Anda di halaman 1dari 101

Laporan Akhir

DIAGNOSA KOMUNITAS WILAYAH KERJA


PUSKESMAS MERDEKA

Periode 15 April – 24 Juni 2019

Oleh:
Jennifer Finnalia Husin, S.Ked 04084821820023
Brillia Brestilova, S.Ked 04054821820129

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN


ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Akhir dengan Judul:

Diagnosa Komunitas Wilayah Kerja Puskesmas Merdeka

Disusun Oleh :
Jennifer Finnalia Husin, S.Ked 04084821820023
Brillia Brestilova, S.Ked 04054821820129

Telah diterima sebagai salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang periode 15 April s.d. 24 Juni 2019.

Palembang,Juni 2019
Mengetahui,
Kepala Bagian IKM-IKK FK Unsri

Dr. dr. Hj. Mariatul Fadillah, MARS, Sp.D.L.P, PhD

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan akhir dengan judul “Diagnosa Komunitas Wilayah Kerja Puskesmas
Merdeka”.Laporan akhir ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu
Kesehatan Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Anita Masidin, MS, Sp.OK selaku dokter
pembimbing dari bagian IKM-IKK FK Unsri,Pimpinan Puskesmas Merdeka dr.
Hj. Desty Aryani, M.Kes, dokter pembimbing Puskesmas dr. Novasari dan dr.
Susilawati Yusuf beserta staf-staf Puskesmas Merdeka, teman-teman, dan semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan akhir ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan akhir ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Palembang, Juni 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii


KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 1
DAFTAR TABEL ................................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. 4
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 5
1.2 Analisa Situasi.............................................................................................. 6
1.3 Permasalahan yang Ditemukan .................................................................... 6
1.4 Penetapan Prioritas Masalah ........................................................................ 7
1.5 Membuat Alat Ukur untuk Mengambil Data Primer ................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 8
2.1 Hipertensi ..................................................................................................... 8
2.2 Ispa ............................................................................................................. 37
2.3 Diabetes Mellitus ....................................................................................... 48
BAB III ANALISA DATA PRIMER ................................................................... 66
BAB IV PENENTUAN AKAR PENYEBAB MASALAH ................................. 74
BAB V PENETAPAN PRIORITAS PENYEBAB MASALAH .......................... 78
5.1 Prioritas Penyebab Masalah ISPA ............................................................. 78
5.2 Prioritas Penyebab Masalah DM ................................................................ 78
5.3 Prioritas Penyebab Masalah Hipertensi .................................................... 79
BAB VI ANALISIS DIAGNOSIS KOMUNITAS KELURAHAN 26 ILIR
MENURUT TEORI L. GREEN ........................................................................... 81
BAB VII ALTERNATIF PEMECAHAN PENYEBAB MASALAH ................. 84
7.1 Alternatif Intervensi ISPA.......................................................................... 84
7.2 Alternatif Intervensi Diabetes Mellitus ...................................................... 85
7.3 Alternatif Intervensi Hipertensi ................................................................. 86
BAB VIII RENCANA KEGIATAN JANGKA PENDEK ................................... 88

1
8.1 Rencana Kegiatan Jangka Pendek Masalah ISPA ..................................... 88
8.2 Rencana Kegiatan Jangka Pendek Masalah Hipertensi dan DM ............... 90
BAB IX RENCANA KEGIATAN JANGKA PANJANG ................................... 91
9.1 Rencana Kegiatan Jangka Panjang Masalah ISPA .................................... 91
9.2 Rencana Kegiatan Jangka Panjang Masalah Hipertensi dan DM .............. 92
BAB X PENUTUP ................................................................................................ 93
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 94

2
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi JNC-7 ............................................................................... 16


Tabel 2. ESH/ESC Guidelines 2013 ................................................................ 16
Tabel 3. rekomendasi terapi non farmakologi hipertensi ................................. 22
Tabel 4. Antihipertensi dan dosis hariannya .................................................... 32
Tabel 5. Klasifikasi Diabetes Melitus, Konsensus Diabetes Melitus............... 44

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi sistem pernapasan ............................................................ 33


Gambar 2. Epitel kolumner berlapis semu pembesaran 400x .......................... 34
Gambar 3. Patogenesis Diabetes melitus tipe 2 ............................................... 47

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Puskesmas Merdeka merupakan puskesmas yang berada di Kecamatan
Bukit Kecil dengan batas wilayah kerja Kelurahan 24 Ilir di sebelah utara,
Kelurahan 28 Ilir, 29 Ilir, dan 30 Ilir di sebelah selatan, Kelurahan 16 Ilir di
sebelah timur, dan Kelurahan 26 Ilir daerah I di sebelah barat. Puskesmas
Merdeka memiliki 2 Puskesmas Pembantu dan 16 Posyandu. Wilayah kerja
Puskesmas Merdeka terdiri atas empat kelurahan, antara lain Kelurahan 26 Ilir,
Kelurahan 22 Ilir, Kelurahan 19 Ilir, dan Kelurahan Talang Semut. Jumlah
penduduk di wilayah kerja Puskesmas Merdeka adalah 30.031 jiwa dengan
jumlah penduduk wanita sebanyak 12.763 jiwa dan pria sebanyak 17.238 jiwa.
Kelurahan 26 Ilir merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Bukit Kecil
dan menjadi wilayah kerja Puskesmas Merdeka. Kelurahan ini terdiri atas 10 RW
dan 35 RT. Beberapa penduduk mendapatkan sumber air bersih untuk sumber air
minum dan MCK dari PDAM. Mayoritas mata pencaharian warga adalah buruh
dan pedagang, dengan tingkat pendidikan yang tergolong rendah.
Berdasarkan survei di kelurahan 26 Ilir, didapatkan beberapa masalah
kesehatan yang sering ada di masyarakat, antara lain ISPA, hipertensi, diabetes
melitus, merokok, penyakit kulit, dan osteoartritis. Dari hasil survei dan
anamnesis ke masyarakat wilayah tersebut, lingkungan tempat tinggal dan gaya
hidup masyarakat kurang baik. Penerapan PHBS masih kurang di masyarakat.
Beberapa warga usia lanjut mengeluh pusing, nyeri tengkuk, dan kesulitan tidur
yang merupakan gejala dari hipertensi. Beberapa warga usia lanjut juga sudah
didiagnosa hipertensi dan diabetes melitus, namun sebagian belum rutin berobat
ke puskesmas merdeka dan puskesmas pembantu. Ada pula warga juga mengaku
ada yang mengaku sering mengalami batuk berulang namun jarang berobat ke
Puskesmas dikarenakan terbatasnya biaya.

5
1.2 Analisa Situasi
Kondisi sosiodemografi dan fakta yang ada di Kelurahan 26 Ilir, Kecamatan
Bukit Kecil, antara lain,
1. Kelurahan 26 Ilir terdiri dari 10 RW dan 35 RT.
2. Kelurahan 26 Ilir memiliki luas wilayah 345 ha.
3. Kelurahan 26 Ilir memiliki jumlah penduduk 11.775, terdiri dari 5812
laki-laki dan 5963 perempuan.
4. Terdapat 2 TK swasta, 2 SD Negeri, 2 SD swasta, 1 MI swasta, 1 SMP
swasta, dan 1 perguruan tinggi swasta di Kelurahan 26 Ilir.
5. Terdapat 1 lokasi pemukiman kumuh dengan 16 bagunan rumah dan 20
keluarga di Kelurahan 26 Ilir.
6. Sumber air pada Kelurahan 26 Ilir sebagian besar berasal dari PDAM
sebanyak 2436 keluarga.
7. Mata pencaharian penduduk di Kelurahan 26 Ilir sebagian besar sebagai
buruh dan pedagang. Beberapa rumah warga berdekatan dengan pasar
dan kawasan pertokoan.
8. Berbagai masalah kesehatan yang ditemukan di masyarakat, antara lain
ISPA, hipertensi, diabetes melitus, merokok, penyakit kulit, dan
osteoartritis.

1.3 Permasalahan yang Ditemukan


Permasalahan yang ditemukan di Kelurahan 26 Ilir Kecamatan Bukit Kecil,
antara lain:
1. ISPA
2. Merokok
3. Hipertensi
4. Diabetes melitus
5. Diare
6. Penyakit kulit
7. Osteoartritis

6
1.4 Penetapan Prioritas Masalah
Penetepan prioritas masalah adalah menggunakan USG. Menetapkan
prioritas dari sekian banyak masalah kesehatan di masyarakat saat ini
merupakan tugas yang penting. Ada beberapa cara untuk melakukan
pemilihan ide dengan tepat dan efisien dengan kelebihan dan kekurangan
dari cara tersebut. Metode USG merupakan salah satu cara menetapkan
urutan prioritas masalah dengan metode teknik scoring dengan
memperhatikan urgensi dari masalah, keseriusan masalah yang dihadapi,
serta kemungkinan bekembangnya masalah tersebut semakin besar. Hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Urgency
Seberapa mendesak masalah tersebut harus dibahas dikaitkan dengan
waktu yang tersedia untuk memecahkan masalah tadi.
2. Seriousness
Seberapa serius masalah tersebut perlu dibahas dikaitkan dengan akibat
yang timbul dengan penundaan pemecahan masalah yang menimbulkan
masalah tersebut atau akibat yang menimbulkan masalah-masalah lain
kalau masalah penyebab masalah tidak dipecahkan.
3. Growth
Seberapa kemungkinan-kemungkinannya masalah tersebut menjadi
berkembang dikaitkan kemungkinan masalah penyebab masalah akan
semakin memburuk kalau dibiarkan.

1.5 Membuat Alat Ukur untuk Mengambil Data Primer


Dalam pengambilan data primer, dilakukan wawancara langsung dengan
warga di wilayah kelurahan 26 Ilir, serta dilakukan evaluasi dari data PIS-
PK di puskesmas merdeka.

7
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 HIPERTENSI
2.1.1 DEFINISI
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah
sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg
pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat atau tenang.1 Hipertensi merupakan “silent killer” (pembunuh diam-
diam) yang secara luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat
umum. Dengan meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang
dapat meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arteri
koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal.2
Sampai saat ini hipertensi tetap menjadi masalah karena beberapa hal,
antara lain meningkatnya prevalensi hipertensi yang belum mendapat pengobatan
maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum mencapai target, serta
adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas
dan mortilitas.3
Meningkatnya usia harapan hidup yang didorong oleh keberhasilan
pembangunan nasional dan berkembangnya modernisasi serta globalisasi di
Indonesia akan cenderung meningkatkan risiko terjadinya penyakit vaskuler
(penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit arteri perifer). Menurut American
Heart Association (AHA), penduduk Amerika yang berusia diatas 20 tahun
menderita hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa, namun hampir
sekitar 90-95% kasus tidak diketahui penyebabnya.4

2.1.2 ETIOLOGI
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau
hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di
kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai

8
penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab
hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder
dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara
potensial.5
1. Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial
(hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan
95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin
berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum
satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut.
Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya
menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis
hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi
tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan
timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang
mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya
mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric
oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen.7

2. Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat
tabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau
penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering.7 Obat-obat
tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat
dilihat pada tabel 1. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan
menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati / mengoreksi kondisi
komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder.5

9
Penyebab hipertensi sekunder:6
Renal
 Glomerulonefritis akut
 Penyakit ginjal kronik
 Penyakit polikistik
 Stenosis arteri renalis
 Displasia fibromuskuler arteri renalis
 Vaskulitis renal
 Tumor yang memproduksi renin
Endokrin
 Hiperfungsi korteks adrenal (sindrom Cushing, aldosteronisme primer,
hiperplasia adrenal kongenital, konsumsi licorice)
 Hormon-hormon eksogen (glukokortikoid, estrogen [termasuk obat
pemicukehamilan serta kontrasepsi oral], obat-obat simpatomimetik,
makanan yang mengandung titamin dan preparat inhibitor monoamin
oksidase [MAO])
 Feokromositoma
 Akromegali
 Hipotiroidisme (miksedema)
 Hipertiroidisme (tirotoksikosis)
 Hipertensi yang ditimbulkan oleh kehamilan
Kardiovaskuler
 Koarktasio aorta
 Poliarteritis nodosa (atau vaskulitis lainnya)
 Peningkatan volume intravaskuler
 Peningkatan curah jantung
 Rigiditas aorta
Neurologik
 Psikogenik
 Peningkatan tekanan intrakranial

10
 Sleep apnea
 Stres akut yang meliputi pembedahan.

2.1.3 FAKTOR RISIKO


1. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
1) Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin
besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko
terkena hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih
besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu
sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 % diatas umur 60 tahun. Hal ini
disebabkan oleh hilangnya elastisitas atau kelenturan arteri seiring bertambahnya
usia.8 Selain itu meningkatnya risiko hipertensi pada usia tua juga disebabkan oleh
perubahan hormon. Perubahan dari pembuluh darah saja belum bisa memicu
terjadinya hipertensi, tetapi bila perubahan tersebut disertai faktor-faktor lain
maka bisa memicu terjadinya hipertensi.9

2) Jenis Kelamin
Laki-laki dan peremupuan sama-sama berisiko terkena hipertensi, namun
terdapat perbedaan angka kejadian dan tingkat keparahan hipertensi antara laki-
laki dan perempuan. Angka kejadian hipertensi pada laki lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan pada usia yang sama sampai dekade keenam
kehidupan.10 Penelitian yang dilakukan everett menyebutkan bahwa wanita muda
jauh lebih kecil kemungkinannya untuk terkena hipertensi dibandingkan pada
pria, dengan persentase pria yang terkena hipertensi pada usia akhir dua puluhan
adalah 27% sedangkan pada wanita persentasenya hanya sebesar 12 % secara
keseluruhan. Perbedaan angka kejadian hipertensi ini mungkin sebagian karena
perbedaan dalam faktor risiko perilaku, seperti BMI, merokok, dan aktivitas fisik.
Namun, dari penelitian yang dilakukan faktor-faktor ini hampir tidak berpengaruh
secara signifikan dalam kejadian hipertensi. Ini menunjukkan bahwa perbedaan

11
gender di antara orang dewasa muda mungkin disebakan oleh perbedaan faktor
biologis antara laki-laki dan perempuan.11

3) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga merupakan faktor risiko penting yang tidak dapat
dimodifikasi untuk hipertensi. Sifat turun-temurun dari hipertensi telah diketahui
dengan baik oleh banyak penelitian pada keluarga, menunjukkan hubungan
tekanan darah di antara saudara kandung dan antara orang tua dan anak-anak. Di
antara berbagai mekanisme yang diusulkan untuk menjelaskan hubungan antara
hipertensi dan riwayat keluarga positif hipertensi, adalah peningkatan reabsorpsi
natrium proksimal ginjal, sifat-sifat genetik yang berkaitan dengan tekanan darah
tinggi seperti counter-transport natrium-litium yang tinggi, ekskresi kallikrein
urin rendah, peningkatan kadar asam urat, konsentrasi insulin plasma puasa tinggi,
kepadatan sub-fraksi LDL tinggi, indeks pola lemak, stres oksidatif dan indeks
massa tubuh, serta faktor lingkungan bersama seperti asupan natrium dan paparan
logam berat.12

2. Faktor yang dapat diubah/dikontrol


a. Kebiasaan Merokok
Nikotin dalam tembakau menyebabkan meningkatnya tekanan darah
segera setelah hisapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok,
nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil di dalam paru—paru
dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik, nikotin sudah
mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada
kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan
menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat
karena tekanan yang lebih tinggi. Dengan menghisap sebatang rokok akan
memberi pengaruh besar terhadap naiknya tekanan darah. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang di lakukan pada masyarakat Nagari Bungo Tanjung Sumatera
Barat, dia mendapatkan bahwa perilaku merokok merupakan faktor risiko

12
kejadian hipertensi dengan besar risiko 6,9 kali lebih besar untuk terjadinya
hipertensi.13

b. Konsumsi Asin/Garam
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis
hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan
asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari
menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam
antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %.
Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan
volume plasma, curah jantung dan tekanan darah.13
Natrium merupakan salah satu bentuk garam yang sering di konsumsi.
Asupan tinggi natrium berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi melalui
mekanisme peningkatan volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah.
Kelebihan asupan akan meningkatkan cairan dari sel, dimana air akan bergerak ke
arah larutan elektrolit yang mempunya konsentrasi lebih tinggi. Hal ini
mengakibatkan peningkatan volume plasma darah dan akan meningkatkan curah
jantung, sehingga tekanan darah meningkat. Selain itu asupan tinggi natrium dapat
mengecilkan diameter arteri, sehingga jantung memompa lebih keras untuk
mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang sempit.13

c. Konsumsi Lemak Jenuh


Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat
badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga
meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan
darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang
bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya
yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber
dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.14

d. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol

13
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Dalam meta-analisis tahun
2001 dari 15 uji coba terkontrol secara acak dari intervensi pengurangan alkohol,
Xin et al. melaporkan hubungan dosis-respons antara pengurangan alkohol dan
pengurangan tekanan darah. Pengurangan konsumsi alkohol rata-rata 67%
menghasilkan penurunan yang signifikan dalam tekanan darah sistolik dan
diastolik rata-rata masing-masing 3,3 dan 2,0 mmHg. Dalam analisis terbaru dari
Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional 1999-2004 yang mencakup
orang dewasa berusia 20-84 tahun yang bebas dari penyakit kardiovaskular dan
hipertensi, konsumsi alkohol di atas pedoman yang direkomendasikan (lebih dari
2 minuman per hari pada pria dan 1 minuman per hari pada wanita) dikaitkan
dengan tekanan darah sistolik yang lebih tinggi baik pada pria maupun wanita.14
Mekanisme yang menghubungkan alkohol dan tekanan darah masih belum
jelas. The World hypertension League berasumsi bahwa efek alkohol yang relatif
lebih besar pada tekanan darah sistolik dibandingkan dengan tekanan darah
diastolik menunjukkan ketidakseimbangan antara faktor sistem saraf pusat yang
mempengaruhi output jantung dan efek vaskular perifer dari alkohol. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa alkohol memicu reaksi sentral dan perifer yang
secara sinergis memicu hipertensi. Selain itu, alkohol menginduksi peningkatan
aliran simpatis yang kemungkinan besar berkaitan dengan sekresi hormon
corticotropin-releasing hormone.15

e. Obesitas
Obsitas adalah suatu kondisi yang dapat mempengaruhi dan merusak
berbagai organ tubuh. Organ utama yang paling dipengaruhi oleh obesitas adalah
jantung, hati, ginjal, paru-paru, usus besar, kulit, pembuluh darah, dan otak. Efek
pada masing-masing organ memiliki berbagai dampak serius mengenai kesehatan,
namun yang paling langsung dipengaruhi oleh obesitas adalah renal injury.
Perubahan struktural di dalam ginjal akibat obesitas, dikarenakan timbunan
lemak di sekitar ginjal, bersamaan dengan peningkatan tekanan sekunder
abdomen akibat obesitas sentral, mengakibatkan gangguan reabsorpsi natrium
pada ginjal. Obesitas menyebabkan vasodilatasi ginjal dan hiperfiltrasi

14
glomerulus, yang bertindak sebagai mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan keseimbangan natrium. Mekanisme lain yang dapat menyebakan
hipertensi adalah peningkatan reabsorpsi tubular yang bersamaan dengan
peningkatan tekanan darah arteri dan kelainan metabolisme serta faktor-faktor lain
seperti peradangan, stres oksidatif, dan lipotoksisitas, dapat menyebabkan
eksaserbasi renal injury, sehingga proses ini dapat menjadi lingkaran setan.16

f. Olahraga
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena
meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga
cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot
jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan
sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada
arteri.17

g. Stres
Mekanisme antara stress dan hipertensi adalah sangat kompleks. Secara
umum, stress meningkatkan tekanan darah, resistensi vaskular sistemik, aktivitas
simpatis, aktivitas renin plasma, model homeostasis, dan lipid. Stress
meningkatkan tekanan darah dalam jangka pendek, dan efek coated white yang
berasal dari stress adalah salah satu contoh yang khas. Sebuah penelitian
pemantauan tekanan darah pada pasien rawat jalan baru-baru ini melaporkan
bahwa stress dikaitkan dengan hipertensi pada malam dan dini hari pada pasien
rawat jalan. Stress juga memiliki hubungan yang erat dengan sistem angiotensin
renin dan meningkatkan tingkat angiotensin II. Stress jangka panjang dapat
menurunkan variabilitas pembuluh darah, sehingga resistensi pembuluh darah
yang persisten dapat menyebabkan hipertensi. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pasien dengan stress biasanya memiliki tanda-tanda fisiologis dari aktivasi
simpatis, dan stress dapat merangsang keluarnya saraf simpatis dan refleks
vasovagal. Rozanski et al berpendapat bahwa stress dapat mengaktifkan sistem

15
saraf simpatis, meningkatkan curah jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan
meningkatkan arteri tekanan darah.18

2.1.4 PATOGENESIS
Hipertensi merupakan penyakit yang bukan hanya disebabkan oleh satu
macam mekanisme, akan tetapi bersifat multi-faktorial, yang timbul akibat dari
interaksi dari berbagai macam faktor risiko. Berbagai faktor dan mekanisme
tersebut antara lain: faktor genetik dan lingkungan, mekanisme neural, renal,
hormonal dan vaskular.7
1. Faktor risiko tersebut antara lain: diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas,
merokok dan genetlk.
2. Mekanisme neural: Aktifitas berlebih dari sistim saraf simpatis mempunyai
peranan yang penting pada awal teryadinya hipertensi. Pada awalnya terjadi
peningkatan denyut jantung, curah jantung, kadar norepinefrin (NE) plasma
dan urin, berlebihnya NE ditingkat regional, rangsangan saraf simpatis post
ganglion dan reseptor o-adrenergik menyebabkan vasokonstriksi di sirkulasi
perifer. Meningkatnya aktifitas saraf simpatis ini sulit diukur secara klinis.
Pengukuran kadar NE plasma dan denyut jantung tidak dapat dipakai untuk
mengukur aktifitas saraf simpatis yang meningkat. Untuk mengukur aktifitas
ini dapat dipakai dengan mengukur kadar NE yang berlebih dl tingkat
regional dengan rodiotrocer dan microneurography.
3. Mekanisme renal: Ginjal merupakan salah satu faktor yang ikut berperan
dalam patogenesis terjadinya hipertensi. Sebaliknya, hipertensi dapat
menyebabkan teryadinya kelainan pada ginjal. Dasar dari semua kelainan
yang ada pada hipertensi adalah menurunnya kemampuan ginjal untuk
mengekskresikan kelebihan natrium yang pada diet tinggi garam.
Retensi natrium dapat meningkatkan tekanan darah melalui dua cara yaitu;
- Volume-dependent mechanisms autoregulasi dan produksi dari
endogenous quaboin-like steroids.
- Volume-independent mechanism: angiotensin memberikan efek pada
sistim saraf pusat, peningkatan aktifitas saraf simpatis, peningkatan

16
kontraktilitas sel otot polos pembuluh darah dan hipertrofi mioblast
jantung, peningkatan produksi nucleor foctor (NF)-rp, peningkatan
ekspresi AT1 R diginjal serta peningkatan tronsforming growth factor
(TGF)-9.
4. Mekanisme vaskular: Perubahan struktur dan fungsi pembuluh darah kecil
dan besar memegang peranan penting saat mulai teUadinya dan progresifitas
hipertensi. Pada beberapa keadaan dldapatkan peningkatan tahanan pembuluh
darah perifer dengan curah jantung yang normal. Terjadi gangguan
keseimbangan antara faktor yang menyebabkan terjadinya dilatasi dan
konstriksi pembuluh darah.
- Mekanisme vasokonstriksi ditingkat seluler: ekanisme ditingkat seluler juga
berperan pada patogenesis hipertensi primer, meskipun tidak didapatkan
kelainan pada ginjal. Meningkatnya cytosolic calcium pathway menyebabkan
terjadinya kontraksi pada otot polos pembuluh darah.
- Disfungsi endotel: lapisan endotel pembuluh darah merupakan faktor yang
sangat berperan dalam menjaga kesehatan pembuluh darah, dan merupakan
lapisan utama pertahanan terhadap aterosklerosis dan hipertensi.
Keseimbangan tonus pembuluh darah dlatur oleh modulator vasodilatasi dan
vasokontriksi. Gangguan pada keseimbangan tonus ini juga ikut berperan
pada patogenesis hipertensi primer. Adanya disfungsi endotel merupakan
penanda yang khas dari suatu hipertensi dan risiko dari suatu kejadian
kardiovaskular. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya faktor yang
menyebabkan relaksasi pembuluh darah yang dihasilkan oleh endotel, seperti
Nitric Oxide (NO), dan meningkatnya faktor yang menyebabkan terjadinya
vasokonstriksi seperti faktor proinflamasi, protrombotik dan growth foctors.
- Remodeling vaskular: seiring dengan berjalannya waktu, disfungsi endotel,
aktivasi neurohormonal, inflamasi vaskular dan meningkatnya tekanan darah
akan menyebabkan perubahan pada pembuluh darah/remodeling vaskular
yang makin memperberat hipertensi. Gambaran khas dari keadaan ini adalah
menebalnya dinding media arteri, sehingga terjadi peningkatan ratio antara
media dan lumen, pada arteri besar dan kecil. Sistim renin angiotensin

17
aldosteron (SRAA) merupakan faktor yang dominan yang berperan dalam
remodeling ini.
5. Mekanisme hormonal:Aktivasi sistim renin angiotensin aldosteron
merupakan salah satu mekanisme penting, yang ikut berperan pada retensi
natrium oleh ginjal, disfungsi endotel, inflamasi dan remodeling pembuluh
darah, juga hipertensi. Renin yang diproduksi terutama oleh sel
juxtaglomerulus yang ada diginjal, akan berikatan dengan angiotensinogen
yang diproduksi oleh hati, menghasilkan angiotensin (AT) l. Selanjutnya oleh
angiotensin converting enzyme (ACE) yang terutama banyak terdapat diparu
juga dijantung dan pembuluh darah (tissue ACE), AT I akan diubah menjadi
angiotensin (AT) ll. Selain itu masih ada jalur alternatif lain. Chymose suatu
enzim protease serine akan merubah AT I menjadi AT ll. lnteraksi antara AT
ll dan reseptor AT1 akan mengaktivasi beberapa mekanisme ditingkat seluler
yang ikut berperan dalam terjadinya hipertensi dan percepatan kerusakan
pada organ target oleh karena hipertensi itu sendiri. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan kerusakan target organ antara lain meningkatnya produksi
reoctive oxygen species (ROS), inflamasi vaskular, remodeling jantung dan
produksi aldosteron. Selain itu, dari beberapa penelitian terakhir makin
banyak bukti bahwa AT ll, aldosteron, aktivasi jalur renin dan prorenin dapat
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah yang sehat dan menyebabkan
terjadinya hipertensi. Hasil metabolis lain yang berasal dari AT l, seperti AI
1-7 yang mempunyai efek proteksi terhadap pembuluh darah masih dalam
penelitian.
Secara tradisional pada SRAA, prorenin merupakan precursor renin
yang sifatnya inaktif akan berubah lebih dahulu menjadi renin yang aktii
kemudian secara enzimatik akan merubah angiotensinogen menjadi AT l.
Pada konsep yang baru, ditemukan reseptor pro(renin) yang bila terikat
dengan prorenin dan renin akan mengakibatkan efek toksik langsung pada
jantung dan ginjal. Proses ini berjalan secara non-enzimatik. Proses
terbentuknya reseptor pro(renin) terpisah dari terbentuknya reseptor AT ll.
Karenannya kerja reseptor ini tidak dipengaruhi oleh penghambat ACE dan

18
ongiotensin receptor blocker (ARB)s. Kadar prorenin 100 kali lebih tinggi
bila dibanding dengan kadar renin dalam plasma. Untuk melihat aktivitas
SRAA secara klinis, dapat diukur kadar plasma renin activity (PRA) dan
plasma renin consentration (PRC). 7
Pada beberapa penelitian hewan coba, AT ll dapat menyebabkan
hipertensi melalui aktivasi NADPH oxidose dalam sel T yang berada dalam
sirkulasl, ginjal dan otak. Ekspresi reseptor AT1 dan NADPH oxidose pada
sel T memegang peranan yang penting pada terjadinya hipertensi pada tikus
coba, dan mungkin pada manusia. AT ll akan mengaktivasi NADPH oxidase
dan meningkatkan produksi ROS pada organ subfronicol, kemudian memicu
aktivasi saraf simpatis ke lien dan kelenjar getah bening, sehingga terjadi sel
T dalam sirkulasi. Bersamaan dengan itu, terjadi aktivasi NADPH oxidose
pada sel T oleh AT ll, diikuti dengan meningkatnya ekspresi kemokin pada
permukaan sel T. Sel T tersebut akan mengaktivasi NADPH oxidose dr
vaskular dan ginjal, diikuti dengan meningkatnya ROS ditingkat lokal. Sel T
yang teraktivasi di perivascular fat akan menyebabkan vasokonstriksi dan
remodeling vaskular. Sel T yang teraktivasi pada perivasculor fat juga akan
menyebabkan disfungsi ginjal dan retensi natrium. Beberapa faktor yang
mempengaruhi pengendalian tekanan darah antara lain; curah jantung dan
tahanan perifer.7

19
Skema 1. Faktor-faktor yang berpengaruh pada tekenan darah7

2.1.5 KLASIFIKASI
Tabel. 1 Klasifikasi JNC-719
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal Dibawah 120 Dibawah 80

Prehipertensi 120-139 80-89

Stage 1 140-159 90-99


Hipertensi
Stage 2 Besar sama 160 Besar sama 100

Tabel. 2 ESH/ESC Guidelines 201319


Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Optimal Dibawah 120 Dibawah 80

Normal 120-129 80-84

Normal Tinggi 130-139 85-89

20
Hipertensi grade 1 140-159 90-99

Hipertensi grade 2 160-179 100-109

Hipertensi grade 3 Besar sama 180 Besar sama 110

Hipertensi isolated systolic Besar sama 140 Kurang dari 90

2.1.6 MANIFESTASI KLINIS


Menurut Elizabeth J. Corwin, sebagian besar tanpa disertai gejala yang
mencolok dan manifestasi klinis timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-
tahun berupa:
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
tekanan darah intrakranium.
2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
3. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
5. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.20

2.1.7 PENEGAKAN DIAGNOSIS


Terdapat tiga tujuan utama dalam mengevaluasi pasien dengan hipertensi:21
(a) Untuk menentukan jenis hipertensi, khususnya mencari penyebab yang dapat
diidentifikasi
(b) untuk menilai dampak hipertensi pada target organ;
(c) memperkirakan profil risiko pasien untuk berkembang menjadi cardiovaskuler
disorder.
Seperti itu evaluasi dapat dilakukan dengan relatif mudah dan harus
menjadi bagian dari pemeriksaan awal setiap hipertensi yang baru ditemukan.
Semakin muda pasien dan semakin tinggi tekanan darah, semakin intensif
seharusnya mencari penyebab yang dapat diidentifikasi. Antara orang setengah
baya dan lebih tua, perhatian lebih besar harus diarahkan ke risiko kardiovaskular

21
keseluruhan profil, karena populasi ini lebih rentan terhadap komplikasi
langsung.21

a. Anamnesis
Anamnesis harus fokus pada onset peningkatan tekanan darah dan
pengobatan sebelumnya, berbagai obat yang digunakan saat ini yang dapat
menyebabkannya peningkatan tekanan darah, dan gejala dari disfungsi organ
target. 21
Menurut kaplan berikut beberapa pertanyaan penting yang harus
ditanyakan dalam anamnesis pasien hipertensi: 21
 Onset hipertensi : berapa tekanan darah normal yang terakhir diketahui dan
tingkat hipertensi
 Pengobatan hipertensi sebelumnya : jenis, dosis, efek samping
 Asupan yang dapat mengganggu
o Obat antiinflamasi nonsteroid
o Kontrasepsi oral
o Obat-obatan Simpatomimetik
o Steoids adrenal
o Asupan natrium yang berlebihan
o Alkohol (> 2 minuman / hari)
o Obat herbal
 Riwayat keluarga :
o Hipertensi
o Stroke atau kematian yang mendadak
o Penyakit keluarga: pheochromocytoma, penyakit ginjal, diabetes, asam
urat
 Manifestasi klinis sekunder
o Kelemahan otot
o Takikardia, berkeringat, gemetaran
o Nyeri punggung
 Gejala kerusakan organ target

22
o Sakit kepala
o Kelemahan atau kebutaan sementara
o Penurunan ketajaman penglihatan
o Nyeri dada
o Dyspnea
o Edema
o Klaudikasio
 Adanya faktor risiko lain
o Merokok
o Diabetes
o Dislipidemia
o Kurangnya aktivitas fisik
 Penyakit penyerta
 Riwayat diet
o Perubahan berat badan
o Lebih sering memakan makanan segar atau olahan
o Sodium
o Lemak jenuh
 Fungsi seksual
 Sleep apnea
o Sakit kepala dini hari
o Mengantuk di siang hari
o Mendengkur keras
o Tidur yang tidak menentu
 Kemampuan untuk memodifikasi gaya hidup dan mempertahankan terapi
o Memahami sifat hipertensi dan perlunya regirnen
o Kemampuan melakukan aktivitas fisik
o Kemampuan menyediakan makanan sesuai anjuran
o Kendala keuangan
o Kemampuan untuk membaca instruksi

23
b. Pemeriksaan Fisik
 Pengukuran tekanan darah yang akurat
Alat untuk mengukur tekanan darah disebut spigmomanometer. Ada
beberapa jenis spigmomanometer, tetapi yang paling umum terdiri dari
sebuah manset karet, yang dibalut dengan bahan yang difiksasi disekitarnya
secara merata tanpa menimbulkan konstriksi. Sebuah selang kecil
dihubungkan dengan manset karet ini. Dengan alat ini, udara dapat
dipompakan kedalamnya, mengembangkan manset karet tersebut dan
menekan pembuluh darah yang ada dibawahnya. Bantalan ini juga
dihubungkan juga dengan sebuah manometer yang mengandung air raksa
sehingga tekanan udara didalamnya dapat dibaca sesuai skala yang ada.21
Untuk mengukur tekanan darah, manset karet difiksasi melingkari
lengan dan denyut pada pergelangan tangan diraba dengan satu tangan,
sementara tangan yang lain digunakan untuk mengembangkan manset sampai
suatu tekanan, dimana denyut arteri radialis tidak lagi teraba. Sebuah
stetoskop diletakkan diatas denyut arteri brakialis pada fosa kubiti dan
tekanan pada manset karet diturunkan perlahan dengan melonggarkan
katupnya. Ketika tekanan diturunkan, mula-mula tidak terdengar suara,
namun ketika mencapai tekanan darah sistolik terdengar suara ketukan
(tapping sound) pada stetoskop (Korotkoff fase I). Pada saat itu tinggi air
raksa didalam namometer harus dicatat. Ketika tekanan didalam manset
diturunkan, suara semakin keras sampai saat tekanan darah diastolik tercapai,
karakter bunyi tersebut berubah dan meredup (Korotkoff fase IV). Penurunan
tekanan manset lebih lanjut akan menyebabkan bunyi menghilang sama
sekali (Korotkoff fase V). Tekanan diastolik dicatat pada saat menghilangnya
karakter bunyi tersebut.22
Dalam pengukuran tekanan darah ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu: 22
a. Pengukuran tekanan darah boleh dilaksanakan pada posisi duduk ataupun
berbaring. Namun yang penting, lengan tangan harus dapat diletakkan
dengan santai.

24
b. Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk, akan memberikan angka
yang agak lebih tinggi dibandingkan dengan posisi berbaring meskipun
selisihnya relatif kecil.
c. Tekanan darah juga dipengaruhi kondisi saat pengukuran. Pada orang
yang bangun tidur, akan didapatkan tekanan darah paling rendah. Tekanan
darah yang diukur setelah berjalan kaki atau aktifitas fisik lain akan
memberi angka yang lebih tinggi. Di samping itu, juga tidak boleh
merokok atau minum kopi karena merokok atau minum kopi akan
menyebabkan tekanan darah sedikit naik.
d. Pada pemeriksaan kesehatan, sebaiknya tekanan darah diukur 2 atau 3 kali
berturut-turut, dan pada detakan yang terdengar tegas pertama kali mulai
dihitung. Jika hasilnya berbeda maka nilai yang dipakai adalah nilai yang
terendah.
e. Ukuran manset harus sesuai dengan lingkar lengan, bagian yang
mengembang harus melingkari 80 % lengan dan mencakup dua pertiga
dari panjang lengan atas.

 Keadaan umum: distribusi lemak tubuh, lesi kulit, kekuatan otot,


kewaspadaan
Pengukuran lingkar pinggang harus rutin dilakukan. Nilai melebihi 88
cm (35 in.) pada wanita dan 102 cm (40 in.) pada laki-laki merupakan
indikasi dari obesitas sentrak dan sindrom metabolisme dan merupakan faktor
risiko penyakit kardiovaskular
 Funduskopi optik
Melalui fundus optik pembuluh darah kecil dapat terlihat dengan
mudah. Sebelum dilakukan funduskopi dilakukan pelebaran pupil mata
pasien, dengan menggunakan midriatik kerja pendek seperti tropikamid 1%.
Funduskopi rutin dapat menggambarkan perubahan retina pasien pada
retinopati hipertensi. Namun, perubahan awal yang lebih kecil yang mungkin
muncul bahkan sebelum hipertensi hanya dapat dilihat melalui fotografi retina
digital.

25
 Leher: palpasi dan auskultasi karotid, tiroid
 Jantung: ukuran, irama, suara
 Paru-paru: rhonchi, rales
 Perut: massa ginjal, bruit di atas aorta atau arteri ginjal, nadi femoralis
 Ekstremitas: denyut nadi perifer, edema
 Aspek neurologis, termasuk fungsi kognitif

c. Pemeriksaan Laboratorium
Pada sebagian besar pasien dibutuhkan pemeriksaan rutin berupa,
hematokrit, analisis urin (termasuk uji mikroskopis dan dipstick untuk
proteinuria), kimia darah (glukosa, kreatinin, elektrolit), asam urat dan
kalsium, profil lipid (LDL dan Kolesterol HDL, trigliserida), dan
elektrokardiografi.
Sampel darah yang terbaik diperoleh setelah puasa semalam untuk
meningkatkan diagnostik akurasi kadar glukosa dan trigliserida. Pada
hipertensi primer tanpa komplikasi biasanya akan mendapatkan hasil yang
normal di fase awal, tetapi pemeriksaan tetap diperlukan sebagai acuan
normal pada pasien tersebut. Pemeriksaan serum kreatinin atau cystatin C
harus dihubungkan dengan usia, jenis kelamin, dan berat pasien, untuk
memperkirakan GFR agar gagal ginjal pada pasien dapat terdeteksi secara
dini.

2.1.8 TERAPI
2.1.8.1 Non farmakologi
Tabel 3. rekomendasi terapi non farmakologi hipertensi23

26
b. Olahraga
Olahraga memberikan banyak manfaat kesehatan, termasuk kebugaran
kardiovaskular yang lebih baik, mengurangi stres, dan meningkatkan profil
lipid. Latihan fisik jangka panjang juga mengurangi risiko hipertensi,
sedangkan kurangnya olahraga teratur menyebabkan peningkatan kejadian
hipertensi. Olahraga teratur dapat menurunkan tekanan darah sebanyak 5–15
mmHg pada pasien dengan hipertensi primer.19
Jenis, durasi, dan frekuensi latihan memengaruhi tekanan darah. Untuk
jangka panjang latihan kekuatan dan latihan aerobik dapat bermanfaat untuk
mengurangi tekanan darah, terutama latihan aerobik. Intensitas latihan
aerobik lebih penting dari frekuensi, selama tingkat frekuensi baseline
tertentu terpenuhi. Sebagai contoh, olahraga berat selama satu jam, tiga kali
seminggu dapat memperbaiki tekanan darah lebih dari olahraga sedang
selama 30 menit, enam kali seminggu. Mekanisme reduksi tekanan darah
dengan olahraga belum dijelaskan secara definitif, namun reduksi
norepinefrin diyakini berkontribusi terhadap penurunan tekanan darah dengan
mengurangi SVR dan CO. Olahraga juga meningkatkan kesehatan
kardiovaskular secara umum dan dapat mengurangi massa tubuh, sehingga
membantu melawan obesitas.19

c. Penurunan berat badan


Diet tinggi kalori dan rendahnya aktivitas fisik di banyak budaya telah
menyebabkan kelebihan berat badan, dan meningkatnya prevalensi obesitas.
Karena itu, pengurangan berat badan adalah aspek penting dari modifikasi
gaya hidup untuk pengobatan hipertensi pada semua orang yang kelebihan
berat badan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa mengurangi berat
badan menyebabkan penurunan tekanan darah serta akan mengurangi
kebutuhan akan obat antihipertensi. Misalnya, mengurangi berat badan
sebesar 10% menyebabkan penurunan rata-rata tekanan darah sebesar 4,3 /
3,8 mmHg. Sebuah studi meta-analisis menunjukkan bahwa untuk setiap satu
kilogram (2,2 lb) pengurangan berat badan, Tekanan Darah sistolik berkurang

27
rata-rata 1,6 mmHg, sedangkan tekanan diastolik menurun 1,3 mmHg.
Sebuah studi jangka panjang juga mendukung korelasi berat badan dan
peningkatan tekanan darah. Sebuah penelitian selama delapan tahun terhadap
1.200 orang yang kelebihan berat badan menunjukkan penurunan risiko
hipertensi sebesar 22% setelah melakukan modifikasi gaya hidup untuk
mengendalikan hipertensi dengan menurunankan berat badan rata-rata 6,8 kg.
Penurunan risiko hipertensi bahkan lebih tinggi untuk orang berusia 50-65
tahun, yang risikonya menurun sebanyak 26%.19
Kelebihan berat badan menghasilkan banyak perubahan yang bisa
berkontribusi hipertensi. Risiko tersebut termasuk peningkatan CO,
perubahan pada ventrikel kiri, berkurang fungsi ginjal, dan perubahan
pensinyalan insulin. Pengurangan berat badan dapat memperbaiki kondisi ini.
Mengurangi CO akan mengurangi ketegangan pada sistem kardiovaskular,
sehingga mencegah hipertropi ventrikel kiri dan remodeling berkelanjutan
dari pembuluh darah. Menurunkan berat badan juga bisa berkontribusi
dengan meningkatkan fungsi sel endotel melalui peningkatan vasodilatasi
berbasis pensinyalan nitrat oksida. Sensitivitas insulin dan toleransi glukosa
juga meningkat berdasarkan pengurangan berat badan.19

d. Hindari merokok
Berhenti merokok adalah yang cara langsung dan paling efektif, untuk
mengurangi risiko kardiovaskular, menambah angka harapan hidup sebanyak
10 tahun. Merokok memperburuk efek mortalitas hipertensi, meningkatkan
kekakuan arteri dan gangguan sintase nitric oxide (NO). Penggunaan
tembakau dan cerutu tanpa asap, jika asapnya terhirup, juga meningkatkan
risiko infark miokard.21
Para penderita hipertensi yang merokok harus diedukasi untuk berhenti
berulang kali dan dengan jelas serta diberikan bantuan dalam melakukannya.
Terapi penggantian nikotin mungkin membantu bahkan jika terdapat
stimulasi simpatik, dan agonis nikotin parsial, Varenicline, dapat membantu
menghilangkan gejala penarikan dan memblokir keinginan untuk terus

28
merokok. Jika pasien terus merokok, dapat mengurangi efek semua
antihipertensi kecuali β-blocker nonselektif.21

e. Modifikasi Diet
Perubahan dalam diet dapat bermanfaat dalam menurunkan tekanan
darah dengan mengurangi obesitas, mengurangi asupan natrium, dan
meningkatkan defisiensi mineral lainnya. Sebuah studi mengkonfirmasi
manfaat dari diet sehat pada hipertensiyang dikenal dengan The Dietary
Approach to Stop Hypertension (DASH). Efeknya paling jelas pada pasien
yang diklasifikasikan memiliki hipertensi, di antaranya ada penurunan BP
rata-rata 11,4 / 5,5 mmHg. Ketika ditambah dengan pengurangan kalori,
pembatasan natrium (sesuai hasil dari Studi DASH) menambah efek diet pada
pengurangan TD. Diet juga punya efek memodifikasi pada perkembangan
hipertensi. Penelitian selama lima tahun terhadap pasien dengan prehipertensi
diamati efek diet biasa dengan diet yang mengurangi natrium, alkohol, dan
makanan penurun berat badan. Selama masa studi, hampir 20% pasien yang
menjalani diet biasa mengalami hipertensi dibandingkan dengan kurang dari
10% dari mereka yang menjalani diet rendah natrium terbatas.
Komponen tertentu dari diet telah terbukti berperan sangat penting
peran dalam mencegah hipertensi. Misalnya, reduksi natrium kalium dan
kalsium meningkatkan tekanan darah yang lebih rendah. Efeknya akibat
peningkatan kalsium terbilang kecil (rata-rata reduksi 1,44 / 0,8 mmHg),
sementara peningkatan kalium biasanya menyebabkan penurunan tekanan
darah yang lebih besar. Berbagai zat tambahan juga bisa memperbaiki
tekanan darah, seperti diet yang tinggi dalam minyak ikan, yang menurunkan
tekanan darah sistolik sebesar 6 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 4
mmHg. Diet vegetarian mengurangi tekanan darah karena kandungan
seratnya yang tinggi.

29
f. Mengurangi intake natrium
Tidak ada makanan dalam keadaan alami yang mengandung kadar
natrium yang tinggi. Garam pada awalnya ditambahkan untuk mengawetkan
makanan yang cepat rusak apabila tidak ada lemari pendingin. Penggunaan
garam semakin meningkat pada semua makanan olahan dengan cepat.
Pengolah makanan dapat menambah jumlah produk dengan air yang diikat
oleh garam. Dari rata-rata asupan natrium harian di US adalah sebesar 4.323
mg pada pria dan 2.918 mg pada wanita. Sebesar 77% berasal dari garam
yang ditambahkan dalam pemrosesan makanan.21
Pengurangan natrium diet sedang dianjurkan oleh sebagian besar ahli
termasuk American Heart Asosiasi. CDC memperkirakan bahwa
pengurangan natrium dalam makanan bisa mencegah sebanyak 11 juta kasus
baru hipertensi di US dan memperkirakan penurunan angka kematian 0,7 dan
1,2 juta selama 10 tahun.21
Berdasarkan hasil meta-analisis, menurunkan tekanan darah dengan
membatasi asupan garam setiap hari menjadi 4,4-7,4 g (75-125 meq)
menghasilkan penurunan tekanan darah 3,7-4,4 / 0,9-2,9 mmHg pada
individu hipertensi dan pengurangan yang lebih rendah pada normotensi.
Pengurangan diet garam juga telah terbukti mengurangi risiko jangka panjang
kejadian kardiovaskular pada orang dewasa dengan "prehipertensi".24

g. Mengurangi konsumsi alkohol


Mengurangi asupan alkohol menurunkan tekanan darah pada banyak
individu. Meski banyak penelitian telah menunjukkan bahwa asupan alkohol
harian dalam kadar yang tidak berlebihan, terutama minum anggur merah,
terdapat manfaat yang positif bagi kesehatan, namun konsumsi alkohol yang
berlebihan dapat meningkatkan yang positif. Risiko hipertensi meningkat
sebanyak dua kali pada orang yang mengonsumsi dua minuman beralkohol
per hari (mis. Dua Bir 355 ml) dibandingkan dengan orang-orang yang
sepenuhnya berpantang penggunaan alkohol. Efek alkohol pada hipertensi
tampaknya terkait dengan jumlah konsumsi alkohol. Mengurangi konsumsi

30
alkohol adalah salah satunya modifikasi gaya hidup tercepat untuk
memperbaiki tekanan darah. Suatu studi meta-analisis menemukan bahwa
pengurangan rata-rata tekanan darah sebesar 3,3/2 mmHg dengan
penghentian konsumsi alkohol.19

2.1.8.2 Farmakologi
a. Diuretik
Perluasan volume cairan dan cairan ekstraseluler adalah etiologis yang
pentingfaktor dalam patogenesis hipertensi primer. Dari awal terapi untuk
hipertensi, diuretik tetap menjadi landasan manajemen baik sebagai
monoterapi atau sebagai bagian integral dari terapi kombinasi. Sampai
sekarang, diuretik telah direkomendasikan sebagai obat awal pilihan untuk
hipertensi oleh semua pedoman nasional dan internasional. Jadi, diuretik
sangat penting untuk jangka panjang pengobatan hipertensi. Diuretik tiazid
paling sering digunakan dalam uji klinis, studi hasil, dan praktik klinis, dan
efektif ketika fungsi ginjal normal. Pada pasien dengan CKD atau educed
GFR, loop diuretik adalah lebih disukai thiazides. Efek diuretik thiazide pada
TD dikelompokkan menjadi akut, subakut, dan fase kronis. Selama fase
kronis inilah tiazid paling berguna mengobati hipertensi. Situs utama aksi
diuretik adalah natrium / klorida pompa di tubulus konvolusi distal ginjal
(Gambar 5.1). Meskipun tiazid menyebabkan ekskresi natrium / air selama
fase akut dan subakut, jangka panjang efek hemodinamik dimediasi oleh
reduksi SVR. Diuretik thiazide bisa diminum sekali sehari. Pada orang tua,
dosis awal thiazide adalah 12,5 mg setiap hari, dititrasi secara bertahap, dan
jarang diperlukan dalam dosis yang lebih tinggi dari 50 mg setiap hari.19
Kelompok pasien tertentu menunjukkan sensitivitas yang lebih besar
(dan tingkat respons TD) terhadap diuretik thiazide (mis. lansia, kulit hitam,
penderita diabetes). Secara umum, pasien dengan volume ekspansi (aktivitas
renin plasma rendah) menunjukkan respons yang baik terhadap diuretik.
Sebuah lowsodium diet meningkatkan efisiensi diuretik. Diuretik umumnya
aman untuk pengobatan hipertensi jangka panjang, tetapi pasien harus

31
dimonitor untuk efek samping, terutama penurunan volume, hiponatremia,
hipokalemia, hiperurisemia, hiperglikemia, dan kelainan lipid. Kehilangan
magnesium dapat meningkatkan diuretik yang diinduksi hipokalemia. 19

b. Calcium channel blockers


CCB awalnya ditujukan untuk mengobati pasien dengan penyakit arteri
koroner, tetapi kemudian disetujui untuk pengobatan hipertensi. Secara alami
CCB memblokir saluran tegangan tipe-L dan dengan demikian menyebabkan
vasodilatasi. Dihydropyridine (DHP) CCBs (mis. Nifedipine, amlodipine,
nicardipine) adalah lebih kuat sebagai agen antihipertensi daripada CCB non-
DHP, seperti verapamil dan diltiazem. Penerapan DHP CCB lebih luas pada
hipertensi, sedangkan diltiazem dan verapamil lebih disukai digunakan untuk
penyakit arteri koroner dan aritmia jantung. Karena CCB DHP menyebabkan
vasodilatasi yang mendalam, simpatik aktivasi dapat terjadi, tetapi ini tidak
terlihat dengan CCB non-DHP yang kurang kuat. DHP CCB dapat
menyebabkan flushing, sakit kepala, dan edema perifer. CCB Non-DHP dapat
menyebabkan sembelit dan bradikardia. Terapi berbasis amlodipine
menunjukkan manfaat dibandingkan berbasis atenolol erapi dalam Percobaan
ASCOT dan terapi berbasis valsartan di Valsartan Studi Evaluasi Penggunaan
Jangka Panjang (VALUE) Antihipertensi. Verapamil terapi lebih
menguntungkan daripada terapi berbasis atenolol di Internasional Studi
Verapamil SR-Trandolapril (INVEST). 19
CCB dapat dibagi menjadi dua subkelompok farmakologis: DHP dan
verapamil / diltiazem (dan senyawa terkait). Non DHP memiliki dampak
negatif yaitu bersifat inotropik dan kronotropik, sedangkan DHP lebih
vasoselektif dan dapat meningkatkan denyut jantung. Semua CCB
menghambat fluks kalsium ke dalam sel otot polos, yang menyebabkannya
vasodilatasi. Banyak CCB disetujui untuk pasien dengan angina pektoris.
Verapamil dapat menyebabkan konstipasi terkait dosis dan dapat melepaskan
senyawa DHP segera menyebabkan takikardia, dan edema tungkai.19

32
Efek menurunkan tekanan darah dari CCB umumnya sedikit
dipengaruhi oleh diet natrium atau NSAID. CCB dikaitkan dengan risiko
kejadian kardiovaskular yang jauh lebih tinggi daripada kelas obat
antihipertensi lainnya, meta-analisis klinis komparatif terbaru menunjukkan
bahwa CCB sama efektifnya dalam mencegah stroke dan koroner dengan
diuretik. Namun, risiko gagal jantung meningkat secara signifikan (sekitar
44%), terlepas dari jenis CCB yang digunakan. Ini mungkin terkait, sebagian,
dengan kecenderungan (terutama untuk senyawa DHP) menyebabkan retensi
cairan tergantung dosisnya.19

c. Inhibitor dari sistem renin-angiotensin-aldosteron


Pentingnya patofisiologis Angitensin II (AT II) dalam hipertensi dan
dalam menyebabkan TOD berasal dari efek buruknya pada pembuluh darah
dan aliran darah jaringan. Sebagai tambahan pada efek hemodinamiknya, AT
II memberikan sejumlah efek pleotropik, termasuk melibatkan jalur
koagulasi. Karena itu, blokade RAAS dengan ACE inhibitor atau ARB
memiliki implikasi terapeutik yang signifikan. Penghambatan RAAS dengan
ACE inhibitor atau ARB tidak hanya mengurangi tekanan darah pada pasien
dengan hipertensi, juga melindungi terhadap TOD. Berbagai macam inhibitor
ACE dan ARB juga dapat digunanakan untuk pengobatan hipertensi, CHF,
diabetes nefropati (DN), dan pasien 'berisiko tinggi' lainnya. 19
Meskipun ACE inhibitor dan ARB dapat dibedakan berdasarkan efek
farmakologis, farmakokinetik, dan metaboliknya, tambahan ini umumnya
tidak membantu dokter dalam pemilihan obat untuk pengobatan hipertensi.
Sementara itu telah diusulkan bahwa ACE sangat lipofilik inhibitor, seperti
ramipril dan quinapril, menawarkan 'selektivitas jaringan', hal tidak
memberikan keunggulan klinis. Mekanisme aksi ACE yang dominan
inhibitor dan ARB berada pada blokade RAAS, dengan mekanisme tambahan
dalam penghambatan SNS. Sejauh mana kontribusi bradykinin berkontribusi
pada efek hemodinamik inhibitor ACE tidak pasti. ARB menurunkan tekanan
darah ke tingkat yang sama dengan inhibitor ACE, tetapi tanpa efek yang

33
dapat dilihat pada bradikinin potensiasi. Meskipun ACE inhibitor dan ARB
lebih efektif pada pasien dengan aktivitas renin plasma tinggi (PRA),
pedoman pengobatan tidak merekomendasikan pengukuran PRA sebagai
panduan pemilihan obat. Karena mayoritas pasien dengan hipertensi
memerlukan kombinasi obat antihipertensi dengan berbeda mekanisme aksi,
tingkat PRA tidak penting untuk memilih ACE inhibitor atau ARB. Inhibitor
ACE harus dikombinasikan dengan kelas lain dari obat antihipertensi untuk
kemanjuran optimal. Kombinasi dari inhibitor ACE ditambah diuretik atau
CCB sangat manjur dalam mengobati hipertensi. Pasien yang menggunakan
ACE inhibitor harus dipantau untuk efek samping (mis. Batuk, angioedema,
azotemia, hiperkalemia). ARB memiliki kemanjuran yang sama dengan ACE
inhibitor untuk mengobati hipertens menghalangi aksi AT pada reseptor AT.
ARB mungkin berbeda secara farmakologis (mis. konversi pro-obat,
metabolisme, waktu paruh, ketersediaan hayati), tetapi bersifat klinis
kemanjuran dan tolerabilitas mirip dengan ACE. Dengan menghambat
tindakan para RAAS pada reseptor, ARB dapat menyebabkan peningkatan
PRA yang reaktif, tetapi hal ini terjadi tidak ada efek negatif karena aksi AT
dihambat di situs pembuluh darah. ARB diindikasikan (seperti ACE
inhibitor) untuk hipertensi, DN, CHF, dan 'risiko tinggi' pasien. Efek samping
biokimia / ginjal yang merugikan dari ARB mirip dengan orang-orang dari
ACE inhibitor, tetapi edema batuk dan angioneurotic tidak mungkin terjadi
dengan ARB. Semua blocker RAAS dikontraindikasikan pada kehamilan.
ARB adalah yang paling banyak efektif bila digunakan bersama dengan
diuretik dan obat antihipertensi lainnya seperti CCB. 19

d. Angiotensin-converting enzyme inhibitor


ACE inhibitor menghambat konversi AT I ke AT II, menghasilkan
vasodilatasi dan mengurangi tekanan darah. Karena hidrolisis bradikinin juga
dihambat oleh obat-obatan ini, batuk (7-12% pasien) dan angioedema (0,7%)
dapat terjadi. Seperti halnya obat apa pun yang menghambat RAAS, ACE
inhibitor dapat menyebabkan AKI pada pasien dengan ginjal stenosis arteri.

34
ACE inhibitor juga teratogenik dan menyebabkan cacat lahir kontraindikasi
pada kehamilan. ACE inhibitor biasanya efektif dalam menurunkan tekanan
darah, tetapi kemanjurannya berkurang oleh makanan atau sumber natrium
lainnya, dan fungsi ginjal dapat terganggu jika dikonsumsi bersama dengan
NSAID. Dalam uji klinis, ACE inhibitor adalah obat yang efektif dalam
mencegah penyakit jantung koroner. ACE inhibitor juga manjur untuk pasien
dengan gagal jantung atau CKD (terutama penderita diabetes tipe 1 dan CKD
non-diabetes). 19

Pilihan terapi Rekomendasi JNC 8


 Bukan orang berkulit hitam, termasuk mereka yang menderita diabetes:
thiazide, CCB, ACEI, atau ARB
 American-Amerika, Afrika-Amerika, termasuk mereka yang menderita
diabetes: tiazid atau CCB
 CKD: rejimen harus mencakup ACEI atau ARB (termasuk Afrika-Amerika)
 Dapat memulai dengan dua agen, terutama jika sistolik meningkat diatas 20
mmHg di atas target atau diastolic> 10 mmHg di atas target.
 Jika tujuan tidak tercapai:
o Kepatuhan terhadap pengobatan dan gaya hidup
o tingkatkan dosis atau tambahkan agen kedua atau ketiga dari salah satu
kelas yang direkomendasikan.
o Pilih obat di luar kelas yang direkomendasikan hanya di atas jika opsi ini
telah habis. Pertimbangkan rujukan spesialis.

35
Tabel 4. Antihipertensi dan dosis hariannya

36
2.2 ISPA
2.2.1 ANATOMI
Sistem respirasi secara garis besar terdiri dari bagian konduksi yang
terdiri dari cavum nasi, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan
bronkiolus terminal; dan bagian respirasi (tempat terjadi pertukaran gas) yang
terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli. Menurut
klasifikasi berdasarkan saluran napas atas dan bawah, saluran napas atas
terbatas hingga faring sedangkan saluran napas bawah dimulai dari laring,
trakea, bronkus dan berakhir di paru.25

Gambar 1. Anatomi sistem pernapasan25


a. Epitel Saluran Napas Atas
Saluran napas atas terdiri dari lubang hidung yang melanjut ke cavum
nasi, faring, epiglottis dan laring bagian atas.26Sebagian besar bagian konduksi
dilapisi dengan epitel kolumner berlapis semu. bersilia yang dikenal sebagai

37
epitel pernapasan. Epitel ini setidaknya terdiri dari lima jenis sel yang melekat
pada membrana basalis27:
 Sel kolumner bersilia adalah jenis sel yang paling banyak, masing-masing
sel memiliki sekitar 300 silia pada permukaan apikal.
 Sel goblet juga berlimpah di beberapa daerah epitel pernapasan, pada
bagian apikalnya teriisi dengan butiran musin glikoprotein

Gambar 2. Epitel kolumner berlapis semu pembesaran 400x27

 Sel sikat adalah tipe sel kolumnar yang jauh lebih jarang dan sulit
ditemukan, memiliki permukaan apikal kecil dengan bantalan yang
memliki banyak mikrovili. Sel sikat memiliki beberapa komponen untuk
transduksi sinyal seperti pada sel gustatorik (sel pengecap) dan memiliki
ujung saraf aferen pada permukaan basal yang berfungsi sebagai reseptor
kemosensorik.
 Sel granula juga sulit untuk dibedakan, sel ini berukuran kecil dan
memiliki banyak granula inti berdiameter 100-300 nm. Seperti sel sikat,
sel granula mewakili sekitar 3% dari total sel dan merupakan bagian dari
sistem neuroendokrin difus.
 Sel basal merupakan sel-sel bulat berukuran kecil di membran basal dan
tidak mencapai permukaan luminal. Sel basal adalah sel punca yang dapat
berkembang menjadi jenis sel lainnya.

38
b. Hidung dan Cavum Nasi
Hidung merupakan bagian dari wajah yang terdiri dari kartilago, tulang,
otot, dan kulit yang melindungi bagian depan dari cavum nasi. Cavum nasi
merupakan bangunan menyerupai silinder dengan rongga kosong yang dibatasi
tulang dan dilapisi mukosa hidung. Fungsi dari cavum nasi adalah untuk
menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang memasuki hidung
sebelum mencapai paru. Rongga hidung kiri dan kanan masing-masing memiliki
dua komponen yaitu rongga depan eksterna (vestibulum) dan rongga hidung
interna (fossa). Vestibulum adalah bagian yang terletak paling depan dan
merupakan bagian yang melebar dari setiap rongga hidung. Kulit hidung pada
bagian nares (lubang hidung) melanjut sampai vestibulum yang memiliki
apparatus kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan rambut pendek kasar yang
menyaring bahan partikulat dari udara inspirasi. Pada vestibulum epitel sudah
tidak berkeratin dan mengalami transisi ke epitel pernapasan sebelum memasuki
fossa hidung.25
Rongga hidung terletak di dalam tulang tengkorak sebagai dua ruang
kavernosa yang dipisahkan oleh tulang septum hidung. Dari masing-masing
dinding lateral cavum nasi terdapat proyeksi tulang yang memanjang dari depan
ke belakang berbentuk seperti rak yang disebut konka nasi. Konka nasi tengah dan
bawah ditutupi dengan epitel pernapasan sedangkan konka nasi atas ditutupi
dengan epitel olfaktori. Rongga saluran udara yang sempit antara konka
meningkatkan pengkondisian udara inspirasi dengan meningkatkan luas
permukaan epitel pernapasan untuk menghangatkan dan melembabkan udara serta
meningkatkan turbulensi aliran udara. Hasilnya adalah peningkatan kontak antara
aliran udara dan lapisan mukosa. Dalam lamina propria dari konka terdapat
pleksus (anyaman) vena besar yang dikenal sebagai swell bodies. Setiap 20-30
menit swell bodies di satu sisi dipenuhi dengan darah dalam waktu yang singkat,
mengakibatkan distensi dari mukosa konka dan secara bersamaan terjadi
penurunan aliran udara. Selama proses ini berlangsung sebagian besar udara
dialirkan melalui fossa hidung lain sehingga memudahkan mukosa pernapasan
yang membesar untuk rehidrasi.25, 27

39
c. Sel Olfaktori
Kemoreseptor penciuman terletak di epitel olfaktori. Daerah olfaktori
ditutupi selaput lendir tipis dan terletak di bagian atap rongga hidung dekat konka
bagian atas. Epitel olfaktori merupakan epitel kolumner berlapis semu yang terdiri
dari tiga jenis sel :27
 Sel basal berukuran kecil, berbentuk bulat atau kerucut dan membentuk
sebuah lapisan di lamina basalis. Sel basal adalah sel punca untuk sel
penunjang olfaktori dan neuron olfaktori.
 Sel penunjang olfaktori merupakan sel columner, apeks silindris dan bagian
dasar yang menyempit. Di permukaannya terdapat mikrovili yang terendam
dalam cairan mukus. Peran sel-sel ini belum dapat dipahami dengan baik,
tetapi sel penunjang memiliki banyak kanal ion yang berfungsi untuk
mempertahankan lingkungan mikro yang kondusif untuk fungsi penciuman
dan kelangsungan hidup sel olfaktori.
 Neuron penciuman yang merupakan neuron bipolar terdapat seluruh epitel
olfaktori. Dibedakan terhadap sel penunjang dari posisi inti yaitu terletak di
antara sel penunjang dan sel-sel basal. Akhiran dendrit dari setiap neuron
penciuman membentuk anyaman saraf dengan basal bodies. Dari basal bodies
muncul silia non-motil panjang dengan aksonema defektif namun memiliki
luas permukaan yang cukup sebagai membran kemoreseptor. Reseptor ini
merespon zat bau-bauan dengan menghasilkan aksi potensial di sepanjang
(basal) akson neuron kemudian meninggalkan epitel dan bersatu dalam
lamina propria sebagai saraf yang sangat kecil yang kemudian melewati
foramina cribiformis dari tulang ethmoid dan melanjut otak. Di otak akson
reseptor olfaktori membentuk saraf kranial I, saraf penciuman, dan akhirnya
membentuk sinaps dengan neuron lain di bulbus olfaktori.

d. Sinus Paranasal dan Nasofaring


Sinus paranasal adalah rongga bilateral di tulang frontal, maksila,
ethmoid, dan sphenoid pada tengkorak. Dilapisi dengan epitel respiratori tipis
dengan jumlah sel yang sedikit. Lamina propria terdiri dari beberapa kelenjar

40
kecil dan kontinu dengan periosteum. Sinus paranasal berhubungan dengan
rongga hidung melalui lubang kecil dan lendir yang diproduksi dalam sinus
mengalir ke rongga hidung oleh karena adanya aktivitas sel-sel epitel
bersilia.27
Terletak di belakang rongga hidung, nasofaring adalah bagian pertama
dari faring, ke arah kaudal (bawah) menerus menjadi orofaring yang
merupakan bagian belakang rongga mulut. Nasofaring dilapisi dengan epitel
respiratori dan terdapat bangunan tonsil faring medial dan lubang bilateral
dari tuba eustachii menuju telinga tengah.27

e. Faring
Setelah melalui cavum nasi, udara yang diinhalasi akan memasuki
faring. Faring disebut juga sebagai tenggorokan yaitu suatu silinder berongga
dengan dinding yang terdiri dari otot. Faring merupakan bagian yang
menghubungkan bagian ujung belakang cavum nasi dengan bagian atas
esofagus dan laring. Faring dibagi menjadi tiga bagian yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring. Nasofaring merupakan bagian teratas dari faring
dan berada di belakang dari cavum nasi. Udara dari cavum nasi akan
melewati nasofaring dan turun melalui orofaring yang terletak di belakang
cavum oris dimana udara yang diinhalasi melalui mulut akan memasuki
orofaring. Berikutnya udara akan memasuki laringofaring dimana terdapat
epiglottis yang berfungsi mengatur aliran udara dari faring ke laring.26,28

2.2.2 DEFINISI
Infeksi saluran pernapasan atas dapat didefinisikan sebagai self-limited
iritasi dan pembengkakan saluran napas bagian atas yang biasanya ditandai
dengan batuk tanpa adanya gejala lain yang menunjukkan suatu gejala
pneumonia, atau penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala yang di alami
pasien, serta tanpa adanya riwayat COPD, emphysema ataupun bronkitis kronis.29
ISPA meliputi tiga aspek penting yaitu infeksi, saluran pernafasan dan
akut. Infeksi adalah masunya kuman kedalam tubuh manusia dan berkembang

41
biak sehingga menimbulkan sebuah penyakit.saluran pernafasan adalah organ
mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ andeksanya seperi sinussinus,
rongga telinga tengah dan plura. Infeksi akut adalah infeksi akut yang meibatkan
organ saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bagian bawah yang
disebakan oeh bakteri, virus dan jamur dan berlangsung sampai 14 hari.30

2.2.3 ETIOLOGI
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan faktor yang mempengaruhi
timbulnya Infeksi saluran pernafasan akut adalah kondisi lingkungan seperti,
polutan udara, kepadatan anggota keluarga, kelembaban rumah,kebersihan rumah,
musim, cuaca serta faktor lain, seperti usia, kebiasaan merokok, penularkan
infeksi,status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang
disebabkan oleh patogen lain, kondisi kesehatan umum, dankarakteristik patogen,
seperti cara penularan, daya tular, faktor virulensi misalnya, gen penyandia toksin,
dan jumlah atau dosis mikroba.31 Hubungan pajanan asap rokok dengan kejadian
ISPA balita yang berada di dalam lingkungan dengan asap rokok juga sangat
memungkinkan pneumonia lebih tinggi 32.
ISPA juga dapat disebabkan oleh karena adanya paparan dari virus
maupun bakteri misalnya bakteri dari genus streptococcus, haemophylus,
staphylococcus, dan pneumococcu, dan jenis virus influenza, parainfluena, dan
rhinovirus. Selain dari virus, jamur dan bakteri. Bakteri yang terdapat pada asap
rokok adalah streptocucus. saat bakteri dihirup maka dapat menyebabka ISPA.33

2.2.4 ETIOLOGI
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) atau AcuteRespiratory
Infectious Disease merupakan penyakit saluran pernapasan yang sering dijumpai
pada masyarakat, khususnya bayi dibawah usia lima tahun (balita). Penyakit-
penyakit pernapasan pada balita menjadi penyebab angka morbiditas dan
mortalitas khususnya di negara miskin dan berkembang. ISPA merupakan salah
satu penyebab kematian utama didunia dan penyebab turunnya kualitas hidup
(disability adjusted life years atau DALY) khususnya terhadap balita 34. Pada

42
tahun 2008 insiden ISPA pada balita sebesar 0,29 episode per anak per tahun di
negara berkembang dan 0,05 episode per anak per tahun di negara maju35. Pada
tahun 2010 insiden ISPA pada balita sebesar 0,22 episode per anak per tahun di
negara berkembang dan negara miskin34. Kasus ISPA tahun 2008 terbanyak
terjadi di India (43 juta), Cina (21 juta), Pakistan (10 juta) dan Indonesia (6
juta)35. Penyakit ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di
puskesmas (40-60%) dan rumah sakit (15- 30%). Episode batuk pilek pada balita
di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun36.

2.2.5 PATOGENESIS
Apabila penyebab ISPA Virus atau bakteri merupakan penyebab infeksi
saluran pernafasana akut, yaitu bakteri seperti streptococus, stapilococus,
haemophylus influenzae, clamydia trachomatis, mycoplasma, dan pneumokokus.
Bakteri terebut menginfeksi atau menginflamasi mukosa hidung, trakea dan
bronkus. Infeksi virus primer (pertama kali) akan menyebabkan mukosa
membengkak dan menghasilkan banyak lendir atau mukus. Pembengkakan pada
mukasa dan produksi lendir yang meningkat akan menghambat aliran udara
melalui pipa-pipa pernafasan. Bakteri dapat berkembang dengan mudah dalam
mukosa yang yang sedang terserang virus. Infeksi bakteri sekunder akan
memnyebabkan nanah dan memperburuk penyakit.33

2.2.6 KLASIFIKASI
a) Commond cold/salesma
Saat pergantian musim pancaroba anak-anak dapat terkena penyakit
commond cold, penyakit ini disebakan oleh 200 jenis virus dan menular
melalui percikan air liur di udara, terutama ketika penderita batuk atau
bersin. Anak-anak lebih mudah terkena karena sistem imun yang belu
sempurna. Terutama mereka yang sering terkena paparan asap rokok atau
yang memiliki tonsil (pembesaran Amandel). Tanda gejala commond cold
adalah batuk ringan, hidung tersumbat, mata berair, nyeri tenggorokan,
demam yang tidak terlalu tinggi, bisa disertai muntah dan sakit kepala.37

43
b) Influenza
Influenza adalah penyakit yang disebkan oleh virus golongan
orthomyxoviridae, sedangkan flu biasa disebut juga dengan Commond Cold
disebabkan oleh virus golongan rhinovirus atau adenovirus. Virus influenza
yang sering menyerang manusia adalah tipe A dan B. Influenza memiliki
gejala yang berlainan dengan flu biasa.37
c) Rhinosinusitis atau Sinusitis
Sinusitis ialah infeksi yang terjadi pada rongga sinus. Sinusitis dapat terjadi
pada anak karena terdapat infeksi saluran pernafasan atas yang biasanya
disebabkan oleh virus yang menyebar di rongga sinus dan terkena infeksi
sekunder oleh bakteri. Resiko sinusitis meningkat apabila penderita
memiliki salesma, dan sering terpapar asap rokok.37
d) Tonsilitis
Tonsil atau yang sering disebut dengan amandel adalah sepasang kelenjar
kelenjar kecil yang berada dalam mulut dan letaknya diatas lidah. Tonsil
merupakan bagian dari sistem imun yang berfungsi melindungi tubuh
terutama paru-paru dan saluran pencernaan pada kuman yang berbahaya.
Tonsilitis merupakan radang dari tonsil yang bengkak dan berwarna
kemerahan, infeksi yang paling sering terjadi disebkan oleh virus golongan
adenovirus sedangkan infeksi oleh bakteri golongan streptokukus.37

2.2.7 MANIFESTASI KLINIS


a) commond cold/salesma
Tanda gejala sinusitis adalah sering mengeluarkan lendir/mukus, batuk lebih
dari 2 minggu dan memburuk saat malam hari, sakit kepala terutama didaerah
sinus yang terinfeksi, demam, nyeri tenggorokan dan nafas bau.37
b) Influenza
Gejalanya bisanya lebih berat dan influenza dapat menimbulkan apidemi.
Tanda gejala dari influenza seperti demam,sakit kepala, batuk kering dan
nyeri tenggorokan, nyeri otot dan badan terasa lemas.37

44
c) Rhinosinusitis atau Sinusitis
Sering mengeluarkan lendir/mukus, batuk lebih dari 2 minggu dan memburuk
saat malam hari, sakit kepala terutama didaerah sinus yang terinfeksi,
demam, nyeri tenggorokan dan nafas bau.37
d) Tonsilitis
Sakit tenggorokan dan nyeri menelan, demam yang tidak terlalu tinggi,
pembesaran kelenjar leher dan sekitar dagu, suara serak, bisa disertai
kehilangan nafsu makan, lemas, dan susah tidur.37

2.2.8 PENEGAKAN DIAGNOSIS


Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung. Sedangkan diagnosis
ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah,
biakan cairan pleura38.
Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena
dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi
belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri
sebagai penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru
serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu
menegakkan diagnosis etiologi pnemonia39.
Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan menentukan
jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita, namun disisi lain dianggap prosedur
yang berbahaya dan bertentangan dengan etika (terutama jika semata untuk tujuan
penelitian). Dengan pertimbangan tersebut, diagnosa bakteri penyebab pnemonia
bagi balita di Indonesia mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui
publikasi WHO), bahwa Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus influenzae
merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara
berkembang. Di negara maju pnemonia pada balita disebabkan oleh virus40.
Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur.

45
Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan
dengan menggunkan sound timer. Batas nafas cepat adalah40 :
a. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali
permenit atau lebih.
b. Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per
menit atau lebih.
c. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali per
menit atau lebih.
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai
dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit
atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke
dalam. Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau
kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat
minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek
biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non-pnemonia
lainnya40.

2.2.9 TERAPI
Tujuan pengobatan untuk ISPA biasanya adalah untuk meredakan gejala.
Dekongestan dan kombinasi obat antihistamin dapat membatasi batuk, hidung
tersumbat, dan gejala lainnya pada orang dewasa. Namun, pemberian obat-obatan
batuk sebaiknya dihindari pada anak-anak. Antagonis reseptor H1 dapat
meredakan gejala dari rhinorrhea dan bersin selama 2 hari pertama pada orang
dewasa. Antihistamin generasi pertama bersifat sedatif, jadi penting untuk
memberi tahu pasien tentang untuk berhati-hati dalam penggunaannya
Dekongestan hidung topikal dan oral (yaitu, oxymetazoline topikal, pseudoefedrin
oral) memiliki efek yang baik pada orang dewasa dan remaja dalam mengurangi
sumbatan saluran napas hidung. Tidak terdapat data yang mendukung penggunaan
antibiotik dalam pengobatan pilek biasa karena antibiotik tidak berfungsi untuk
mengatasi gejala atau mempersingkat perjalanan penyakit. Ada juga kurangnya

46
bukti meyakinkan yang mendukung penggunaan dekstrometorfan untuk batuk
akut. 29
Menurut Cochrane, vitamin C dapat digunakan sebagai obat profilaksis harian
dengan dosis = 0,2 gram atau lebih memiliki "efek sederhana tetapi konsisten"
pada mempersingkat durasi dan mengurangi keparahan gejala flu biasa (8% dan
13% penurunan durasi untuk masing-masing orang dewasa dan anak-anak).
Namun, ketika dikonsumsi secara terapeutik setelah timbulnya gejala, vitamin C
dosis tinggi belum menunjukkan manfaat yang jelas dalam uji coba. 29
Pengobatan antivirus dini untuk infeksi influenza memperpendek durasi
gejala influenza, mengurangi lamanya tinggal di rumah sakit, dan mengurangi
risiko komplikasi. Rekomendasi untuk pengobatan influenza sering diperbarui
oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit berdasarkan data epidemiologi
dan pola resistensi antivirus. Berikan terapi antivirus untuk influenza dalam waktu
48 jam setelah onset gejala (atau lebih awal), dan jangan menunda pengobatan
untuk konfirmasi laboratorium jika tes cepat tidak tersedia. Perawatan antivirus
dapat memberikan manfaat bahkan setelah 48 jam pada pasien hamil dan pasien
berisiko tinggi lainnya.29
Vaksinasi adalah metode paling efektif untuk mencegah penyakit influenza.
Kemoprofilaksis antivirus juga membantu dalam mencegah influenza (70%
hingga 90% efektif) dan harus dipertimbangkan sebagai tambahan untuk vaksinasi
dalam skenario tertentu atau ketika vaksinasi tidak tersedia atau tidak mungkin.
Umumnya, chemoprophylaxis antivirus digunakan selama periode aktivitas
influenza untuk:29
o orang berisiko tinggi yang tidak dapat menerima vaksinasi (karena
kontraindikasi) atau di mana vaksinasi baru-baru ini tidak, atau tidak
diharapkan, memberikan respon imun yang cukup;
o mengendalikan wabah di antara orang-orang berisiko tinggi dalam
pengaturan kelembagaan; dan
o orang berisiko tinggi dengan pajanan influenza.

47
2.3 DIABETES MELLITUS
Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kumpulan penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya.41
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus
sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat
dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin. 44

Klasifikasi

Tabel 5. Klasifikasi Diabetes Melitus, Konsensus Diabetes Melitus, PERKENI


201541
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association
(ADA), 2005, yaitu2 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1

48
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering
kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar
penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi
pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar
insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam
darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM
type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM
setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

Epidemiologi

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global


diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi
366 juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di
dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika
Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan
diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan
berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia

49
menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur.43

Patogenesis

Diabetes mellitus tipe 1

Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel
pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun,
meskipun rinciannya masih samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya
adalah: pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua,
keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme
pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis,
sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T
teraktivasi. Tahap keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel
asing. Tahap kelima adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau
sekarang dianggap sebagai sel asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja
sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta
dan penampakan diabetes.46

Diabetes Melitus Tipe 2

Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin


abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target).
Abnormalitas yang utama tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat
dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal
walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase
kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi
insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah
makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin
menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.46

50
Gambar 3. Patogenesis Diabetes melitus tipe 246

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2
ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik
yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1
agonis dan DPP-4 inhibitor.41
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat
dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat
yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.41
3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin
yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan
sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di
jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.41
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari
insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam
lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA

51
akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity.
Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.41
5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like
polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide
atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM
tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.
Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim
DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang
bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus
dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.41
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang
berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α
berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya
di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu
yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor
dan amylin.41
7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter) pada

52
bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di
absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat
kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di
tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah
salah satu contoh obatnya.41
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.41

Manifestasi Klinik
Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan
mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan,
Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan,
rasa baal dan gatal di kulit 42.

Diagnosis
DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Pemeriksaan glukosa darah
yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.41
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik, seperti:
2 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

53
3 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.41

Kriteria diagnostik :
 Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memerhatikan waktu makan terakhir, atau
Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat
kalori tambahan sedikit nya 8 jam, atau
Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan
standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram
glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air.49
 Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal
2x.44
Dengan cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO ’94
 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti
biasa.
 Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
 Diperiksa kadar glukosa darah puasa
 Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) ,
dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam 5 menit.
 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
 Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa
 Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat
 Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalamkelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau
GDPT (glukosa darah puasa terganggu) dari hasil yang diperoleh

54
 TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199 mg/dl
 GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl

Penatalaksanaan
Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan
kualitas hidup dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol
sehingga sama dengan orang normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus
dimulai dari :
1. Edukasi
Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat.
2. Terapi gizi medis
Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik
yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada
prinsipnya melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status
gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual.46
Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :
1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal
a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl
c) Kadar HbA1c < 7%
2. Tekanan darah <130/80
3. Profil lipid :
a) Kolesterol LDL <100 mg/dl
b) Kolesterol HDL >40 mg/dl
c) Trigliserida <150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan
pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,,
status kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia. Selain itu ada beberapa

55
faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan
pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan infeksi berat dimana
terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian
nutrisi khusus. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah
status ekonomi, lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang
bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada.46

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :


Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah Karbohidrat 60-70%,
Lemak 20-25% dan Protein 10-15%.46

KARBOHIDRAT (1 gram=40 kkal)


 Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat lebih
ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan jenis karbohidrat itu sendiri.
 Total kebutuhan kalori perhari, 60-70 % diantaranya berasal dari sumber
karbohidrat
 Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi maka jumlah karbohidrat
maksimal 70% dari total kebutuhan perhari
 Jumlah serat 25-50 gram/hari.
 Penggunaan alkohol dibatasi dan tidak boleh lebih dari 10 ml/hari.
 Pemanis yang tidak meningkatkan jumlah kalori sebagai penggantinya adalah
pemanis buatan seperti sakarin, aspartam, acesulfam dan sukralosa.
Penggunaannya pun dibatasi karena dapat meningkatkan resiko kejadian
kanker.
 Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hari
 Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

PROTEIN
 Kebuthan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
 Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi konsentrasi glukosa darah .

56
 Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, pemberian protein
sekitar 0,8-1,0 mg/kg BB/hari .
 Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampa 0,85
gr/kg BB/hari dan tidak kurang dari 40 gr.
 Jika terdapat komplikasi kardiovaskular maka sumber protein nabati lebih
dianjurkan dibandingkan protein hewani.

LEMAK
 Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal
10% dari total kebutuhan kalori perhari.
 Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan
sampai maksimal 7% dari total kalori perhari.
 Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL ≥100
mg/dl, maka maksimal kolesterol yag dapat dikonsumsi 200 mg perhari.

B. Kebutuhan Kalori
Menetukan kebutuhan kalori basa yang besarnya 25-30 kalori/ kg BB ideal
ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu jenis kelamin,
umur, aktivitas, berat badan dan lain-lain.46

PENENTUAN KEBUTUHAN KALORI6


Kebutuhan basal :
Laki-laki = berat badan ideal (kg) x 30 kalori
Wanita = berat badan ideal (kg) x 25 kalori
Koreksi :
umur
• 40-59 th : -5%
• 60-69 : -10%
• >70% : -20
aktivitas
• Istirahat : +10%

57
• Aktivitas ringan : +20%
• Aktivitas sedang : +30%
• Aktivitas berat : +50%
berat badan
• Kegemukan : - 20-30%
• Kurus : +20-30%
stress metabolik : + 10-30%
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi 20%, makan siang
30% dan makan malam 25%, serta 2-3 porsi ringan 10-15% diantara porsi besar.
Berdasarkan IMT dihitung berdasarkan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi
badan kuadrat (m2).
Kualifikasi status gizi :
BB kurang : < 18,5
BB normal : 18,5 – 22,9
BB lebih : 23 – 24,9

3. Latihan Jasmani
Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena
mengurangi resiko kejadian kardiovaskular dimana pada diabetes telah
terjadi mikroangiopati dan peningkatan lipid darah akibat pemecahan
berlebihan yang membuat vaskular menjadi lebih rentan akan penimbunan
LDL teroksidasi subendotel yang memperburuk kualitas hidup penderita.
Dengan latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa meningkat dan ini
akan menurunkan kadar gula darah.
Aktivitas latihan :
 5-10 menit pertama : glikogen akan dipecah menjadi glukosa
 10-40 menit berikutnya : kebutuhan otot akan glukosa akan
meningkat 7-20x. Lemak
juga akan mulai dipakai untuk pembakaran sekitar 40%
 >40 menit : makin banyak lemak dipecah ±75-90% .

58
Dengan makin banyaknya lemak dipecah, makin banyakk pula benda
keton yang terkumpul dan ini menjadi perhatian karena dapat mengarah ke
keadaan asidosis. Latihan berat hanya ditujukan pada penderita DM ringan
atau terkontrol saja, sedangkan DM yang agak berat, GDS mencapai > 350
mg/dl sebaiknya olahraga yang ringan dahulu. Semua latihan yang
memenuhi program CRIPE : Continous, Rhythmical, Interval,
Progressive, Endurance. Continous maksudnya berkesinambungan dan
dilakukan terus-menerus tanpa berhenti. Rhytmical artinya latihan yang
berirama, yaitu otot berkontraksi dan relaksi secara teratur. Interval,
dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Progresive
dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringa sampai
sedang hingga 30-60 menit. Endurance, latihan daya tahan untuk
meningkatkan kemampuan kardiopulmoner seperti jalan santai, jogging
dll.
4. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai degan pengaturan makanan dan latihan jasmani.

1. Obat Hipoglikemik Oral41,46


a. Insulin Secretagogue :
Sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Merupakan
obat pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurangm namun
masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Contohnya
glibenklamid.
Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya hipoglikemia.
Contohnya : repaglinid, nateglinid.41,46
b. insulin sensitizers
Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin
endogen pada target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan

59
glukosa di perifer meningkat. Agonis PPARγ yang ada di otot skelet, hepar dan
jaringan lemak.41,46
c. Glukoneogenesis inhibitor
Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga
memperbaiki uptake glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes
gemuk. Kontraindikasi pada pasien dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien
dengan kecendrungan hipoksemia.41,46
d. Inhibitor absorbsi glukosa
α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi glukosa di
usus halus sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Obat ini tidak menimbulkan efek hipoglikemi.41,46
Hal-hal yang harus diperhatikan :
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai respon
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal.sulfonilurea generasi
I dan II 15-30 menit sebelum makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan.
Repaglinid, Nateglinid sesaat/sebelum makan. Metformin sesaat/pada
saat/sebelum makan. Penghambat glukosidase α bersama makan suapan pertama.
Thiazolidindion tidak bergantung jadwal makan.41,46

2. Insulin
 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi insulin
prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang
fisiologis.
 Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa, insulin
prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya
hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi nsulin prandial akan
menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi.

60
 Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid
insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau
insuli campuran tetap (premixed insulin)
Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia yang berta disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia
hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan
kombinasi OHO dengan dosis yang hampir maksimal, stress berat (infeksi
sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/DM Gestasional
yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi hepar atau
ginjal yang berat, kontraindikasi atau alergi OHO.41,46

3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk
kemudian diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (kerja menengah atau kerja lama) yang divberikan pada
malam hari atau menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan
sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai
kadar gula darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula
darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan
insulin.41,46

PENCEGAHAN
• Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi
untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi
penyuluhan meliputi program penurunan berat badan, diet sehat, latihan
jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan

61
kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi
penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya
pencegahan primer46.
• Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini
dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan
deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan
ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan
pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian
antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular
pada penyandang Diabetes.46
• Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang
telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan
lebih menlanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan
kepada pasien dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang
dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan
menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk
mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli
di berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular,
radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk
menunjang keberhasilan pencegahan tersier.46

Komplikasi
a. Penyulit akut
1. Ketoasidosis diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan penningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin,
kortisol dan hormon pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan

62
produksi glukosa hati meningkat dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh
menurun dengan hasil akhir hiperglikemia. Berkurangnya insulin
mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-A bebas
akan meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam
kreb cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang
kemudian di oksidasi untuk menjadi sumber energi akibat sinyaling sel
yang kekurangan glukosa akan mengakibatkan end produk berupa benda
keton yang bersifat asam. Disamping itu glukoneogenesis dari protein
dengan asam amino yang mempunyai ketogenic effect menambah beratnya
KAD. Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH <7,35, HCO3
rendah, anion gap tinggi dan keton serum (+). Biasanya didahului gejala
berupa anorexia, nausea, muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda
khas adalah pernapasan kussmaul dan berbau aseton.41,50
2. Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari
600 mg% tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350
mosm. Keadaan ini jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes
tipe non insulin dependen karena pada keadaan ini pasien akan jatuh
kedalam kondisi KAD, sedang pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darah
nya masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah
keadaan hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia.41,50
3. Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala
klinis atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium
parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak
ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan kognitif sementara. Stadium
simpatik, gejala adrenergik yaitukeringat dingin pada muka, bibir dan
gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak berat, gejala
neuroglikopenik : pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa
kejang.41,50

63
b. Penyulit menahun
1. Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis
• Retinopati Diabetik
retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan
inkompetens vasa. Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol
seperti titik-titik mikroaneurisma dan vena retina mengalami dilatasi dan
berkelok-kelok. Bahayanya dapat terjadi perdarahan disetiap lapisan
retina. Rusaknya sawar retina darah bagian dalam pada endotel retina
menyebabkan kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan
sekitarnya menyebabkan edema yang membuat gangguan pandang. Pada
retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang
merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-
protein serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini
berproliferasi ke bagian dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi
saat berkontraksi maka bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat
penurunan penglihatan mendadak. Dianjurkan penyandang diabetes
memeriksakan matanya 3 tahun sekali sebelum timbulnya gejala dan setiap
tahun bila sudah mulai ada kerusakan mikro untuk mencegah kebutaan.
Faktor utama adalah gula darah yang terkontrol memperlambat
progresivitas kerusakan retina.41,50
• Nefropati Diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200
ig/menit pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut
menjadi proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada
tingkat glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced
glication product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan
kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai
vasadilator, terjadi peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi
terus menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan berubah

64
menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang
menjadi chronic kidney disease.50
• Neuropati diabetik
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan
amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diangnosis DM
ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi
adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana,
dengan monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun.41

2. Makroangiopati
• Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak
Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan
terutama untuk merekayangmempunyai resiko tinggi seperti riwayata
keluarga PJK atau DM. 41,50

• Pembuluh darah tepi


Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya
terjadi dengangejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa
gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama
muncul.50

65
BAB III
ANALISA DATA PRIMER
I. Assessment Keluarga
a. Keluarga Bapak ZN
Keluarga pertama merupakan keluarga Bapak ZN yang
terdiri dari 4 anggota keluarga. Yaitu istrinya Ibu SY dan 2 orang
anaknya yaitu J dan A. Bapak ZN berusia 55 tahun merupakan
seorang pedagang. Ibu SY berusia 50 tahun juga merupakan
seorang pedagang. Mereka berdagang martabak kaki lima yang
merupakan satu-satunya sumber penghasilan mereka. J merupakan
anak kedua yang berusia 25 tahun bekerja sebagai satpam. A
merupakan anak ketiga berusia 20 tahun belum bekerja dan
tamatan SMA. Anak pertama bapak ZN sudah menikah dan tinggal
bersama suaminya dirumah yang terpisah
Kondisi ekonomi keluarga ini menengah ke bawah. Tn. ZN
sebagai kepala keluarga dan Ny. SY bekerja sebagai pedangang
martabak dengan penghasilan Rp. 1.000.000,00 per bulan. Anak
keduanya, jauhari bekerja sebagai satpam dengan gaji Rp.
2.000.000 per bulan. Keluarga Bapak ZN mengaku penghasilan
yang diterima cukup seimbang dengan pengeluarannya.
Keluarga Bapak ZN mengaku jarang berobat ke fasilitas
kesehatan, karena dirasakan keluahan kesehatan yang dirasakan
tidak terlalu berat dan hanya berupa batuk dan pilek saja. Bapak
ZN pernah didiagnosa dengan hipertensi, namun ia jarang kontrol
karena dirasa tidak keluhan berarti. Jarak Puskesmas tempat
mereka biasa mengambil obat dinilai cukup dekat dan akses ke
pelayanan kesehatanya mudah
Bapak ZN memiliki kebiasaan merokok dan minum kopi
setiap harinya. Ia mengaku sehari hanya menghabiskan 2-5 batang
rokok dan 1 gelas kopi. Keluarga ini memiliki kebiasaan makan

66
teratur. Ibu SY juga memasak untuk makanan sehari-hari bersama
keluarganya yang terdiri dari nasi, sayur dan lauk.
Rumah keluarga ini terletak di dalam lorong yang
berdekatan dengan selokan yang tercemar. Rumah ini berukuran 6
x 7 m dengan 2 kamar berukuran 4 x 3 m. Rumah hanya memiliki
1 pintu depan dengan jendela sedangkan untuk kamar dan dapur
hanya memiliki ventilasi kecil. Disekitar rumahnya tidak terdapat
tanaman.
Rumah juga memiliki pekarangan kecil di depan rumah.
Pencahayaan rumah cukup. Dibagian depan terdapat jendela yang
sering dibuka dipagi hingga siang hari. Di pekarangan rumah
keluarga terdapat beberapa WC yang digunakan oleh tetangganya
dan beberapa tumpukan barang bekas. Sumber air minum keluarga
ini berasal air PDAM. Sumber air untuk mandi dan MCK berasal
dari PDAM, mereka menggunakan air yang jernih.

67
b. Keluarga Bapak OD
Keluarga Bapak OD terdiri dari 4 anggota keluarga yaitu
istrinya CD dan anaknya AB dan ND. OD berusia 35 tahun
merupakan seorang buruh pabrik sedangkan istrinya berusia 31
tahun merupakan seorang Ibu Rumah Tangga. Anaknya, AB,
berusia 7 tahun dan ND berusia 5 tahun.
Bapak OD merupakan kepala keluarga dan tulang
punggung keluarganya dengan penghasilan rata-rata Rp.1.500.000
per bulan. Sementara ibu CD merupakan tamatan SMP dan tidak
memiliki penghasilan. Istrinya mengaku penghasilan mereka ini
cukup untuk pengeluarannya selama sebulan itu.
Keluarga Bapak OD mengaku jarang pergi ke pelayanan
kesehatan terdekat apabila orang dirumahnya ada yang sakit,
karena dirasa penyakitnya dapat sembuh tanpa berobat. Keluhan
yang paling sering dialami adalah seputar gejala flu seperti batuk,
pilek dan demam. Mereka hanya membeli obat penurun panas dan
obat batuk diwarung terdekat dan keluhan dirasa berkurang.
Bapak OD memiliki kebiasaan merokok setiap harinya.
Bapak OD mengaku sehari bisa menghabiskan 1 bungkus rokok.
Bapak OD dan ibu CD mengaku tidak mempunyai masalah dalam
nafsu makan, mereka makan teratur 3 kali sehari. Namun, kedua
anaknya yang biasanya tidak nafsu makan sehingga harus dipaksa
setiap makannya. Mereka mengaku jarang mengonsumsi buah-
buahan.
Rumah keluarga ini kira-kira berukuran 4 x 6 m dengan 1
kamar berukuran 2 x 2 m. Rumah memiliki 1 pintu depan rumah.
Disekitar rumahnya tidak terdapat tanaman. Kamar mandi keluarga
ini terletak di depan rumah terpisah bangunan dari rumah utama.

68
Kamar mandi yang digunakan berbagi tempat dengan dapur.
Kamar mandi dan dapur tersebut hanya berukuran 1,5 x 1 m.
Ventilasi dan pencahayaan di rumah ini dinilai masih belum
baik, tidak terdapat jendela dan ventilasi yang memadai. Sumber
air minum, mandi dan MCK berasal dari PDAM

II. Assesssment Lingkungan


Berdasarkan hasil survei pada rumah-rumah warga di
keluarahan 26 Ilir, didapatkan mayoritas rumahnya memiliki
lingkungan yang kurang bersih serta lingkungan yang padat

69
penduduk. Rumah warga kira-kira berukuran 4 x 8 m dengan kamar
rata-rata berukuran 2 x 2 m. Rumah memiliki 1 pintu depan dan 2
buah jendela namun ada beberapa rumah yang juga memiliki 1
pintu belakang dengan jendela. Namun, sebagian besar ventilasi
rumah masih kurang baik bahkan masih ada banyak rumah
penduduk yang tidak memiliki ventilasi. Hal ini dikarenakan rumah
tersebut merupakan rumah kontrakan yang terletak di bawah rumah
induk (seperti di bawah kolong rumah).
Selain itu, penduduk tidak rutin membuka jendela sehingga
akses cahaya matahari ke dalam rumah kurang dan hanya
menggunakan cahaya lampu saja, serta rumah terasa lembab.
Sebagian rumah juga memiliki hewan peliharaan seperti ayam,
kucing dan burung yang kandangnya berjarak sangat dekat dengan
rumah warga sehingga banyak kotoran hewan berserakan disekitar
pekarangan rumah warga. Untuk keperluan air untuk mandi, cuci,
dan buang air, bersumber dari PDAM. Namun, beberapa rumah
masih memiliki toilet yang kotor dan bahkan bergabung dengan
dapur untuk memasak. Lantai rumah terlihat bersih dan disapu
setiap hari.

70
71
IV. Catatan tambahan
Beberapa anggota keluarga memiliki keluhan batuk, pilek,
dan demam yang disebabkan oleh cuaca yang tidak menentu serta
ada juga yang mengeluh sakit tenggorokan. Selain itu juga
beberapa anggota keluarga memiliki keluhan gatal-gatal pada kulit.
Beberapa keluarga juga memiliki riwayat ISPA, diare dan alergi
kulit dalam 3 bulan terakhir serta memiliki keluhan sakit kepala di
belakang leher yang sudah lama dirasakan namun tidak pernah
berobat. Anggota keluarga yang tergolong lansia, banyak juga yang
mengaku sudah pernah terdiagnosis dengan diabetes mellitus dan
hipertensi namun tidak rutin untuk control.

III. Assesssment Perilaku


a) Perilaku anggota keluarga yang berpotensi menyebabkan penyakit
Beberapa keluarga tidak memperhatikan kebersihan
rumahnya. Dapur yang berada di dekat kamar mandi juga tampak
kotor. Selain itu, beberapa keluarga lainnya sering menggantung
pakaian di dalam rumah sehingga rumah terasa lembab. Bahkan
ada juga yang menjemur pakaian di depan rumah bersamaan.
Beberapa kepala keluarga dan anak laki-lakinya merupakan
seorang perokok aktif. Mereka dapat menghabiskan 5 batang- 1
bungkus sehari dan memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah
walaupun mereka mempunyai anak balita.

b) Gaya Hidup Sehari-hari


Sebagian besar kepala keluarga yang telah dikunjungi
berprofesi sebagai pedagang, dimana profesi tersebut merupakan

72
pekerjaan yang penghasilannya tidak tetap sehingga keadaan sosial
ekonomi keluarga masih cukup rendah..
Pola makan beberapa keluarga yang dikunjungi seringkali
tidak teratur dimana mereka hanya makan sekali sehari di pagi atau
malam hari. Beberapa keluarga juga memiliki pola makan yang
teratur. Mereka jarang mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-
buahan. Beberapa anggota keluarga juga memiliki kebiasaan
merokok dan mengonsumsi kopi setiap hari.

73
BAB IV
PENENTUAN AKAR PENYEBAB MASALAH

74
Man Method
Petugas program dan petugas desa kurang bisa
memantau proses pengobatan berlangsung di rumah

Hanya menunggu Penderita tidak secara


Keengganan Minum obat tidak penderita datang ke rutin memeriksan
berobat sesuai anjuran sarana kesehatan kondisi tubuh apabila
tidak ada keluhan
Edukasi pencegahan Keterbatasan waktu
kurang pro aktif Hanya penderita yang Tidak terpantaunya asupan
petugas/Tugas
datang ke puskesmas gizi penderita ketika di
rangkap
yang diperiksa atau rumah sehari hari
Rendahnya deteksi
screening
dini pada masyarakat
Merokok di Status gizi
dalam rumah Memeriksakan diri ke sarana hanya dinilai
Tingkat pengetahuan tentang Masih
kesehatan lain tanpa ada dari BB dan
ISPA masih rendah
informasi lebih lanjut TB kurangnya
capaian ISPA
di Kelurahan
Keterbatasan 26 Ilir
tersedianya obat di
Kebiasaan msyarakat tidak segera
pustu, poskesdes,
periksa karena dianggap biasa
posyandu, dll.
Tidak ada dana
untuk pemberian
Tidak ada
asupan gizi 80% rumah penderitaISPA
Tidak semua yang
tambahan tidak sesuai PHBS Masih banyaknya
masyarakat mengantar Tidak masyarakat yang
mempunyai alat untuk ada dana membuang sampah ke
transportasi berobat transport selokan air yang berada
petugas dekat dengan rumah

Rendahnya Ada kelurahan yang


pendapatan letaknya jauh dari
masyarakat Puskesmas
75

Material Money Environment


Man Method
Kebiasaan jarang berolahraga dan makan Belum ada kerjasama dengan tokoh
makanan manis pada masyarakat masyarakat dan tokoh agama
Kurangnya
Tingkat stres penyuluhan
yang tinggi pada mengenai
Minat lansia yang masyarakat DM
kurang karena Metode penyampaian
merasa kekambuhan penyuluhan yang dianggap
Kurangnya
tinggi masyarakatkurang menarik
pemahaman mengenai
pentingnya kontrol Belum teraturnya
ulang setelah pelaksanaan
Kurangnya pemahaman
didiagnosa DM kegiatan untuk
mengenai DM dan
olahraga bersama
bahayanya
di masyarakat Diabetes
oleh kader
Melitus pada
masyarakat
di Kelurahan
Alokasi dana untuk 26 Ilir
pelayanan
kesehatan lansia
Tidak ada
Kurangnya masih minim Lansia banyak yang
Kurangnya dana
sarana masih bekerja sebagai
sarana promosi transport
pemeriksaan petani dan pedagang
kesehatan ke
gula darah di
puskesmas Budaya konsumsi
pustu,
poskesdes, dll makanan yang tinggi
Kondisi Kurangnya dukungan karbohidrat seperti nasi
Kurangnya putih serta makanan tinggi
ekonomi keluarga untuk
sarana kadar gula
kelurahan yang kontrol ke pustu/
transportasi
menengah ke puskesmas
menuju
bawah
lokasi Lokasi kelurahan
jauh dari
Puskesmas
76
Material Money Environment
Man Method
Kebiasaan jarang berolahraga Belum ada kerjasama dengan tokoh
dan merokok pada masyarakat masyarkat dan tokoh agama
Petugas Kurangnya
kurang penyuluhan
Tingkat stres
pro aktif Pelayanan yang kurang
yang tinggi pada mengenai
optimal dalam upaya
masyarakat hipertensi
Minat lansia yang preventif dan promotif
kurang karena
Kurangnya
ketidakhadiran
pemahaman mengenai Metode penyampaian
dokter
pentingnya kontrol Belum teraturnya penyuluhan yang
ulang setelah pelaksanaan kurang menarik
Kurangnya pemahaman
didiagnosa hipertensi kegiatan untuk
mengenai hipertensi dan
olahraga bersama
bahayanya
di masyarakat Hipertensi
Keturunan
oleh kader
pada
masyarakat
di Kelurahan
Tidak tersedianya 26 Ilir
alokasi dana untuk
pelayanan
kesehatan lansia Tidak ada Lansia banyak yang
Kurangnya dana masih bekerja sebagai
Kurangnya sarana promosi transport petani dan pedagang
sarana kesehatan petugas
pemeriksaan Budaya konsumsi
tekanan darah makanan yang asin,
(tensimeter) mengandung banyak
Kondisi Kurangnya dukungan
Kurangnya santan dan goreng-
ekonomi Kurangnya keluarga untuk
sarana gorengan
kelurahan yang alokasi dana kontrol ke posyandu/
transportasi
menengah ke untuk promosi puskesmas
menuju
bawah keseshatan
lokasi Lokasi kelurahan
jauh dari
Puskesmas
77
Material Money Environment
BAB V
PENETAPAN PRIORITAS PENYEBAB MASALAH

5.1 Prioritas Penyebab Masalah ISPA


Masalah utama capaian ISPA tidak mencapai target sasaran:
a. Garis Hitam = Kurangnya penemuan kasus ISPA
b. Garis Biru = Kurangnya pemenuhan asupan gizi pada penderita ISPA
c. Garis Merah = kepedulian masyarakat untuk pencegahan dan pengobatan
masih rendah
Prioritas Akar Penyebab Masalah ISPA
KRITERIA
No. MASALAH UxSxG
U S G
1. Kurangnya penemuan kasus ISPA 4 4 4 64
2. Kepedulian masyarakat untuk 4 4 3 48
pencegahan dan pengobatan masih
rendah
3. Kurangnya pemenuhan asupan gizi 4 4 2 32
pada penderita ISPA

5.2 Prioritas Penyebab Masalah DM


Prioritas Akar Penyebab Masalah DM
KRITERIA
No. MASALAH UxSxG
U S G
1. Kurangnya pengetahuan tentang DM 4 3 3 36
2. Kurangnya sarana promosi kesehatan 3 2 2 12
3. Sosio-ekonomi masyarakat yang rendah 2 2 2 8
4. Tidak tersedia alokasi dana khusus untuk 2 2 1 4
penanggulangan DM
5. Kurangnya tenaga medis yang terjun 4 4 2 32
langsung ke lapangan
6. Kurangnya kesadaran menjaga asupan 3 4 4 48
makanan

78
Berdasarkan tabel prioritas akar penyebab masalah DM dan perhitungan
UxSxG (Urgency, Seriousness, dan Growth), masalah utama pada masyarakat
dapat disimpulkan antara lain disebabkan oleh:
a. Kurangnya kesadaran menjaga asupan makanan
b. Kurangnya pengetahuan tentang DM
c. Kurangnya tenaga medis yang terjun langsung ke lapangan

5.3 Prioritas Penyebab Masalah Hipertensi


Prioritas Akar Penyebab Masalah Hipertensi
KRITERIA
No. MASALAH UxSxG
U S G
Kurangnya olahraga dan merokok di
1. 3 4 4 48
masyarakat
Kurangnya pemahaman mengenai
2. 3 3 2 18
hipertensi dan komplikasinya
3. Faktor genetic 1 3 2 6
Tidak patuh minum obat dan jarang
4. 3 5 4 60
kontrol kesehatan
5. Tingkat stres tinggi 2 3 2 12
Ekonomi masyarakat menengah ke
6. 2 2 2 8
bawah
Alokasi dana untuk promosi kesehatan
7. 2 2 1 4
dan pelayanan kesehatan lansia kurang
8. Kurangnya sarana promosi kesehatan 2 3 1 6
9. Kurangnya penyuluhan tentang hipertensi 3 3 1 9
Budaya konsumsi makanan asin,
10. mengandung banyak santan dan 3 3 3 27
goreng-gorengan
Kurangnya sarana transportasi menuju
11. 2 2 2 8
lokasi
Kurangnya dukungan keluarga untuk
12. 2 2 2 8
kontrol
Belum teraturnya pelaksanaan kegiatan
13. olahraaga bersama di masyarakat oleh 2 2 2 8
kader

79
Berdasarkan tabel prioritas akar penyebab masalah hipertensi dan perhitungan
UxSxG (Urgency, Seriousness, dan Growth), masalah utama pada masyarakat
dapat disimpulkan antara lain disebabkan oleh:
a. Kurangnya olahraga dan kebiasaan merokok di masyarakat
b. Tidak patuh minum obat dan jarang kontrol ke posyandu/ puskesmas
c. Budaya konsumsi makanan asin, mengandung banyak santan dan goreng-
gorengan

80
BAB VI
ANALISIS DIAGNOSIS KOMUNITAS KELURAHAN 26 ILIR
MENURUT TEORI L. GREEN

Phase 1 – Social Assessment (Diagnosis Mayoritas masyarakat kelurahan 26 Ilir


Sosial) memiliki tingkat sosial ekonomi dan
pendidikan yang rendah dengan mata
pencaharian rata-rata sebagai buruh dan
pedagang, sebagian besar juga
merupakan IRT dan pelajar.
Masyarakat mengaku masalah
kesehatan yang ada di kelurahan 26 Ilir
yaitu ISPA, Hipertensi, dan Diabetes
Mellitus serta masalah lingkungan yang
ada seperti, adanya saluran
pembuangan air yang dipenuhi oleh
sampah rumah tangga, kebersihan
rumah dan sanitasi lingkungan yang
kurang baik serta personal hygiene
masyarakatnya yang buruk.

Phase 2 – Epidemiologic Assessment Kelurahan 26 Ilir merupakan


(Diagnosis Epidemiologi) lingkungan padat penduduk dengan
±1725 KK yang sebagian besar keluhan
masyarakat mengarah kepada diagnosis
klinis ISPA.

Phase 3 – Behavioral and Saluran pembuangan air yang dipenuhi


Environmental Assessment (Diagnosis oleh sampah rumah tangga, lingkungan
Perilaku dan Lingkungan) padat penduduk, serta kebersihan
rumah, sanitasi lingkungan danpersonal
hygiene masyarakatnya yang masih
kurang. Ventilasi dan pencahayaan
rumah masyarakat juga dinilai kurang
baik serta masih kurangnya kesadaran
masyarakat atas bahaya asap rokok dan
bahaya asap hasil pembakaran sampah
yang dilakukan masyarakat.

Phase 4 –Educational and Ecological Faktor Predisposisi : Pengetahuan

81
Assessment (Diagnosis Pendidikan dan masyarakat mengenai personal hygiene
Organisasional) serta pencemaran lingkungan yang
masih rendah. Sehingga masyarakat
masih menggunakan metode membakar
sampah dalam pengelolahan sampah di
masyarakat. Tidak terdapat
kepercayaan maupun takhyul setempat.

Faktor Pemungkin : Jarak saluran


pembuangan air yang dipenuhi oleh
sampah rumah tanggayang terlalu dekat
dengan pemukiman warga serta
sampah yang tidak dipilah dan juga
sampah yang dikelola dengan cara
dibakar.

Faktor Penguat : Sikap kepemimpinan


pak Lurah dan ketua masing-masing RT
peduli terhadap kesejahteraan serta
kesehatan lingkungan masyarakatnya.
Namun masyarakat mengaku infromasi
mengenai masalah kesehatan masih
kurang dan keterbatasan dana dalam
pengadaan sarana prasarana yang
memadai.

Phase 5 – Administration and Policy Administrasi : Diperlukan renovasi


Assessment (Diagnosis Kebijakan dan tempat pembuangan sampah terbuka
Administrasi) agar sampah dapat dipilah berdasarkan
jenisnya yaitu, plastik, nonplastik dan
kompos sebagai pemecahan terhadap
akar masalah, yaitu pengolahan sampah
yang tidak baik.

Kebijakan : Belum adanya kebijakan


mengenai larangan membuang sampah
sembarangan , pembakaran sampah dan
kebijakan untuk pemilahan sampah
sebelum dibuang ke tempat
pembuangan.

Phase 6 – Implementation Melakukan penyuluhan kepada

82
(Implementasi) masyarakat mengenai pentingnya
pemilahan sampah, bahaya polusi udara
akibat pembakaran sampah, dan PHBS,
kerjasama dengan masyarakat, pak
Lurah serta pak RT untuk memilah
sampah sebelum dibuang ke tempat
pembuangan, mengajukan kepada
kelurahan dan tokoh masyarakat untuk
membagi tempat pembuangan sampah
bersadarkan jenisnya yaitu sampah
plastik, non-plastik dan kompos, serta
mengedukasi bahwa pengolahan
sampah yang tepat dapat memberikan
dampak baik.

Phase 7 – Evaluation (Evaluai Proses) Program dievaluasi dengan kehadiran


masyarakat saat diadakan penyuluhan,
perilaku masyarakat selama dan setelah
penyuluhan diberikan, serta renovasi
tempat pembuangan sampah. Lalu
dievaluasi juga mengenai pengetahuan
masyarakat setelah penyuluhan
diberikan.

Phase 8 – Impact (Evaluasi Dampak) Mengevaluasi dampak dari intervensi


(penyuluhan pemilahan dan pengolahan
serta renovasi tempat pengolahan
sampah) terhadap faktor predisposisi,
faktor pemungkin dan faktor penguat.

Phase 9 – Outcome (Evaluai Hasil) Pengetahuan kesehatan masyarakat


meningkat terutama mengenai
pentingnya pemilahan sampah dan
pengolahan sampah yang baik dan juga
bahaya asap rokok.

Perilaku masyarakat yang sudah


menerapkan pemilahan sampah
sebelum dibuang ke tempat
pembuangan sampah.

83
BAB VII
ALTERNATIF PEMECAHAN PENYEBAB MASALAH

7.1 Alternatif Intervensi ISPA

Alternatif Pemecahan
Prioritas
No. Pemecahan Masalah Sasaran Target
Masalah
Masalah Terpilih
1. Kurangnya 1. Sosialisasi ISPA Melakukan Masyarakat, Penderita
penemuan kepada home visite Pihak ISPA dapat
kasus ISPA masyarakat yang rutin agar Puskesmas, terdeteksi
diwakili oleh dapat Tokoh lebih dini.
kader dan Tokoh mendeteksi masyarakat
Masyarakat dini ISPA terkait
2. Melakukan home
visite rutin agar
dapat mendeteksi
dini ISPA
2. Kepedulian 1. Sosialisasi ISPA Sosialisasi Masyarakat, Meningkatnya
masyarakat kepada ISPA kepada Pihak angka
untuk masyarakat yang masyarakat Puskesmas kepedulian
diwakili oleh
pencegahan masyarakat
kader dan Tokoh
dan Masyarakat untuk
pengobatan 2. Kunjungan rumah mencegah dan
masih oleh petugas mengobati
rendah 3. Pelatihan petugas ISPA
pemegang
wilayah
kelurahan
4. Sosialisasi Etika
Batuk

3. Kurangnya 1. Pemberian Pemberian Masyarakat, Asupan gizi


pemenuhan tambahan asupan tambahan Pihak penderita
asupan gizi gizi asupan gizi Puskesmas, ISPA cukup.
2. Pendampingan Tokoh
pada ISPA
oleh kader dan masyarakat
PMO dalam terkait
penanganan
asupan gizi

84
7.2 Alternatif Intervensi Diabetes Mellitus

Alternatif Pemecahan
Prioritas
No. Pemecahan Masalah Sasaran Target
Masalah
Masalah Terpilih
1. Kurangnya 1. Memberi saran Melakukan - masyarakat - Peningkatan
kesadaran makan makanan Sosialisasi ke pemahaman
menjaga dan minuman masyarakat masyarakat
pola makan
asupan yang sehat. tentang pola
yang
makanan 2. Melakukan dianjurkan makan yang
Sosialisasi ke pada dianjurkan
masyarakat pola penderita pada
makan yang diabetes penderita
dianjurkan pada mellitus. diabetes
penderita mellitus
diabetes
mellitus.
2. Kurangnya 1. Penyuluhan pada Bekerjasama - Masyaraka - Peningkatan
pengetahuan masyarakat dengan pihak t pemahaman
tentang DM mengenai DM terkait untuk - Tokoh mengenai
dan bahaya melakukan masyarakat DM
apabila DM pengecekan terkait - Deteksi
tidak terkontrol gula darah - Kader Dini DM
2. Bekerjasama rutin disertai
dengan pihak dengan
terkait untuk konseling
melakukan tentang DM
pengecekan gula kepada
darah rutin penderita
disertai dengan DM
konseling
tentang DM
kepada penderita
DM

3. Kurangnya 1. Melakukan Melakukan - Masyaraka - Peningkatan


tenaga medis pelatihan kader home visite t keberhasila
yang terjun kader kesehatan - Pihak n
langsung ke 2. Melakukan Puskesmas pengobatan

85
lapangan kegiatan - Tokoh DM
penyuluhan masyarakat
kesehatan rutin terkait
kepada - Kader
masyarakat
3. Melakukan
home visite

7.3 Alternatif Intervensi Hipertensi

Alternatif Pemecahan
Prioritas
No. Pemecahan Masalah Sasaran Target
Masalah
Masalah Terpilih
1. Budaya 1. Mengadakan Mengadakan - Masyarakat - Meningkatkan
malas kegiatan kegiatan - Pejabat dan motivasi warga
bergerak senam pagi senam rutin tokoh untuk bergerak
dan rutin setiap tiap minggu, masyarakat dan
merokok minggu. lalu terkait berolahraga
2. Penyuluhan melakukan - Mengurangi
mengenai penyuluhan budaya
hipertensi dan mengenai merokok
hubungannya hipertensi,
dengan gaya bahayanya,
hidup. dan
3. Memberi hubungannya
informasi dengan gaya
berkaitan hidup.
hipertensi dan
hubungannya
dengan gaya
hidup yang
tidak sehat
secara
personal.
2. Tidak patuh 1. Melakukan Melakukan - Masyarakat - Meningkatkan
minum obat pemeriksaan pemeriksaan - Pejabat kepatuhan
dan jarang kesehatangrat kesehatan terkait masyarakat
kontrol is untuk gratis ke - Petugas minum obat

86
kesehatan warga di warga di kesehatan - Membantu
posyandu posyandu sekitar masyarakat
setiap bulan. setiap bulan. mengontrol
2. Memberi kesehatannya
informasi
bahaya
hipertensi dan
pentingnya
mengontrol
hipertensi
secara rutin.
3. Melakukan
kunjungan
rutin ke
rumah-rumah
warga yang
menderita
hipertensi.
3. Budaya 1. Memberi Penyuluhan - Masyarakat - Mengupayakan
makan asin, saran makan makanan dan - Pejabat dan masyarakat
banyak makanan dan minuman tokoh untuk makan
mengandung minuman yang sehat. masyarakat makanan sehat
santan, dan yang sehat. terkait
goreng- 2. Penyuluhan
gorengan makanan dan
minuman
yang sehat.

87
BAB VIII
RENCANA KEGIATAN JANGKA PENDEK

8.1 Rencana Kegiatan Jangka Pendek Masalah ISPA


NO UPAYA KEGIATAN TUJUAN SASARAN TARGET PENANG- VOLU- JADWAL (BULAN) TANGGAL RINCIAN LOKASI BIAYA
KESEHATAN SASAR- GUNG ME PELAKSA- PELAKSA- PELAKS (Rp)
AN JAWAB KEGIA NAAN NAAN A-NAAN
-TAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1 1
0 1 2
Melakukan Untuk 10 rmh Tentatif
home visite 2 OH x
mendeteksi disekitar Pengelola
rutin agar Rumah 8 ksx transport Masyara- Rp
dini ISPA selokan program dan x x x x
1 dapat warga Rp petugas kat 800.000
pada dan kader
mendeteksi 50000
dini ISPA masyarakat pembakar
an sampah
Pemberian Tentatif rumah
Untuk 8 orang
tambahan 2 ef x 8 pasien
meningkat pasien pasien Pengelola Rp
asupan gizi ks x x x x x ekstrafood yang
2 kan status kurang gizi kurang program 800.000
50000 kurang
gizi pasien Gizi
gizi

Agar Tiap 2 Tentatif


Sosialisasi peningkatk bulan
ISPA kepada an dalam 1
masyarakat pemahama Pengelola tahun Transport Rp
Masyarakat 90% x x x Posyandu
3 n program sampai x x x Petugas 300.000
masyarakat target
tentang tercapai
ISPA x 50.000

88
30 paket Tentatif
Rp
x Rp x ATK Puskesmas
450.000
15.000

30 kader Tentatif Transport Rp


Menambah x Puskesmas
x 50.000 Kader 1.500.000
pengetahu- Kepala
30 orang
an kader Puskesmas,
Pembinaan kader 35 kotak Tentatif Rp
posyandu 100% Koor.UKM, x snack Puskesmas
4 Kader posyandu x 15.000 525.000
lansia Pengelola
lansia
tentang Program
35 kotak Tentatif Makan Rp
ISPA x Puskesmas
x 35.000 Siang 1.225.000

1 oh x Tentatif
Narasumber Rp
Rp.250. x Puskesmas
Dinkes 250.000
000

Rp
TOTAL
6.250.000

89
8.2 Rencana Kegiatan Jangka Pendek Masalah Hipertensi dan DM
NO UPAYA KEGIATAN TUJUAN SASARAN TARGET PENANG- VOLU- JADWAL (BULAN) TANGGAL RINCIAN LOKASI BIAYA
KESEHATAN SASARAN GUNG ME 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1 1 PELAKSA- PELAKSA- PELAK- (Rp)
JAWAB KEGIA- 0 1 2 NAAN NAAN SANAAN
TAN
Pelaksanaan
Kepala
Penerapan Senam
RT, 1 kali tiap
gaya hidup 1 kali tiap Sehat oleh Rp
1 Lansia 85% Kepala minggu x x x x x x x x x x x x x Posyandu
Senam sehat di minggu di Kader, 2.400.000
Posyandu, 50.000
Lansia masyarakat Posyandu penyediaan
Kader
minum

Penyuluhan
mengenai Meningkat Tiap 2
hipertensi, -kan Pengelola bulan
dan DM pengeta- Program dalam 1 Disesuaikan
komplikasi- huan Masyarakat Lansia, tahun dengan Transpor Rp
2 90% x x x x x x Posyandu
nya, serta dan masyarakat Kelurahan Pengelola sampai kegiatan petugas 300.000
hubungannya mengenai program target Posyandu
dengan gaya hipertensi promkes tercapai x Lansia
hidup tidak dan DM 50.000
sehat

Tiap 2
Pemeriksaan Peningkat- Pengelola
bulan
Tekanan an angka Program
dalam 1 Disesuaikan
Darah, gula kontrol Lansia,
tahun dengan Transpor Rp
3 darah, serta dan Lansia 85% Pemegang x x x x x x Posyandu
sampai kegiatan petugas 3.000.000
konsultasi berobat Program
target Posyandu
gratis untuk rutin di Lansia,
tercapai x Lansia
masyarakat masyarakat Kader
500.000

Rp
TOTAL
5.700.000

90
BAB IX
RENCANA KEGIATAN JANGKA PANJANG

9.1 Rencana Kegiatan Jangka Panjang Masalah ISPA

KEBU-
KEBUTUHAN WAKTU INDIKA- SUMBER
UPAYA TARGET PENANGGUNG MITRA TUHAN
NO. KEGIATAN TUJUAN SASARAN SUMBER PELAKSA TOR PEMBIA-
KESEHATAN SASARAN JAWAB KERJA ANGGA
DAYA -NAAN KINERJA YAAN
-RAN
10 rmh
Untuk
disekitar februari, 2 OH x 8
mendeteksi Pengelola
Rumah selokan Pemegang Masya- mei, kasus x
1. Home visite faktor risiko program dan BOK
warga dan tempat program rakat agustus, Rp
ISPA pada kader
pembakara november 50.000
rumah warga
n sampah
Untuk
Upaya Extrafooding 8 orang Rumah februari, 2 OH x 8
meningkatkan
pencegahan pasien kurang pasien TB pasien TB Pengelola Pemegang pasien mei, kasus x
2. status gizi BOK
penyakit ISPA mampu/kurang kurang gizi kurang program program kurang agustus, Rp
pasien kurang
gizi Gizi gizi november 50.000
gizi
Pengambilan
Meningkatkan
data ISPA ke 4 DPM/ 1 OH x 2
cakupan DPM/klinik DPM, pengelola Pemegang Januari s/d
3. DPM di Klinik Rumah hr x4 x BOK
penemuan swasta klinik program desember
wilayah swasta 50000
kasus ISPA
puskesmas

91
9.2 Rencana Kegiatan Jangka Panjang Masalah Hipertensi dan DM

KEBU-
KEBUTUHAN WAKTU INDIKA- SUMBER
UPAYA TARGET PENANGGUNG MITRA TUHAN
NO. KEGIATAN TUJUAN SASARAN SUMBER PELAKSA TOR PEMBIA-
KESEHATAN SASARAN JAWAB KERJA ANGGA
DAYA -NAAN KINERJA YAAN
-RAN
Gaya hidup
Upaya Masyarakat
Kegiatan senam sehat dan Kader, 4 x 12 x
pencegahan usia >40 Pengelola Pemegang Tiap
1. pagi rutin tiap menurunkan 70% masya- Rp BOK
Hipertens dan tahun dan program lansia program lansia minggu
minggu risiko terkena rakat 50.000
DMi lansia
hipetensi
Pemeriksaan
Tekanan Darah, Meningkatkan Februari,
gula darah, cakupan Kader, April, Juni, 6 bulan x
Pengelola Pemegang
berobat, serta lansia berobat Lansia 90% masya- Agustus, Rp BOK
program Lansia program lansia
konsultasi gratis dan kontrol rakat Oktober, 500.000
Upaya untuk lansia rutin Desember
2. Kesehatan
Lansia Pengambilan
data Hipertensi Meningkatkan
4 DPM/ 1 OH x 2
dan DM ke cakupan DPM/klinik DPM, pengelola Pemegang Januari s/d
Klinik Rumah hr x4 x BOK
DPM di kasus swasta klinik program lansia desember
swasta 50.000
wilayah hipertensi
puskesmas
Pengumpulan
Meningkatkan
data pasien Kader, Januari,
cakupan Penderita Pengelola Pemegang 3 x Rp
Hipertensi di 90% masya- Mei, BOK
kasus hipertensi program Lansia program lansia 50.000
Kelurahan 26 rakat September
hipertensi
Ilir

92
BAB X
PENUTUP

Diagnosa komunitas adalah upaya sistematis meliputi upaya pemecahan


masalah kesehatan keluarga sebagai unit primer suatu komunitas. Pada diagnosa
komunitas, masyarakat menjadi lokus penegakkan diagnosis komunitas.
Kelurahan 26 ilir merupakan salah satu kelurahan wilayah kerja Puskesmas
Merdeka.Sebagian masyarakat Kelurahan 26 Ilir memiliki tingkat pendidikan
menengah ke bawah dengan ekonomi menengah ke bawah.
Berdasarkan tanya jawab dengan masyarakat sekitar,beberapa masalah
kesehatan yang sering ada di masyarakat, antara lain ISPA, hipertensi, diabetes
melitus, merokok, penyakit kulit, dan nyeri-nyeri sendi lutut. Dari hasil
assessment pribadi, lingkungan, dan perilaku, didapatkan masyarakat belum
menerapkan prinsip PHBS dengan baik dan belum memilik gaya hidup yang
sehat. Maka dari itu, direncanakan adanya kegiatan senam pagi, pemeriksaan
kebersihan dan kelayakan lingkungan sekitar hunian, pelaksanaan pemeriksaan
kesehatan gratis, pelaksanaan program home visite, dan penyuluhan mengenai
ISPA, Diabetes Mellitus, dan hipertensi, serta gaya hidup sehat.
Saran yang dapat diberikan kepada masyarakat kelurahan 26 Ilir adalah
untuk tetap rutin melakukan olahraga bersama (senam pagi) seminggu sekali dan
rutin kontrol ke posyandu untuk penduduk usia lanjut. Selain itu, warga juga
disarankan untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, rutin mengecek
kesehatan di Puskesmas, dan menjaga pola hidup sehat. Untuk penderita ISPA
sebaiknya menjaga agar tidak terpapar faktor risiko yang dapat menyebabkan
ISPA dan mencegah penularan ke masyarakat sekitar. Warga juga sebaiknya
bekerja sama untuk saling mengingatkan dan saling memberi semangat untuk
mewujudkan pola hidup sehat agar terhindar dari berbagai masalah kesehatan di
kemudian hari.

93
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Data dan Informasi


Kementerian Kesehatan RI tentang Hipertensi. Jakarta; 2014.
2. Hernandez-Vila E. A Review of the JNC 8 Blood Pressure Guideline.
Texas Heart Institute Journal. 2015;42(3):226-228.
3. Yogiantoro M. Pendekatan Klinis Hipertensi. Dalam : Sudoyo WA, et al.
Buku Ajar ilmu Penyakit dalam Jilid 1. Edisi ke-6. . Jakarta: Pusat
penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2012
4. Rapina R, Saftarina F. Penatalaksanaan Hipertensi Tingkat 2 dan Diabetes
Mellitus Tipe II pada Wanita Usia 53 Tahun dengan Pendekatan Dokter
Keluarga. J Medula Unila. 2017;7(2):95-102.
5. Irmalita, et al. Standar pelayanan medik RS Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita. Pusat Jantung Nasional. Jakarta. 2014.
6. Mitchell R, Kumar V, Abbas A, Fausto N. Pocket companion to robbins &
cotran pathologic basis of disease. New York: GRUNE & STRATTON
INC; 2011.
7. Yogiantoro M. Hipertensi Primer. Dalam : Sudoyo WA, et al. Buku Ajar
ilmu Penyakit dalam Jilid 1. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2012.
8. Mansjoer-Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI, 2001
9. Staessen A Jan, Jiguang Wang, Giuseppe Bianchi, Willem H Birkenhager,
Essential Hyppertension. The Lancet, 2003; 1629-1635.
10. Gillis E, Sullivan J. Sex Differences in Hypertension. Hypertension.
2016;68(6):1322-1327.
11. Everett B, Zajacova A. Gender Differences in Hypertension and
Hypertension Awareness Among Young Adults. Biodemography and
Social Biology. 2015;61(1):1-17.
12. Ranasinghe P, Cooray D, Jayawardena R, Katulanda P. The influence of
family history of Hypertension on disease prevalence and associated

94
metabolic risk factors among Sri Lankan adults. BMC Public Health.
2015;15(1).
13. Saputra O, Anam K. Gaya Hidup sebagai Faktor Risiko Hipertensi pada
Masyarakat Pesisir Pantai. Majority. 2016;5(3):118-123.
14. Bazzano L, Green T, Harrison T, Reynolds K. Dietary Approaches to
Prevent Hypertension. Current Hypertension Reports. 2013;15(6):694-702.
15. Husain K, Ansari R, Ferder L. Alcohol-induced hypertension: Mechanism
and prevention. World Journal of Cardiology. 2014;6(5):245.
16. Jiang S, Lu W, Zong X, Ruan H, Liu Y. Obesity and hypertension.
Experimental and Therapeutic Medicine. 2016;12(4):2395-2399.
17. Sundari, Aulani'am, Wahono SD, Widodo MA. Faktor risiko non genetik
danpolimorfisme promoter region gen cyp11b2 varian t(-344)caldosterone
synthase padapasien hipertensi esensial di wilayah pantaidan
pegunungan.J Ked Brawijaya. 2013;3(27):169-77.
18. Yan J, Pan Y, Cai W, Cheng Q, Dong W, An T. Association between
anxiety and hypertension: a systematic review and meta-analysis of
epidemiological studies. Neuropsychiatric Disease and Treatment.
2015;:1121.
19. Ram C. Hypertension A Clinical Guide. New York: CRC Press; 2014.
20. Corwin E. Handbook of Pathophysiology. 4th ed. New York: Wolters
Kluwer Health; 2015.
21. Kaplan N, Flynn J, Victor R. Kaplan's clinical hypertension. 11th ed. new
york: Wolters Kluwer Health; 2013.
22. Gunawan, Hipertensi, Jakarta: PT Gramedia, 2001;
23. Poulter N, Prabhakaran D, Caulfield M. Hypertension. The Lancet.
2015;386(9995).
24. Longo D. Harrison's principles of internal medicine Vol. 1 and 2. 18th ed.
Maidenhead: McGraw-Hill; 2012.
25. Eroschenko VP. DiFiore's Atlas of Histology with Functional
Correlations: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins;
2008.

95
26. Rapaport DH, Whitehead MC, Cosman BC. Netter's Clinical Anatomy by
John T. Hansen and David R. Lambert. Clinical Anatomy.
2006;19(6):573-4.
27. Mescher A. Junqueira's Basic Histology: Text and Atlas, Thirteenth
Edition: Text and Atlas, Thirteenth Edition: McGraw-Hill Education;
2013.
28. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Gray's Anatomy for Students:
Elsevier/Churchill Livingstone; 2005.
29. Thomas M, Bomar PA. Upper Respiratory Tract Infection. [Updated 2018
Nov 23]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2019 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532961/
30. Loo M. Upper Respiratory Tract Infection. Integrative Medicine for
Children. 2009;:450-455.
31. WHO. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
yan cenderung menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2007
32. Raghuveer Geetha, David A. White, Laura L. Hayma FAHA, Jessica G.
Woo, JuanVillafane at al. Cardiovascular Consequences of
ChildhoodSecondhand Tobacco Smoke Exposure: Prevailing Evidence,
Burden, andRacial and Socioeconomic Disparities, AHA scientific
statement. American Heart Association, Inc;2016
33. Wantania JM, Naning R, Wahani A. Infeksi saluran pernapasan akut.
Dalam :Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi
Anak 1st ed.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.
34. Francis N, Butler C. Infections of the upper respiratory tract. Antibiotic
and Chemotherapy. 2010;:567-573.
35. Mokdad, A.., 2017. Burden of lower respiratory infections in the Eastern
Mediterranean Region between 1990 and 2015 : findings from the Global
Burden of Disease 2015 study. Int J Public Health.

96
36. Rudan, I, et al, 2008. Epidemiology and etiology childhood pneumonia.
Bulletin World Health Organization, 86, pp.408–416
37. Kemenkes, 2011. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Kemenkes RI.
38. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman Pengendalian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
39. Depkes RI. 2004. Pengertian ISPA dan Pneumonia. Jakarta: Dirjen PPM
& PLP
40. Widjaja, Anton C, dr. 2003. Penanganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit
Kecil Negara Berkembang. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
41. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe
2 di Indonesia. 2015. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia. Jakarta. 2015
42. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku
ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor.
Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857.
43. Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu
Diabetes.2008 [ diakses tanggal 20 April 2018] http: //pdpersi.co.id
44. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis
dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta :
balai penerbit FKUI, 2006; 1906.
45. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
46. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
47. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe
2 di Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia. Jakarta. 2006

97
48. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya,
Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920
49. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006;
hal. 1873
50. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes
mellitus. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson
price, Lorraine Mc Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U.
Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259

98

Anda mungkin juga menyukai