Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga
pembiasansinar tidak difokuskan pada retina (bintik kuning). Untuk memasukkan
sinar atau bayangan benda ke mata diperlukan suatu sistem optik. Diketahui
bahwa bola mata mempunyai panjang kira-kira 2.0 cm. Untuk memfokuskan sinar
ke retina diperlukan kekuatan 50.0 dioptri. Lensa berkekuatan 50.0 dioptri
mempunyai titik api pada titik 2.0 cm (Ilyas , 2006, p1).
Pada mata yang tidak memerlukan alat bantu penglihatan (biasa disebut mata
normal)

terdapat 2 sistem yang membiaskan sinar yang menghasilkan kekuatan

50.0 dioptri.

Kornea mata mempunyai kekuatan 80% atau 40 dioptri dan lensa

mata berkekuatan 20% atau 10 dioptri (Ilyas , 2006, p1).


Menurut Ilyas (2006, p2) kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan
tegas tidak dibentuk pada retina. Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan
sistem optic pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata
normal kornea dan lensa membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada
sentral retina.
Pada kelainan refraksi, sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, akan tetapi
dapat di depan atau di belakang retina dan mungkin tidak terletak pada satu titik
yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, dan
astigmatisme.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, kami dapat mengambil rumusan masalah
sebagai berikut :
1.

Apa pengertian refraksi mata?

2.

Apa saja klasifikasi refraksi mata?

3.

Apa saja etiologi refraksi mata?

4.

Bagaimana patofisiologi refraksi mata?

5.

Apa manifestasi klinis klien yang mengalami refraksi mata?

6.

Apa saja komplikasi refraksi mata?

7.

Apa saja pemeriksaan penunjang refraksi mata?

8.

Bagaimana penatalaksanaan refraksi mata?

9.

Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan refraksi mata?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, kami dapat mengambil tujuan sebagai
berikut
1.

Menjelaskan pengertian refraksi mata.

2.

Menjelaskan klasifikasi refraksi mata.

3.

Menjelaskan etiologi refraksi mata.

4.

Menjelaskan patofisiologi refraksi mata.

5.

Menjelaskan manifestasi klinis klien yang mengalami refraksi mata.

6.

Menjelaskan komplikasi refraksi mata.

7.

Menjelaskan pemeriksaan penunjang refraksi mata.

8.

Menjelaskan penatalaksanaan refraksi mata.

9.

Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan refraksi mata.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian
Gangguan refraksi mata adalah pembiasan sinar oleh media penglihatan yang
terdiri dari kornea, cairan mata, lensa, badan kara atau panjang

bola mata,

sehingga bayangan benda dibiaskan tidak tepat di biaskan di daerah macula lutea
tanpa bantuan akomodasi , keadaan ini disebut Ametropia ( masjoer, A :1999 : 72 )
Gangguan refraksi mata adalah penyimpangan cahaya yang lewat secara
miring dari suatau medium ke mediu Gm lain yang berbeda densitasnya.
Penyimpangan tersebut terjadi pada permukaan pembatas kedua medium tersebut
yang dikenal sebagai permukaan refraksi ( Dorland, 1996; 1591 ).
Gangguan refraksi mata adalah suatau keadaan dimana penglihatan terganggu
karena terlalu pendek atau terlalu panjang bola mata sehingga mencegah cahaya
terfokus dengan jelas pada retina ( Timby, Scherer dan Smith, 2000 )

B.

Klasifikasi
Klasifikasi kelainan refleks menurut ilyas, S. ( 1998 ), Tinaby, Scherer dan Smith,
E. (2000). Ada 2 yaitu :
1.

Ametropia
Ametropia (mata dengan kelainan refraksi) berasal dari bahasa Yunani;

ametros, yang berarti tidak seimbang/sebanding, dan opsis, adalah penglihatan.


Jadi ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi dimana mata
yang dalam keadaan tanpa akomodasi atau istirahat memberikan bayangan sinar
sejajar pada fokus yang tidak terletak pada retina.
Ametropia dibedakan menjadi 4 yaitu:
a.

Ametropi oksial: Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih
panjang atau pendek.

b.

Ametropia refraktif: Ametropia akibat kelainan system pembiasan sinar di dalam


mata.

c. Ametropia kurvatur: Ametropia akibat kelengkungan kornea atau lensa yang


tidak normal.
d. Ametropia indeks: Ametropia karena indeks bias abnormal d dalam mata.
Ametropia dapat ditemukan empat bentuk kelainan yaitu :
a. Myopia
Myopia adalah mata denga daya lensa positif yang lebih kuat sehingga sinar yang
sejajar atau datang dari tak terhingga di fokuskan di depan retina. Myopia
dibedakan berdasarkan :
1) Menurut bentuknya myopia dibedakan menjadi 2 yaitu :
a)

Myopia refraktif
Bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti yang terjadi pada katarak
intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih
kuat.

b)

Myopia aksial
Myopia akibat panjanganya sumbu bola mata, dengan kelengkungan lenssa
mata dan kornea yang normal.

2)

Menurut derajat beratnya myopia dibedakan dalam :

a)

Myopia ringan dimana myopia kecil dari pada 1 3 dioptri.

b)

Myopia sedang dimana myopia lebih dari antara 3 6 dioptri.

c)

Myopia berat atau tinggi dimana myopia lebih besar dari 6 dioptri.

3)

Menurut perjalanan myopia dikenal bentuk :

a)

Myopia stasioner, myopia yang menetap setelah dewasa.

b)

Myopia progresif, myopia yang bertambah terus menerus pada usia dewasa
akibat bertambah panjangnya bola mata.

c)

Myopia maligna atau degeneratif, myopia yang dapat mengakibatkan ablasi


retina dan kebutaan atau sama dengan myopia pernisiosa ditemukan pada
semua umur dan terjadi sejak lahir.

b. Hipermetropi
Merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh
tidak cukup dibiaskan sehingga titim fokusnya terletak dibelakang retina,
hipermetropi dikenal dalam bentuk :
1) Hipermetropi manifestasi
Ialah hipermetropi yang dapat dikoreksi dengan kaca mata positif maksimal yang
memberikan tajam penglihatan yang normal.
2) Hipermetropi laten
Ialah dimana kelainan hipermetropi tanpa sikloplegia ( atau dengan obat yang
melemahkan akomodasi ) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.
3) Hipermetropi total
Hipermetropi yang ukuranya didapatkan sesudah diberikan sikloplegia ( obat tetes
mata, biasanya diberikan pada anak, pemberian diberikan selama 3 hari untuk
mengetahui kelainan refraksi ).
c.

Afakia
Adalah suatau keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa sehingga mata
tersebut menjadi hipermetropi tinggi.

d. Astigmatisme
Adalah kelainan kelengkungan kornea mata. Astigmatisme dikenal dalam bentuk:
1) Astigmatisme reguler
Adalah Astigmatisme yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau
berkurang perlahan lahan secara terataur dari satau meredian ke meredian
berikutnya.
2)

Astigmatisme irreguler

Adalah astigmatisme yang terjadi tidak mempunyai 2 meredian yang tegak lurus.

2.

Presbiopi
Adalah gangguan akomodasi pada usia lanjut yang dpat terjadi akibat kelemahan
otot akomodasi, lensa meta tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat
sclerosis lensa.

C.

Etiologi
Penyebab kelainan refraksi menurut Ilyas, S. (1998). Timby, Scherer dan smith.
(2000) yaitu :
1.

Myopia

a.

Sumbu optik bola mata lebih panjang.

b.

Pembiasan media penglihatan kornea lensa yang terlalu kuat.

2.

Hipermetropi

a.

Bola mata pendek atau sumbu anteropasterior yang pendek.

b.

Kelengkungan kornea atau lensa kurang.

c.

Indeks bias kurang pada sistem optik mata.

3.

Afakia

Tidak adanya lensa mata.


4.

Astigmatisme

a.

Kelainan kelengkungan permukaan kornea.

b.

Kelainan pembiasan pada miridian lensa yang berbeda.

c.

Infeksi kornea.

d.

Truma distrofi.

5.

Presbiopi

D.

a.

Kelemahan otot akomodasi.

b.

Lensa mata tidak kenyal atau berkurangnya elastisitas akibat sklerosis lensa.

Patofisiologi
Patofisiologi menurut Ilyas ( 1998 ).
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri
atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca dan panjangnya bola mata. Pada
orangn normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola
mata demikian seimbang sehingga bayangan mata dibiaskan tepat di macula lutea.
Mata normal disebut emetropia mata dengan kelainan refraksi mengakibatkan sinar
normal tidak dapat terfokus pada macula. Hal ini disebabkan oleh kornea yang
terlalu mendatar atau mencembung, bola mata lebih panjang atau pendek lensa
berubah kecembungannyaatau tidak ada lensa mengakibatkan Ametropi dan bila di
akibatkan oleh elastisitas lensa yang kurang atau kelemahan otot akomodasi
mengakibatkan presbiopi.
Pada Ametropi apabila bola mata lebih panjang pembiasan kornea berlebihan
atau lensa yang terlalu kuat mengakibatkan pembiasan terlalu kuat sehingga fokus
terletak didepan retina dan penderita mengalami rabun jauh ( myopia )sebaliknya
bila bola mata terlalu pendek, indeks bias kurangatau kelengkungan kornea atau
lensa kurang maka pembiasan tidak cukup sehingga fokus dibelakang retina dan
mengakibatkan rabun dekat ( hipermetropi ). Hipermetropi tinggi terjadi akibat mata
tidak memiliki lensa ( Afakia ) apabila terjadi kelainan kelengkungan kornea, infeksi
kornea, distrofi atau pembiasan lensa berbeda maka akan mengakibatkan
bayangan ireguler (Astigmatisme).
Pada presbiopi elastisitas lensa yang berkurang

atau kelemahan otot

akomodasi mengakibatkan daya akomodasi berkurang, sehingga lensa kurang


mencembung dan pembiasan kurang kuat. Untuk melihat mata berakomodasi terus
menerus sehingga terjadi ketegangan otot siliar yang mengakibatkan mata lelah,
dan mata berair jika menekan kelenjar air mata.

Pada ametropi akomodasi juga dilakukan terus menerus agar mata dapat
melihat. Hal ini mengakibatkan mata lelah atau sakit, mata esotropia atau mata
juling ke dalam dan strabismus karena bola mata bersama sama konvergensi,
serta glaucoma sekunder karena hipertrofi otot siliar pada badan siliar
mempersempit sudut bilik mata.
Rabun jauh atau myopia yang berjalan progresif akan mengakibatkan kebutaan
dan hiperplasi pigmen epitei dan perdarahan, kebutaan dapat terjadi karena
digenari macula dan retina perifer mengakibatkan atrofi lapis sensori retina dan
degennerasi saraf optik. Hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan terjadi karena
neovaskularisasi sub retina akibat ruptur membran bruch.

E.

Manifestasi Klinis

1.

Myopia

a.

Melihat jelas bila dekat dan melihat jauh kabur ( rabun jauh ).

b.

Sakit kepala sering disertai juling.

c.

Celah kelopak yang sempit.

d.

Astemopia konvergensi.

e.

Myopik kresen yaitu: gambaran bulan sabit yang terlihat pada polos posterior
fundus matamyopia yang terdapat pada daerah pupil saraf optik akibat tidak
tertutupnya sklera oleh koroid.

f.

Degenerasi macula dan retina bagian perifer.

2.

Hipermetropi

a.

Penglihatan dekat dan jauh kabur.

b.

Sakit kepala.

c.

Silau

d.

Diplopia atau penglihatan ganda.

e.

Mata mudah lelah.

f.

Sakit mata.

g.

Astenopia akomodatif.

h.

Ambiopia

i.

Kelelahan setelah membaca.

j.

Mata terasa pedas dan tertekan.

3.

Afakia

a.

Benda yang dilihat menjadi lebih besar 25% dibandingm ukuran sebenarnya.

b.

Terdapat efek prisma lensa tebal sehingga benda terlihat seperti melengkung.

c.

Bagian yang jelas terlihat hanya bagian sentral sedangkan penglihatan tepi
kabur.

4.

Astigmatisme

a.

Penurunan ketajaman mata baik jarak dekat maupun jauh.

b. Tidak teraturnya lekukan kornea.


5. Presbiopi
a. Kelelahan mata.
b. Mata berair.
c. Sering terasa pedas pada mata.

F.

Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada kelainan refraksi menurut ilyas ( 1998 ) dan Ilyas,
Tamzil, Salamun dan Ashar ( 1981 ) yaitu :
1.

Strabismus.

2.

Juling atau esotropia.

3.

Perdarahan badan kaca.

4.

Ablasi retina.

5.

Glaukoma sekunder.

6.

Kebutaan

G.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Mansjoer ( 1999 ) :

1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan.


Dilakukan di kamar yang tidak terlalu terang dengan kartu snellen caranya :
a.

Pasien duduk dengan jarak 6 meter dari kartu snellen dengan mata tertutup

satu
b.

Pasien diminta membaca huruf yang terdapat pada kartu, mulai dari yang
paling atas ke bawah dan tentukan baris terakhir yang bisa di baca seluruhnya
dengan benar.

c.

Bila pasien tidak dapat membaca baris paling atas ( terbesar ) maka dilakukan
uji hitung dengan uji hitung jarak 6m.

d.

Jika pasien tidak dapat menghitung jarak dari 6 m, maka jarak dapat dikurangi
1 m sampai jarak maksimal penguji dengan pasien 1m.

e.

Jika pasien tetap tidak dapat melihat, dilakukan uji lambaian tangan dari jarak 1
m.

f.

Jika pasien tetap tidak dapat melihat lambaian tangan dilakukan uji dengan arah
sinar.

g. jika penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinarmaka dikatakan


penglihatannya adalah 0 ( nol ) buta total.
Penilaian :
a. Tajam penglihatan adalah 6/6 berarti pasien dapat membaca seluruh hurup
dalam kartu snellen dengan benar.
b.

Bila baris yang dibaca seluruhnya bertanda 30 maka dikatakan tajam


penglihatan 6/30, berarti dia hanya bisa melihat pada jarak 6m yang oleh orang
normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 30m.

10

c.

Bila dalam uji hitung pasien hganya dapat melihat atau menentukan dari jumlah
jari yang diperlihatkan pada jarak 3m maka dinyatakan tajam penglihatan 3/60.
jari terpisah dapat terlihat orang normal pada jarak 60m.

d. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300m
bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak 1m berarti tajam
penglihatan adalah 1/300.
e. Bila mata hanya mengenal adanya sinar saja, tidak dapat melihat lambaian tangan
maka dikatakan sebagai 1/~ orang normal dapat melihat cahaya pada jarak yang
tak terhingga.

2.

Pemeriksaan kelainan refraksi.


Dilakukan pada satu mata secara bergantian, biasanya dimulai dengan mata kanan
kemudian mata kiri, dilakukan setelah tajam pemeriksaan diperiksa dan diketahui
adanya kelainan refraksi.
Caranya :
a.

Pasien duduk dengan jarak 6m dari kartu snellen.

b. Satu mata dututup dengan mata yang terbuka pasien diminta membaca baris
yang terkecil yang masih dapat dibaca.
c. Pada mata yang terbuka diletakan lensa + 0,50 untuk menghilangkan
akomodasi pada saat pemeriksaan.
d. Kemudian diletakan lensa positif tambahan, dikaji :
1) Bila penglihatan tidak bertambah baik berarti pasien tidak hipermetropi.
2)

Bila bertambah jelas dan dengan kekuatan lensa yang ditambah secara
perlahah - lahan bertambah baik berarti pasien mengalami hipermetropi, lensa
positif terkuat yang masih memberikan ketajaman terbaik merupakan ukuran
lensa koreksi untuk mata hipermetropia tersebut.

e.

Bila penglihatan tidak bertambah baik maka diletakan lensa negatif, bila
menjadi lebih jelas bearti pasien mengalami myopia. Ukuran lensa koreksi
adalah lensa negatif teingan yang memberikan ketajaman penglihatan
maksimal.]

11

f.

Bila baik dengan lensa positif maupun negatif penglihatan tidak bertambah baik
atau tidak maksimal ( penglihatan tidak mencapai 6/6 ) maka akan dilakukan
ujipinhole. Letakan pinhole didepan mata yang sedang diuji dan meminta
membaca baris terakhir yang masih dapat dilihat atau dibaca sebelumnya bila :

1)

Pinhole tidak memberikan perbaikan berarti mata tidak dapat dikoreksi lebih
lanjut karena media penglihatan keruh terdapat kelainan pada retina atau
syaraf optik.

2) Terjadi perbaikan penglihatan, berarti terdapat astigmatisma atau silinder pada


mata tersebut yang belum mendapat koreksi.
g.

Bila pasien astigmatisma maka pada mata tersebut di pasang lensa potsitif
untuk membuat pasien menderita kelainan refraksi astigmatismus miopikus.

h. Pasien diminta melihat kartu kipas astigma dan ditanya garis yang paling jelas
terlihat pada kartu kipas astigma.
i.

Bila perbedaan tidak terlihat lensa positf diperlemah secara perlahan - lahan
hingga pasien melihat garis yang paling jelas dan kabur.

j.

Dipasang lensa silinder negatif dengan sumbu yang sesuai dengan garis
terkabur pada kipas astigma.

k.

Lensa silinder negatif diperkuat sedikit demi sedikit

pada sumbu tersebut

sehingga sama jelasnya dengan garis lainya.


l.
m.

Bila sudah sampai jelasnya dilakukan tes kartu snellen kembali.


Bila tidak didapatkan hasil 6/6 maka mungkin lensa positif yang diberikan
terlalu berat harus dikurangi perlahan lahan atau ditambah lensa negatif
perlahan lahan sampai tajam penglihatan menjadi 6/6. derajat astigmat
adalah ukuran lensa silinder negatif yang dipakai sehingga gambar kipas
astigmat terlihat sama jelas.

3.

Pemeriksaan presbiopia.
Untuk lanjut usia dengan keluhan membaca dilanjutkan dengan pemeriksaan
presbiopia caranya :

12

a. Dilakukan penilaian tajam penglihatan dan dilakukan koreksi kelainan refraksi


bila terdapat myopia hipermetropia, atau astigmatisma sesuai prosedur diatas.
b. Pasien diminta membaca kartu pada jarak 30 40 cm.
c.

Diberikan lensa positif mulai +1 dinaikan perlahan 2x sampai terbaca huruf


terkecil pada kartu baca dekat dan kekuatan lensa ini ditentukan.

d. Dilakukan pemeriksaan mata satu persatu.

H.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan refraksi menurut Satino, Ariani dan Lestari (2000).
1. Non bedah.
Gangguan refraksi harus diperbaiki agar cahaya adapat terfokus pada retina.
Perbaikan ini dapat menggunakan sebuah lensa. jenis lensa yang digunakan
tergantung dari jenis kelainan refraksi.
a.

Myopia menggunakan lencsa konkaf atau negatif.

b.

Hipermetropia menggunakan lensa konveks atau positif.

c.

Presbiopia dapat menggunakan lensa konveks tetapi jika pasien tidak


dapat melihat jarak jauh, menggunakan lensa konkaf konveks atau lensa
ganda.

d.

Astigmatisma menggunakan lensa silinder.


Lensa tersebut dapat digunakan dengan menggunakan kaca mata atau
lensa kontak.

1)

Kaca mata.

Keuntungan :
a)

Mudah dugunakan

b)

Harganya lebih murah dan tahan lama.

Kerugian :
a)

Perubahan penampilan fisik

13

b)

Beratnya frame pada hidung dan penurunan penglihatan periperal karena

penglihatan dapat menjadi baik jika pasien melihat melalui pusat lensa.
2)

Contact lense atau lensa kontak.

Merupakan diskus atau cakram bulat dari plastik yang di design untuk
mengistirahatkan kornea mata dan dipasang dibawah mata. Contak lense
dipasang sesuai dengan ukuran, bentuk kornea dan kekuatan refraksi atau
pembiasan yang diinginkan.
Kerugian :
a)

Sulit dalam perawatan.

b)

Harga lebih mahal.

c)

Ada jangka waktu pemakaian ( tidak tahan lama ).

Keuntungan :

2.

a)

Model lebih simple.

b)

Tidak menimbulkan gangguan penampilan peran.

c)

Bisa berfungsi sebagai estetika.

Bedah
Pembedahan dapat mejadi alternatif tindakan untuk kelainan refraksi. Radial
keratotomy merupakan tindakan bedah untuk mengatasi myopia sedang 8 16
insisi diagonal dibuat melalui 90% pada periperal kornea. contac cornea tidak di
insisi sehingga penglihatan tidak dipengaruhi insisi pada kornea yang mana
menurunkan panjang antereposterior mata dan membantu gambaran terfokus
pada retina. Komplikasi pada pembedahan ini diantaranya luka atau scar pada
kornea jika insisi terlalu dalam dan kegagalan untuk mencapai kecukupan
perbaikan jika insisi terlalu dangkal.

3.

Prosedur bedah
Prosedur bedah yang lain yang dapat dilakukan untuk memperbaikai kelainan
refraksi yaitu epikeratophakia pembedahan dari donor jaringan kornea untuk
klien kita yang mengalami kelainan refraksi akan tetapi dalam hal ini jaringan
donor yang digunakan untuk prosedur ini tidak semua pasien dapat menerima
transplantasi korne dari donor.

14

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Wawancara
Menurut Burnner dan Suddath ( 2000 ), informasi yang perlu didapatkan pada
wawancara adalah sebagai berikut :
a.

Menanyakan kepada psien tentang sejarah penyebab

dan waktu mulai

terjadinya gangguan penglihatan tersebut. Pasien dengan diabetik mokular


edema misalnya tipe tertentu mempunyai ketajaman penglihatan naik turun.
Pasien dengan mokular degenerasi mempunyai pusat masalah ketajaman.
b. Menyanyakan kepada pasien sehubungan dengan kerusakan lapang periperal
dimana pada kondisi ini pasien akan lebih kesulitan saat mobilisasi sehingga
ketergantungan aktifitas hidup sehari hari (Medication Segmen) menjadi
sebuah kebiasaan (seperti merokok).
c. Mengkaji tentang penerimaan dari keterbatasan fisik melalui penggunaan fisual
harus diidentifikasi pula mengenai pengharapan realistic darlowvition.
2. Data dasar pengkajian pasien.
a.

Aktifitas istirahat.
Gejala : perubahan aktifitas berhubungan dengan penglihatan lelah bila
membaca.

15

b.

Neurosensori.
Gejala : gangguan penglihatan kabur atau tidak jelas , sinar terang yang
menyebabkan silau.
Tanda : bilik mata dalam, pupil lebar.

c.

Nyeri atau kenyamanan


Gejala : Nyeri pada mata dan sekitar mata, sakit kepala, pusing

3. Pemeriksaan fisik
Inspeksi :

B.

a.

Celah kelopak mata sempit

b.

Gambaran bulan sabit pada polos posterior fundus mata.

c.

Tidak teraturnya lekukan kornea.

d.

Mata berair.

e.

Juling

Diagnosa Keperawatan
1.

Gangguan persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan adanya


perubahan penerimaan sensor.

C.

2.

Nyeri akut berhubungan dengan adanya agen cidera biologi.

3.

Resiko tinggi cidera berhubungan dengan hilangnya keseimbangan.

Intervensi
Diagnosa 1 :
Gangguan persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan adanya perubahan
penerimaan sensor
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
stimulus penglihatan

yang diterima dapatsesuai dengan kenyataanya dengan

kriteria hasil :

16

1.

Pasien mampu mengidentifikasi diri sendiri.

2.

Pasien mampu mengidentifikasi orang lain.

3.

Pasien mampu mengidentifikasi tempat saat ini.

4.

Pasien mampu mengidentifikasi hari, bulan, tahun, dan musim yang benar.

Intervensi :
1.

Beri bantuan dalam pembelajaran dan penerimaan metode alternatif untuk


menjalani hidup dengan kurangnya fungsi penglihatan.

2.

Manipulasi lingkungan sekitar pasien senyaman mungkin.

.Tingkatkan penglihatan pasien yang masih tersisa dengan mengoptimalkan


pencahayaan.

4.

Jangan memindahkan barang barang di dalam kamar pasien untuk


mempermudah pasien menemukan barang yang dibutuhkan.

5.

Pastikan akses ke dan penggunaan alat bantu sensori seperti alat bantu
dengar dan kacamata.

Diagnosa 2 :
Nyeri akut berhubungan dengan adanya agen cidera biologi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan
pasien mampu mengotrol nyeri dengan kriteria hasil :
1.

Pasien mengetahui penyebab dari nyerinya.

2.

Pasien dapat mendeteksi dengan segera adanya serangan nyeri.

3.

Pasien dapat mengurangi nyeri dengan tanpa menggunakan obat obatan


anti nyeri.

17

4.

Pasien dapat menggunakan obat obatan anti nyeri sesuai resep yang
dianjurkan.

5.

Pasien melaporkan nyeri terkontrol.

Intervensi :
1. Observasi

karakteristik

nyeri

(penyebabnya,

kualitasnya,

skalanya,

waktu

terjadinya, arealnya dan frekuensinya)


2. Kontrol kondisi lingkungan agar tercipta lingkungan yang nyaman (suhu udara,
kebisingan, kepadatan jumlah pengunjung)
3. Dorong pasien untuk dapat mengontrol nyerinya sendiri saat nyeri menyerang dan
menentukan tindakan yang tepat.
4. Dorong pasien untuk banyak beristirahat guna mengurangi nyeri.
5. Kolaborasi dengan medis untuk pemberian obat obatan anti nyeri.

Diagnosa 3 :
Resiko tinggi cidera berhubungan dengan hilangnya keseimbangan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan
pasien dapat mengontrol factor cidera kare keterbatasan penglihatanya dengan criteria
hasil :
1.

Pasien mampu mendeteksi penyebab dari kerusakan penglihatanya.

2.

Pasien mampu menggunakanalat bantu penglihatan

3.

Pasien mampu menggunakan obat obatan untuk mata.

4.

Pasien mampu memonitor penyebab terjadinya cidera yang ada di lingkunganya.

18

5.

Pasien mampu melakukan aktifitas dengan lancar dengan bantuan cahaya yang

adekuat.
Intervensi :
1.

Identifikasi resiko yang meningkatkan kerentanan terhadap cidera.

2.

Hindari kegiatan yang menyebabkan cidera fisik.

3.

Pantau faktor resiko perilaku pribadi dan lingkungan.

4.

Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko.

5.

Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko injuri.

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Gangguan refraksi mata adalah penyimpangan cahaya yang lewat secara
miring dari suatau medium ke mediuGm lain yang berbeda densitasnya.
Penyimpangan tersebut terjadi pada permukaan pembatas kedua medium tersebut
yang dikenal sebagai permukaan refraksi (Dorland, 1996; 1591 ). Terdapat 2
gangguan refraksi mata yaitu ametropia dan presbiopi. Ametropia dibagi lagi
menjadi 4 macam yaitu, miopi, hipermetropi, afakia, dan astigmatisme. Etiologi dan
manifestasi klinis dari gangguan refraksi mata tergantung dari jenis refrakasi mata
itu sendiri. Adapun komplikasi dari gangguan refraksi mata antara lain Strabismus,
Juling atau esotropia, perdarahan badan kaca, ablasi retina, glaukoma sekunder,
kebutaan. Terdapat 3 penatalaksanaan untuk pasien dengan gangguan refraksi
mata yaitu non bedah, bedah dan prosedur bedah.

19

DAFTAR PUSTAKA

http://kamusaskep.blogspot.com/2013/01/gangguan-refraksi-mata_5008.html
http://optic.kasoem.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2:rabunsaat-melihat

20

Anda mungkin juga menyukai