Anda di halaman 1dari 105

EFEKTIFITAS MIRORR THERAPY DENGAN GERAKAN

RANGE OF MOTION (ROM) TERHADAP KEKUATAN


OTOT (EKSTREMITAS ATAS) PADA PASIEN
STROKE DI DESA KEDAWUNG RT 004
RW 004 KABUPATEN CIREBON
TAHUN 2020

OLEH
Ayu Alif Nurjanah
4201.0117.A.003

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) CIREBON


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
CIREBON 2021
EFEKTIFITAS MIRORR THERAPY DENGAN GERAKAN
RANGE OF MOTION (ROM) TERHADAP KEKUATAN
OTOT (EKSTREMITAS ATAS) PADA PASIEN
STROKE DI DESA KEDAWUNG RT 004
RW 004 KABUPATEN CIREBON
TAHUN 2020

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menyelesaikan program


pendidikan sarjana keperawatan

OLEH :
Ayu Alif Nurjanah
4201.0117.A.003

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) CIREBON


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
CIREBON 2021
ii
iii
iv
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
TAHUN 2021
ABSTRAK

AYU ALIF NURJANAH


4201.0117.A.003

EFEKTIFITAS MIRROR THERAPY DENGAN GERAKAN RANGE OF


MOTION (ROM) TERHADAP KEKUATAN OTOT (EKSTREMITAS
ATAS) PADA PASIEN STROKE DI DESA KEDAWUNG KABUPATEN
CIREBON RT.004 RW.004 TAHUN 2020

X+101 halaman, 2 tabel, 5 bagan, 27 lampiran

Laporan Bulanan Penyakit menyebutkan prevalensi stroke meningkat sejalan


dengan jumlah kasus baru Stroke Primer di kunjungan rawat jalan puskesmas.
Untuk menghindari Komplikasi dari Stroke tersebut maka diperlukan adanya
tindakan keperawatan mandiri yang lebih efektif sehingga untuk meminimalkan
kecatatan tersebut dengan melakukan mirror terapi dengan gerakan Range of
Motion (ROM) secara rutin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Efektifitas
mirror therapi dengan gerakan Range of Motion (ROM) terhadap kekuatan otot
(ektremitas atas) pada pasien stroke di Desa Kedawung Kabupaten Cirebon
RT.004 RW.004 Tahun 2020.
Jenis penelitian ini menggunakan one grup pre test dan post test design,
terhadap satu kelompok. Pengambilan sampel menggunakan Total sampling
dengan jumlah sampel 54 Responden. Instrumen yang digunakan lembar
observasi, cermin, SOP, kuesioner, Spygnanometer dan Stetoskop. Cara
pengambilan data dengan observasi serta memberikan mirror terapi dengan
gerakan ROM secara ofline. Tehnik analisa data penelitian ini menggunakan uji t
(paired sample test).
Pada penelitian ini terdapat pengaruh antara mirror terapi dengan gerakan
ROM terhadap kekuatan otot pada masa pandemi covid-19 di Desa Kedawung
Kabupaten Cirebon RT.RW 004.004 tahun 2020 dapat diketahui bahwa dari 54
Responden didapat rata-rata sebelum mirror terapi menggunakan ROM 2 dengan
standar deviasi 0,82 dan rata-rata sesudah mirror terapi menggunakan ROM
sebanyak 2,79 dengan standar deviasi 1,03, dengan P value 0,000 <0,05 sehingga
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Hi Diterima: ada pengaruh mirror terapi
dengan gerakan Range Of Motion (ROM) terhadap kekuatan otot.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk praktek keperawatan
terutama untuk pasien stroke yang mengalami kelemahan bagian tangan
sebaikanya melakukan latihan rutin mirror terapi dengan gerakan ROM 2x sehari.

Kata Kunci : Stroke, Mirror therapy, Range of Motion (ROM), Kekuatan Otot
Daftar bacaan: 32 (2012-2020)

v
INSTITUTE OF HEALTH SCIENCE
NURSING SCIENCE STIN 2021
ABSTRACT

AYU ALIF NURJANAH


4201.0117.A.003

MIRROR THERAPY EFFECTIVENESS WITH RANGE OF MOTION (ROM)


MOVEMENT ON MUSCLE STRENGTH (TOP EXTREMITY) IN STROKE
PATIENTS IN KEDAWUNG VILLAGE, CIREBON DISTRICT RT.004
RW.004 YEAR 2020

X + 101 pages, 2 tables, 5 charts, 27 attachments

The Monthly Disease Report states that the prevalence of stroke increases in
line with the number of new cases of Primary Stroke in outpatient visits to the
puskesmas. To avoid the complications from the stroke, it is necessary to have
independent nursing actions that are more effective so as to minimize this
disability by doing mirror therapy with Range of Motion (ROM) movements on a
regular basis. This study aims to determine the effectiveness of mirror therapy
with Range of Motion (ROM) movement on muscle strength (upper extremity) in
stroke patients in Kedawung Village, Cirebon Regency RT.004 RW.004 2020.
This type of research uses one group pre test and post test design, to one
group. Sampling using total sampling with a sample size of 54 respondents. The
instruments used were observation sheets, mirrors, SOP, questionnaires,
Spygnanometer and Stethoscope. How to collect data by observation and provide
mirror therapy with offline ROM movements. This research data analysis
technique using t test (paired sample test).
In this study, there was an effect between mirror therapy and ROM movement
on muscle strength during the Covid-19 pandemic in Kedawung Village, Cirebon
Regency RT.RW 004.004 in 2020, it can be seen that from 54 respondents the
average was obtained before mirror therapy using ROM 2 with a standard
deviation. 0.82, and the mean after mirror therapy using ROM was 2.79 with a
standard deviation of 1.03, with a P value of 0.000 <0.05, so this study can be
concluded that Hi Accepted: there is an effect of mirror therapy with Range of
Motion (ROM) movement on muscle strength.
The results of this study are expected to be useful for nursing practice,
especially for stroke patients who experience hand weakness, so do routine mirror
therapy exercises with ROM movements 2x a day.

Keywords: Stroke, Mirror therapy, Range of Motion (ROM), Muscle Strength


Reading list: 32 (2012-2020)

vi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan segala

rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang

berjudul “Efektifitas mirorr therapy dengan gerakan Range Of Motion (ROM)

terhadap kekuatan otot pada pasien stroke di desa Kedawung RT 004 RW 004

Kabupaten Cirebon Tahun 2020” Proposal ini diajukan sebagai salah satu syarat

dalam menyelesaikan Program Studi Sarjana 1 Keperawatan.

Penyusunan proposal ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak yang

memberi dukungan dan motivasi, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak

terima kasih kepada yang terhormat :

1. Drs. H Jumhana Cholil, MM. Selaku Ketua Yayasan Rise Indonesia.

2. Awis Hamid Dani, ST,M.MPD. Selaku Ketua STIKes Cirebon.

3. R.Nur Abdurakhman, S.Kep.,Ners.,MH. Selaku Ketua Program Studi Sarjana

1 Keperawatan.

4. Healthy Seventina Sirait, M.Kep Selaku dosen pembimbing terimakasih untuk

meluangkan waktu dan pikiran yang dengan kesabaran dan penuh tanggung

jawab dalam memberikan bimbingan, motivasi dan pengarahan.

5. Heni Fa’riatul Aeni, M.KM Selaku pembimbing terimakasih atas waktu dalam

memberika bimbingan dan pengarahan

6. Seluruh dosen dan staf Sarjana 1 Keperawatan STIKes Cirebon yang telah

memberikan bekal pengetahuan kepada penulis.

vii
7. Ayah, ibu serta keluarga yang selalu memberikan support doa maupun

material, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

8. Kepada rekan-rekan mahasiswa S1 Keperawatan STIKes Cirebon yang selalu

memberikan semangat dan saling mendukung sehingga proposal ini selesai

dengan baik.

9. Serta semua pihak yang terlibat dan turut berperan serta memberikan bantuan

dan dukungan dalam terlaksananya penyusunan proposal ini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa proposal ini

masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan

saran dan kritik yang membangun guna menunjang kesempurnaan proposal ini

dimasa mendatang. Semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi penulis dan juga

pihak lain pada umumnya.

Cirebon, November 2020

Penulis

Ayu Alif Nurjanah

viii
DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM i
LEMBAR PERSETUJUAN ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
SURAT PERNYATAAN iv
ABSTRAK v
ABSTRACK vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR BAGAN xii
LAMPIRAN xiii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 8
1.3 Tujuan Penelitian 8
1.4 Manfaat Penelitian 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Kekuatan otot 10
2.1.1 Pengertian kekuatan otot 10
2.1.2 Mekanisme Umum Kontraksi Kekuatan Otot 11
2.1.3 Pengaruh Kekuatan otot 13
2.2 Konsep Terapi Cermin 14
2.2.1 Definisi Terapi Cermin 14
2.2.2 Latihan Terapi Cermin 16
2.3 Konsep Rom (Range Of Motion) 18
2.3.1 Pengertian ROM 18
2.3.2 Tujuan Rom (Range Of Motion) 18
2.3.3 Klasifikasi Rom (Range Of Motion) 19
2.3.4 Indikasi dan Kontra indikasi ROM 19
2.3.5 Prinsip Dasar Latihan ROM 19
2.3.6 Efektifitas Latihan ROM 20
2.3.7 Gerakan Latihan ROM 20
2.4 Konsep Stroke 21
2.4.1 Pengertian Stroke 21
2.4.2 Klasifikasi 21
2.4.3 Etiologi 22
2.4.4 Patofisiologi 24
2.4.5 Faktor Risiko 27
2.4.6 Manifestasi Klinis 29

ix
2.4.7 Penatalaksanaan 29
2.4.8 Komplikasi 30
2.4.9 Kerangka Teori 31

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL


DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep 33


3.1.1 Hipotesis 34
3.1.2 Definisi Operasional 34

BAB IV METODE PENELITIAN


4.1 Rancangan Penelitian 37
4.2 Variabel Penelitian 38
4.3 Populasi dan Sampel 38
4.3.1 Populasi 38
4.3.2 Sampel 38
4.4 Instrumen Penelitian 39
4.5 Metode Pengumpulan Data 40
4.6 Uji Validitas dan Rehabilitas 42
4.6.1 Uji validitas 42
4.6.2 Uji Reliabilitas 42
4.7 Pengolahan Data 43
4.8 Analisa Data 44
4.9 Lokasi dan Waktu Penelitian 44
4.10 Etika Penelitian 44

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1 Hasil 46
5.1.1 Uji Univariat 46
5.1.2 Uji Bivariat 48
5.2 Pembahasan 48

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN


6.1 Simpulan 58
6.2 Saran 58

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

x
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

3.2 Definisi Operasional 36


4.1 Rancangan Penelitian 39
5.1 Kekuatan otot sebelum mirror 46
terapi menggunakan ROM
5.2 Kekuatan otot sesudah mirror 47
terapi menggunakan ROM
5.3 Efektifitas mirror terapi 48
dengan gerakan ROM
terhadap kekuatan otot
(ekstremitas atas) pada pasien
stroke

xi
DAFTAR BAGAN

Nomor Judul Bagan Halaman

2.4.9 Kerangka Teori miror terapi dengan 33


gerakan
ROM terhadap kekuatan otot
(Ekstremitas atas) pada pasien stroke
3.1 Kerangka konsep penelitian mengenai 33
efektifitas Mirror therapy dengan
gerakan Range Of Motion Terhadap
kekuatan otot pada pasien stroke

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat perizinan studi pendahuluan ke Desa Kedawung Kabupaten


Cirebon
Lampiran 2 Surat perizinan penelitian ke Desa Kedawung Kabupaten Cirebon
Lampiran 3 Surat perizinan studi pendahuluan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Cirebon.
Lampiran 4 Kegiatan pembimbing Utama.
Lampiran 5 Kegiatan Bimbingan Pedamping.
Lampiran 6 Penjelasan Penelitian.
Lampiran 7 (Informed consent).
Lampiran 8 Kuesioner
Lampiran 9 SOP (Standar Operasional)
Lampiran 10 SPSS

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dari data World Health Organization (WHO) tahun 2015 mendefinisikan

sebagai gangguan fungsional otak lokal maupun global akibat tergangguanya

aliran darah otak yang berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menyebabkan

kematian. Stroke juga penyakit yang penyebab kecacatan nomer satu di dunia.

Pada masyarakat Barat 80% penderita mengalami stroke hemorogik. Menurut data

statistik stroke diseluruh dunia juga menyatakan sekitar 15 juta orang di seluruh

dunia mengalami stroke setiap tahunnya. 1 dari 6 orang di seluruh dunia akan

mengalami stroke dalam hidup mereka. WHO juga memperkirakan 7.6 juta

kematian terjadi akibat stroke pada tahun 2020 mendatang.(1)

Menurut American Health association (AHA. 2015) menyebutkan bahwa

setiap 40 detik terdapat 1 kasus baru stroke dengan prevalensi 795.000 pasien

stroke baru atau berulang terjadi di setiap tahunnya dan kira-kira setiap 4 menit

terdapat 1 pasien stroke meninggal. Angka kematian akibat stroke ini mencapai 1

per 20 kematian di Amerika serikat. Secara global stroke menduduki urutan ke

tiga sebagai penyakit mematikan selain jantung dan kanker, Sebagian besar stroke

menyerang diatas usia 40 tahun, namun tidak bisa dipungkiri penyakit ini dapat

juga menyerang semua usia.(2)

1
2

Prevalensi stroke di dunia kira-kira 200 per mil 100.000 penduduk dalam

setahun. Prevalensi stroke (permil) pada penduduk umur ≥15 tahun berdasarkan

diagnosis dokter menurut karakteristik, 2018 pada laki-laki 11.0% pada

perempuan 10.9% pada perkotaan 12.6% sedangkan pada perdesaan 8.8%. stroke

10.9 per mil, tertinggi di provinsi Kalimantan timur (14.7 per mil), terendah di

provinsi papua (4.1 per mil).(3)

Berdasarkan Riset Kesehatan Nasional 2018, Prevalensi stroke di Indonesia

sebanyak 10.9 per 1.000 penduduk Indonesia. Angka ini menurun dari lima tahun

sebelumnya, 12.10 per 1.000 penduduk dan meningkat dibandingkan tahun 2007

sebanyak 8.3 per 1.000 penduduk. Stroke terjadi karena ada gangguan aliran

darah ke bagian otak. Bila darah otak yang kekurangan pasokan darah secara

tiba-tiba dan penderitanya mengalami gangguan system syaraf sesuai daerah otak

yang terkena.(4)

Menurut laporan SP3 tahun 2018, kasus stroke 411 kasus, meningkat dari

tahun 2017 yang mencapai 310 kasus. Menurut hasil Riskesdas tahun 2013

prevalensi penyakit Kabupaten Cirebon 5.7%. Sedangkan prevalensi di Jawa

Barat berturut-turut 1.6%, 0.3% dan 12%. Sedangkan Hasil Riskesdas tahun 2007

prevalensi Stroke di Kabupaten Cirebon hasil diagnose tenaga kesehatan sebesar

7.9%.(4)

Pada tahun 2018 kejadian stroke diwilayah provinsi Jawa Barat dengan angka

11.4%. dampak dari penyakit ini berupa penurunan fungsi ekstremitas atas

sehingga pasien mengalami kesulitan saat berjalan karena mengalami gangguan

pada kekuatan otot. Stroke tertinggi di kota Cirebon 12.3%, kabupaten Bekasi
3

9.4%, kabupaten Ciamis 9.6%, kabupaten Karawang 9.1%, kabupaten Sumedang

8.9%, Tasikmalaya 8.0%, Kabupaten Cirebon 7.9%.(1) Menurut profil kesehatan

kabupaten Cirebon tahun 2011 tingkat penyakit tertinggi stroke 5.72%. Data yang

di peroleh dari puskesmas Kalitanjung kota Cirebon pada tahun 2019 di dapatkan

jumlah kasus stroke mencapai 30% sedangkan di tahun 2020 jumlah kasus stroke

meningkat 10% sehingga keseluruhan kasus stroke mencapai 40%.(5-6)

Menurut Phys Ther Rehabil Sci (2020) hasil penelitian menunjukan ada

perbedaan yang signitifikan diamati pada semua kelompok sebelum dan sesudah

pelatihan (pretest) dan (postest) dua kelompok untuk kekuatan ekstremitas atas,

ROM, dan skor tes fungsi tangan jebsen-Taylor dibandingkan dengan kelompok

pelatihan Virtual reality (VR) (p <0,05). Hasilnya menunjukan bahwa di masa

depan, pelatihan Virtual reality (VR) dalam kombinasi dengan stimulasi sensorik

Ulasi pada tungkai atas cenderung menjadi metode yang efektif (program

pelatihan rehabilitasi) untuk memperbaiki tungkai atas fungsi orang dengan stroke

kronis.(7)

Menurut Dongjin Lee mengatakan kedua kelompok menunjukan peningkatan

yang signitifikan pada fungsi ektermitas atas, kecuali spastisitas, setelah intervensi

(P<.5, analisis varians ukuran berulang 1 arah (ANOVA). Interaksi waktu

kelompok yang signitifikan didemonstrasikan hanya untuk item bahu/siku/

pergelangan tangan dari FMA, BBT, kekuatan cengkeraman, dan ROM dari fleksi

pergelangan tangan, ekstensi, dan deviasi ulnaris (p <.05, ANOVA ukuran

berulang 2 arah).(8)
4

Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinis yang berkembang

cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-gejala yang

berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya

penyebab lain yang jelas selain vaskuler.(9)

Menurut Lumbantobing stroke merupakan gangguan peredaran darah di otak.

Stroke juga dikenal dengan Icelebrovascular accident dan Brain attack. Stroke

berarti pukulan (to stroke) yang terjadi secara mendadak dan menyerang otak.

Gangguan peredaran darah di otak dapat berupa iskemia yaitu aliran darah

berkurang atau terhenti pada sebagian daerah di otak. Sedangkan gangguan

peredaran darah lainnya adalah terjadinya perdarahan di otak karena dinding

pembuluh darah robek.(10)

Menurut Dedi Irawandi, Ketut Sudiana, Abu Bakar mengatakan hasil

penelitian ini menunjukan bahwa terjadi peningkatan rata-rata kekuatan otot

setelah latihan mirror therapy sebanyak Dua kali sehari dibuktikan dengan

intervensi sebelumnya rata-rata kekuatan otot ekstremitas atas dalah 2.12 (0.45)

setelah intervensi Otot. Sedangkan kekuatan ekstremitas atas menjadi 3,83 (0,56).

Berdasarkan hasil anlisis bivariate diperoleh nilai hitung (4369) dan taraf

signitifikansi (p) 0,05.(11)

Mirror Therapy menurut (AI Sayegb et al, 2013) dari hasil kajian literatur

yang telah dilakukan yaitu mekanisme gerakan yang dilakukan oleh klien hanya

berupa gerakan fleksi dan ekstensi dan gerakan ke atas serta ke bawah pada

ekstremitas atas maupun bawah. Oleh karena itu peneliti ingin mencoba

mengkombinasikan terapi cermin (mirror therapy) ini dengan ROM (Range of


5

motion). Hasil kajian literatur dikatakan bahwa mirror therapy dapat mengurangi

nyeri dan meningkat fungsi motorik ekstermitas atas pada pasien stroke dengan

complex regional pain syndrome type 1 (CRPSt1) yang diberikan selama 30

hari.(12)

ROM (Range Of Motion) adalah latihan gerakan sendi melalui rentang

pemenuhan dalam semua bidang yang sesuai, latihan ini dilakukan secepat

mungkin ketika kondisi pasien memungkinkan (Brunner & Suddarth, 2012).

Range Of Motion (ROM) dikerjakan sekurang-kurangnya satu kali sehari dan

harus diulang 2-3 kali. Tujuan latihan ini adalah untuk memulai memperbaiki

neurologis, mencegah terjadinya kekuatan (kontraktur), meningkatkan

kemampuan fungsional, mengoptimalkan pengobatan sehubungan masalah medis,

menyediakan bantuan psikologis pasien dan keluarganya melalui therapy fisik dan

tehnik-tehnik lain.(12)

Salah satu terapi untuk memulihkan kekuatan otot pada pasien stroke adalah

terapi cermin. Terapi cermin adalah bentuk rehabilitasi yang mengandalkan

pembayangan motorik, dimana cermin akan memberikan stimulasi visual pada

tubuh yang mengalami gangguan pada cermin oleh bagian tubuh yang sehat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sengkey tahun 2015, tentang mirorr

therapy in stroke rehabillitation. Didapatkan hasil p value 0,000 maka dapat

disimpulkan bahwa mirorr therapy instroke rehabillitation efektif untuk pasien

stroke.(12)
6

Menurut Myung lee mengatakan Dalam pemulihan motorik ekstremitas atas,

skor penilaian Fugi-Meyer (berdasarkan item bahu / siku / lengan, 9.54 vs 4.61;

item tangan, masing-masing 4.43 vs 1.46) dan Brunnstrom Tahapan untuk

ekstremitas atas dan tangan (masing-masing sebesar 1.77 vs 0.69 dan 1.92 vs

0.50) meningkat lebih banyak pada kelompok eksperimen dibandingkan pada

kelompok control (PG 0.05). pada fungsi motoric ekstremitas atas, skor tes fungsi

Manual (berdasarkan item bahu, 5.00 vs 2.23; item tangan, masing-masing 5.07 vs

0.46) meningkat secara signitifkan pada kelompok eksperimen dibandingkan

dengan kelompok kontrol (P G 0.01). Tidak ada perbedaan signitifikan yang

ditemukan antara kelompok untuk item kordinasi dalam penilaian FuglMeyer. (13)

Menurut Secil Pervane Vural mengatakan Setelah 4 minggu rehabilitasi, kedua

kelompok mengalami peningkatan yang pada skor motorik FIM dan VAS

dibandingkan dengan skor awal. Namun, skor meningkat lebih banyak pada

kelompok terapi cermin dari pada kelompok kontrol (P<011 dan PZ.03, masing-

masing). Selain itu, pasien dalam kelompok terapi cermin menunjukkan

peningkatan yang signitifikan dalam tahap pemulihan Brunnstrom dan skor FMA

(P<0.5). Tidak ada perbedaan signitifikan yang ditemukan untuk skor MAS. (14)

Menurut Sevgi Ikbali mengatakan bahwa ada peningkatan pada tahap

Brunnstrom dan skor perawatan diri FIM pada kedua kelompok, tetapi skor FMA

pasca pengobatan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok terapi cermin

dibandingkan pada kelompok terapi cermin dibandingkan pada kelompok

pengobatan konvensional. Terapi cermin selain program rehabilitasi konvensional


7

ditemukan memberikan manfaat tambahan dalam pemulihan motorik pada

ekstremitas atas pada pasien stroke.(15)

Berdasarkan study pendahuluan di Desa Kedawung kabupaten Cirebon

RT/RW 004/004 ditemukan 10 orang dari pasien stroke sedang control di

kepuskesmas. Hasil wawancara terdiri dari 2 perempuan 8 laki-laki, di temukan

data bahwa mereka sudah di diagnose pasca stroke 5 tahun, 3 tahun, 4 tahun, dan

1 tahun. Semuanya mengalami perubahan gaya hidup. Ada yang ditemukan sudah

mengalami pasca stroke, Anggota badan merasakan lemas atau mati gaya,

kesemutan atau sensasi sentuhan berkurang, sulit berjalan, berbicara dan

memahami, serta kelumpuhan atau mati rasa pada wajah, lengan atau tungkai.

Berdasarkan data diatas saya sebagai peneliti ingin memberikan tindakan

keperawatan mirror therapy yang dapat dilakukan oleh pasien sendiri untuk

mengubah gaya hidup, mengubah pola fikir, yang akhirnya dapat mencegah

komplikasi stroke dengan cara mirorr therapy dengan gerakan Range of motion

(ROM) terhadap kekuatan otot. Dimana stroke salah satu penyebabnya adalah

ketika pasien tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya seperti biasanya, dan

salah satunya yang ditakuti adalah penyakit bawaan yang dialami dengan cara

Mirror therapy dengan gerakan ROM. Berdasarkan pengalaman peneliti Nurtanti

dan Ningrum salah satu penanganan lebih lanjut yaitu peningkatan kekuatan otot,

karena pasien stroke akan merasa kehilangan kekuatan pada salah satu anggota

gerak. Pada pasien stroke atau lumpuh separuh badan, biasanya pasien akan

mengalami kesulitan dalam melakukan aktifitas karena keterbatasan ruang gerak.

Untuk mencegah tersebut peneliti harus memberikan asuhan keperawatan secara


8

menyeluruh. Tindakan yang dapat dilakukan oleh peneliti kepada pasien stroke

dengan latihan Mirror terapi dengan gerakan Range Of Motion (ROM) sehari 2x

tindakan ini sangat efektif untuk mencegah kekuatan otot. Pada situasi saat ini,

dunia sedang dilanda pandemi COVID-19 dimana tingkat stress setiap orang

menjadi meningkat terlebih pasien pasca stroke. Kecemasan pasien akan virus

COVID-19 membuat pasien stroke memilih untuk mengobati di rumah.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul Efektivitas mirror therapy pada kekuatan otot (ekstremitas atas)

dengan gerakan Range Of Motion (ROM) pada pasien stroke Di Desa kedawung

RT 004 RW 004 Di kabupaten Cirebon tahun 2020.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah

penelitian ini adalah: Efektifitas mirorr therapy dengan gerakan Range of Motion

(ROM) kekuatan otot (Ektremitas atas) pada pasien pasca stroke.

1.3 Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Menganalisis efektifitas mirror therapy dengan gerakan Range Of Motion

(ROM) terhadap kekuatan otot (ekstremitas atas) pada pasien stroke

2. Tujuan khusus

1) Mengidentifikasi kekuatan otot sebelum mirror therapy menggunakan

ROM
9

2) Mengidentifikasi kekuatan otot sesudah mirror therapy menggunakan

ROM

3) Menganalisis efektifitas mirror therapy dengan gerakan gerakan Range Of

Motion (ROM) terhadap kekuatan otot (ekstremitas atas) pada pasien

stroke.

1.4 Manfaat penelitian

1) Bagi peneliti

Sebagai sarana untuk menambah ilmu dan wawasan mengenai Efektifitas

mirror therapy dengan gerakan Range Of Motion (ROM) tehadap kekuatan

otot pada pasien stroke.

2) Bagi pelayanan keperawatan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam tindakan keperawatan

untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan

3) Bagi institusi Pendidikan

Peneliti ini diharapkan sebagai bahan bacaan dan literature untuk menambah

wawasan tentang mirror therapy dengan gerakan Range Of Motion (ROM)

terhadap kekuatan otot pada pasien stroke.

4) Bagi pasien

Peneliti ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi pasien stroke

tentang mirror therapy dengan gerakan Range Of Motion (ROM) terhadap

kekuatan otot sehingga pasien bisa berlatih secara mandiri untuk mempercepat

proses penyembuhan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kekuatan Otot

2.1.1 Pengertian Kekuatan Otot

Otot merupakan alat gerak aktif, sebagai hasil kerja sama antara otot dan

tulang. Tulang tidak dapat berfungsi sebagai alat gerak jika tidak digerakan oleh

otot, hal ini karena otot mempunyai kemampuan berkontraksi (memendek/kerja

berat dan memanjang/kerja ringan) yang mengakibatkan terjadinya kelelahan otot

(jumlah tenaga dikembangkan oleh otot terlampaui.(10)

Kekuatan otot merupakan kemampuan otot untuk menghasilkan tegangan dan

tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis atau kemampuan maksimal

otot untuk berkontraksi.(10)

Faktor-faktor yang memengaruhi kekuatan otot

Faktor fisiologis yang mempengaruhi kekuatan otot adalah :

1. Usia usia memiliki hubungan korelasi negatif sehingga semakin tua usia baik

pria maupun wanita, kekuatan otot akan semakin menurun.

2. Jenis kelamin perbedaan kekuatan otot pada pria dan wanita (rata-rata kekuatan

otot wanita ⅔ dari pria) disebabkan karena ada perbedaan otot dalam tubuh.

3. Suhu otot kontraksi otot akan lebuh kuat dan lebih cepat bila suhu otot sedikit

lebih tinggi daripada suhu normal.

10
11

4. Makanan seperti pada pola makan sehat, aturlah asupan makanan dengan

konsumsi bahan-bahan makanan yang memiliki kandungan protein tinggi.

Bukan berarti rendah karbohidrat harus menahan lapar, karena selain

membantu memperlancar metabolisme tubuh, makanan yang mengandung

protein tinggi dan rendah karbohidrat juga bisa memberi rasa kenyag yang

cukup lama sehingga memengaruhi kekuatan otot.

5. Tingkat aktivitas sehari-hari tingkat aktivitas yang dilakukan dapat

memengaruhi kekuatan otot. Seseorang yang memiliki aktivitas tinggi

cenderung memiliki kekuatan otot yang lebih besar dibandingkan dengan

seseorang yang aktivitasnya rendah.(10)

2.1.2 Mekanisme umum kontraksi kekuatan otot

Menurut Guyton dari Hall bila sebuah otot berkontraksi, timbul suatu kerja dan

energi yang diperlukan. Sejumlah besar adenosine trifosfat ATP dipecah

membentuk adenosine difosfat (ADP) selama proses kontraksi. Semakin besar

jumlah kerja yang dilakukan otot, semakin besar ATP yang dipecahkan, yang

disebut efek fenn.(10)

Sumber energi sebenarnya yang digunakan untuk kontraksi otot adalah ATP

yang merupakan suatu rantai yang penghubung yang esensi antara fungsi

penggunaan energi dan fungsi energi tubuh.(10)

Proses gerak diawali dengan adanya rangsangan proses gerak ini, dapat terjadi

apabila potensi aksi mencapai nilai ambang, tahapan-tahapan timbul dan

berakhirnya kontraksi otot yaitu :


12

1. Suatu potensi aksi berjalan disepanjang saraf motorik sampai ujungnya pada

serabut otot

2. Disetiap ujung, saraf menyekresi subtansi neurotransmitter yaitu asetilkolin

dalam jumlah yang sedikit

3. Asetilkolin bekerja pada membran serabut otot yang membuka banyak kanal

bergerbang astilkolin melalui molekul-molekul protein yang terapung pada

membaran.

4. Terbukanya kanal bergerbang astilkolin, memungkinkan sejumlah besar ion

natrium berdifusi kebagian dalam membran serabut otot. Peristiwa ini akan

menimbulkan suatu potensial aksi membran

5. Potensi aksi akan berjalan disepanjang membran serabut otot dengan cara yang

sama seperti potensi aksi berjalan disepanjang membran serabut saraf

6. Potensi aksi akan menimbulkan depolarisasi membran otot, dan banyak aliran

listrik potensial aksi menimbulkan retikulum sakoplasma melepaskan sejumlah

besar ion kalsium yang telah tersimpan dalam retikulum

7. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filament aktin dan

miosin, yang menyebabkan kedua filament tersebut bergeser satu sama lain,

dan menghasilkan proses kontraksi

8. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali kedalam

retikulum sarkoplasma oleh pompa membran Ca++, dan ion-ion ini tetap

disimpan retikulum sampai potensi aksi otot yang baru datang lagi,

pengeluatran ion kalsium dari miofibril akan mnyebabkan kontraksi otot

terhenti.(10)
13

2.1.3 Pengaruh kekuatan otot

Pengaruh struktur otot sangat bervariasi, penurunan jumlah dan serabut otot,

atrofi, pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada beberapa serabut otot yang

lain, peningkatan jaringan lemak dan lain-lain mengakibtakan efek negatif. Efek

tersebut adalah penurunan kekuatan, penurunan fleksibilitas, perlambatan waktu

reaksi dan penurunan kemampuan fungsional.(10)

Penilaian kekuatan otot mempunyai skala ukuran yang umumnya dipakai

untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain mendiagnosa

status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada kemajuan yang

diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya apakah terjadi perubahan

pada penderita.(10)

Penilaian kekuatan otot tersebut meliputi :

1. Nilai 0 : paralisi, tidak ada kontraksi otot sama sekali

2. Nilai 1 : tidak ada gerakan ekstermitas sama sekali, terlihat/teraba getaran

kontraksi otot

3. Niali 2 : dapat menggerakan ekstermitas, tidak kuat menahan berat, tidak

dapat melawan tekanan pemeriksa

4. Nilai 3 : dapat menggerakan ekstermitas, dapat menahan berat, tidak dapat

melawan tekanan

5. Nilai 4 : dapat menggerakan sendi untuk menahan berat, dapat melawan

tahanan ringan dari pemeriksa

6. Niali 5 : kekuatan otot normal (10)


14

Penilaian kekuatan otot sebelum dan sesuadah dilakukan ROM meliputi :

0 : Tidak normal

1 : Buruk

2 : Sedikit buruk

3 : Sedang

4 : Baik

5 : Normal.

2.2 Konsep Terapi Cermin

2.2.1 Definisi Terapi Cermin

Terapi cermin merupakan salah satu bentuk pengobatan alternatif pada

rehabilitasi stroke, prinsip terapi ini adalah pendekatan sensori motorik, yaitu

dengan cara melihat dan menggerakan anggota gerak yang sehat di depan cermin,

sedangkan anggota gerak yang sehat di depan cermin, sedangkan anggota gerak

yang paresis disembunyikan di belakang cermin, sehingga pasien seolah-olah

melihat bahwa gerakan tersebut berasal dari anggota gerak yang mengalami

hemiparesis. Dengan cara ini otak dirangsang untuk kembali mengenali

rangsangan sensoris, terutama dari visual. (12)

Ada tiga metode terapi cermin, yang pertama disebut latihan unilateral

(unilateral training) yaitu pasien diminta untuk melihat gerakan anggota gerak

yang sehat dalam cermin sambil membayangkan bahwa benar-benar melihat

anggota gerak yang persis tanpa menggerakannya, yang kedua, membayangkan

dan berusaha menggerakan anggota gerak yang persis seperti yang sehat, latihan
15

ini disebut latihan bilateral (bilateral training), yang ketiga yaitu membayangkan

dan berusaha menggerakan serta digerakan secara pasif oleh pemeriksa. Dari

ketiga metode tersebut, metode yang telah efektif yaitu bilateral training dari

pada unilateral training dalam memfasilitasi pemulihan motorik, agar kedua

tangan saat latihan sejauh mungkin tampak serupa, maka tidak boleh memakai

cincin, arloji dan gelang.(12)

Latihan mirror therapy adalah bentuk rehabilitasi atau latihan yang

mengandalkan dan melatih pembayangan atau imajinasi motorik pasien yang

sifatnya menginduksi aktivasi saraf korteks sensori motor. Dimana cermin akan

memberikan stimulasi visual kepada otak (saraf motorik serebral yaitu ipsilateral

atau kontralateral untuk pergerakan tubuh yang akan cenderung ditiru seperti pada

cermin oleh bagian tubuh yang mengalami gangguan. Beberapa penelitian yang

dilakukan dengan tehnik pemetaan atau pemindaian otak ditemukan bahwa selama

pasien stroke melakukan latihan dengan menggunakan media cermin (mirror

therapy), area yang aktif selama pelaksanaan percobaan ini adalah korteks

prefontal area premotor korteks, korteks parietalis dan otak kecil yang merupakan

area gerakan motorik sehingga stimulasi yang berulang menyebabkan peningkatan

kekuatan otot dan pencegah kerusakan neuromukular yang lebih berat mencegah

penyebaran ke area lain.(12)

Sejumlah strategi pengobatan untuk paresis lengan yang saat ini banyak

dibahas salah satunya yaitu terapi cermin. Sebagai alternatife, mirror therapy

(MT) telah diusulkan sebagai potensi sebagai potensi yang menguntungkan karena

pasien dapat melakukan ini sendiri dan direkomndasikan sebagai terapi alternative
16

yang sederhana dan murah untuk mengobati fungsi motorik. Terapi cermin pada

awalnya dikembangkan untuk mengurangi nyeri tungkai bayangan dalam

amputansi. Refleksi dari lengan yang utuh dalam cermin memberi pasien

sensasimemiliki dua lengan yang mampu bergerak, yang menyebabkan penurunan

rasa sakit. Mirror therapy adalah suatu bentuk latihan mental, dan merangsang

korteks motorik primer dan membangkitkan gerakan sisi lumpuh karena pasien

dikonfirmasi gerakan secara visual dari sisi yang tidak lumpuh. Terapi cermin

membuat perbaikan yang signifikan dalam tahap Brunnstrom serta kemandirian

fungsional mengukur skor pada pasien stroke sub akut. Pada penelitian crossover,

menunjukkan bahwa kinerja motorik pasien stroke kronis membaik.(12)

2.2.2 Latihan Terapi Cermin

Terapi cermin merupakan suatu terapi yang dilakukan pasien dengan cara

mengatur posisi tubuh duduk dan meletakan cermin diantara kedua tangan atau

tungkai kemudian menggerakan lengan atau tungkai yang sehat bersama dengan

melihat cermin dan membayangkan atau merasakan seolah-olah lengan atau

tungkai yang mengalami peresis turut bergerak.(12)

Terapi cermin bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot dan mobilitas pada

pasien stroke. Terapi cermin dilakukan dengan cara melihat dan menggerakan

anggota gerak yang sehat didepan cermin dan yang sakit dibelakang cermin

(bilateral training), Hal ini bertujuan menciptakan ilusi visual (input sensoris)

pemulihan motorik anggota gerak yang paresis. Cermin akan memberikan ilusi

pada fungsi anggota anggota gerak sehingga dapat membantu dan memperbaiki

atau memperbaiki interaksi normal antara kemauan dan kemampuan untuk


17

menggerakan anggota gerak (motorik) dengan umpan balik sensoris yang

diperlukan. Klien dengan pasca stroke di intruksikan untuk secara simultan

menggerakan tangan atau kaki mereka, baik yang mengalami kelemahan ataupun

yang sehat dengan gerakan yang sama. Sambil menggerakan lengan, pasien

melihat refleksi dari lengan yang sehat didepan cermin. Hal ini menimbulkan ilusi

visual pada lengan yang bergerak normal.(12)

Prosedur terapi cermin dilakukan dengan cara mengatur posisi tubuh kline

sewaktu melakukan latihan seperti, posisi duduk atau setengah duduk dan

meletakan cermin diantara kudus lengan atau tungkai. Selanjutnya perawat

pengintruksi kepala klien agar lengan atau tungkai yang sehat digerakan fleksi dan

ekstensi, ke atas dan ke bawah. Saat lengan atau tungkai digerakan, pasien

dianjurkan untuk melihat cermin yang ada kemudian klien disarankan untuk

merasakan bahwa lengan atau tungkai yang mengalami paresis turut bergerak.

Demikian diulang-ulang selama 30 hari dengan dosis 1 kali sehari, dengan durasi

5-7 menit sebanyak 8 kali gerakan ulang dalam satu kali latihan.(12)
18

2.3 Konsep Rom (Range of Motion)

2.3.1 Pengertian ROM (Range Of Motion)

Range Of Motion (ROM) adalah jumlah mekanisme gerakan yang dilakukan

oleh sendi dalam keadaan normal. ROM merupakan istilah untuk menggambarkan

seberapa luas sendi dapat bergerak dengan tujuan untuk melihat dan dan

mengetahui ruang gerak atau batas-batas gerakan dari suatu kontraksi otot dalam

melakukan gerakan, apakah otot tersebut memendek, memanjang, atau bahkan

tidak keduanya. Untuk mengetahui lingkup gerak satu sendi dibandingkan sendi

lainnya, yaitu sendi sakit dengan sendi normal. Untuk mengevaluasi keberhasilan

intervensi atau terapi. Untuk meningkatkan motivasi pasien. Latihan Range Of

Motion (ROM) merupakan latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau

memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakkan persendian secara

normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot.(12)

2.3.2 Tujuan ROM (Range Of Motion)

Latihan ROM adalah upaya untuk dilakukan untuk mengurangi kelakuan pada

sendi dan kelemahan pada otot yang dapat dilakukan secara aktif maupun pasif

tergantung keadaan pasien. Dalam pelaksanaan latihan ROM. Tujuan ROM antara

lain:(12)

1. Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot

2. Memelihara mobilitas persendian

3. Merangsang sirkulasi darah

4. Mencegah kelainan bentuk


19

2.3.3 Klasifikasi ROM (Range Of Motion)

1. Latihan ROM pasif adalah ROM yang dilakukan pasien dengan bantuan

dari orang lain, perawat, ataupun alat bantu setiap kali melakukan gerakan.

2. Latihan ROM aktif adalah latihan yang dilakukan sendiri oleh pasien

tanpa bantuan perawat dari setiap gerakan yang dilakukan.(12)

2.3.4 Indikasi dan Kontraindikasi ROM (Range Of Motion)

Sebelum melakukan latihan ROM pada pasien stroke, ada beberapa hal yang

harus diperhatikan, diantaranya adalah indikasi dan kontraindikasi ROM.

Menjabarkan indikasi ROM yang dilakukan untuk latihan pasif yaitu pada pasien

semikoma dan tidak sadar, usia lanjut dengan mobilisasi terbatas, pasien tirah

baring total, pasien dengan paralisis ekstremitas total. Sedangkan indikasi latihan

aktif dilakukan pada semua pasien yang dirawat dan mampu melakukan ROM

sendiri dan kooperatif.(12)

Selain itu latihan ROM juga memiliki beberapa kontraindikasi, kontraindikasi

latihan ROM yaitu apabila gerakan dapat mengganggu proses penyembuhan

cedera, dan ROM tidak boleh dilakukan bila respon pasien atau kondisinya

membahayakan.(12)

2.3.5 Prinsip Dasar Latihan ROM (Range Of Motion)

Prinsip dasar pelaksanaan latihan ROM antara lain: (12)

1. ROM harus diulang sekitar 2-3 kali dikerjakan 2 kali sehari dengan durasi ≤ 30

menit.

2. ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien.

3. ROM sering diprogramkan oleh dokter dan dikerjakan oleh ahli fisioterapi.
20

4. Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan ROM adalah leher, jari, lengan,

siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.

5. Dalam merencanaan program latihan ROM, perlu diperhatikan umur pasien,

diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah baring.

6. ROM dapat dilakukan pada semua persendian atau hanya pada bagian-bagian

yang dicurigai mengalami proses penyakit.

7. Melakukan ROM harus sesuai waktunya, misalnya setelah mandi atau

perawatan rutin telah dilakukan.

2.3.6 Efektifitas latihan ROM (Range Of Motion)

Pergerakan dilakukan dengan perlahan dan lembut dan juga tidak

menyebabkan nyeri. Untuk frekuensi setiap pergerakan harus diulang 2-3 kali

setiap gerakannya selama 1 bulan dengan dosis 2 kali sehari, dengan durasi ≤ 30

menit sesudah 24 jam pertama setelah stroke kecuali sesuai kontraindikasi yang

telah ditentukan.(12)

2.3.7 Gerakan Latihan ROM (Range Of Motion)

Latihan ROM memiliki beberapa variasi gerakan, Macam-macam gerakan

yang digunakan dalam latihan ROM antara lain:(12)

1. Fleksi, yaitu gerakan menekuk persendian

2. Ekstensi, yaitu gerakan meluruskan persendian

3. Abdukasi, yaitu gerakan satu anggota tubuh kearah mendekati aksis tubuh

4. Abdukasi, yaitu gerakan satu anggota tubuh kearah menjauh aksis tubuh

5. Rotasi, yaitu gerakan memutar atau menggerakkan satu bagian melingkari aksis

tubuh
21

6. Pronasi, yaitu gerakan memutar ke bawah

7. Supinasi, yaitu gerakan memutar keatas

8. Inversi, yaitu gerakan kedalam

9. Eversi, yaitu gerakan keluar.

2.4 Konsep Stroke

2.4.1 Pengertian Stroke

Stroke adalah matinya jaringan otak (infark serebral) yang di sebabkan

berkurangnya aliran darah dan oksigen kedalam otak. Pada stroke iskemik, aliran

darah keotak terhenti karena adanya bekuan darah yang telah menyumbat

pembuluh darah. (12)

Stroke adalah gejala klinis yang terjadi secara mendadak dan cepat akibat

akibat gangguan fungsi otak lokal atau global dengan kelainan yang menetap

hingga 24 jam atau lebih, atau menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab

kelainan yang jelas selain pembuluh darah. (16)

Stroke adalah sindrom yang disebabkan oleh Gangguan Peredaran Darah Otak

(GPDO) dengan awitan akut, disertai manifestasi klinis berupa defisit neurologis

dan bukan sebagai akibat tumor, trauma ataupun infeksi susunan saraf pusat.(16)

2.4.2 Klasifikasi

Klasifikasi stroke dibagi menjadi beberapa macam yaitu:

1. Stroke iskemik

Delapan puluh persen kasus stroke berasal dari proses iskemik dan

disebabkan oleh sumbatan trombotik atau tromboembolik pada arteri serebral


22

ekstrakranial, jantung (fibrilasi atrial, penyakit katup mitral, thrombus

ventricular kiri), arteri kecil yang mempenetrasi pada otak (stroke lacunar),

dan plak arkus aorta.

2. Stroke Hemorogik

Stroke hemorogik disebabkan oleh perdarahan kedalam jaringan otak

(hemoragia intraserebrum).(17)

2.4.3 Etiologi Stroke

Stroke dapat disebabkan oleh arteri yang tersumbat atau bocor (stroke iskemik)

dan dapat disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah (stoke homoragik).

Beberapa orang mungkin mengalami gangguan sementara aliran darah ke otak

(Transient Ischemic Attack atau TIA) yang tidak menyebabkan kerusakan

permanen.(11)

Stroke terjadi karena adanya penghambatan atau penyumbatan aliran sel-sel

darah merah yang menuju ke jaringan otak, sehingga menyebabkan pembuluh

darah otak menjadi tersumbat (iscbemic stoke) atau pecah (baemorrrbagic stroke).

Secara sederhana, stroke terjadi jika aliran darah ke otak terputus. Otak kita sangat

tergantung pada pasokan darah yang berkesinambungan, yang dialirkan oleh arteri

(pembuluh darah).(18)

Asupan oksigen dan nutrisi akan dibawah oleh darah yang mengalir dalam

pembuluh-pembuluh dan menuju sel-sel otak. Apabila aliran darah dan atau aliran

oksigen dan nutrisi itu terhambat selama beberapa menit saja, maka terjadi stroke.

Penyempitan pembuluh darah munuju sel-sel otak menyebabkan aliran darah dan

asupan nutrisi ke otak atau akan berkurang. Selain itu, endapan zat-zat lemak
23

tersebut dapat terlepas dalam bentuk gumpalan-gumpalan kecil yang suatu saat

dapat menyumbat aliran darah ke otak sehingga sel-sel otak kekurangan oksigen

dan nutrisi. Itu yang menjadi penyebab mendasar bagi terciptanya stroke.(18)

Selain itu hipertensi juga dapat menyebabkan tekanan yang lebih besar pada

dinding pembuluh darah sehingga dinding pembuluh darah menjadi lemah dan

pembuluh darah akan mudah pecah. Haemoragic stroke dapat juga terjadi pada

mereka yang tidak menderita hipertensi. Pada kasus seperti itu, biasanya

pembuluh darah akan pecah akibat lonjakan tekanan darah yang terjadi secara

tiba-tiba, misalnya konsumsi makanan ataupun faktor emosional.(18)

Pecahnya pembuluh dara diotak dapat menyebabkan sel-sel otak yang

seharusnya yang dapat asupan oksigen dan nutrisi yang dibawa melalui pembuluh

darah tersebut menjadi kekurangan nutrisi dan akhirnya mati. Darah yang keluar

dari pembuluh darah yang pecah juga dapat merisak sel-sel otak yang berada di

sekitarnya. Walaupen terjadinya lebih jarang dibandingkan dengan iscbemic stoke,

namun haemoragic stoke memiliki tingkat bahaya yang lebih serius dibandingkan

dengan iscbemic stroke.(18)

Namun, stroke juga bisa disebabkan karena turunan atau diturunkan secara

genetic, dan itu berate stroke bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Dengan

demikian, adakemungkinan seseorang yang terkena penyakit stroke akan

meningkat jika ada kaka atau adik yang menderita penyakit yang disebabkan oleh

sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak itu.(18)

Ahli saraf di Lampung, dr. Ruth Mariva, Sp.S, menjelaskan bahwa penyakit

stroke dapat diturunkan secara genetik melalui “autosomal dominan” akibat


24

mutasi gen pada kromosom 19 yang dikenal dengan penyakit CADASIL

(Cerebral Autosomal Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarcts and

Leukoencephalopathy). Menurutnya, kelainan terjadi pada dinding pembuluh

darah kecil, terutama di otak yang sudah terjadi sejak usia dewasa. (18)

Penderita CADALIS pertama kali di laporkan di Eropa, dan sejak tahun 1996

sudah bisa dilakukan tes genetika untuk mendukung diagnosis penyakit tersebut.

Sementara di Indonesia, belum terdokumentasi dengan baik dengan jumlah pasien

CADALIS, sementara tes genetika memerlukan biaya yang mahal. Selain itu,

konseling genetika dan pedigree (silsilah keluarga yang dimulai dari penederita

sampai dua generasi diatasnya, baik dari jalur ayah maupun ibu) masih merupakan

yang hal yang baru diperkenalkan pada decade terakhir ini.(18)

Mariva selanjutnya menyatakan bahwa tinjauan literatur telah menunjukkan

bahwa 85% akan menunjukkan gejala stroke. Namun dua pertiga penderita itu

biasanya akan mengalami stroke ringan (lacunar) dengan faktor risiko vaskuler

yang tidak jelas.(18)

2.4.4 Patofisiologi

Patofisioligi utama stroke adalah penyakit jantung atau pembuluh darah yang

mendasarinya. Manifestasi sekunder di otak adalah hasil dari satu atau lebih dari

penyakit yang mendasari atau faktor risiko. Patologi utama termasuk hipertensi,

aterosklerpsis yang mengarah kepenyakit arteri coroner, dislipidemia, penyakit

jantung, dan hiperlipemia. Dua jenis stroke yang dihasilkan dari penyakit ini

adalah stroke iskemik dan stroke hemoragik.(19)


25

1. Stroke iskemik

Stroke iskemik atau stroke penyumbatan disebabkan oleh oklusi cepat dan

mendadak pada pembuluh darah otak sehingga aliran darah terganggu, jaringan

otak yang kekurangan oksigen selama lebih dari 60 sampai 90 detik akan

menurunkan fungsinya. Trombus atau penyumbatan seperti aterosklerosis

menyebabkan iskemia pada jaringan otak dan membuat kerusakan jaringan neuron

sekitarnya akibat proses hipoksia dan anoksia. Sumbatan emboli yang terbentuk di

daerah sirkulasi laindalam system peredaran darah yang biasa terjadi di dalam

jantung atau sebagai komplikasi dari fibrilasi atrium yang terlepas dan masuk

kesirkulasi darah otak, dapat pula mengganggu sistem sirkulasi darah otak, dapat

pula mengganggu system sirkulasi otak.(19)

Oklusi akut pada pembuluh darah otak membuat daerah otak terbagi menjadi

dua daerah keparahan derajat otak, yaitu daerah inti dan daerah penumbra. Daerah

inti adalah daerah atau bagian otak yang memiliki aliran darah kurang dari

10cc/100g jaringan otak tiap menit. daerah ini berisiko menjadi nikrosis dalam

hitungan menit. Lalu daerah penumbra adalah daerah otak yang aliran darahnya

terganggu tetapi masih lebih baik dari pada daerah inti karena daerah ini masih

mendapat suplai perfusi dari pembuluh darah lainnya. Daerah penumbra memiliki

aliran darah 10-25cc/100g jaringan otak tiap menit. Daerah penumbra memiliki

prognosis lebih baih dibandingkan dengan daerah inti. Defisit neurologis dari

iskemik stroke tidak hanya bergantung pada luas daerah inti dan penumbra, tetapi

juga pada kemampuan sumbatan menyebabkan kekakuan pembuluh darah atau

vasospasme. (19)
26

Kerusakan jaringan otak akibat oklusi atau tersumbatnya aliran darah adalah

suatu proses biomelekular yang bersifat cepat dan progresif pada tingkat selular,

proses ini disebut dengan kaskade iskemia (iskemic cascase). Setelah aliran darah

terganggu, jaringan menjadi kekurangan oksigen dan glukosa yang menjadi

sumber utama energi untuk menjalankan proses protein membra. Kekurangan

energi ini membuat daerah yang kekurangan oksigen dan gula darah tersebut

menjalankan metabolism anaerob.(19)

Metabolisme anaerob ini pelepasan senyawa glutamate. Glutamat bekerja pada

reseptor di sel-sel saraf (terutama reseptor NMDA/N-methyl-D-aspartame),

menghasilkan influx natrium dan kalsium. Influx natrium membuat jumlah cairan

intraseluler meningkat dan pada akhirnya menyebabkan edema pada jaringan.

Influx kalsium merangsang pelepasan enzim protolisis (protese, lipase, nuclease)

yang memecah protein, lemak, dan struktur sel. Infulk kalsium juga dapat

menyebabkan kegagalan mitokondria, suatu organel membran yang berfungsi

mengatur metabolisme sel. Kegagalan-kegagalan tersebut yang membuat sel otak

pada akhirnya mati atau nekrosis.(19)

2. Stroke hemoragik

Stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah yang disertai

ekstravasasi darah ke parenkim otak akibat penyakit nontraumatis.

Srtoke perdarahan sering terjadi pada pembuluh darah yang melemah.

Penyebabkelemahan pembuluh darah tersering pada stroke adalah aneurisma dan

malaformasi arteriovenous (AVM). Ekstravasasi darah ke parenkim otak ini


27

berpotensi merusak jaringan sekitar melalui kompresi jaringan akibat dari

perluasan hematoma.(19)

Faktor predisposisi dari stroke heoragik yang sering terjadi adalah peningkatan

tekanan darah. Peningkatan tekanan darah adalah salah satu faktor hemodinamika

kronis yang menyebabkan pembuluh darah mengalami perubahan struktur atau

kerusakan vaskular. Perubahan struktur yang terjadi meliputi lapisan elastik

eksternal dan lapisan adventisia yang membuat pembuluh darah menipis.

Peningkatan tekanan darah yang mendadak dapat membuat pembuluh darah

pecah.(19)

Ekstravasasi darah ke parenkim otak bagian dalam berlangsung selama

beberapa jam dan jika jumlahnya besar akan memengaruhi jaringan sekitarnya

melalui peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan tersebut dapat menyebabkan

hilangnya suplai darah ke jaringan yang terkena dan pada akhirnya dapat

menghasilkan infrak. Selain itu darah yang keluar selama ekstravasasi memiliki

efek toksik pada jaringan otak sehingga menyebabkan peradangan jaringan otak.

Peradangan jaringan otak ini berkontribusi terhadap cedera otak sekunder

setelahnya. Proses dan onses yang cepat pada stroke perdarahan yang cepat,

penanganan yang cepat dan tepat menjadi hal yang penting.(19)

2.4.5 Faktor Risiko

Banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko stroke. Beberapa faktor juga

dapat meningkatkan kemungkinan mengalami serangan jantung. Faktor risiko

stroke yang berpotensi dapat diobati meliputi: (19)


28

1. Faktor risiko gaya hidup

1) Kelebihan berat badan

2) Ketidakaktifan berat fisik

3) Minuman berat atau pesta

4) Menggunakan obat-obatan terlarang seperti kokain dan metamfitamin

2. Faktor Risiko Medis

1) Memiliki tekanan darah lebih tinggi dari 120/80 mmHg

2) Merokok atau terpapar asap rokok bekas

3) Kolestrol tinggi

4) Diabetes

5) Apnea tidur obstruktif

6) Penyakit kardiofaskular, termasuk gagal jantung, cacat jantung, infeksi

jantung atau irama jantung yang tidak normal

7) Riwayat pribadi atau keluarga terkait stroke, serangan jantung, atau

serangan iskemik transien

3. Faktor-faktor lain yang terkait dengan stroke, termasuk:

1) Usia. Orang berusia 55 tahun atau lebih memiliki risiko stroke yang lebih

tinggi dari pada orang yang lebih muda.

2) Ras. Orang Afrika-Amerika memiliki risiko stroke yang lebih tinggi

daripada orang-orang dari ras lain.

3) Jenis Kelamin. Pria memiliki risiko stroke yang lebih tinggi daripada

wanita. Perempuan biasanya lebih tua ketika mereka mengalami stroke.


29

4) Hormon. Penggunaan pil KB atau terapi hormon yang termasuk ostrogen,

serta peningkatan kadar estrogendari kehamilan dan persalinan.

2.4.6 Manifestasi Klinis

1. Kesulitan berbicara dan kebingungan. Pasien mengalami kesulitan untuk

mengucapkan kata-kata atau mengalami kesulitan memahami ucapan.

2. Kelumpuhan atau mati rasa pada wajah, lengan, atau kaki. Penderita stroke

bisa mengalami mati rasa tiba-tiba, kelemahan atau kelumpuhan diwajah,

lengan atau kaki. Hal ini sering terjadi di satu sisi tubuh.

3. Kesulitan melihat dalam satu atau kedua mata. Penderita stroke akan

mengalami gangguan penglihatan, seperti pandangan kabur atau hitam di

satu atau kedua mata.

4. Sakit Kepala. Sakit kepala yang tiba-tiba dan parah, yang mungkin disertai

dengan muntah, pusing, atau perubahan kesadaran, mungkin menunjukkan

seseorang mengalami stroke.

5. Kesulitan berjalan. Penderita stroke mungkin tersandung atau mengalami

pusing mendadak, kehilangan keseimbanga, atau kehilangan koordinasi.(19)

2.4.7 Penatalaksanaan

Pasien stroke meliputi pendekatan kolaboratif yang melibatkan tim pelayanan

kesehatan, pasien, dan keluarga dengan tujuan pasien mendapatkan kembali

kemampuannya untuk melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari yang

normal.(20)
30

2.4.8 Komplikasi

Stroke dapat menyebabkan cacat sementara atau permanen, tergantung

beberapa lama otak kekurangan aliran darah dan bagian mana yang terdampak.

Komplikasi yang bisa terjadi antara lain:(12)

1. Kelumpuhan atau hilangnya gerakan otot.

2. Kesulitan berbicara atau menelan.

3. Kehilangan memori atau kesulitan berfikir

4. Masalah emosional

5. Rasa sakit, Nyeri, mati rasa, atau sensasi aneh lainnya dapat terjadi dibagian

tubuh yang terkena stroke.

6. Orang juga mungkin sensitif terhadap perubahan suhu setelah strok, terutama

dingin ekstrem.
31

2.4.9 Kerangka Teori

Kerangka teori pada penelitian ini didasarkan pada beberapa sumber. Bahwa

teori stroke terjadi karena adanya faktor resiko seperti usia, aterosklerosis (lubang

pembuluh darah menyempit dan terbentuk thrombus), hipertensi, merokok yang

menjadi pemicu terjadinya stroke hemoragik dan iskemik kemudian

mengakibatkan terjadi komplikasi (gangguan peredaran darah). Setelah terjadinya

komplikasi muncul gangguan deficit motorik (hemiparesis, hemihipestesi, afasia)

gangguan korteks temporooksipitalis (agnosia, prosopagnosia) dan gangguan

saraf kranial (disartri, diplopi, vertigo). Gangguan deficit motorik mengakibatkan

hemiparesis (lemah salah satu tangan, kaki, wajah) dan perlu diberi latihan terapi

cermin (mirror therapy & Range of motion) pada stroke. Penjelasan tersebut dapat

digambarkan dalam bentuk kerangka teori seperti pada skema tersebut(12)


32

Komplikasi:
Faktor Risiko stroke:
Penurunan tingkat
 Usia STROKE kesadaran
 Aterosklerosis
Dekubitus
 Hipertensi
 Merokok Gangguan peredaran
Jenis stroke: darah

1. Hemoragik
2. Iskemik

Defisit Motorik Gangguan


Gangguan korteks Syaraf kranial

Defisit motorik Temprooksipitalis

Disartri
1. Himiparesis
Agnesia Diplopi
2. Hemihipestesis Prosopagnosia vertigo
3. Afasia

Latihan terapi cermin


(Mirrortherapy &
Motorik Halus
Range of Motion)

Bagan 2.4.9 Kerangka teori stroke


BAB III

KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS DEFINISI

OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah penyederhanaan dari kerangka teori, kerangka

konsep penelitian ini berkaitan dengan variabel-variabel, Suatu hubungan atau

kaitan antara konsep satu terhadap konsep lainnya dari masalah yang ingin

diteliti.(12)

Kerangka konsep adalah Model yang menggambarkan hubungan antara

konsep satu dengan konsep lainnya atau antara variabel yang satu dengan variabel

yang telah diidentifikasi dari masalah yang ingin diteliti.(20)

(Mirror Therapy)
Kekuatan Otot
dengan gerakan
Range Of Motion (Ekstremitas Atas)
(ROM) pada pasien stroke

Bagan 3.1 Kerangka konsep Efektifitas Mirror Therapy Dengan gerakan


Range Of Motion (ROM) terhadap kekuatan otot (ekstremitas atas)
Variabel Dependen : Mirror Therapy dengan gerakan ROM ( Range Of Motion)

Variabel Independen : Kekuatan otot ekstermitas atas pada pasien stroke

33
34

3.2 Hipotesis

Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari rumusan masalah atau

pernyataan penelitian.(20)

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ho: Tidak ada pengaruh mirror terapi dengan gerakan Range Of Motion (ROM)

terhadap kekuatan otot (ekstremitas atas) pada stroke.

HI: Ada pengaruh mirror therapy dengan gerakan Range Of Motion (ROM)

terhadap kekuatan otot (ekstremitas atas) pada strok

3..2 Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan uraian yang memperjelas makna dari veriabel

dan istilah yang ada dalam penelitian guna mempermudah pemahaman pembaca.

Definisi operasional veriabel disajikan dalam bentuk matriks table seperti

berikut:(12)

Tabel 3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Cara Hasil Ukur Skala


operasional Ukur Ukur Ukur
1 Terapi Suatu gerakan yang Cermin Observas -- --
Cermin dilakukan depan i yang
(mirror cermin untuk dilakuka
therapy) menyampaikan n ≤ 30
dengan rangsangan sisual ke menit
gerakan otak melalui
ROM pengamatan bagian
(Range Of tubuh seseorang yang
Motion) tidak berpengaruh
 Latihan karena melakukan
ROM serangkaian gerakan,
aktif yang dilakuka kurang
dengan lebih 30 menit,
pendamp dengan menggunakan
ingan cermin adapun cara
yang lebih efektif
35

(active- menggunakan latihan


assisted) gerakan ROM yang
laihan dilakukan untuk
gerak mempertahankan atau
mandiri memperbaiki tingakat
dengan kesempurnaan
dibantu menggerakan
atau persediaan secara
didampin normal dan lengkap
gi oleh untuk meningkatkan
tenaga masa otot dan tonus
kesehata otot. Yang dilakukan
n dan 2x sehari tindakan.
keluarga
 Latihan
ROM
pasif
adalah
latihan
yang
dilakuka
n oleh
tenaga
kesehata
n kepada
klien
yang
tidak
mampu
atau
memiliki
keterbata
san
pergerak
an.
2 Kekuatan Kekuatan otot adalah Kuesioner Observas Hasil Ordinal
Otot kemampuan otot dan SOP i Yang dihitung
untuk menghasilkan dilakuka berdasarkan
tegangan dan tenaga n ≤ 30 Skor nilai
selama usaha menit. kekuatan otot
maksimal baik secara Skor yang
dinamis atau kekuatan diperoleh
kemampuan otot yang dengan
maksimal otot untuk diperoleh kriteria :
berkontraksi. dengan 0= Tidak
nilai normal
yang 1= buruk
minimu 2= Sedikit
m 0 dan buruk
maksimu 3= Sedang
m5 4= Baik
dengan 5= Normal
kriteria:
0= tidak
ada
36

gerakan
otot sama
sekali
1=kontra
ksi saat
palpasi,
tetapi
tidak ada
gerakan
yang
terlihat.
2= ada
gerakan,
tetapi
tidak
dapat
melawan
gravitasi
3= dapat
bergerak
melawan
gravitasi
4= dapat
melawan
tahanan
dengan
kekuatan
penuh.
5=Kekua
tan otot
normal
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian adalah rancangan yang terdiri dari komponen yang

menyatu satu sama lain untuk memperoleh data dari dalam rangka menjawab

pertanyaan penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan metode (quasy-

ekperimen) dengan rancangan one group pre-test post-test yakni desain

eksperimen yang dilakukan dengan pre-test sebelum perlakuan diberikan dan

post-test sesudahnya tanpa kelompok pembanding. Desain penelitian ini dapat

digunakan dalam table dibawah ini:(12)

Tabel 4.1. Rancangan penelitian

Pre tes Perlakuan Post tes


01 x 02

Keterangan :

01 : pre test tentang Observasi kekuatan otot ekstermitas atas klien sebelum

dilakukan Mirror therapy dengan gerakan Range Of Motion (ROM)

X : Intervensi Mirror therapy dengan gerakan Range Of Motion (ROM)

02: Observasi kekuatan otot ekstremitas atas klien sesudah dilakukan Mirror

therapy dengan gerakan Range Of Motion (ROM).

37
38

4.2 Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunaan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang

dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep. Variabel

juga diartikan sebagai konsep yang mempunyai bermacam-macam nilai. Variabel

Independent adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain. (12)

Variabel dalam penelitian ini adalah mirror terapi dengan gerakan ROM

(Range Of Motion). Variabel Dependent adalah variabel yang dipengaruhi oleh

variabel lain. Variabel independent pada penelitian ini adalah kekuatan otot

ekstermitas atas klien sebelum dilakukan mirror terapi dengan gerakan ROM

(Range Of Motion) pada pasien stroke.(12)

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generasi yang terdiri atas obyek-obyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (20). Populasi dalam penelitian ini

adalah semua pasien stroke di Desa Kedawung Kabupaten Cirebon RT/RW

004/004 yang menjalani rawat jalan di UPTD Puskesmas Kedawung Kabupaten

Cirebon berjumlah 54 klien.

4.3.2 Sampel

Sampel diartikan sebagai bagian dari populasi yang menjadi objek penelitian.

Pada penelitian ini teknik penarikan sampel yang digunakan adalah teknik total

sampling. Total sampling adalah pengambilan sampel secara keseluruhan


39

didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri,

berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.(20)

Kriteria inklusi yaitu adalah kriteria atau ciri-ciri yang harus dipenuhi setiap

masing-masing anggota populasi yang akan dijadikan sampel. Sedangkan kriteria

eklusi yaitu kriteria atau ciri-ciri anggota populasi yang tidak biasa dijadikan

sebagai sampel penelitian.

Peneliti mengambil sampel dengan kriteria sebagai berikut:

1. Kriteria Inklusi

1) Pasien stroke yang mengalami hemiparesis bagian ekstremitas atas

2) Pasien dengan usia lansia yang sedang konsumsi obat

3) Pasien stroke yang bersedia menjadi responden

2. Kriteria Ekslusi

1) Pasien stroke yang tidak bisa diajak komunikasi

2) Pasien stroke yang menjalani Rawat inap

4.4 Instrumen Penelitian

Instrument penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk

pengumpulan data. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah SOP

terapi cermin pada ekstremitas atas dan menggunakan ROM (Mirror therapy &

Range Of Motion). Lembar observasi, tensimeter. (12)

1. Lembar Observasi

Pengamatan observasi merupakan juga menjelaskan bahwa rekaman

sistematis yang terdiri dari unsur-unsur yang muncul dalam beberapa gejala
40

dari objek penelitian. Hasil akan dilaporkan dalam laporan disusun sesuai

dengan aturan sistematis.(12)

2. Tensimeter

Tensimeter atau alat yang lebih tepatnya disebut sfigmomanometer,

merupakan alat yang digunakan untuk mengukur tekanan darah responden.

Tensimeter yang digunakan dalam penelitian ini adalah tensimeter manual

ukuran orang dewasa. Tensimeter yang digunakan Blood Pressure Cuff

merek ABN Spectrum.

4.5 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:(12)

1. Prosedur Administrasi

Pada tahap ini peneliti mengajukan surat perizinan dari STIKes Cirebon untuk

melakukan penelitian di Desa Kedawung RT/RW 004/004 kabupaten Cirebon

2. Prosedur Klinis

3. Setelah proses perizinan penelitian dilakukan, peneliti datang dan

menyampaikan maksud untuk melakukan penelitian di Desa Kedawung

RT/RW 004/004 Kabupaten Cirebon dengan melakukan hal-hal sebagai

berikut:

1) Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dilakukan penelitian, serta

meminta izin kepada pihak kepala Desa untuk melakukan penelitian

melalui berbasis ofline.


41

2) Selanjutnya peneliti menentukan responden yang memenuhi kriteria

dengan teknik pengambilan sampel

3) Meminta kesediaan responden untuk menjadi sampel dengan menjelaskan

terlebih dahulu maksud dan tujuan penelitian.

4) Apabila responden bersedia, peneliti meminta kepada responden untuk

mendatangani informed consent

5) Meminta data kepada responden

6) Peneliti melakukan penilaian kekuatan otot pada ektremitas atas sebelum

dilakukan mirror therapy dan ROM (Mirror Therapy & Range Of Motion)

dengan berbasis ofline

7) Peneliti mempersiapkan mirror therapy dan ROM melalui pihak keluarga

dengan berbasis ofline.

8) Peneliti melaksanakan intervensi kepada semua responden dengan model

yang dikembangkan oleh Winona Prok, Joudy Gessal, L.S Angliadi

selama 1 bulan peneliti juga melaksanakan intervensi dengan frekuensi 2

kali sekali sehari sesuai yang dikembangkan oleh

9) Andika Sulistiawan dan Elfira Husna. Terapi cermin dan ROM

dilaksanakan pagi hari jm 10.00 dan sore hari pada jm 16.00

10) Peneliti menilai kekuatan otot ektremitas atas responden setelah dilakukan

terapi cermin dan ROM melalui berbasis online

11) Peneliti mengumpulkan hasil untuk diolah dan dianalisis


42

4.6 Uji Coba Kuesioner

4.6.1 Uji Validitas dan Reliabilitas

Validitas adalah derajat dimana instrument mengukur apa yang seharusnya

diukur. Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur benar-benar

mengukur apa yang diukur yang dikategotikan menjadi validitas konstruk,

validitas isi dan validitas eksternal.(12)

Setelah kuesioner dibuat, kemudian kuesioner diuji coba pada beberapa

responden. Data yang diperoleh kemudian dilakukan uji validitas dengan melihat

sebelum dan sesudah mirror terapi menggunakan ROM. Uji validitas digunakan

untuk mengetahui kelayakan mirror terapi menggunakan ROM dalam

mendefinisikan suatu variabel.

Uji validitas adalah uji yang digunakan untuk menunjukkan sejauh mana alat

ukur yang digunakan dalam suatu mengukur apa yang diukur. Dalam uji validitas

dilakukan untuk mengetahui kevalidan kuesioner yang digunakan dalam

penelitian ini. Uji validitas dilakukan dalam setiap pertemuan kuesioner diberikan

3 sampai 4 pasien dan mengikuti kesediaan pasien.

4.6.2 Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Uji reabilitas menunjukkan sejauh

mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau

lebih terhadap gejala yang sama dan dengan alat ukur yang sama.
43

Uji reliabilitas dapat dilihat pada nilai Cronbach’s Alpha, jika nilai

Cronbach’s Alpa > 0,60 maka variabel mirror terapi menggunakan ROM

merupakan dimensi variabel adalah reliabel. (12)

4.7 Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, maka dilakukan pengolahan data melalui tahapan

Editing, Coding, Skoring dan Tabulating(17).

1. Editing

Editing merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai tujuan pokok

sebelum dilakukan pengolahan data lebih lanjut. Dimana peneliti harus

mengecek kembali kelengkapan sebuah data.

2. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numeric (angka) terhadap data

yang terdiri atas beberapa kategorinya masing-masing. Pemberian kode ini

sangat penting untuk mempermudah pengolahan dan analisa data menggunakan

komputer.

3. Data Enty

Memproses data dengan cara memasukan data ke dalam komputer.

4. Cleaning Data

Dalam pembersihan data dilakukan pembetulan atau koreksi terhadap data yang

telah dimasukkan.
44

4.8 Analisa Data

Analisa data merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai tujuan

pokok penelitian, yaitu menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang

mengungkap fenomena.(12)

1. Analisis Univariate

Analisis univariate bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian, bentuk analisis univariate tergantung

dari jenis datanya. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan

distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel. (12)

2. Analisis Bivariate

Analisa bivariate bertujuan untuk membuktikan hipotesis yang telah

diumumkan. Karena untuk mengetahui dua hubungan variable. Pada

penelitian ini yang akan digunakan uji t (paired sample test) untuk mengukur

kemampuan gerak sebelum dan sesudah dilakukan mirror terapi menggunakan

ROM.

4.9 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa kedawung RT/RW 004/004 kabupaten

Cirebon dimulai pada tanggal 14 januari sampai dengan 14 februari 2021.

4.10 Etika Penelitian

Data penelitian ini, peneliti menggunakan subyek penelitian pada pasien

yang mengalami/penurunan mobilitas fisik akibat stroke di Desa kedawung


45

kecamatan Kedawung Kabupaten Cirebon RT/RW 004/004. Untuk itu perlu

mengujikan permohonan izin kepada kepala desa daerah kedawung. Setelah itu

peneliti menemui subyek yang akan dijadikan responden untuk

memberitahukan masalah etika yang harus diperhatikan antara lain adalah

sebagai berikut.

1. Lembar persetujuan menjadi responden

Lembar persetujuan akan diberikan kepada setiap pasien yang menjadi subyek

penelitian dan memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan dari

penelitian dan memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan dari

penelitian untuk mengadakan penelitian yang akan dilakukan, serta

menjelaskan akibat-akibat yang akan terjadi bila pasien bersedia menjadi

sabyek penelitian. Jika pasien bersedia maka harus mendatangani lembar

persetujuan sebagai tanda bersedia. Apabila responden tidak bersedia menjadi

responden maka peneliti akan tetap menghormati hak-hak responden.

2. Tanpa nama (Anonimity)

Nama subyek tidak dicantumkan pada lembar pengumpulan data, dan untuk

mengetahui keikutsertakannya peneliti hanya menggunakan kode dalam

bentuk nomor atau inisial pada masing-masing lembar pengumpulan data.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan informasi yang telah didapat oleh peneliti dari responden akan

dijamin kerahasiaannya. Hanya pada kelompok tertentu saja yang akan peneliti

sejaikan utamanya dilaporkan pada hasil riset.


BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

Penelitian ini dilakukan selama 30 hari mulai dari tanggal 14 januari sampai

dengan tanggal 14 februari 2020. Hasil penelitian ini didapatkan 54 responden

yang menjalani mirorr therapy dengan gerakan Range of Motion (ROM) terhadap

kekuatan otot (ekstremitas atas) pada pasien stroke di desa Kedawung RT 004

RW 004 Kabupaten Cirebon. Pasien terdiri dari pasien laki-laki dan perempuan

dengan rata-rata umur 54 tahun. Penulis menggunakan analisa SPSS untuk

mengetahui efektifitas mirror therapy dengan gerakan gerakan Range of Motion

(ROM) terhadap kekuatan otot (ekstremitas atas) pada pasien stroke dengan uji

Univariate dan uji Bivariate.

5.1.1 Uji Univariat

Uji Univariat dilakukan untuk mengetahui kekuatan otot sebelum mirror

terapi menggunakan ROM dan untuk mengidentifikasi kekuatan otot sesudah

mirror terapi menggunakan ROM. Hasil uji univariat dijabarkan pada tabel

berikut:

46
47

1. Distribusi Frekuensi Pada Kekuatan Otot Sebelum Mirror Therapy

Menggunakan ROM (Range Of Motion)

Tabel 5.1. Kekuatan Otot Sebelum Mirror Therapy menggunakan ROM ( Range Of
Motion)
Kategori Frequency Percent
Tidak Normal 0 0
Buruk 18 33.33
Sedikit Buruk 18 33.33
Sedang 18 33.33
Baik 0 0
Normal 0 0
Total 54 100.0

Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebelum mirror therapy menggunakan

ROM (Range Of Motion) responden yang memiliki kekuatan otot sedang

sebanyak 18 (33,33%), sedikit buruk sebanyak 18 (33,33%), buruk sebanyak 18

(33,33%), baik sebanyak 0 (0%), tidak normal sebanyak 0 (0%), normal sebanyak

0 (0%).

2. Distribusi frekuensi Pada Kekuatan Otot Sesudah Mirror Therapy

Menggunakan ROM ( Range Of Motion)

Tabel 5.2. Kekuatan Otot Sesudah mirrir therapy menggunakan ROM


(Range Of Motion)

Kategori Frequency Percent


Tidak Normal 0 0
Buruk 8 14.8
Sedikit Buruk 11 20.4
Sedang 19 35.2
Baik 16 29.6
Normal 0 0
Total 54 100.0

Berdasarkan tabel 5.2 diperoleh bahwa sesudah Mirror Therapy

menggunakan ROM (Range Of Motion) Responden memiliki kekuatan otot baik

sebanyak 16 (29,6%), sedang sebanyak 19 (35,2%), sedikit buruk sebanyak 11


48

(20,4%), buruk sebanyak 8 (14,8%), normal sebanyak 0 (0%), tidak normal

sebanyak 0 (0%).

5.1.2 Uji Bivariat

Tabel 5.3. Efektivitas Mirorr Therapy Dengan Gerakan (ROM) Terhadap


Kekuatan Otot (Ekstremitas Atas) Pada Pasien Stroke

Variabel Mean SD SE P. value n

Pre ROM 2 0,82 0,11 0,00 54

Post ROM 2,79 1,03 0,14

Berdasarkan tabel 5.3 hasil analisa bivariat dapat diketahui bahwa sebelum

mirror terapi menggunakan ROM didapat rata-rata 2 dengan standar deviasi 0,82.

Pada sesudah mirror terapi menggunakan ROM didapat rata-rata 2,79 dengan

standar deviasi 1,03.

Dari hasil uji Statistics dapat diketahui bahwa nilai p-value 0,00 kurang

dengan nilai alpha (0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kekuatan

otot pada pasien sebelum dan sesudah mendapatkan mirror therapy menggunakan

ROM. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak karena mirror therapy

menggunakan ROM terbukti meningkatkan kekuatan otot responden.

5.2 Pembahasan

Hasil penelitian ini diperoleh sebelum dilakukan mirror terapi menggunakan

ROM dengan kriteria sedikit buruk, buruk, sedang sebanyak 18 responden

(33,33%). Sedangkan sesudah mirror terapi menggunakan ROM dengan kriteria


49

sedang sebanyak 19 responden (35,2%). Dengan nilai rata-rata sebanyak 2 dengan

standar deviasi didapat 0,82. Hasil uji statistik didapat nilai p= 0,00 maka dapat

disimpulkan bahwa ada perbedaan kekuatan otot pada pasien sebelum dan

sesudah mendapatkan mirror therapy menggunakan ROM (Range Of Motion)

sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak karena terdapat perbedaan

kekuatan otot pada pasien sebelum dan sesudah mendapatkan mirror therapy

menggunakan ROM (Range Of Motion).

Hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian lainnya tentu sejalan

seperti pada penelitian Susana Nurtanti, Wahyu Ningrum. pada yang berjudul

“Efektifitas Range of Motion (ROM) Aktif Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot

Pada Penderita Stroke”. Penelitian ini menyatakan bahwa Semua responden

mengalami kenaikan kekuatan otot dari skala 2 yaitu mampu menggerakkan otot

atau bagian yang lemah sesuai perintah menjadi skala 3 yaitu mampu

menggerakkan otot dengan tahanan minimal. Dapat disimpulkan bahwa ROM

aktif efektif terhadap peningkatan kekuatan otot pada penderita stroke. (21)

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Ferry Agusman M, Evy

kusgiarti. yang berjudul “Pengaruh Mirror Therapy Terhadap Kekuatan Otot

Pasien Stroke Non Hemoragik Di RSUD Kota Semarang”. Penelitian ini

menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan latihan Mirror Therapy

terhadap kekuatan otot pasien stroke non hemoragik. t hitung = -2.428 dengan p

value = 0,015. Sehingga disarankan untuk meningkatkan mutu pelayanan dengan

cara memberikan pemahaman tentang pemberian latihan mirror therapy pada

pasien stroke.(22)
50

Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini adalah penelitian Muhamad

Arif, Suci Mustika, Def Primal. Pada yang berjudul “Pengaruh Terapi Cermin

Terhadap Kemampuan Gerak Pada Pasien Stroke Di Wilayah Kerja Puskesmas

Kumpulan Kabupaten Pasaman Tahun 2018”. Hasil penelitian ini adalah uji

statistik diperoleh nilai 0,000 yang dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang

signifikan antara terapi cermin terhadap kemampuan gerak pada pasien stroke di

Kumpulan Kesehatan Masyarakat tahun 2018. Disarankan terapi cermin

sebaiknya digunakan sebagai salah satu terapi nonfarmakologis pada pasien

dengan ekstremitas lemah baik melalui penyediaan oleh kesehatan. (23)

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Suharti, Siti Munifatul, Tryas

Ariyani, dkk.pada yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Cermin Terhadap

Kemampuan Bicara Pada Pasien Stroke Dengan Afasia Motorik Di SMC RS

Telogorejo”. Hasil penelitian ini adalah uji statistik Independent TTest diperoleh

nilai p-value 0,000 (<0,05), sedangkan nilai t hitung 7,159 > nilai t tabel 1,73.

Sehingga dapat disimpulkan terdapat efektivitas penggunaan cermin terhadap

kemampuan bicara pada pasien stroke dengan afasia motorik. (24)

Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini adalah penelitian Machyono,

Andi Kurnia Bintang, Jumraini Tammase, dkk pada yang berjudul “Efektivitas

Terapi Cermin Terhadap Perbaikan Motorik Lengan Pasien Stroke Iskemik Akut”.

Hasil penelitian ini adalah Didapatkan 32 subjek yang masing-masing terdiri dari

16 subjek pada tiap kelompok. Mayoritas subjek adalah laki-laki (59,4%), usia 45-

54 tahun (31,2%), memiliki riwayat hipertensi (81,2%), onset terbanyak pada hari

ke-3 (28,1%), dan memiliki gangguan motorik pada sisi kanan (59,4%). Rerata
51

selisih skor ARAT lebih tinggi pada kelompok terapi standar dan terapi cermin

dibandingkan kelompok terapi standar saja (15,56 vs 7,69). Terdapat perbaikan

fungsi motorik lengan yang signifikan antara kelompok dengan terapi cermin dan

kelompok kontrol setelah 10 hari terapi cermin, terutama pada gerakan

menggenggam (grasp).(25)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama penelitian berlangsung

responden banyak yang mengalami kekuata otot yang buruk dibagian ekstremitas

atas saat melakukan kegiatan sehari-hari, sehingga dengan diberikan Range Of

Motion (ROM) pada pasien stroke akan meningkatkan kekuatan otot menjadi baik

agar mudah digerakkan pada ekstremitas secara umum.

Menurut Kwakkel, et al mengatakan bahwa 30-60% dari responden stroke

yang mengalami kekuatan otot buruk akan mengalami kehilangan pada fungsi

ekstremitas atas dalam waktu 6 bulan.(26)

Menurut peneliti bahwa sebelum dilakukan mirror terapi menggunakan Range

Of Motion (ROM) dapat menyebabkan terjadi penurunan fleksibilitas dan

kekakuan sendi yang dapat mengakibatkan sendi yang kontraktur sehingga pada

akhirnya responden akan mengalami keterbatasan dalam melakukan aktifitas.

Selama penelitian berlangsung tingkat aktifitas yang buruk pada ekstremitas atas

dalam menggerakkan anggota gerak tubuh sehingga dapat meningkatkan

penurunan fungsi seperti atrofi otot, pelumasan sendi berkurang, dan kekuatan

sendi. Tetapi kekuatan rentang gerak kekuatan otot dan tonus otot ekstremitas atas

sebelum dilakukan mirror terapi menggunakan Range Of Motion (ROM) pada

ekstremitas atas cenderung lebih baik dari ekstremitas bawah.


52

Kekuatan otot sangat berhubungan dengan dengan system neuromuskuler yaitu

seberapa besar kemampuan system saraf mengaktifasi otot untuk melakukan

kontraksi. Sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktifasi, maka semakin

besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut. Kekuatan otot dari kaki , lutut

serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat

adanya tekanan gaya dari luar.

Kekuatan otot sesudah dilakukan mirror terapi menggunakan Range Of Motion

(ROM) kekuatan otot sebagian besar kategori sedang dan responde mampu

menggerakkan anggota gerak tubuhnya daripada sebelum dilakukan mirror terapi

menggunakan Range Of Motion (ROM). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian

mirror terapi menggunakan Range Of Motion (ROM) dampak memnerikan damak

positif terhadap peningkatan kekuatan otot pada pasien stroke.

Menurut Puspawati mengatakan bahwa intervensi dengan mirror terapi

menggunakan Range Of Motion (ROM) terhadap kekuatan otot dua kali sehari

lebih efektif daripada dengan mirror terapi menggunakan Range Of Motion

(ROM) satu kali sehari karena dapat meningkatkan kekuatan otot yang lebih

efektif dan tercapai kekuatan otot jadi lebih baik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien stroke di Desa Kedawung

Kabupaten Cirebon RT.04 RW.04 mempunyai skor rata-rata sebelum mirror

terapi menggunakan Range Of Motion (ROM) 2 dengan standar deviasi 0,82

pada sesudah mirror terapi menggunakan Range Of Motion (ROM) 2,79 dengan

standar deviasi 1,03 dengan skor 0-5. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
53

dengan terapi dan latihan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pasien

stroke maka kendala keterbatasan gerak dapat diatasi dengan baik.

Penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada pasien stroke dengan kelemahan

otot, selain terapi medikasi atau obat-obatan bisa dilakukan fisioterapi/

latihan : latihan beban, keseimbangan, dan latihan ROM. Selain terapi rehabilitasi

ROM yang sering dilakukan pada pasien stroke, terdapat alternatif terapi lainnya

yang diterapkan pada pasien stroke untuk meningkatkan status fungsional pada

sensori motorik, yaitu terapi latihan rentang gerak dengan menggunakan media

cermin (mirror therapy).

Terapi cermin ini mudah dilakukan dan hanya membutuhkan latihan

yang sangat singkat tanpa membebani pasien. Mirror Therapy merupakan

terapi untuk pasien stroke dengan melibatkan sistem mirror neuron yang terdapat

di daerah kortek serebri yang bermanfaat dalam penyembuhan motorik dari

tangan dan gerak mulut.(22)

Prosedur umum terapi cermin adalah pasien duduk dan meletakkan

cermin diantara kedua lengan atau tungkai Selanjutnya peneliti menginstruksikan

kepada pasien agar lengan atau tungkai yang sehat digerakkan fleksi dan ekstensi

/ keatas atau kebawah. Saat lengan atau tungkai yang sehat digerakkan, pasien

dianjurkan untuk melihat cermin yang ada, kemudian pasien disarankan

untuk merasakan bahwa lengan atau tungkai yang mengalami kelemahan turut

bergerak. Demikian diulang – ulang selama ≤30 menit dalam satu kali latihan.(22)

Berdasarkan hasil uji statistik maka dapat diketahui nilai rata-rata sebelum

mirror terapi menggunakan ROM sebanyak 2 dan sesudah mirror terapi


54

menggunakan ROM sebanyak 2,79 dengan p value sebesar 0,00 maka dapat

disimpulkan bahwa ada perbedaan kekuatan otot pada pasien sebelum dan

sesudah mendapatkan mirror terapi menggunakan ROM.

Stroke didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang berkembang oleh

sebab vaskuler. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada umumnya terjadi

akibat kekurangan aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau kematian.

Sekitar 85%, Stroke terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri

besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus)

yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal.

Trombus yang terlepas dapat menjadi embolus(27).

Latihan Mirror Therapy adalah bentuk rehabilitasi/ latihan yang

mengandalkan dan melatih pembayangan/ imajinasi motorik pasien, dimana

cermin akan memberikan stimulasi visual kepada otak (saraf motorik serebral

yaitu ipsilateral atau kontralateral untuk pergerakan anggota tubuh yang

hemiparesis) melalui observasi dari pergerakan tubuh yang akan ditiru seperti

cermin oleh bagian tubuh yang mengalami gangguan(28).

Terapi Cermin adalah suatu intervensi terapi baru yang difokuskan pada

ekstermitas yang tidak mengalami gangguan. Menurut Bastian pasien stroke yang

sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi dapat ditangani salah satunya

dengan cara, latihan didepan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir, dan

mengucapkan kata-kata. Terapi cermin merupakan intervensi terapi yang berfokus

pada bergerak anggota tubuh utuh. Ini adalah bentuk citra yang digunakan untuk
55

menyampaikan rangsangan visual ke otak melalui observasi dari bagian tubuh

yang tidak mengalami gangguan untuk melakukan serangkaian gerakan.(22)

Latihan gerak yang diberikan harus distimulasi untuk membuat gerak dan

respon gerak sebaik dan senormal mungkin. Latihan pergerakan bagi pasien

stroke merupakan prasyarat bagi tercapainya kemandirian pasien, karena latihan

akan membantu secara berangsur-angsur fungsi tungkai dan lengan kembali atau

mendekati normal, dan memberi kekuatan pada pasien tersebut untuk

mengontrol kehidupannya. Latihan disesuaikan dengan kondisi pasien dan

sasaran utama adalah kesadaran untuk melakukan gerakan yang dapat

dikontrol denga baik, bukan pada besarnya gerakan. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Verles and Mulder bahwa sejumlah pasien melaporkan bahwa ilusi

perasaan mereka bahwa lengan yang mengalami gangguan pergerakan dapat

bergerak secara normal meskipun pola gerakan sebenarnya secara signifikan yang

dihasilkan oleh ilusi pada lengan di cermin. Hipotesis ini menyatakan bahwa

gerakan terbuka dan gerakan imajinasi pada dasarnya memiliki kesamaan dalam

proses tejadinya gerakan.

Dari hasil penelitian, diketahui ada beberapa responden yang tidak mengalami

perubahan pada rentang gerak sendinya hal ini dipengaruhi oleh usia, dukungan

keluarga maupun motivasi pasien sendiri serta masa mirror terapi menggunkan

ROM. Penelitian sama dengan yang dilakukan oleh Tulandi, dimana terdapat

beberapa responden yang tidak mengalami perubahan pada rentang gerak

sendinya disebabkan oleh karakteristik usia, nyeri saat digerakkan, dan tidak ada
56

motivasi dari pasien sendiri sehingga tidak mengalami perubahan pada rentang

gerak sendi ekstremitas atas.(29)

Menurut Indahsari menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia, masalah

yang sering dialami berupa gangguan atau perubahan fungsi fisik maupun

psikologis. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan pada sistem

muskuloskeletal dimana terjadi penurunan fungsi dan masa dari sel, otot menjadi

kendur, berkurangnya energi, sering merasa lelah, gerakan tangan yang

berkurang, gangguan pada sendi-sendi kartilago serta persendian tulang yang

mulai rapuh. Sehingga hal ini dapat mempengaruhi kemampuan responden dalam

melakukan latihan range of motion serta hanya sebagian kecil perubahan yang

bisa terjadi pada rentang gerak sendinya.(30)

Latihan range of motion dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan atau

meningkatkan kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang

sirkulasi darah dan mencegah kelainan bentuk. Jaringan otot yang memendek

akan memanjang secara perlahan apabila rentang gerak sendi ekstremitas atas

seperti sendi peluru, sendi engsel, dan sendi kondiloid mengalami keterbatasan.

Namun sesudah dilakukan latihan range of motion menunjukkan bahwa luas

derajat latihan range of motion dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan

atau meningkatkan kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang

sirkulasi darah dan mencegah kelainan bentuk. Jaringan otot yang memendek

akan memanjang secara perlahan apabila dilakukan latihan range of motion dan

jaringan otot akan mulai beradaptasi untuk mengembalikan panjang otot kembali

normal.
57

Dalam penelitian Pongantung H, Sampe Anita, mengatakan bahwa pasien

stroke harus di mobilisasi sedini mungkin. Salah satu mobilisasi dini yang dapat

segera dilakukan adalah pemberian latihan Range Of Motion (ROM) yang

bertujuan untuk meningkatkan kemandirian pasien pasca stroke.(31)

Menurut Garrison menyatakan bahwa kontraktur merupakan salah satu

penyebab terjadinya penurunan kemampuan rentang gerak sendi pada penderita

stroke(33). Menurut Lewis mengatakan dalam penelitian Derison dan Surani

mengatakan bahwa mengemukakan bahwa atropi otot karena kurangnya aktivitas

dapat terjadi hanya dalam waktu kurang dari satu bulan setelah terjadinya

serangan stroke. Namun dengan pemberian latihan Range Of Motion (ROM)

dengan rutin dan sedini mungkin pada bagian tubuh yang mengalami kelemahan

ataupun kekakuan sendi, akan memberikan perubahan yang berfungsi

melemaskan sendi-sendi yang telah dilakukan latihan Range Of Motion (ROM)

dan jaringan otot akan mulai beradaptasi untuk mengembalikan panjang otot

kembali normal(32).

Waktu latihan mirror terapi menggunakan ROM yang seharusnya menurut

Maimurahman menyatakan bahwa dalam melakukan mirror terapi menggunakan

ROM harus diulang-ulang sekitar 8 kali gerakan, dan dikerjakan minimal 2 kali

sehari yang dilakukan secara perlahan dan hati-hati agar tidak menyebabkan

kelelahan(10). Sedangkan penelitian yang dilakukan kepada pasien dalam

melakukan mirror terapi menggunakan ROM dikerjakan 2 kali sehari dan hanya

diulang-ulang sekitar 3 kali gerakan dengan hasil yang di dapat peneliti kurang

efektif karena proses mirror terapi menggunakan ROM kurang maksimal.


BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

1. Kekuatan otot sebelum mirror terapi menggunakan ROM sebesar 18

responden (33,33%), Dengan kriteria sedikit buruk, buruk, sedang dan kriteria

normal sebanyak 0 (0%), baik sebanyak 0 (0%), tidak normal 0 (0%).

2. Kekuatan otot pada pasien sesudah mirror terapi menggunakan ROM sebesar

19 responden (35,2) dengan kriteria sedang.

3. Ada perbedaan kekuatan otot pada pasien sebelum dan sesudah mendapatkan

mirror therapy menggunakan ROM. Dengan p-value 0,00. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa H0 ditolak karena mirror terapi menggunakan ROM

terbukti meningkatkan kekuatan otot responden.

6.2. Saran

Dari hasil penelitian diatas maka penulis menyimpulkan beberapa saran yang

bisa diterapkan pada berbagai pihak terkait hasil penelitian ini. Saran untuk

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi peneliti

Melakukan penelitian dan wawasan mengenai Efektifitas mirror therapy

dengan gerakan Range of Motion (ROM) tehadap kekuatan otot pada pasien

stroke yang lebih efektif 2 kali sehari dengan 8 kali gerakan

58
59

2. Bagi pelayanan keperawatan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam tindakan keperawatan

untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan terutama untuk

meningkatkan pelayanan therapy pada pasien stroke.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian selanjutnya dapat berupa penelitian kualitatif yang memfokuskan

pada faktor-faktor terkait keefektifan penggunaan metode Range Of Motion

(ROM) tehadap kekuatan otot pada pasien stroke.

4. Bagi pasien

Bagi pasien agar selalu menjaga pola hidup sehat agar mengurangi disabilitas

akibat stroke dan rutin mengkonsultasikan kesehatannya pada isntitusi

kesehatan terkait.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nurartianti, N., & Wahyuni, N. T. (2020). PENGARUH TERAPI GENGGAM

BOLA TERHADAP PENINGKATAN MOTORIK HALUS PADA PASIEN

STROKE. Jurnal Kesehatan. https://doi.org/10.38165/jk.v8i1.98

2. Anggraini, G. D., Septiyanti, S., & Dahrizal, D. (2018). Range Of Motion (ROM)

Spherical Grip dapat Meningkatkan Kekuatan Otot Ekstremitas Atas Pasien

Stroke. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kesehatan.

https://doi.org/10.32668/jitek.v6i1.85

3. Dr.Lily S.Sulistyowati,MM. Profil Penyakit Tidak Menular; [diunduh tanggal 26

Oktober 2017]. Tersedia Dari; http://p2ptm.kemkes.go.id/

4. Kementrian Kesehatan (2018) Prevalensi stroke di indonesia 2018.

https://prevalensi-stroke-di-indonesia-2018

5. Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon. (2018). Profil Kesehatan Kabupaten

Cirebon. Germas.

6. Dinkes, P.J.B (2018) Profil Kesehatan Jawa Barat tahun 2018. 46(9), S240.

http://www.joim.pl/pdf/MAZURv2.pdf

7. Kementrian Kesehatan (2018) Prevalensi stroke di indonesia 2018.

https://prevalensi-stroke-di-indonesia-2018

8. Kim, D.-H., & Lee, S.-M. (2020). Effects of sensory stimulation on upper limb

strength, active joint range of motion and function in chronic stroke virtual reality

training. Physical Therapy Rehabilitation Science.

https://doi.org/10.14474/ptrs.2020.9.3.171
9. Lee, D., Lee, M., Lee, K., & Song, C. (2014). Asymmetric training using virtual

reality reflection equipment and the enhancement of upper limb function in stroke

patients: A randomized controlled trial. Journal of Stroke and Cerebrovascular

Diseases. https://doi.org/10.1016/j.jstrokecerebrovasdis.2013.11.006

10. Intan Diah Suminar. Pengaruh Range Of Motion (ROM) Aktift Terhadap

Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke Hemorogik. Skripsi. Insan Cendikia Jombang;

2018

11. Dedi Irawandi, Ketut Sudiana, Abu Bakar. Effectiveness of Mirror Therapy

Against Upper Limb Muscle Strength in Ischemic Stroke Patients: systematic

review. Muscle strength, mirror therapy, ischemic stroke, hemiparesis, 2018;1

12. Dede Nur Aziz Muslim, Agus Setiawan, Rohman Azzam. Pengaruh mirror terapi

terhadap kekuatan otot ekstremitas atas. Iskemic stroke, Muscle strength, Mirror

Therapy.2017; 1-2

13. Dedi Irawan. Perbedaan pemberian kombinasi terapi cermin dan ROM. Skripsi.

Universitas Airlangga;2018

14. Lee, M. M., Cho, H. Y., & Song, C. H. (2012). The mirror therapy program

enhances upper-limb motor recovery and motor function in acute stroke patients.

American Journal of Physical Medicine and Rehabilitation.

https://doi.org/10.1097/PHM.0b013e31824fa86d

15. Pervane Vural, S., Nakipoglu Yuzer, G. F., Sezgin Ozcan, D., Demir Ozbudak, S.,

& Ozgirgin, N. (2016). Effects of Mirror Therapy in Stroke Patients with

Complex Regional Pain Syndrome Type 1: A Randomized Controlled Study.

Archives of Physical Medicine and Rehabilitation.


https://doi.org/10.1016/j.apmr.2015.12.008

16. Dr.dr.Yuyun Yueniwati P.W.,M.Kes.Sp.Rad; Deteksi Dini Stroke Iskemia.

Universitas Brawijaya Press (UB Press) [e-book]. Edisi ke-1;2015 [diunduh 1

januari 2015]. Tim Universitas Brawijaya Press (UB Press)

17. Isna Fanesia Sinaga, Pengaruh mirror terapi terhadap uji kekuatan otot pasien

stroke non hemorogik di RSUP haji adam malik medan 2019. Skripsi. STIKes

Santa Elisabeth Medan 2019.

18. Virzara Auryn. Seputar Stroke. Dalam: Pengertian Dan Memahami Stroke.

Mengenal & Memahami Stroke; 2017. 46-65

19. Rudi Haryono, Ns.,M.Kep. Gangguan Kebutuhan Aktivitas Dan Istirahat Akibat

Patologis Sistem Persarafan. Dalam: Masalah Keperawatan, Stroke. Keperawatan

Medikal Bedah II; 2019,129-144

20. Sugiyono. (2013) Metode penelitian kualitatif R & D. Bandung: Alfabeta.

21. Susana Nurtanti,Wahyu Ningrum. Efektifitas Range Of Motion (ROM) Aktif

Terhadap Peningkatan Kekuatan otot Pada penderita stroke. 2018

22. Ferry Agusman M, Evi Kusgiarti. Pengaruh Mirrir Therapy Terhadap Kekuatan

otot pasien stroke Non Hemorogik DI RSUD Kota Semarang.2017

23. Muhammad Arif, Suci Mustika, Def Primal. Pengaruh Terapi Cermin Terhadap

Kemampuan Gerak Pada Pasien Stroke Di Wilayah Kerja puskesmas Kumpulan

Kabupaten Pasaman. 2018

24. Suharti, Siti Munifatul, Triyas Ariyani,dkk. Efektifitas Penggunaan Cermin

Terhadap Kemampuan Bicara Pada pasien stroke. 2017


25. Machyono, Andi Kurnia Bintang, Jumraini Tammase,dkk. Efektifitas Terapi

Cermin Terhadap perbaikan motorik lengan pasien stroke iskemik akut. 2018

26. Kwakkel, et al. 2014 Efekct of Augmented Exercise Therapy Time Afret stroke.

http://www.stroke.ahajournals.org/cgi/full/35/11/2529. Diakses pada tanggal 20

april 2013.

27. Price SA & Wilson LM. Patofisiologi. Konsep Klinis proses-prosespenyakit jilid

2 EGC. Jakarta 2006:11 10=19

28. Wang, et al (2013). A comparison of neural mechanism in mirror therapy and

movement observation therapy, Journal Rehabil Med

29. Fransiska Anita; Heni Pongantung; putri Veni Ada;Vhiola Hingkam. Pengaruh

latihan Range Of Motion terhadap rentang gerak sendi ekstremitas atas pada

pasien stroke. 2018

30. Indahsari, P. N., MM, F.A., & Ekowati,S.I 2013. Hubungan perubahan Fungsi

fisik terhadap kebutuhan aktivitas hidup sehari-hari (AHS) pada lansia dengan

stroke (studi pada unit rehabilitasi sosial kota semarang). Journal Keperawatan,

vol 1 Nomor 1, 24-32.

31. Pongantung H., Sampe Anita.,Mayer (2018) Hubungan Dukungan keluarga

dengan self efficacy pada pasien stroke di RSU Dr. Wahidin Sudirohusodo

Makasar. ejournal.stikesmakassar.ac.id

32. Kozier, B., Erb, Garrison., Berman, A., & Snyder, S, J. 2010. Buku ajar

Fundamental keperawatan. Jakarta EGC.


LAMPIRAN
1. SOP Terapi Cermin (Mirror Therapy)

Pengertian Terapi cermin adalah salah satubentuk pengobatan alternative

pada rehabilitasi stroke yang masih tergolong relative baru,

prinsip terapi cermin ini adalah pendekatan sensori motor,

yaitu dengan cara melihat dan menggerakan anggota gerak

yang sehat di depan cermin, sedangkan anggota gerak yang

paresis disembunyikan di belakang cermin, sehingga pasien

seolah-olah melihat bahwa gerakan tersebut berasal dari

anggota gerak yang alami hemiparesis, tujuannya yaitu

menciptakan ilusi fisual pemulihan motorik dari anggota

gerak yang mengalami hemiparesis.

Tujuan Meningkatkan kekuatan otot dan mobilitas pada pasien stroke

dengan hemiparesis.

Persiapan Cermin dengan ukuran panjang 60cm, lebar 30cm dan tinggi

Alat 25cm

Persiapan 1) Jelaskan maksud dan tujuan dari tindakan yang akan

Klien dilakukan

2) Atur kenyamanan dan keamanan klien

Prosedur 1) Atur posis tubuh pasien duduk atau setengan duduk

Kerja 2) Letakan cermin di antara kedua lengan/ tungkai

3) Instruksikan kepada pasien agar lengan/ tungkai yang sehat

di gerakan (ke atas dank e bawah) di depan cermin dan di

ikuti oleh lengan/ tungkai yang sakit di belakang cermin


4) Saat menggerakan lengan/ tungkai, anjurkan pasien untuk

melihat gerakan di depan cermin kemudian sarankan

merasakan atau membayangkan bahwa lengan/ tungkai yang

mengalami paresis turut bergerak

5) Gerakan lengan/ tungkai di lakukan berulang-ulang masing-

masing 8 kali gerakan selama 10 menit

6) Evaluasi

Respon Klien selama terapi dilakukan

2. Standar Operasional Prosedur (SOP) Range Of Motion (ROM)

Pengertian Latihan gerak aktif-pasif atau range of motion (ROM) adalah

latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau untuk

memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakkan

persendian secara normal dan lengkap.

Tujuan 1. Untuk mengurangi kekuatan pada sendi dan kelemahan pada otot

yang dapat dilakukan secara aktif maupun pasif tergantung

dengan keadaan pasien.

2. Meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan

otot.

Indikasi 1. Pasien yang mengalami hambatan mobilitas fisik


2. Pasien yang mengalami keterbatasan rentang gerak

Prosedur Tahapan Kerja

Kerja Gerakan Rom

1) Leher

Tekuk kepala kebawah dan keatas lalu menoleh kesamping

kanan dan kiri

2) Lengan/pundak

Angkat tangan keatas lalu kembali kebawah, setelah itu

kesamping dan ke bawah lagi

3) Siku

Dengan menekuk lengan, gerakan lengan ke atas dan kebawah

4) Pergelangan tangan

Tekuk pergelangan tangan kedalam dan keluar lalu samping

kiri dan kanan

5) Jari Tangan

Tekuk keempat jari tangan kearah dalam lalu renggangkan

kembali. Kepalkan seluruh jari lalu buka. Tekuk tiap jari satu

persatu.

6) Lutut

Angkat kaki keatas lalu lutut ditekuk kemudian diturunkan lagi.

Gerakan kaki ke samping kanan dan kiri lalu putar kearah

dalam daan luar

7) Pergelangan kaki
Tekuk pergelangan kaki keatas lalu luruskan. Tekuk jari kaki

ke atas dan kebawah.

8) Jika mampu berdiri lakukan gerakan badan

Membungkuk kemudian putar pinggang ke samping kanan dan

kiri. (Latihan ROM ini dikerjakan sekurang-kurangnya satu

hari sekali dan harus diulang 2-3 kali).

INGAT. Tidak dipaksakan dalam latihan, lakukan seringan

mungkin.

Evaluasi 1) Respon

Respon verbal: klien mengatakan tidak kaku lagi

Respon non verbal: Klien tidak terlihat sulit untuk menggerakkan

sisi tubuhnya yang kaku.

2) Beri reinforcement positif

3) Lakukan Kontrak untuk kegiatan selanjutnya

4) Mengakhiri Kegiatan dengan baik.

3. Standar Operasional Prosedur (Kekuatan otot)

Pengertian Otot adalah jaringan dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai
alat gerak aktif yang menggerakkan tulang. Otot menyebabkan
adanya pergerakan suatu organisme maupun pergerakan dari organ
dalam organisme tersebut.
Tujuan Untuk mengukur kenormalan fungsi otot
Alat dan 1) Kertas pengkajian klien
bahan 2) Alat tulis
3) Handscoon dan Midline

Langkah- PENGUKURAN KEKUATAN OTOT


langkah
Ada dua cara untuk mengukur kekuatan otot:
1) Pemeriksa meminta klien untuk menggerakkan bagian ektremitas
dan pemeriksa menahan gerakan tersebut.
2) Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas dan minta klien
untuk menahannya.

Skala kekuatan otot:


5 = normal, ROM bebas, bisa menahan gravitasi, bisa
mengangkat beban berat, bisa mengikuti perintah
4 = bisa menahan gravitasi, bisa mengangkat beban ringan, ada
tahanan ringan, bisa mengikuti perintah
3 = bisa menahan gravitasi, tanpa tahanan
2 = tidak bisa menahan gravitasi, ada gerakan sendi dan otot
(gerakan meremas), lemas.
1 = tidak bisa menahan gravitasi, ada gerakan otot saja
(gerakan jari)
0 = tidak ada gerakan

4. Format Pemeriksaan Kekuatan otot

Jenis pemeriksaan Prosedur


Kekuatan otot 1) Meminta klien melakukan fleksi pada lengan dan beri
ekstremitas atas tahanan
1. Otot bahu 2) Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi
lengan, lalu beri tahanan
3) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5
1) Minta klien melakukan gerakan fleksi pada siku dan
2. Otot siku beri tahanan
2) Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi
siku, lalu beri tahanan
3) Nilai kekuatan otot dengan menggunaka skala 0-5

1) Letakan lengan bawah klien diatas meja dengan


3. Otot
telapak tangan menghadap keatas
pergelangan
2) Minta klien untuk melakukan gerakan fleksitelapak
tangan
tangan dengan melawan tahanan
3) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan nilai 0-5

4. Otot jari-jari 1) Minta klien untuk menggunakan dengan jari-jari


tangan dengan melawan tahanan
2) Nilai kekuatan otot menggunakan nilai 0-5
3. Kuesioner penelitian

LEMBAR KUESIONER

Efektifitas mirror therapy dengan gerakan Range Of Motion (ROM) terhadap

kekuatan otot pada pasien stroke di Desa Kedawung RT/RW 004/004 Kabupaten

Cirebon Tahun 2020

Kode Responden:

Tanggal Pengisian:

Petunjuk pengisian:

1. Lembar diisi oleh responden

2. Berikut tanda check list (v) pada kotak yang telah disediakan

3. Kolom kode tetap dibiarkan kosong

4. Apabila kurang jelas saudara berhak bertanya kepada peneliti

5. Mohon diteliti ulang agar tidak ada pertanyaan yang terlewatkan

Data Demografi Responden Kode


1. Jenis Kelamin: Laki-laki
Perempuan
Lembar Observasi
Kombinasi Intervensi Terapi Cermin (Mirrir Therapy) dan ROM (Range
Of Motion)

Ko Kekuatan otot Kekuatan otot Keterangan


de Ekstremitas Ekstremitas Atas
Res Atas (lengan) (lengan) post test
pon pre test
den
0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5

1 √ √

2 √ √

3 √ √

4 √ √

5 √ √

6 √ √

7 √ √

8 √ √

9 √ √

10 √ √

11 √ √

12 √ √

13 √ √

14 √ √

15 √ √

16 √ √

17 √ √

√ √
18
Lembar Observasi
Kombinasi Intervensi Terapi Cermin (Mirrir Therapy) dan ROM (Range
Of Motion)

Kode Kekuatan otot Kekuatan otot Keterangan


Respond Ekstremitas Ekstremitas
en Atas (lengan) Atas (lengan)
pre test post test

0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5

19 √ √

20 √ √

21 √ √

22 √ √

23 √ √

24 √√ √

25 √ √

26 √ √

27 √ √

28 √ √

29 √ √

30 √ √

31 √ √

32 √ √

33 √ √

34 √ √

35 √ √

36 √ √
Lembar Observasi
Kombinasi Intervensi Terapi Cermin (Mirrir Therapy) dan ROM (Range
Of Motion)

Kode Kekuatan otot Kekuatan otot keterangan


Respon Ekstremitas Ekstremitas
den Atas (lengan) Atas (lengan)
pre test post test

0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5

37 √ √

38 √ √

39 √ √

40 √ √

41 √ √

42 √ √

43 √ √

44 √ √

45 √ √

46 √ √

47 √ √

48 √ √

49 √ √

50 √ √

51 √ √

52 √ √

53 √ √

54 √ √
LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth.

Sdr/I sebagai calon responden

Di Desa Kedawung,

Dengan Hormat, Saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Ayu Alif Nurjanah

NIM : 4201.0117.A.003

Mahasiswa: S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Cirebon

Bermaksud melakukan penelitian yang bejudul “Efektifitas mirror therapy

dengan derakan ROM (Range Of Motion) terhadap kekuatan otot pada pasien

stroke di Desa. Kedawung RT.RW 004.004 Kab. Cirebon Tahun 2020”.

Sehubungan dengan hal tersebut, dengan kerendahan hati saya mohon

kesediaan saudari bersedia/tidak bersedia dapat berpartisipasi menjadi responden

dalam penelitian ini. Semua data dan informasi akan dijaga kerahasiaanya dan

hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian.

Jika bersedia menjadi responden, mohon untuk menandatangani

pernyataan kesediaan menjadi responden. Atas perhatian kerjasamanya saya

mengucapkan terimakasih,

Cirebon, November 2020

Ayu Alif Nurjanah


LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

(informed consent)

Yang bertandatangan dibawah ini saya menyatakan bahwa:

Nama :

Alamat :

Usia :

Dengan ini menyatakan bersedia untuk menjadi responden penelitian yang

dilakukan Aan Nabilah mahasiswa S1 keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan (STIKes) Cirebon yang berjudul ”Efektifitas mirror therapy dengan

gerakan ROM (Range Of Motion) terhadap kekuatan otot pada pasien stroke di

Desa. Kedawung RT.RW 004.004 Kab. Cirebon Tahun 2020”.

Saya memahami bahwa penelitian ini tidak menyebabkan kerugian pada

saya, oleh karena itu saya bersedia menjadi responden pada penelitian ini.

Cirebon, November 2020

Peneliti Responden

(Ayu Alif Nurjanah) (..............................)


FREQUENCIES VARIABLES=pre_test post_test

/STATISTICS=STDDEV SEMEAN MEAN MEDIAN SUM

/ORDER=ANALYSIS.

Frequencies

Notes

Output Created 28-MAR-2021 12:51:18

Comments

Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>
Input
Split File <none>

N of Rows in Working Data


54
File

User-defined missing values


Definition of Missing
are treated as missing.
Missing Value Handling
Statistics are based on all
Cases Used
cases with valid data.

FREQUENCIES
VARIABLES=pre_test
post_test

Syntax /STATISTICS=STDDEV
SEMEAN MEAN MEDIAN
SUM

/ORDER=ANALYSIS.

Processor Time 00:00:00.02


Resources
Elapsed Time 00:00:00.02
[DataSet0]

Statistics

pre_test post_test

Valid 54 54
N
Missing 0 0

Mean 2.0000 2.7963

Std. Error of Mean .11215 .14083

Median 2.0000 3.0000

Std. Deviation .82416 1.03486

Sum 108.00 151.00

Frequency Table

pre_test

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Buruk 18 33.3 33.3 33.3

sedikit buruk 18 33.3 33.3 66.7


Valid
Sedang 18 33.3 33.3 100.0

Total 54 100.0 100.0


post_test

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Buruk 8 14.8 14.8 14.8

sedikit buruk 11 20.4 20.4 35.2

Valid Sedang 19 35.2 35.2 70.4

Baik 16 29.6 29.6 100.0

Total 54 100.0 100.0

T-TEST PAIRS=pre_test WITH post_test (PAIRED)

/CRITERIA=CI(.9500)

/MISSING=ANALYSIS.
T-Test

Notes

Output Created 28-MAR-2021 13:04:07

Comments

Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>
Input
Split File <none>

N of Rows in Working Data


54
File

User defined missing values


Definition of Missing
are treated as missing.

Statistics for each analysis


Missing Value Handling are based on the cases with
Cases Used no missing or out-of-range
data for any variable in the
analysis.

T-TEST PAIRS=pre_test
WITH post_test (PAIRED)
Syntax
/CRITERIA=CI(.9500)

/MISSING=ANALYSIS.

Processor Time 00:00:00.02


Resources
Elapsed Time 00:00:00.17

[DataSet0]
Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

pre_test 2.0000 54 .82416 .11215


Pair 1
post_test 2.7963 54 1.03486 .14083

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 pre_test & post_test 54 .774 .000

Paired Samples Test

Paired Differences

Mean Std. Deviation Std. Error Mean 95% Confidence


Interval of the
Difference

Lower

Pair 1 pre_test - post_test -.79630 .65530 .08918 -.97516

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-


tailed)
95% Confidence
Interval of the
Difference

Upper

Pair 1 pre_test - post_test -.61743 -8.930 53 .000

Anda mungkin juga menyukai