Anda di halaman 1dari 29

TUGAS

ANALISA JURNAL

NAMA : MARTHA NABABAN

NIM : 11212095

S1 KEPERAWATAN NON REGULER ANGKATAN XV


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
2022-2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Inkontinensia urin merupakan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urine.
Inkontinensia urine dapat berupa pengeluaran urine yang terkadang hanya sangat
sedikit (beberapa tetes) atau sangat banyak. Inkontinensia urine merupakan
pengeluaran urine involunter (tidak disadari atau mengompol) pada waktu dan
tempat yang tidak tepat diluar keinginan (Setyoadi, 2011).
Inkontinensia urine merupakan pengeluaran urine involunter (tidak disadari atau
mengompol) pada waktu dan tempat yang tidak tepat diluar keinginan.
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine secara spontan pada sembarang
waktu diluar kehendak (involunter). Keadaan ini umumnya dijumpai pada
manula (Agoes, 2010).
Risiko inkontinensia urine meningkat seiring penuaan, namun menjadi tua tidak
menyebabkan inkontinensia. Tidak ada bagian proses penuaan normal yang
membuat inkontinensia tidak dapat dihindari. Seiring penuaan normal, ginjal
menjadi kurang mampu memekatkan urine dan kapasitas kandung kemih
berkurang. Selain itu, kandung kemih jadi semakin mudah teriritasi dan dapat
menahan urine residu (Maas, dkk, 2011).
Menurut data dari WHO, 200 juta penduduk di Dunia yang mengalami
inkontinensia urin. Menurut nationalkidneyandurologycdiseaseadvisoryboarddi
Amerika Serikat, jumlah penderita inkontinensia mencapai 13 juta dengan 85 %
diantaranya Inkontinensia urin merupakan gangguan pemenuhan kebutuhan
eliminasi urine. Inkontinensia urine dapat berupa pengeluaran urine yang
terkadang hanya sangat sedikit (beberapa tetes) atau sangat banyak. Inkontinensia
urine merupakan pengeluaran urine involunter (tidak disadari atau mengompol)
pada waktu dan tempat yang tidak tepat diluar keinginan (Setyoadi, 2011).
Inkontinensia urine merupakan pengeluaran urine involunter (tidak disadari atau
mengompol) pada waktu dan tempat yang tidak tepat diluar keinginan.
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine secara spontan pada sembarang
waktu diluar kehendak (involunter). Keadaan ini umumnya dijumpai pada
manula (Agoes, 2010).
Risiko inkontinensia urine meningkat seiring penuaan, namun menjadi tua tidak
menyebabkan inkontinensia. Tidak ada bagian proses penuaan normal yang
membuat inkontinensia tidak dapat dihindari. Seiring penuaan normal, ginjal
menjadi kurang mampu memekatkan urine dan kapasitas kandung kemih
berkurang. Selain itu, kandung kemih jadi semakin mudah teriritasi dan dapat
menahan urine residu (Maas, dkk, 2011).
Menurut data dari WHO, 200 juta penduduk di Dunia yang mengalami
inkontinensia urin. Menurut nationalkidneyandurologycdiseaseadvisoryboarddi
Amerika Serikat, jumlah penderita inkontinensia mencapai 13 juta dengan 85 %
diantaranya mengililingi pintu panggul pada vagina, uretra, dan rectum (Maas,
dkk, 2011).
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wahyudi yang berjudul
pengaruh senam kegel terhadap frekuensi berkemih pada lansia, dimana hasil
penelitian menunjukkan adanya pengaruh senam kegel terhadap frekuensi
berkemih pada lansia (Wahyudi, 2017).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan wawancara
kepada 10 lansia yang sudah mengalami inkontinensia urine, 8 orang mengatakan
sulit menahan air kencing saat berkemih, mengompol pada malam hari, berkemih
dengan keluaran urine menetes, dari 10 lansia yang terkena inkontinensia urine di
Puskesmas Pijorkoling lansia mengatakan belum pernah melakukan senam kegel
karena tidak adanya sumber informasi tentang latihan tersebut. Lansia di
Puskesmas Sadabuan biasanya mengatasi inkontinensia urine dengan cara
mengurangi jumlah minum yang dikonsumsinya.
BAB II
ANALISA JURNAL

A. Jurnal Utama
1. Judul Jurnal
Pengaruh Senam Kegel Terhadap Frekuensi Inkontinensia Urine Pada Lansia
Di Wilayah Kerja Puskesmas Pijorkoling Kota Padangsidimpua
2. Peneliti
Nama: 1. Mei Adelina Harahap
2. Nur Aliyah Rangkuti
3. Desain Penelitian
Jenis Penelitian ini merupakan kuantitatif dengan desain Eksperimen semu
(Quasi eksperimen)
4. Populasi Sample
Populasi penelitian ini adalah seluruh lansia yang mengalami inkontinensia
urine di puskesmas pijorkoling, penelitian ini dilakukan kepada 16 orang
lansia dengan teknik Purposive sampling.
5. Instrumen Penelitian
Yang menjadi kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
a. Bersedia menjadi responden dan menandatangani surat persetujuan
(informedconsent).
b. Lansia yang mengalami inkontinensia urine.
c. Usia 60-90 tahun.
d. Responden sadar dan dapat diajak komunikasi secara aktif.
Menggunakan kuesioner ICIQ-UI short Form. Pada penelitian saat ini senam
kegel dilakukan setiap hari selama seminggu. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah perlakuan berupa latihan keagleexercise dan akan
diamati selama waktu atau periode tertentu, setelah itu dilakukan penilaian
pada inkontinensia urine. Distribusi Inkontinensia Urine Pada Kelompok
Perlakuan dan Kontrol Sebelum dan Sesudah Dilakukan Kegelexercise
6. Uji Statistik
Berdasarkan tabel 4.2.2 uji Wilcoxondiatas dapat disimpulkan nilai p-value
0,000 (<0,05), berarti terdapat pengaruh senam kegel terhadap frekuensi
inkontinensia urin sesudah diberikan senam kegel. Berdasarkan dari nilai Z
dapat disimpulkan bahwa setiap dilakukan pemberian senam kegel ini
mengalami penurunan frekuensi urine sebesar -3,624. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Julianti Dewi Karjoyo (2016) yang
berjudul ―Pengaruh Senam Kegel Terhadap Frekuensi Inkontinensia Urin
Pada Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Pijorkoling‖ didapatkan hasil p
value 0,000 (p<0,05) sehingga ada pengaruh senam kegel terhadap frekuensi
inkontinensia urin pada lansia

B. Jurnal Pendukung
1. Judul Jurnal
Pengaruh senam kegel terhadap disparaunia pada perempuan menopause di
kelurahan pamoyanan wilayah kerja puskesmas pasirkaliki bandung
2. Peneliti
Nama: 1) Iryanti
2) Susy Hermaningsih
3. Desain Penelitian
Jenis penelitian Quasy Experimental dengan pre test-post test one group
design
4. Populasi Sample
Jumlah sample sebanyak 36 responden dengan pemilihan sample
menggunakan teknik Consecutive sampling
5. Instrumen Penelitian
Latihan senam kegel dilakukan di kantor kelurahan pamoyanan, di masing-
masing kantor RW, di kantor posyandu, posbindu dan ada juga di rumah
masing-masing perempuan menopause.
Peneliti melatih perempuan menopause untuk melakukan senam kegel dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a) Perempuan menopause diharuskan untuk mengosongkan kandung kemih
b) Memposisikan posisi duduk atau berbaring atau berdiri
c) Mengkontraksikan vagina, anus, dan uretra seperti menahan kencing tahan
selama 10 detik
Untuk mengukur kebenaran teknik gerakan senam kegel, perempuan
menopause dipandu untuk melakukan evaluasi mandiri dengan cara
memegang pantat pada saat vagina, anus dan ureter dikontraksikan,
apabila pantat teraba tertarik kedalam berarti gerakan sudah benar
d) Kemudian relaksasikan lobang vagina, anus, dan uretra selama 10 detik
e) Gerakan tersebut dilakukan berulang 10 kali persesi. Sampai perempuan
menopause dapat melakukan dengan benar.
f) Selanjutnya perempuan menopause melakukan senam mandiri 3 sesi
sehari yaitu pagi, siang dan sore selama 6 minggu. Senam kegel yang
dilakukan perempuan menopause secara mandiri dicatat dalam log book
yang sudah disediakan oleh peneliti
Post test dilakukan dengan mengukur skala dyspareunia setelah melakukan
senam kegel selama 6 minggu dan setelah minimal telah dilakukan hubungan
seksual 1 kali dengan menggunakan lembar instrument Numerical Rating
Scales (NRS) yang sama.
6. Uji Statistik
Analisis univariate digunakan untuk mengetahui gambaran scala dispaureunia
sebelum dan sesudah senam kegel.
7. Hasil Penelitian
Hasil univariate menggambarkan nilai rerata skala dyspareunia sebelum dan
sesudah senam kegel yang dapat dilihat pada tabel 1, menunjukan bahwa dari
36 perempuan menopause di kelurahan pamoyanan wilayah kerja puskesmas
pasirkaliki bandung, sebelum melakukan senam kegel (pre test) diperoleh
reata skala dyspareunia 5,58 artinya bahwa dyspareunia berada pada tipe nyeri
sedang, setelah melakukan senam kegel selama 6 minggu (post test) diperoleh
rerata skala dyspareunia sebesar 2,69 artinya bahwa dyspareunia berada pada
tipe nyeri ringan. Terajadi penurunan skala dyspareunia sebesar 2,89 poin.

C. Analisa PICO (analisa Jurnal Utama)


1. Problem
Inkontinensia urine merupakan pengeluaran urine involunter (tidak disadari
atau mengompol) pada waktu dan tempat yang tidak tepat diluar keinginan.
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine secara spontan pada sembarang
waktu diluar kehendak (involunter). Keadaan ini umumnya dijumpai pada
manula (Agoes, 2010). Risiko inkontinensia urine meningkat seiring penuaan,
namun tua tidak menyebabkan inkontinensia. Tidak ada bagian proses
penuaan normal yang membuat inkontinensia tidak dapat dihindari. Seiring
penuaan normal, ginjal menjadi kurang mampu memekatkan urine dan
kapasitas kandung kemih berkurang. Selain itu, kandung kemih jadi semakin
mudah teriritasi dan dapat menahan urine residu (Maas, dkk, 2011). Menurut
data dari WHO, 200 juta penduduk di Dunia yang mengalami inkontinensia
urin. Menurut national kidney and urologyc disease advisory boarddi Amerika
Serikat, jumlah penderita inkontinensia mencapai 13 juta dengan 85 %
diantaranya perempuan. Jumlah ini sebenarnya masih sangat sedikit dari
kondisi sebenarnya, sebab masih banyak kasus yang tidak dilaporkan
(Maasetal, 2018). Data prevalensi inkontinensia di Indonesia didapatkan
angka inkontinensia urin pada tahun 2005 sebesar 10%, pada tahun 2006
meningkat menjadi 12%, dan semakin meningkat pada tahun 2007 yaitu
sebesar 21%, kemudian menurun pada tahun 2008 sebesar 9%, dan naik lagi
pada tahun 2013 sebesar 18%, pada tahun 2018 mengalami peningkatan
sebesar 30% (Depkes 2018). Di Sumatera Utara pada tahun 2018 angka
kejadian inkontinensia urine pada lansia sebesar 9.81% (Riskesdas, 2018).
Perubahan yang terjadi pada lanjut usia salah satunya pada sistem perkemihan
yaitu penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra) yang
disebabkan oleh penurunan hormon esterogen, sehingga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urine, otot-otot menjadi lemah, kapasitasnya
menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekuensi bak meningkat dan
tidak dapat dikontrol (Nugroho, 2013). Terdapat cara yang digunakan untuk
memperbaiki ketidakmampuan berkemih yaitu dengan latihan otot dasar
panggul (pelvicmuscteexercise) atau sering disebut dengan senam kegel.
Latihan dasar panggul melibatkan kontraksi tulang otot pubokoksigeus, otot
yang membentuk struktur penyokong panggul dan mengililingi pintu panggul
pada vagina, uretra, dan rectum (Maas, dkk, 2011). Dalam penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Wahyudi yang berjudul pengaruh senam
kegel terhadap frekuensi berkemih pada lansia, dimana hasil penelitian
menunjukkan adanya pengaruh senam kegel terhadap frekuensi berkemih
pada lansia (Wahyudi, 2017). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan
peneliti dengan wawancara kepada 10 lansia yang sudah mengalami
inkontinensia urine, 8 orang mengatakan sulit menahan air kencing saat
berkemih, mengompol pada malam hari, berkemih dengan keluaran urine
menetes, dari 10 lansia yang terkena inkontinensia urine di Puskesmas
Pijorkoling lansia mengatakan belum pernah melakukan senam kegel karena
tidak adanya sumber informasi tentang latihan tersebut. Lansia di Puskesmas
Sadabuan biasanya mengatasi inkontinensia urine dengan cara mengurangi
jumlah minum yang dikonsumsinya.
2. Intervention
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah perlakuan berupa
latihan keagle exercise. Dan akan diamati selama waktu atau periode tertentu,
setelah itu dilakukan penilaian pada inkontinensia urine. Distribusi
Inkontinensia Urine Pada Kelompok Perlakuan dan Kontrol Sebelum dan
Sesudah Dilakukan Kegelexercise menunjukkan bahwa inkontinensia urine
dalam kelompok perlakuan (pre) adalah buruk sejumlah 10 orang (66,6%)
sedangkan inkontinensia urine dalam kelompok perlakuan (post) adalah baik
dengan jumlah 12 orang (80%). Untuk inkontinensia urine dalam kelompok
kontrol (pre) adalah buruk dengan 13 orang (86,6) dan untuk kontrol (post)
adalah 12 orang (80%). Sedangkan penelitian terhadap lansia di Panti Wreda
Sindang Asih Semarang tahun 2009 KegelExercise yang dilakukan sebanyak
10 kali dalam 2 minggu menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi
inkontinensia urin sebesar 18,3 % dari 9,86 kali menjadi 6,19 kali (Hidayati,
2009).
3. Comparison
a. Judul
Pengaruh Bladder Training Terhadap Inkontinensia Urin Pada Lanjut Usia
Di Posyandu Lansia Desa Sumberdem Kecamatan Wonosari Malang
b. Peneliti
Nama: 1) Hilarius Mariyanto Moa
2) Susi Milwati
3) Sulasmini

c. Desain Penelitian
Metode penelitian menggunakan pre eksperimen one group pre-post tes
design
d. Populasi Sample
Populasi dalam penelitian ini adalah 42 orang, menggunakan teknik
purposive sampling dengan sampel dalam penelitian ini adalah 26 orang.
Berdasarkan kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Usia diatas 65 tahun
2. Faktor penyakit (tidak ada riwayat DM, ISK)
3. Tidak memakai keteter
4. Bersedia menjadi responden
e. Instrumen Penelitian
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan kuesioner
dimana peneliti melakukan wawancara pada responden. Proses
pengolahan data ini melalui beberapa tahap sebagai berikut: Editing,
Coding, Scoring, Tabulating, Prosesing atau memasukan data,
Pembersihan Data (Cleaning).
f. Uji statistic
Data terkumpul dianalisa dengan menggunakan uji Paired Samples
Test.Hasil
penelitian sebelum pemberian intervensi terbanyak frekuensi berkemih 2
orang (7,7%), berkemih lancar 13 orang (50%), berkemih tuntas 13 orang
(50%). Setelah pemberian intervensi terbanyak frekuensi berkemih 23
orang (88,5%), berkemih lancar 20 orang (76,9%), berkemih tuntas 20
orang (76,9%). Hasil analisis uji Paired Samples Test menunjukan nilai
sig 2 tailed 0,006 < α (0,05) artinya H1diterima, ada pengaruh bladder
training terhadap inkontinensia urin pada lansia di Posyandu Lansia RT 01
RW 02 DesaSumberdem Kecamatan Wonosari Malang
g. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh bladder training terhadap inkontinensia urin pada lansia. Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar penelitian selanjutnya.
Memberikan bladder training terhadap inkontinensia urin, pada lansia
dianjurkan agar tetap rutin melakukan bladder training sehingga tidak
terjadi inkontinensia urin.

4. Outcome
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
karakteristik responden, mayoritas responden berada pada rentang usia antara 60-
74 tahun yaitu 9 responden (56.3%), dan jenis persalinan semua responden
riwayat persalinannya normal yaitu 16 responden (100%). Dan Hasil analisis data
menggunakan uji Shapirowilk setelah diberikan senam kegel diperoleh nilai P-
value = 0,000 (<0,05), artinya ada pengaruh signifikan dari pemberian senam
kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine. Bedasarkan hasil penelitian tentang
pengaruh senam kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine pada lansia di
puskesmas Pijorkoling kota Padang sidimpuan ada beberapa saran yang akan
peneliti sampaikan yaitu sebagai berikut: Bagi masyarakat diharapkan senam
kegel ini dimanfaatkan dalam membantu menurunkan frekuensi urine, dan
dilakukan sebagai alternative dalam mengatasi inkontinensia urine selain
pengobatan farmakologi.
BAB III
TINJAUAN TEORI

1. Pengertian Inkontinensia Urin


Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin yang tidak terkendali pada waktu
yang tidak dikehendaki dan tidak melihat jumlah maupun frekuensinya, keadaan
ini dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial dan kebersihan
(Kurniasari, 2016). Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik
yang secara fisiologik berlangsung dibawah kontrol dan koordinasi sistem saraf
pusat dan sistem saraf tepi di daerah sacrum. Sensasi pertama ingin berkemih
biasanya timbul pada saat volume kandung kemih mencapai 150–350 ml.
Umumnya kandung kemih dapat menampung urin sampai kurang lebih 500 ml
tanpa terjadi kebocoran.
Frekuensi berkemih yang normal adalah tiap 3 jam sekali atau tidak lebih dari 8
kali sehari (Wahab, 2016). Menurut penelitian Junita, (2013) rata-rata lansia yang
mengalami inkontinensia urin akan berkemih sebanyak 12 kali selama 24 jam.
Perubahan sistem perkemihan lansia terjadi pada ginjal, ginjal mengalami
pengecilan dan nefron menjadi atrofi. Aliran ginjal menurun hingga 50%, fungsi
tubulus berkurang mengakibatkan BUN (Blood Urea Nitrogen) meningkat
hingga 21 mg%, berat jenis urine menurun, serta nilai ambang ginjal terhadap
glukosa meningkat. Pada kandung kemih, otot-otot melemah, sehingga
kapasitasnya menurun hingga 200 ml yang menyebabkan frekuensi berkemih
meningkat (Rosidawati dkk, 2011).
Inkontinensia urin merupakan masalah yang meluas dan merugikan.
Masalah ini merupakan salah satu faktor utama yang membuat banyak keluarga
menempatkan lansia di panti jompo untuk mendapatkan perawatan yang layak
(Agoes, 2010). Beberapa kondisi yang sering menyertai inkontinensia urin antara
lain kelainan kulit, gangguan tidur, dampak psikososial dan ekonomi, seperti
depresi, mudah marah, terisolasi, hilang percaya diri, pembatasan aktivitas
sosial, dan besarnya biaya rawatan (Juananda, 2017).
2. Etiologi
Menurut Soeparman & Wapadji Sarwono, (2001) dalam Aspiani, (2014) faktor
penyebab inkontinensia urin antara lain :
a. Poliuria
Poliuria merupakan kelainan frekuensi buang air kecil karena kelebihan
produksi urin. Pada poliuria volume urin dalam 24 jam meningkat melebihi
batas normal karena gangguan fungsi ginjal dalam mengonsentrasi urin.
b. Nokturia
Kondisi sering berkemih pada malam hari disebut dengan nokturia. Nokturia
merupakan salah satu indikasi adanya prolaps kandung kemih
c. Faktor usia
Inkontinensia urin lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun karena
terjadinya penurunan tonus otot pada saluran kemih.
d. Penurunan produksi estrogen (pada wanita)
Penurunan produksi estrogen dapat menyebabkan atropi jaringan uretra
sehingga uretra menjadi kaku dan tidak elastis.
e. Operasi pengangkatan Rahim
Pada wanita, kandung kemih dan rahim didukung oleh beberapa otot yang
sama. Ketika rahim diangkat, otot-otot dasar panggul tersebut dapat
mengalami kerusakan, sehingga memicu inkontinensia.
f. Frekuensi melahirkan
Melahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.
g. Merokok
Merokok dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek nikotin
pada dinding kandung kemih.
h. Konsumsi alkohol dan kafein
Mengonsumsi alkohol dan kafein dapat menyebabkan inkontinensia urin
karena keduanya bersifat diuretik sehingga dapat meningkatkan frekuensi
berkemih.
i. Obesitas
Berat badan yang berlebih meningkatkan resiko terkena inkontinensia urin
karena meningkatnya tekanan intra abdomen dan kandung kemih. Tekanan
intra abdomen menyebabkan panjang uretra menjadi lebih pendek dan
melemahnya tonus otot.
j. Infeksi saluran kemih
Gejala pada orang yang mengalami infeksi saluran kemih biasanya adalah
peningkatan frekuensi berkemih. Frekuensi berkemih yang semakin banyak
akan menyebabkan melemahnya otot pada kandung kemih sehingga dapat
terjadi inkontinensia urin

3. Patofisiologi
Inkontinensia urin dapat terjadi karena beberapa penyebab, antara lain:
a. Perubahan terkait usia pada sistem perkemihan
Menurut Stanley M & Beare G Patricia, (2006) dalam Aspiani, (2014)
kapasitas kandung kemih (vesiko urinaria) yang normal sekitar 300-600 ml.
Dengan sensasi atau keinginan berkemih di antara 150-350 ml. Berkemih
dapat ditunda 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Keinginan
berkemih terjadi pada otot detrusor yang kontraksi dan sfingter internal serta
sfingter eksternal relaksasi, yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda
hampir semua urin dikeluarkan saat berkemih, sedangkan pada lansia tidak
semua urin dikeluarkan. Pada lansia terdpat residu urin 50 ml atau kurang
dianggap adekuat. Jumlah residu lebih dari 100 ml mengindikasikan retensi
urin. Perubahan lain pada proses penuaan adalah terjadinya kontraksi
kandung kemih tanpa disadari. Pada seorang wanita lanjut usia terjadinya
penurunan hormon estrogen mengakibatkan atropi pada jaringan uretra dan
efek dari melahirkan menyebabkan lemahnya otot-otot dasar panggul.
b. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung
kemih. Menurut Aspiani, (2014) adanya hambatan pengeluaran urin karena
pelebaran kandung kemih, urin terlalu banyak dalam kandung kemih sehingga
melebihi kapasitas normal kandung kemih. Fungsi sfingter yang terganggu
mengakibatkan kandung kemih mengalami kebocoran ketika bersin atau
batuk.
4. Patway

Gambar 1. Pathway Inkontinensia Urin

ISK
Persalinan pervaginan Proses menua Peningkatan
produksi urin
(DM)
Refluks
Peregangan otot Kadar hormon urovesikal
jaringan / robekan menurun
jalan lahir Hiperglikemia MK :
gangguan rasa
nyaman/ nyeri Menyebarnya
Otot dasar infeksi dari uretra
Melemahnya otot panggul rusak Perpindahan
dasar panggul cairan intraseluler
secara osmotik
Posisi kandung MK : risiko tinggi
Tidak dapat menahan air kemih prolap infeksi Sfingter dan
kencing
otot dasar
Ginjal reabsorbsi MK : panggul
Melemahnya kelebihan glukosa terganggu
kekurangan
tekanan / tekanan volume cairan
akhiran kemih keluar
Pengosongan
kandung kemih
tidak sempurna
MK : kelelahan

Poliuria

INKONTINENSIA URIN
Urgensi Desakan berkemih

MK : isolasi sosial
Mengompol Nokturia

(Sumber : Daneshgari & Moore, 2007 dalam Sinaga, 2011)

5. Klasifikasi
Menurut Cameron (2013), inkontinensia urin dapat dibedakan menjadi:
a. Inkontinensia urge
Keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, di mana otot ini
bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan
ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul,
manifestasinya dapat berupa perasaan ingin berkemih yang mendadak (urge),
berkemih berulang kali (frekuensi) dan keinginan berkemih di malam hari
(nokturia).
b. Inkontinensia stress
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin dengan secara tidak terkontrol
keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar
panggul, operasi dan penurunan estrogen. Pada gejalanya antara lain
keluarnya urin sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal
yang lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut.
c. Inkontinensia overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan akibat isinya yang sudah terlalu
banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya akibat otot detrusor kandung
kemih yang lemah. Biasanya hal ini bisa dijumpai pada gangguan saraf akibat
dari penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, dan saluran
kemih yang tersumbut. Gejalanya berupa rasanya tidak puas setelah
berkemih (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih), urin yang
keluar sedikit dan pancarannya lemah.
d. Inkontinensia refleks
Hal ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti
demensia. Dalam hal ini rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada.
e. Inkontinensia fungsional
Dapat terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi fisik dan kognitif
sehingga pasien tidak dapat mencapai ke toilet pada saat yang tepat. Hal ini
terjadi pada demensia berat, gangguan neurologi, gangguan mobilitas dan
psikologi.
6. Manifestasi
Menurut Aspiani ( 2014) ada beberapa manifestasi klinis inkontinensia urin,
antara lain :
a. Inkontinensia urge
Gejala dari inkontinensia urge adalah tingginya frekuensi berkemih (lebih
sering dari 2 jam sekali). Spasme kandung kemih atau kontraktur berkemih
dalam jumlah sedikit (kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih
dari 500 ml).
b. Inkontinensia stress
Gejalanya yaitu keluarnya urin pada saat tekanan intra abdomen meningkat
dan seringnya berkemih.
c. Inkontinensia overflow
Gejala dari inkontinensia jenis ini adalah keluhan keluarnya urin sedikit dan
tanpa sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh, distensi kandung kemih.
d. Inkontinensia refleks
Orang yang mengalami inkontinensia refleks biasanya tidak menyadari bahwa
kandung kemihnya sudah terisi, kurangnya sensasi ingin berkemih, dan
kontraksi spasme kandung kemih yang tidak dapat dicegah.
e. Inkontinensia fungsional
Mendesaknya keinginan berkemih sehingga urin keluar sebelum mencapai
toilet merupakan gejala dari inkontinensia urin fungsional.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Aspiani (2014) yaitu
dengan mengurangi faktor risiko, mempertahankan homeostatis,
mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan
otot pelvis, dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut, dapat
dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat dalam kartu catatan yaitu waktu berkemih, jumlah urin yang
keluar baik secara normal maupun karena tak tertahan. Banyaknya minuman
yang diminum, jenis minuman yang diminum, dan waktu minumnya juga
dicatat dalam catatan tersebut.
b. Terapi non farmakologi
Terapi ini dilakukan dengan cara mengoreksi penyebab timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
dan hiperglikemi. Cara yang dapat dilakukan adalah :
1) Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dilakukan dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga waktu
berkemih 6-7x/hari. Lansia diharapkan mampu menahan keinginan
berkemih sampai waktu yang ditentukan. Pada tahap awal, diharapkan
lansia mampu menahan keinginan berkemih satu jam, kemudian
meningkat 2- 3 jam.
2) Promited voiding yaitu mengajari lansia mengenali kondisi berkemih. Hal
ini bertujuan untuk membiasakan lansia berkemih sesuai dengan
kebiasaannya. Apabila lansia ingin berkemih diharapkan lansia
memberitahukan petugas. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif.
3) Melakukan latihan otot dasar panggul atau latihan kegel.
Latihan kegel ini bertujuan untuk mengencangkan otot-otot dasar panggul
dan mengembalikan fungsi kandung kemih sepenuhnya serta mencegah
prolaps urin jangka panjang
c. Terapi farmakologi
Obat yang dapat diberikan pada inkontinensia dorongan (urge) yaitu
antikolenergik atau obat yang bekerja dengan memblokir
neurotransmitter, yang disebut asetilkolin yang membawa sinyal
otak untuk mengendalikan otot. Ada beberapa contoh obat
antikolenergik antara lain oxybutinin, propanteline, dyclomine,
flsavoxate, dan imipramine. Pada inkontinensia tipe stress diberikan
obat alfa adregenic yaitu obat untuk melemaskan otot. Contoh dari
obat tersebut yaitu pseudosephedrine yang berfungsi untuk
meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter yang mengalami
relaksasi diberikan obat kolinergik agonis yang bekerja untuk
meningkatkan fungsi neurotransmitter asetilkolin baik langsung
maupun tidak langsung. Obat kolinergik ini antara lain bethanechol
atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk menstimulasi
kontraksi.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini bisa dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urge, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Pada inkontinensia
overflow biasanya dilakukan pembedahan untuk mencegah retensi urin.
Terapi ini biasanya dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvis.
e. Modalitas lain
Terapi modalitas ini dilakukan bersama dengan proses terapi dan pengobatan
masalah inkontinensia urin, caranya dengan menggunakan beberapa alat bantu
bagi lansia antara lain pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal dan
bedpan.

8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Artinawati (2014) terdapat beberapa pemeriksaan penunjang untuk
masalah inkontinensia urin, antara lain :
a. Urinalis
Spesimen urin yang bersih diperiksa untuk mengetahui penyebab
inkontinensia urin seperti hematuria, piuria, bakteriuria, glukosuria, dan
proteinuria.
b. Pemeriksaan darah
Dalam pemeriksaan ini akan dilihat elektrolit, ureum, kreatinin, glukosa, dan
kalsium serum untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang
menyebabkan poliuria.
c. Tes laboratorium tambahan
Tes ini meliputi kultur urin, blood urea nitrogen, kreatinin, kalsium, glukosa,
dan sitologi.
d. Tes diagnostik lanjutan
1) Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih
bagian bawah
2) Tes tekanan uretra untuk mengukur tekanan di dalam uretra saat istirahat
dan saat dinamis.
3) Imaging tes untuk saluran kemih bagian atas dan bawah
e. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih ini dilakukan selama 1-3 hari untuk mengetahui pola
berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat
mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, serta gejala yang
berhubungan dengan inkontinensia urin.
A. Pengertian Senam Kegel
Latihan otot dasar panggul (ODP) dikembangkan pertama kali oleh Dr.
Arnold kegel pada tahun 1940 dengan tujuan menguatkan otot dasar panggul dan
mengatasi stres inkontinensia urin. Hal ini sesuai dengan konsep latihan kegel dan
pendapat seorang dokter kandungan bernama kegel pada tahun 1940, bahwa
latihan kegel sangat bermanfaat untuk menguatkan otot rangka pada dasar
panggul, sehingga memperkuat fungsi sfingter eksternal pada kandung kemih
(Septiastri & Siregar, 2012). Latihan otot dasar panggul ini awalnya
diperkenalkan oleh Kegel untuk pasien pasca melahirkan. Latihan ini terus
dikembangkan dan dapat dilakukan pada lansia yang mengalami masalah
inkotinensia stress yaitu pengeluaran urine tidak terkontrol akibat bersin, batuk,
tertawa atau melakukan latihan jasmani dan inkontinensia urgensi dimana terjadi
gangguan kontrol pengeluaran urin, dengan dilakukan latihan Kegel bisa
memperbaiki fungsi otot dasar panggul yaitu rangkaian otot dari tulang panggul
sampai tulang ekor. Menurut Nursalam (2007), latihan kegel merupakan aktivitas
fisik yang tersusun dalam suatu program yang dilakukan secara berulang-ulang
guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel merupakan latihan dalam
bentuk seri untuk membangun kembali kekuatan otot dasar panggul, memberikan
bantuan yang signifikan dari rasa sakit vestibulitis vulva, dan, dalam banyak
kasus memungkinkan pasien untuk terlibat dalam aktivitas seksual yang normal
(Widiastuti, 2011). Latihan ini berupa latihan ODP secara progresif pada otot
Levator ani yang dapat dikontraksikan secara sadar yang selanjutnya dikenal
dengan Kegel Exercise (Rahajeng, 2010). Kegel Exerciseatau senam Kegel
merupakan terapi non operatif yang paling sering dilakukan untuk mengatasi stres
inkontinensia karena membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot pada
uretra dan periuretra (Bobak, 2004 dalam Yanthi, 2011).

B. Manfaat Senam Kegel


Senam Kegel memiliki manfaat terkait dengan fungsi otot PC. Senam Kegel tidak
hanya memiliki banyak manfaat untuk wanita, tetapi juga pada pria.
a. Bagi pria
Latihan ini akan meningkatkan kemampuan mengontrol dan mengatasi
ejakulasi dini, ereksi yang lebih kuat dan meningkatkan kepuasan seksual saat
orgasme. Selain itu multiple orgasme juga bisa dialami oleh pria sebagai hasil
dari latihan senam kegel yang dilakukan secara teratur. Pada pria, senam ini
juga akan mengangkat testis dan mengencangkan otot kremaster sama seperti
mengencangkan sfingterani. Hal ini disebabkan karena otot PC dimulai dari
arah anus (Herdiana, 2009 dalam Yanthi, 2011).
b. Bagi wanita
Keuntungan melakukan senam kegel adalah lebih mudah mencapai orgasme
dan orgasme yang dicapai lebih baik karena otot yang dilatih adalah otot yang
digunakan selama orgasme. Manfaat lain adalah vagina akan semakin sensitif
dan peka rangsang sehingga memudahkan peningkatan kepuasan seksual,
dan suami akan merasakan perubahan yang sangat besar karena vagina
mampu mencengkram penis lebih kuat. Memudahkan kelahiran bayi tanpa
banyak merobek jalan lahir dan bagi wanita yang baru melahirkan, senam
Kegel dapat mempercepat pemulihan kondisi vagina setelah melahirkan dan
tentu saja dapat menguatkan otot rangka pada dasar panggul sehingga
pemperkuat fungsi sfingter eksternal kandung kemih, mencegah prolaps uteri
(Salma, 2008; Maryam, 2008 dalam Yanthi, 2011). Beberapa manfaat senam
kegel yaitu menguatkan otot panggul, membantu mengendalikan keluarnya
urin saat berhubungan intim, dapat meningkatkan kepuasan saat berhubungan
intim karena meningkatkan daya cengkram vagina, meningkatkan kepekaan
terhadap rangsangan seksual, mencegah “ngompol kecil” yang timbul saat
batuk atau tertawa, dan melancarkan proses kelahiran tanpa harus merobek
jalan lahir serta mempercepat penyembuhan pasca persalinan (Mulyani,
2013).

C. Persyaratan Senam Kegel


Latihan kegel ini bila di lakukan secara teratur di lakukan dalam waktu 8-12
minggu, latihan senam kegel juga dapat dirasakan perubahanya dalam waktu
3 atau 4 minggu dengan berlatih beberapa menit setiap hari latihan kegel
memilki variasi gerakan beulang (pengetatan) dan merelaksasi (melepaskan)
otot dasar panggul (widiyanti & proverawati,2010)

D. Program Senam Kegel


Senam kegel hasilnya tidak akan didapat dalam waktu sehari. senam kegel
dilakukan sebanyak 10 kali dalam 4 minggu dapat memberikan hasil yang
bermanfaat untuk memperkuat otot-otot panggul yang dibuktikan dari hasil
penelititannya yaitu adanya pengaruh signifikan senam kegel terhadap
tingkat inkontinensia (Wahyu W, 2009). Pelatihan senam kegel dengan
frekuensi tiga kali perminggu selama empat minggu lebih efektif
dibandingkan dengan senam kegel dengan frekuensi satu kali seminggu
selama empat bulan dalam menurunkan frekuensi buang air kecil wanita usia
50-60 tahun yang mengalami stress urinary incontinence di Sanggar Senam
Citra Denpasar (Lestari, 2011).

E. IndikasiSenam Kegel
Senam kegel dianjurkan bagi wanita dan pria yang umumnya memiliki
keluhan terkait lemahnya otot PC. Berikut adalah beberapa indikasi senam
kegel:
1. Pria dan wanita yang memiliki masalah inkontinensia (tidak mampu
menahan buang air kecil).
2. Wanita yang sudah mengalami menopause untuk mempertahankan
kekuatan otot panggul dari penurunan kadar estrogen.
3. Wanita yang mengalami prolaps uteri (turunnya rahim) karena
melemahnya otot dasar panggul, juga untuk wanita yang mengalami
masalah seksual. Pria yang mengalami masalah ejakulasi dini serta
ereksi lebih lama. (Ardani, 2010).
F. Kontra IndikasiSenam Kegel
Latihan senam kegel membatu memulihkan dan meperkuat otot-otot yang
mengelilingi dan mendukung kantung kemih , rahim ,rectum, dan uretra (otot
panggul otot-otot ini di kenal sebagai otot pubococcygeal. Latihan senam
kegel membatu untuk meperlambat atau mehentikan alirah air seni , serta
otot-otot yang mencegah keluarnya gas (damayanti, 2010).

G. Tahap Pelatihan Senam Kegel


Tahap pelatihan senam kegel dibagi menjadi tiga bagian latihan sesuai dengan
kemampuan klien dalam melakukan latihan.Pelatihan senam kegel dibedakan
menjadi tiga yaitu pelatihan gerak cepat, pelatihan mengencangkan dan
pelatihan super kegel.
a. Pelatihan Gerak Cepat Pelatihan pertama adalah pelatihan gerak cepat,
dilakukan dalam posisi duduk, berdiri, berbaring, jongkok, atau posisi apa
saja
yang terbaik.
b. Pelatihan mengencangkan setelah pelatihan gerak cepat, dilanjutkan
dengan pelatihan senam kegel berikutnya. Saat mengencangkan ODP,
tetap kencangkan kuat-kuat selama satu hingga dua detik kemudian
lepaskan dan ulangi masing-masing dengan sepuluh hitungan.
Tegangkan, tahan dan
lepaskan otot tersebut.
c. Pelatihan super kegel tahap selanjutnya adalah super kegel yang diberikan
untuk orang-orang yang telah menguasai senam kegel. Super kegel
dilakukan dengan mengencangkan ODP sekencang-kencangnya sampai
hitungan sepuluh kemudian lepaskan. Lakukan berulang-ulang dengan
sepuluh hitungan setidaknya sekali sehari (Di Fiori, 2005 dalam Ardani,
2010).
H. Petunjuk Senam Kegel
Senam kegel dilakukan berdasarkan langkah-langkah yang dijelaskan
sebagai berikut:
1. Posisi berdiri tegak dengan posisi kaki lurus dan agak terbuka.
2. Fokuskan konsentrasi pada kontraksi otot daerah vagina, uretra dan rectum.
3. Kontraksikan ODP seperti saat menahan defekasi atau berkemih.
4. Rasakan kontraksi ODP, pastikan kontraksi sudah benar tanpa adanya
kontraksi otot abdominal, contohnya jangan menahan napas. control
kontraksi otot abdominal dengan meletakkan tangan pada perut.
5. Pertahankan kontraksi sesuai kemampuan kurang lebih 10-15 detik.
6. Rileks dan rasakan ODP dalam keadaan rileks
7. Kontraksikan ODP kembali, pastikan kontraksi otot sudah benar.
8. Rileks dan coba rasakan otot-otot berkontraksi dan rileks.
9. Sesekali percepat kontraksi, pastikan tidak ada kontraksi otot lain.
10. Lakukan kontraksi yang cepat beberapa kali. Pada tahap awal, lakukan tiga
kali pengulangan karena otot yang lemah mudah lelah.
11. Target latihan ini adalah sepuluh kali kontraksi lambat dan sepuluh kali
kontraksicepat. Tiap kontraksi dipertahankan selama sepuluh hitungan.
Lakukan enam hingga delapan kali selama sehari atau setiap saat.
12. Senam kegel dapat pula dilakukan secara sederhana dengan cara: Saat
berkemih coba untuk menahan aliran urine sampai beberapa kali. Pada posisi
apapun, coba lakukan kontraksi ODP. Pertahankan selama tiga sampai lima
detik jika sudah terbiasa latihan dapat ditingkatkan menjadi sepuluh detik
(Pudjiati, Sri Surini & Utomo; Di Fiori, 2005 dalam Ardani, 2010).

I. Manfaat Senam Kegel Pada Inkontinensia Urine


Otot dasar panggul terdiri dari tiga lembaran otot yang masing-masing menempel
pada Bladder (Kandung kemih), vagina dan rectum (Bent, Alfred E., 2008).
Bagian akhir dari uretra disokong secara adekuat oleh endopelvic fascia dan
kontraksi musculus levator ani bekerja mengatur suplai saraf secara normal.
Senam otot dasar panggul ini mampu menguatkan muskulus levator ani, menjaga
lapisan endopelvic dan keutuhan saraf yang dapat meningkatkan kesadaran dari
otot dasar panggul untuk menyesuaikan transmisi dari tekanan abdominal, serta
meningkatkan kemampuan otot tersebut dalam menyokong bladder, vagina dan
rectum yang kemudian dapat meningkatkan kemampuan tahanan pada sphincter
uretra sehingga mampu meningkatkan periode kontinen terhadap urine.Selain itu
tujuan terapetik lainnya dari latihan Kegel ini adalah untuk mengajarkan
bagaimana caranya mengunci perineum. Dimana kemampuan dari perineum
untuk mengunci spincternya,dan kemampuan otot levator ani untuk berkontraksi
terus mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia dan proses
degeneratif Oleh karenaitu senam Kegel tersebut dilakukan dengan
tujuan untuk meningkatkan kekuatan, ketegangan serta mencegah terjadinya
atropi (Cammu, H et al.2007).
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
karakteristik responden, mayoritas responden berada pada rentang usia antara
60-74 tahun yaitu 9 responden (56.3%), dan jenis persalinan semua responden
riwayat persalinannya normal yaitu 16 responden (100%). Dan Hasil analisis
data menggunakan uji Shapirowilk setelah diberikan senam kegel diperoleh
nilai P-value = 0,000 (<0,05), artinya ada pengaruh signifikan dari pemberian
senam kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine.
B. Saran
Bedasarkan hasil penelitian tentang pengaruh senam kegel terhadap frekuensi
inkontinensia urine pada lansia di puskesmas Pijorkoling kota
Padangsidimpuan ada beberapa saran yang akan peneliti sampaikan yaitu
sebagai berikut: Bagi masyarakat diharapkan senam kegel ini dimanfaatkan
dalam membantu menurunkan frekuensi urine, dan dilakukan sebagai
alternatif dalam mengatasiinkontinensia urine selain pengobatan farmakologi.
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A., Achdiat, A., & Arizal, A. (2010). Penyakit di Usia Lanjut. Jakarta: EGC.
Dahlan. (2014). Pengaruh latihan kegel terhadap inkontinensia urine pada lansia di
Panti Sosial Tresna WherdaMeci Angi Bima. Jurnal Kesehatan Prima,
(Inkontinensia Urine), 1292–1297.
Depkes RI. (2012). Riset Kesehatan Dasar. Prevalensi inkontinensia urine di
Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI
Maas, M. L., Buckwalter, K. C., Hardy, M.D., Tripp-Reimer, T., Titler, M.G.,
&Specht,
J.P. (2011). Asuhan Keperawatan Geriatrik, Diagnosis NANDA, Kriteria Hasil
NOC, Intervensi NIC. Jakarta: EGC
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nugroho. (2013). Keperawatan Gerontik. Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Riskesdas. (2013). Prevalensi inkontinensia urine di Sumatra utara. Jakarta: Badan
Penelitian dan pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Setyoadi. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik. Salemba
Medika: Jakarta
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Wahyudi. (2017). Pengaruh Senam Kegel Terhadap Frekuensi Berkemih Pada
Lansia. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai