Anda di halaman 1dari 16

DETASEMEN KESEHATAN WILAYAH 16.04.

01 TERNATE
RUMAH SAKIT Tk. IV 16.07.01 Ternate

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis
obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf rumah sakit yang
cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis
(medical errors). Menurut Institute of Medicine (1999), medical error didefinisikan
sebagai: The failure of a planned action to be completed as intended (i.e., error of
execusion) or the use of a wrong plan to achieve an aim (i.e., error of planning).
Artinya kesalahan medis didefinisikan sebagai : suatu Kegagalan tindakan medis
yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan (yaitu.,
kesalahan tindakan) atau perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan
(yaitu., kesalahan perencanaan). Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan
medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien,
bisa berupa Near Miss atau Adverse Event (Kejadian Tidak Diharapkan/KTD).
Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostik seperti kesalahan atau
keterlambatan diagnosa, tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai, menggunakan
cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai atau tidak bertindak atas hasil
pemeriksaan atau observasi; tahap pengobatan seperti kesalahan pada prosedur
pengobatan, pelaksanaan terapi, metode penggunaan obat, dan keterlambatan
merespon hasil pemeriksaan asuhan yang tidak layak; tahap preventive seperti tidak
memberikan terapi provilaktik serta monitor dan follow up yang tidak adekuat; atau
pada hal teknis yang lain seperti kegagalan berkomunikasi, kegagalan alat atau
system yang lain.
Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan
kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya
adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang
lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita
semua.
Pada November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA) Board of Trustees
mengidentifikasikan bahwa keselamatan dan keamanan pasien (patient safety)
merupakan sebuah prioritas strategik. Mereka juga menetapkan capaian-capaian
peningkatan yang terukur untuk medication safety sebagai target utamanya. Tahun
2000, Institute of Medicine, Amerika Serikat dalam “TO ERR IS HUMAN, Building a
Safer Health System” melaporkan bahwa dalam pelayanan pasien rawat inap di
rumah sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/Adverse Event).
Menindaklanjuti penemuan ini, tahun 2004, WHO mencanangkan World
Alliance for Patient Safety, program bersama dengan berbagai negara untuk
meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit.
Di Indonesia, telah dikeluarkan pula Kepmenkes Nomor
496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang tujuan
utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh
dari medical error dan memberikan keselamatan bagi pasien. Perkembangan ini
diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia(PERSI) yang berinisiatif
melakukan pertemuan dan mengajak semua stakeholder rumah sakit untuk lebih
memperhatikan keselamatan pasien di rumah sakit.
Mempertimbangkan betapa pentingnya misi rumah sakit untuk mampu
memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik terhadap pasien mengharuskan
rumah sakit untuk berusaha mengurangi medical error sebagai bagian dari
penghargaannya terhadap kemanusiaan, maka dikembangkan system Patient Safety
yang dirancang mampu menjawab permasalahan yang ada.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara membangun budaya keselamatan pasien di rumah sakit?
2. Sebagaimana penerapan budaya keselamatan pasien di rumah sakit masing-
masing?
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum : meningkatkan budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2. Tujuan Khusus : mengetahui cara membangun budaya keselamatan pasien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Keselamatan Pasien


Keselamatan pasien didefinisikan sebagai layanan yang tidak mencederai dan
merugikan pasien ataupun sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi penilaian risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan keselamatan pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (IOM dalam Cahyono,
2008; Depkes RI, 2006). Jadi dapat disimpulkan bahwa keselamatan pasien adalah
bentuk layanan yang diberikan oleh suatu rumah sakit yang mengacu pada
pencegahan insiden dan keamanan tindakan, guna meningkatkan mutu pelayanan.

B. Sasaran Keselamatan Pasien


Sasaran keselamatan pasien menurut WHO (Permenkes RI, 2011) ada enam
yang meliputi:
1. Melakukan identifikasi pasien secara tepat,
2. Meningkatkan komunikasi yang efektif,
3. Meningkatkan keamanan penggunaan obat yang membutuhkan perhatian atau
yang perlu diwaspadai,
4. Mengurangi risiko salah lokasi, salah pasien, dan prosedur tindakan operasi,
5. Mengurangi risiko infeksi nosokomial,
6. Mengurangi risiko pasien cedera karena jatuh.

C. Macam Kejadian Keselamatan Pasien


Macam kejadian yang terkait dalam keselamatan pasien meliputi beberapa
istilah menurut Cahyono (2008) dan Permenkes RI (2011) yaitu:
1. Kejadian potensial cedera (KPC)
KPC atau reportable circumstances adalah suatu kondisi yang sangat
berpotensi untuk menimbulkan cedera, akan tetapi belum terjadi insiden.
2. Kejadian nyaris cidera (KNC)
KNC atau near miss didefinisikan sebagai kesalahan yang mungkin terjadi
namun tidak sampai mencederai pasien.
3. Kejadian tidak cedera (KTC)
KTC atau no harm incident adalah suatu insiden yang sudah terpapar ke
pasien akan tetapi tidak timbul cedera.
4. Kejadian tidak diharapkan (KTD)
Kejadian tidak diharapkan atau adverse event dapat diartikan sebagai
cedera atau komplikasi yang tidak diinginkan, yang dapat mengakibatkan
timbulnya kecacatan, kematian, atau perawatan yang lebih lama yang
disebabkan oleh manajemen medis dan bukan karena penyakit yang diderita.
5. Kejadian sentinel
Kejadian sentinel didefinisikan sebagai suatu KTD yang mengakibatkan
cedera serius bahkan kematian terhadap pasien.

D. Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit


Mengacu pada sasaran keselamatan pasien, maka rumah sakit harus
merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD,
dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Adapun tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit antara lain;
1. Membangun budaya keselamatan pasien,
2. Pimpinan dan dukungan terhadap staf,
3. Integrasi aktivitas manajemen risiko.
4. Membangun sistem pelaporan,
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien dan publik,
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien, dan
7. Implementasi solusi untuk mencegah kerugian (Cahyono, 2008).

E. Budaya Keselamatan Pasien


1. Definisi Budaya Keselamatan Pasien
Budaya keselamatan pasien merupakan kesadaran konstan dan potensi aktif
oleh staf sebuah organisasi dalam mengenali sesuatu yang tampak tidak beres.
Staf dan organisasi yang mampu mengakui kesalahan, belajar dari kesalahan,
dan mau mengambil tindakan untuk mengadakan perbaikan dikatakan sudah
melaksanakan budaya keselamatan (NHS, 2013).
Budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai pola terpadu perilaku
individu dan organisasi berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai bersama yang terus
berusaha untuk meminimalkan tindakan yang dapat membahayakan pasien yang
mungkin timbul dari proses perawatan (Kizer, 1999 dalam Fleming, 2012).
Organisasi dengan budaya keselamatan positif memiliki arakteristik bahwa ada
komunikasi yang dibentuk dengan rasa saling percaya tentang pentingnya
eselamatan, dan dengan keyakinan dalam tindakan pencegahan yang efektif,
serta membangun organisasi yang terbuka (open), adil (just), informatif dalam
melaporkan kejadian keselamatan pasien yang terjadi (reporting), dan belajar dari
kejadian tersebut (learning) (Madden, 2008; NSPA, 2004).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya
keselamatan pasien merupakan produk dari nilai-nilai, sikap, kompetensi individu
dan kelompok yang terbuka, adil, informatif dalam pelaporan insiden keselamatan
pasien, serta belajar dari kejadian. Budaya keselamatan pasien menentukan
komitmen dan gaya dari suatu organisasi serta dapat diukur dengan kuesioner.

2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien


James Reason dalam Reiling (2006) dan NPSA (2004) menyebutkan
bahwa budaya keselamatan pasien dapat dibagi menjadi beberapa dimensi
seperti:
a. Budaya keterbukaan (open culture)
Budaya keterbukaan dalam suatu organisasi merupakan proses
pertukaran informasi antar perawat dan staf. Dimensi ini memiliki karakteristik
bahwa perawat akan merasa nyaman membahas insiden yang terkait dengan
keselamatan pasien serta mengangkat isu-isu terkait keselamatan pasien
bersama dengan rekan kerjanya, juga supervisor atau pimpinan. Komunikasi
terbuka dapat diwujudkan dalam kegiatan supervisi dan dalam kegiatan
tersebut perawat melakukan komunikasi terbuka tentang risiko terjadinya
insiden dalam konteks keselamatan pasien, membagi dan bertanya informasi
seputar isu-isu keselamatan pasien yang potensial terjadi dalam setiap
kegiatan keperawatan. Keterbukaan juga ditujukan kepada pasien. Pasien
diberikan penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang telah terjadi.
Pasien diberikan informasi tentang kondisi yang akan menyebabkan resiko
terjadinya kesalahan. Perawat memiliki motivasi untuk memberikan setiap
informasi yang berhubungan dengan keselamatan pasien.

b. Budaya pelaporan (reporting culture)


Budaya pelaporan merupakan bagian penting dalam rangka
meningkatkan keselamatan pasien. Perawat akan membuat pelaporan jika
merasa aman. Aman yang dimaksud apabila membuat laporan maka tidak
akan mendapatkan hukuman. Perawat yang terlibat merasa bebas untuk
menceritakan atau terbuka terhadap kejadian yang terjadi. Perlakuan yang
adil terhadap perawat, tidak menyalahkan secara individu tetapi organisasi
lebih fokus terhadap sistem yang berjalan akan meningkatkan budaya
pelaporan. Menciptakan program evaluasi atau sistem pelaporan, adanya
upaya dalam peningkatan laporan, serta adanya mekanisme reward yang
jelas terhadap pelaporan merupakan langkah nyata dalam membangun
dimensi budaya ini.

c. Budaya keadilan (just culture)


Perawat saling memperlakukan secara adil antarperawat ketika terjadi
insiden, tidak berfokus untuk mencari kesalahan individu (blaming), tetapi
lebih mempelajari secara sistem yang mengakibatkan terjadinya kesalahan.
Aspek dalam budaya keadilan yang perlu mendapat perhatian adalah
keseimbangan antara kondisi laten yang mempengaruhi dan dampak
hukuman yang akan diberikan kepada individu yang berbuat kesalahan.
Perawat dan organisasi bertanggung jawab terhadap tindakan yang diambil.
Perawat akan membuat laporan kejadian jika yakin bahwa laporan tersebut
tidak akan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang terjadi. Lingkungan
terbuka dan adil akan membantu untuk membuat pelaporan yang dapat
menjadi pelajaran dalam keselamatan pasien. Budaya tidak menyalahkan
perlu dikembangakan dalam menumbuhkan budaya keselamatan pasien.
Cara organisasi membangun budaya keadilan dengan memberikan motivasi
dan keterbukaannya terhadap perawat untuk memberikan informasi kejadian
yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Hal ini juga termasuk kerjasama
antar perawat sehingga mengurangi rasa takut untuk melaporkan kejadian
berkaitan dengan keselamatan pasien.
d. Budaya pembelajaran (learning culture)
Budaya pembelajaran memiliki pengertian bahwa sebuah organisasi
memiliki sistem umpan balik terhadap kejadian kesalahan atau insiden dan
pelaporannya, serta pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas perawat
dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Setiap lini di dalam organisasi,
baik perawat maupun manajemen menggunakan insiden yang terjadi sebagai
proses belajar. Perawat dan manajemen berkomitmen untuk mempelajari
insiden yang terjadi, mengambil tindakan atas insiden untuk diterapkan guna
mencegah terulangnya kesalahan.

3. Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana


Penerapan budaya keselamatan bermanifestasi sebagai iklim keselamatan
dan merupakan sebuah potret dari budaya keselamatan yang berlaku dalam
individu dan kelompok, serta dapat diukur dengan kuesioner (Agnew et al, 2013).
Organisasi yang menerapkan budaya keselamatan pasien berarti anggota dalam
organisasi tersebut harus membangun organisasi yang terbuka (open), adil (just),
informatif dalam melaporkan kejadian yang terjadi (reporting), dan belajar dari
kejadian tersebut (learning).
Penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana adalah
tindakan yang dilakukan oleh perawat pelaksana yang mencerminkan dimensi
budaya keselamatan pasien yaitu keterbukaan dan melaporkan ketika terjadi
insiden keselamatan pasien, keadilan antar perawat ketika terjadi insiden
keselamatan pasien, serta pembelajaran terhadap suatu kesalahan atau insiden
keselamatan pasien (KBBI, 2013; NPSA, 2004; Reiling, 2006).
Menerapkan budaya keselamatan pasien yang baik adalah ketika perawat
secara aktif dan konstan menyadari potensial terjadinya kesalahan dan dapat
mengidentifikasi serta mengenali kejadian yang telah terjadi, belajar dari
kesalahan dan mengambil tindakan untuk memperbaiki kesalahan tersebut
(NPSA, 2004). Penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana
disimpulkan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh perawat pelaksana yang
mencerminkan keterbukaan, pelaporan, keadilan, dan pembelajaran terhadap
insiden keselamatan pasien yang dapat diukur dengan kuesioner.
4. Manfaat Penerapan Budaya Keselamatan Pasien
Manfaat utama dalam penerapan budaya keselamatan pasien adalah
organisasi menyadari apa yang salah dan pembelajaran terhadap kesalahan
tersebut (Reason, 2000 dalam Cahyono, 2008). Fleming (2006) juga mengatakan
bahwa fokus keseluruhan terhadap penerapan budaya keselamatan pasien
dengan melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam organisasi akan lebih
membangun budaya keselamatan pasien dibandingkan apabila hanya fokus
terhadap programnya saja. Adapun manfaat dalam penerapan budaya
keselamatan pasien secara rinci antara lain (NPSA, 2004):
a. Membuat organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan
terjadi atau jika kesalahan terjadi.
b. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang
terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang kembali
dan keparahan dari insiden keselamatan pasien.
c. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error dan
melaporkan jika ada kesalahan.
d. Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu karena
kesalahan yang telah diperbuat.
e. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami
insiden, pada umumnya akan mengalami perpanjangan hari perawatan dan
pengobatan yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya diterima
pasien.
f. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi.
g. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh


Perawat Pelaksana
1. Manajemen dan kepemimpinan (leadership)
Transformasi atau perubahan penerapan budaya dari budaya yang
negatif menuju budaya yang positif memerlukan pengkajian manajemen dan
pengarahan kepemimpinan. Ketika kepemimpinan dan manajemen
berkomitmen untuk budaya keselamatan pasien, seluruh anggota organisasi
akan mengikuti dan dengan demikian dapat menemukan akar penyebab
masalah dan menjadikan hal tersebut sebagai suatu proses dalam organisasi
(Marquis & Huston 2010).
Dalam suatu proses transformasi nilai (proses internalisasi nilai
keselamatan pasien menjadi bagian dari budaya organiasai) pemimpin mulai
mengajak perawat untuk melihat, percaya, bergerak dan menyelesaikan
perubahan sehingga organisasi menemukan nilai-nilai kolektif dan memakai
nilai-nilai tersebut sebagai perekat, menjadi tuntunan dalam membentuk
kebiasaan dan perilaku setiap individu dan kelompok (Cahyono, 2008). Hal
tersebut didikung oleh penelitian yang mengatakan ada hubungan yang positif
antara kepemimpinan efektif oleh kepala ruang dengan penerapa budaya
keselamatan pasien (Setiowati, 2010).
Ada 3 domain perilaku kepemimpinan yang mampu menjadi agen
perubahan (change agent) bagi perilaku anggota dalam suatu organisasi
yakni pengarahan (direction), pengawasan (supervision), serta koordinasi
(coordination) (Gillies, 1994).
a. Pengarahan
Pengarahan mengacu pada penugasan, perintah, kebijakan,
peraturan, standar, pendapat, saran, dan pertanyaan untuk mengarahkan
perilaku bawahan. Kebijakan, prosedur, standar, dan tugas menjadi alat
dalam memimpin orang lain untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan.
Perintah dalam pengarahan dapat berupa perintah lisan atau tertulis oleh
atasan organisasi yang membutuhkan untuk bawahan untuk bertindak
atau menahan diri dari bertindak dengan cara tertentu (Gillies, 1994)
b. Supervisi
Supervisi pelayanan keperawatan dikatakan sebagai kegiatan
dinamis yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan kepuasan
antara dua komponen yang terlibat yaitu supervisor atau pimpinan, orang
yang disupervisi sebagai mitra kerja dan pasien sebagai penerima jasa
pelayanan keperawatan (Arwani & Supriyatno, 2006). Supervisi
merupakan perilaku kepemimpinan yang berfungsi untuk memeriksa
pekerjaan, mengevaluasi kinerja, memperbaiki kinerja staf, memberi
dukungan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja (Gillies, 1994;
Rowe & Haywood, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih
banyak dukungan yang diberikan oleh pemimpin atau supervisor untuk
keselamatan pasien akan meningkatkan penerapan budaya keselamatan
pasien oleh perawat, yakni meningkatkan frekuensi keterbukaan dan
pelaporan atas insiden keselamatan pasien. Persepsi yang baik tentang
keselamatan pasien juga dikatakan menjadi meningkat dan kemungkinan
dapat menyebabkan meningkatnya keterbukaan dan pelaporan insiden
keselamatan pasien (Jardali et al, 2011).
c. Koordinasi
Koordinasi adalah kegiatan kepemimpinan yang mencakup semua
kegiatan yang memungkinkan staf untuk bekerja bersama secara
harmonis. Koordinasi penting dilakukan untuk keberhasilan suatu
organisasi kesehatan. Umumnya koordinasi kegiatan staf terjadi selama
pertemuan kelompok kerja utama karena beberapa anggota
mengkhususkan diri dalam tugas terkait, seperti kegiatan
menyempurnakan tujuan, identifikasi masalah, dan analisis data. Staf
yang lain mengkhususkan diri dalam kegiatan perawatan. Pemecahan
masalah dalam kegiatan koordinasi harus cukup panjang untuk
memungkinkan diskusi lengkap dari topik masalah, dan dalam kegiatan ini
staf yang wajib hadir dibebaskan dari tugas perawatan pasien (Gillies,
1994).
2. Faktor kepegawaian (staffing)
Kepegawaian merupakan komponen utama dari faktor yang
mengakibatkan perawat mau menerapkan budaya keselamatan pasien.
Memiliki tenaga kerja yang kuat, mampu, dan termotivasi adalah salah satu
tantangan terbesar dalam rumah sakit. Tenaga medis di rumah sakit sering
mengalami stress dan sulit tidur akibat panjangnya jam kerja yang mungkin
menyebabkan penyimpangan dalam kinerja sehingga mengarah pada
penurunan kualitas dan kinerja perawat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perawat yang termotivasi akan meningkatkan persepsiperawat mengenai
keselamatan pasien dan keamanan bekerja, sehingga akan melaporkan
secara terbuka insiden keselamatan pasien yang terjadi (Jardali et al, 2011).

3. Lingkungan fisik dan akreditasi rumah sakit


Lingkungan fisik rumah sakit yaitu ukuran rumah sakit dan status
akreditasi rumah sakit juga merupakan faktor yang mempengaruhi penerapan
budaya keselamatan pasien. Rumah sakit kecil mencetak frekuensi pelaporan
insiden keselamatan pasien lebih tinggi disbanding RS besar, serta memiliki
persepsi yang tinggi mengenai keselamatan pasien. Rumah sakit besar
biasanya selalu menerima menghadapi tantangan yang datang terutama
untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih berkualitas, akibat birokrasi yang
ada. Sebaliknya rumah sakit kecil memiliki budaya yang lebih homogen di
mana anggotanya lebih mungkin dan mudah untuk membagi nilai-nilai yang
sama terutama mengenai keselamatan pasien. Rumah sakit yang
terakreditasi dikatakan memiliki anggota dengan persepsi dan frekuensi
pelaporan insiden keselamatan pasien lebih tinggi dibandingkan rumah sakit
non-akreditasi (Jardali et al, 2011). d. Karakteristik perawat pelaksana
Kinerja atau performance dalam suatu organisasi kesehatan tergantung
pada pengetahuan, keterampilan, dan motivasi pekerja kesehatan itu sendiri
(Negussie, 2010).
Karakteristik perawat merupakan ciri-ciri individu yang melekat pada
dirinya yang memengaruhi performance.
a) Usia
Kemampuan dan keterampilan seseorang seringkali dihubungkan
dengan usia, sehingga semakin lama usia seseorang maka pemahaman
terhadap masalah akan lebih dewasa dalam bertindak, dan berpengaruh
terhadap produktivitas dalam bekerja (Depkes RI, 2002 dalam Hasmoko,
2008). Penelitan oleh Setiowati (2010) menyatakan usia perawat
pelaksana berhubungan positif dengan penerapan budaya keselamatan
pasien. Hal tersebut didukung oleh penelitian oleh Nurmalia (2012) yang
menyatakan usia dewasa muda dianggap lebih mudah menerima
perubahan sehingga mempengaruhi dalam mempersepsikan budaya
keselamatan pasien.
b) Tingkat pendidikan perawat
Pendidikan merupakan suatu metode pengembangan organisasi
dimana staf mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk tujuan
positif dan staf mendapat pengetahuan yang penting untuk penampilan
kinerjanya dalam hal kognitif, psikomotor, dan sikap. Pendidikan adalah
indikator yang menunjukkan kemampuan individu untuk menyelesaikan
pekerjan yang menjadi tanggung jawabnya (Hasibuan, 2008). Latar
belakang pendidikan perawat berpengaruh terhadap penerapan
keselamatan pasien. Survey berdasarkan evidence based di New Zealand,
Amerika Serikat, dan Thailand menyebutkan ada kenaikan insidensi faktor
penyebab kematian pasien di RS pada tenaga perawat dengan latar
belakang pendidikan campuran dan terdapat penurunan pada ketenagaan
yang sudah teregistrasi (Ridley, 2008).
c) Masa kerja
Masa kerja adalah jangka waktu yang dibutuhkan seseorang dalam
bekerja sejak mulai masuk dalam lapangan pekerjaan, semakin lama
seseorang bekerja semakin terampil dan berpengalaman dalam
melaksanakan pekerjaannya (Siagian, 2000 dalam Zakiyah, 2012). Masa
kerja akan memberikan pengalaman kerja yang lebih banyak pada
seseorang.Pengalaman kerja berhubungan dengan kinerja seseorang.
Hasil penelitian oleh Setiowati (2012) menunjukkan ada hubungan positif
antara masa kerja dengan penerapan budaya keselamatan pasien.

4. Mengukur Penerapan Budaya Keselamatan Pasien


Salah satu alat untuk mengukur penerapan budaya keselamatan
pasien adalah dengan instrument kuesioner The Hospital Survey of Patient
Safety Culture (HSOPSC) yang dikembangkan oleh Agency for Health Care
Research and Quality (AHRQ). Agency for Health Care Research and Quality
merupakan suatu komite untuk kualitas kesehatan di Amerika yang memimpin
lembaga Federal untuk peneltian tentang kualitas kesehatan, biaya, outcome,
dan keselamatan pasien. AHRQ mendanai 100 penelitian untuk
mengidentifikasi instrumen yang dijadikan alat untuk menilai budaya
keselamatan pasien (Fleming, 2006). Pada dasarnya empat dimensi budaya
keselamatan pasien yakni budaya keterbukaan, pelaporan, keadilan, dan
budaya pembelajaran digunakan dalam menilai budaya keselamatan pasien
dalam suatu organisasi kesehatan. The Hospital Survey of Patient Safety
Culture yang dikembangkan oleh AHRQ menggunakan komponen-komponen
sebagai indikator masing-masing dimensi budaya keselamatan pasien.
Indikator dimensi budaya keterbukaan antara lain (1) komunikasi terbuka, (2)
kerjasama dalam unit, (3) kerjasama antar unit, (4) persepsi keselamatan
pasien. Indikator dimensi budaya keadilan adalah (1) umpan balik (feedback)
dan komunikasi, (2) staffing, (3) respon tidak menghukum. Indikator dimensi
budaya pelaporan mengandung komponen (1) pelaporan kejadian, (2) hand
over sedangkan indikator dari dimensi budaya pembelajaran mengandung
komponen (1) pembelajaran oleh perawat, (2) ekspektasi manajer, dan (3)
dukungan manajemen (Fleming, 2006).
BAB III
MEMBANGUN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN
DI RUMAH SAKIT

A. Membangun budaya keselamatan pasien Di rumah sakit


Keselamatan pasien rumah sakit merupakan suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk : asesmen resiko, identifikasi
dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Membangun budaya keselamatan pasien di RS dilakukan dengan prosedur
sebagai berikut :
1. Seluruh personel RS memiliki kesadaran yang konstan dan aktif tentang hal
yang potensial menimbulkan kesalahan.
2. Baik staf maupun organisasi RS mampu membicarakan kesalahan, belajar dari
kesalahan tersebut dan mengambil tindakan perbaikan.
3. Bersikap terbuka dan adil / jujur dalam membagi informasi secara terbuka dan
bebas, dan penanganan adil bagi staf bila insiden terjadi.
4. Pimpinan terkait menerangkan bahwa penyebab insiden keselamatan pasien
tidak dapat dihubungkan dengan sederhana ke staf yang terlibat. Semua
insiden berkaitan juga dengan sistem tempat orang itu bekerja.
5. Perubahan nilai, keyakinan dan perilaku menuju keselamatan pasien penting
bukan hanya bagi staf, melainkan juga semua orang yang bekerja di RS serta
pasien dan keluarganya. Tanyakan apa yang bisa mereka bantu untuk
meningkatkan keselamatan pasien RS.
6. Penjelasan/pemahaman tentang aktivitas organisasi RS yang bersifat resiko
tinggi dan rentan kesalahan.
7. Lingkungan yang bebas menyalahkan, sehingga orang dapat melapor
kesalahan tanpa penghukuman.
8. Pimpinan wajib berkomitmen mendukung dan memberikan penghargaan
kepada staf yang melaporkan insiden keselamatan pasien, bahkan meskipun
kemudian dinyatakan salah.
9. Komunikasi antar staf dan tingkatan harus sering terjadi dan tulus.
10. Terdapat keterbukaan tentang kesalahan dan masalah bila terjadi pelaporan.
11. Pembelajaran organisasi. Tanggapan atas suatu masalah lebih difokuskan
untuk meningkatkan kinerja sistem daripada untuk menyalahkan seseorang.
Seluruh staf harus tahu apa yang harus dilakukan bila menemui insiden: mencatat,
melapor, dianalisis, memperoleh feed back, belajar dan mencegah pengulangan.

B. Rencana Kegiatan untuk membangun Budaya keselamatan


Kegiatan yang dilakukan di rumah sakit kami dalam membangun budaya
keselamatan pasien sebagai berikut :
1. Memberlakukan motto rumah sakit “ melayani dengan tulus dan ihklas ”.
Dengan motto ini diharapkan para karyawan yang bekerja di rumah sakit
mengingatnya dan menerapkan dalam pekerjaan sehari-hari.
2. Melakukan diklat patient safety pada perawat dan karyawan yang baru masuk.
Diklat dibawakan oleh Manajer Pelayanan Medis yang sudah mengikuti
berbagai seminar atau symposium mengenai patient safety.
3. Melakukan diklat berkelanjutan mengenai patient safety kepada para karyawan
lama.
4. Manajemen melakukan ronde keselamatan pasien setiap hari selama 30 menit
sampai dengan 1 jam. Ronde ini dilakukan oleh semua manajer yang terlibat,
berkeliling ruangan mencari dan melakukan identifikasi resiko.
5. Memberlakukan pemberian penghargaan kepada karyawan yang melaporkan
KPC.
6. Melakukan pembahasan insiden keselamatan pasien yang terjadi. Rapat
patient safety dilakukan seminggu sekali. Karyawan yang terlibat dalam kasus
patient safety wajib datang untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi. No
blaming system diterapkan pada rapat ini.
7. Setiap pagi melakukan morning report yang melaporkan juga kasus insiden
keselamatan pasien.
8. Mengundang ahli patient safety ke rumah sakit untuk melakukan seminar atau
diklat terkait patient safety.

BAB IV
KESIMPULAN

Keselamatan pasien sudah diterapkan di hamper seluruh rumah sakit di Indonesia.


Rumah sakit yang tidak menerapkan keselamatan pasien dalam pelayanan mereka akan
perlahan ditinggalkan oleh pasien.
Membangun budaya keselamatan pasien di rumah sakit bukanlah pekerjaan yang
sederhana. Sehingga memerlukan waktu dan pekerjaan yang tidak sebentar. Akhirnya
target akhir dengan kegiatan PATIENT SAFETY diharapkan terjadi penekanan /
penurunan insiden keselamatan pasien sehingga dapat lebih meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap rumah sakit di Indonesia. Program Keselamatan Pasien merupakan
never ending proses, karena itu diperlukan budaya termasuk motivasi yang cukup tinggi
untuk bersedia melaksanakan program keselamatan pasien secara berkesinambungan
dan berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai