Anda di halaman 1dari 51

HUBUNGAN WAKTU TUNGGU OPERASI DENGAN KECEMASAN

PASIEN PRE OPERASI DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD


dr SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI

PROPOSAL SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan

Oleh :
Jumiran
NIM. ST182021

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembedahan adalah salah satu tindakan pengobatan dengan

penyembuhan penyakit dengan cara memotong, mengiris anggota tubuh yang

sakit. Pembedahan dilakukan dengan anestesi general maupun regional

(Uskenat, Puguh & Solechan, 2012). Tindakan pembedahan merupakan

pengalaman menegangkan dan menimbulkan kecemasan bagi sebagian

pasien. Data pasien pre operatif menurut WHO di seluruh penjuru dunia

mencapai angka peningkatan yang sangat signifikan dari tahun ke tahun, di

tahun 2011 angka tersebut mencapai 140 juta jiwa pasien di seluruh rumah

sakit di dunia pernah menjadi pasien pre operatif, sedangkan tahun 2012 data

mengalami peningkatan sebesar 148 juta jiwa, sedangkan untuk kawasan Asia

pasien pre operatif mencapai angka 77 juta jiwa pada tahun 2012. Di

Indonesia pasien pre operatif mencapai angka 1,2 juta jiwa pada tahun 2012

(Sartika, Suarnianti & Ismail, 2013).

Prevalensi gangguan kecemasan terekam dalam Riset Kesehatan

Dasar (Riskedas) oleh Kementerian Kesehatan tahun 2018. Dalam Riskedas

2018 itu prevalensi kecemasan yang ditunjukkan pada usia 15 tahun ke atas

mencapai 9,8 persen dari jumlah penduduk (Purwanto, 2019). Gangguan

kecemasan Data Riskesdas 2018 cukup signifikan jika dibandingkan dengan

Riskesdas 2013, naik dari 1,7% menjadi 7%. Prevalensi gangguan kecemasan

1
2

di Jawa Tengah adalah sebanyak 2,3 permil dan termasuk dalam provinsi

terbanyak jumlah psikosis secara nasional (Dinkes Semarang, 2019). RSUD

dr Soediran Mangun Sumarso Wonogiri didapatkan jumlah pasien total

operasi 2017 sebanyak 4976 pasien dan mengalami peningkatan di tahun

2018 mencapai 5505 pasien.

Kecemasan merupakan pengalaman emosional yang berlangsung

singkat dan merupakan respon yang wajar, pada saat individu menghadapi

tekanan atau peristiwa yang mengancam kehidupannya baik ancaman

eksternal dan internal. Kecemasan akan semakin meningkat pada saat

mendekati waktu operasi (Nurjanah, Hartiti & Pohan, 2018). Penatalaksanaan

kecemasan yang dapat dilakukan dengan cara non farmakologi, menurut

Sartika dkk (2013) adalah komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik

didefenisikan sebagai hubungan kerja sama yang ditandai dengan tukar

menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman dalam membina

hubungan erat yang terapeutik, sedangkan menurut Ulfa (2017)

pendampingan dan dukungan keluarga mampu mempengaruhi tingkat

kecemasan pada pasien pre operasi.

Secara farmakologi kecemasan pasien diterapi dengan obat golongan

Benzodiazepine (alprazolam 2x0,25 mg). Jenis obat-obat golongan

Benzodiazepine ini adalah Diazepam, Klordiazepoksid, Lorazepam,

Klobazam, Bromazepam, Oksazolam, Klorazepat, Alprazolam atau

Prazepam. Penggunaan obat anti kecemasan haruslah melalui kontrol dari

dokter secara ketat, penggunaan obat-obat anti kecemasan dapat


3

mengakibatkan beberapa efek samping. Pasien dengan riwayat penyakit hati

kronik, ginjal, dan paru haruslah diperhatikan pemakaian obat-obatan ini

(Diferiansyah dkk, 2016).

Tindakan operasi yang direncanakan dapat menimbulkan respon

fisiologi dan psikologi pada pasien (Potter & Perry, 2010). Respon paling

umum pada pasien pre operasi salah satunya adalah respon psikologi

(kecemasan), secara mental penderita yang akan menghadapi pembedahan

harus dipersiapkan karena selalu ada rasa cemas dan takut terhadap

penyuntikan, nyeri luka, anesthesia, bahkan terdapat kemungkinan cacat atau

mati. Sejalan dengan teori tentang tindakan pembedahan yang merupakan

salah satu ancaman potensial maupun aktual pada integeritas seseorang yang

dapat membangkitkan kecemasan ketika akan menghadapinya, sehingga perlu

adanya persiapan secara psikologi ketika akan di operasi (Apriansyah,

Romadoni & Andrianovita, 2015).

Waktu tunggu adalah waktu yang digunakan oleh petugas kesehatan

di rumah sakit untuk memberikan pelayanan pada pasien. Lama waktu tunggu

pasien mencerminkan bagaimana rumah sakit mengelola komponen

pelayanan yang disesuaikan dengan situasi dan harapan pasien (Tambengi,

Mulyadi & Kallo, 2017). Kecemasan pasien pada masa pre operasi antara lain

dapat berupa khawatir terhadap nyeri setelah pembedahan, perubahan fisik

(menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi normal), keganasan (bila diagnosa

yang ditegakkan belum pasti), operasi akan gagal, mati saat dilakukan

anastesi, mengalami kondisi yang sama dengan orang lain yang mempunyai
4

penyakit yang sama, menghadapi ruang operasi, peralatan bedah dan petugas

(Potter dan Perry, 2010).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan peneliti Bulan Oktober 2019 di

RSUD dr Soediran Mangun Sumarso lama waktu tunggu di ruang tansit

Instalasi Bedah Sentral rata-rata 15-30 menit sedangkan waktu tunggu

sebelum operasi dihitung berdasarkan waktu tunggu pasien sejak diputuskan

operasi elektif dan telah dijadwalkan di kamar operasi sampai

dilaksanakannya tindakan operasi elektif. Standar waktu tunggu sebelum

operasi elektif berdasarkan Indikator Kinerja RSUD dr Soediran mangun

Sumarso Wonogiri adalah 2 (dua) hari. Waktu tunggu operasi elektif menurut

Kepmenkes No. 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Miniman Rumah

Sakit merupakan tenggang waktu yang dimulai dari dokter memutuskan

untuk operasi yang terencana sampai dengan operasi mulai dilaksanakan.

Standar waktu tunggu berdasarkan SPM Rumah Sakit adalah ≤ 2 (dua) hari.

Hasil observasi peneliti saat pasien menunggu operasi di ruang rawat inap

mengalami kecemasan sehingga status hemodinamik pasien kurang stabil

yang mengakibatkan adanya penundaan operasi. Jumlah penundaan operasi

bulan Agustus 2019 terdapat 12 orang sedangkan pada bulan September

meningkat menjadi 17 orang.

Penundaan operasi dikarenakan beberapa faktor, salah satunya

tekanan darah pasien saat waktu tunggu operasi di ruang transit yang tidak

stabil, pasien gelisah dan cemas, hasil laboratorium yang tidak normal

(misalnya GDS terlalu tinggi). Tanda dan gejala kecemasan yang tampak
5

pada pasien di ruang transit antara lain pasien mengalami peningkatan denyut

nadi, tekanan darah naik turun, sesak nafas, tidak kooperatif dan gelisah. Saat

diruang transit pasien dilakukan protesa pre operasi meliputi identifikasi

kecocokan identitas, tindakan dan jenis operasi yang akan dilakukan,

pengecekan obat untuk premed, memastikan tepat lokasi pembedahan dengan

penandaan lokasi, klarifikasi hasil pemeriksaan penunjang terbaru meliputi

rontgent dan laboratorium.

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk meneliti

hubungan waktu tunggu operasi dengan kecemasan pasien pre operasi di

Instalasi Bedah Sentral RSUD dr Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.

1.2. Rumusan Masalah

Tindakan pembedahan yang merupakan salah satu ancaman potensial

maupun aktual pada integeritas seseorang yang dapat membangkitkan

kecemasan ketika waktu tunggu operasi. Pasien saat menunggu waktu

operasi timbul perasaan cemas antara lain dapat berupa khawatir terhadap

nyeri operasi akan gagal, mati saat dilakukan anastesi, mengalami kondisi

yang sama dengan orang lain yang mempunyai penyakit yang sama,

menghadapi ruang operasi, peralatan bedah dan petugas. Rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah adakah hubungan waktu tunggu operasi dengan

kecemasan pasien pre operasi di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr Soediran

Mangun Sumarso Wonogiri?


6

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan waktu tunggu operasi dengan kecemasan pasien pre

operasi di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr Soediran Mangun Sumarso

Wonogiri.

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi karakteristik pasien (jenis kelamin, pendidikan dan

usia)

2. Mengidentifikasi waktu tunggu operasi di Instalasi Bedah Sentral

3. Mengidentifikasi kecemasan pasien pre operasi di Instalasi Bedah

Sentral

4. Menganalisis hubungan waktu tunggu operasi dengan kecemasan

pasien pre operasi di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr Soediran

Mangun Sumarso Wonogiri.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat bagi Institusi pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan

mahasiswa khususnya dalam manajemen kecemasan pasien pre operasi.

1.4.2. Manfaat bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan telaah rumah sakit

untuk memperbaiki standar durasi waktu tunggu pasien operasi.


7

1.4.3. Manfaat bagi perawat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan untuk

perencanaan program penatalaksanaan kecemasan bagi pasien pre operasi.

1.4.4. Manfaat bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi peneliti

selanjutnya untuk melakukan penelitian tindakan keperawatan untuk

menurunkan kecemasan di ruang transit sambil menunggu waktu operasi.

1.4.5. Manfaat bagi peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman terkait kecemasan pasien pre operasi di RSUD dr Soediran

Mangun Sumarso Wonogiri.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori

2.1.2. Kecemasan

2.1.2.1. Pengertian

Kecemasan merupakan keadaan perasaan afektif yang tidak

menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan

orang terhadap bahaya yang akan datang (Lestari, 2015). Kecemasan atau

anxietas adalah rasa khawatir, takut yang tidak jelas sebanya. Kecemasan

merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakan tingkah laku, baim

tingkah laku normal maupun tingkah laku menyimpang. Kecemasan juga

diartikan sebagai masa-masa pelik (Gunarsah & Gunarsah, 2013).

Kecemasan merupakan simtom utama atau penyebab dari simtom-simtom

yang lain atau akibat dari masalah-masalah lain, sebagai tanda gejala dari

gangguan skizofrenia (Semiun, 2010).

2.1.2.2. Penyebab

Kecemasan yang dialami oleh seseorang dapat ditimbulkan dari

adanya sebuah ancaman yang dapat menimbulkan rasa ketakutan dan

akhirnyanya merasa cemas atau khawatir. Kecemasan atau ansietas dapat

ditimbulkan oleh bahaya dari luar dan dari dalam diri seseorang yang

sifat ancamannya itu samar-samar. Bahaya dari dalam bisa timbul bila

8
9

ada sesuatu hal yang tidak dapat diterimanya, misalnya pikiran, perasaan,

keinginan, dan dorongan (Gunarsah & Gunarsah, 2013).

2.1.2.3. Indikator kecemasan

Menurut Kardjono (2009), indikator kecemasan terdiri dari 3 hal

seperti berikut:

a. Perasaan takut yaitu suatu perasaan yang tidak menyenangkan akan

suatu hal yang nyata ataupun hanya berupa khayalan yang dianggap

membahayakan diri.

b. Perasaan was-was yaitu ketika diri memiliki perasaan cemas yang

berlebihan.

c. Perasaan khawatir yaitu suatu keadaan dimana ketika pikiran diri

sering beralih dari fokus permasalahan.

2.1.2.4. Tanda dan gejala

Menurut Lestari (2015) keluhan-keluhan yang sering dikeluhkan orang

yang mengalami ansietas antara lain:

1. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung

2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut

3. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang

4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi menegangkan

5. Keluhan-keluhan somatik misalnya rasa sakit pada otot dan tulang,

pendengaran berdenging (tinitus), berdebar debar, sesak nafas,

gangguan pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala


10

2.1.2.5. Klasifikasi kecemasan

Freud membedakan tiga macam kecemasan yakni kecemasan

realitas, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral atau perasaan-

perasaan bersalah (Hall and Lindsey, 2009)

1. Kecemasan realitas

Tipe pokoknya adalah kecemasan realitas atau rasa takut akan

bahaya-bahaya nyata di dunia luar, kedua tipe kecemasan lain berasal

dari realitas ini.

2. Kecemasan neurotik

Kecemasan neurotik adalah rasa takut jangan-jangan insting-

insting akan lepas dari kendali dan menyebabkan sang pribadi berbuat

sesuatu yang bisa membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik

bukanlah ketakutan terhadap hukuman yang mungkin terjadi jika

suatu insting dipuaskan. Kecemasan neurotik mempunyai dasar dalam

kenyataan sebab dunia sebagaimana diwakili oleh orang tua dan

berbagai autoritas lain akan menghukum anak bila ia melakukan

tindakan-tindakan impulsif.

3. Kecemasan moral

Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap suara hati. Orang-

orang yang super egonya berkembang dengan baik cenderung merasa

bersalah jika mereka yang bertentangan dengan norma moral.

Kecemasan moral juga mempunyai dasar dalam realitas di masa lalu

jika melanggar norma moral dapat diberikan hukuman.


11

2.1.2.6. Proses terjadinya kecemasan

Menurut Lestari (2015) terdapat 2 faktor proses terjadinya kecemasan

antara lain:

1. Faktor predisposisi kecemasan

Penyebab kecemasan dapat dipahami melalui beberapa teori yaitu:

a. Teori psikoanalitik

Menurut Freud kecemasan adalah konflik emosional

yang terjadi antara dua elemen kepribadian id dan superego. Id

mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang,

sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan

dikendalikan oleh norma-norma seseorang. Ego berfungsi

menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan

fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

b. Teori tingkah laku (pribadi)

Teori ini berkaitan dengan pendapat bahwa kecemasan

adalah hasil frustasi, dimana segala sesuatu yang menghalangi

terhadap kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang di

inginkan dapat menimbulkan kecemasan. Faktor presipitasi yang

aktual mungkin adalah sejumlah stressor internal dan eksternal,

tetapi faktor-faktor tersebut bekerja menghambat usaha

seseorang untuk memperoleh kepuasan dan kenyamanan. Selain

itu kecemasan juga sebagai suatu dorongan untuk belajar

berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan.


12

c. Teori keluarga

Menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan

hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga dan jugaterkait

dengan tugas perkembangan individu dalam keluarga Lestari

(2015).

d. Teori biologis

Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus

untuk benzodiazepine. Reseptor ini mungkin membantu

mengatur kecemasan. Penghambat asam aminobutirik gamma

neuroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama

dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan,

sebagaimana halnya dengan endorfin. Selain itu, telah

dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai

akibat nyata sebagai predisposisi terhadap kecemasan.

Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan fisik dan

selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi

stressor.

2. Faktor presipitasi kecemasan

Faktor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau

eksternal. Ada dua kategori faktor pencetus kecemasan, yaitu

ancaman terhadap integritas fisik dan terhadap sistem diri menurut

Lestari (2015):
13

a. Ancaman terhadap integritas fisik

Ancaman pada kategori ini meliputi ketidakmampuan

fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk

melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Sumber internal dapat

berupa kegagalan mekanisme fisiologis seperti jantung, sistem

imun, regulasi temperatur, perubahan biologis yang normal

seperti kehamilan dan penuaan/ SUmber eksternal dapat berupa

infeksi virus atau bakteri, zat polutan, luka trauma. Kecemasan

dapat timbul akibat kekhawatiran terhadap tindakan operasi

yang mempengaruhi integritas tubuh secara keseluruhan.

b. Ancaman terhadap sistem tubuh

Ancaman pada kategori ini dapat membahayakan

identitas, harga diri dan fungsi sosial seseorang. Sebagai internal

dapat berupa kesulitan melakukan hubungan interpersonal di

rumah, di tempat kerja dan di masyarakat. Sumber eksternal

dapa berupa kehilangan pasangan, orangtua, teman, perubahan

sttus pekerjaan, dilema etik yang timbul dari aspek religius

seseorang, tekanan dari kelompok sosial atau budaya. Ancaman

terhadap sistem diri terjadi saat tindakan operasi dilakukan

sehingga akan menghasilkan suatu kecemasan.

2.1.2.7. Faktor yang mempengaruhi kecemasan

Menurut Stuart & Laraia (2013), faktor-faktor yang

mempengaruhi kecemasan antara lain :


14

1. Faktor internal

a. Pengalaman

Misalnya seseorang yang memiliki pengalaman dalam

menjalani suatu tindakan maka dalam dirinya akan lebih mampu

beradaptasi atau kecemasan yang timbul tidak terlalu besar.

b. Respon terhadap stimulus

Kemampuan seseorang menelaah rangsangan atau besarnya

rangsangan yang diterima akan mempengaruhi kecemasan yang

timbul.

c. Usia

Pada usia yang semakin tua maka seseorang semakin

banyak pengalamnnya sehingga pengetahuannya semakin

bertambah. Karena pengetahuannya banyak maka seseorang akan

lebih siap dalam menghadapi sesuatu.

d. Jenis kelamin

Jenis kelamin perempuan lebih cemas akan

ketidakmampuannya dibanding dengan jenis kelamin laki-laki,

laki-laki lebih aktif, eksploratif, sedangkan perempuan lebih

sensitif.

2. Faktor eksternal

a. Dukungan keluarga

Adanya dukungan keluarga akan menyebabkan seorang

lebih siap dalam menghadapi permasalahan.


15

b. Kondisi lingkungan

Kondisi lingkungan sekitar ibu dapat menyebabkan

seseorang menjadi lebih kuat dalam menghadapi permasalahan,

misalnya lingkungan pekerjaan atau lingkungan bergaul yang tidak

memberikan cerita negatif.

2.1.2.8. Pengukuran kecemasan

Alat instrumen pengukuran tingkat kecemasan ada beberapa

metode yaitu sebagai berikut:

1. Zung Self-Rating Anxiety Scale (SAS/ SRAS)

Instrumen kecemasan dapat diukur menggunakan skala ukur

yang sudah dibakukan misalnya Zung Self-Rating Anxiety Scale

(SAS/ SRAS). Zung Self-Rating Anxiety Scale adalah penilaian

kecemasan pada pasien dewasa yang dirancang oleh William W.K.

Zung, dikembangkan berdasarkan gejala kecemasan dalam

diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-II). 

Terdapat 20 pertanyaan, dimana setiap pertanyaan dinilai 1-4 (1:

tidak pernah, 2: kadang-kadang, 3: sebagaian waktu, 4: hampir setiap

waktu). Terdapat 15 pertanyaan ke arah peningkatan kecemasan dan

5 pertanyaan ke arah penurunan kecemasan (Zung, 2016). Rentang

penilaian 20-80, dengan pengelompokan antara lain :

a. Skor 20-44 : normal/tidak cemas

b. Skor 45-59 : cemas ringan

c. Skor 60-74 : cemas sedang


16

d. Skor 75-80 : cemas berat

2. Visual Facial Anxiety Scale (VFAS)

Menurut Cao et all. (2017) Visual Facial Anxiety Scale atau

VFAS) adalah suatu instrumen untuk mengkaji tingkatan kecemasan

pasien pre operasi yang sangat mudah digunakan dan tidak

membutuhkan waktu yang kurang dari 5 menit. Skala ini memberi

pasien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi kategori cemas yang

dirasakan. VFAS dapat merupakan pengukuran tingkat kecemasan

yang cukup sensitif karena pasien dapat memilih gambar muka yang

mana yang sesuai dengan kecemasan yang pasien rasakan.

Gambar 2.1 Visual Facial Anxiety Scale

3. Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A)

Alat ukur ini sebelumnya digunakan oleh Ramdan (2018)

yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki nilai validity

construct pearson correlation 0,529-0,727 dan reliabilitas 0,756

digunakan untuk mengukur tingkat stres perawat, alat ukur ini

merupakan penerjemahan dari versi asli dari Hamilton (1959) terdiri

dari 14 kelompok gejala meliputi:

a. Perasaan cemas : cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri

dan mudah tersinggung.


17

b. Ketegangan: merasa tegang, lesu, tidak dapat beristirahat dengan

tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah.

c. Ketakutan: pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada

binatang besar, pada keramaian lalu lintas dan pada kerumunan

orang banyak.

d. Gangguan tidur: sukar untuk tidur, terbangun pada malam hari,

tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi, mimpi

buruk dan mimpi yang menakutkan.

e. Gangguan kecerdasan: sukar berkonsentrasi, daya ingat

menurun dan daya ingat buruk.

f. Perasaan depresri (murung): hilangnya minat, berkurangnya

kesenangan pada hobi, sedih, terbangun pada saat dini hari dan

perasaan berubah-ubah sepanjang hari.

g. Gejala somatik/ fisik (otot): sakit dan nyeri di otot, kaku,

kedutan otot, gigi gemerutuk dan suara tidak stabil.

h. Gejala somatik/ fisik (sensorik): tinnitus (telinga berdenging),

penglihatan kabur, muka merah atau pucat, merasa lemas dan

perasaan ditusuk-tusuk.

i. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah): takikardi

(denyut jantung cepat), berdebar-debar, nyeri di dada, denyut

nadi mengeras, rasa lesu/ lemas seperti mau pingsan dan detak

jantung menghilang/ berhenti sekejap.


18

j. Gejala respiratori (pernafasan): rasa tertekan atau sempit di

dada, rasa tercekik, sering menarik nafas pendek/ sesak.

k. Gejala gastrointestinal (pencernaan): sulit menelan, perut

melilit, gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah

makan, perasaan terbakar di perut, rasa penuh atau kembung,

mual, muntah, BAB konsistensinya lembek, sukar BAB

(konstipasi) dan kehilangan berat badan.

l. Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin): sering buang air

kecil, tidak dapat menahan BAK, tidak datang bulan (tidak dapat

haid), darah haid berlebihan, darah haid sangat sedikit, masa

haid berkepanjangan, masa haid sangat pendek, haid beberapa

kali dalam sebulan, menjadi dingin,ejakulasi dini, ereksi

melemah, ereksi hilang dan impotensi.

m. Gejala autoimun: mulut kering, muka merah, mudah

berkeringat, kepala pusing, kepala terasa berat, kepala terasa

sakit dan bulu-bulu berdiri.

n. Tingkah laku/ sikap: gelisah, tidak tenang, jari gemetar, kening/

dahi berkerut, wajah tegang/ mengeras, nafas pendek dan cepat

serta wajah merah.

Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka

antara 0-4, dengan penilaian sebagai berikut :

a. Nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan)

b. Nilai 1 = gejala ringan


19

c. Nilai 2 = gejala sedang

d. Nilai 3 = gejala berat

e. Nilai 4 = gejala berat sekali/ panik

Masing masing nilai angka (score) dari 14 kelompok gejala

tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat

diketahui derajat kecemasan seseorang, yaitu total nilai:

a. Kurang dari 14 = tidak ada kecemasan

b. 14-20 = kecemasan ringan

c. 21-27 = kecemasan sedang

d. 28-4 = kecemasan berat

e. 42-56 = kecemasan berat sekali

2.1.2. Pre operasi

2.1.2.1. Pengertian

Menurut Maryunani (2014) beberapa pengertian keperawatan

perioperatif, antara lain:

1. Keperawatan perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan

dengan pengalaman pembedahan pasien.

2. Perawatan pre operaif mrupakan tahap pertama dari perawatan

perioperatif yang dimulai sejak pasien di terima masuk di ruang

terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja

operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.


20

Pre operatif dimulai dari klien tiba diruang penerimaan sampai

dengan klien masuk kamar bedah. Intra operatif dimulai dari klien masuk

kamar bedah dan berakhir sampai dengan klien masuk ruang pemulihan

atau unit pelayanan post anestesi (HIPKABI, 2014).

2.1.2.2. Persiapan mental

Menurut Sjamsuhidajat dan Jong (2017) mental penderita harus

dipersiapkan untuk menghadapi pembedahan karena selalu ada rasa

cemas atau takut terhadap penuntikan, nyeri luka, anestesi, bahkan

terhadap kemungkinan cacat atau mati, dalam hal ini hubungan baik

antara penderita, keluarga dan dokter sangat menentukan. Kecemasan

merupakan reaksi normal yang harus dihadapi dengan sikap terbuka dan

membutuhkan penjelasan dari dokter dan petugas pelayanan kesehatan

lainnya. Pemahaman akan pembedahan dan persiapan mental yang baik

akan membuat penderita dan keluarganya tenang.

2.1.2.3. Persiapan pre operasi

Pengkajian secara integral dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik,

biologis dan psikologis sangat diperlukan untuk keberhasilan dan

kesuksesan suatu operasi. Persiapan sebelum operasi sangat penting

dilakukan untuk mendukung kesuksesan tindakan operasi. Persiapan

operasi yang dapat dilakukan diantaranya persiapan fisiologis, dimana

persiapan ini merupakan persiapan yang dilakukan mulai dari persiapan

fisik, persiapan penunjang, pemerikaan status anastesi sampai informed

consent. Persiapan fisiologis atau persiapan mental merupakan hal yang


21

tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental

pasien yang tidak siap atau lebih dapat berpengaruh terhadap kondisi

fisik pasien (Brunner & Suddarth, 2018).

1. Persiapan fisik

Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap

pasien sebelum operasi antara lain:

a. Status kesehatan fisik secara umum

Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan

pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas

klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat

kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status

hemodinamika, status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi

ginjal dan hepatik, fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-

lain. Selain itu pasien harus istirahat yang cukup karena dengan

istirahat yang cukup pasien tidak akan mengalami stres fisik,

tubuh lebih rileks sehingga bagi pasien yang memiliki riwayat

hipertensi, tekanan darahnya dapat stabil dan pasien wanita tidak

akan memicu terjadinya haid lebih awal.

b. Status nutrisi

Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi

badan dan berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas,

kadar protein darah (albumin dan globulin) dan keseimbangan

nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi harus di koreksi


22

sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup

untuk perbaikan jaringan. Kondisi gizi buruk dapat

mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi pasca

operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat di

rumah sakit (Brunner & Suddarth, 2018).

c. Keseimbangan cairan dan elektrolit

Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya

dengan input dan output cairan. Demikian juga kadar elektrolit

serum harus berada dalam rentang normal. Keseimbangan cairan

dan elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal

berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi

metabolik obat- obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka

operasi dapat dilakukan dengan baik.

d. Pencukuran daerah operasi

Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk

menghindari terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan

pembedahan karena rambut yang tidak dicukur dapat menjadi

tempat bersembunyi kuman dan juga mengganggu/ menghambat

proses penyembuhan dan perawatan luka. Meskipun demikian

ada beberapa kondisi tertentu yang tidak memerlukan

pencukuran sebelum operasi, misalnya pada pasien luka incisi

pada lengan. Tindakan pencukuran (scheren) harus dilakukan

dengan hati- hati jangan sampai menimbulkan luka pada daerah


23

yang dicukur. Sering kali pasien di berikan kesempatan untuk

mencukur sendiri agar pasien merasa lebih nyaman. Daerah

yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis operasi dan

daerah yang akan dioperasi (Brunner & Suddarth, 2018).

e. Personal hygiene

Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan

operasi karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber

kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang di

operasi. Pada pasien yang kondisi fisiknya kuat diajurkan untuk

mandi sendiri dan membersihkan daerah operasi dengan lebih

seksama. Jika pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan

personal hygiene secara mandiri maka perawat akan

memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan personal hygiene.

f. Pengosongan kandung kemih

Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan

melakukan pemasangan kateter untuk pengosongan isi bladder,

tindakan kateterisasi juga diperlukan untuk mengobservasi

balance cairan.

g. Latihan pra operasi

Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum

operasi, hal ini sangat penting sebagai persiapan pasien dalam

menghadapi kondisi pasca operasi, seperti: nyeri daerah operasi,


24

batuk dan banyak lendir pada tenggorokan. Latihan-latihan yang

diberikan pada pasien sebelum operasi, antara lain :

1) Latihan nafas dalam

Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien

untuk mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat

membantu pasien relaksasi sehingga pasien lebih mampu

beradaptasi dengan nyeri dan dapat meningkatkan kualitas

tidur. Selain itu teknik ini juga dapat meningkatkan ventilasi

paru dan oksigenasi darah setelah anastesi umum. Dengan

melakukan latihan tarik nafas dalam secara efektif dan

benar maka pasien dapat segera mempraktekkan hal ini

segera setelah operasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan

pasien.

2) Latihan batuk efektif

Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi

klien terutama klien yang mengalami operasi dengan

anestesi general. Karena pasien akan mengalami

pemasangan alat bantu nafas selama dalam kondisi

teranestesi. Sehingga ketika sadar pasien akan mengalami

rasa tidak nyaman pada tenggorokan. Dengan terasa banyak

lendir kental di tenggorokan. Latihan batuk efektif sangat

bermanfaat bagi pasien setelah operasi untuk mengeluarkan

lendir atau sekret tersebut (Brunner & Suddarth, 2018).


25

3) Latihan gerak sendi

Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting

bagi pasien sehingga setelah operasi, pasien dapat segera

melakukan berbagai pergerakan yang diperlukan untuk

mempercepat proses penyembuhan. Pasien/ keluarga pasien

seringkali mempunyai pandangan yang keliru tentang

pergerakan pasien setelah operasi. Banyak pasien yang

tidak berani menggerakkan tubuh karena takut jahitan

operasi sobek atau takut luka operasinya lama sembuh.

Pandangan seperti ini jelas keliru karena justru jika pasien

selesai operasi dan segera bergerak maka pasien akan lebih

cepat merangsang usus (peristaltik usus) sehingga pasien

akan lebih cepat kentut/ flatus. Keuntungan lain adalah

menghindarkan penumpukan lendir pada saluran pernafasan

dan terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya

dekubitus. Tujuan lainnya adalah memperlancar sirkulasi

untuk mencegah stasis vena dan menunjang fungsi

pernafasan optimal.

2. Persiapan penunjang

Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari tindakan pembedahan. Tanpa adanya hasil

pemeriksaan penunjang, maka dokter bedah tidak mungkin bisa

menentukan tindakan operasi yang harus dilakukan pada pasien.


26

Pemeriksaan penunjang yang dimaksud adalah berbagai pemeriksaan

radiologi, laboratorium maupun pemeriksaan lain seperti EKG, dan

lain-lain. Sebelum dokter mengambil keputusan untuk melakukan

operasi pada pasien, dokter melakukan berbagai pemeriksaan terkait

dengan keluhan penyakit pasien sehingga dokter bisa menyimpulkan

penyakit yang diderita pasien. Setelah dokter bedah memutuskan

untuk dilakukan operasi maka dokter anstesi berperan untuk

menentukan apakah kondisi pasien layak menjalani operasi. Untuk

itu dokter anastesi juga memerlukan berbagai macam pemerikasaan

laboratorium terutama pemeriksaan masa perdarahan (bledding time)

dan masa pembekuan (clotting time) darah pasien, elektrolit serum,

hemoglobin, protein darah, dan hasil pemeriksaan radiologi berupa

foto thoraks dan EKG.

3. Pemeriksaan status anestesi

Pemeriksaan status fisik untuk pembiusan perlu dilakukan

untuk keselamatan selama pembedahan. Sebelum dilakukan anastesi

demi kepentingan pembedahan, pasien akan mengalami pemeriksaan

status fisik yang diperlukan untuk menilai sejauh mana resiko

pembiusan terhadap diri pasien. Pemeriksaan yang biasa digunakan

adalah pemeriksaan dengan menggunakan metode ASA (American

Society of Anasthesiologist). Pemeriksaan ini dilakukan karena obat

dan teknik anastesi pada umumnya akan mengganggu fungsi

pernafasan, peredaran darah dan sistem saraf.


27

4. Inform consent

Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang

terhadap pasien, hal lain yang sangat penting terkait dengan aspek

hukum dan tanggung jawab dan tanggung gugat, yaitu Inform

Consent. Baik pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa

tindakan medis, operasi sekecil apapun mempunyai resiko. Setiap

pasien yang akan menjalani tindakan medis, wajib menuliskan surat

pernyataan persetujuan dilakukan tindakan medis (pembedahan dan

anastesi).

Inform consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit

menjunjung tinggi aspek etik hukum, maka pasien atau orang yang

bertanggung jawab terhadap pasien wajib untuk menandatangani

surat pernyataan persetujuan operasi. Artinya apapun tindakan yang

dilakukan pada pasien terkait dengan pembedahan, keluarga

mengetahui manfaat dan tujuan serta segala resiko dan

konsekuensinya. Pasien maupun keluarganya sebelum

menandatangani surat pernyataan tersebut akan mendapatkan

informasi yang detail terkait dengan segala macam prosedur

pemeriksaan, pembedahan serta pembiusan yang akan dijalani. Jika

petugas belum menjelaskan secara detail, maka pihak pasien/

keluarganya berhak untuk menanyakan kembali sampai betul- betul

paham. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena jika tidak

maka penyesalan akan dialami oleh pasien/ keluarga setelah tindakan


28

operasi yang dilakukan ternyata tidak sesuai dengan gambaran

keluarga.

5. Persiapan mental/ psikis

Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya

dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap

atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan

pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual pada

integeritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres

fisiologis maupun psikologis (Barbara C. Long, 2010). Perubahan

fisiologis yang muncul akibat kecemasan dan ketakutan misalkan

pasien dengan riwayat hipertensi jika mengalami kecemasan

sebelum operasi dapat mengakibatkan pasien sulit tidur dan tekanan

darahnya akan meningkat sehingga operasi bisa dibatalkan.

Ketakutan dan kecemasan yang mungkin dialami pasien

dapat dideteksi dengan adanya perubahan-perubahan fisik seperti:

meningkatnya frekuensi denyut jantung dan pernafasan, tekanan

darah, gerakan-gerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan

yang lembab, gelisah, menayakan pertanyaan yang sama berulang

kali, sulit tidur, dan sering berkemih. Perawat perlu mengkaji

mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien dalam

menghadapi stres. Disamping itu perawat perlu mengkaji hal-hal

yang bisa digunakan untuk membantu pasien dalam menghadapi


29

masalah ketakutan dan kecemasan ini, seperti adanya orang terdekat,

tingkat perkembangan pasien, faktor pendukung/ support system.

2.1.2.4. Peran perawat dalam asuhan keperawatan perioperatif

Menurut Maryunani (2014) beberapa peran perawat dalam asuhan

keperawatan pada pasien menjelang pembedahan (pre operasi):

1. Perawat memiliki peran aktif dalam persiapan psikologis maupun

fisiologis pasien menjelang pembedahan, saat pembedahan maupun

setelah pembedahan

2. Perawat memberikan penjelasan pada pasien pre operasi mengenai

teknik pengurangan stress, hal-hal yang dihadapi pada masa setelah

operasi dan penggunaan peralatan post operasi khusus

3. Di beberapa rumah sakit, telah terdapat jadwal dimana perawat

kamar operasi untuk melakukan visit/ kunjungan terlebih dahulu

pada pasiennya yang akan di operasi untuk mengkaji evaluasi pasien

terhadap intervensi pembedahan

4. Menjelang pembedahan, dokter bedah menjelaskan metode dan

tujuan mengenai pembedahan yang akan dilaukan pada pasien dan

keluarganya

5. Tanpa memandang operasi atau pembedahan apa yang dilakukan,

perawat memiliki peran penting dalam mempersiapkan pasien untuk

pembedahan, mempertahankan surveilans pasien selama

pembedahan, mencegah komplikasi dan memfasilitasi pemulihan

setelah pembedahan
30

2.1.3. Waktu tunggu operasi

2.1.3.1. Definisi

Menurut Menteri Kesehatan Repuplik Indonesia Nomor

129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar pelayanan minimal rumah sakit

waktu tunggu operasi adalah tenggang waktu mulai dokter memutuskan

untuk operasi yang terencana sampai dengan operasi mulai dilaksanakan.

Tujuannya mengetahui tergambarnya kecepatan penanganan antrian

pelayanan bedah. Standar waktu tunggu operasi di ruangan rawat inap

yaitu ≤ 2 hari.

Menurut Azwar (1993) yang dikutip dalam Fitri (2014) waktu

tunggu merupakan salah satu dari aspek mutu menurut dimensi pasien.

Waktu tunggu dapat bervariasi berdasarkan saat memulai penelitian

sampai dengan akhir penelitian. Waktu tunggu operasi elektif menurut

Indikator Kinerja Rumah Sakit Badan Layanan Umum 2013 adalah rata-

rata lama menunggu sebelum dioperasi elektif dalam hitungan hari.

Waktu tunggu sebelum operasi dihitung berdasarkan waktu tunggu

pasien sejak diputuskan operasi elektif dan telah dijadwalkan di kamar

operasi sampai dilaksanakannya tindakan operasi elektif. Standar waktu

tunggu sebelum operasi elektif berdasarkan Indikator Kinerja RS BLU

Tahun 2013 adalah 2 (dua) hari.


31

2.1.3.2. Faktor yang mempengaruhi waktu tunggu

Menurut Siregar (2006) yang dikutip dalam Fitri (2014) terdapat

5 (lima) hal yang menyebabkan keterlambatan penanganan kasus pra

bedah yaitu:

1. Birokrasi administrasi

2. Lamanya pemasangan instrumentasi prabedah

3. Penanganan pasien yang tidak terorganisir

4. Ketidaksiapan ruang perawatan

5. Lamanya penanganan/konsultasi anestesi

Menurut Siregar (2006) menyebutkan bahwa penekanan bukanlah

pada waktu (golden hour), tetapi pada penanggulangan yang baik untuk

mencapai hasil yang maksimal.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Askar (2011),

beberapa penyebab keterlambatan operasi elektif di Instalasi Kamar

Bedah adalah sebagai berikut:

1. Operator datang terlambat

2. Keterlambatan pelaksanaan operasi sebelumnya

3. Adanya operasi cito di kamar operasi yang sudah dijadwalkan untuk

operasi elektif sebelumnya

4. Pasien yang akan dioperasi terlambat diantar ke ruangan operasi dari

kamar perawatan. Hal ini dikarenakan persiapan operasi yang belum

selesai, yaitu persiapan medis.

5. Pasien menunggu kedatangan keluarga


32

6. Problem manajerial

7. Kondisi pasien
33

2.2. Keaslian Penelitian

Tabel 2.1 Keaslian Penelitian


Nama Metodologi
No Judul Hasil penelitian
Pengarang penelitian
1 Tambengi, Hubungan waktu Desain penelitian Hasil penelitian uji chi
Mulyadi tunggu dengan deskriptif analitik square diperoleh nilai
dan Kallo kecemasan pasien dengan signifikan p = 0,011 < 0,05.
(2017) di Unit Gawat pendekatan Cross Hasil ini menunjukkan bahwa
Daurat RSU Sectional dan data terdapat hubungan antara
GMIM Pancaran dikumpulkan dari waktu tunggu dengan
Kasih Manado responden dengan kecemasan pasien di Unit
menggunakan Gawat Darurat RSU GMIM
kusioner Pancaran Kasih Manado.
kecemasan STAI
dan lembar
observasi.
2 Ahsan, Faktor-faktor yang Metode penelitian Hasil penelitian menunjukkan
Lestari dan mempengaruhi ini adalah faktor internal yang paling
Sriati kecemasan pre menggunakan besar menyebabkan
(2017) operasi pada desain deskriptif kecemasan adalah faktor
pasien sectio analitik dengan umur dan pekerjaan (46,7%),
caecarea di ruang pendekatan Cross sedangkan faktor eksternal
Instalasi Sectional. yang paling besar
BedahSentral menyebabkan kecemasan
RSUD Kanjuruhan adalah dukungan keluarga
Kepanjen (60,0%).Kesimpulan
Kabupaten Malang Terdapat hubungan yang
signifikan yang sarah antara
faktor internal dan eksternal
terhadap kecemasan pre
operasi sectio caesarea di
RSUD Kanjuruhan Kepanjen
3 Uskenat, Perbedaan tingkat Desain penelitian Uji yang digunakan dalam
Puguh dan kecemasan pada ini menggunakan penelitian ini adalah paired
Solechan pasien pre operasi Quasi sample t-test. Hasil penelitian
(2012) dengan general eksperimental, menunjukkan terdapat
anestesi sebelum dengan rancangan perbedaan yang signifikan
dan sesudah penelitian “one antara tingkat kecemasan
diberikan relaksasi group pre test- sebelum dan sesudah
otot progresif di post test design diberikan relaksasi otot
RS Panti Wilasa progresif dengan p= 0,000
Citarum Semarang atau < 0,05
34

2.3. Kerangka Teori

Persiapan pre operasi: Pre Operasi


Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan status Waktu tunggu operasi
anestesi
Informed consent
Persiapan mental Kecemasan
psikis

Tingkat kecemasan:
Faktor yang mempengaruhi Tidak cemas
waktu tunggu operasi: Cemas ringan
Lamanya Cemas sedang
penanganan/konsultasi Cemas berat/panik
anestesi
Operator datang
terlambat
Keterlambatan Tanda gejala kecemasan:
pelaksanaan operasi Simtom suasana hati
sebelumnya Simtom kognitif
Adanya operasi cito Simtom somatik
Kondisi pasien

Indikator kecemasan:
Faktor yang mempengaruhi
Perasaan takut
kecemasan:
Perasaan was-was
Pengalaman
Perasaan khawatir
Respon terhadap
stimulus
Usia Keterangan :
Jenis kelamin
Dukungan keluarga : Tidak diteliti
Kondisi lingkungan
: Diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber: Lestari (2015), Semiun (2010), Kardjono (2009), Zung (2016),
Maryunani (2014), Brunner & Suddarth (2018)
35

2.4. Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel dependen

Waktu tunggu operasi Kecemasan

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

2.5. Hipotesis

Menurut Sugiyono (2013), hipotesis merupakan jawaban sementara

terhadap rumusan masalah penelitian. Hipotesa dalam penelitian ini yaitu :

H0 : Tidak ada hubungan waktu tunggu operasi dengan kecemasan pasien

pre operasi di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr Soediran Mangun

Sumarso Wonogiri

H1 : Ada hubungan waktu tunggu operasi dengan kecemasan pasien pre

operasi di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr Soediran Mangun

Sumarso Wonogiri
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan

rancangan penelitian korelasional (hubungan atau asosiasi) yaitu penelitian

yang mengkaji hubungan antara variabel, menjelaskan suatu hubungan,

memperkirakan dan menguji berdasarkan teori yang ada (Nursalam, 2013).

Pendekatan penelitian yang digunakan menggunakan cross sectional,

merupakan jenis penelitian yag menekankan waktu pengukuran data variabel

independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2017).

Penelitian ini untuk mencari hubungan waktu tunggu operasi dengan

kecemasan pasien pre operasi di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr Soediran

Mangun Sumarso Wonogiri.

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang memenuhi

kriteria penelitian yang telah ditetapkan. Populasi penelitian ini pada bulan

Desember 2019 pasien yang menjalani tindakan operasi sejumlah 118

pasien.

36
37

3.2.2. Sampel

1. Teknik sampling

Sampel yaitu bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2013). Teknik pengambilan sampel

menggunakan teknik nonprobability sampling (tidak memberikan

peluang yang sama) yaitu sampling purposive dengan menentukan

kriteria yang telah ditetapkan. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi

yaitu sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi :

Kriteria inklusi adalah kriteria atau standar yang ditetapkan

sebelum penelitian atau penelaahan dilakukan. Kriteria inklusi

digunakan untuk menentukan apakah seseorang dapat berpartisipasi

dalam studi penelitian atau apakah penelitian individu dapat

dimasukkan dalam penelaahan sistematis (Hidayat, 2011). Kriteria

inklusi dalam penelitian ini yaitu:

1) Mampu membaca dan menulis dengan baik

2) Sehat jasmani

3) Semua jenis pembiusan baik dengan GA atau RA

4) Kooperatif dalam penelitian

5) Berusia > 18 tahun

b. Kriteria eksklusi:

Kriteria eksklusi atau kriteria pengecualian adalah kriteria

atau standar yang ditetapkan sebelum penelitian atau penelaahan.


38

Kriteria eksklusi digunakan untuk menentukan apakah seseorang

harus berpartisipasi dalam studi penelitian atau apakah penelitian

individu harus dikecualikan dalam tinjauan sistematis. Kriteria

membantu mengidentifikasi peserta yang sesuai (Hidayat, 2011).

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu:

1) Pasien penurunan kesadaran

2) Pasien dengan penyakit psikotik

3) Pasien gelisah

2. Jumlah sampel

Pengambilan sampel dihitung dengan rumus Slovin:

Keterangan :

n = Sampel

N = Populasi

d = Tingkat Kesalahan (5%)

Berdasarkan rumus diatas jumlah sampel yang diambil

sebanyak 91 orang.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

3.3.1. Tempat Penelitian

Tempat/ lokasi adalah tempat yang digunakan untuk pengambilan

data selama kasus berlangsung (Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini akan


39

dilaksanakan di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr Soediran Mangun

Sumarso Wonogiri.

3.3.2. Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Maret 2020.

3.4 Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran

Menurut Nursalam (2014) Variabel adalah perilaku atau karakteristik

yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda dan manusia) dari

berbagai level abstrak yang didefinisikan sebagai suatu fasilitas untuk

pengukuran atau manipulasi suatu penelitian. Jenis variabel pada penelitian

ini diklasifikasikan menjadi 2 variabel yaitu variabel independen (bebas),

variabel yang mempengaruhi atau nilainya menentukan variabel lainnya dan

dapat di ukur untuk diamati, dalam penelitian ini yang menjadi variabel

independen adalah waktu tunggu operasi. Variabel kedua adalah variabel

dependen (terikat), variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan oleh

variabel lain, dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah

kecemasan.

Tabel 3.1 Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran


Nama
Pengertian Indikator Alat Ukur Skala
Variabel
Variabel Waktu yang 1. Normal:
independen: dibutuhkan pasien ≤ 2 hari
Waktu tunggu untuk menunggu 2. Lama: Standar
operasi > 2 hari pelayanan
operasi di mulai
minimal Ordinal
sejak pasien Rumah
dinyatakan akan Sakit
dioperasi oleh dokter
(Kemenkes, 2008)
40

Nama
Pengertian Indikator Alat Ukur Skala
Variabel
Variabel Rasa kekhawatiran 1. Tidak cemas:
dependen: yang dirasakan 20-44
Kecemasan pasien saat berada di 2. Cemas ringan:
ruang transit 45-59
instalasi bedah 3. Cemas sedang: Kuesioner Ordinal
sentral dalam 60-74
menunggu 4. Cemas berat:
pelaksanaan operasi 75-80
(Lestari, 2015)

3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

3.5.1. Alat Penelitian

Instrumen penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner adalah

sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi

dari responden dalam arti laporan tentang hal-hal yang dia ketahui

(Arikunto, 2010).

1. Instrumen Kecemasan

Instrumen kecemasan dapat diukur menggunakan skala ukur

yang sudah dibakukan yaitu Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-

A). Alat ukur ini sebelumnya digunakan oleh Ramdan (2018) yang

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki nilai validity

construct pearson correlation 0,529-0,727 dan reliabilitas 0,756.

Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka antara 0-4,

dengan penilaian sebagai berikut :

a. Nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan)

b. Nilai 1 = gejala ringan

c. Nilai 2 = gejala sedang


41

d. Nilai 3 = gejala berat

e. Nilai 4 = gejala berat sekali/ panik

Masing masing nilai angka (score) dari 14 kelompok gejala

tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat

diketahui derajatkecemasan seseorang, yaitu: total nilai (score):

a. Kurang dari 14 = tidak ada kecemasan

b. 14-20 = kecemasan ringan

c. 21-27 = kecemasan sedang

d. 28-4 = kecemasan berat

e. 42-56 = kecemasan berat sekali

2. Lembar pengkajian waktu tunggu operasi

Waktu tunggu operasi di susun oleh peneliti menjadi 3 kategori yaitu:

a. Waktu tunggu normal : ≤ 2 hari

b. Waktu tunggu lama : > 2 hari

3.5.2. Cara Pengumpulan Data

1. Setelah ujian proposal dan judul disetujui oleh penguji, peneliti

mengajukan F.07/ permohonan penelitian.

2. Membuat surat ijin penelitian dari STIKes Kusuma Husada Surakarta.

3. Surat ijin diberikan kepada Direktur RSUD dr Soediran Mangun

Sumarso Wonogiri.

4. Setelah menerima surat balasan ijin penelitian dari Direktur RSUD dr

Soediran Mangun Sumarso Wonogiri peneliti mulai untuk melakukan

penelitian.
42

5. Peneliti menemui pasien dan menjelaskan tujuan penelitian.

6. Peneliti memilih responden sesuai dengan kriteria, jika pasien setuju

di minta untuk tanda tangan di lembar informed consent yang

disediakan oleh peneliti dan diberikan nomor responden pada lembar

kuesioner.

7. Memberikan kuesioner dengan menjelaskan cara pengisian kuesioner

kecemasan.

8. Peneliti mengisi lama waktu tunggu operasi pada lembar pengkajian.

3.6 Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data

3.6.1. Pengolahan data meliputi :

Menurut Notoatmodjo (2012), setelah data terkumpul, maka

langkah yang dilakukan berikutnya adalah pengolahan data. Sebelum

melaksanakan analisa data beberapa tahapan harus dilakukan terlebih

dahulu guna mendapatkan data yang valid sehingga saat menganalisa data

tidak mendapat kendala. Langkah-langkah pengolahan yaitu:

1. Editing data

Memastikan kelengkapan dan kejelasan setiap aspek yang

diteliti, yaitu dengan melakukan pengecekan terhadap kuesioner

untuk memastikan bahwa kuesioner telah lengkap (Notoatmodjo,

2012).
43

2. Coding data

Teknik coding ini digunakan untuk memudahkan dalam

proses analisis data. Penggunaan kode yang sudah ditetapkan atau

dirumuskan sebelumnya digunakan untuk mempermudah dalam

melakukan tabulasi dan analisis data. Adapun koding data yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a. Jenis kelamin;

Kode (1) laki-laki

Kode (2) perempuan

b. Usia (WHO, 2019);

Kode (1) = < 5 tahun

Kode (2) = 5-14 tahun

Kode (3) = 15-29 tahun

Kode (4) = 30-49 tahun

Kode (5) = 50-59 tahun

Kode (6) = 60-69 tahun

Kode (7) = > 70 tahun

c. Pendidikan;

Kode (1) Tidak sekolah

Kode (2) Dasar (SD, SMP)

Kode (3) Menengah (SMA)

Kode (4) Perguruan tinggi


44

d. Waktu tunggu operasi;

Kode (1) Normal

Kode (2) Lama

e. Kecemasan;

Kode (1) Tidak cemas

Kode (2) Cemas ringan

Kode (3) Cemas sedang

Kode (4) Cemas berat

3. Tabulasi data

Memasukkan data kedalam diagram atau tabel-tabel dengan

mengatur frekuensi setiap variabel yang disajikan dalam bentuk

diagram presentase.

4. Entri data

Data dari kuesioner diolah dengan uji statistik.

3.6.2. Analasis Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat adalah analisa yang dilakukan untuk

menganalisis tiap variabel dari hasil penelitian yang disajikan dalam

bentuk distribusi yang dinarasikan (Notoatmodjo, 2012). Analisa

univariat dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur,

pendidikan, waktu tunggu operasi dan kecemasan pasien.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk

mengetahui keterkaitan dua variabel yang saling berhubungan.


45

Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji Rank Spearman.

Uji Rank Spearman merupakan uji non parametris digunakan apabila

ingin mengetahui kesesuaian antara 2 objek atau vareabel dimana

skala datanya adalah ordinal. Intepretasi hasil uji statistik bila

(Riwidikdo, 2012):

p value > α (0,05) maka H0 diterima atau H1 ditolak, artinya

tidak ada hubungan waktu tunggu operasi dengan kecemasan pasien

pre operasi di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr Soediran Mangun

Sumarso Wonogiri.

p value ≤ α (0,05) maka H0 ditolak atau H1 diterima, yang

berarti ada hubungan waktu tunggu operasi dengan kecemasan pasien

pre operasi di Instalasi Bedah Sentral RSUD dr Soediran Mangun

Sumarso Wonogiri.

3.7 Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian seorang peneliti harus menerapkan etika

penalitian Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain adalah sebagai

berikut (Hidayat, 2011):

1. Informed consent

Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden

peneliti dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent

tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan

lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed consent


46

adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui

dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka harus menanda tangani

lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus

menghormati hak pasien. Beberapa informasi yang harus ada dalam

informed consent tersebut antara lain: partisipasi perawat, tujuan

dilakukanya tindakan, jenis data yang dibutuhkan, komitmen, prosedur

pelaksanaan, potensial masalah yang akan terjadi, manfaat, kerahasiaan,

informasi yang mudah dihubungi.

1. Anonimity (tanpa nama)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan

jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak

memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur

dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil

penelitian yang akan disajikan.

2. Kerahasiaan (confidentiality)

Masaalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan

jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-

masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan

dilaporkan pada hasil riset.


47

4. No Harm

No harm yaitu tidak merugikan atau merusak, karena manusia

mempunyai kewajiban moral dan tanggung jawab terhadap alam, paling

tidak manusia tidak akan mau merugikan alam secara tidak perlu.

5. Justice

Justice adalah keadilan, prinsip justice ini adalah dasar dari

tindakan keperawatan bagi seorang perawat untuk berlaku adil pada

setiap pasien, artinya setiap pasien berhak mendapatkan tindakan yang

sama.
DAFTAR PUSTAKA

Ahsan, Lestari dan Sriati. (2017). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan


pre operasi pada pasien sectio caecarea di ruang Instalasi
BedahSentral RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang.
Ejournal umm. 8.(1):1-12.
Apriansyah, Romadoni & Andrianovita. (2015). Hubungan antara tingkat
kecemasan pre-operasi dengan derajat nyeri pada pasien post section
caesarea di rumah sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014.
Jurnal Keperawatan Sriwijaya. 2.(1):1-9.
Askar (2011). Analisis Penyebab Keterlambatan Dimulainya Operasi Elektif di
Instalasi Kamar Bedah Rumah Sakit Otorita Batam. Tesis. Depok:
Universitas Indonesia.
Brunner & Suddarth, (2018). Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth
edisi 12. Jakarta: EGC.
Cao et all. (2017). A novel visual facial anxiety scale for assessing preoperative
anxiety. Diakses 12 Desember 2019 dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5308844/pdf/pone.01
71233.pdf.
Depkes RI. (2015). Pembedahan tanggulangi 11% penyakit di dunia. Diakes 9
Desember 2019 dari .http://www.depkes.go.id/article/print/
15082800002/pembedahan-tanggulangi-11-penyakit-di-dunia.html.
Diferiansyah, Septa dan Lisiswanti. (2016). Gangguan Kecemasan Menyeluruh.
Jurnal Medula Unila. 5.(2): 63-68.
Dinkes Semarang. (2019). Workshop Deteksi Dini Kesehatn Jiwa Pada
Masyarakat. Diakses 2 Desember 2019 dari
http://dinkes.semarangkota.go.id/index.php/content/post/172.
Fitri. (2014). analisis waktu tunggu operasi elektif pasien rawat inap di Instalasi
Bedah Sentral Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2014. Artikel
Publikasi. Diakses 12 Desember 2019 dari
http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-05/S55565-Anasatia%20Nuansa
%20Fitri.
Gunarsah, Singgih D & Gunarsah, Ny.Singgih. D. (2013). Psikologi
Keperawatan. Jakarta: Gunung Mulia.
Hall, L & Lindzey, G. (2009). Teori-teori psikodinamik (Klinis). Yogyakarta:
Kanisius
Hamilton (1959). The assessment of anxiety states by rating. The British Journal
of Medical Psychology. 32(1). 50–55.

48
49

HIPKABI. (2014). anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART)


himpunan perawat kamar bedah indonesia
(HIPKABI). Diakses 4 Desember 2019 dari
http://www.hipkabipusat.org/profil.php?p=adart.
Kardjono. (2009). Pengendalian Diri (self Control) Melalui Outdoor Education.
Desertasi Doktor pada Pendor UPI. Bandung.
Kemenkes (2008). Menteri Kesehatan Repuplik Indonesia Nomor
129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar pelayanan minimal rumah
sakit. Diakses 12 Desember 2019 dari
https://rsud.klungkungkab.go.id/public/img/filemedia/file/Kepmenkes
%20No.129%20Tahun%202008%20Standar%20Pelayanan
%20Minimal%20RS.pdf.
Lestari. (2015). Kumpulan Teori untuk Kajian Pustaka Penelitian Kesehatan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Maryunani. (2014). Asuhan Keperawatan Perooperatif-pre operasi (menjelang
pembedahan). Jakarta: CV Trans Info Media.
Nugraheni. (2016). Pengaruh informed consent terhadap kecemasan pasien
tentang prosedur pre operasi appendiktomi di RSUD Pandan Arang
Boyolali. Artikel Publikasi. STIKes Kusuma Husada Surakarta.
Nurjanah, Hartiti & Pohan. (2018). Tingkat kecemasan pasien yang mengalami
keterlambatan waktu mulai operasi elektif di ruang Rajawali RSUP
Dr. Kariadi Semarang. Fikkes UNIMUS.
Potter & Perry. (2010). Fundamental keperawatan: konsep, teori, & praktik. Edisi
7 Buku 3. Ahli bahasa Diah Nur Fitriani et al.Jakarta: EGC.
Purwanto. (2019). Meraih Bonus Demografi Tanpa Gangguan Jiwa. Diakses 2
Desember 2019 dari https://bebas.kompas.id/baca
/riset/2019/10/10/meraih-bonus-demografi-tanpa-gangguan-jiwa/.
Ramdan. (2018). Reliability and Validity Test of the Indonesian Version of the
Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A) to Measure Work-related
Stress in Nursing. Jurnal Ners. 14.(1):33-40.
Sartika, Suarnianti & Ismail. (2013). Pengaruh komunikasi terapeutik terhadap
tingkat kecemasan pada pasien pre operasi di ruang perawatan bedah
RSUD Kota Makassar Tahun 2013. Jurnal Sikes Hasanuddin
Makassar. 3.(3):18-22.
Semiun, Yustinus. (2010). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Kasinius.
Stuart & Laraia. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (7 th Ed)
St. Louis: Mosby.
50

Tambengi, Mulyadi & Kallo. (2017). Hubungan waktu tunggu dengan kecemasan
pasien di Unit Gawat Darurat RSU GMIM Pancaran Kasih Manado.
E-Journal Keperawatan. 5.(1).
Ulfa. (2017). Hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat kecemasan pada
pasien pre operasi terencana di RSU DR. Saiful Anwar Malang.
Jurnal Ilmu Keperawatan. 5. (1):57-60.
Uskenat, Puguh & Solechan. (2012). Perbedaan tingkat kecemasan pada pasien
pre operasi dengan general anestesi sebelum dan sesudah diberikan
relaksasi otot progresif di RS Panti Wilasa Citarum Semarang. Artikel
Publikasi. STIKES Telogorejo Semarang.
WHO. (2019). World health statistics overview 2019. DIakses 14 Januari 2020
dari https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/311696/WHO-
DAD-2019.1-eng.pdf.

Zung. (2016). A rating instrument for anxiety disorders. Psychosomatics. Diakses


25 Februari 2016 dari https: //www. mnsu.edu/ comdis/ isad16/ papers
/therapy16/ sugarmanzunganxiety.pdf.

Anda mungkin juga menyukai