Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Profesionalisme seorang perawat tidak bisa dilepaskan dari pemahamannya tentang
substansi dasar yang terkandung dalam profesi tersebut, antara lain falsafah keperawatan,
paradigma keperawatan, model konseptual serta teori-teori keperawatan. Falsafah
keperawatan memberikan keyakinan, pemikiran, atau landasan mendasar untuk mengkaji
tentang penyebab yang mendasari suatu fenomena keperawatan yang terjadi dan
paradigma keperawatan menjadi dasar penyelesaian suatu fenomena keperawatan yang
ditinjau dari pendekatan konsep manusia, kesehatan, keperawatan, dan lingkungan. Dalam
hal ini terdapat suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara falsafah, paradigma
dengan model konseptual atau teori keperawatan (Tomey & Alligood, 2010).
Tuntutan kebutuhan masyarakat dan pembangunan di masa yang akan datang, yaitu
pembangunan kesehatan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang
kesehatan, khususnya bidang keperawatan. Penekanan pendidikan bukan lagi hanya
penugasan keterampilan dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagai bagian dari
pelayanan kesehatan, akan tetapi pada pertumbuhan dan pembinaan sikap dan
keterampilan profesional keperawatan disertai dengan landasan ilmu pengetahuan, yaitu
ilmu keperawatan. Kebutuhan akan dasar keilmuan sebagai acuan praktik profesional
keperawatan telah ditunjukkan melalui banyaknya hasil karya pakar keperawatan,
termasuk diantaranya dengan menjadikan keperawatan sebagai profesi yang dikenal dan
menghasilkan keberhasilan implementasi tindakan keperawatan yang profesional bagi
pasien.
Menurut Carper (1978), ada empat pola dasar mengetahui di keperawatan yang
penting untuk mengajar dan belajar keperawatan yang melibatkan analisis kritis (pattern
of knowing). Empat pola mengetahui tersebut adalah empiris (empirical knowing), etika
(ethical knowing), pengetahuan pribadi (personal knowing), dan estetika (aesthetic
knowing). Carper (1978) mendefinisikan empirical knowing adalah proses pembentukan
pengetahuan ilmiah terkait dengan mekanisme yang memproses pengetahuan tersebut.
Mekanisme ini lebih dikenal dengan isilah metode ilmiah yang memproses pengetahuan
dalam tiga aspek, yaitu keabsahan, kebenaran, dan penyusunan. Keabsahan pengetahuan
ilmiah di tentukan berdasarkan syarat yang harus di penuhi oleh suatu pengetahuan, yaitu
logis, analitis, dan sistematis. Pengetahuan empiris dalam teori keperawatan memurnikan
dan meningkatkan landasan struktural dalam kurikulum keperawatan sehingga
meningkatkan sudut padang ilmu keperawatan dalam perspektif global (Kalofissudis,
2007). Ethical knowing adalah penyusunan pengetahuan ilmiah yang memerlukan pikiran
dasar secara teoritis. Pikiran dasar itu terdiri atas postulat, asumsi, dan prinsip.
Pengetahuan etika menjadi panduan bagaimana perawat menghadapi dan menyelesaikan
masalah yang saling bertentangan dan membutuhkan penerapan penalaran etis. Aesthetic
knowing adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaiamana ia bisa terbentuk, dan
bagaimana seseorang bisa merasakannya. Aesthetic knowing melibatkan penerapan
empati, persepsi dan pengakuan dari nilai pengalaman hidup individu sehari-hari.
Aesthetic knowing melibatkan” seni” dalam keperawatan, dapat diperoleh melalui
pengalaman dan mencakup penggunaan intuisi. Personal knowing adalah pola mengetahui
yang berhubungan dengan penemuan dan aktualisasi diri individu. Personal knowing
berkaitan dengan menjadi sadar diri dan memiliki refleksi pribadi ketika merawat pasien.
Asuhan keperawatan sebagai pelayanan profesional akan berkembang bila didukung
oleh teori dan model keperawatan, pengembangan riset keperawatan, dan aplikasi hasil-
hasil riset keperawatan di dalam praktek keperawatan. Sebenarnya model konseptual
keperawatan sudah berkembang banyak, namun banyak pula kalangan perawat yang
belum mengenalnya karena keterbatasan informasi, waktu, kesempatan, bahasa dan
teknologi. Salah satu konsep model keperawatan yang menunjang pengembangan
keperawatan baik dalam pengembangan ilmu maupun dalam praktek adalah model
Aplikasi empat pola pengetahuan dalam teori Katharine Kolcaba tentang kenyamanan
sangat penting bagi perawat profesional dalam memberikan layanan berkualitas.
Menggunakan berbagai komponen dalam pattern of knowing secara terpadu dapat
membantu perawat dalam memberikan pelayana holistik kepada klien.
B. Tujuan
1. Mengetahui empirical knowing dalam penerapan teori keperawatan Katharine
Kolcaba tentang kenyamanan di pelayanan kesehatan
2. Mengetahui Ethical knowing dalam penerapan teori keperawatan Katharine
Kolcaba
3. Mengetahui Aesthetic knowing dalam penerapan teori keperawatan Katharine
Kolcaba tentang kenyamanan di pelayanan kesehatan
4. Mengetahui Personal knowing dalam penerapan teori keperawatan Katharine
Kolcaba tentang kenyamanan di pelayanan kesehatan
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pendidikan Keperawatan
1. Definisi Keperawatan
Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional sebagai bagian integral
pelayan kesehatan yang berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan yang bersifat
kompherensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat yang sehat maupun
yang sakit untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Menurut Wilensky (1964),
profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan badan ilmu sebagai dasar untuk
pengembangan teori yang sistematis guna menghadapi banyak tantangan baru,
memerlukan pendidikan dan pelatihan yang cukup lama, serta memiliki kode etik
dengan fokus utama pada pelayanan.
Menurut Lindberg, Hunter dan Kruszewski (1993), Leddy dan Pepper (1993) serta
Berger dan Williams (1992), keperawatan sebagai suatu profesi memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Perawat adalah memberikan bantuan kepada sesorang dalam melakukan Kelompok
pengetahuan yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam
tatanan praktik keperawatan. Keperawatan sebagai suatu ilmu, selain mempelajari
pengetahuan inti keperawatan, juga telah menerapkan ilmu-ilmu dasar seperti ilmu
perilaku, sosial, fisika, biomedik dan lain-lain.
b. Kemampuan memberikan pelayanan yang unik kepada masyarakat. Fungsi unik
kegiatan untuk menunjang kesehatan dan penyembuhan serta membantu
kemandirian klien.
c. Pendidikan yang memenuhi standart dan diselenggarakan di perguruan tinggi atau
universitas. Beralihnya pendidikan keperawatan kepada institusi pendidikan tinggi
memberikan kesempatan kepada perawat untuk mendapatkan pengetahuan dan
ketrampilan intelektual, interpersonal dan tehnikal yang memungkinkan mereka
menjalankan peran dengan lebih terpadu dalam pelayanan kesehatan yang
menyeluruh dan berkesinambungan
d. Pengendalian terhadap standar praktik. Standart praktik keperawatan menekankan
kepada tangung jawab dan tanggung gugat perawat untuk memenuhi standar yang
telah ditetapkan yang bertujuan menlindungi masyarakat maupun perawat. Perawat
bekerja tidak dibawah pengawasan dan pengendalian profesi lain.
e. Bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan.
Tangung gugat accountable berarti perawat bertanggung jawab pelayanan yang
diberikan kepada klien. Tanggung gugat mengandung aspek legal terhadap
kelompok sejawat, atasan dan konsumen.
f. Karir seumur hidup. Dibedakan dengan tugas/job yang merupakan bagian dari
pekerjaan rutin, perawat bekerja sebagai tenaga penuh yang dibekali dengan
pendidikan dan ketrampilan yang menjadi pilihannya sendiri sepanjang hayat.
g. Fungsi mandiri. Perawat memiliki kewenangan penuh melakukan asuhan
keperawatan walaupun kegiatan kolaborasi dengan profesi lain kadang kala
dilakukan dimana itu semua didasarkan kepada kebutuhan klien bukan sebagai
ekstensi intervensi profesi lain.

2. Perkembangan Profesionalisme Keperawatan


Awal mula keberadaan perawat di Indonesia, yang diperkirakan baru bermula pada
awal abad ke-19, adalah sebagai tenaga pembantu dikarenakan adanya upaya tenaga
medis untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik sehingga diperlukan
tenaga yang dapat membantu. Tenaga tersebut dididik menjadi seorang perawat melalui
pendidikan magang yang berorientasi pada penyakit dan cara pengobatannya. Sampai
dengan perkembangan keperawatan di Indonesia pada tahun 1983 PPNI melakukan
Lokakarya Nasional Keperawatan di Jakarta, melalui lokakarya tersebut perawat
bertekad dan bersepakat menyatakan diri bahwa keperawatan adalah suatu bidang
keprofesian (Nursalam, 2008).
Perkembangan profesionalisme keperawatan di Indonesia berjalan seiring dengan
perkembangan pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia. Perkembangan
pendidikan keperawatan diawali dengan pengakuan bagi tenaga perawat yang berlatar
belakang pendidikan Diploma III keperawatan. Seiring dengan kebutuhan dalam rangka
peningkatan keprofesionalitasan, keperawatan tidak cukup sampai di tingkat diploma
saja, sehingga berdirilah program sarjana keperawatan pertama di Indonesia, PSIK FK-
UI (1985) dan kemudian disusul dengan pendirian program paska sarjana FIK UI pada
tahun 1999 (Nursalam, 2008).
a. Definisi Pendidikan Keperawatan
Menurut Nursalam (2008), pendidikan keperawatan merupakan pendidikan yang
mencakup keterampilan intelektual, interpersonal, teknikal, Dan mampu
mempertanggungjawabkan secara legal keputusan dan tindakan yang di lakukan
sesuai dengan standar dan kode etik profesi. Pendidikan keperawatan merupakan
pendidikan profesi yang mengarahkan hasil pendidikan menjadi tenaga profesional
yang dapat menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan tuntutan profesi untuk
memberikan pelayanan profesional kepada seluruh lapisan masyarakat (Simamora,
2009).
b. Tujuan Pendidikan Keperawatan
Tujuan pendidikan keperawatan pada institusi pendidikan tinggi keperawatan
diharapkan mampu melakukan hal-hal antara lain:
1) Menumbuhkan/membina sikap dan tingkah laku professional yang sesuai dengan
tuntunan profesi keperawatan
2) Membangun landasan ilmu pengetahuan yang kokoh
3) Menumbuhkan/membina keterampilan professional
4) Menumbuhkan/membina landasan etik keperawatan yang kokoh dan mantap
sebagai tuntutan utama dalam melaksanakan pelayanan/asuhan keperawatan dan
dalam kehidupan keprofesian (Nursalam, 2008).

B. Pattern Of Knowing
Carper (1978) mendefinisikan empirical knowing adalah proses pembentukan
pengetahuan ilmiah terkait dengan mekanisme yang memproses pengetahuan tersebut.
Selain itu menurut J.B. Averill and P.T. Clements (2007) Pengetahuan empiris adalah ilmu
pengetahuan yang berfokus pada kompetensi ilmiah dalam pendidikan dan praktik
keperawatan yang berasal dari persepsi, observasi langsung, dan pembuktian.
1. Empirical Knowing
Carper (1978) mendefinisikan empirical knowing adalah proses pembentukan
pengetahuan ilmiah terkait dengan mekanisme yang memproses pengetahuan tersebut.
Selain itu menurut J.B. Averill and P.T. Clements (2007) Pengetahuan empiris adalah
ilmu pengetahuan yang berfokus pada kompetensi ilmiah dalam pendidikan dan praktik
keperawatan yang berasal dari persepsi, observasi langsung, dan pembuktian.
2. Ethical Knowing
Ethical knowing adalah penyusunan pengetahuan ilmiah yang memerlukan pikiran
dasar secara teoritis (Carper (1978). Ada juga pengertian Pengetahuan etik
merupakan pengetahuan moral dalam keperawatan (Basford, 2006). Komponen etika
dalam keperawatan ( Carper, 1978) antara lain:
a. Panduan dan mengarahkan bagaimana perawat melakukan praktik mereka.
b. Memerlukan Pengetahuan eksperimental tentang nilai sosial dan etika penalaran
c. Fokus adalah pada;
1) Masalah kewajiban, apa yang harus dilakukan,
2) Benar, salah dan tanggung jawa, kode etik keperawatan,
3) Menghadapi dan menyelesaikan nilai, norma, kepentingan, atau prinsip yang
bertentangan.
3. Esthetic Knowing
Aesthetic knowing melibatkan penerapan empati, persepsi dan pengakuan dari nilai
pengalaman hidup individu sehari - hari. Aesthetic knowing melibatkan” seni” dalam
keperawatan, dapat diperoleh melalui pengalaman dan mencakup penggunaan intuisi
(Carper (1978). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Basford (2006)
Pengetahuan estetika adalah kapasitas untuk mengetahui apa yang harus dilakukan pada
waktu tertentu tanpa sadar mengetahui apa yang harus dilakukan. Perawat yang sudah
mencapai pengetahuan tingkat estetika atau artisty dapat mengetahui apa yang harus
dilakukan saat itu juga atau terampil dalam memberikan pelayanan kepada klien.
4. Personal Knowing
Pengetahuan personal adalah proses dinamika perawat yang utuh dan berfokus pada
perpaduan persepsi dan kesadaran diri (J.B. Averill and P.T. Clements (2007). Adapun
menurut Carper (1978) Personal knowing adalah dasar penggunaan terapeutik diri
dalam hubungan pasien perawat yang meliputi:
a. Penerimaan diri sendiri yang didasarkan pada pengetahuan dan kepercayaan diri
b. Prihatin dengan menjadi sadar yang bertumbuh seiring waktu melalui interaksi
dengan orang lain.
c. Digunakan saat perawat terlibat dalam penggunaan terapeutik diri dalam praktik
Dengan demikian, perawat tidak perlu khawatir terhadap keterbatasan pengetahuan
yang didapatkan selama pendidikan keperawatan, karena perawat dapat menggali
pengetahuan personal yang didapatkan berdasarkan pengalaman di lapangan
(Azizatunnisa & Suhartini, 2012).

C. Reflective Practive dalam Pendidikan Keperawatan


1. Definisi Reflective Practice
Reflective Practice atau refleksi adalah pemeriksaan (peninjauan) dari cara pikir
dan tindakan seseorang. Bagi seorang praktisi, hal ini berarti memusatkan pada
bagaimana mereka berinteraksi dengan teman sejawat mereka dan dengan lingkungan
untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas terhadap tingkah laku mereka sendiri
(Somerville & Keeling, 2004).
Kegiatan refleksi merupakan kegiatan yang sangat penting untuk dilaksanakan
sebab akan mengontrol tindakan seorang praktisi. Menurut Arikunto (2009), melalui
refleksi seseorang dapat melihat apa yang masih perlu diperbaiki, ditingkatkan atau
dipertahankan, sebagai suatu bentuk dari evaluasi terhadap diri sendiri. Refleksi juga
didefiniskan sebagai suatu tindakan atau kegiatan untuk mengetahui serta memahami
apa yang terjadi sebelumnya, mengetahui hal yang telah dihasilkan dan yang belum
dihasilkan, atau apa yang belum tuntas dari suatu upaya atau tindakan yang telah
dilakukan (Tahir, 2011).
2. Bentuk Reflective Practice
Memahami perbedaan bentuk reflective practice akan membantu praktisi dalam
menemukan penyusunan teknik yang bisa mereka pergunakan untuk mengembangkan
kompetensi personal dan professional. Menurut Somerville & Keeling (2004), ada dua
bentuk dasar dari refleksi yaitu reflection-on-action dan reflection-in-action.
a. Reflection-on-action
Reflection-on-action mungkin merupakan bentuk yang paling sering dari refleksi.
Reflection-on-action melibatkan pengulangan dalam pikiran secara hati-hati
tentang kejadian yang pernah terjadi di masa lalu. Tujuannya adalah untuk menilai
kekuatan-kekuatan dan mengembangkan tindakan yang berbeda, dan lebih efektif
di masa yang akan datang. Dalam beberapa literatur tentang refleksi (Revans 1998;
Grant & Greene 200), terdapat suatu fokus yang mengidentifikasi aspek negatif
dari tingkah laku personal dengan pandangan untuk meningkatkan kompetensi
profesional. Hal ini merupakan cara yang sangat berguna untuk melakukan
pendekatan perkembangan profesional. Kelemahan dari bentuk dasar ini adalah
mengabaikan beberapa segi-segi positif dari tindakan yang dilakukan (Somerville
& Keeling, 2004).
b. Reflection-in-action
Reflection-in-action adalah tanda dari pengalaman profesional. Hal ini berarti
menguji pengalaman sendiri dan orang lain ketika berada dalam sebuah situasi.
Ketrampilan-ketrampilan yang dimiliki meliputi:
1) Menjadi paserta pengamatan dalam situasi yang memberikan kesempatan untuk
belajar
2) Menjadi bagian terhadap apa yang dilihat dan dirasakan dalam situasi, berfokus
pada respon dan menghubungkan dengan pengalaman sebelumnya
3) Menjadi pengalaman pribadi dan pada saat yang sama mengadopsi pengalaman
orang lain jika berada di luar hal tersebut (Somerville & Keeling, 2004).
c. Manfaat Reflective Practice bagi Perawat
Reflective Practice penting bagi setiap orang dan juga bagi perawat. Terdapat
beberapa alasan yang mendasari hal tersebut, yaitu:
1) Perawat bertanggung jawab untuk menyediakan perawatan yang terbaik sesuai
kemampunya untuk pasien dan keluarganya. Mereka perlu fokus terhadap
pengetahuan, ketrampilan dan tingkah laku untuk memastikan bahwa mereka
dapat memenuhi permintaan yang ada sesuai dengan komitmen mereka
2) Reflective Practice adalah bagian dari keperluan perawat secara konstan untuk
meng-update ketrampilan-ketrampilan profesional. Menyimpan portofolio
memberikan kesempatan untuk melakukan refleksi dalam perekembangan secara
terus-menerus.
3) Perawat harus mempertimbangkan cara-cara ketika mereka berinteraksi dan
berkomunikasi dengan teman sejawat. Suatu profesi bergantung pada budaya
dukungan yang saling menguntungkan. Perawat harus mengarahkan diri mereka
untuk menjadi sadar diri, memimpin diri dan bersentuhan dengan lingkungannya.
Perawat hanya dapat mencapai tujuan tersebut jika mereka menggunakan kesempatan
yang ada secara maksimal untuk meningkatkan umpan balik terhadap pengaruh dari
pasien, keluarga pasien, teman sejawat, dan organisasi secara keseluruhan. Membangun
umpan balik tersebut melibatkan ketrampilan yang kompleks dalam mendeteksi pola-
pola, membuat hubungan dan membuat keputusan yang yang tepat (Somerville &
Keeling, 2004).

D. Teori/Model Konseptual Katharine Kolcaba


1. Sejarah Perkembangan Teori Kenyamanan Kolcaba
Teori kenyamanan pertama kali dikenal sekitar tahun 1990 an oleh seorang tokoh
bernama Katharine Kolcaba. Kolcaba lahir di Cleveland, Ohio pada tanggal 8
Desember 1944. Beliau adalah doktor keperawatan yang menerima sertifikat sebagai
perawat spesialis gerontologi dengan fokus penelitian pada perawatan paliatif dan
perawatan jangka panjang di rumah. Sejak tahun 1900-1929, sebenarnya kenyamanan
klien sudah merupakan tujuan utama dari profesi perawat dan dokter, karena
kenyamanan dianggap sangat menentukan proses kesembuhan klien. Namun, setelah
dekade tersebut, kenyamanan kurang mendapat perhatian khusus dari pemberi
pelayanan kesehatan. Pelayanan lebih difokuskan pada tindakan pengobatan medis
untuk mempercepat kesembuhan klien. Katharine Kolcaba merupakan tokoh
keperawatan yang kemudian membawa kembali konsep kenyamanan sebagai landasan
utama dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam sebuah teori yaitu “Comfort
Theory and Practice: a Vision for Holistic Health Care and Research”. Saat ini
Kolcaba bekerja sebagai Associate Professor of Nursing di Fakultas Keperawatan
Universitas Akron dan terus mengembangkan teori kenyamanan ini secara empiris
(March, A. & McCormack, D., 2009).

2. Konsep Teori Comfort Kolcaba


Kenyamanan adalah pengalaman yang diterima oleh seseorang dari suatu
intervensi. Hal ini merupakan pengalaman langsung dan menyeluruh ketika kebutuhan
fisik, psikospiritual, sosial, dan lingkungan terpenuhi (Peterson & Bredow, 2008).
Konsep teori kenyamanan meliputi kebutuhan kenyamanan, intervensi kenyamanan,
variabel intervensi, peningkatan kenyamanan, perilaku pencari kesehatan, dan integritas
institusional. Menurut Kolcaba dan Di Marco (2005) hal tersebut dapat digambarkan
dalam kerangka konseptual sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Kerja Konseptual pada Teori Kenyamanan

Seluruh konsep tersebut terkait dengan klien dan keluarga. Teori kenyamanan
terdiri atas tiga tipe, yaitu (1) relief: kondisi resipien yang membutuhkan penanganan
spesifik dan segera, (2) ease: kondisi tenteram atau kepuasan hati dari klien yang terjadi
karena hilangnya ketidaknyamanan fisik yang dirasakan pada semua kebutuhan, (3)
transcendence: keadaan dimana seseorang individu mampu mengatasi masalah dari
ketidaknyamanan yang terjadi.
Kolcaba memandang bahwa kenyamanan merupakan kebutuhan dasar seorang
individu yang bersifat holistik, meliputi kenyamanan fisik, psikospiritual,
sosiokultural, lingkungan. Kenyamanan fisik berhubungan dengan mekanisme
sensasi tubuh dan homeostasis, meliputi penurunan kemampuan tubuh dalam
merespon suatu penyakit atau prosedur invasif. Beberapa alternatif untuk memenuhi
kebutuhan fisik adalah memberikan obat, merubah posisi, backrub, kompres hangat
atau dingin, sentuhan terapeutik. Kenyamanan psikospiritual dikaitkan dengan
keharmonisan hati dan ketenangan jiwa, yang dapat difasilitasi dengan memfasilitasi
kebutuhan interaksi dan sosialisasi klien dengan orang-orang terdekat selama
perawatan dan melibatkan keluarga secara aktif dalam proses kesembuhan klien.
Kebutuhan kenyamanan sosiokultural berhubungan dengan hubungan interpersonal,
keluarga dan masyarakat, meliputi kebutuhan terhadap informasi kepulangan
(discharge planning), dan perawatan yang sesuai dengan budaya klien. Beberapa
cara untuk memenuhi kebutuhan sosiokultural adalah menciptakan hubungan
terapeutik dengan klien, menghargai hak-hak klien tanpa memandang status sosial
atau budaya, mendorong klien untuk mengekspresikan perasaannya, dan
memfasilitasi team work yang mengatasi kemungkinan adanya konflik antara proses
penyembuhan dengan budaya klien. Kebutuhan yang terakhir adalah kebutuhan akan
kenyamanan lingkungan yang berhubungan dengan menjaga kerapian dan
kebersihan lingkungan, membatasi pengunjung dan terapi saat klien beristirahat, dan
memberikan lingkungan yang aman bagi klien (Kolcaba, 2006).

3. Penelitian terkait Teori Kenyamanan Kolcaba


Penelitian-penelitian yang menerapkan teori comfort Kolcaba telah banyak
dilakukan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Krinsky, Murillo dan Johnson
tahun 2014 dengan judul “ A practical application of Katharine Kolcaba’s comfort
theory to cardiac patients”. Penelitian ini memberikan intervensi yang spesifik “quiet
time” untuk memberikan kenyamanan kepada pasien jantung. Penelitian dilakukan oleh
March dan Mc Cormack tahun 2009 dengan judul “Nursing theory-directed healthcare:
modifying Kolcaba’s comfort theory as an institution-wide approach”, penelitian ini
menyimpulkan bahwa teori comfort bisa diterapkan, bahkan pada lingkungan yang
tampak tidak nyaman seperti ICU. Di Indonesia, aplikasi teori Kolcaba juga telah
dilakukan dalam berbagai penelitian, sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh
Kustati Budi Lestari dengan judul “Dampak dekapan keluarga dan pemberian posisi
duduk terhadap distress anak saat dilakukan pemasangan infus”, hasil penelitian
menunjukkan ada pengaruh pemberian dekapan keluarga dan pemberian posisi duduk
anak terhadap score distress anak. Penelitian yang dilakukan oleh Roza Indra Yeni
tahun 2014 tentang “Aplikasi Teori Comfort Katherine Kolcaba Pada Anak Dalam
Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi Di Ruang Perawatan Infeksi Anak”
BAB III
REFLECTIVE PRACTICE
A. Kasus
Anak R, laki-laki usia 3 tahun dibawa ke RS. XX dengan keluhan panas, batuk, pilek,
sesak napas. Saat pengkajian dikeadaan umum lemah, tingkat kesadaran kompos
mentis, kulit teraba panas, batuk - pilek, dan napas sesak. Auskultasi suara napas ronchi
di kedua paru dan retraksi pada dinding dada suprasternal. Hasil pengukuran TTV, Suhu
38,50 C, RR 40x/ menit, Nadi 112x/menit, Tekanan darah 90/50 mmHg. Berat Badan 10
kg. Hasil pemeriksaan rontgen X-ray didiagnosa bronchopneumonia. Berdasarkan
instruksi dokter lakukan pemasangan oksigen 2 liter/menit, IVFD Dextrosa ¼ NS 8
tetes/menit dan diberikan injeksi Cefotaxim 2 x 400 mg/IV, injeksi Dexamethason 3 x ½
ampul. Anak menangis kesakitan setelah dipasang infus, saat didekati oleh perawat dan
dokter yang berpakaian putih, anak R lebih suka diluar ruangan karena kondisi ruangan
yang ribut dan ingin digendong oleh ibunya. Orang tua yang melihat keadaan anaknya
juga ikut sedih melihat kondisi anaknya menangis.

B. Analisis
1.Empirical Knowing
Pengalaman empiris dapat membuat kita mengetahui dan memahami kebutuhan
manusia dan memberikan perawatan bijaksana yang meningkatkan kesejahteraan. Pola
empirical knowing didasarkan pada asumsi bahwa apa yang dikenal dapat diakses
melalui indera, yaitu melihat, menyentuh, mendengar, mencium, dan sebagainya.
Pertanyaan penting untuk pola empirical knowing adalah “Apa itu dan bagaimana
kerjanya?” (Chinn, 1999). Dengan menerapkan teori Kolcaba tentang kenyamanan
pada kasus An.R, penulis menilai perawatan pada An.R masih belum optimal.
Menurut Kolcaba dalam Peterson & Bredow, 2008 Kenyamanan adalah
pengalaman yang diterima oleh seseorang dari suatu intervensi. Hal ini merupakan
pengalaman langsung dan menyeluruh ketika kebutuhan fisik, psikospiritual, sosial, dan
lingkungan terpenuhi kenyamanan merupakan kebutuhan dasar seorang individu yang
bersifat holistik, meliputi kenyamanan fisik, psikospiritual, sosiokultural, dan
lingkungan. Hal ini sejalan dengan falsafah keperawatan yang memandang bahwa
keperawatan berfokus pada kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk holistic
termasuk anak.
Awalnya teori kenyamanan ini disusun sebagai teori yang berpusat pada klien dan
keluarga (family-client centered theory) yang dianggap sebagai inti dari praktik
keperawatan. Kolcaba mengobservasi bahwa ketidaknyaman yang dirasakan oleh klien
dan keluarga tidak hanya sebatas sensasi fisik dan emosi, tetapi melibatkan aspek
holistik yaitu fisik, psikospritual, sosiokultural, dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan
kasus:
a. Anak R yang di rawat di rumah sakit setelah dilakukan tindakan pemasangan
Oksigen, Infus dan Injeksi sangat rewel /menangis karena tindakan tersebut
menimbulkan nyeri dan bersifat traumatic yang menyebabkan ketidaknyamanan,
ketidaknyamanan bagi pasien.
b. Tindakan pemasangan infus dan injeksi bagi anak dan Orang tua merupakan
tindakan memasukan jarum ke tubuh pasien dan akan melukai kulit pasien yang
menyebabkan rasa nyeri dan tidak nyaman bagi pasien dan orang tua.
c. Kehadiran perawat dianggap orang lain / orang asing yang akan menyakitinya,
menyebabkan ketidaknyamanan bagi Anak R.
d. Lingkungan Rumah Sakit dengan perawat yang menggunakan pakaian putih,
ruangan berwarna putih, kebisingan membuat pasien merasa takut dan tidak
nyaman.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan tentang kenyamanan anak bahwa anak


yang dirawat masih sangat tergantung pada orang tuanya, akan merasa trauma dan
stress, ketika mendapatkan tindakan seperti yang melukai tubuhnya, pemberian
oksigen, pemberian obat, dll. Secara tidak langsung tindakan tersebut membuat anak
mengalami ketidaknyamanan. Salah satu prinsip atraumatic care pada anak yang
dapat dilakukan adalah meminimalkan dan mencegah trauma pada anak
(Hockenberry & Wilson, 2009). Pada umumnya anak memperlihatkan reaksi
kecemasan dan sress pada waktu dilakukan tindakan tersebut. Kondisi anak pada
saat dilakukan tindakan akan berdampak terhadap efektivitas terapi yang diberikan.
Kepatuhan anak dalam menjalani terapi memberikan kontribusi untuk keberhasilan
terapi pada anak dengan masalah infeksi pernapasan (Ari & Fink, 2011).
Kenyamanan sosiokultural dilihat dari sosial anak meliputi hubungan
interpersonal dan intra personal. Lingkungan sosial yang banyak berinteraksi dengan
anak adalah keluarga. Mengkaji kondisi anak dengan keluarga merupakan hal yang
penting selain hubungan antara pemberi asuhan dengan anak. Pengalaman tersebut
dapat menimbulkan ketidaknyamanan sosial pada anak saat dijauhkan dari keluarga,
melihat orang asing disekitarnya akan membuat anak merasa takut dan tidak nyaman.
Oleh karena itu kehadiran orang tua sangat penting bagi anak dan mendukung tindakan
keperawatan. Pada umumnya orang tua mengalami kecemasan karena kurangnya
pengetahuan dan informasi tehadap penyakit anaknya dan merasa khawatir
terhadap penyakit anaknya.
Pengalaman lingkungan mencakup respon adaptasi anak dan keluarga
terhadap lingkungan fisik di rumah sakit. Lingkungan yang berbeda dapat menjadi
stressor tersendiri bagi anak dan keluarga seperti cahaya lampu kamar, kebisingan,
suhu kamar yang panas/dingin. Kolcaba (2003) mengatakan apabila anak dan
keluarga tidak dapat beradaptasi maka akan timbul rasa ketidaknyamanan terhadap
lingkungan.

2.Ethical Knowing
Pola ethical knowing berfokus kepada komponen moral atau etika praktek
keperawatan. Etika dalam praktek keperawatan melibatkan membuat keputusan yang
tepat pada saat yang tepat, berfokus pada apa yang “harus dilakukan” dalam situasi,
menawarkan alternatif, dan bertanggungjawab atas keamanan dan kepentingan terbaik
dari pasien (Chin, 1999).
Kenyamanan harus menjadi perhatian bagi perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan pada anak R . Asuhan keperawatan yang berfokus pada kenyamanan
perlu dikembangkan dengan berpedoman pada teori keperawatan Kolcaba.
Pola yang harusnya diterapkan perawat dalam menangani anak R adalah dalam
memberikan asuhan keperawatan harus di awali dengan komunikasi terapeutik pada
anak dan keluarga, melibatkan keluarga dalam perawatan, memberikan informasi
tentang penyakit yang diderita anak. Nyeri pada anak juga dapat diatasi dengan
dukungan orang tua yang selalu menunggui anak dan dilakukan teknik bermain.
Kenyamanan lingkungan dapat dipenuhi dengan memberikan suasana yang
menyenangkan bagi anak seperti mendekatkan mainan atau benda kesukaan anak.
Sentuhan terapeutik pada anak sebelum melakukan tindakan akan mempermudah
perawat dalam melakukan tindakan. Perawat perlu memfasitilitasi keharmonisan hati
dan ketenangan jiwa untuk memenuhi kebutuhan interaksi dan sosialisasi klien dengan
orang-orang terdekat selama perawatan dan melibatkan keluarga secara aktif dalam
proses kesembuhan klien, sehingga pasien akan merasakan kenyamanan.
3.Esthetics Knowing
Menurt Carper, 1978 Aesthetic knowing melibatkan penerapan empati, persepsi
dan pengakuan dari nilai pengalaman hidup individu sehari - hari. Aesthetic knowing
melibatkan” seni” dalam keperawatan, dapat diperoleh melalui pengalaman dan
mencakup penggunaan intuisi. Aplikasi yang efektif dari prinsip-prinsip edukatif tidak
akan mungkin terjadi, tanpa refleksi pada dimensi estetika dan etika situasi perawatan
ini. Pola aesthetic knowing didasarkan pada intuisi, interpretasi, dan pemahaman.

Berdasarkan kasus Pneumonia yang dialami anak R, seorang perawat harus


mengetahui hal – hal yang membuat anak merasa tidak nyaman dan merasa nyaman
secara fisik, psikospiritual, sosiokultural, dan lingkungan selama dirawat. Contohnya
pemberian tindakan invasif, memisahkan anak dengan orang tua saat dilakukan
tindakan, kurangnya pemberian informasi kesehatan, ruangan kotor, bising dan tidak
rapi. Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh perawat, maka
perawat akan memiliki seni dalam merawat pasien untuk memenuhi kenyamanan
pasien secara fisik, psikospiritual, sosiokultural, dan lingkungan.
Kenyamanan fisik pasien yang harus dipenuhi oleh perawat : memberikan obat,
merubah posisi, backrub, kompres hangat atau dingin, sentuhan terapeutik. Kebutuhan
psikospiritual dengan interaksi dan sosialisasi klien dengan orang-orang terdekat
selama perawatan dan melibatkan keluarga secara aktif dalam proses kesembuhan
klien. Memenuhi kebutuhan kenyamanan sosiokultural dengan menjaga hubungan
interpersonal, keluarga dan masyarakat, meliputi kebutuhan terhadap informasi
kepulangan (discharge planning), dan perawatan yang sesuai dengan budaya klien.
Beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan sosiokultural dengan menciptakan
hubungan terapeutik dengan klien, menghargai hak-hak klien tanpa memandang status
sosial atau budaya, mendorong klien untuk mengekspresikan perasaannya, dan
memfasilitasi team work yang mengatasi kemungkinan adanya konflik antara proses
penyembuhan dengan budaya klien. Kebutuhan yang terakhir adalah kebutuhan akan
kenyamanan lingkungan yang berhubungan dengan menjaga kerapian dan kebersihan
lingkungan, membatasi pengunjung dan terapi saat klien beristirahat, dan memberikan
lingkungan yang aman bagi klien (Kolcaba, 2006).
4. Personal Knowing
Personal knowing mengacu mengetahui diri dan pengembangan hubungan
interpersonal antara perawat dan pasien ataupun keluarga pasien. Pertanyaan penting
untuk mengetahui personal adalah “Apakah saya tahu apa yang saya lakukan”.
Pengetahuan personal adalah proses dinamika perawat yang utuh dan berfokus pada
perpaduan persepsi dan kesadaran diri (J.B. Averill and P.T. Clements (2007).

Menurut Kolcaba dan Di Marco (2005) kenyamanan terdiri atas tiga tipe, yaitu
(1) relief : kondisi resipien yang membutuhkan penanganan spesifik dan segera,
(2) ease : kondisi tenteram atau kepuasan hati dari klien yang terjadi karena hilangnya
ketidaknyamanan fisik yang dirasakan pada semua kebutuhan,
(3) transcendence : keadaan dimana seseorang individu mampu mengatasi masalah
dari ketidaknyamanan yang terjadi.
Berdasarkan Kasus Anak R yang dirawat dengan Bronchopneumonia, sebagai
seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan harus mengawalinya dengan
membina hubungan saling percaya, sehingga dapat terjalin hubungan interpersonal
antara perawat, pasien dan keluarga. Dengan demikian maka perawat dapat menggali
berbagai informasi tentang permasalahan klien, apa yang diinginkan klien dan keluarga
untuk mencapai kenyamanan dan memudakan perawat dalam memberikan tindakan
serta mengevaluasi apa yang dilakukan. Perawat sebagai pemberi pelayanan harus
mengetahui penanganan spesifik yang dibutuhkan oleh pasien dan keluarga untuk
mengatasi masalah ketidaknyamanan yang terjadi, sehingga dapat mencapai
ketentraman dan kepuasaan hati pasien.
BAB IV

PENUTUP

4.1.Kesimpulan

Berdasarkan analisa konsep teori Comfort Kolcaba dihubungkan pada kasus


Anak R yang dirawat dengan Bronchopnemonia diitinjau pada aspek ‘pattern of
knowing ‘yaitu:

1. Empirical Knowing
Tinjauan pada kasus Anak R secara empiris menunjukkan bahwa perawatan pada
anak R belum dilakukan secara optimal, disebabkan tindakan yang dilakukan
pada anak belum mencapai kenyamanan yang diinginkan akibat pengalaman
dipisahkan dengan orang tua saat dilakukan tindakan, prosedur invasif yang
menyakitkan, dan lingkungan rumah sakit yang belum menyesuaikan dengan
kondisi anak. Menurut Kolcaba 2003, mengatakan apabila anak dan keluarga
tidak dapat beradaptasi maka akan timbul rasa ketidaknyamanan terhadap
lingkungan.
2. Ethical Knowing
Permasalahan ethical knowing pada kasus anak R adalah perawat belum
menggunakan pendekatan awal dengan komunikasi terapeutik pada anak dan
keluarga, belum melibatkan keluarga dalam perawatan dan pemberian informasi
tentang penyakit yang diderita anak masih kurang. Nyeri pada anak juga dapat
diatasi dengan dukungan orang tua yang selalu menunggui anak dan dilakukan
teknik bermain. Kenyamanan lingkungan dapat dipenuhi dengan memberikan
suasana yang menyenangkan bagi anak seperti mendekatkan mainan atau
benda kesukaan anak. Sentuhan terapeutik pada anak sebelum melakukan
tindakan akan mempermudah perawat dalam melakukan tindakan. Perawat perlu
memfasitilitasi keharmonisan hati dan ketenangan jiwa untuk memenuhi
kebutuhan interaksi dan sosialisasi klien dengan orang-orang terdekat selama
perawatan dan melibatkan keluarga secara aktif dalam proses kesembuhan klien,
sehingga pasien akan merasakan kenyamanan.
3. Esthetics Knowing
Pengaplikasian esthetics knowing pada kasus tersebut bagian dari
kemampuan dalam menterpretasikan, yang didasari dengan pemahaman secara
intuisi terhadap penyakit yang dialaminya. Dalam kasus anak R Perawat harus
mengetahui hal – hal yang membuat anak merasa tidak nyaman dan merasa
nyaman secara fisik, psikospiritual, sosiokultural, dan lingkungan selama
dirawat. Contohnya pemberian tindakan invasif, memisahkan anak dengan
orang tua saat dilakukan tindakan, kurangnya pemberian informasi kesehatan,
ruangan kotor, bising dan tidak rapi. Dengan pengalaman dan pengetahuan
perawat maka perawat akan memiliki seni dalam merawat pasien untuk
memenuhi kenyamanan pasien secara fisik, psikospiritual, sosiokultural, dan
lingkungan.

4. Personal Knowing
Pengembangan personal knowing pada kasus Anak R menunjukkan
bahwa belum ada pengembangan secara baik, karena tujuan dari personal
knowing menurut Orem (1985) adalah kemampuan dalam membina hubungan
interpersonal antara perawat dengan pasien ataupun dengan keluarga pasien.
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan harus mengawalinya
dengan membina hubungan saling percaya, sehingga dapat terjalin hubungan
interpersonal antara perawat, pasien dan keluarga. Dengan demikian maka
perawat dapat menggali berbagai informasi tentang permasalahan klien, apa
yang diinginkan klien dan keluarga untuk mencapai kenyamanan dan
memudakan perawat dalam memberikan tindakan serta mengevaluasi apa
yang dilakukan. Perawat sebagai pemberi pelayanan harus mengetahui
penanganan spesifik yang dibutuhkan oleh pasien dan keluarga untuk
mengatasi masalah ketidaknyamanan yang terjadi, sehingga dapat mencapai
ketentraman dan kepuasaan hati pasien (Kolcaba dan Di Marco 2005).
DAFTAR PUSTAKA

Carper, B. A. (1978). Fundamental patterns of knowing in nursing. Advances in Nursing


Science, 1 (1), 13-23.
Chinn, L. Peggy. 1999. Theory and Nursing. St. Louis : Mosby Company

Cahya Utami. (2005 ). Teori Kenyamanan Kolcaba. https://www.academia.edu


Kolcaba, K., & Dimarco, M. A. (2005). Comfort Theory And Its Application To
Pediatric Nursing. Pediatric Nursing, Vol 31, No. 3, Pp. 187-194.
Ilmiasih, Nurhaeni, Waluyanti. (2015) Aplikasi Teori Comfort Kolcaba Dalam Menga Tasi
Nyeri Pada Anak Pasca Pembedahan Lapaaratomi Di Ruang BCH RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jurnal Keperawatan. P-ISSN 2086-3071. E-ISSN
2443-0900. Vol. 6 No. 1
Roza Indra Yeni. (2014). Aplikasi Teori Comfort Katherine Kolcaba Pada Anak Dalam
Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi Di Ruang Perawatan. ejournal.umm.ac.id. ISSN:
2086-3071, Vol. 8, No. 1, Januari 2017

Anda mungkin juga menyukai