Anda di halaman 1dari 16

TATA KELOLA KLINIS

PATIENT SAFETY DAN MANAJEMEN RESIKO :


PENCEGAHAN MEDICATION ERROR

1.1 Latar belakang


Isu global saat ini berada pada tatanan pelayanan kesehatan
adalah keselamatan pasien (patient safety) dan manajemen resiko. World
Health Organization (WHO) tahun 2004 dalam panduan keselamatan
pasien dan management resiko tahun 2008 yang dikeluarkan oleh PERSI
(Perhimpunan Seluruh Rumah Sakit Indonesia), KK-RS (Komite
Keselamatan Rumah Sakit), KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) dan
IMRK (Insitut Management Resiko Klinis) menyebutkan bahwa “ safety is
fundamental principle of patient care and critical component of quality
management “. Selain itu, disebutkan dalam Kepmenkes 129 tahun 2008
mengenai standar pelayanan minimal rumah sakit, diantaranya disebutkan
bahwa kejadian infeksi rumah sakit di rawat inap diharapkan ≤1,5% dan
risiko kesalahan tindakan operasi diharapkan 0%. Oleh karena itu, jelas
bahwa keselamatan pasien merupakan hal penting yang harus menjadi
perhatian utama dalam setiap pemberian layanan kesehatan (WHO, 2014).
World Health Organization (WHO) pada tahun 2004
mengumpulkan angka - angka penelitian rumah sakit di berbagai Negara :
Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia, ditemukan KTD dengan
rentang 3.2 – 16,6%. Data – data tersebut menjadikan pemicu berbagai
negara segera melakukan penelitian dan mengembangkan sistem
keselamatan pasien (DepKes, 2008). Data di Indonesia tentang KTD
apalagi Kejadian Nyaris Cedera (Near Miss) masih langka, namum dilain
pihak terjadi peningkatan tuduhan “mal praktek”, yang belum tentu sesuai
dengan pembuktian akhir. Insidensi pelanggaran patient safety 28.3%
dilakukan oleh perawat. Perawat harus menyadari perannya sehingga
harus dapat berpartisipasi aktif dalam mewujudkan patient safety. Kerja
keras perawat tidak dapat mencapai level optimal jika tidak didukung
dengan sarana prasarana, manajemen rumah sakit dan tenaga kesehatan
lainnya (Adib, 2009).
Menurut Depkes (2006) keselamatan pasien rumah sakit
adalah suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman. Salah satu tujuan penting dari penerapan sistem keselamatan
pasien di rumah sakit adalah mencegah dan mengurangi terjadinya Insiden
Keselamatan Pasien (IKP) dalam pelayanan kesehatan. IKP adalah setiap
kejadian atau situasi yang dapat mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cidera yang seharusnya tidak terjadi. IKP ini meliputi
kejadian tidak diharapkan (KTD), kejadian nyaris cidera (KNC),
kejadian potensial cedera (KPC), kejadian sentinel. Menurut DepKes
setiap tenaga kesehatan di Rumah Sakit termasuk didalamnya perawat
wajib menerapkan keselamatan pasien (Patient safety) untuk mencegah
insiden keselamatan. Kemenkes melaporkan insiden keselamatan pasien
paling banyak terjadi di Indonesia adalah kesalahan pemberian obat (KKP-
RS 2007).
Program Keselamatan Pasien (patient safety) adalah suatu sistem
yang memastikan rumah sakit membuat asuhan pasien menjadi lebih
aman. Komponen yang Termasuk didalamnya adalah:pengkajian risiko,
identifikasi dan pengelolan risiko pasien, pelaporan dan analisa insiden,
kemampuan belajar dari insiden, dan tindaklanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem ini mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil,
maka sangat dibutuhkan komunikasi yang benar dalam merawat pasien
(Yulia, 2010). Komunikasi terhadap berbagai informasi mengenai
perkembangan pasien antar profesi kesehatan di rumah sakit merupakan
komponen yang fundamental dalam perawatan pasien (Riesenberg, 2010).
Alvarado, et al. (2006) mengungkapkan bahwa ketidakakuratan informasi
dapat menimbulkan dampak yang serius pada pasien, hampir 70%
kejadian sentinel yaitu kejadian yang mengakibatkan kematian atau cedera
yang serius di rumah sakit disebabkan karena buruknya komunikasi
(Alvarado, et al., 2006)
Gallagher & Blegen (2009) mengemukakan bahwa pemahaman
dan penguasaan terhadap peran pemberi pelayanan baik dalam lingkup
pengetahuan dan ketrampilan untuk mencegah kesalahan berperan penting
untuk mengembangkan strategi efektif dalam mengurangi resiko kesalahan
pada pasien. Pengetahuan dan ketrampilan perawat perlu ditingkatkan
seiring dengan bertambahnya masa kerja. Selain itu, penelitian tersebut
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara umur perawat terhadap
penerapan keselamatan pasien terutama terjadinya kesalahan (adverse
event). Penelitian serupa tentang hubungan pengetahuan dan motivasi
dengan sikap mendukung penerapan program patient safety di Rumah
Sakit Umum Daerah Moewardi Surakarta menyimpulkan bahwa
pengetahuan perawat pelaksana tentang konsep patient safety baik dan
sikap mendukung penerapan program patient safety tinggi (Aryani, 2008).
Setiap rumah sakit tentunya memiliki manajemen keamanan
masing-masing yang akan menjamin keamanan pasiennya saat
mendapatkan pelayanan demi tujuan untuk mencapai kesehatan sehingga
dapat mempercepat proses kesembuhannya tanpa mengesampingkan
prinsip-prinsip penting dalam patient safety. Berdasarkan uraian di atas
menunjukkan jika patient safety sangatlah penting untuk dicanangkan di
dalam ruang lingkup rumah sakit, termasuk unit pelayanan kesehatan jiwa.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN LITERTUR REVIEW

2.1. Konsep Patient Safety


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1691/ MENKES/ PER/
VIII/ 2011 mendefinisikan bahwa keselamatan pasien di rumah sakit
merupakan suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman. Dalam hal ini meliputi aspek assesment resiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini
mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya dilakukan (Depkes RI, 2006).
Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu variabel untuk
mengukur dan mengevaluasi kualitas pelayanan keperawatan yang
berdampak terhadap pelayanan kesehatan. Program keselamatan pasien
bertujuan menurunkan angka Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang
sering terjadi pada pasien selama dirawat di rumah sakit sehingga sangat
merugikan baik pasien sendiri dan pihak rumah sakit. KTD bisa disebabkan
oleh berbagai faktor antara lain beban kerja perawat yang tinggi, alur
komunikasi yang kurang tepat, penggunaan sarana kurang tepat dan lain
sebagainya (Nursalam, 2011).
Keselamatan pasien merupakan suatu sistem yang sangat dibutuhkan
oleh rumah sakit dimana dengan adanya sistem ini diharapkan dapat
meminimalisir kesalahan dalam penanganan pasien baik pada pasien UGD,
rawat inap maupun pasien poliklinik (PERSI, 2008). Keselamatan pasien
merupakan pencegahan cidera terhadap pasien. Pencegahan cidera
merupakan kondisi bebas dari bahaya yang terjadi baik tidak sengaja
maupun dapat dicegah sebagai hasil pemberian asuhan kepada pasien
(Hughes, 2008).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
keselamatan pasien di rumah sakit (KPRS) merupakan sistem pelayanan
dalam suatu rumah sakit yang memberikan asuhan pasien menjadi lebih
aman, pencegahan dan perbaikan kejadian yang tidak diharapkan, mengukur
resiko yang mungkin terjadi, identifikasi dan pengelolahan resiko terhadap
pasien, analisa insiden, menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi
untuk mengurangi resiko sehingga asuhan yang diberikan kepada pasien
berada dalam kondisi bebas dari bahaya yang terjadi baik tidak sengaja
maupun dapat dicegah.

2.2. Medication Error


Salah satu definisi medication error yang paling banyak digunakan,
yang berasal dari National Coordinating Council for Medication Error
Reporting and Prevention (NCCMERP), adalah sebagai berikut: "Kesalahan
pengobatan adalah kejadian yang dapat dicegah yang dapat menyebabkan
atau mengarah pada penggunaan obat yang tidak tepat atau membahayakan
pasien saat obat berada dalam kendali profesional kesehatan, pasien, atau
konsumen. Peristiwa semacam itu mungkin terkait dengan praktik
profesional, produk perawatan kesehatan, prosedur, dan sistem, termasuk
peresepan, komunikasi pesanan, pelabelan produk, pengemasan, dan
nomenklatur, peracikan, pengeluaran, distribusi, administrasi, pendidikan,
pemantauan, dan penggunaan. ". (NCCMERP, 2019).
Kesalahan yang paling umum terjadi adalah kelalaian entry data
komputerisasi obat yang sesuai dengan pesanan dokter, kelalaian dosis,
kurang kontrol identitas (lemah dalam mengontrol identitas pasien),
kelalaian obat. Kesalahan paling sedikit terdeteksi pada tahap peresepan.
Kesalahan selama proses pengobatan umum terjadi di bangsal psikiatrik
sejauh yang menyerupai tingkat kesalahan dalam perawatan somatik.
Meskipun sebagian besar kesalahan dengan berpotensi membahayakan
pasien, sangat sedikit kesalahan yang dianggap berpotensi fatal. Dibutuhkan
kesadaran yang lebih besar dari staf medis tentang keamanan obat dan
pedoman terkait dengan proses pengobatan. (Soerensen, et al, 2013)
Studi Peusschers, Twine, Wheeler, Moudgil, & Patterson (2015) di
Rumah Sakit Umum Australia yang memiliki layanan psikiatrik
membuktikan bahwa adanya potensi sumber kesalahan pengobatan. Studi
ini merupakan studi audit retrospektif dari 54 catatan psikiatrik yang dipilih
secara acak. Catatan diperoleh dari 54 orang dengan diagnosis gangguan
psikotik (n=30; 56%), terutama skizofrenia 24 orang (44%) dan 9 orang
(17%) dengan depresi. Sisanya merupakan diagnosis lain seperti gangguan
kepribadian, eating disorder dan kecemasan. Pada studi ini ditemukan nama
obat-obatan psikotropika sering didokumentasikan; namun efek terapi yang
diinginkan atau efek samping potensial jarang didokumentasikan serta
perubahan obat psikotik jarang dicatat.
Data penelitian tersebut mengungkapkan bahwa staf medis harus
menjadi sadar akan keamanan obat-obatan dengan mengkomunikasi terkait
informasi obat tersebut, risiko kesalahan antar dokter yang memberikan
perawatan dan tenaga kesehatan lainnya. Hal ini sejalan dengan Duxbury,
Wright, Bradley, & Barnes (2010) yang mengungkapkan bahwa kesalahan
pengobatan (medication error) berkontribusi dalam mengancam praktik
pemberian obat yang aman dalam pelayanan kesehatan jiwa. Obat adalah
intervensi terapeutik yang penting dan mungkin menjadi salah satu tugas
penting dari seorang perawat di pelayanan kesehatan jiwa. Namun,
penelitian ini juga menemukan bahwa perawat di pelayanan psikiatris
kekurangan pengalaman dan pengetahuan dasar, menderita stres, dan
menerima dukungan serta pengawasan yang tidak memadai terkait
pemberian obat (Duxbury et al., 2010).

2.3. Electronic Prescribing di Layanan rawat jalan Kesehatan Jiwa


Dari banyaknya kemungkinan penyebab kesalahan pengobatan seperti
resep (skrip yang tidak lengkap atau tidak akurat), apotek (seperti mengisi
obat yang salah atau tertukar obat di antara pasien), dan pasien itu sendiri
(misalnya mengambil obat yang seharusnya sudah dihentikan) menjadi
salah satu yang mendapat perhatian pada pemberian resep rawat jalan
(Joseph, Sow, Furukawa, Posnack, & Daniel, 2013). Sehingga di tahun
2003, Pemerintah AS memulai serangkaian program untuk
mengintegrasikan catatan kesehatan elektronik (EHR) dengan basis e-
prescription untuk mengurangi kesalahan yang disebabkan oleh tulisan
tangan yang tidak terbaca, skrip resep yang hilang, dan instruksi yang tidak
lengkap atau tidak akurat. Tahun 2011, program Meaningful Use
menggantikan Medicare dan terjadi peningkatan secara drastis terkait
peresepan e-resep dan pada tahun 2015,sekitar 1,41 miliar resep elektronik
telah dikirim kepada pasien (Hirschtritt, Chan, & Ly, 2017).
Sebuah penelitian observasional dan kohort oleh Abramson, Pfoh,
Barrón, Quaresimo, & Kaushal (2013) menunjukkan bahwa beberapa jenis
kesalahan pengobatan rawat jalan berkurang dengan resep elektronik;
misalnya dalam waktu tiga bulan menerapkan sistem resep elektronik di
antara 20 penyedia perawatan primer, tingkat kesalahan pengobatan turun
menjadi 6%, jauh lebih rendah daripada tingkat kesalahan rata-rata terkait
dengan resep berbasis kertas. Sayangnya, terlepas dari banyak manfaatnya,
e-prescription belum menghilangkan kesalahan pengobatan rawat jalan
secara menyeluruh. Bahkan, resep elektronik yang sudah mengurangi
beberapa jenis kesalahan tetapi menciptakan yang baru. Dengan e-
meresepkan, dokter mungkin masih menghilangkan aspek-aspek penting
dari suatu pesanan (dosis atau kekuatan obat tersebut), meresepkan obat
yang salah, melanjutkan obat yang seharusnya telah dihentikan, dan
meresepkan obat yang sama beberapa kali dengan instruksi yang berbeda
(Brown et al., 2016). Ketergantungan peresepan pada e-prescription juga
mengurangi peluang untuk berinteraksi dengan staf farmasi yang merupakan
langkah penting dalam menyampaikan instruksi yang kompleks.

2.4. Peran Perawat


Perawat mempunyai peran yang penting dalam proses pemberian obat
pasien gangguan jiwa rawat inap. Peran perawat tersebut dimulai sejak
peresepan yaitu melakukan telaah terhadap penulisan resep dokter,
kemudian menyalin resep tersebut kedalam lembar catatan pengobatan
pasien. Selanjutnya perawat akan mengirimkan resep tersebut ke bagian
farmasi/apotik, setelah mendapatkan obat kemudian melakukan telaah
terhadap obat yang diberikan oleh apotik apakah sesuai dengan resep yang
diterima pasien dari dokter. Perawat akan memberikan obat kepada pasien
sesuai prinsip 5 benar yang meliputi benar dosis, waktu, pasien, cara
pemberian dan dokumentasi. Perawat juga diwajibkan untuk mengobservasi
dan mencatat efek samping obat yang mungkin muncul akibat pemberian
obat. Berdasarkan peran perawat tersebut, maka perawat wajib menguasai
tentang pemberian obat pada pasien gangguan jiwa.

2.5. Faktor Penyebab Medication Error


Sebuah penelitian oleh (Agyemang & While, 2010) melaporkan
bahwa 39% dari Medication Error terjadi selama fase peresepan dokter, dan
38% terjadi selama proses administrasi obat perawat. Semua kesalahan lain
terbukti terjadi antara tahap transkrip dan pengeluaran. Penyebab
Medication Error yang sering terjadi pada pasien gangguan jiwa meliputi:
(a) pemberian obat kepada pasien yang salah, (b) pemberian dosis yang
salah, dan (c) gagal memberikan obat yang diresepkan (Wittich, Burkle, &
Lanier, 2014). Menurut Cottney & Innes (2015) hal umum yang terjadi pada
medication error yaitu kesalahan pengobatan, dosis, waktu, rute, pasien dan
dokumentasi.
Hal ini sejalan dengan temuan Steele, Talley, & Frith (2018) di
Amerika yang mengungkapkan bahwa sebanyak seratus dua puluh lima
(77%) medication error terjadi karena obat yang hilang, dimana obat yang
diresepkan tidak diberikan. Dua puluh tiga (13%) kesalahan disebabkan
oleh dokumentasi obat yang salah, misalnya, obat-obatan ditulis di belakang
kartu obat yang dengan mudah dapat diabaikan oleh perawat pada shift
berikut dan menyebabkan kesalahan. Sebanyak sebelas klien (6%) menolak
untuk minum obat yang diresepkan. Sedangkan lima (3%) dari obat klien
hilang dan dua (1%) dari klien menerima dosis obat yang salah. Studi ini
juga menanyakan pertanyaan terbuka terkait hambatan dalam pemberian
obat yang aman di rumah sakit.
Hasil studi yang dilakukan oleh Steele, Talley, & Frith (2018)
menunjukkan bahwa responden mengidentifikasi tiga hambatan utama yaitu
lingkungan, pengetahuan dan manajemen waktu. Peserta menyatakan faktor
lingkungan termasuk yang berikut: (1) sering terganggu oleh staf lain, (2)
bekerja di lingkungan aktif di meja dengan telepon dan beban kerja yang
tinggi. Pendapat mengenai pengetahuan pengobatan mencakup pernyataan
berikut : (1) tidak ada pelatihan dalam bidang kesehatan jiwa, (2) akses
internet dan akses ke farmasi kurang, (3) perawat membutuhkan pendidikan
berkelanjutan tentang obat-obatan, terutama yang diberikan setiap hari, (4)
tidak dapat mengajari pasien tentang apa yang dapat mereka harapkan dari
pengobatan mereka karena perawat tidak memiliki informasi tersebut. Para
peserta juga membuat pendapat mengenai hambatan untuk manajemen
waktu yang efektif dalam proses pemberian obat. Ini termasuk bahwa (1)
mendokumentasikan obat pada empat catatan berbeda adalah mubazir dan
(2) sering interupsi dengan pekerjaan lain menciptakan penurunan dalam
pekerjaan mereka.
Selain itu, penelitian lain juga telah dilakukan oleh Keers, dkk (2015),
yang menyatakan bahwa prescribing error dapat terjadi selain dari faktor
individual penulis resep juga melibatkan fakor-faktor lainnya. Faktor
individual misalnya kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai obat
dan pasiennya, serta kondisi mental dan fisik penulis resep. Faktor lainnya
turut berperan adalah beban kerja tinggi, komunikasi tidak berjalan dengan
baik, pengawasan terhadap jalannya pengobatan yang kurang, sistem kerja
dan sarana yang tidak mendukung, kurangnya pelatihan, belum menganggap
proses peresepan sebagai proses yang penting, hierarki dalam tim medis,
dan kewaspadaan terhadap prescribing error masih rendah (R.N. Keers
et.al., 2015).
Berikut ini kesimpulan dari penyebab kesalahan pemberian obat :
2.3.1 Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi)
Kegagalan dalam berkomunikasi merupakan sumber utama
terjadinya kesalahan. Institusi pelayanan kesehatan harus
menghilangkan hambatan komunikasi antar petugas kesehatan dan
membuat SOP bagaimana resep/permintaan obat dan informasi obat
lainnya dikomunikasikan. Komunikasi baik antar apoteker maupun
dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda atau
ketidaklengkapan informasi dengan berbicara perlahan dan
jelas.Perlu dibuat daftar singkatan dan penulisan dosis yang beresiko
menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai.
2.3.2 Kondisi Gejala Pasien
Pasien yang mengalami gangguan kognitif sangat beresiko untuk
tidak memahami penjelasan petugas kesehatan tentang dosis obat
atau waktu kinum obat yang dianjurkan. Selain itu, pasien yang tidak
mau berkomunikasi akan cenderung tidak melaporkan efek samping
setelah minum obat atau tidak mau meminum obat yang diberikan.
Pasien dengan waham curiga juga sering menolak minum obat yang
diberikan, sedangkan pasien yang mempunyai resiko bunuh diri atau
ide bunuh diri dapat mengalami over dosis obat yang diberikan.
2.3.3 Kesalahan Identifikasi Pasien
Sebuah penelitian yang menganalisis regresi logistic, menyatakan
bahwa jumlah Registered nurse dan nama yang sama/mirip dalam
suatu ruangan akan meningkatkan resiko kesalahan pemberian obat.
2.3.4 Kondisi lingkungan
Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi
lingkungan, area dispensing harus didesain dengan tepat dan sesuai
dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan pencahayaan
yang cukup dan temperature yang nyaman.Selain itu, area kerja
harus bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan.Obat
untuk setiap pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah.
2.3.5 Gangguan/ interupsi pada saat bekerja
Gangguan/ interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi
interupsi baik langsung maupun melalui telepon.
2.3.6 Beban bekerja
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk
mengurangi stres dan beban kerja berlebihan sehingga dapat
menurunkan kesalahan.
2.3.7 Edukasi dari staf
Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam
menurunkan insiden/kesalahan, tetapi hal ini dapat memainkan peran
penting ketika dilibatkan dalam sistem menurunkan
insiden/kesalahan pemberian obat.

2.6. Bentuk-Bentuk Kejadian Medication Error


Menurut NCCMERP (2019) adapun bentuk-bentuk kejadian medication
error antara lain yaitu :
2.3.1. Fase prescribing
Fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase penulisan
resep, meliputi obat yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat
pasien atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat yang tidak
ada indikasinya, tidak tepat dosis dan aturan pakai.
2.3.2. Fase transcribing
Fase transcribing adalah error yang terjadi pada saat pembacaan
resep untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep
karena tulisan yang tidak jelas, misalnya Losec® (omeprazole)
dibaca Lasix® (furosemide), aturan pakai 2 kali sehari 1 tablet
terbaca 3 kali sehari 1 tablet. Salah dalam menerjemahkan order
pembuatan resep dan signature juga dapat terjadi pada kasus ini.
2.3.3. Fase dispensing
Fase dispensing adalah error yang terjadi pada saat penyiapan
hingga penyerahan resep oleh petugas apotek. Salah satu
kemungkinan terjadinya error adalah salah dalam mengambil obat
dari rak penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip
atau dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya. Selain itu salah
dalam menghitung jumlah tablet yang akan diracik, ataupun salah
dalam memberikan informasi.
2.3.4. Fase administrasi
Fase administrasi adalah error yang terjadi pada proses
penggunaan obat, yaitu proses yang dimana terjadi saat obat
diberikan dari petugas apotek ke pasien atau dari petugas apotek
kepala keluarga pasien. Dan pada proses ini juga meliputi fase
digunakannya obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan
pasien atau keluarganya. Biasanya pada fase ini ketidaklengkapan
yang terjadi yaitu salah pemberian informasi tentang penggunaan
obat. Error yang terjadi misalnya salah menggunakan suppositoria
yang seharusnya melalui dubur tapi dimakan dengan bubur, salah
waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi
diminum bersama makan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Soerenson, (2017)
mengatakan perawat psikiatrik yang terlatih secara farmakologis
tidak menghasilkan pengurangan insiden kesalahan pemberian obat
yang signifikan secara statistik dalam tata kelola rumah sakit jiwa.
Namun, dalam penelitian ini menggunakan sampel penelitian dan
intervensinya relatif kecil, dan hasilnya harus memacu pertanyaan
tentang cara-cara lain perawat dapat mempengaruhi keamanan obat
dan kesesuaian obat. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa
operasionalisasi pengamatan perawat untuk mencapai perbaikan
yang berguna dalam keamanan obat bergantung pada kolaborasi dan
tindakan dokter.
2.7. Langkah-Langkah Pengelolaan Medication Errors
Sebuah penekanan dari manajemen pada pentingnya melaporkan
semua kesalahan, termasuk yang beresiko, untuk memastikan suatu evaluasi
yang akurat. Perlu adaptasi praktik terkait recovery yang berorientasi
budaya agar dapat digabungkan dengan praktik medis sehingga
memungkinkan organisasi untuk bekerja menyediakan layanan yang
berfokus pada pasien yang bertujuan untuk hasil optimal dari perawatan
pasien yang aman dan berkualitas peduli. Adapun beberapa upaya
pencegahan yang dapat dilakukan antara lain (1) perubahan struktural, (2)
perubahan kebijakan dan praktik, (3) perubahan tanggung jawab individu,
(4) peningkatan budaya tempat kerja, dengan pelatihan dan pendidikan staf
merupakan komponen dalam menangani pengurangan kesalahan
pengobatan (Morrison, 2018).
Dibutuhkan kesadaran yang lebih besar dari staf medis tentang
keamanan obat dan pedoman terkait dengan proses pengobatan.
Berdasarkan penelitian ini, banyak kesalahan yang mungkin dapat dicegah
oleh staf perawat saat mengelola pemberian obat dan perawat harus
mengamati kondisi pasien untuk mengetahui efek dan efek samping dari
pengobatan. Selain itu, NCCMERP (2019) juga menjelaskan bahwa
langkah-langkah pengelolaan medication errors adalah sebagai berikut :
2.4.1. Klasifikasikan jenis medication errors yang terjadi.
2.4.2. Tentukan penyebab terjadinya medication errors.
2.4.3. Medication errors harus didokumentasikan dan dilaporkan segera
kepada dokter, perawat, dan kepala IFRS.
2.4.4. Untuk kesalahan yang signifikan secara klinik, pengumpulan fakta
dan investigasi harus segera dimulai. Fakta yang harus ditetapkan
dan didokumentasikan termasuk apa yang terjadi, di mana peristiwa
terjadi, mengapa dan bagaimana peristiwa terjadi, siapa yang terlibat.
Bukti produk (misal etiket dan kemasan) harus dicari dan disimpan
untuk acuan di kemudian hari.
2.4.5. Identifikasikan langkah-langkah yang akan dilakukan dengan benar
dan dokumentasikan
2.4.6. Terapi perbaikan dan terapi suportif harus diberikan kepada pasien.
2.4.7. Kesalahan obat harus dilaporkan kepada program pemantauan rumah
sakit untuk kepentingan perbaikan mutu, peningkatan keamanan
pasien untuk pencegahan kesalahan yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Abramson, E. L., Pfoh, E. R., Barrón, Y., Quaresimo, J., & Kaushal, R. (2013).
The effects of electronic prescribing by community-based providers on
ambulatory medication safety. The Joint Commission Journal on Quality and
Patient Safety, 39(12), 545–552.
Agyemang, R. E. O., & While, A. (2010). Medication errors: types, causes and
impact on nursing practice. British Journal of Nursing, 19(6), 380–385.
Brown, C. L., Mulcaster, H. L., Triffitt, K. L., Sittig, D. F., Ash, J. S., Reygate,
K., … Slight, S. P. (2016). A systematic review of the types and causes of
prescribing errors generated from using computerized provider order entry
systems in primary and secondary care. Journal of the American Medical
Informatics Association, 24(2), 432–440.
Cottney, A., & Innes, J. (2015). Medication‐administration errors in an urban
mental health hospital: A direct observation study. International Journal of
Mental Health Nursing, 24(1), 65–74.
Duxbury, J. A., Wright, K., Bradley, D., & Barnes, P. (2010). Administration of
medication in the acute mental health ward: perspective of nurses and
patients. International Journal of Mental Health Nursing, 19(1), 53–61.
Hirschtritt, M. E., Chan, S., & Ly, W. O. (2017). Realizing E-Prescribing’s
Potential to Reduce Outpatient Psychiatric Medication Errors. Psychiatric
Services, 69(2), 129–132.
Joseph, S. B., Sow, M. J., Furukawa, M. F., Posnack, S., & Daniel, J. G. (2013).
E-prescribing adoption and use increased substantially following the start of
a federal incentive program. Health Affairs, 32(7), 1221–1227.
Peusschers, E., Twine, J., Wheeler, A., Moudgil, V., & Patterson, S. (2015).
Documentation of medication changes in inpatient clinical notes: an audit to
support quality improvement. Australasian Psychiatry, 23(2), 142–146.
Steele, M. L., Talley, B., & Frith, K. H. (2018). Application of the SEIPS Model
to Analyze Medication Safety in a Crisis Residential Center. Archives of
Psychiatric Nursing, 32(1), 7–11.
Wittich, C. M., Burkle, C. M., & Lanier, W. L. (2014). Medication errors: an
overview for clinicians. In Mayo Clinic Proceedings (Vol. 89, pp. 1116–
1125). Elsevier.
NCCMERP (2019). About Medication error. https://www.nccmerp.org/about-
medication-errors Diakses tanggal 09/09/2019
R.N. Keers et.al., (2015). Medication safety at the interface: evaluating risks
associated with discharge prescriptions from mental health hospitals. Journal
of Clinical Pharmacy and Therapeutics, 2015, 40,645–654

Soerenson, Ann L. (2017). Improving Medication Safety in Psychiatry – A


Controlled Intervention Study of Nurse Involvement in Avoidance of
Potentially Inappropriate Prescriptions. Journal od Basic and Clinical
Pharmacology and Toxicology, 2018 Volume 123, Pages 174-181.

Komite Keselamatan Rumah Sakit (KKP-RS) PERSI. Pedoman Pelaporan


Insiden Keselamatan Pasien. Jakarta. 2007.

DepKes, RI. 2008. 1. Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit (patient
safety). ed: 2. Jakarta.

Yulia S. Pengaruh Pelatihan Keselamata Pasien terhadap Pemahaman Perawat


Pelaksana Mengenai Penerapan Keselamatan Pasien di RS Tugu Ibu Depok.
[Tesis]. Universitas Indonesia, Depok. 2010.

Ariyani. (2009). Analisis pengetahuan dan motivasi perawat yang mempengaruhi


sikap mendukung penerapan program patient safety di Instalasi Perawatan
Intensif Di RSUD Moewardi Surakarta. Tesis. Program Pasca Sarjana
UNDIP. Dipublikasikan.

Gallagher & Blegen (2009). Competent and Certification of Registered Nurses


and Safety of Patients in Intensive Care Units. American Journal of Critical
Care. Vol 18 N 2 : 106 – 113.

World Health Organization (WHO). 2014. Artikel “10 facts on patient safety”.
Diakses dari http://www.who.int/features/factfiles/patient_safety/en/ pada 4
September 2019

Anda mungkin juga menyukai