Anda di halaman 1dari 23

TREN DAN ISSUE MANAJEMEN KEPERAWATAN

MUTU LAYANAN KEPERAWATAN

Dosen Pengampuh : Ns. Rizkan H Djafar, S. Kep.,M. Kep

Disusun Oleh

Indria Putri Utina


( 1901055 )
Kelas : VII B ( Keperawatan )

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MANADO
T.A 2022
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mutu Pelayanan


Peningkatan mutu pelayanan adalah derajat memberikan pelayanan secara efisien dan
efektif sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan yang dilaksanakan secara
menyeluruh sesuai dengan kebutuhan pasien, memanfaatkan teknologi tepat guna dan
hasil penelitian dalam pengembangan pelayanan kesehatan/keperawatan sehingga tercapai
derajat kesehatan yang optimal.
B. Pengukuran Mutu Pelayanan
Menurut Donabedian, mutu pelayanan dapat diukur dengan menggunakan tiga
variabel, yaitu input, proses, dan output/outcome:
a) Input
Input adalah segala sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan
seperti tenaga, dana, obat, fasilitas peralatan, teknologi, organisasi, dan informasi
b) Proses
Proses adalah interaksi profesional antara pemberi pelayanan dengan konsumen
(pasien dan masyarakat). Setiap tindakan medis/keperawatan harus selalu
mempertimbangkan nilai yang dianut pada diri pasien. Setiap tindakan korektif dibuat
dan meminimalkan risiko terulangnya keluhan atau ketidakpuasan pada pasien
lainnya. Program keselamatan pasien bertujuan untuk meningkatkan keselamatan
pasien dan meningkatkan mutu pelayanan. Interaksi profesional yang lain adalah
pengembangan akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit dengan indikator
pemenuhan standar pelayanan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI. Interaksi
profesional selalu memperhatikan asas etika terhadap pasien, yaitu berbuat hal hal
yang baik (beneficence), tidak menimbulkan kerugian (nonmaleficence), menghormati
manusia (respect for persons), dan berlaku adil (justice).
c) Output
Output/outcome adalah hasil pelayanan kesehatan atau pelayanan keperawatan, yaitu
berupa perubahan yang terjadi pada konsumen termasuk kepuasan dari konsumen
C. Upaya Peningkatan Mutu
1) Mengembangkan akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit dengan indikator
pemenuhan standar pelayanan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI.
2) ISO 9001:2000 yaitu suatu standar internasional untuk sistem manajemen kualitas
yang bertujuan menjamin kesesuaian proses pelayanan terhadap kebutuhan
persyaratan yang dispesifikasikan oleh pelanggan dan rumah sakit.
3) Memperbarui keilmuan untuk menjamin bahwa tindakan medis/keperawatan yang
dilakukan telah didukung oleh bukti ilmiah yang mutakhir.
4) Good corporate governance yang mengatur aspek institusional dan aspek bisnis dalam
penyelenggaraan sarana pelayanan kesehatan dengan memperhatikan transparansi dan
akuntabilitas sehingga tercapai manajemen yang efisien dan efektif.
5) Clinical governance merupakan bagian dari corporate governance, yaitu sebuah
kerangka kerja organisasi pelayanan kesehatan yang bertanggung jawab atas
peningkatan mutu secara berkesinambungan. Tujuannya adalah tetap menjaga standar
pelayanan yang tinggi dengan menciptakan lingkungan yang kondusif. Clinical
governance menjelaskan hal hal penting yang harus dilakukan seorang dokter dalam
menangani konsumennya (pasien dan keluarga).
6) Membangun aliansi strategis dengan rumah sakit lain baik di dalam atau luar negeri.
Kerja sama lintas sektor dan lintas fungsi harus menjadi bagian dari budaya rumah
sakit seperti halnya kerja sama tim yang baik. Budaya dikotomi pemerintah dengan
swasta harus diubah menjadi falsafah “bauran pemerintahswasta (public-private mix)
yang saling mengisi dan konstruktif.
7) Melakukan evaluasi terhadap strategi pembiayaan, sehingga tarif pelayanan bisa
bersaing secara global, misalnya outsourcing investasi, contracting out untuk fungsi
tertentu seperti cleaning service, gizi, laundry, perparkiran.
8) Orientasi pelayanan. Sering terjadi benturan nilai, di satu pihak masih kuatnya nilai
masyarakat secara umum bahwa rumah sakit adalah institusi yang mengutamakan
fungsi sosial. Sementara itu di pihak lain, etos para pemodal/ investor dalam dan luar
negeri yang menganggap rumah sakit adalah industri dan bisnis jasa, sehingga
orientasi mencari laba merupakan sesuatu yang absah.
9) Orientasi bisnis dapat besar dampak positifnya bila potensial negatif dapat
dikendalikan. Misalnya, tindakan medis yang berlebihan dan sebenarnya tidak
bermanfaat bagi pasien menciptakan peluang terjadinya manipulasi pasien demi
keuntungan finansial bagi pemberi layanan kesehatan. Perlu mekanisme pembinaan
etis yang mengimbangi dua sistem nilai yang dapat bertentangan, yaitu antara fungsi
sosial dan fungsi bisnis.
D. Indikator Penilaian Mutu Asuhan Keperawatan
Trend dan issue manajemen keperawatan dalam kolaborasi perawa dan dokter
Mutu asuhan pelayanan dalam rumah sakit pada umumnya memiliki tiga aspek penilaian
diantaranya evaluasi, dokumen, instrumen dan audit (EDIA). Mutu asuhan kesehatan di
dalam RS selalu memiliki keterkaitan dengan struktur, proses dan outcome dari sistem
pelayanan rumah sakit (Nursalam, 2014).
1. Aspek struktur (input)
Struktur adalah seluruh input dalam sistem pelayanan rumah sakit yang meliputi M1
(tenaga), M2 (sarana prasarana), M3 (metode asuhan keperawatan), M4 (dana), M5
(pemasaran) dan lain-lain.
2. Proses
Proses merupakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh dokter, perawat, dan tenaga
profesi lain yang mengadakan interaksi secara profesional dengan pasien. Interaksi ini
diukur dalam penilaian mengenai penyakit pasien, penegakan diagnosis, rencana
tindakan pengobatan, indikasi tindakan, penanganan penyakit dan prosedur
pengobatan.
3. Outcome
Outcome adalah hasil akhir kegiatan yang dilakukan oleh dokter, perawat dan tenaga
profesi lain terhadap pasien.
E. Indikator Utama Kualitas Pelayanan Di Rumah Sakit
a. Keselamatan Pasien
1. Definisi Keselamatan Pasien
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011,
keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera
yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
2. Standar Keselamatan Pasien
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang perlu ditangani
segera di rumah sakit di Indonesia maka diperlukan standar keselamatan pasien
rumah sakit yang merupakan acuan bagi rumah sakit di Indonesia untuk
melaksanakan kegiatannya. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang disusun
ini mengacu pada ”Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh
Joint Commision on Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA, tahun
2002, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keselamatan dan Keamanan
Keselamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih yang terhindar dari
ancaman bahaya atau kecelakaan. Kecelakaan merupakan kejadian yang tidak
dapat diduga dan tidak diharapkan yang dapat menimbulkan kerugian, sedangkan
keamanan adalah keadaan aman dan tenteram. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kebutuhan keselamatan dan keamanan, yaitu;
a. Usia
Pada anak-anak tidak terkontrol dan tidak mengetahui akibat dari apa yang
dilakukan. Pada orang tua atau lansia akan mudah sekali terjatuh atau
kerapuhan tulang.
b. Tingkat kesadaran Pada pasien koma, menurunnya respon terhadap rangsang,
paralisis, disorientasi, dan kurang tidur.
c. Emosi
Emosi seperti kecemasan, depresi, dan marah akan mudah sekali terjadi dan
berpengaruh terhadap masalah keselamatan dan keamanan.
d. Status mobilisasi
Keterbatasan aktivitas, paralisis, kelemahan otot, dan kesadaran menurun
memudahkan terjadinya resiko injuri atau gangguan integritas kulit.
e. Gangguan persepsi sensori
Kerusakan sensori akan memengaruhi adaptasi terhadap rangsangan yang
berbahaya seperti gangguan penciuman dan penglihatan.
f. Informasi / komunikasi
Gangguan komunikasi seperti afasia atau tidak dapat membaca menimbulkan
kecelakaan.
g. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional
Antibiotik dapat menimbulkan resisten dan syok anafilaktik.
h. Keadaan imunitas
Gangguan immunitas akan menimbulkan daya tahan tubuh yang kurang
sehingga mudah terserang penyakit.
i. Ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi sel darah putih
Sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap suatu penyakit.
j. Status nutrisi
Keadaan nutrisi yang kurang dapat menimbulkan kelemahan dan mudah
terserang penyakit, demikian sebaliknya, kelebihan nutrisi beresiko terhadap
penyakit tertentu.
k. Tingkat pengetahuan sebelumnya.
Kesadaran akan terjadinya gangguan keselamatan dan keamanan dapat
diprediksi
F. Kepuasan dan Kenyamanan Pasien
1. Pengukuran dan Analisis Kepuasan
Survei kepuasan harus mempertimbangkan aspek apa saja yang dinilai pasien. Ada
beberapa aspek yang harus diukur, antara lain atribut harapan pasien dan jasa layanan
kesehatan seperti: kompetensi klinis, empati, kesediaan menjawab keluhan,
responsive, keselamatan, perawatan (caring), komunikasi dan lain-lain.
2. Teknik Pengukuran
Beberapa teknik pengukuran ialah teknik rating, pengukuran kesenjangan dan indeks
kepuasan.
a) Teknik rating (rating scale)
Teknik ini menggunakan directly reported satisfaction, simple rating, semantic
difference technique (metode berpasangan).
b) Teknik pengukuran langsung (directly reported satisfaction)
Teknik pengukuran langsung menanyakan pasien atau tentang kepuasan pasien
terhadap atribut. Teknik ini mengukur secara objektif dan subjektif. Objektif bila
stimulus jelas, langsung bisa diamati dan dapat diukur. Sebaliknya, subjektif bila
rangsangan stimulus sifatnya intangible dan sulit ditentukan, sehingga lebih
dikenal sebagai pengukuran persepsi asumsi dasar. Teknik ini ialah hasil telaah
tentang selisih manfaat dengan pengorbanan atau risiko yang diantisipasi. Hasil di
sini memberikan informasi tentang mutu layanan.
Instrumen ini (directly reported satisfaction) meminta individu menilai 1)
derajat kesukaan, 2) persetujuan, 3) penilaian, 4) tingkat kepuasan yang dapat
dinyatakan dalam teknik skala. Skala penilaian bisa ganjil atau genap (rating
scale). Dalam penetapan banyaknya skala genap bisa 1 sampai 4, 6, 8 atau 10.
Analisis hasil dengan skala dapat ditentukan atas nilai rerata dan simpangan
bakunya. Dominan bila kurang dari nilai rerata (bila skala positif, bila skala
negatif diambil lebih dari nilai reratanya). Teknik ini banyak dipakai pada teori
kepuasan yang menggunakan stimulo value judgement reaction.
Prosedur metode untuk skala directly reported satisfaction melalui Langkah
awal pertama, yaitu tentukan skala standar. Skala ini bisa berdasarkan nilai skala
tengah dari pengukuran dan bisa ditentukan oleh peneliti berdasarkan tujuannya.
Langkah kedua adalah menghitung nilai rerata. Nilai rerata komposit adalah
penjumlahan nilai skala dari individu yang diamati dibagi jumlah individu
Nursalam (2003:105) menyebutkan kepuasan adalah perasaan senang
seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesenangan terhadap aktivitas
dan suatu produk dengan harapannya. Kepuasan adalah perasaan senang atau
kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau
kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya
(Kotler, 2004:42)
Kepuasan pasien berhubungan dengan mutu pelayanan rumah sakit. Dengan
mengetahui tingkat kepuasan pasien, manajemen rumah sakit dapat melakukan
peningkatan mutu pelayanan. Persentase pasien yang menyatakan puas terhadap
pelayanan berdasarkan hasil survei dengan instrument yang baku (Indikator
kinerja Rumah Sakit, Depkes RI Tahun 2005:31)
Menurut Rangkuti (2003), ada enam faktor menyebabkan timbulnya rasa tidak
puas pelanggan terhadap suatu produk yaitu:
1. puas pelanggan terhadap suatu produk yaitu:
2. Tidak sesuai harapan dan kenyataa;
3. Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan;
4. Perilaku personel kurang memuaskan;
5. Suasana dan kondisi fisik lingkungan yang tidak menunjang;
6. Cost terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang dan harga
tidak sesuai;
7. Promosi/iklan tidak sesuai kenyataan.
Ada beberapa cara mengukur kepuasan pelanggan:
1. Sistem keluhan dan saran
2. Survei kepuasan pelanggan
3. Pembeli bayangan
4. Analisis kehilangan pelanggan.
Menurut Leonard L. Barry dan Pasuraman “Marketing servis competin
through quality” (New York Freepress, 1991: 16 ) yang dikutip Parasuraman dan
Zeithaml (2001) mengidentifikasi lima kelompok karakteristik yang digunakan
oleh pelanggan dalam mengevaluasi kualitas jasa layanan, antara lain:
a) Tangible (kenyataan), yaitu berupa penampilan fasilitas fisik, peralatan materi
komunikasi yang menarik, dan lain-lain,
b) Empati, yaitu kesediaan karyawan dan pengusaha untuk memberikan
perhatian secara pribadi kepada konsumen;
c) Cepat tanggap, yaitu kemauan dari karyawan da pengusaha untuk membantu
pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat serta mendengar dan mengatasi
keluhan dari konsumen;
d) Keandalan, yaitu kemampuan untuk memberikan jasa sesuai dengan yang
dijanjikan, terpercaya dan akurat dan kosisten;
e) Kepastian, yaitu berupa kemampuan karyawan untuk menimbulkan keyakinan
dan kepercayaan terhadap janji yang teah dikemukakankepada konsumen.
G. Kecemasan Dan Pengetahuan Pasien
1. Kecemasan
Kecemasan merupakan suatu kondisi yang sangat umum terjadi karena
lingkungan sosial yang terus berubah dan laju kehidupan modern semakin
berkembang. Kecemasan dapat terjadi dalam banyak situasi, terkadang ringan dan
menghilang dalam waktu singkat, tetapi terkadang juga dapat berlangsung lama dan
menjadi sangat parah sehingga dapat menyebabkan disfungsi tubuh dan mental.
Dalam bidang medis, pasien lebih cenderung mengalami kecemasan akibat penyakit,
yang terkadang dapat mempengaruhi hasil akhir pasien. Sebagai pemberi perawatan,
perawat harus memiliki pemahaman yang jelas tentang kecemasan untuk menjaga
tubuh dan pikiran seseorang agar selalu berada dalam kondisi terbaik.
Kecemasan merupakan reaksi pertama yang muncul atau dirasakan oleh
pasien dan keluarganya di saat pasien harus dirawat mendadak atau tanpa terencana
begitu mulai masuk rumah sakit. Kecemasan akan terus menyertai pasien dan
keluarganya dalam setiap tindakan perawatan terhadap penyakit yang diderita pasien.
Cemas adalah emosi dan merupakan pengalaman subjektif individual, mempunyai
kekuatan tersendiri dan sulit untuk diobservasi secara langsung. Perawat dapat
mengidentifikasi cemas lewat perubahan tingkah laku pasien. Cemas adalah emosi
tanpa objek yang spesifik, penyebabnya tidak diketahui dan didahului oleh
pengalaman baru. Takut mempunyai sumber yang jelas dan objeknya dapat
didefinisikan. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap stimulus yang
mengancam dan cemas merupakan respons emosi terhadap penilaian tersebut.
Kecemasan adalah suatu kondisi yang menandakan suatu keadaan yang mengancam
keutuhan serta keberadaan dirinya dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku seperti
rasa tidak berdaya, rasa tidak mampu, rasa takut, fobia tertentu. Kecemasan muncul
bila ada ancaman ketidakberdayaan, kehilangan kendali, perasaan kehilangan fungsi-
fungsi dan harga diri, kegagalan pertahanan, perasaan terisolasi.
2. Faktor Penyebab Kecemasan
Kondisi kecemasan yang terjadi pada seseorang disebabkan oleh beberapa kondisi,
berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi kecemasan:
1) Usia: Semakin meningkat usia seseorang semakin baik tingkat kematangan
seseorang walau sebenarnya tidak mutlak.
2) Jenis Kelamin: Gangguan lebih sering dialami perempuan daripada laki-laki.
Perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki,
dikarenakan perempuan lebih peka terhadap emosi yang dirasakan salah satunya
adalah perasaan cemas. Perempuan cenderung melihat hidup atau peristiwa yang
dialaminya secara seksama sedangkan laki-laki cenderung global atau secara
umum saja.
3) Tahap Perkembangan: Setiap tahap dalam usia perkembangan sangat berpengaruh
pada perkembangan jiwa termasuk didalamnya konsep diri yang akan
mempengaruhi ide, pikiran, kepercayaan dan pandangan individu tentang dirinya
dan dapat mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain.
Individu dengan konsep diri yang negative lebih rentan terhadap kecemasan.
4) Tipe Kepribadian: Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami
gangguan stress daripada orang yang memiliki kepribadian B. Orang-orang pada
tipe A dianggap lebih memiliki kecenderungan untuk mengalami tingkat stress
yang lebih tinggi, sebab mereka menempatkan diri mereka sendiri pada suatu
tekanan waktu dengan meniciptakan suatu batas waktu tertentu untuk kehidupan
mereka.
5) Pendidikan: Seorang dengan tingkat pendidikan yang rendah mudah mengalami
kecemasan, karena semakin tinggi pendidikan akan mempengaruhi kemampuan
berfikir seseorang.
6) Status Kesehatan: Seseorang yang sedang sakit dapat menurunkan kapasitas
seseorang dalam menghadapi stress.
7) Makna yang Dirasakan: Jika stressor dipersepdikan akan berakibat baik maka
tingkat kecemasan yang akan dirasakan akan berat. Sebaliknya jika stressor
dipersepsikan tidak mengancam dan individu mampu mengatasinya maka tingkat
kecemasan yang dirasakan akan lebih ringan.
8) Nilai-nilai Budaya dan Spiritual: Nilai-nilai budaya dan spiritual dapat
mempengaruhi cara berpikir dan tingkah laku seseorang.
9) Dukungan Sosial dan Lingkungan: Dukungan sosial dan lingkungan sekitar dapat
memepengaruhi cara berpikirseseorang tentang diri sendiri dan orang lain. Hal ini
disebabkan oleh pengalaman seseorang dengan keluarga, sahabat, rekan kerja dan
lain-lain. Kecemasan akan timbul jika seseorang merasa tidak aman terhadap
lingkungan.
10) Mekanisme Koping: Ketika mengalami kecemasan, individu akan menggunakan
mekanisme koping untuk mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi
kecemasan secara konstruktif menyebabkan terjadinya perilaku patologis.
11) Pekerjaan: adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang
kehidupan keluarga. Bekerja bukanlah sumber kesenangan tetapi dengan bekerja
bisa diperoleh pengetahuan.
3. Kecemasan Dalam Mutu Pelayanan Keperawatan
Penilaian Tingkat Kecemasan Zung Self-Rating Anxiety Scale (SAS/SRAS) adalah
penilaian kecemasan pada pasien dewasa yang dirancang oleh William W. K. Zung,
dikembangkan berdasarkan gejala kecemasan dalam Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (DSM-II). Terdapat 20 pertanyaan, di mana setiap
pertanyaan dinilai 1–4 (1: tidak pernah, 2: kadang-kadang, 3: sebagian waktu, 4:
hampir setiap waktu). Terdapat 15 pertanyaan ke arah peningkatkan kecemasan dan 5
pertanyaan ke arah penurunan kecemasan (Zung Self-Rating Anxiety Scale). Rentang
penilaian 20–80, dengan pengelompokan antara lain: 1. skor 20–44: normal/tidak
cemas; 2. skor 45–59: kecemasan ringan; 3. skor 60–74: kecemasan sedang; 4. skor
75–80: kecemasan berat.
4. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Jadi pengetahuan ini diperoleh dari
aktivitas pancaindra yaitu penglihatan, penciuman, peraba dan indra perasa, sebagian
basar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan/kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang
(Notoatmodjo, 2003: 121). Penelitian Rogers (1974) dalam buku pendidikan dan
perilaku kesehatan (Notoatmodjo, 2003 dan Nursalam, 2007) mengungkapkan bahwa
sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses
yang berurutan, yaitu:
5. Awareness (kesadaran) ketika seseorang menyadari dalam arti mengetahui terlebih
dahulu terhadap stimulus (objek);
6. Interest (tertarik), ketika seseorang mulai tertarik pada stimulus;
7. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut
baginya;
8. Trial (mencoba), ketika seseorang telah mencoba perilaku baru;
9. Adoption (adaptasi), ketika seseorang telah berperilaku baru yang sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Namun, berdasarkan
penelitian selanjutnya, Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu
melewati tahapan di atas. Jika penerima perilaku baru atau adopsi perilaku melalui
proses seperti ini yaitu dengan didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang
positif, maka perilaku itu akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila
perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, perilaku itu tidak akan
berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003: 121).
H. Analisa Jurnal
Analisa Jurnal 1
Section/Topik No Checklist Item

TITLE
Judul 1 Praktik kolaborasi perawat-dokter dan faktor yang
memengaruhinya
Penulis Wiwin Martiningsih
Di Publikasikan 22 Oktober 2019
ABSTRACT
Structured summary 2 Latar Belakang : Kolaborasi pada dasarnya membahas
Ringkasan terstruktur tentang kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas,
kesetaraan, tanggung jawab, dan akuntabilitas. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mempelajari praktik kolaborasi
antara perawat dan dokter serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Metode: Rancangan penelitian ini
adalah studi korelasional dan komparatif, dan populasi
adalah dokter yang bekerja di RSUD Ngudi Waluyo Blitar,
kerjasama intensif dengan perawat di ruangan, tidak
memegang jabatan struktural dan tidak belajar, diambil 19
orang dari total populasi. dan perawat yang bekerja di
RSUD Ngudi Waluyo, tidak memegang jabatan struktural
(Kepala Bagian atau Kepala Bagian), memiliki hubungan
dengan dokter dan sampel penelitian berjumlah 31 orang
yang diambil secara probability proportional to size (PPS).
Metode pengumpulan data dengan memberikan kuisioner
tentang karakteristik responden (perawat dan dokter) dan
skala praktik kolaborasi. Data karakteristik dan sikap
perawat dan dokter tentang praktik kerjasama dianalisis
dengan statistik deskriptif, untuk mengetahui perbedaan
sikap perawat dan dokter menggunakan uji mann whitney u
Untuk mengetahui karakteristik yang mempengaruhi sikap
perawat dan dokter dengan analisis multivariat. Hasil:
Hasil uji mann whitney nilai p 0,611 yang berarti tidak ada
perbedaan antara sikap perawat dan dokter dalam
kolaborasi praktik, dan hasil analisis multivariat pengaruh
karakteristik perawat (umur, pendidikan, jabatan
fungsional, lama bekerja) dengan sikap sebesar 0,460 atau
46%, sedangkan 54% dipengaruhi oleh faktor lain, dan
pengaruh karakteristik dokter (usia, pendidikan, lama
bekerja) dengan sikap sebesar 0,435 atau 43,5%,
sedangkan 56,5% dipengaruhi oleh faktor lain.
Pembahasan: Perlu dikaji lebih lanjut faktor-faktor lain
yang mempengaruhi dan penelitian dengan observasi
dampak kerjasama antara perawat dengan dokter terhadap
kualitas pelayanan.
INTRODUCTION/P
ENGETAR
Rationale/Alasan 3 Perawat dan dokter memiliki kepuasan dan kebanggaan
tersendiri dalam berkarya. Tetapi mereka sering
dihadapkan pada masalah yang sama yaitu mereka tidak
dapat berkolaborasi dengan baik sehingga menghambat
usaha mereka untuk membantu klien.
Objectives/Tujuan 4 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari praktik
kolaborasi antara perawat dan dokter serta faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Metode: Rancangan penelitian ini
adalah studi korelasional dan komparatif, dan populasi
adalah dokter yang bekerja di RSUD Ngudi Waluyo Blitar,
kerjasama intensif dengan perawat di ruangan, tidak
memegang jabatan struktural dan tidak belajar, diambil 19
orang dari total populasi.
METHODS AND
RESULTS/Metode
Dan Hasil
- Protokol and 5 -
registration/Protok
ol Dan Registrasi
- Eligibility 6 https://e-journal.unair.ac.id/JNERS/article/view/3978
criteria/Kriteria
Kelayakan
- Information 7 Wiwin Martiningsih. Praktik kolaborasi perawat-dokter
sources/Sumber dan faktor yang memengaruhinya
Informasi
- Search/Cari 8 Sikap, kerja sama, perawat, dokter
- Study 9 Keperawatan manajemen
selection/Seleksi
Study
- Data collection 10 Metode pengumpulan data dengan memberikan kuisioner
procces/Proses tentang karakteristik responden (perawat dan dokter) dan
Pengumpulan Data skala praktik kolaborasi. Data karakteristik dan sikap
perawat dan dokter tentang praktik kerjasama dianalisis
dengan statistik deskriptif, untuk mengetahui perbedaan
sikap perawat dan dokter menggunakan uji mann whitney u
Untuk mengetahui karakteristik yang mempengaruhi sikap
perawat dan dokter dengan analisis multivariat.
- Data items/Item 11 Sampel dalam penelitian ini adalah dokter yang bekerja di
Data RSUD Ngudi Waluyo Kabupaten Blitar yang intensif
bekerja sama dengan perawat di ruangan, tidak memegang
jabatan struktural dan tidak menjalankan tugas belajar
sebanyak 19 orang yang diambil secara total dan perawat
yang bekerja di RSUD Ngudi Waluyo Kabupaten Blitar,
tidak memegang jabatan struktural (Kepala Bidang atau
Kepala Seksi), mempunyai hubungan kerja praktik
kolaborasi dengan dokter, yang seluruhnya berjumlah 150
orang. Teknik pengambilan sampel secara Probability
Proportional to Size (PPS), besar sampel 31 orang (diambil
dari 20% Populasi).
- Hasil Penelitian 12 Hasil uji mann whitney nilai p 0,611 yang berarti tidak ada
perbedaan antara sikap perawat dan dokter dalam
kolaborasi praktik, dan hasil analisis multivariat pengaruh
karakteristik perawat (umur, pendidikan, jabatan
fungsional, lama bekerja) dengan sikap sebesar 0,460 atau
46%, sedangkan 54% dipengaruhi oleh faktor lain, dan
pengaruh karakteristik dokter (usia, pendidikan, lama
bekerja) dengan sikap sebesar 0,435 atau 43,5%,
sedangkan 56,5% dipengaruhi oleh faktor lain.
Pembahasan: Perlu dikaji lebih lanjut faktor-faktor lain
yang mempengaruhi dan penelitian dengan observasi
dampak kerjasama antara perawat dengan dokter terhadap
kualitas pelayanan.
- Kesimpulan : 13 P (problem)
PICOT Perawat dan dokter memiliki kepuasan dan kebanggaan
tersendiri dalam berkarya. Tetapi mereka sering
dihadapkan pada masalah yang sama yaitu mereka
tidak dapat berkolaborasi dengan baik sehingga
menghambat usaha mereka untuk membantu klien.
I (Intervention)
Banyak faktor yang memengaruhi atau menghambat
pelaksanaan kolaborasi diantaranya adalah faktor sosial,
institusional, faktor ekonomi, kemampuan klinik dan
kemampuan menjalin hubungan interpersonal (Siegler,
2000)
C (Comparation)
Tidak ada pembanding dalam jurnal ini
O (Outcome)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap perawat dan
dokter tentang praktik kolaborasi terbanyak adalah
berunding atau kompromi. Kompromi atau berunding
merupakan suatu situasi di mana tiap-tiap pihak pada suatu
konflik bersedia untuk melepaskan sesuatu. Kedua unsur
yang terlibat menyerah dan menyepakati hal yang telah
dibuat.
T (Time)
Tahun Penertibitan 2019
- Analisa SWOT 14 S (Strength)
Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan
bersedia untuk memeriksa beberapa alternatif pendapat dan
perubahan kepercayaan. Asertifitas penting ketika individu
dalam tim mendukung pendapat mereka dengan keyakinan.
Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-
benar didengar dan konsensus untuk dicapai. Tanggung
jawab, mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari
hasil konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya.
Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung
jawab untuk membagi informasi penting mengenai
perawatan pasien dan issu yang relevan untuk membuat
keputusan klinis.
W (Weakness)
sikap berunding ini bagi perawat dan dokter merupakan
tindakan yang paling tepat dilakukan saat ini, karena
perawat dan dokter mengerti bahwa keterbatasan-
keterbatasan yang mereka miliki baik dalam hal waktu,
tenaga dan kemampuan (terutama perawat) masih
merupakan permasalahan yang patut diselesaikan secara
bertahap. Sesuai dengan hasil penelitian,
O (Opportunity)
Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan
bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan
dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-
nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain
yang berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga
dan masyarakat.
T (Threats)
Sikap perawat dan dokter tentang praktik kolaborasi hanya
sedikit yang menghindar. Menurut Sullivan menghindar
merupakan mencoba sekadar mengabaikan suatu masalah
dan menghindari orang-orang lain yang tidak sependapat
dengannya. Menghindari konflik menjadi pilihan yang baik
ketika terdapat lebih dari satu isu kepentingan, kurangnya
kesempatan untuk menyelesaikan kebutuhan dan urusan,
karena harus memberikan orang lain kesempatan untuk
memenangkan konflik, karena butuh informasi tambahan,
dan terkadang untuk meminimalkan kerugian.

Analisa Jurnal II
Section/Topik No Checklist Item

TITLE
Judul 1 Hubungan Pengalaman Kerja Perawat Dengan Perspektif
Kolaborasi Perawat-Dokter Di Rsu Gmim Pancaran Kasih
Penulis Trisca J.V Sinubua, Lenny Gannika b, Andi Buanasaric
Di Publikasikan Agustus 2021
ABSTRACT
Structured summary 2 Latar Belakang : Interprofesional kolaborasi merupakan
Ringkasan terstruktur strategi umum untuk mencapai kualitas hasil yang
diinginkan secara efektif dan efisien dalam kesatuan
kompleks pelayanan kesehatan. Komunikasi dalam
kolaborasi merupakan unsur penting untuk kualitas
perawatan dan keselamatan pasien. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan komunikasi
dalam kolaborasi perawat-dokter di ruang rawat inap
Rumah Sakit. Penelitian telah dilaksanakan di RSUD
Sumedang pada bulan Juni 2010. Populasi dalam penelitian
ini semua perawat dan dokter yang ada di ruang rawat inap.
Cara penarikan sampel adalah stratified random sampling
sehingga diperoleh 59 perawat dan 11 dokter.
Pengumpulan data menggunakan kuesioner inventori dari
Skala Komunikasi Perawat Dan Dokter oleh Feiger &
Schmitt (1979). Analisis statistik dilakukan dengan
penjumlahan skala komunikasi perawat-dokter. Implikasi
dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
yang signifikan dalam persepsi tentang pelaksanaan
komunikasi dalam kolaborasi perawat dokter.
INTRODUCTION/P
ENGETAR
Rationale/Alasan 3 Komunikasi dalam kolaborasi merupakan unsur penting
untuk kualitas perawatan dan keselamatan pasien.
Objectives/Tujuan 4 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas
pelaksanaan komunikasi dalam kolaborasi perawat-dokter
di ruang rawat inap Rumah Sakit.
METHODS AND
RESULTS/Metode
Dan Hasil
- Protokol and 5 -
registration/Protok
ol Dan Registrasi
- Eligibility 6 Http://jurnal.unpad.ac.id/mku/article/view/17
criteria/Kriteria
Kelayakan
- Information 7 Arya Reni*Kurniawan Yudianto**Irman Somantri**
sources/Sumber Efektifitas pelaksanaan komunikasi dalam kolaborasi
Informasi antara perawat dan dokter di ruang rawat inap rumah sakit
umum sumedang
- Search/Cari 8 Kolaborasi, Komunikasi, Hubungan perawat-dokter
- Study 9 Keperawatan Manajemen
selection/Seleksi
Study
- Data collection 10 Pengumpulan data menggunakan kuesioner inventori dari
procces/Proses Skala Komunikasi Perawat Dan Dokter oleh Feiger &
Pengumpulan Data Schmitt (1979). Analisis statistik dilakukan dengan
penjumlahan skala komunikasi perawat-dokter. Implikasi
dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
yang signifikan dalam persepsi tentang pelaksanaan
komunikasi dalam kolaborasi perawat dokter.
- Data items/Item 11 Populasi dalam penelitian ini semua perawat dan dokter
Data yang ada di ruang rawat inap. Cara penarikan sampel
adalah stratified random sampling sehingga diperoleh 59
perawat dan 11 dokter.
- Hasil Penelitian 12 Dari hasil penelitian ini disarankan untuk membuat
kebijakan khusus terkait pelaksanaan kolaborasi perawat
dan dokter salah satunya yang mengatur tentang
pelaksanaan komunikasi, sehingga peran professional
setiap disiplin berjalan dengan baik. Selain itu perlu
mengadakan pertemuan rutin dengan komite medik untuk
mengembangkan pemahaman terhadap persepsi tentang
kolaborasi.
- Kesimpulan : 13 P (problem)
PICOT Komunikasi dalam kolaborasi merupakan unsur penting
untuk kualitas perawatan dan keselamatan pasien.
I (Intervention)
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi
keperawatan atau perawat klinik bekerja dengan dokter
untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup
praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan
supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan
kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan
suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan
dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai
kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas
lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan
serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi
terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.
C (Comparation)
Tidak ada pembanding dalam jurnal ini
O (Outcome)
hasil penelitian ini disarankan untuk membuat kebijakan
khusus terkait pelaksanaan kolaborasi perawat dan dokter
salah satunya yang mengatur tentang pelaksanaan
komunikasi, sehingga peran professional setiap disiplin
berjalan dengan baik. Selain itu perlu mengadakan
pertemuan rutin dengan komite medik untuk
mengembangkan pemahaman terhadap persepsi tentang
kolaborasi.
T (Time)
Tahun Penerbitan Jurnal ini 2020
- Analisa SWOT 14 S (Strength)
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis,
mengobati dan mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter
menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian
obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan
anggota tim lain sebagai membuat relevan pemberian
pengobatan. Sedangkan perawat memfasilitasi dan
membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan
sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi
pelayanan kesehatan. Pemberian layanan oleh dokter
maupun perawat membentuk suatu unit kesatuan kerja
yang bernaung dalam tim pelayanan kesehatan.
W (Weakness)
Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan
bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan
dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-
nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain
yang berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga
dan masyarakat.
O (Opportunity)
Interprofesional kolaborasi merupakan strategi umum
untuk mencapai kualitas hasil yang diinginkan secara
efektif dan efisien dalam kesatuan kompleks pelayanan
kesehatan.
T (Threats)
Sikap perawat dan dokter tentang praktik kolaborasi hanya
sedikit yang menghindar. Menurut Sullivan menghindar
merupakan mencoba sekadar mengabaikan suatu masalah
dan menghindari orang-orang lain yang tidak sependapat
dengannya

Analisa Jurnal III


Section/Topik No Checklist Item

TITLE
Judul 1 Faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik kolaborasi
perawat-dokter di rsud sawerigading palopo dan rsud andi
djemma masamba

Penulis Hardin
Akademi Keperawatan Sawerigading Pemda Luwu
hardin.nunung@gmail.com
Di Publikasikan 01 Mei 2019
ABSTRACT
Structured summary 2 Latar Belakang : Kolaborasi antara perawat dan dokter
Ringkasan terstruktur merupakan proses interaksional yang kompleks antara
kelompok- kelompok profesional yang berbeda. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pendidikan
bersama dan kerja tim, peduli terhadap penyembuhan,
otonomi perawat, dan dominasi dokter dengan praktik
kolaborasi perawat-dokter, serta mengetahui perbedaan
praktik kolaborasi perawat-dokter antara RSUD
Sawerigading Palopo dengan RSUD Andi Djemma
Masamba. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner
dengan skala Likert. Data dianalisis secara univariat dan
bivariat dengan menggunakan uji chi-square dan uji mann
whitney. Hasil penelitian di RSUD Sawerigading Palopo
menunjukan ada hubungan antara pendidikan bersama dan
kerja tim (p=0.000), peduli terhadap penyembuhan
(p=0.000), dan dominasi dokter (p=0.014) dengan praktik
kolaborasi perawat-dokter, sedangkan otonomi perawat
tidak ada hubungan dengan praktik kolaborasi perawat-
dokter (p=0.195). Begitu halnya dengan hasil penelitian di
RSUD Andi Djemma Masamba, dimana ada hubungan
antara pendidikan bersama dan kerja tim (p=0.045), peduli
terhadap penyembuhan (p=0.008), dan dominasi dokter
(p=0.015) dengan praktik kolaborasi perawat-dokter,
sedangkan otonomi perawat tidak ada hubungan dengan
praktik kolaborasi perawat-dokter (p=0.431). Tidak
terdapat perbedaan praktik kolaborasi perawat-dokter
antara RSUD Sawerigading Palopo dengan RSUD Andi
Djemma Masamba (p=0.143).
Praktik kolaborasi perawat-dokter akan berjalan dengan
baik apabila dokter dan perawat membangun pendidikan
bersama dan kerja tim sejak awal sehingga pelayanan
kesehatan kepada pasaien bisa lebih ditingkatkan.
INTRODUCTION/P
ENGETAR
Rationale/Alasan 3 tentang perbedaan sikap perawat dan dokter terhadap
praktik kolaborasi dengan menggunakan Jefferson Scale
yang menunjukkan bahwa perawat memiliki sikap positif
tentang praktik kolaborasi bila dibandingkan dengan
dokter. Faktor- faktor seperti tradisi, subordinasi perawat
untuk dokter, sosialisasi fasilitas dalam perawatan
kesehatan, dan model magang pendidikan keperawatan
ditemukan sama- sama mempengaruhi sikap perawat dan
dokter terhadap praktik kolaborasi. Secara tradisional, laki-
laki didominasi kelompok dokter yang memberikan
instruksi untuk perawatan pasien, dan perempuan
didominasi kelompok keperawatan yang melaksanakan
instruksi.
Objectives/Tujuan 4 Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan
pendidikan bersama dan kerja tim, peduli terhadap
penyembuhan, otonomi perawat, dan dominasi dokter
dengan praktik kolaborasi perawat-dokter, serta
mengetahui perbedaan praktik kolaborasi perawat-dokter
antara RSUD Sawerigading Palopo dengan RSUD Andi
Djemma Masamba.
METHODS AND
RESULTS/Metode
Dan Hasil
- Protokol and 5 -
registration/Protok
ol Dan Registrasi
- Eligibility 6 https://stikeskjp-palopo.e-journal.id/JFK/anticle/view/81
criteria/Kriteria
Kelayakan
- Information 7 Hardin
sources/Sumber Akademi Keperawatan Sawerigading Pemda Luwu
Informasi hardin.nunung@gmail.com Faktor-faktor yang
berhubungan dengan praktik kolaborasi perawat-dokter di
rsud sawerigading palopo dan rsud andi djemma masamba
- Search/Cari 8 pendidikan bersama dan kerja tim, peduli terhadap
penyembuhan, otonomi perawat, dominasi dokter, praktik
kolaborasi perawat-dokter
- Study 9 Manajemen Keperawatan
selection/Seleksi
Study
- Data collection 10 Metode pengumpulan data dalam penelitian ini
procces/Proses menggunakan kuesioner dengan skala Likert. Data
Pengumpulan Data dianalisis secara univariat untuk melihat distribusi
frekuensi dari karakteristik responden dan setiap variabel.
Analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk
melihat hubungan pendidikan bersama dan kerja tim,
peduli terhadap penyembuhan, otonomi perawat, dan
dominasi dokter dengan praktik kolaborasi perawat-dokter
menurut persepsi ners dan dokter umum. Sedangkan mann
whitney untuk melihat perbedaan praktik kolaborasi
perawat- dokter antara RSUD Sawerigading Palopo dengan
RSUD Andi Djemma Masamba.
- Data items/Item 11 Populasi penelitian ini adalah seluruh ners dan dokter
Data umum di RSUD Sawerigading Palopo dan RSUD Andi
Djemma Masamba yang berjumlah
111 orang dengan sampel sebanyak 87 orang yang dipilih
secara disproportionate statified random sampling dan telah
memenuhi kriteria inklusi.
- Hasil Penelitian 12 Hasil penelitian di RSUD Sawerigading Palopo
menunjukan ada hubungan antara pendidikan bersama dan
kerja tim (p=0.000), peduli terhadap penyembuhan
(p=0.000), dan dominasi dokter (p=0.014) dengan praktik
kolaborasi perawat-dokter, sedangkan otonomi perawat
tidak ada hubungan dengan praktik kolaborasi perawat-
dokter (p=0.195). Begitu halnya dengan hasil penelitian di
RSUD Andi Djemma Masamba, dimana ada hubungan
antara pendidikan bersama dan kerja tim (p=0.045), peduli
terhadap penyembuhan (p=0.008), dan dominasi dokter
(p=0.015) dengan praktik kolaborasi perawat-dokter,
sedangkan otonomi perawat tidak ada hubungan dengan
praktik kolaborasi perawat-dokter (p=0.431). Tidak
terdapat perbedaan praktik kolaborasi perawat-dokter
antara RSUD Sawerigading Palopo dengan RSUD Andi
Djemma Masamba (p=0.143).
Praktik kolaborasi perawat-dokter akan berjalan dengan
baik apabila dokter dan perawat membangun pendidikan
bersama dan kerja tim sejak awal sehingga pelayanan
kesehatan kepada pasaien bisa lebih ditingkatkan.
- Kesimpulan : 13 P (problem)
PICOT Tentang perbedaan sikap perawat dan dokter terhadap
praktik kolaborasi dengan menggunakan Jefferson Scale
yang menunjukkan bahwa perawat memiliki sikap positif
tentang praktik kolaborasi bila dibandingkan dengan
dokter. Faktor- faktor seperti tradisi, subordinasi perawat
untuk dokter, sosialisasi fasilitas dalam perawatan
kesehatan, dan model magang pendidikan keperawatan
ditemukan sama- sama mempengaruhi sikap perawat dan
dokter terhadap praktik kolaborasi. Secara tradisional, laki-
laki didominasi kelompok dokter yang memberikan
instruksi untuk perawatan pasien, dan perempuan
didominasi kelompok keperawatan yang melaksanakan
instruksi.
I (Intervention)
hubungan bermakna antara kolaborasi perawat- dokter
terhadap pelayanan rumah sakit. Kolaborasi perawat
dengan dokter jika dilaksanakan dengan maksimal akan
meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit. Beberapa
penelitian lain juga mengakui bahwa adanya semangat
kerjasama diantara tim profesi kesehatan merupakan hal
yang penting dalam memberikan pelayanan kesehatan yang
berkualitas. Kualitas pelayanan kesehatan yang baik akan
mempertahankan pasien untuk tidak pindah ke rumah sakit
lain (Baggs & Scmitt, 1998).
C (Comparation)
Pada penelitian Paryanto (2006), yang terkait dengan
praktik kolaborasi perawat-dokter menunjukkan 46.7%
dokter spesialis mempersepsikan kolaborasi perawat-
dokter kurang baik. Berbagai faktor penghambat kolaborasi
di rumah sakit tersebut
O (Outcome)
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari empat faktor yang
dihubungkan dengan praktik kolaborasi perawat-dokter,
terdapat tiga faktor yang memiliki hubungan bermakna dan
satu faktor tidak berhubungan. Ketiga faktor yang
berhubungan dengan praktik kolaborasi diantaranya adalah
pendidikan bersama dan kerja tim, peduli terhadap
penyembuhan, dan dominasi dokter. Sedangkan faktor
yang tidak berhubungan dengan praktik kolaborasi perawat
adalah otonomi perawat.
T (Time)
01 Mei 2019

- Analisa SWOT 14 S (Strength)


Pendidikan bersama dan kerja tim memiliki hubungan yang
bermakna dengan praktik kolaborasi perawat-dokter.
Praktik kolaborasi perawat-dokter cenderung akan berjalan
dengan baik apabila ada dukungan yang baik.
W (Weakness)
Dominasi dokter memiliki hubungan yang bermakna
dengan praktik kolaborasi perawat-dokter. Dominasi dokter
terhadap pelayanan kesehatan akan menghambat perawat
dalam mengambil keputusan sehingga kolaborasi antara
perawat dan dokter tidak berjalan dengan baik.
O (Opportunity)
Peduli terhadap penyembuhan memiliki hubungan yang
bermakna dengan praktik kolaborasi perawat-dokter.
Kepedulian terhadap penyembuhan pasien akan
mendorong tenaga interprofesi ikut berpartisipasi dalam
pengembilan keputusan terhadap perawatan pasien
sehingga kolaborasi dapat berjalan dengan baik.
T (Threats)
Tentang perbedaan sikap perawat dan dokter terhadap
praktik kolaborasi dengan menggunakan Jefferson Scale
yang menunjukkan bahwa perawat memiliki sikap positif
tentang praktik kolaborasi bila dibandingkan dengan
dokter. Faktor- faktor seperti tradisi, subordinasi perawat
untuk dokter, sosialisasi fasilitas dalam perawatan
kesehatan, dan model magang pendidikan keperawatan
ditemukan sama- sama mempengaruhi sikap perawat dan
dokter terhadap praktik kolaborasi. Secara tradisional, laki-
laki didominasi kelompok dokter yang memberikan
instruksi untuk perawatan pasien, dan perempuan
didominasi kelompok keperawatan yang melaksanakan
instruksi.

Anda mungkin juga menyukai