RSUD Kota Palangka Raya baik itu oleh pimpinan,
1. Tujuan Umum
Melakukan evaluasi program kerja yang telah dilakukan sebagai upaya membangun
2. Tujuan Khusus
BAB II