Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Sustainable Development Goals


2.1.1 Perkembangan Internasional Sustainable Development Goals
Perkembangan Sustainable Development Goals (SDGs) yang disepakati
tahun 2015 merupakan keberlanjutan dari Millennium Development Goals (MDGs).
SDGs menjadi sejarah baru dalam pembangunan global, karena dalam kesepakatan
SDGs dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 70 memiliki
tujuan pembangunan universal baru yang dimulai pada tahun 2016 hingga tahun
2030. Kesepakatan SDGs ini memiliki 17 tujuan dan 169 sasaran, berbeda
dengan MDGs yang hanya memiliki 8 tujuan dan 21 sasaran. SDGs disepakati
oleh 193 kepala negara dan pemerintahan yang merupakan anggota PBB dan
termasuk Negara Indonesia (Panuluh, S & Fitri, M.R, 2016).
SDGs bersifat universal memberikan peran yang seimbang kepada seluruh
negara, baik negara maju, negara berkembang, dan negara kurang berkembang, untuk
berkontribusi penuh terhadap pembangunan, sehingga masing-masing negara
memiliki peran dan tanggung jawab yang sama antara satu dengan yang lain dalam
mencapai SDGs.
SDGs membawa 5 prinsip-prinsip mendasar yang menyeimbangkan dimensi
ekonomi, sosial, lingkungan, pilar pembangunan hukum dan tata kelola yaitu 1)
People (manusia), 2) Planet (bumi), 3) Prosperity (kemakmuran), 4) Peace
(perdaiaman), dan 5) Partnership (kerjasama). Kelima prinsip dasar ini dikenal dengan
istilah 5 P dan menaungi 17 Tujuan dan 169 sasaran serta 242 indikator yang tidak
dapat dipisahkan, saling terhubung, dan terintegrasi satu sama lain guna mencapai
kehidupan manusia yang lebih baik. Penjabaran pilar – pilar tersebut mencakup : Pilar
sosial yang mencakup 5 tujuan/goal yakni tujuan 1-5 dan 47 target, pilar ekonomi
yang mencakup tujuan 7,8,9,10, 17 dan 54 target, pilar lingkungan dengan 6 tujuan (6,
11, 12, 13, 14, 15) dan 56 target, sedangkan pilar hukum dan tatakelola dengan hanya
1 tujuan (tujuan 16) dan memuat 12 target.
Kepala negara dan pemerintahan yang menyepakati SDGs telah meneguhkan
komitmen bersama menetapkan ketujuh belas goal/tujuan meliputi : 1.Tanpa
Kemiskinan, 2.Tanpa Kelaparan, 3.Kehidupan Sehat Dan Sejahtera, 4.Pendidikan
Berkualitas, 5.Kesetaraan Gender, 6.Air Bersih Dan Sanitasi Layak, 7.Energi Bersih
Dan Terjangkau, 8.Pertumbuhan Ekonomi Dan Pekerjaan Yang Layak, 9.Industri,
Inovasi Dan Infrastruktur, 10. Mengurangi Kesenjangan 11. Kota Dan Permukiman
Yang Berkelanjutan, 12. Konsumsi Dan Produksi Yang Bertanggung Jawab,
13.Penanganan Perubahan Iklim Dan Dampaknya, 14. Ekosistem Lautan, 15.
Ekosistem Daratan, 16.Perdamaian, Keadilan Dan Kelembagaan Yang Tangguh,
17.Kemitraan Untuk Mencapai Tujuan.
Agenda pembangunan ini juga menjanjikan semangat bahwa tidak ada
seorangpun yang akan ditinggalkan. Dijelaskan bahwa setiap orang dari semua
golongan akan ikut melaksanakan dan merasakan manfaat SDGs, dengan
memprioritaskan kelompok-kelompok yang paling termarginalkan (Panuluh, S &
Fitri, M.R, 2016).

2.1.2 Perkembangan SDGs di Indonesia


Di Indonesia SDGs dipopulerkan dengan nama Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan atau disingkat dengan TPB (selanjutnya dalam paper ini akan tetap
disebut SDGs, red). Penerapan SDGs di Indonesia telah diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 59 Tahun 2017. Pemerintah Indonesia berusaha untuk
menghindari keterlambatan implementasi SDGs, hal ini dikarenakan sebelumnya
dalam implementasi MDGs Indonesia mengalami keterlambatan 10 tahun dari
pengesahannya pada tahun 2000.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015– 2019 telah
sangat selaras dengan SDGs, yang berfokus pada pembangunan sosial, pembangunan
ekonomi, pembangunan lingkungan, serta akses kepada keadilan dan pengembangan
tata kelola pemerintahan. Selain itu, berbagai upaya juga sedang berjalan untuk
mengarusutamakan SDGs ke dalam RPJMN 2020–2024. Dalam Perpres tersebut
menguraikan 17 tujuan dari implementasi SDGs yang mana termasuk dalam
sasaran nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
tahun 2015-2019 di Indonesia. Penerapan Sustainable Development Goals dalam
Perpres Nomor 59 tahun 2017 memuat antara lain:
1. Mengakhiri segala bentuk kemiskinan di mana pun.
2. Menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta
meningkatkan pertanian berkelanjutan.
3. Menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh
penduduk semua usia.
4. Menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan
kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.
5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan.
6. Menjamin ketersediaan serta pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan
untuk semua.
7. Menjamin akses energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk
semua.
8. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan
kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak untuk semua.
9. Membangun infrastruktur yang tangguh, meningkatkan industri inklusif dan
berkelanjutan, serta mendorong inovasi.
10. Mengurangi kesenjangan intra dan antarnegara.
11. Menjadikan kota dan permukiman inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.
12. Menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan.
13. Mengambil tindakan cepat untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya
14. Melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan
samudera untuk pembangunan berkelanjutan.
15. Melindungi, merestorasi, dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem
daratan, mengelola hutan secara lestari, menghentikan penggurunan, memulihkan
degradasi lahan, serta menghenti-kan kehilangan keanekaragaman hayati.
16. Menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan
berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua, dan membangun
kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan.
17. Menguatkan sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk
pembangunan berkelanjutan (Said et al, 2016).
Dari 17 tujuan SDGs terdapat 7 tujuan yang berkaitan dengan pertumbuhan,
perkembangan, dan kesehatan anak yaitu: kemiskinan (topik SDGs 1) merupakan
faktor risiko bagi perkembangan anak dan turut menyebabkan hasil di bawah rata-rata
dalam kaitan dengan pangan dan gizi (SDGs 2), kesehatan (SDGs 3), pendidikan
(SDGs 4), pernikahan usia anak (SDGs 5), air dan sanitasi layak (SDGs 6), dan
pencatatan kelahiran (SDGs 16). Namun dalam makalah ini penulis hanya
memaparkan yang berkaitan dengan tujuan SDGs pada sektor kesehatan yaitu Tanpa
Kelaparan, Kehidupan sehat dan Kesejahteraan, Kesetaraan Gender, Air Bersih dan
Sanitasi (Bappenas dan UNICEF Indonesia, 2017).
2.2 Program Pemerintah Dalam Meningkatkan Kesehatan Anak
Penerapan SDGs pada sektor kesehatan meliputi 4 goals (2,3,5,6), 19 target dan 31
indikator. Goal/ tujuan tersebut meliputi: Tanpa Kelaparan (zero hunger, Kehidupan sehat
dan Sejahtera (good health and well-being), Kesetaraan Gender (gender equality), Air
Bersih dan Sanitasi (clean water and sanitation) (Ermalena, 2017).

2.2.1 Tujuan SDGs 02. Tanpa Kelaparan (Zero hunger)


Untuk mengatasi kekurangan gizi pada anak, terdapat perubahan di tingkat global
dari pengukuran prevalensi anak dengan berat badan kurang dibanding umur menjadi
lebih berfokus pada anak dengan stunting. Saat ini, telah terjadi peningkatan
pemahaman tentang pentingnya gizi pada periode 1.000 hari pertama kehidupan yang
dimulai dari kehamilan hingga dua tahun pertama kehidupan anak.
Stunting khususnya mencerminkan terjadinya kurang gizi kronis pada periode ini.
Stuntin gdapat menyebabkan dampak berkepanjangan, termasuk kesehatan yang buruk,
meningkatnya risiko terkena penyakit tak menular, buruknya kognitif dan prestasi
pendidikan yang dicapai pada masa kanak-kanak, serta rendahnya upah dan
produktivitas saat dewasa. Bukti yang ada menunjukkan dengan jelas pentingnya
berinvestasi pada gizi remaja perempuan, termasuk mendukung mereka untuk menunda
kehamilan. Beban ganda kurang gizi dan juga obesitas pada anak kini menjadi masalah
yang semakin serius. Bagi Indonesia, ini merupakan tantangan besar: 12 persen anak di
bawah usia 5 tahun terkena wasting(berat badan rendah dibandingkan tinggi badan)
pada tahun 2013, dan kurang lebih jumlah yang sama juga mengalami kelebihan berat
badan (overweight). Terdapat bukti ekonomi yang menunjukkan dengan jelas
pentingnya mengatasi permasalahan gizi dalam segala bentuk.
Indonesia menempati peringkat 10 dari 44 negara di dalam Indeks Komitmen
Kelaparan dan Gizi (Hunger and Nutrition Commitment Index), yang menunjukkan
besarnya komitmen Indonesia dalam mencapai tujuan SDG ini. Keputusan untuk
bergabung dengan gerakan global Scaling Up Nutrition (SUN) serta peningkatan
alokasi anggaran untuk intervensi gizi spesifik maupun sensitif merupakan beberapa
contoh nyata komitmen Pemerintah untuk menghapuskan kelaparan dan malnutrisi.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-2 adalah mengupayakan penyelesaian
berkelanjutan untuk mengakhiri segala jenis kelaparan pada tahun 2030 dan
mengupayakan ketahanan pangan. Target prioritas pada anak dapat diketahui melalui
indikator yang dipilih untuk mengukur kemajuan dari upaya yang telah dilakukan,
meliputi :
1. Target 2.2 Pada tahun 2030, menghilangkan segala bentuk malnutrisi, termasuk
pada tahun 2025 mencapai target yang disepakati secara internasional terkait
stunting dan wastingdi bawah 5 tahun, dan memenuhi kebutuhan gizi remaja
perempuan, ibu hamil dan menyusui, serta lansia.
Indikator yang dipilih untuk mengukur kemajuan meliputi:
a. Prevalensi wasting pada anak di bawah 5 tahun/balita
Wasting, atau kondisi badan terlalu kurus dibandingkan dengan tingginya,
umumnya disebabkan oleh hilangnya berat badan akibat penyakit akut atau
asupan makanan yang kurang. Wasting didefinisikan sebagai persentase anak usia
di bawah 5 tahun yang perbandingan berat dengan tinggi badannya lebih dari dua
standar deviasi (wastingm oderat dan parah/kurus dan sangat kurus) dan tiga
standar deviasi (wasting parah/ sangat kurus) di bawah median standar
pertumbuhan anak WHO.
Prevalensi wasting balita kurus di tingkat nasional adalah 12 persen pada tahun
2013, dengan 5 persen anak di bawah 5 tahun dengan kondisi sangat kurus. Dua
puluh lima provinsi memiliki angka wasting antara 10 dan 15 persen, di tingkat
yang diklasifikasikan WHO sebagai masalah kesehatan publik ‘serius’, sementara
enam provinsi memiliki prevalensi lebih dari 15 persen, yang diklasifikasikan
sebagai masalah kesehatan publik ‘kritis’ yang memerlukan program pemberian
makanan tambahan.
b. Prevalensi overweight pada anak di bawah 5 tahun/balita
Overweight merujuk kepada anak yang mengalami kelebihan berat badan
dibandingkan dengan tingginya. Bentuk malnutrisi ini diakibatkan konsumsi
kalori berlebih dari yang dibutuhkan sehingga meningkatkan risiko terkena
berbagai penyakit tidak menular di kemudian hari. Data RISKESDAS, 2013 di
Indonesia, 12 persen anak di bawah usia 5 tahun mengalami overweight.
c. Prevalensi anemia pada wanita usia produktif
Ibu hamil dan anak merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap
anemia. Anemia adalah kondisi di mana jumlah sel darah merah, atau kapasitas
darah yang membawa oksigen, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Anemia biasanya disebabkan kurangnya zat besi, dan ini merupakan salah satu
gangguan gizi paling umum di dunia.
Kekurangan zat besi dan anemia dapat menyebabkan masalah kesehatan,
kematian prematur, dan kehilangan pendapatan. Di kalangan ibu hamil, anemia
dikaitkan dengan resiko terjadinya komplikasi kehamilan, termasuk kelahiran
prematur, berat bayi lahir rendah, dan peningkatan risiko kematian ibu. Seluruh
komplikasi ini juga menyebabkan peningkatan risiko malnutrisi pada anak.
Secara nasional, 37 persen ibu hamil mengalami anemia pada tahun 2013,
sementara kasus yang sama terjadi pada 23 persen wanita usia subur, dan tidak
ada perbedaan antara mereka yang tinggal di perkotaan dan pedesaan.
d. Proporsi bayi usia 0–5 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif
Praktik pemberian makan bayi dan anak sangat penting demi
keberlangsungan hidup dan perkembangan seorang anak. ASI memberikan
manfaat kesehatan yang nyata bagi anak pada dua tahun pertama kehidupan
maupun setelahnya. Sejalan dengan standar global, Pemerintah Indonesia, WHO
dan UNICEF merekomendasikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama
kehidupan, dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping ASI dan terus
menyusui hingga anak berusia dua tahun atau lebih. ASI memberikan anak
seluruh gizi yang mereka butuhkan secara aman, sementara pemberian makanan
terlalu dini dapat menyebabkan defisit gizi dan infeksi.Secara nasional, hanya 45
persen anak usia 0–5 bulan mendapatkan ASI eksklusif pada tahun 2015, dengan
hanya sedikit perbedaan antara bayi laki-laki dan perempuan.
e. Prevalensi stunting pada anak di bawah 5 tahun/ balita
Stunting atau tinggi badan rendah dibandingkan umur seseorang
menunjukkan adanya kekurangan gizi pada periode paling kritis tumbuh kembang
seseorang di awal masa kehidupannya. Prevalensi stunting diseluruh Indonesia
secara nasional tahun 2013 sebanyak 37,2 persen, namun terdapat rencana untuk
melakukan survei dan melihat tren ini pada tahun 2018–2019 ((Bappenas dan
UNICEF, 2017).
Berdasarkan Sasaran pembangunan kesehatan pada RPJMN 2015-2019 RI
menargetkan penurunan angka stunting pada tahun 2019 menjadi 28%, Prevalensi
kekurangan gizi (underweight) pada anak balita menjadi 17,0% ditahun 2019,
penurunan prevalensi anemia pada wanita usia produktif dengan pemberian tablet
tambah darah akan ditingkatkan pada ibu hamil menjadi 98% dan 30% pada
remaja. Peningkatan ASI ekslusif pada bayi usia 0- 6 bulan menjadi 50% ditahun
2019.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mempercepat pencapaian tujuan
ke 2 adalah :
1. Membiayai secara penuh dan melacak secara cepat kualitas
pelaksanaan intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif sejalan dengan Kebijakan
Strategis dan Rencana Aksi Nasional untuk Pangan dan Gizi 2015–2019.
2. Mempercepat pelaksanaan Gerakan Scaling Up Nutrition (SUN)
di seluruh wilayah Indonesia sesuai dengan Keppres No. 42 (2013). Gerakan
SUN berfokus untuk menciptakan kemitraan multi-sektoral untuk
meningkatkan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan, dimulai sejak
kehamilan hingga anak mencapai usia 2 tahun.
3. Memperluas model-model yang berhasil untuk meningkatkan praktik
pemberian makanan pada bayi dan anak serta model terintegrasi untuk
mengatasi malnutrisi akut.
4. Mencari bukti untuk mengembangkan pendekatan terintegrasi untuk layanan
kesehatan, Sanitasi/Air Bersih, stimulasi dan pendidikan anak usia dini, serta
program gizi untuk mengurangi stunting dan meningkatkan kesehatan anak.
5. Mempromosikan ASI dengan memperbaiki undang-undang dan regulasi
terkait pemasaran produk pengganti ASI.
6. Mengarusutamakan gizi remaja ke dalam rencana strategi dan kebijakan
sektor kesehatan yang relevan serta mengembangkan panduan program untuk
mendukung perluasan di tingkat daerah.
(Bappenas dan Unicef, 2017)

2.2.2 Tujuan SDGs 03. Kehidupan Sehat Dan Sejahtera (good health and well-being)
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-3 adalah untuk menjamin kesehatan dan
kesejahteraan bagi seluruh penduduk di semua tingkatan usia melalui perbaikan
kesehatan reproduksi, ibu, dan anak; mengakhiri epidemi penyakit menular utama;
mengurangi penyakit tak menular dan penyakit yang disebabkan lingkungan;
tercapainya cakupan kesehatan universal; dan menjamin akses ke obat dan vaksin yang
aman, terjangkau, dan efektif untuk semua.
Meskipun telah terdapat perbaikan kesehatan ibu dan anak yang signifikan, angka
kematian anak di bawah lima tahun (balita) masih berada pada 43 per 1.000 kelahiran
hidup. Karenanya, memberdayakan remaja perempuan melalui peningkatan kesadaran
dan pemberian akses terhadap pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi sangat
penting untuk membantu mereka menunda usia kehamilan dan mengurangi kejadian
kehamilan yang tak diinginkan. Meskipun terjadi penurunan jumlah penyakit menular,
penyakit tidak menular masih menjadi penyebab utama kematian dan kesakitan.
Banyak negara menghadapi beban ganda terkait penyakit menular dan tidak
menular. Secara global, tejadi peningkatan kesadaran akan besarnya beban biaya sosial
dan ekonomi yang ditanggung akibat penyalahgunaan obat serta buruknya kesehatan
mental. Berbagai tantangan di bidang kesehatan ini berdampak pada anak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Indonesia berada di urutan depan dalam rata-rata
global penurunan angka kematian balita, dan dianggap cukup berhasil membatasi
penyebaran penyakit menular. Namun, masih dibutuhkan investasi lebih besar untuk
menghapus kematian ibu dan anak oleh sebab yang bisa dicegah. Di saat yang sama,
berubahnya lanskap perkotaan di Indonesia membawa tantangan baru yang disebabkan
munculnya beragam penyakit tak menular pada anak dan orang dewasa.
Target prioritas untuk anak dapat diketahui melalui indikator yang dipilih untuk
mengukur kemajuan dari upaya yang telah dilakukan, yaitu :
1. Target 3.1 Kesehatan Ibu (Maternal) Dan Reproduksi
Bertujuan mengurangi rasio kematian ibu secara global hingga kurang dari 70
per 100.000 kelahiran hidup. Indikator yang dipakai untuk mengukur kemajuan
adalah rasio kematian ibu dan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
Kematian ibu adalah kematian yang disebabkan komplikasi saat kehamilan atau
persalinan. Pada tahun 2015, rasio kematian ibu Indonesia adalah 305 kematian per
100.000 kelahiran hidup (Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015). Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa hampir delapan dari 10 kematian ibu (77 persen)
disebabkan oleh penyebab langsung obstetrik, akibat dari komplikasi saat kehamilan
maupun praktik persalinan yang tidak aman. Penyebab lain yang juga berpengaruh
adalah pernikahan dini dan kehamilan di kalangan remaja perempuan. Di Indonesia,
89 persen kelahiran yang terjadi dua tahun sebelum SUSENAS, 2015 ditolong oleh
tenaga kesehatan terlatih.
Intervensi terpenting untuk menjamin keselamatan ibu (safe motherhood)
adalah memastikan bahwa setiap kelahiran dibantu oleh tenaga kesehatan yang
kompeten dan memiliki keterampilan kebidanan, dalam kondisi darurat tersedia
transportasi menuju fasilitas rujukan untuk perawatan kehamilan dan pesalinannya.
Hal yang tak kalah pentingnya adalah memperkuat layanan kesehatan primer dan
sistem rujukannya, serta meningkatkan kompetensi dan keterampilan tenaga
kesehatan secara bersamaam untuk menjamin kualitas layanan kesehatan maternal
dan neonatal.
2. Target 3.2 Kematian Anak
Bertujuan mengakhiri kematian bayi baru lahir dan anak di bawah usia 5 tahun
yang dapat dicegah dengan seluruh negara berusaha menurunkan Angka Kematian
Neonatal setidaknya hingga 12 per 1.000 kelahiran hidup dan kematian di bawah
usia 5 tahun menjadi 25 per 1.000 kelahiran hidup. Survei Populasi Antar Sensus
(SUPAS) 2012 mencatat bahwa angka kematian balita adalah 40 kematian per 1.000
kelahiran hidup selama lima tahun sebelum survei dilakukan (2008–2012). Ini
berarti satu dari 31 anak yang lahir di Indonesia meninggal sebelum mencapai ulang
tahun kelimanya. Dari seluruh kematian tersebut, 48 persen terjadi pada bayi baru
lahir, dengan angka kematian neonatal sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup, dan
belum ada bukti yang menunjukkan perubahan selama dua dasawarsa terakhir.
Data survei terpilah hanya tersedia untuk periode 10 tahun menunjukkan
bahwa anak dari rumah tangga termiskin rata-rata berpeluang hampir tiga kali lipat
lebih tinggi untuk meninggal sebelum usia 5 tahun dibandingkan anak dari rumah
tangga terkaya. Anak-anak berusia di bawah 5 tahun dari ibu yang berpendidikan
rendah berpeluang tiga hingga lima kali lipat lebih tinggi untuk meninggal
dibandingkan dari ibu yang berpendidikan sekolah menengah maupun tinggi.
Berdasarkan Sasaran pembangunan kesehatan pada RPJMN 2015-2019 RI
menargetkan penurunan angka kematian bayi sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup
pada tahun 2013 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2019.
3. Target 3.3 Penyakit Menular
Target utama terkait penyakit menular adalah SDG Target 3.3, yaitu
mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis (TB), malaria dan penyakit tropis yang
terabaikan dan memerangi hepatitis, penyakit bersumber air serta penyakit menular
lainnya. Pada tahun 2015, Kementerian Kesehatan mencatat 30.935 kasus baru HIV,
meskipun jumlah infeksi barunya diperkirakan sebesar 72.100 (4.900 di antaranya
terjadi pada anak usia 0–14 tahun dan 67.200 sisanya pada usia 15 tahun ke atas).
Insiden HIV di kalangan anak berusia 0–14 tahun adalah 0,068 per 1.000 anak yang
tak terinfeksi. Di kalangan orang dewasa berumur 15 tahun ke atas, insiden HIV
masih berada pada 0,367 per 1.000 populasi tak terinfeksi.
Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, strategi yang digunakan
untuk membendung HIV di Indonesia secara umum sudah cukup layak sesuai
tahapan epidemi HIV, namun masih belum berdampak optimal karena masalah
cakupannya dan implementasi program.
TB merupakan penyakit yang dapat ditangani dan disembuhkan, namun masih
menjadi masalah kesehatan global utama. Pada tahun 2015, Kementerian Kesehatan
mendeteksi 331.000 kasus TB baru. Hampir 9 persen kasus baru terjadi pada anak
berusia di bawah 15 tahun. Namun sebenarnya masih banyak kasus yang belum
dilaporkan (underreporting): insiden aktual TB pada tahun 2015 diperkirakan
sebesar 1 juta, atau 395 per 100.000 orang.
Indonesia telah berhasil mencapai sejumlah kemajuan dalam memerangi
malaria, dan saat ini kabupaten-kabupaten yang bebas malaria telah menjadi dua kali
lipat dibandingkan lima tahun lalu, yaitu sebesar 45 persen pada tahun 2015.
Menurut RISKESDAS 2013, insiden malaria terjadi sebesar 1,9 persen, atau 19 per
1.000 populasi.
4. Target 3.7 Akses Terhadap Layanan Kesehatan Seksual Dan Reproduksi
Pada tahun 2030, menjamin akses universal terhadap layanan kesehatan
seksual dan reproduksi, termasuk keluarga berencana, informasi dan pendidikan dan
integrasi kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional.
Dimonitor dengan dua indikator yaitu angka kelahiran dari ibu remaja dan
jangkauan layanan keluarga berencana modern. Menurut SDKI 2012, sekitar 10
persen remaja perempuan berusia 15–19 tahun telah menjadi ibu atau hamil anak
pertamanya. Remaja di pedesaan memiliki peluang lebih tinggi dibandingkan di
perkotaan untuk memulai kehamilan (13 persen berbanding 6 persen).
Berdasarkan status kekayaan, proporsi remaja yang hamil bervariasi dari
sebesar 17 persen (tinggi) di kalangan mereka yang berasal dari rumah tangga kuintil
kekayaan terendah, ke 3 persen (rendah) di kalangan mereka yang berasal dari
kuintil tertinggi. SUPAS. 2015 mencatat angka kelahiran dari ibu remaja sebesar 40
per 1.000 dari kelompok usia tersebut.
Menurut SUSENAS, terkait layanan keluarga berencana modern, secara
nasional pada tahun 2015, 73 persen perempuan berusia reproduktif yang pernah
menikah telah terpenuhi kebutuhannya akan metode keluarga berencana modern.
5. Target 3.8 Cakupan Kesehatan Universal
Target cakupan kesehatan universal bertujuan untuk memastikan bahwa setiap
orang mendapatkan pelayanan kesehatan dasar yang baik dan obat-obatan
berkualitas yang dibutuhkan, tanpa menghadapi hambatan keuangan akibat
pengeluaran pribadi, serta menjamin vaksin dasar untuk semua. Imunisasi
merupakan intervensi kesehatan publik yang sudah terbukti berhasil mengendalikan
dan memberantas penyakit infeksi yang mematikan.
Persentase anak yang menerima vaksin difteri, pertusis dan tetanus (DPT)
seringkali digunakan sebagai indikator seberapa berhasil suatu negara memberikan
layanan imunisasi rutin. Pada tahun 2015, survei SUSENAS menunjukkan bahwa
secara nasional, cakupan pemberian vaksin DPT mencapai 74 persen. Perlindungan
terhadap campak bahkan lebih tinggi, yaitu 82 persen. Namun capaian kedua vaksin
tersebut masih di bawah target 90–95 persen. Status imunisasi anak terkait erat
dengan tempat tinggalnya. Secara umum, cakupan yang dicapai saat ini masih amat
kurang: hanya setengah dari anak usia 12–23 bulan yang menerima seluruh
vaksinasi dasar. Berdasarkan sasaran pembangunan kesehatan pada RPJMN 2015-
2019 RI menargetkan cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi mencapai 95% di
tahun 2019.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) pada tahun 2004 dan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) 2011, pemerintah telah berkomitmen untuk mencapai jangkauan asuransi
kesehatan nasional. Diluncurkannya Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
pada tahun 2014 bertujuan untuk memperluas jangkauan jaminan kesehatan
universal kepada setidaknya 95 persen populasi pada tahun 2019.
Namun, sebelum Sistem Jaminan Sosial Nasional berjalan sepenuhnya,
sejumlah besar populasi Indonesia masih hidup tanpa asuransi kesehatan. Pada tahun
2015, sebanyak 47 persen anak telah dijangkau program-program jaminan
kesehatan. Di antara masyarakat yang telah menikmati jaminan ini, 42 persen
dilaporkan dijangkau oleh Program Jamkesmas, yaitu skema asuransi kesehatan
yang didanai pajak dan dikhususkan untuk warga miskin; 23 persen oleh BPJS
Kesehatan; dan 20 persen lainnya dari Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mempercepat pencapaian tujuan 3
meliputi :
1) Mempercepat upaya mengurangi kematian ibu,termasuk meningkatkan pengetahuan
perempuan hamil tentang perawatan antenatal dan kelahiran aman di fasilitas
kesehatan; meningkatkan kualitas layanan perawatan ibu-bayi baru lahir, termasuk
kompetensi SDM, fasilitas kesehatan dan rumah sakit dengan layanan darurat
kandungan neonatal yang komprehensif; meningkatkan sistem rujukan khususnya di
wilayah terpencil; menjalankan pengawasan dan audit respons kematian maternal-
perinatal yang efektif; dan melaksanakan regulasi yang mendukung layanan
kesehatan maternal yang optimal, termasuk Standar Layanan Minimum saat ini.
2) Investasi berkesinambungan untuk menurunkan angka kematian anak
termasuk melaluipengelolaan terintegrasi penyakit bayi dan anak di tingkat
dasar; rencana aksi perawatan dasar bayi untuk menciptakan layanan dasar dan
rujukan berkualitas tinggi untuk bayi; dan menjamin ketersediaan layanan rujukan
bagi semua anak yang sakit.
3) Mengatasi penyakit menular melalui tes dan konseling HIV oleh penyedia layanan
untuk semua perempuan hamil dan bayi yang terpapar; menyediakan antiretroviral
seumur hidup di tingkat kabupaten untuk semua orang yang terbukti HIV positif;
memperkuat pencarian kasus TB, menemukan TB yang resisten terhadap berbagai
obat (multi-drug) serta inisiasi perawatan awal; serta meningkatkan sistem
manajemen logistik untuk komoditas-komoditas utama (seperti tes diagnostik cepat
HIV, antiretroviral, dan obat TB).

2.2.3 Tujuan SDGs 05. Kesetaraan gender (gender equality)


Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke 5 adalah untuk menghapus segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan. Kesetaraan gender bukan hanya
merupakan hak asasi manusia, namun juga pendorong utama pembangunan
berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi. Secara global, terdapat sejumlah kemajuan
penting dalam kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, seperti peningkatan
dalam pendidikan anak perempuan, peningkatan akses layanan kesehatan seksual dan
reproduksi, serta penurunan dalam sejumlah praktik berbahaya, termasuk perkawinan
usia anak.
Di Indonesia, dalam beberapa dekade terakhir terjadi sejumlah perbaikan kondisi
perempuan dan anak perempuan dalam bidang kesehatan, pendidikan, partisipasi tenaga
kerja maupun partisipasi politik. Instruksi Presiden No. 9/2000 tentang
Pengarusutamaan Gender mencerminkan komitmen jangka panjang pemerintah untuk
mencapai kesetaraan gender. Namun, perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia
dan di Indonesia masih terus tertinggal dibandingkan laki-laki di berbagai bidang Selain
itu, perempuan dan anak perempuan berisiko lebih tinggi mengalami kekerasan
berbasis gender, dan juga harus menjalani praktik-praktik membebani yang berakar
pada norma gender yang regresif dan berbahaya.
Indonesia telah berkomitmen untuk melindungi perempuan dan anak dari
kekerasan dan pelecehan sebagaimana dituangkan di dalam RPJMN 2015–2019.
Ketimpangan gender adalah akar penyebab beberapa praktik berbahaya, termasuk
perkawinan usia anak. Perkawinan usia anak berdampak negatif kepada kesehatan, gizi,
pendidikan dan perlindungan anak perempuan. Menurut berbagai penelitian lokal
maupun internasional, biaya ekonomi yang diakibatkan dampakdampak tersebut – yaitu
terkait hilangnya produktivitas dan pendapatan – sangat tinggi.
Target prioritas untuk anak dapat diketahui melalui indikator yang dipilih untuk
mengukur kemajuan dari upaya yang telah dilakukan, yaitu :
1. Target 5.2 Penghapusan bentuk kekerasan terhadap perempuan
Tujuan dari target ini diharapkan pada tahun 2030 akan menghapuskan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di ruang publik dan
pribadi, termasuk perdagangan manusia dan eksploitasi seksual, serta berbagai jenis
eksploitasi Lainnya Indikator yang dipilih untuk mengukur kemajuan meliputi:
1) Proporsi perempuan dan anak perempuan berusia 15 tahun ke atas yang pernah
memiliki pasangan dan pernah mengalami kekerasan fisik, seksual atau
psikologis yang dilakukan oleh mantan atau pasangan saat ini dalam 12 bulan
terakhir.
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang
dilakukan oleh BPS pada 2016 angka kejadian perempuan dan anak perempuan
usia 15–64 tahun yang pernah menikah atau hidup bersama, lebih dari satu dari
empat perempuan (28 persen) pernah mengalami kekerasan fisik, seksual
dan/atau psikologis yang dilakukan oleh pasangan mereka. Satu dari 10
perempuan dan anak perempuan ini (10 persen) mengalami kekerasan tersebut
selama 12 bulan terakhir.
2) Proporsi perempuan dan anak perempuan berusia 15 tahun ke atas yang pernah
mengalami kekerasan seksual dan/atau fisik oleh orang selain pasangan dalam 12
bulan terakhir.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan juga terjadi di luar
hubungan dengan pasangan. Satu dari empat (24 persen) perempuan dan anak
perempuan berusia 15–64 tahun di Indonesia mengalami beberapa bentuk
kekerasan fisik dan/atau seksual oleh seseorang selain pasangan dalam hidup
mereka, dan 6 persen di antaranya mengalaminya dalam 12 bulan terakhir
sebelum survei (SPHPN, 2016).
2. Target 5.3 penghapusan segala bentuk praktik berbahaya
Tujuan dari target ini diharapkan pada pada 2030, menghapuskan segala
bentuk praktik berbahaya, seperti perkawinan anak usia dini dan paksa, serta sunat
perempuan. Indikator yang dipilih untuk mengukur kemajuan meliputi: Proporsi
perempuan berusia 20–24 yang menikah atau hidup bersama sebelum usia 15 dan
sebelum usia 18. Berdasarkan data SUSENAS, 2015 angka kejadian menikah pada
anak perempuan usia 18 tahun sebanyak 12,1% dan pada usia 15 tahun sebanyak
0,6% .
Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mempercepat pencapaian
tujuan kesetaraan gender meliputi : melaksanakan rencana aksi nasional untuk
menghapus perkawinan anak usia dini, menjaga hubungan yang tetap kuat dengan
pelaksanaan strategi nasional untuk penghapusan kekerasan terhadap anak (2016–
2020), yang menyoroti prioritas-prioritas utama untuk penghapusan perkawinan usia
anak, termasuk:
1) Melakukan analisis mendalam tentang kekerasan dalam hubungan intim
(pacaran/perkawinan) di kalangan remaja dan anak, termasuk risiko dan dampak
perkawinan usia anak
2) Meningkatkan akses anak perempuan kepada layanan kesehatan seksual dan
reproduksi serta pelatihan keterampilan hidup, khususnya di wilayah-wilayah
dengan angka perkawinan usia anak tinggi
3) Mengembangkan dan membiayai strategi perubahan perilaku dan mobilisasi
sosial untuk menghapus praktik berbahaya seperti perkawinan usia anak dan
kekerasan oleh pasangan. Dalam mengubah norma sosial dan praktik berbahaya
yang mendorong kekerasan berbasis gender, perlu dipastikan adanya pelibatan
anak laki-laki dan anak perempuan, laki-laki dan perempuan dewasa, keluarga,
komunitas, maupun tokoh agama.
4) Memperkuat koordinasi dan hubungan antar setiap upaya yang dilakukan untuk
mengakhiri kekerasan berbasis gender serta upaya untuk menghapus kekerasan
terhadap anak.
2.2.4 Tujuan SDGs 06. Air Bersih Dan Sanitasi Layak (Clean Water And Sanitation)
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 6 adalah untuk memastikan ketersediaan serta
pengelolaan air bersih dan sanitasi yang keberlanjutan untuk semua.
Target prioritas untuk anak dapat diketahui melalui indikator yang dipilih untuk
mengukur kemajuan dari upaya yang telah dilakukan, yaitu :
1. Target 6.1 akses universal dan perataan terhadap air minum
Diharapkan pada tahun 2030, masyarakat mencapai akses universal dan merata
terhadap air minum yang aman dan terjangkau bagi semua. Indikator yang
dipilih untuk mengukur kemajuan meliputi: proporsi populasi yang
menggunakan sumber air minum yang layak.
Berdasarkan SUSENAS 2015 masyarakat Indonesia menggunakan sumber air
minum yang layak mencapai 71%.
2. Target 6.2 akses terhadap sanitasi dan kebersihan
Pada tahun 2030, diharapkan masyarakat mencapai akses terhadap sanitasi dan
kebersihan yang memadai dan merata bagi semua dan menghentikan praktik
BABS, dengan memberikan perhatian khusus pada perempuan dan anak
perempuan serta kelompok rentan. Indikator yang dipilih untuk mengukur
kemajuan meliputi: Proporsi populasi yang menggunakan sanitasi dasar di rumah
Berdasarkan SUSENAS, 2015 akses terhadap sanitasi dan kebersihan yang
memadai dan merata mencapai 60%.
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk untuk mempercepat pencapaian
tujuan ke 6 adalah:
1) Mempercepat Program Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM) sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3/2014 tentang Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat, termasuk melalui kemitraan inovatif.
2) Memprioritaskan investasi untuk menghapus praktik BABS.
3) Berinvestasi pada sanitasiyang layak dan air yang aman sebagai strategi
utama untuk mengurangi stunting, serta memasukkan pendekatan WASH ke
dalam upaya Scaling Up Nutrition (SUN) Indonesia.
4) Meningkatkan investasi pembangunan fasilitas sanitasi laki-laki
perempuan terpisah yang layak di sekolah.
5) Memastikan bahwa survei yang mengumpulkan data WASH dimutakhirkan
agar sesuai dengan perubahan indikator WASH global.
(Bappenas dan Unicef, 2017)
2.3 Peran Perawat Dalam Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Untuk
Kesehatan Anak
Dalam mencapai SDGs, perawat anak dapat berperan dalam pencapaian target di sektor
kesehatan yaitu :
2.3.1 Peran Perawat Anak Dalam Pencapaian Tujuan SDGs pada target tanpa kelaparan
dengan Meningkatnya Status Kesehatan dan Gizi Masyarakat.
Perawat anak berkontibusi dalam upaya meningkatkan nutrisi bagi anak dan
remaja pada khususnya, pelaksanaan yang komperhensif dan berkelanjutan dapat
memberikan kontribusi bagi percepatan (akselerasi) pencapaian tujuan suistainable
development goals 2030 dalam bidang gizi masyarakat yaitu mengakhiri kelaparan,
mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi, serta mendorong pertanian yang
berkelanjutan sehingga pada tahun 2030, mengakhiri segala bentuk malnutrisi,
termasuk mencapai target internasional 2025 untuk penurunan stunting dan wasting
pada balita dan mengatasi kebutuhan gizi remaja perempuan, wanita hamil dan
menyusui, serta lansia.
Peran perawat anak dalam akselerasi pencapaian tujuan dari SDG’s dibidang gizi
masyarakat sesuai tahapan usia antara lain :
1. Upaya peningkatkan nutrisi pada bayi melalui promosi kesehatan tentang pentingnya
pemberian ASI untuk bayi.
Perawat anak memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu hamil dan menyusui
tentang keutamaan pemberian ASI sejak dini untuk meningkatkan kesehatan anak,
pendidikan kesehatan tentang teknik menyusui yang baik dan benar, pemberian
MPASI, pemberian makanan padat bagi bayi, serta pemilihan dan penggunaan susu
formula.
2. Upaya peningkatan nutrisi pada balita atau anak usia toddler dan prasekolah.
Perawat dapat memberikan promosi kesehatan tentang pentingnya perhatian orang
tua dan masyarakat terhadap gizi anak dan kebiasaan makan pada anak balita. Sebab
diet dan pola nutrisi anak usia dini sangat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak dimasa depan. Contohnya perawat memberikan edukasi tentang
anak yang berusia 2 tahun, tidak boleh membatasi asupan lemaknya. Tetapi tidak
berarti bahwa makanan yang tidak sehat seperti makanan manis dapat dikonsumsi
anak secara bebas dan tidak terbatas. Perawat harus menekankan bahwa makanan
yang banyak mengandung gula dapat mempengaruhi nafsu makan anak dan
berdampak pada kecenderungan anak memiliki berat badan yang tidak stabil.
Perawat anak juga dapat mengajarkan kebutuhan nutrisonal pada orang tua,
perkenalan makanan padat, pemberian makanan tambahan bagi balita kurus,
pengajaran untuk makan sendiri bagi anak yang sulit makan (picky eater),
pemilihan makanan sehat dan pencegahan kejadian obesitas.
3. Upaya peningkatan nutrisi untuk anak usia sekolah
Perawat anak memberikan edukasi langsung kepada orang tua maupun kepada anak-
anak di sekolah tentang kebutuhan kalori anak usia sekolah berdasarkan jenis
kelamin dan tingkat aktivitas mereka. Secara umum, anak dengan tingkat aktivitas
yang lebih tinggi dan jenis kelamin pria lebih memiliki kebutuhan kalori yang lebih
tinggi (U.S Departement of agriculture and Human service, 2010). Anak dengan usia
4-8 tahun memiliki kebutuhan kalori sekitar 1400-1600 kalori perhari. Sedangkan
anak usia 9-13 tahun kebutuhan kalori sebanyak 1800-2000 kalori perhari untuk
anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan memerlukan 1600-2000 kalori
perhari. Mereka dapat diberi pemahaman dan pengetahuan tentang pentingnya
asupan karbohidrat, protein dan kalsium selama masa usia sekolah.
4. Upaya peningkatan nutrisi pada anak usia remaja adalah dengan menggalakkan
promosi kesehatan tentang memperbanyak asupan kalori, zink, kalsium dan zat besi
untuk pertumbuhan. Utamanya untuk anak perempuan usia remaja yang sedang
aktif. Mereka memerlukan sekitar 2000 kalori perhari (U.S Departement of
agriculture and Human service, 2010). Dari kalori ini sebanyak 45-65% harus
berasal dari karbohidrat, 10-30% berasal dari protein dan 25-35% berasal dari
lemak. Sedankan kebutuhan kalsium sebanyak 1300 mg kalsium perhari (Krebs,
Primark & Haemer, 2011). Adapun kebutuhan zat besi anak remaja wanita adalah
sebanyak 15 miligram perhari. Perawat dapat memberikan saran kepada mereka
tentang konsumsi makanan tinggi zat besi, utamanya kebiasaan konsumsi zat besi
disaat menstruasi. Kebutuhan protein pada anak remaja perempuan berusia 14-18
tahun adalah 46 gram perhari, sedangkan anak laki-laki adalah 52 gram perhari (U.S
Departement of agriculture and Human service, 2010). Beberapa makanan yang
tinggi protein adalah daging, ikan, unggas, bean (buncis) dan produk susu.
5. Pemberikan tablet Tablet Tambah Darah (TTD) pada remaja.
2.3.2 Peran Perawat Anak Dalam Pencapaian Tujuan SDGs pada target kehidupan sehat dan
sejahtera, khususnya terkait kesehatan ibu dan bayi.
Masalah kesehatan ibu dan bayi menjadi salah satu isu penting yang dihadapi
Indonesia dalam dekade ini. Peran perawat sangat dibutuhkan dalam mencapai
kesehatan yang baik dan meningkatkan kesejahteraan pada ibu dan anak. Peran
tersebut dapat mencakup fungsi dalam layanan kesehatan primer, layanan kesehatan
sekunder, layanan kesehatan tersier, serta fungsi promotif untuk menjaga kesehatan
masyarakat.
Untuk mengurangi Angka Kematian Neonatal (AKN) dan Angka Kematian Balita
(AKBa), peran perawat anak antara lain:
1. Memberikan asuhan yang baik terutama pada bayi-bayi prematur. Asuhan
keperawatan yang holistik dan berfokus pada pada Family Care Center (FCC) akan
menghasilkan kualitas perawatan yang optimal.
2. Perawat anak dapat mengajarkan kepada keluarga bagaimana cara merawat bayi
baru lahir dengan baik, misalnya dengan memberikan pendidikan kesehatan
mengenai mencuci tangan 6 langkah untuk mencegah penularan infeksi pada bayi
baru lahir (BBL), personal hygine untuk BBL dan metode Kangoroo Mother Care
yang dapat membantu mempertahankan suhu tubuh BBL. Selain itu, perawat anak
dapat mengajarkan tentang pijat bayi, senam bayi, dan cara menyusui dengan benar.
Perawat anak perlu memotivasi orang tua untuk memberikan ASI ekslusif kepada
bayinya agar kebutuhan nutrisi bayi terpenuhi, sehingga bayi dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik.
3. Memberikan informasi mengenai hal-hal apa saja yang perlu orang tua ketahui dan
perhatikan terkait kesehatan anaknya. Sehingga, ketika terjadi masalah pada
bayinya, orang tua bisa segera membawa bayinya ke fasilitas kesehatan untuk dapat
segera ditangani.
4. Memberikan pendidikan kesehatan tentang pencegahan penyebaran penyakit
menular dengan cara mencuci tangan, penggunakan masker jika ada keluarga yang
sakit untuk mencegah penularan kepada anaggota keluarga yang lain
5. Menyampaikan kepada orang tua mengenai pentingnya vaksinasi bagi anaknya
untuk mencegah berbagai penyakit menular, seperti tuberculosis, campak, hepatitis,
mumps, dsb. Pemberian imunisasi dasar untuk pencegahan penyakit bagi bayi.
6. Memberikan pendidikan kesehatan kepada anak-anak sekolah melalui program
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS), seperti cara membersihkan diri, mencuci tangan, membuang sampah dan
cara memilih jajanan sehat. Pendidikan kesehatan sejak dini dapat membentuk
perilaku yang sehat.
7. Memberikan pendidikan kesehatan bagi remaja mengenai kesehatan reproduksi,
bahaya merokok dan penggunaan obat-obat terlarang, maupun mengenai cara aman
berkendaraaan
8. Memberikan informasi kepada orang tua untuk tidak memberikan kendaraan
bermotor kepada anak yang belum mencapai 17 tahun dengan menjelaskan
pertimbangan perkembangan (emosi) remaja yang belum stabil.
2.3.3 Peran Perawat Anak Dalam Pencapaian Tujuan SDGs kesetaraan gender
Indonesia telah berkomitmen untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan
dan pelecehan sebagaimana dituangkan di dalam RPJMN 2015–2019. Ketimpangan
gender adalah akar penyebab beberapa praktik berbahaya, termasuk perkawinan usia
anak. Peran perawat untuk mempercepat pencapaian tujuan kesetaraan gender meliputi:
1. Memberikan pendidikan kesehatan bagi remaja mengenai kesehatan reproduksi.
2. Menginformasikan pada remaja tentaang pentingnya pendidikan lanjut untuk
mencegah perkawinan dini.
3. Memberikan pendidikan kesehatan bagi orang tua dan remaja tentang kekerasan
dalam hubungan intim (pacaran/perkawinan) di kalangan remaja dan anak,
termasuk risiko dan dampak perkawinan usia anak.
4. Memberikan pendidikan kesehatan pada anak perempuan terhadap layanan
kesehatan seksual dan reproduksi.
5. Menginformasikan pada orang tua dan anak perempuan tentang praktik berbahaya
seperti perkawinan anak usia dini dan kekerasan oleh pasangan.
2.3.4 Peran perawat anak dalam pencapaian tujuan SDGs menjamin ketersediaan dan
pengelolaan air serta sanitasi
Menjamin ketersediaan dan pengelolaan air serta sanitasi yang berkelanjutan bagi
semua orang merupakan tujuan dari sustainable development goals (SDGs) dengan
melakukan perilaku hidup bersih dan sehat terkait akses kepada air bersih dan akses
sanitasi dasar yang layak. Sanitasi dan air bersih memiliki 8 target yaitu :
1. Mencapai akses air minum aman yang universal dan merata
2. Mencapai akses sanitasi dan hygiene yang cukup merata bagi semua orang serta
mengakhiri defekasi terbuka, member perhatian khusus pada kebutuhan perempuan
dan wanita serta orang-orang yang berada pada situasi rentan
3. Meningkatkan kualitas air dengan mengurangi polusi, menghilangkan penumpukan
sampah, dan meminimalisir pembuangan kimia dan materi berbahaya, mengurangi
setengah proposi air limbah yang tidak dimurnikan serta meningkatkan daur ulang
dan penggunaan kembali yang aman secara global
4. Meningkatkan efisiensi penggunaan air di diseluruh sector dan memastikan
pengambilan dan suplai air tawar yang berkelanjutan untuk mengatasi kelangkaan dan
secara substansial mengurangi jumlah orang yang mengalami kelangkaan air
5. Mengimplementasikan pengelolaan sumber daya air terintegrasi di seluruh tingkatan,
termasuk melalui kerjasama trans perbatasan
6. Melindungi dan memulihkan ekosistem terkait air, termasuk pegunungan, hutan,
lahan basah, sungai, mata air dan danau
7. Memperluas kerjasama internasional dan dukungan peningkatan kapasitas untuk
negara-negara berkembang dalam aktivitas dan program terkait air dan sanitasi
termasuk teknologi pemanen air, pemurnian dari garam, efisiensi air, penanganan
limbah, serta daur ulang dan penggunaan kembali
8. Mendukung dan memperkuat partisipasi masyarakat local dalam perbaikan
pengelolaan air dan sanitasi
Peran perawat anak dengan melakukan pendidikan kesehatan dengan cara
memberikan arahan kepada anak dan orang tua untuk tidak membuang air besar di tempat
terbuka, mencuci tangan dengan sabun, pengelolaan air rumah tangga, pengelolaan
sampah pada tempatnya dan pengelolaan limbah cair merupakan cara dalam
meningkatkan sanitasi dan air bersih. Para siswa dapat menjadi role model serta change
agent dalam praktek-praktek kesehatan dan kebersihan yang baik yang mencakup
penanganan tempat penggunaan air bersih, penyimpanan air bersih yang layak, penurunan
tingkat kejadian diare pada anak, dan penanggulangan DHF serta malaria.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu sebuah dokumen yang akan menjadi
acuan dalam kerangka pembangunan dan perundingan negara-negara di dunia. Konsep
SDG’s diperlukan sebagai kerangka pembangunan baru yang mengakomodasi semua
perubahan yang terjadi pasca 2015-MDG’s. Terutama berkaitan dengan perubahan situasi
dunia. Adapun tiga pilar yang menjadi indikator dalam konsep pengembangan SDG’s yaitu,
pertama indikator yang melekat pembangunan manusia (Human Development), di antaranya
pendidikan, kesehatan. Indikator kedua yang melekat pada lingkungan kecilnya (Social
Economic Development), seperti ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan, serta
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, indikator ketiga melekat pada lingkungan yang lebih
besar (Environmental Development), berupa ketersediaan sumber daya alam dan kualitas
lingkungan yang baik. SDGs memiliki 5 pondasi yaitu manusia, planet, kesejahteraan,
perdamaian, dan kemitraan yang ingin mencapai tiga tujuan mulia di tahun 2030 berupa
mengakhiri kemiskinan, mencapai kesetaraan dan mengatasi perubahan iklim.

Untuk mencapai tiga tujuan mulia tersebut, disusunlah 17 Tujuan Global berikut ini:
1. Tanpa Kemiskinan 2. Tanpa Kelaparan 3. Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan 4.
Pendidikan Berkualitas 5. Kesetaraan Gender 6. Air Bersih dan Sanitasi 7. Energi Bersih dan
Terjangkau 8. Pertumbuhan Ekonomi dan Pekerjaan yang Layak 9. Industri, Inovasi dan
Infrastruktur 10. Mengurangi Kesenjangan 11. Keberlanjutan Kota dan Komunitas 12.
Konsumsi dan Produksi Bertanggung Jawab 13. Aksi Terhadap Iklim 14. Kehidupan Bawah
Laut 15. Kehidupan di Darat 16. Institusi Peradilan yang Kuat dan Kedamaian 17. Kemitraan
untuk Mencapai . Dari 17 Tujuan terdapat 7 tujuan yang berkaitan dengan pertumbuhan,
perkembangan, dan kesehatan anak yaitu: kemiskinan (topik SDG’s 1) merupakan faktor
risiko bagi perkembangan anak dan turut menyebabkan hasil di bawah rata-rata dalam kaitan
dengan pangan dan gizi (SDG’s 2), kesehatan (SDG’s 3), pendidikan (SDG’s 4), pernikahan
usia anak (SDG’s 5), air dan sanitasi layak (SDG’s 6), dan pencatatan kelahiran (SDG’s 16).
DAFTAR PUSTAKA

Bappenas dan Unicef Indonesia. (2017). Laporan Baseline SDG tentang Anak-Anak di
Indonesia. https://www.Unicef.org/indonesia/id/SDG_Baseline_report.pdf (diakses
tanggal 13 Mei 2019).

Ermalena. (2017).Indikator Kesehatan SDGs Di Indonesia. DPR RI. http://ictoh-


tcscindonesia.com/ (diakses tanggal 13 Mei 2019).

Hockenberry. M.J & Wilson. D. 2013. Essentials of Pediatric nursing. Mosby. Elsevier

Kemenkes RI. (2015). Kesehatan dalam kerangka sustainable development goals (SDGs).

Kemenkes RI. (2015). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.

Kyle, Terri., & Susan Carman. (2014). Buku ajar keperawatan pediatri edisi 2 Volume 1.
EGC. Jakarta.

Panuluh, S & Fitri, M.R. (2016). Perkembangan Pelaksanaan Sustainable Development


Goals (SDGs) di Indonesia September 2015-September 2016. INFID International NGO
Forum On Indonesia Development.

Pradono & Sulistyowati (2014). Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Pengetahuan Tentang
Kesehatan Lingkungan, Perilaku Hidup Sehat Dengan Status Kesehatan Studi Korelasi
Pada Penduduk Umur 10–24 Tahun Di Jakarta Pusat. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan
– Vol. 17 No. 1 Januari 2014: 89–95.

Said, et al (2016). Potret Awal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable


Development Goals) di Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia. http://filantropi.or.id/
Indonesia.pdf. (diakses tanggal 13 Mei 2019).

Sardjoko, S. (2017). Pengarusutamaan Kesehatan Dalam Sustainable Development Goals


(SDGs). Bappenas. http://www.konas-promkes.com/13.pdf. (diakses tanggal 13 Mei
2019).

Unicef Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian Air Bersih, Sanitasi Dan Kebersihan.
https://www.Unicef.org/indonesia.pdf (diakses tanggal 13 Mei 2019).

Anda mungkin juga menyukai