Anda di halaman 1dari 45

RENCANA PROPOSAL THESIS

PENERAPAN CLIENT SAFETY BERBASIS CARING THEORY

TERHADAP PENINGKATAN KEPUASAN KLIEN DI RUMAH SAKIT

PETROKIMIA GRESIK

Oleh:

NUNING KHUROTUL AF’IDA

NIM. 131614153077

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gresik merupakan kota Industri di Indonesia yang menyerap banyak

tenaga kerja. Kepadatan penduduk asli dan pendatang di kota ini mengindikasikan

perlu adanya pelayanan kesehatan yang tepat. Rumah sakit merupakan sarana

pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat di kota

ini. Dalam hal ini keberadaan Rumah Sakit Petrokimia Gresik (RSPG) memiliki

peranan penting sebagai rumah sakit rujukan utama masyarakat untuk menangani

berbagai kasus kesehatan seperti penyakit tropis, akut, kronis, kecelakaan kerja,

dan lain-lain. Seiring dengan perkembangan jaman dan tuntutan pemenuhan

kesehatan masyarakat maka fungsi rumah sakit pun semakin berkembang dan

kompleks.

Rumah sakit mempunyai peranan penting dalam mewujudkan derajat

kesehatan masyarakat secara optimal. Oleh karena itu rumah sakit dituntut agar

mampu mengelola kegiatannya dengan mengutamakan pada tanggung jawab para

professional di bidang kesehatan, khususnya tenaga medis dan tenaga

keperawatan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Tidak selamanya

layanan medis yang diberikan oleh tenaga kesehatan dapat memberikan hasil

yang sebagaimana diharapkan semua pihak. Tenaga kesehatan yang melakukan

kelalaian dapat disebut melakukan malpraktik. Karena banyaknya kasus

malpraktik, maka harus diterapkan program keselamatan klien (client safety).

Keselamatan menjadi isu global dan terangkum dalam lima isu penting

yang terkait di rumah sakit yaitu: keselamatan klien (client safety),


keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan

di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan klien dan petugas,

keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap

pencemaran lingkungan dan keselamatan ”bisnis” rumah sakit yang terkait

dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Lima aspek keselamatan tersebut

penting untuk dilaksanakan, namun harus diakui kegiatan institusi rumah sakit

dapat berjalan apabila ada klien. Keselamatan klien merupakan prioritas utama

untuk dilaksanakan terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan

(Depkes, 2011). WHO (World Health Organitation) tahun 2014

mengumpulkan angka-angka penelitian rumah sakit di berbagai Negara yaitu

Amerika, Inggris, Denmark dan Australia dan ditemukan KTD (Kejadian

Tidak Diharapkan) dengan rentang 3,2%-16,6%. Penelitian di rumah sakit di

Utah, Colorado, dan New York didapatkan hasil bhawa di Utah dan Colorado

ditemukan kejadian tidak diinginkan (KTD) sebesar 2,9%, dimana 6,6% di

antaranya meninggal. Sedangkan di New York sebesar 3,7% d,engan angka

kematian 13,6%. Data tersebut menjadi pemicu diberbagai negara untuk

melakukan penelitian dan pengembangan sistem keselamatan klien (Depkes,

2011).

Fenomena insiden keselamatan klien di Indonesia masih sering

terjadi hingga tahun 2015, seperti yang telah dimuat pada Kompas harian

tentang sederet insiden keselamatan klien seperti yang terjadi pada klien An.

Marthin (7th) meninggal setelah menerima perawatan luka pasca kecelakaan

di RS Kefamenanu, By Adira (12hr) bengkak dan luka terbuka pada kaki

bekas tindakan injeksi di RS Citama Bogor, Ny Sutiah (43th) mengalami


gatal-gatal dan kedua kaki membengkak serta melepuh pasca operasi Hernia

di RS Kasih Ibu Aceh Utara dan masih banyak lagi insiden keselamatan klien

yang lainnya. Hal ini menggambarkan bahwa budaya keselamatan klien

dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit memerlukan perhatian khusus

dalam pelaksanaannya, meskipun keselamatan kliensudah menjadi harga mati

bagi Rumah Sakit, namun pelaksanaanya belum semaksimal mungkin.

Budaya keselamatan klien sebenarnya sudah banyak disosialisasikan dan

diterapkan di rumah sakit. Namun, hingga saat ini belum ada inovasi landasan

teori keperawatan yang bisa digunakan sebagai acuan untuk mengoptimalkan

penerapan client safety. Watson (1985) meyakini praktek caring sebagai inti

keperawatan, yang menggambarkan dasar dalam kesatuan nilai-nilai kemanusiaan

yang universal ( kebaikan, kepedulian dan cinta terhadap diri sendiri dan orang

lain) caring digambarkan sebagai moral ideal keperawatan. Hal ini meliputi

keinginan untuk merawat, dengan tulus yang meliputi komunikasi, tanggapan

positif, dukungan atau intervensi fisik oleh perawat (Synder, 2011). Caring

sebagai sebuah nilai professional dan personal, inti yang penting dalam

menyediakan standar normative pada tindakan dan sikap perawat dengan klien

(Carper (1979). Caring proses yang memberikan kesempatan pada perawat

maupun klien untuk pertumbuhan pribadi, caring dapat mempengaruhi kehidupan

seseorang dalam cara bermakna dan memicu eksistensi yang lebih memuaskan

Mayehoff (1972, dalam Morisson, 2009).

Memahami kebutuhan dan keinginan klien adalah hal penting yang

mempengaruhi kepuasan klien. Klien yang puas merupakan aset yang sangat

berharga karena apabila klien merasa puas mereka akan terus melakukan
pemakaian terhadap jasa pilihannya, tetapi jika klien merasa tidak puas mereka

akan memberitahukan dua kali lebih hebat kepada orang lain tentang pengalaman

buruknya. Untuk menciptakan kepuasan klien, rumah sakit harus menciptakan dan

mengelola suatu sistem untuk memperoleh klien yang lebih banyak dan

kemampuan untuk mempertahankan kliennya. Ketepatan pengelolaan sistem

client safety di rumah sakit dapat meningkatkan kepuasan klien terhadap

pelayanan kesehatan.

Berdasarkan fenomena tersebut maka sangat diperlukan penelitian yang

bertujuan untuk mengidentifikasi penerapan perilaku client safety berbasis caring

theory terhadap peningkatan kepuasan klien di RSPG. Hasil penelitian ini akan

sangat membantu perbaikan dan pengembangan sistem kesehatan sehingga dapat

meningkatkan kepuasan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana penerapan client safety berbasis caring theory terhadap

peningkatan kepuasan klien di RSPG?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menerapkan

client safety berbasis caring theory terhadap peningkatan kepuasan klien di

RSPG.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui bagaimanakah budaya keselamatan klien di RSPG

b. Untuk mengetahui apakah hambatan dalam melaksanakan budaya

keselamatan klien di RSPG.


c. Untuk mengetahui gap dan kesenjangan data pelaporan insiden

keselamatan klien.

d. Untuk mengetahui tingkat kepuasan klien di RSPG

e. Untuk menerapkan budaya client safety berbasis caring theory

f. Rekomendasi apa yang tepat dalam pelaksanakan budaya keselamatan

klien di RSPG.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

a) Bagi peneliti

Dapat mengetahui sejauh mana pelaksanaan dan hambatan budaya

keselamatan klien serta mengembangkan inovasi terbaru untuk penerapan client

safety berbasis caring theory dalam meningkatkan kepuasan klien di RSPG.

b) Bagi Rumah sakit

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada seluruh staf

dan manajeman rumah sakit mengenai budaya keselamatan klien berupa

rekomendasi-rekomendasi agar dapat meningkatan kepuasan klien sehingga dapat

mengoptimalkan kualitas pelayanan kesehatan yang berfokus pada keselamatan

klien.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengembangan

ilmu pengetahuan khususnya untuk ruang lingkup manajerial rumah sakit

mengenai budaya keselamatan klien berbasis caring theory dan tingkat kepuasan

klien
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan Klien (Client Safety)

2.1.1 Pengertian Keselamatan Klien

The Institute of Medicine (IOM) mendefinisikan keselamatan klien

sebagai freedom from accidental injury. Senada dengan yang disebutkan

dalam DepKes (2006) keselamatan klien (Client Safety) adalah

keselamatan klien dan ini merupakan pencegahan dan perbaikan dari

kejadian yang tidak diharapkan atau mengatasi cedera dari proses

pelayanan kesehatan. Keselamatan klien rumah sakit adalah sistem dimana

rumah sakit membuat asuhan pelayanan kesehatan klien lebih aman dan

diharapakan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh

kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan

tindakan yang seharusnya dilakukan. Sistem yang dimaksud meliputi;

penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan

dengan resiko klien, pelaporan dan analisis insiden dan tindak lanjutnya

serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang keselamatan klien dirumah

sakit, disebutkan bahwa keselamatan klien di rumah sakit adalah suatu

sistem dimana rumah sakit membuat asuhan klien lebih aman yang

meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang

berhubungan dengan risiko klien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi


solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah trejadinya

cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatau

tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Sir

Liam Donaldson sebagai ketua WHO World Alliance For Client Safety,

Forward Programme, 2006-2007 mengungkapkan juga bahwa “Safe care

is not an option. Its is the right of every client who entrusts their care to

our heatlh care system” yaitu pelayanan kesehatan yang aman bagi klien

bukan sebuah pilihan melainkan merupakan sebuah hak klien untuk

percaya pada pelayanan yang diberikan oleh suatu sistem pelayanan

kesehatan.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan secara garis

besarnya bahwa keselamatan klien (client safety) adalah suatu sistem

rumah sakit yang membuat asuhan pelayanan kesehatan klien secara aman

dengan pencegahan cidera terhadap klien.

2.1.2 Tujuan Keselamatan Klien

Tujuan keselamatan klien telah ditentukan secara internasional

maupun nasional, dimana tujuan yang ditentukan secara internasional oleh

Joint Commission International (JCI) (2007) yaitu sebagai berikut:

a. Identify client correctly (mengidentifikasi klien secara benar)

b. Improve effective communication (meningkatkan komunikasi yang

efektif)

c. Improve the safety of high-alert medications (meningkatkan keamanan

dari pengobatan resiko tinggi)


d. Eliminate wrong-site, wrong-client, wrong procedure surgery

(mengeliminasi kesalahan penempatan, keselahan pengenalan klien,

kesalahan prosedur operasi)

e. Reduce the risk of health care-associated infections (mengurangi risiko

infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan)

f. Reduce the risk of client harm from falls (mengurangi risiko klien

terluka karena jatuh)

Sedangkan tujuan keselamatan klien menurut Departemen Kesehatan

RI (2009), tujuan keselamatan klien adalah sebagai berikut:

a. Tercapainya budaya keselamatan klien di rumah sakit

b. Meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap klien dan masyarakat

c. Menurunkan kejadian tidak diharapkan dirumah sakit

d. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi

pengulangan kejadian tidak diharapkan

2.1.3. Standar Keselamatan Klien Rumah Sakit

Menurut Gerties dalam Rebbeca (2007) client-center care terdiri dari 7 upaya

keselamatan klien:

a. Peduli terhadap niali-nilai klien, pencegahan dan pengendalian

kebutuhannya

b. Melakukan koordinasi dan integrasi perawatan

c. Pendidikan, Komunikasi dan informasi

d. Kenyamanan fisik

e. Dukungan emosi

f. Membuat klien sebagai keluarga atau teman


g. Transition and Continuity (keberlanjutan)

Standar keselamatan klien rumah sakit yang disusun ini mengacu

pada “Hospital Client Safety Standards” yang dikelurkan oleh Joint

Commission on Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA pada

tahun 2002 yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumah sakitan

di Indonesia. Standar keselamatan klien tersebut terdiri dari tujuh standar

yaitu:

1. Hak klien

Klien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan

informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan

terjadinya insiden.

2. Mendidik klien dan keluarga

Rumah sakit harus mendidik klien dan keluarganya

tentangkewajiban dan tanggung jawab klien dalam asuhan klien.

3. Keselamatan klien dan kesinambungan pelayanan

Rumah sakit menjamin keselamatan klien dalam kesinambungan

pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit

pelayanan.

4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan

evaluasi dan program peningkatan keselamatan klien

Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki

proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui

pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan


melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan

klien.

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan klien

a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program

keselamatan klien secara terintegrasi dalam organisasi melalui

penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Klien Rumah Sakit”.

b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk

identifikasi risiko keselamatan klien dan program menekan atau

mengurangi insiden.

c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi

antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan

tentang keselamatan klien.

d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk

mengukur, mengkaji dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta

meningkatkan keselamatan klien.

e. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam

meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan klien.

6. Mendidik staf tentang keselamatan klien

a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi

untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan

klien secara jelas.

b. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang

berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf

serta mendukung pendekatan interdisipliner dalam pelyanan klien.


7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan

klien.

a. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen

informasi keselamatan klien untuk memenuhi kebutuhaninformasi

internal dan eksternal.

b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

Standar sasaran keselamatan klien juga telah disusun oleh KARS 2012

sebagai berikut:

a. Sasaran I : Ketepatan identifikasi klien

b. Sasaran II : Peningkatan komunikasi yang efektif

c. Sasaran III : Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (highalert)

d. Sasaran IV : Kepastian tepat-lokasi tepat-prosedur tepat-klien operasi

e. Sasaran V : Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

f. Sasaran VI : Pengurangan risiko klien jatuh

2.1.4 Bentuk Insiden Keselamatan Klien

Proses pelayanan kesehatan sangat berpotensi menimbulkan

insiden keselamatan klien. Istilah insiden keselamatan klien itu sendiri

adalah suatu bentuk kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang

mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah

pada klien, yang terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian

Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Tidak Cedera (KTC) dan Kejadian

Potensial Cedera (KPC). Komisi 29 Keselamatan Klien Rumah Sakit


(KKP – RS) tahun 2005 mengungkapkan bahwa bentuk Insiden

keselamatan klien sebagai berikut:

a. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) atau Adverse Event merupakan suatu

insiden yang mengakibatkan cedera/harm pada klien akibat

melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya diambil dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi

klien. Cedera dapat diakibatkan oleh kesalahan medis yang tidak dapat

dicegah.

b. Kejadian Nyaris Cedera (KNC)/Near Miss adalah suatu insiden yang

tidak menyebabkan cedera pada klien akibat melaksanakan suatu

tindakan, atau tidak mengambil suatu tindakan yang seharusnya

diambil.

c. Kondisi potensial Cedera (KPC) adalah kondisi yang sangat berpotensi

untuk menimbulkan cedera meskipun belum terjadi insiden.

d. Sentinel dari suatu KTD yang mengakibatkan cedera atau cacat yang

berta (irreversible) bahkan kematian.

Semua insiden ini adalah tanggung jawab dari rumah sakit khususnya

petugas kesehatan dalam melakuakan proses pemberian pelayanan kesehatan,

karena jika terjadi kelalaian akan mengakaibatkan dampak negative bagi klien.

Dampak tersebut dapat berupa cedera ringan, cacat fisik, cacat permanen bahkan

sampai kematian. Untuk dapat menghindarkan dan mencegah kerugian bagi

semua pihak maka rumah sakit hendaknya memperhatikan dan membuat prosedur

untuk menghindari beberapa elemen 30 keselamatan klien yang berpotensi terjadi


di dalam pemberian asuhan pelayanan kesehatan klien di rumah sakit. Elemen

keselamatan klien tersebut menurut Agency for Healthcare Research and Quality

(AHRQ) (2003) adalah:

a. Adverse drug events (ADE)/medication errors (ME) (ketidakcocokan

obat/kesalahan pengobatan)

b. Restrain use (penggunaan restrain/pengaman klien)

c. Nosocomial use (infeksi nosokomial)

d. Surgical mishaps (kecelakaan operasi)

e. Pressureulcers (luka tekan)

f. Blood product safety/administrasi (keamanan produk darah/adminnistrasi)

g. Antimicrobial resistence (resistensi antimikroba)

h. Immunization program (program imunisasi)

i. Falls (terjatuh)

j. Blood stream – vascular catheter care (aliran darah – perawatan kateter

pembuluh darah)

k. Systematic revie, follow-up and reporting of client/visistor incident reports

(tinjauan sistematis, tindakan lanjutan dan pelaporan klien/pengunjung

laporan kejadian)

2.1.5 Sistem Pelaporan Insiden Keselamatan Klien

Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) dan Kejadian Nyaris Cedera

(KNC) sangat rentan terjadi di Rumah sakit. Pada tahun 2005 WHO menyebutkan

kemungkinan kecelakaan yang terjadi di Rumah sakit adalah 1:3000, lebih besar

dibandingkan dengan kemungkinan kecelakaan di penerbangan sebesar 1 :

3.000.000. Hal ini menunjukkan bhawa kemungkinan kecelakaan di Rumah sakit


lebih besar dibandingkan dengan kemungkkinan kecelakaan akibat penerbangan.

Oleh karena itu untuk mengevaluasi keberhasilan dari prosedur pengendalian

insiden keselamatan klien membutuhkan sebuah metode untuk mengidentifikasi

risiko, yaitu salah satu caranya dengan mengembangkan sistem pelaporan dan

sistem analisis. Sistem pelaporan ini dipastikan akan mengajak semua orang

dalam organisasi kesehatan untuk memonitor upaya pencegahan terjadinya error

sehingga diharapkan dapat mendorong dilakukannya investigasi selanjutnya

(KKP-RS, 2008).

Komite Nasional Keselamatan Klien Rumah Sakit akan menganalisis

semua insiden keselamatan klien yang telah dilaporkan oleh pihak Rumah sakit

setelah mendapatkan rekomendasi dan solusi dari Tim Keselamatan Klien Rumah

Sakit (TKP-RS). Sistem pelaporan ini akan mendokumentasikan laporan insiden

keselamatan klien, menganalisis dan mencari solusi untuk dijadikan pembelajaran,

sistem pelaporannya pun bersifat rahasia, dijamin keamanannya, dibuat ananonim

dan tidak mudah diakses oleh yang tidak berhak. Pelaporan insiden keselamatan

klien mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut:

a. Tujuan Umum

Pelaporan insiden keselamatan klien bertujuan untuk Menurunkan

angka Insiden Keselamatan Klien (KTD dan KTD) dan meningkatkan

mutu pelayanan dan keselamatan klien.

b. Tujuan Khusus

1) Rumah sakit (Internal)

Terlaksananya sistem pelaporan dan pencatatan insiden keselamatan

klien di Rumah sakit


Diketahui penyebab insiden keselamatan klien sampai pada akar

masalah

Didapatkannya pembelajaran untuk perbaikan asuhan kepada klien

agar dapat mencegah kejadian yang sama dikemudian hari

2) KKP-RS (Eksternal)

Diperolehnya data/peta nasional angka insiden keselamatan klien

(KTD dan KNC)

Diperolehnya pembelajaran untuk meningkatkan mutu pelayanan dan

keselamatan klien bagi Rumah sakit lain

Ditetapkannya langkah-langkah praktis keselamatan klien untuk

Rumah sakit di Indonesia

Pada proses sistem pelaporan insiden keselamatan klien memiliki alur

yang sistematis antara lain:

1) Setiap insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKP-RS dalam waktu

paling lambat 2x24 jam sesuai format laporan

2) TKP-RS melakukan analisis dan memberikan rekomendasi serta solusi atas

insiden yang dilaporkan

3) TKP-RS melaporkan hasil kegiatannya kepada kepala rumah sakit

4) Rumah sakit harus melaporkan insiden, analisis, rekomendasi dan solusi

Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) secara tertulis kepada Komite Nasional

Keselamatan Klien Rumah Sakit sesuai format laporan insiden

5) Komite Nasional Keselamatan Klien Rumah Sakit melakukan pengkajian dan

memberikan umpan balik (feedback) dan solusi atas laporan insiden tersebut

secara nasional (KKP-RS, 2008).


2.2 Caring Theory

2.2.1 Konsep Caring

Caring merupakan fenomena universal yang berkaitan dengan cara

seseorang berpikir, berperasaan dan bersikap ketika berhubungan dengan

orang lain. Caring dalam keperawatan dipelajari dari berbagai macam

filosofi dan perspektif etik (Dwiyanti, 2010). Caring merupakan jantung

dari keperawatan, caring sangat penting bagi semua orang dimana berfokus

untuk pengembangan dan kesejahteraan antara lain ditunjukkan dengan

aplikasi yang terarah dari pikiran, tubuh dan jiwa menuju hasil maksimal

yang positif dalam diri seseorang yang di rawat. Caring cukup luas tidak

terbatas pada kasih sayang, perhatian, kehadiran, perlindungan,

kesejahteraan, memberikan sentuhan dan membina kedekatan dengan klien.

Caring dalam keperawatan untuk membantu klien dalam memenuhi

kebutuhannya sendiri jika klien mampu atau memiliki kekuatan, kemauan

dan pengetahuan sehingga klien dapat melakukan aktivitas sendiri dengan

sesegera mungkin dalam pemenuhan kebutuhannya (Creasia & Parker,

2001).

Watson (1985) meyakini praktek caring sebagai inti keperawatan,

yang menggambarkan dasar dalam kesatuan nilai-nilai kemanusiaan yang

universal ( kebaikan, kepedulian dan cinta terhadap diri sendiri dan orang

lain) caring digambarkan sebagai moral ideal keperawatan. Hal ini meliputi

keinginan untuk merawat, dengan tulus yang meliputi komunikasi,

tanggapan positif, dukungan atau intervensi fisik oleh perawat (Synder,

2011).
Caring sebagai tindakan di sengaja membawa rasa aman baik fisik

dan emosi serta keterikatan yang tulus dengan orang lain atau sekelompok

orang. Caring memperjelas sisi kemanusiaan pemberi asuhan maupun

penerima asuhan Miller (1995, dalam Synder, 2011). Caring sebagai

sebuah nilai professional dan personal, inti yang penting dalam

menyediakan standar normative pada tindakan dan sikap perawat dengan

klien (Carper (1979). Caring proses yang memberikan kesempatan pada

perawat maupun klien untuk pertumbuhan pribadi, caring dapat

mempengaruhi kehidupan seseorang dalam cara bermakna dan memicu

eksistensi yang lebih memuaskan Mayehoff (1972, dalam Morisson, 2009).

Caring di pandang sebagai proses yang berorientasi pada tujuan

membantu orang lain bertumbuh dan mengaktualisasikan diri. Mayehoff

juga memperkenalkan sifat-sifat caring seperti sabar, jujur, rendah hati.

Sedangkan Sobel (1989) mendefinisikan caring sebagai suatu rasa peduli,

hormat dan menghargai orang lain. Artinya memberi perhatian dan

mempelajari kesukaan-kesukaan seseorang dan bagaimana seseorang

berpikir, bertindak dan berperasaan. Caring sebagai suatu moral imperative

(bentuk moral) sehingga perawat harus terdiri dari orang-orang yang

bermoral baik dan memiliki kepedulian terhadap kesehatan klien, yang

mempertahankan martabat dan menghargai klien, bukan melakukan

tindakan amoral pada saat melakukan tugas perawatan. Caring juga

digambarkan sebagai suatu emosi, perasaan belas kasih atau empati terhadap

klien yang mendorong perawat untuk memberikan asuhan keperawatan bagi

klien.
Dengan demikian perasaan tersebut harus ada dalam diri setiap

perawat supaya mereka bisa merawat klien Mayehoff (1988, dalam

Dwiyanti, 2010). Watson (1979) dan Leininger (1984) menempatkan asuhan

sebagai jantung dari seni dan ilmu keperawatan. Keperawatan sebagai

hubungan antar-manusia yang di sentuh dengan rasa kemanusiaan dari

orang lain. Dalam menampilkan asuhan sebagai inti dari modelnya,

menambahkan faktor caratif dengan tujuh asumsi utama berikut ini:

1. Caring hanya akan efektif bila diperlihatkan dan dipraktekkan secara

interpersonal.

2. Caring terdiri dari faktor caratif yang berasal dari kepuasan dalam

membantu memenuhi kebutuhan manusia atau klien.

3. Caring yang efektif dapat meningkatkan kesehatan individu dan

keluarga.

4. Caring merupakan respon yang diterima oleh seseorang tidak hanya saat

itu saja namun juga mempengaruhi akan seperti apakah seseorang

tersebut nantinya. Lingkungan yang penuh caring sangat potensial untuk

mendukung perkembangan seseorang dan mempengaruhi seseorang

dalam memilih tindakan yang terbaik untuk dirinya sendiri.

5. Caring lebih kompleks daripada curing, praktik caring memadukan

antara pengetahuan biofisik dengan pengetahuan mengenai perilaku

manusia yang berguna dalam peningkatan derajat kesehatan dan

membantu klien yang sakit.

6. Caring merupakan inti dari keperawatan (Watson, 1979, 1989, dalam

Slevin & Basford, 2006).


2.2.2 Konsep Keperawatan Jean Watson

Jean Watson dalam memahami konsep keperawatan terkenal

dengan teori pengetahuan manusia dan merawat manusia. Tolak ukur

pandangan Watson didasari pada unsur teori kemanusiaan. Pandangan teori

Watson memahami manusia memiliki empat cabang kebutuhan manusia

yang saling berhubungan diantaranya kebutuhan dasar biofisikal (kebutuhan

untuk hidup) berupa kebutuhan makanan dan cairan, kebutuhan eliminasi

dan kebutuhan ventilasi, kebutuhan psikofisikal (kebutuhan fungsional)

yang meliputi kebutuhan aktifitas dan istirahat, kebutuhan seksual,

kebutuhan psikososial (kebutuhan untuk integrasi) yang meliputi kebutuhan

untuk berprestasi, kebutuhan organisasi, dan kebutuhan intra dan

interpersonal (kebutuhan untuk pengembangan) yaitu kebutuhan aktualisasi

diri (Hidayat, 2007).

Berdasarkan empat kebutuhan tersebut, manusia adalah makhluk

yang sempurna yang memiliki berbagai macam ragam perbedaan, sehingga

dalam upaya mencapai kesehatan, manusia seharusnya dalam keadaan

sejahtera baik fisik, mental dan spiritual karena sejahtera merupakan

keharmonisan antara pikiran, badan dan jiwa sehingga untuk mencapai

keadaan tersebut keperawatan harus berperan dan meningkatkan status

kesehatan, mencegah terjadinya penyakit, mengobati berbagai penyakit dan

penyembuhan kesehatan dan fokusnya pada peningkatan kesehatan dan

pencegahan penyakit (Hidayat, 2007). Model Watson di bentuk melingkupi

proses asuhan keperawatan, pemberi bantuan bagi klien dalam mencapai

atau mempertahankan kesehatan atau mencapai kematian yang damai.


Intervensi keperawatan berkaitan dengan proses perawatan manusia

membutuhkan perawat yang memahami prilaku dan respon manusia

terhadap masalah yang aktual maupun potensial, kebutuhan manusia dan

bagaimana berespon dengan orang lain dan memahami kelebihan dan

kekurangan klien dan keluarganya, sekaligus pemahaman pada dirinya

sendiri. Selain itu perawat juga memberikan kenyamanan, perhatian dan

empati pada klien dan kelurganya. Asuhan keperawatan tergambar pada

seluruh faktor-faktor yang digunakan dalam memberikan pelayanan pada

klien. Aplikasi teori Watson membuat perubahan secara sadar dengan tujuan

untuk meningkatkan interaksi dengan klien, interaksi caring-healing,

menginspirasi klien untuk sembuh secara fisik, emosi dan spiritual,

menggabungkan pengetahuan ilmiah dan filosofis, perlu banyak human care

dalam masyarakat dan pelayanan kesehatan serta memilih untuk hidup

sebagai makhluk yang caring dan penuh kasih sayang untuk meningkatkan

asuhan keperawatan Watson (1987, dikutip dari Potter & Perry, 2005 ).

Jean Watson dalam memahami konsep keperawatan terkenal

dengan “Theory of Human Caring” (Watson), mempertegas jenis hubungan

dan transaksi yang diperlukan antara pemberi dan penerima asuhan untuk

meningkatkan dan melindungi klien sebagai manusia yang mempengaruhi

kesanggupan klien untuk sembuh (Sartika, 2011). Sedangkan teori

keperawatan yang dikembangkan oleh Faye Abdellah et all (1960) meliputi

pemberian asuhan keperawatan bagi seluruh manusia untuk memenuhi

kebutuhan fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual baik klien maupun

keluarga. Dalam memberikan asuhan keperawatan perawat harus memiliki


pengetahuan dan ketrampilan dalam hubungan interpersonal, psikologi,

pertumbuhan dan perkembangan manusia, komunikasi, dan sosiologi serta

pengetahuan tentang ilmu-ilmu dasar dan keterampilan keperawatan

tertentu. Perawat adalah pemberi jalan dalam menyelesaikan masalah dan

pembuat keputusan serta merumuskan gambaran tentang kebutuhan klien

secara individual. (Potter & Perry, 2005).

2.2.3 Faktor-faktor Pembentuk Caring

Watson juga menekankan dalam sikap caring ini harus tercermin

sepuluh faktor caratif yang berasal dari perpaduan nilai-nilai humanistik

dengan ilmu pengetahuan dasar dalam memberikan asuhan. Oleh karena itu,

perawat perlu mengembangkan filosofi humanistik dan nilai serta seni yang

kuat, faktor caratif membantu perawat untuk menghargai manusia dari

dimensi pekerjaan perawat, kehidupan, dan dari pengalaman nyata

berinteraksi dengan orang lain sehingga tercapai kepuasan dalam melayani

dan membantu klien. Dasar dalam praktek keperawatan menurut Watson

(1979, dalam Asmadi, 2008). Dibangun dari Sepuluh faktor caratif tersebut

adalah sebagai berikut :

1. Pembentukan faktor nilai humanistik dan altruistik.

Watson mengemukakan bahwa asuhan keperawatan didasarkan

pada nilai-nilai kemanusiaan (humanistik) dan prilaku mementingkan

kepentingan orang lain diatas kepentingan sendiri (altruistik). Hal ini

dapat dikembangkan melalui pemahaman nilai yang ada pada diri

seseorang, keyakinan, interaksi dan kultur serta pengalaman pribadi. Hal


ini perlu untuk mematangkan pribadi perawat agar dapat bersikap

altruistik terhadap orang lain.

2. Menanamkan keyakinan dan harapan (faith-hope).

Faktor ini menjelaskan tentang peran perawat dalam

mengembangkan hubungan timbal balik perawat-klien yang efektif dan

meningkatkan kesejahteraan dengan membantu klien mengadopsi prilaku

hidup sehat. Perawat mendorong penerimaan klien terhadap pengobatan

yang dilakukan kepadanya dan membantunya memahami alternatif terapi

yang diberikan, memberikan keyakinan akan adanya kekuatan

penyembuhan atau kekuatan spiritual dan penuh pengharapan. Dengan

mengembangkan hubungan perawat-klien yang efektif, perawat

memfasilitasi perasaan optimis, harapan dan rasa percaya.

3. Menanamkan sensitifitas terhadap diri sendiri dan orang lain.

Seorang perawat dituntut untuk mampu meningkatkan

sensitifitas terhadap diri pribadi dan orang lain, dengan memiliki

sensitifitas/kepekaan terhadap diri sendiri, maka perawat menjadi lebih apa

adanya dan lebih lebih sensitif kepada orang lain dan menjadi lebih tulus

dalam memberikan bantuan kepada orang lain. Perawat juga perlu

memahami bahwa pikiran dan emosi seseorang merupakan jendela

jiwanya.

4. Membina hubungan saling percaya dan saling membantu (helping-trust).

Pengembangan hubungan saling percaya antara perawat dan

klien adalah sangat krusial bagi transportal caring. Hubungan saling

percaya akan meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan


negative. Pengembangan hubungan saling percaya menerapkan bentuk

komunikasi untuk menjalin hubungan dalam keperawatan. Ciri hubungan

helping-trust adalah harmonis haruslah hubungan yang dilakukan secara

jujur dan terbuka, tidak dibuat-buat. Perawat menunjukkan sikap empati

dengan berusaha merasakan apa yang dirasakan oleh klien dan sikap

hangat dengan menerima orang lain secara positif.

5. Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif

Perasaan mempengaruhi pikiran seseorang hal ini perlu menjadi

pertimbangan dalam memelihara hubungan. Oleh sebab itu, perawat harus

menerima perasaan orang lain serta memahami prilaku mereka dan juga

perawat mendengarkan segala keluhan klien.

6. Menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam

pengambilan keputusan.

Perawat menerapkan proses keperawatan secara sistematis,

praktek yang efektif adalah memecahkan masalah secara ilmiah dalam

menyelenggarakan pelayanan berfokus klien. Proses keperawatan seperti

halnya proses penelitian yaitu sistematis dan terstruktur, metode

pemecahan masalah ilmiah merupakan metode yang memberi control dan

prediksi serta memungkinkan koreksi diri sendiri.

7. Meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal.

Faktor ini merupakan konsep yang penting dalam keperawatan

untuk membedakan caring dan curing. Bagaimana perawat menciptakan

situasi yang nyaman dalam memberikan pendidikan kesehatan. Perawat

memberi informasi kepada klien, perawat menfasilitasi proses ini dengan


memberikan pendidikan kesehatan yang didesain supaya dapat

memampukan klien memenuhi kebutuhan pribadinya dan alternatif

pengobatan lain, dalam hal ini, perawat harus mampu memahami persepsi

klien dan meredakan situasi yang menegangkan agar proses belajar-

mengajar ini berjalan lebih efektif.

8. Menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi,memperbaiki

mental, sosiokultural dan spiritual.

Perawat harus menyadari bahwa lingkungan internal dan

eksternal berpengaruh terhadap kesehatan dan kondisi penyakit klien.

Konsep yang relevan dengan lingkungan internal meliputi kepercayaan,

sosial budaya, mental dan spiritual klien. Lingkungan eksternal meliputi

kenyamanan, privasi, keamanan, kebersihan, dan lingkungan yang estetik.

Melalui pengkajian perawat dapat menentukan penilaian seseorang

terhadap situasi dan dapat mengatasinya. Perawat dapat memberikan

dukungan situasional, membantu individu mengembangkan persepsi yang

lebih akurat dan memberikan informasi sehingga klien dapat mengatasi

masalahnya.

9. Membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia.

Dalam membantu memenuhi kebutuhan dasar klien, perawat harus

melakukan dengan gembira. Hirarki kebutuhan dasar Watson hampir sama

dengan Maslow, yakni kebutuhan untuk bertahan hidup, fungsional,

integrasi, untuk tumbuh dan mencari bantuan ketika individu kesulitan

memenuhi kebutuhan dasarnya.

10. Mengembangkan faktor kekuatan eksistensial-fenomologis.


Membantu seseorang untuk mengerti kehidupan dan kematian,

keduanya dapat membantu seseorang untuk menemukan kekuatan atau

keberanian untuk menghadapi kehidupan dan kematian.

Kesepuluh faktor curatif diatas perlu selalu dilakukan oleh

perawat agar semua aspek dalam diri klien dapat ditangani dengan baik

sehingga asuhan keperawatan profesional dan bermutu dapat diwujudkan,

melalui penerapan faktor curatif ini diharapkan perawat juga dapat belajar

untuk dapat lebih memahami diri sendiri sebelum memahami orang lain.

(Nurrahmah, 2016)

2.2.4 Aplikasi Perilaku Caring Keperawatan

Lynda Hall mengemukakan sebagai seorang perawat, kemampuan

care, core, dan cure harus dipadukan secara seimbang sehingga

menghasilkan asuhan keperawatan yang optimal untuk klien. Lyda Hall

mengemukakan perpaduan tiga aspek tersebut dalam teorinya. Core

merupakan dasar ilmu sosial yang terdiri dari kemampuan terapeutik dan

kemampuan bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain. Sedangkan cure

merupakan dasar dari ilmu patologi dan terapeutik. Dalam memberikan

asuhan keperawatan secara total kepada klien, maka ketiga unsur harus

dipadukan (Julia 1995 dalam Sartika 2011). Care merupakan komponen

penting yang berasal dari naluri seorang ibu. Care mendasari kejujuran,

autonomi, dan keadilan serta etik dan moral yang penting bagi keperawatan.

(Basford & Slevin, 2010)

Dalam melakukan askep yang harus dilakukan mencakup: sikap

caring, hubungan perawat klien yang terapeutik, kolaborasi dengan anggota


tim kesehatan lain, kemampuan dalam memenuhi kebutuhan klien, kegiatan

jaminan mutu pelayanan. Aplikasi caring perawat seperti memperkenalkan

diri serta membuat kontrak hubungan, memanggil klien dengan namanya,

menggunakan sentuhan, mengkaji lebih lanjut keinginan klien,

menyakinkan klien bahwa perawat akan membantu klien dalam

memberikan askep, memenuhi kebutuhan dasar klien dengan ikhlas,

menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan (inform Consent),

mendengarkan dengan penuh perhatian, bersikap jujur, bersikap empati,

dapat mengendalikan perasaan, selalu mendahulukan kepentingan klien,

tidak menerima uang dari klien, memberi waktu dan perhatian, bekerja

dengan trampil, dan cermat berdasarkan ilmu, kompeten dalam melakukan

tindakan keperawatan, berespon dengan cepat dan tanggap, mengidentifikasi

secara dini perubahan status kesehatan klien, serta memberikan rasa aman

dan nyaman. (Kozier, 2007)

2.2.5 Menumbuhkan Perilaku Caring Perawat

Setiap perawat harus memahami caring, tulus dan berusaha

memahami apa yang dirasakan klien berbeda-beda sehingga perawat dapat

memberikan asuhan keperawatan bermutu yang diberikan perawat dapat

dicapai apabila perawat dapat memperlihatkan sikap caring kepada klien

berupa memberikan kenyamanan, kasih sayang, kepedulian, empati,

memfasilitasi, minat, keterlibatan, tindakan konsultasi kesehatan, tindakan

instruksi kesehatan, tindakan pemeliharaan kesehatan, perilaku menolong,

cinta, kehadiran, perilaku protektif, berbagi, perilaku stimulasi, penurunan


stress, bantuan, dukungan, surveilands, kelembutan, sentuhan dan

kepercayaan Leininger (1988 dalam Creasia & Parker, 2001)

2.2.6 Pentingnya Aplikasi Caring

Bersikap “caring” sebagai media pemberi asuhan perawatan

merupakan "caring for"(merawat) dan "caring about"(peduli) pada orang

lain. "Caring for"adalah kegiatan-kegiatan dalam memberikan asuhan

keperawatan seperti mengatur pemberian obat, prosedur-prosedur

keperawatan, membantu memenuhi kebutuhan dasar klien seperti

membantu dalam pemberian makanan. "Caring about" berkaitan dengan

kegiatan-kegiatan sharing atau membagi pengalaman-pengalaman

seseorang dan keberadaannya.

Perawat perlu menampilkan sikap empati, jujur dan tulus dalam

melakukan caring about. Kegiatan perawat harus ekspresif dan merupakan

cerminan aktivitas yang menciptakan hubungan dengan klien. Sifat-sifat

aktivitas ini menimbulkan keterlibatan hubungan saling percaya (Kozier,

2007).

Caring mempuyai manfaat yang begitu besar dalam keperawatan

dan seharusnya tercermin dalam setiap interaksi perawat dengan klien,

bukan dianggap sebagai sesuatu yang sulit diwujudkan dengan alasan

beban kerja yang tinggi, atau pengaturan manajemen asuhan keperawatan

ruangan yang kurang baik. Pelaksanaan caring akan meningkatkan mutu

asuhan keperawatan, memperbaiki image perawat di masyarakat dan

membuat profesi keperawatan memiliki tempat khusus di mata para

pengguna jasa pelayanan kesehatan (Sartika, 2011).


2.2.7 Pengukuran Perilaku Caring

Pengukuran prilaku caring dengan mengacu pada pengembangan

dari caratif faktor (Watson, 1979) yang mencakup pembentukan nilai

humanistik dan altruistik, menanamkan sikap penuh harapan, menanamkan

sensitifitas terhadap diri sendiri dan orang lain, hubungan saling percaya dan

saling membantu, meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif

dan negatif, menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis

dalam pengambilan keputusan, meningkatkan proses belajar mengajar

interpersonal, menyediakan lingkungan yang mendukung,

melindungi,memperbaiki mental, sosiokultural dan spiritual, membantu

dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan mengembangkan faktor

kekuatan eksistensial-fenomologis (Asmadi, 2008).

Valentine (1997) menyatakan bahwa perilaku caring perawat

adalah bagian dari praktik keperawatan professional yang holistik. Di dalam

penelitiannya ia mengemukakan bahwa pilihan klien dalam mencari pusat

pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh pengalaman positif terhadap perilaku

caring perawat (Valentine, 1997, dalam Wolf, Miller, & Devine, 2003).

Felgen (2003) juga menyatakan bahwa klien mengharapkan perawat

memiliki perilaku caring dalam memberikan pelayanan kesehatan.

2.3 Kepuasan Klien

2.3.1. Definisi Kepuasan

Kepuasan adalah bentuk perasaan seseorang setelah mendapatkan

pengalaman tehadap kinerja pelayanan yang telah memenuhi harapan


(Gerson, 2004). Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa yang

muncul setelah membandingkan antara persepsi terhadap kinerja atau hasil

suatu produk atau jasa dan harapan-harapan (Kotler,2007).

Berdasarkan pada beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan

bahwa yang dimaksud dengan kepuasan adalah perasaan seseorang terhadap

hasil yang diterima serta memenuhi harapan dan keinginannya.

2.3.2 Kepuasan klien

Berbagai persepsi klien yang berhubungan dengan tingkat

kepuasan klien. Berdasarkan pendapat Wexley dan Yukl (1977) yang

mengutip definisi kepuasan dari porter, dapat disimpulkan bahwa

kepuasan adalah selisih dari banyaknya sesuatu yang ”seharusnya ada”

dengan banyaknya “apa yang ada”. Wexley dan Yukl, lebih menegaskan

bahwa seseorang akan terpuaskan jika tidak ada selisih antara sesuatu atau

kondisi yang diinginkan dengan kondisi aktual. Semakin besar kekurangan

dan semakin banyak hal penting yang diinginkan, semakin besar rasa

ketidakpuasan. Secara teoritis, definisi di atas dapatlah diartikan, bahwa

semakin tinggi selisih antara kebutuhan pelayanan kesehatan yang

bermutu sesuai keinginan klien dengan pelayanan yang telah diterimanya,

maka akan terjadi rasa ketidakpusan klien.

Asumsi teoritis di atas selaras pendapat Gibson (1987), yang dapat

disimpulkan bahwa kepuasan seseorang (pekerja, klien atau pelanggan)

berarti terpenuhinya kebutuhan yang diinginkan yang diperoleh dari

pengalaman melakukan sesuatu, pekerjaan, atau memperoleh perlakuan

tertentu dan memperoleh sesuatu sesuai kebutuhan yang diinginkan. Istilah


kepuasan dipakai untuk menganalisis atau mengevaluasi hasil,

membandingkan kebutuhan yang diinginkan yang ditetapkan individu

dengan kebutuhan yang telah diperolehnya.

Kepuasan klien sangat berkaitan dengan kesembuhan klien dari

sakit atau luka.Penilaian klien terhadap mutu atau pelayanan yang baik,

merupakan pengukuran penting yang mendasar bagi mutu pelayanan itu

sendiri .informasiyang diberikan dari penilaian klien merupakan nilai dan

harapan klien yang mempunyai wewenang sendiri dalam menetapkan

standar mutu pelayanan yang dikehendaki (Hafizurrachman, 2004).

Kepuasan klien dapat diartikan sebagai suatu sikap konsumen

yakni beberapa derajat kesukaan atau ketidaksukaanya terhadap pelayanan

yang pernah dirasakan, (Ilyas, 1999). Kepuasan klien merupakan evaluasi

purna beli dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya sama atau

melampau harapan klien. Dengan demikian kepuasan timbul apabila

evaluasi yang diharapkan menunjukkan bahwa alternatif yang diambil

lebih rendah dari harapan (Kusumapraja, 1997).

Kotler (2007), mendefinisikan bahwa kepuasan klien adalah

tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil)

yang dia rasakan dibanding dengan harapannya. Sedangkan menurut

Nurachmah (2005), kepuasan klien didefinisikan sebagai evaluasi paska

konsumsi bahwa suatu produk yang dipilih setidaknya memenuhi atau

melebihi harapan. Menurut Gerson (2004), kepuasan klien adalah persepsi

klien bahwa harapannya telah terpenuhi atau terlampaui.(Soejadi, 1996).

Berdasarkan pada beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan


bahwa kepuasan klien merupakan nilai subyektif klien terhadap pelayanan

yang diberikan setelah membandingkan dari hasil pelayanan yang

diberikan dengan harapannya. Klien akan merasa puas jika pelayanan yang

diberikan sesuai harapan klien atau bahkan lebih dari apa yang diharapkan

klien.

2.3.3 Dimensi Kepuasan Klien

Dimensi kepuasan yang dirasakan seseorang sangat bervariasi

sekali, namun secara umum dimensi dari kepuasan sebagaimana yang

didefinisikan diatas mencakup hal-hal berikut (Azwar, 1996):

a. Kemampuan yang mengacu hanya pada penerapan standart kode

etik profesi

Pelayanan kesehatan dikatakan memenuhi kebutuhan kepuasan

klien apabila pelayanan yang diberikan mengikuti standart serta kode etik

yang disepakati dalam suatu profesi, atau dengan kata lain yaitu bila suatu

pelayanan kesehatan yang diberikan telah mengacu pada standar yang

telah ditetapkan oleh profesi yang berkompeten serta tidak menyimpang

dari kode etik yang berlaku bagi profesi tersebut. Ukuran-ukuran yang

digunakan untuk menilai pemikiran seseorang terhadap kepuasan yang

diperolehnya mencakup hubungan petugas- klien (relationship),

kenyamanan pelayanan (amenities), kebebasan melakukan pilihan

(choice), pengetahuan dan kompetensi teknis (scientific knowledge and

technical skill), efektifitas pelayanan (effectivess) dan keamanan tindakan

(safety).

b. Kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan


pelayanan kesehatan

Persyaratan suatu pelayanan kesehatan dinyatakan sebagai

pelayanan yang bermutu dan dapat memberikan kepuasan pada penerima

jasa apabila pelaksanaan pelayanan yang diajukan atau ditetapkan, yang

didalamnya mencakup penilaian terhadap kepuasan klien mengenai

ketersediaan pelayanan kesehatan (available), kewajaran pelayanan

kesehatan (appropriate), kesinambungan pelayanan kesehatan (continue),

penerimaan pelayanan kesehatan (acceptable), ketercapaian pelayanan

kesehatan (accessible), keterjangkauan pelayanan kesehatan (affordable),

efisiensi pelayanan kesehatan (efficient) dan mutu pelayanan kesehatan

(quality). Untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang memenuhi

semua persyaratan pelayanan tidak semudah yang diperkirakan, sehingga

untuk mengatasi hal ini diterapkan prinsip kepuasan yang terkombinasi

secara selektif dan efektif, dalam arti penerapan dimensi kepuasan

kelompok pertama dilakukan secara optimal, sedangkan beberapa dimensi

kelompok kedua dilakukan secara selektif yaitu yang sesuai dengan

kebutuhan serta kemampuan (Azwar, 1996 ).

2.3.4. Mengukur tingkat kepuasan

Untuk mengetahui tingkat kepuasan yang dirasakan pelanggan atau

penerima pelayanan maka perlu dilakukan pengukuran. Menurut Supranto

(2001), pengukuran tingkat kepuasan dimulai dari penentuan pelanggan,

kemudian dimonitor dari tingkat kualitas yang diinginkan dan akhirnya

merumuskan strategi. Lebih lanjut juga dikemukakan bahwa harapan

pelanggan dapat terbentuk dari pengalaman masa lalu, komentar dari


kerabat serta janji dan informasi dari penyedia jasa dan pesaing.Kepuasan

pelanggan dapat digambarkan dengan suatu sikap pelanggan, berupa

derajat kesukaan (kepuasan) dan ketidaksukaan (ketidakpuasan) pelanggan

terhadap pelayanan yang pernah dirasakan sebelumnya.

Menurut Kotler (2007), ada beberapa macam metode dalam

pengukuran kepuasan pelanggan :

a. Sistem keluhan dan saran

Organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer oriented)

memberikan kesempatan yang luas kepada para pelangganya untuk

menyampaikan keluhan dan saran.Misalnya dengan menyediakan kotak

saran, kartu komentar, dan hubungan telefon langsung dengan pelanggan.

b. Ghost shopping

Mempekerjakan beberapa orang untuk berperan atau bersikap

sebagai pembeli potensial, kemudian melaporkan temuanya mengenai

kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing berdasarkan

pengalaman mereka.

c. Lost customer analysis

Perusahaan seyogyanya menghubungi para pelanggan yang telah

berhenti membeli agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi.

d. Survei kepuasan pelanggan

Penelitian survey dapat melalui pos, telepon dan wawancara

langsung. Responden juga dapat diminta untuk mengurutkan berbagai

elemen penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen dan

seberapa baik perusahaan dalam masing-masing elemen. Melalui survey


perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung

dari pelanggan dan juga memberikan tanda positif bahwa perusahaan

menaruh perhatian terhadap para pelanggannya.

Tingkat kepuasan dapat diukur dengan beberapa metode diatas.

Data yang diperoleh dari hasil pengukuran tiap-tiap metode mempunyai

hasil yang berbeda. Pada penelitian yang menggunakan metode survei

kepuasan pelanggan, data/ informasi yang diperoleh menggunakan metode

ini lebih fokus pada apa yang ingin diteliti sehingga hasilnya pun akan

lebih valid.

2.3.5 Klasifikasi kepuasan

Menurut Nursalam (2003), untuk mengetahui tingkat kepuasan pelanggan

dapat diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan, sebagai berikut:

1. sangat tidak memuaskan

2. tidak memuaskan

3. cukup memuaskan

4. memuaskan

5. sangat memuaskan

Klien akan merasa sangat tidak puas apabila hasil pelayanan yang

diberikan / didapatkan klien jauh dibawah harapannya, jika hasil pelayanan yang

diberikan belum memenuhi harapan klien maka klien akan merasa tidak

puasterhadap pelayanan yang diterima klien. Pelayanan akan cukup memuaskan

jika pelayanan yang diberikan sudah memenuhi sebagian harapan klien.

Pelayanan akan memuaskan apabila pelayanan yang diberikan sudah memenuhi


harapan rata-rata klien, sedangkan klien akan merasa sangat puas apabila

pelayanan yang diberikan melebihi apa yang diharapkan klien.

2.3.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Klien

Kepuasan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dari pihak pemberi

pelayanaan saja, tetapi juga dipengaruhi faktor dari luar maupun dari dalam diri

klien.Faktor dari dalam mencakup sumber daya, pendidikan, pengetahuan dan

sikap.Faktor dari luar mencakup budaya, sosial ekonomi, keluarga dan situasi

yang dihadapi (Gerson, 2014). Penilaian kualitas pelayanan dikaitkan dengan

kepuasan klien dengan berfokus pada aspek fungsi dari proses pelayanan

(Supranto, 2011), yaitu :

1. Tangibles (Wujud nyata) adalah wujud langsung yang meliputi fasilitas fisik,

yang mencakup kemutahiran peralatan yang digunakan, kondisi sarana, kondisi

SDM perusahaan dan keselarasan antara fasilitas fisik dengan jenis jasa yang

diberikan.

2. Reliability (kepercayaan) adalah pelayanan yang disajikan dengan segera dan

memuaskan dan merupakan aspek – aspek keandalan system pelayanan yang

diberikan oleh pemberi jasa yang meliputi kesesuaian pelaksanaan pelayanan

dengan rencana, kepedulian perusahaan kepada permasalahan yang dialami klien,

keandalan penyampaian jasa sejak awal, ketepatan waktu pelayanan sesuai dengan

janji yang diberikan keakuratan penanganan.

3. Responsiveness (tanggung jawab) adalah keinginan untuk membantu dan


menyediakan jasa yang dibutuhkan konsumen. Hal ini meliputi kejelasan

informasi waktu penyampaian jasa, ketepatan dan kecepatan dalam pelayanan

administrasi, kesediaan pegawai dalam membantu konsumen, keluangan waktu

pegawai dalam menanggapi permintaan klien dengan cepat.

4. Assurance (jaminan) adalah adanya jaminan bahwa jasa yang ditawarkan

memberikan jaminan keamanan yang meliputi kemampuan SDM, rasa aman

selama berurusan dengan karyawan, kesabaran karyawan, dukungan pimpinan

terhadap staf.

5. Empathy (empati) adalah berkaitan dengan memberikan perhatian penuh

kepada konsumen yang meliputi perhatian kepada konsumen, perhatian staf secara

pribadi kepada konsumen, pemahaman akan kebutuhan konsumen, perhatian

terhadap kepentingan konsumen, kesesuaian waktu pelayanan dengan kebutuhan

konsumen.

Menurut Budiastuti (2002) mengemukakan bahwa klien dalam

mengevaluasi kepuasan terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada

beberapa faktor, yaitu:

1. Komunikasi

yaitu tata cara informasi yang diberikan pihak penyedia jasa dan

keluhan-keluhan dari klien. Bagaimana keluhan-keluhan dari klien dengan

cepat diterima oleh penyedia jasa dalam memberikan bantuan terhadap

keluhan klien. Akan dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor kepuasan


klien adalah: kualitas jasa, harga, emosional, kinerja, estetika, karakteristik

produk, pelayanan, lokasi, fasilitas, komunikasi, suasana, dan desain visual.

Komunikasi dalam hal ini juga termasuk perilaku, tutur kata, keacuhan,

keramahan petugas, serta kemudahan mendapatkan informasi dan komunikasi

menduduki peringkat yang tinggi dalam persepsi kepuasan klien.Tidak jarang

walaupun klien/keluarganya merasa outcome tak sesuai dengan harapannya

merasa cukup puas karena dilayani dengan sikap yang menghargai perasaan

dan martabatnya (Suryawati dkk, 2006).

2. Pelayanan

yaitu pelayanan keramahan petugas pelayanan kesehatan, kecepatan

dalam pelayanan. Pusat pelayanan kesehatan dianggap baik apabila dalam

memberikan pelayanan lebih memperhatikan kebutuhan klien maupun orang

lain yang berkunjung. Kepuasan muncul dari kesan pertama masuk klien

terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan. Dapat dijabarkan dengan

pertanyaan yang menyangkut keramahan, informasi yang diberikan, sejauh

mana tingkat komunikasi, responsi, support, seberapa tanggap dokter di

ruangan IGD, rawat jalan, rawat inap, farmasi,kemudahan dokter dihubungi,

keteraturan pemberian meal, obat, pengukuran suhu dsb (Lusa, 2007).

Misalnya : pelayanan yang cepat, tanggap dan keramahan dalam memberikan

pelayanan.

3. Lokasi

meliputi letak pusat kesehatan, letak ruangan dan lingkungannya.

Merupakan salah satu aspek yang menentukan pertimbangan dalam memilih

pusat kesehatan.Akses menuju lokasi yang mudah dijangkau mempengaruhi


kepuasan klien dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan di rumah sakit maupun

pusat jasa kesehatan lainnya (Heriandi, 2007). Umumnya semakin dekat pusat

kesehatan dengan pusat perkotaan atau yang mudah dijangkau, mudahnya

transportasi dan lingkungan yang baik akan semakin menjadi pilihan bagi klien

yang membutuhkan pusat pelayanan kesehatan tersebut.

4. Fasilitas

kelengkapan fasilitas pusat kesehatan turut menentukan penilaian

kepuasan klien, misalnya fasilitas kesehatan baik sarana dan prasarana, tempat

parkir, ruang tunggu yang nyaman dan ruang kamar rawat inap. Walaupun hal

ini tidak vital menentukan penilaian kepuasan klien, namun pusat kesehatan

perlu memberikan perhatian pada fasilitas dalam penyusunan strategi untuk

menarik konsumen.

5. Biaya (Cost)

Harga, yang termasuk didalamnya adalah harga produk atau jasa.Harga

merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas

guna mencapai kepuasan klien.Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi

klien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga

perawatan maka klien mempunyai harapan yang lebih besar.Herianto dan

kawan-kawan (2005) menemukan, ekspektasi masyarakat terhadap harga yang

murah ditemukan cukup tinggi.Ini dikarenakan masyarakat miskin di Indonesia

memang cukup tinggi.Klien yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan

atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan,

cenderung puas terhadap jasa pelayanan tersebut. Menurut, Lusa (2007) , biaya

dapat dijabarkan dalam pertanyaan kewajaran biaya, kejelasan komponen


biaya, biaya pelayanan, perbandingan dengan rumah sakit yang sejenis lainnya,

tingkat masyarakat yang berobat, ada tidaknya keringanan bagi masyarakat

miskin,dan sebagainya. Selain itu, efisiensi dan efektivitas biaya, yaitu

pelayanan yang murah, tepat guna, tidak ada diagnosa dan terapi yang

berlebihan juga menjadi pertimbangan dalam menetapkan biaya perawatan.

2.4 Penerapan Keselamatan Klien berbasis Caring Theory terhadap

Peningkatan Kepuasan Klien

Berbagai fakta telah menunjukkan tentang tingginya KTD, KNC, dan

sentinel di rumah sakit. WHO (World Health Organitation) tahun 2014

mengumpulkan angka-angka penelitian rumah sakit di berbagai Negara

yaitu Amerika, Inggris, Denmark dan Australia dan ditemukan KTD

(Kejadian Tidak Diharapkan) dengan rentang 3,2%-16,6%. Penelitian di

rumah sakit di Utah, Colorado, dan New York didapatkan hasil bhawa di

Utah dan Colorado ditemukan kejadian tidak diinginkan (KTD) sebesar 2,9%,

dimana 6,6% di antaranya meninggal. Sedangkan di New York sebesar 3,7%

dengan angka kematian 13,6%. Data tersebut menjadi pemicu diberbagai

negara untuk melakukan penelitian dan pengembangan sistem keselamatan

klien (Depkes, 2011).

Kondisi tersebut diakibatkan karena kurangnya sosialisasi dan

kurangnya kesadaran penerapan budaya client safety. Keselamatan menjadi

isu global dan terangkum dalam lima isu penting yang terkait di rumah

sakit yaitu: keselamatan klien (client safety), keselamatan pekerja atau

petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang


bisa berdampak terhadap keselamatan klien dan petugas, keselamatan

lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap pencemaran

lingkungan dan keselamatan ”bisnis” rumah sakit yang terkait dengan

kelangsungan hidup rumah sakit. Fokus perhatian dalam penelitian ini yaitu

sasaran keselamatan klien yang tercantum dalam panduan KARS 2012

meliputi:

1. Sasaran I : Ketepatan identifikasi klien

2. Sasaran II : Peningkatan komunikasi yang efektif

3. Sasaran III : Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai

(highalert)

4. Sasaran IV : Kepastian tepat-lokasi tepat-prosedur tepat-klien operasi

5. Sasaran V : Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

6. Sasaran VI : Pengurangan risiko klien jatuh

Berdasarkan enam komponen sasaran keselamatan klien tersebut

yang dilandasi dengan 10 aspek caring theory menurut Jean Watson maka

penelitian ini menjadi inovasi yang bertujuan untuk menerapkan client safety

berbasis caring theory sehingga dapat meningkatkan kepuasan klien dan

mngoptimalkan kualitas pelayanan kesehatan.


KERANGKA KONSEP
 Tingginya Insiden KTD, KNC,
 Kurangnya sosialisasi tentang
dan Sentinel
client safety
 Penurunan tingkat kepuasan klien
 Kurangnya kesadaran penerapan
 Penurunan kualitas pelayanan
budaya client safety
kesehatan

Komponen Caring Theory Client Safety, KARS 2012:


menurutJean watson: 1. Sasaran I : Ketepatan
1. Pembentukan faktor nilai identifikasi klien
humanistik dan altruistik 2. Sasaran II : Peningkatan
2. Menanamkan keyakinan dan
komunikasi yang efektif
harapan (faith-hope)
3. Sasaran III : Peningkatan
3. Menanamkan sensitivitas
terhadap diri sendiri dan orang keamanan obat yang perlu
lain diwaspadai (highalert)
4. Membina hubungan saling 4. Sasaran IV : Kepastian
percaya dan saling membantu tepat-lokasi tepat-prosedur
(help ing-trust) tepat-klien operasi
5. Meningkatkan dan menerima 5. Sasaran V : Pengurangan
ekspresi perasaan positif dan risiko infeksi terkait
negatif pelayanan kesehatan
6. Menggunakan metode
6. Sasaran VI : Pengurangan
pemecahan masalah yang
risiko klien jatuh
sistematis dalam pengambilan
keputusan
7. Meningkatkan proses belajar
mengajar interpersonal
8. Menyediakan lingkungan yang
mendukung,
melindungi,memperbaiki
mental, sosiokultural dan
spiritual
9. Membantu dalam pemenuhan
kebutuhan dasar manusia
10.Mengembangkan faktor
kekuatan eksistensial-
fenomologis.

Inovasi penerapan client


safety berbasis Caring theory
Peningkatkan kepuasan klien
(Gerson, 2014)
1. Tangibles
2. Reliability
3. Responsiveness
4. Assurance
5. Empathy

Mengoptimalkankualitas
pelayanan kesehatan
DAFTAR PUSTAKA

Agency For Health Care Research and Quality. 2014. Hospital Survei on Client

Survey Culture. Agency For Health Care Research and Quality: Page 1 – 5

Arikunto, S. 2016. Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi

VI. Jakarta: Rineka Cipta.

Cahyono, J.B. Suhardjo B. 2012. Membangun Budaya Keselamatan klien Dalam

Praktek Kedokteran. Yogyakarta: Kanisius.

Colla, J.B., Bracken, A,C., Kinney, L.M. and Weeks, W.B. (2015). Measuring

Client Safety Climate: a Review of Surveys. Qual. Saf. He1alth. Care. 14;

364 – 366.

DepKes RI. 2011. Panduan Nasional Keselamatan Klien Rumah Sakit (Client

Safety). 2nd, Jakarta: Bakti Husada.

Dwita. 2013. Analisis Budaya Keselamatan Klien di RS PKU Muhammadiyah

Bantul. Tesis MMR UMY : Yogyakarta.

Hughes, Ronda. G. 2016. Client Safety and Quality an Evidence Based Handbook

of Nurses. Rockville MD: Agency for Healthcare Research and Quality

Publications, diakses 25 February 2015, http://www.ahrg.gov/QUAL/nurseh

dbk.

KARS. 2012. Kebijakan Standar Akreditasi RS (Versi 2012) Dan Cara

Penilaiannya. Komisi Akreditasi Rumah Sakit

Komite Keselamatan Klien Rumah Sakit. 2010. Pedoman Pelaporan Insiden

Keselamatan Klien (Client Safety Incident Report). Jakarta : Edisi 2

Laschinger, Spence., K, Heather, PhD, RN., Michael, Leiter, PhD. 2016. The

Impact of Nursing Work Environments on Client Safety Outcomes: The


Mediating Role of Burnout Engagment. Journal of Nursing Administration:

May 2016. Vol. 36. Issue 5-PP 259-267.

Lestari, Nenny Puji et al. 2013. Konsep Manajemen Keselamatan Klien Berbasis

Program Di RSUD KAPUAS Provinsi Kalimantan Tengah. IKM FK Unpad.

Linda Mc Gillis, Hall, PhD, RN., et al. 2014. Nurse Staffing Models, Nursing

Hours, and Client Safety Outcomes. Journal of Nursing Administration:

January 2014, Vol 34, Issue 1-PP- 41-45.

Muchlas, M. 2015. Perilaku Organisasi. Magister Manajemen Rumah Sakit

UGM: Yogyakarta.

Mustikawati, Yully H. 2011. Analisis Determinan Kejadian Nyaris Cedera dan

Kejadian Tidak Di Harapkan di Unit Perawatan Rumah Sakit Pondok Indah

Jakarta, Tesis M.Kep, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia,

Depok. Diakses tanggal 24 Maret 2015, http://www.edu.ui.ac.id/files.

PERMENKES RI. 2011. Keselamatan Klien Rumah Sakit. Menteri Kesehatan

Republik Indonesia.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Manajemen. Bandung: CV. Alfabeta

Wibowo. 2013. Analisis Persiapan Pelaksanaan Client Safety Di Ruang Rawat

Inap Study Kasus Di RSUD Kabupaten Bima, Tesis MMR UMY:

Yogyakarta.

Yun Wang et, al. 2014. National Trends In Client Safety For Four Common

Conditions, 2001 – 2011. N ENGL J MED 370;4. NEJM ORG

Anda mungkin juga menyukai