Anda di halaman 1dari 13

PROPOSAL

MAGANG FARMASI KLINIK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


KOTA TIDORE KEPULAUAN
PROPOSAL
MAGANG FARMASI KLINIK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KOTA TIDORE KEPULAUAN

A. PENDAHULUAN

1. Patien Safety

Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah
sakit. Di rumah sakit terdapat lima isu penting yang terkait dengan keselamatan
(safety) antara lain: keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau
petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan yang berdampak terhadap
keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity) yang
berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan ”bisnis” rumah sakit
yang berhubungan terhadap keberlangsungan hidup rumah sakit. Ke lima aspek
keselamatan merupakan hal penting untuk dilaksanakan di rumah sakit, dan harus
diakui bahwa rumah sakit dapat berjalan bila ada pasien, untuk itu bahwa
keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan, dan keselamatan
pasien merupakan hal yang terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan.
Pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan pelayanan untuk
menyelamatkan pasien sesuai dengan ucapan Hiprocrates (2400 tahun yang lalu)
yaitu Primum, non nocere (First, do no harm). Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit, maka
menjadi semakin kompleks dan lebih berpotensi munculnya KTD (Kejadian Tidak
Diharapkan/Adverse event), jikalau pelayanan kesehatan dilakukan tidak dengan
hati-hati.
Rumah sakit terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak
alat dengan teknologinya, bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi yang siap
memberikan pelayanan pasien 24 jam terus menerus. Keberagaman dan kerutinan
pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat terjadi KTD.
Tahun 2000, Institute of Medicine di Amerika Serikat menerbitkan laporan
yang mengagetkan banyak pihak: “TO ERR IS HUMAN” , Building a Safer Health
System. Laporan itu mengemukakan penelitian di rumah sakit Utah dan Colorado
ditemukan KTD (Adverse Event) sebesar 2,9 %, dimana 6,6 % adalah yang
meninggal, sedangkan di New York KTD sebesar 3,7 %, yang meninggal 13,6 %.
Laporan lain mengatakan bahwa rawat inap di Amerika dimana KTD sebesar 33,6
Page 11
juta per tahun berakibat kematian berkisar 44.000 – 98.000 per tahun. Tahun 2004
WHO mempublikasikan, melalui pengumpulan angka-angka penelitian rumah sakit
di berbagai Negara (Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia), dan ditemukan
KTD sebesar 3,2 – 16,6 %. Dan data-data tersebut menjadi acuan untuk melakukan
penelitian dan mengembangkan Sistem Keselamatan Pasien.
Di Indonesia data KTD apalagi Kejadian Nyaris Cedera (KNC/Near miss)
masih langka, namun dilain sisi terjadi peningkatan tuduhan “mal praktek”, yang
belum tentu sesuai dengan pembuktian akhir. Dalam rangka meningkatkan
keselamatan pasien di rumah sakit maka Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI) telah mengambil inisiatif membentuk Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (KKP-RS).
2. Tanggungjawab Apoteker Dalam Patient Safety

Keputusan penggunaan obat selalu mengandung pertimbangan antara


manfaat/efikasi dan risiko. Tujuan pengkajian farmakoterapi adalah mendapatkan
hasil klinik yang dapat dipertanggungjawabkan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dengan risiko minimal. Tujuan tersebut merubah paradigma pelayanan
kefarmasian yang menuju kearah pharmaceutical care, dimana fokus pelayanan
kefarmasian bergeser dari kepedulian terhadap obat (drug oriented) menuju
pelayanan optimal setiap individu pasien tentang penggunaan obat (patient
oriented). Untuk mewujudkan pharmaceutical care denganrisikoyang minimal pada
pasien dan petugas kesehatan perlu penerapan manajemen risiko.
Manajemen risiko merupakan bagian yang mendasar dari tanggung jawab
apoteker. Dalam upaya pengendalian risiko, praktek konvensional farmasi telah
berhasil menurunkan biaya obat tapi belum menyelesaikan masalah sehubungan
dengan penggunaan obat. Berkembangnya teknologi farmasi yang begitu pesat
dengan menghasilkan obat-obat baru, akan membutuhkan perhatian terhadap
kemungkinan terjadinya risiko pada pasien.
Laporan IOM (Institute of Medicine,1999) menyatakan bahwa 44.000 -
98.000 pasien meninggal di rumah sakit per tahun akibat kesalahan medis (medical
errors), yang sebetulnya bisa dicegah. Kuantitas ini melebihi kematian akibat
kecelakaan lalu lintas, kanker payudara dan AIDS.
Penelitian Bates (JAMA, 1995, 274; 29-34) menunjukkan bahwa peringkat
tertinggi adalah kesalahan pengobatan (medication error), pada tahap ordering

Page 11
(49%), diikuti tahap administration management (26%), pharmacy management
(14%), transcribing/penerjemahan (11%)
Laporan di atas, menggerakkan sistem kesehatan dunia untuk merubah
paradigma pelayanan kesehatan menuju keselamatan pasien (patient safety).
Gerakan ini berdampak juga terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia melalui
pembentukan KKP-RS (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit) pada tahun 2004.
Berdasarkan Laporan Peta Nasional Insiden Keselamatan Pasien (Konggres
PERSI September 2007), kesalahan dalam pemberian obat menduduki peringkat
pertama (24.8%) dari 10 besar insiden yang dilaporkan. Dalam proses penggunaan
obat, yang meliputi prescribing (peresepan), transcribing (penerjemahan), dispensing
(menyiapkan dan meracik) dan administering (penyerahan), ternyata dispensing
menduduki peringkat pertama.
Berdasarkan analisis, bahwa dalam proses pelayanan kefarmasian terdapat
risiko kejadian antara lain: kejadian obat yang merugikan (adverse drug events),
kesalahan pengobatan (medication errors) dan reaksi obat yang merugikan (adverse
drug reaction) dan menempati kelompok urutan utama dalam keselamatan pasien.
Mengingat kompleksitas dan keterkaitan risiko kejadian maka perlu pendekatan
sistem untuk mengelola. Hal lain yang mempengaruhi terjadinya risiko obat adalah
multifaktor dan multiprofesi yang kompleks; jenis pelayanan medik, banyaknya
jenis dan jumlah obat per pasien, faktor lingkungan, beban kerja, kompetensi
karyawan, kepemimpinan dan sebagainya.
Pendekatan sistem bertujuan untuk meminimalkan risiko dan memastikan
keselamatan penggunaan obat termasuk alat kesehatan. Secara garis besar langkah-
langkah yang bisa dilakukan antara lain analisis sistem yang sedang berjalan, deteksi
adanya kesalahan, analisis tren sebagai dasar pendekatan sistem. JCAHO
menetapkan lingkup sistem keselamatan pelayanan farmasi meliputi: sistem seleksi
(selection), sistem penyimpanan sampai distribusi (storage), sistem permintaan obat,
interpretasi dan verifikasi (ordering& transcribing), sistem penyiapan, labelisasi,
peracikan, dokumentasi, penyerahan ke pasien disertai kecukupan informasi
(preparing& dispensing), sistem penggunaan obat oleh pasien (administration),
monitoring.
Program Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang dipelopori oleh
PERSI (Persatuan Rumah sakit Indonesia) menetapkan 7 langkah dalam manajemen
keselamatan pasien, antara lain berupa pelaporan. Pelaporan sukarela merupakan
data dasar untuk melakukan upaya evaluasi dalam pencapaian tujuan, dimana

Page 11
pelaporan insiden lingkup pelayanan farmasi menggambarkan 10% dari bagian
kejadian kesalahan (errors).
Untuk memastikan sistem berjalan sesuai dengan tujuan diperlukan data
yang akurat, yang dapat diperoleh melalui upaya pelaporan kejadian. Keberanian
untuk melaporkan kesalahan diri sendiri tidaklah mudah, apalagi jika ada keterkaitan
dengan hukuman seseorang. Pendekatan budaya tidak saling menyalahkan (blame
free cullture) terbukti lebih efektif untuk meningkatkan laporan dibandingkan
penghargaan dan hukuman (rewards and punishment).
Untuk mengarahkan intervensi dan monitoring terhadap data yang tersedia,
diperlukan metode analisis antara lain Metode Analisa Sederhana untuk risiko
ringan, Root cause analysis untuk risiko sedang dan Failure Mode Error Analysis
untuk risiko berat atau untuk langkah pencegahan.
Berbagai metode pendekatan organisasi sebagai upaya menurunkan
kesalahan pengobatan yang jika dipaparkan berdasarkan urutan dampak efektifitas
terbesar adalah memaksa fungsi & batasan (forcing function & constraints), otomasi
& komputer (automation & computer / CPOE), standard dan protokol, sistem daftar
tilik & cek ulang (check list & double check system), aturan dan kebijakan (rules
and policy), pendidikan dan informasi (education and information), serta lebih
cermat dan waspada (be more careful-vigilant).
Upaya intervensi untuk meminimalkan insiden belum sempurna tanpa
disertai upaya pencegahan. Agar upaya pencegahan berjalan efektif perlu
diperhatikan ruang lingkupnya, meliputi : keterkinian pengetahuan penulis resep
(current knowledge prescribing (CPE, access to DI, konsultasi)), dilakukan review
semua farmakoterapi yang terjadi (review all existing pharmacotherapy) oleh
Apoteker, tenaga profesi terkait obat memahami sistem yang terkait dengan obat
(familiar with drug system (formulary, DUE, abbreviation, alert drug)),
kelengkapan permintaan obat (complete drug order), perhatian pada kepastian
kejelasan instruksi pengobatan (care for ensure clear and un ambiguous
instruction). Upaya pencegahan akan lebih efektif jika dilakukan bersama dengan
tenaga kesehatan lain (multidisiplin) terkait penggunaan obat, terutama dokter dan
perawat. Perlu menjadi pertimbangan bahwa errors dapat berupa kesalahan laten
(latent errors) misalnya karena kebijakan, infrastruktur, biaya, SPO, lingkungan
kerja maupun kesalahan aktif (active errors) seperti sikap masabodoh, tidak teliti,
sengaja melanggar peraturan) dan umumnya active errors berakar dari latent errors
(pengambil kebijakan).

Page 11
Apoteker berada dalam posisi strategis untuk meminimalkan medication
errors, baik dilihat dari keterkaitan dengan tenaga kesehatan lain maupun dalam
proses pengobatan. Kontribusi yang dimungkinkan dilakukan antara lain dengan
meningkatkan pelaporan, pemberian informasi obat kepada pasien dan tenaga
kesehatan lain, meningkatkan keberlangsungan rejimen pengobatan pasien,
peningkatan kualitas dan keselamatan pengobatan pasien di rumah. Data yang dapat
dipaparkan antara lain dari menurunnya (46%) tingkat keseriusan penyakit pasien
anak, meningkatnya insiden berstatus nyaris cedera (dari 9% menjadi 8-51%) dan
meningkatnya tingkat pelaporan insiden dua sampai enam kali lipat. (effect of
pharmacist-led pediatrics medication safety team on medication-error reporting (Am
J Health-Sist Pharm, 2007, vol64;1422-26)).
Apoteker berperan utama dalam meningkatkan keselamatan dan efektifitas
penggunaan obat. Dengan demikian dalam penjabaran, misi utama Apoteker dalam
hal keselamatan pasien adalah memastikan bahwa semua pasien mendapatkan
pengobatan yang optimal. Hal ini telah dikuatkan dengan berbagai penelitian yang
menunjukkan bahwa kontribusi Apoteker dapat menurunkan medication errors.
3. Visite Apoteker
Visite apoteker merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan secamandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi
klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat (drug related
problem), memantau terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD),
meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan menyajikan informasi Obat kepada
dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar Rumah Sakit
baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah Sakit yang biasa
disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
Sebelum melakukan kegiatan visite, Apoteker harus mempersiapkan diri
dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi
Obat dari rekam medik atau sumber lain.
a. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang
mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan
rasional bagi pasien.
Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).

Page 11
Kegiatan dalam PTO meliputi:
1) pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons terapi,
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
2) pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat (drug related
problem).
3) pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.
Tahapan PTO:
1) pengumpulan data pasien.
2) identifikasi masalah terkait Obat (drug related problem/DRP).
3) rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat/DRP.
4) pemantauan.
5) tindak lanjut.
Faktor yang harus diperhatikan:
1) kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap
buktiterkinidan terpercaya(Evidence Best Medicine).
2) kerahasiaan informasi.
3) kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).
b. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis
lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan
terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang
terkait dengan kerja farmakologi.
MESO bertujuan:
1) menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang
berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang.
2) menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru
saja ditemukan.
3) mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
angka kejadian dan hebatnya ESO.
4) meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO).
5) mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.
Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO:
1) mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO).

Page 11
2) mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi
mengalami ESO.
3) mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo.
4) mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Komite Farmasi dan
Terapi.
5) melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1) kerjasama dengan KomiteFarmasi dan Terapi dan ruang rawat.
2) ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
c. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan kegiatan evaluasi penggunaan
Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan EPO yaitu:
1) mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan Obat.
2) membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu tertentu.
3) memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat.
4) menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
Kegiatan praktek EPO:
1) mengevaluasi pengggunaan Obat secara kualitatif.
2) mengevaluasi pengggunaan Obat secara kuantitatif.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
1) indikator peresepan.
2) indikator pelayanan.
3) indikator fasilitas.
d. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dokter yang merawat karena
indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.
PKOD bertujuan:
1) mengetahui Kadar Obat dalam Darah.
2) memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.
Kegiatan PKOD meliputi:
1) melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkanPemeriksaan
Kadar Obat dalam Darah (PKOD).

Page 11
2) mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukanPemeriksaan
Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
3) menganalisis hasil Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) dan
memberikan rekomendasi.
4. Drug Related Problem
Drug related problem (DRP) atau masalah terkait obat adalah kejadian
yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial
berpengaruh pada outcome yang diinginkan pasien. Suatu kejadian dapat disebut
DRP apabila terdapat dua kondisi, yaitu: (a) adanya kejadian tidak diinginkan yang
dialami pasien, kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnose penyakit,
ketidak mampuan (disability) yang merupakan efek dari kondisi psikologis,
fisiologis, sosiokultur atau ekonomi dan (b) adanya hubungan antara kejadian
tersebut dengan terapi obat (Strand, et al., 1990).
Society Consultant American Pharmacist menyebutkan bahwa tujuan dari
terapi obat adalah perbaikan kualitas hidup pasien melalui pengobatan atau
pencegahan penyakit, mengurangi timbulnya gejala, atau memperlambat proses
penyakit. Kebutuhan pasien berkaitan dengan terapi obat atau drug related needs
meliputi ketepatan indikasi, keefektifan, keamanan terapi, kepatuhan pasien, dan
indikasi yang belum tertangani. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi atau
outcome pasien tidak tercapai maka hal ini dapat dikategorikan sebagai DRP
(Cipolle et al., 1998).
Drug Related Problem merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dan
pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga
kenyataannya/potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki
(Cipolle et al, 1998).DRP aktual adalah DRP yang sudah terjadi sehingga harus
diatasi dan dipecahkan.Dalam hal ini pasien sudah mengalami DRP misalnya dosis
terlalu besar sehingga dosis harus disesuaikan dengan kondisi pasien. DRP potensial
adalah DRP yang kemungkinan besar dapat terjadi dan akan dialami oleh pasien
apabila tidak dilakukan pencegahan, misalnya pasien apabila diberikan suatu obat
akan mengalami kontraindikasi sehingga harus diganti dengan obat lain (Rovers et
al, 2003).Komponen-Komponen DPRyaitu: (a). Kejadian atau resiko yang tidak
diharapkan yang dialami oleh pasien. Kejadian ini dapat diakibatkan oleh kondisi
ekonomi, psikologi, fisiologis, atau sosiokultural pasien. (b). Ada hubungan atau
diduga ada hubungan antara kejadian yang tidak diharapkan yang dialami oleh
pasien dengan terapi obat. Hubungan ini meliputi konsekwensi dari terapi obat

Page 11
sehingga penyebab/diduga sebagai penyebab kejadian tersebut,atau dibutuhkannya
terapi obat untuk mencegah kejadian tersebut.
Menurut Cipolle et al,1998 kategori DRP adalah: (a). Membutuhkan obat
tetapi tidak menerimanya. Membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profilaksis
atau premedikasi, memiliki penyakit kronik yang memerlukan pengobatan kontinyu.
(b). Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai. Menggunakan obat tanpa indikasi
yang tepat, dapat membaik kondisinya dengan terapi non obat,minum beberapa obat
padahal hanya satu terapiobat yang diindikasikan dan atau minum obat untuk
mengobati efeksamping. (c). Menerima obat salah. Kasus yang mungkin terjadi:
obat tidak efektif, alergi, adanya resiko kontraindikasi, resisten terhadap obat yang
diberikan, kombinasi obat yang tidak perlu dan bukan yang paling aman. (d). Dosis
terlalu rendah. Penyebab yang sering terjadi: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan
respon yang diinginkan, jangka waktu terapi yang terlalu pendek,pemilihan obat,
dosis, rute pemberian, dan sediaan obat tidak tepat. (e). Dosis terlalu tinggi.
Penyebab yang sering terjadi: dosis salah, frekuensi tidak tepat, jangka waktu tidak
tepat dan adanya interaksi obat. (f). Pasien mengalami ADR (Adverse Drug
Reaction). Penyebabnya: pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bila
obatdigunakan, efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien,interaksi
dengan obat lain, dosis dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat, sehingga
menyebabkan ADR dan mengalami efek yang tidak dikehendakiyang tidak
diprediksi. (g). Kepatuhan. Penyebab: pasien tidak menerima aturan pemakaian obat
yang tepat, pasien tidak menuruti rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan,
pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal, pasien tidak
mengambil beberapa obat yang diresepkan secara konsisten karena merasa sudah
sehat (Cipolle et al, 1998). Sedangkan klasifikasi drug related problem menurut
Pharmaceutical Care Network Europe Foundation (PCNE) Classification V 6.2
2003-2010 adalah memiliki 4 masalah antara lain; (a). Efektifitas terapi, (b). Reaksi
obat yang tidak dikehendaki (ROTD), (c). Biaya pengobatan, dan (d). Lain-lain.
Sedangkan penyebab terjadinya drug related problem antara lain; (a). Pemilihan
obat, (b). Pemilihan bentuk sediaan, (c). Pemilihan dosis, (d). Penetuan lama
pengobatan, (e). Proses penggunaan obat, (f). Logistik (farmasi), (g). Pasien, dan (h).
Lain-lain. Beberapa penyebab misal pemilihan obat adalah; (a). Pemilihan obat yang
tidak tepat (bukan untuk indikasi yang paling tepat), (b). Pemilihan obat yang tidak
ada indikasi penggunaan obatnya atau indikasi obat tidak jelas, (c). Pemilihan obat
dengan kombinasi obat-obat atau obat-makanan yang tidak tepat termasuk kejadian

Page 11
interaksi obat, (d). Pemilihan obat dengan duplikasi kelompok terapi atau bahan
aktif yang tidak tepat, (e). Ada indikasi tetapi obat tidak diresepkan, (f). Pemilihan
dengan banyak obat (kelompok terapi atau bahan aktif yang berbeda) diresepkan
untuk indikasi yang sama, (g). Pemilihan obat dan ternyata tersedia obat yang lebih
hemat biaya, (h). Pemilihan obat yang membutuhan obat yang bersifat
sinergis/preventif tidak diresepkan, dan (i). Ada indikasi baru dan obat belum
diresepkan. Penyebab pemilihan dosis terjadinya drug related problem antara lain:
(a). Dosis terlalu rendah, (b). Dosis terlalu tinggi, (c). Pengaturan dosis kurang
sering, (d). Pengaturan dosis terlalu sering, (e). Pemilihan dosis tepat tidak dilakukan
pemantauan kadar obat dalam darah/PKOD, (f). Masalah farmakokinetika yang
perlu penyesuaian dosis, (g). Perburukan/perbaikan kondisi sakit yang perlu
penyesuaian dosis. Penyebab penentuan lama pengobatan terjadinya drug related
problem antara lain; (a). Lama pengobatan terlalu pendek, dan (b). Lama pengobatan
terlalu panjang. Penyebab proses penggunaan obat terjadinya drug related problem
antara lain; (a). Waktu penggunaan obat atau interval pemberian dosis tidak tepa,
(b). Penggunaan lebih sedikit dari pedoman pengobatan (underused) atau pemberian
lebih panjang dari aturan penggunaan (under-administered), (c). Penggunaan
berlebih (overused) atau pemberian melebihi aturan penggunaan (over-
administered), (d). Obat tidak diminum atau tidak diberikan, (e). Minum obat salah
atau memberikan obat yang salah, (f). Penyalahgunaan obat (penggunaan obat tidak
sesuai peruntukan resmi), dan (g). Pasien tidak dapat menggunakan obat atau bentuk
sediaan sesuai aturan. Penyebab dari pasien sehingga dapat terjadi drug related
problem antara lain; (a). Lupa minum obat, (b). Menggunakan obat yang tidak
diperlukan, (c). Makan makanan yang berinteraksi dengan obat, dan (d). Penyimpan
obat oleh pasien tidak tepat.
Dari dasar drug related problem dalam keterkaitan dengan Profesional
Pemberi Asuhan (PPA) pasien antara lain dokter, perawat, nutrisien dan apoteker
agar obat dapat memberikan kemanfaatan/efikasi yang tinggi dan minimalisir
risikonya, untuk itu para apoteker berharap kepada praktisi dokter, perawat dan
nutrisien untuk berdiskusi dan memberikan masukkan kepada para apoteker agar
outcome obat dalam berkonstribusi keselamatan pasien tercapai.

Page 11
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Menyatukan pandangan terhadap pelayanan tenaga praktisi Profesional Pemberi
Asuhan (PPA) yang berfokus pada pasien dalam hal keselamatan pasien terhadap
obat.
2. Tujuan Khusus
 Memberi pemahaman terhadap farmasi klinik kepada tenaga Apoteker RSD
Kota Tikep sebagai PPA dalam melaksankan farmasi klinik agar dapat
meningkatkan dan menjaga keselamatan pasien pada domain obat.
 Memberi masukkan kepada tenaga Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian
yang lain sebagai panduan dalam menjalankan pelayanan kefarmasian dalam
koridor keselamatan pasien.

C. WAKTU DAN TEMPAT


1. Waktu
Waktu pelaksanaan direncanakan pada bulan september 2021
2. Tempat
Magang farmasi klinik dilakukan di rumah sakit yang menyelenggaran magang
farmasi klinik sesuai waktu pelaksanaan yang direncanakan oleh RSD Kota Tidore
Kepulauan

D. SASARAN
1. Penanggung jawab farmasi klinik di RSD Kota Tidore Kepulauan
2. Praktisi farmasi klinik di RSD Kota Tidore Kepulauan sebanyak 3 orang

E. RENCANA ANGGARAN BELANJA

No. Uraian Jumlah Satuan (Rp) Jumlah (Rp)


1 2 3 4 5
1 Transportasi dan akomodasi 4 Orang 5.000.000 20.000.000
Jumlah 20.000.000

F. PENUTUP

Page 11
Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit merupakan bagian dari pelayanan
kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan
Sediaan Famasi baik obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai (BMHP) dengan
maksud untuk mencapai hasil yang pasti dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pelayanan Farmasi Klinik meliputi:
1. Pengkajian dan pelayanan Resep
2. Penelusuran riwayat penggunaan Obat

3. Rekonsiliasi Obat

4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

5. Konseling

6. Visite

7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

10. Dispensing sediaan steril

11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)

Tidore, 11 September 2021

Mengetahui.
Kepala Instalasi Farmasi
RSD Kota Tidore Kepulauan

Endah Nurrahmi Sandiah, S.Si.,Apt


NIP. 19751221 200501 2 012

Page 11

Anda mungkin juga menyukai