ANALISA JURNAL
NIM : 11212095
A. Latar Belakang
Inkontinensia urin merupakan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urine.
Inkontinensia urine dapat berupa pengeluaran urine yang terkadang hanya sangat
sedikit (beberapa tetes) atau sangat banyak. Inkontinensia urine merupakan
pengeluaran urine involunter (tidak disadari atau mengompol) pada waktu dan
tempat yang tidak tepat diluar keinginan (Setyoadi, 2011).
Inkontinensia urine merupakan pengeluaran urine involunter (tidak disadari atau
mengompol) pada waktu dan tempat yang tidak tepat diluar keinginan.
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine secara spontan pada sembarang
waktu diluar kehendak (involunter). Keadaan ini umumnya dijumpai pada
manula (Agoes, 2010).
Risiko inkontinensia urine meningkat seiring penuaan, namun menjadi tua tidak
menyebabkan inkontinensia. Tidak ada bagian proses penuaan normal yang
membuat inkontinensia tidak dapat dihindari. Seiring penuaan normal, ginjal
menjadi kurang mampu memekatkan urine dan kapasitas kandung kemih
berkurang. Selain itu, kandung kemih jadi semakin mudah teriritasi dan dapat
menahan urine residu (Maas, dkk, 2011).
Menurut data dari WHO, 200 juta penduduk di Dunia yang mengalami
inkontinensia urin. Menurut nationalkidneyandurologycdiseaseadvisoryboarddi
Amerika Serikat, jumlah penderita inkontinensia mencapai 13 juta dengan 85 %
diantaranya Inkontinensia urin merupakan gangguan pemenuhan kebutuhan
eliminasi urine. Inkontinensia urine dapat berupa pengeluaran urine yang
terkadang hanya sangat sedikit (beberapa tetes) atau sangat banyak. Inkontinensia
urine merupakan pengeluaran urine involunter (tidak disadari atau mengompol)
pada waktu dan tempat yang tidak tepat diluar keinginan (Setyoadi, 2011).
Inkontinensia urine merupakan pengeluaran urine involunter (tidak disadari atau
mengompol) pada waktu dan tempat yang tidak tepat diluar keinginan.
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine secara spontan pada sembarang
waktu diluar kehendak (involunter). Keadaan ini umumnya dijumpai pada
manula (Agoes, 2010).
Risiko inkontinensia urine meningkat seiring penuaan, namun menjadi tua tidak
menyebabkan inkontinensia. Tidak ada bagian proses penuaan normal yang
membuat inkontinensia tidak dapat dihindari. Seiring penuaan normal, ginjal
menjadi kurang mampu memekatkan urine dan kapasitas kandung kemih
berkurang. Selain itu, kandung kemih jadi semakin mudah teriritasi dan dapat
menahan urine residu (Maas, dkk, 2011).
Menurut data dari WHO, 200 juta penduduk di Dunia yang mengalami
inkontinensia urin. Menurut nationalkidneyandurologycdiseaseadvisoryboarddi
Amerika Serikat, jumlah penderita inkontinensia mencapai 13 juta dengan 85 %
diantaranya mengililingi pintu panggul pada vagina, uretra, dan rectum (Maas,
dkk, 2011).
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wahyudi yang berjudul
pengaruh senam kegel terhadap frekuensi berkemih pada lansia, dimana hasil
penelitian menunjukkan adanya pengaruh senam kegel terhadap frekuensi
berkemih pada lansia (Wahyudi, 2017).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan wawancara
kepada 10 lansia yang sudah mengalami inkontinensia urine, 8 orang mengatakan
sulit menahan air kencing saat berkemih, mengompol pada malam hari, berkemih
dengan keluaran urine menetes, dari 10 lansia yang terkena inkontinensia urine di
Puskesmas Pijorkoling lansia mengatakan belum pernah melakukan senam kegel
karena tidak adanya sumber informasi tentang latihan tersebut. Lansia di
Puskesmas Sadabuan biasanya mengatasi inkontinensia urine dengan cara
mengurangi jumlah minum yang dikonsumsinya.
BAB II
ANALISA JURNAL
A. Jurnal Utama
1. Judul Jurnal
Pengaruh Senam Kegel Terhadap Frekuensi Inkontinensia Urine Pada Lansia
Di Wilayah Kerja Puskesmas Pijorkoling Kota Padangsidimpua
2. Peneliti
Nama: 1. Mei Adelina Harahap
2. Nur Aliyah Rangkuti
3. Desain Penelitian
Jenis Penelitian ini merupakan kuantitatif dengan desain Eksperimen semu
(Quasi eksperimen)
4. Populasi Sample
Populasi penelitian ini adalah seluruh lansia yang mengalami inkontinensia
urine di puskesmas pijorkoling, penelitian ini dilakukan kepada 16 orang
lansia dengan teknik Purposive sampling.
5. Instrumen Penelitian
Yang menjadi kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
a. Bersedia menjadi responden dan menandatangani surat persetujuan
(informedconsent).
b. Lansia yang mengalami inkontinensia urine.
c. Usia 60-90 tahun.
d. Responden sadar dan dapat diajak komunikasi secara aktif.
Menggunakan kuesioner ICIQ-UI short Form. Pada penelitian saat ini senam
kegel dilakukan setiap hari selama seminggu. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah perlakuan berupa latihan keagleexercise dan akan
diamati selama waktu atau periode tertentu, setelah itu dilakukan penilaian
pada inkontinensia urine. Distribusi Inkontinensia Urine Pada Kelompok
Perlakuan dan Kontrol Sebelum dan Sesudah Dilakukan Kegelexercise
6. Uji Statistik
Berdasarkan tabel 4.2.2 uji Wilcoxondiatas dapat disimpulkan nilai p-value
0,000 (<0,05), berarti terdapat pengaruh senam kegel terhadap frekuensi
inkontinensia urin sesudah diberikan senam kegel. Berdasarkan dari nilai Z
dapat disimpulkan bahwa setiap dilakukan pemberian senam kegel ini
mengalami penurunan frekuensi urine sebesar -3,624. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Julianti Dewi Karjoyo (2016) yang
berjudul ―Pengaruh Senam Kegel Terhadap Frekuensi Inkontinensia Urin
Pada Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Pijorkoling‖ didapatkan hasil p
value 0,000 (p<0,05) sehingga ada pengaruh senam kegel terhadap frekuensi
inkontinensia urin pada lansia
B. Jurnal Pendukung
1. Judul Jurnal
Pengaruh senam kegel terhadap disparaunia pada perempuan menopause di
kelurahan pamoyanan wilayah kerja puskesmas pasirkaliki bandung
2. Peneliti
Nama: 1) Iryanti
2) Susy Hermaningsih
3. Desain Penelitian
Jenis penelitian Quasy Experimental dengan pre test-post test one group
design
4. Populasi Sample
Jumlah sample sebanyak 36 responden dengan pemilihan sample
menggunakan teknik Consecutive sampling
5. Instrumen Penelitian
Latihan senam kegel dilakukan di kantor kelurahan pamoyanan, di masing-
masing kantor RW, di kantor posyandu, posbindu dan ada juga di rumah
masing-masing perempuan menopause.
Peneliti melatih perempuan menopause untuk melakukan senam kegel dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a) Perempuan menopause diharuskan untuk mengosongkan kandung kemih
b) Memposisikan posisi duduk atau berbaring atau berdiri
c) Mengkontraksikan vagina, anus, dan uretra seperti menahan kencing tahan
selama 10 detik
Untuk mengukur kebenaran teknik gerakan senam kegel, perempuan
menopause dipandu untuk melakukan evaluasi mandiri dengan cara
memegang pantat pada saat vagina, anus dan ureter dikontraksikan,
apabila pantat teraba tertarik kedalam berarti gerakan sudah benar
d) Kemudian relaksasikan lobang vagina, anus, dan uretra selama 10 detik
e) Gerakan tersebut dilakukan berulang 10 kali persesi. Sampai perempuan
menopause dapat melakukan dengan benar.
f) Selanjutnya perempuan menopause melakukan senam mandiri 3 sesi
sehari yaitu pagi, siang dan sore selama 6 minggu. Senam kegel yang
dilakukan perempuan menopause secara mandiri dicatat dalam log book
yang sudah disediakan oleh peneliti
Post test dilakukan dengan mengukur skala dyspareunia setelah melakukan
senam kegel selama 6 minggu dan setelah minimal telah dilakukan hubungan
seksual 1 kali dengan menggunakan lembar instrument Numerical Rating
Scales (NRS) yang sama.
6. Uji Statistik
Analisis univariate digunakan untuk mengetahui gambaran scala dispaureunia
sebelum dan sesudah senam kegel.
7. Hasil Penelitian
Hasil univariate menggambarkan nilai rerata skala dyspareunia sebelum dan
sesudah senam kegel yang dapat dilihat pada tabel 1, menunjukan bahwa dari
36 perempuan menopause di kelurahan pamoyanan wilayah kerja puskesmas
pasirkaliki bandung, sebelum melakukan senam kegel (pre test) diperoleh
reata skala dyspareunia 5,58 artinya bahwa dyspareunia berada pada tipe nyeri
sedang, setelah melakukan senam kegel selama 6 minggu (post test) diperoleh
rerata skala dyspareunia sebesar 2,69 artinya bahwa dyspareunia berada pada
tipe nyeri ringan. Terajadi penurunan skala dyspareunia sebesar 2,89 poin.
c. Desain Penelitian
Metode penelitian menggunakan pre eksperimen one group pre-post tes
design
d. Populasi Sample
Populasi dalam penelitian ini adalah 42 orang, menggunakan teknik
purposive sampling dengan sampel dalam penelitian ini adalah 26 orang.
Berdasarkan kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Usia diatas 65 tahun
2. Faktor penyakit (tidak ada riwayat DM, ISK)
3. Tidak memakai keteter
4. Bersedia menjadi responden
e. Instrumen Penelitian
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan kuesioner
dimana peneliti melakukan wawancara pada responden. Proses
pengolahan data ini melalui beberapa tahap sebagai berikut: Editing,
Coding, Scoring, Tabulating, Prosesing atau memasukan data,
Pembersihan Data (Cleaning).
f. Uji statistic
Data terkumpul dianalisa dengan menggunakan uji Paired Samples
Test.Hasil
penelitian sebelum pemberian intervensi terbanyak frekuensi berkemih 2
orang (7,7%), berkemih lancar 13 orang (50%), berkemih tuntas 13 orang
(50%). Setelah pemberian intervensi terbanyak frekuensi berkemih 23
orang (88,5%), berkemih lancar 20 orang (76,9%), berkemih tuntas 20
orang (76,9%). Hasil analisis uji Paired Samples Test menunjukan nilai
sig 2 tailed 0,006 < α (0,05) artinya H1diterima, ada pengaruh bladder
training terhadap inkontinensia urin pada lansia di Posyandu Lansia RT 01
RW 02 DesaSumberdem Kecamatan Wonosari Malang
g. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh bladder training terhadap inkontinensia urin pada lansia. Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar penelitian selanjutnya.
Memberikan bladder training terhadap inkontinensia urin, pada lansia
dianjurkan agar tetap rutin melakukan bladder training sehingga tidak
terjadi inkontinensia urin.
4. Outcome
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
karakteristik responden, mayoritas responden berada pada rentang usia antara 60-
74 tahun yaitu 9 responden (56.3%), dan jenis persalinan semua responden
riwayat persalinannya normal yaitu 16 responden (100%). Dan Hasil analisis data
menggunakan uji Shapirowilk setelah diberikan senam kegel diperoleh nilai P-
value = 0,000 (<0,05), artinya ada pengaruh signifikan dari pemberian senam
kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine. Bedasarkan hasil penelitian tentang
pengaruh senam kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine pada lansia di
puskesmas Pijorkoling kota Padang sidimpuan ada beberapa saran yang akan
peneliti sampaikan yaitu sebagai berikut: Bagi masyarakat diharapkan senam
kegel ini dimanfaatkan dalam membantu menurunkan frekuensi urine, dan
dilakukan sebagai alternative dalam mengatasi inkontinensia urine selain
pengobatan farmakologi.
BAB III
TINJAUAN TEORI
3. Patofisiologi
Inkontinensia urin dapat terjadi karena beberapa penyebab, antara lain:
a. Perubahan terkait usia pada sistem perkemihan
Menurut Stanley M & Beare G Patricia, (2006) dalam Aspiani, (2014)
kapasitas kandung kemih (vesiko urinaria) yang normal sekitar 300-600 ml.
Dengan sensasi atau keinginan berkemih di antara 150-350 ml. Berkemih
dapat ditunda 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Keinginan
berkemih terjadi pada otot detrusor yang kontraksi dan sfingter internal serta
sfingter eksternal relaksasi, yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda
hampir semua urin dikeluarkan saat berkemih, sedangkan pada lansia tidak
semua urin dikeluarkan. Pada lansia terdpat residu urin 50 ml atau kurang
dianggap adekuat. Jumlah residu lebih dari 100 ml mengindikasikan retensi
urin. Perubahan lain pada proses penuaan adalah terjadinya kontraksi
kandung kemih tanpa disadari. Pada seorang wanita lanjut usia terjadinya
penurunan hormon estrogen mengakibatkan atropi pada jaringan uretra dan
efek dari melahirkan menyebabkan lemahnya otot-otot dasar panggul.
b. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung
kemih. Menurut Aspiani, (2014) adanya hambatan pengeluaran urin karena
pelebaran kandung kemih, urin terlalu banyak dalam kandung kemih sehingga
melebihi kapasitas normal kandung kemih. Fungsi sfingter yang terganggu
mengakibatkan kandung kemih mengalami kebocoran ketika bersin atau
batuk.
4. Patway
ISK
Persalinan pervaginan Proses menua Peningkatan
produksi urin
(DM)
Refluks
Peregangan otot Kadar hormon urovesikal
jaringan / robekan menurun
jalan lahir Hiperglikemia MK :
gangguan rasa
nyaman/ nyeri Menyebarnya
Otot dasar infeksi dari uretra
Melemahnya otot panggul rusak Perpindahan
dasar panggul cairan intraseluler
secara osmotik
Posisi kandung MK : risiko tinggi
Tidak dapat menahan air kemih prolap infeksi Sfingter dan
kencing
otot dasar
Ginjal reabsorbsi MK : panggul
Melemahnya kelebihan glukosa terganggu
kekurangan
tekanan / tekanan volume cairan
akhiran kemih keluar
Pengosongan
kandung kemih
tidak sempurna
MK : kelelahan
Poliuria
INKONTINENSIA URIN
Urgensi Desakan berkemih
MK : isolasi sosial
Mengompol Nokturia
5. Klasifikasi
Menurut Cameron (2013), inkontinensia urin dapat dibedakan menjadi:
a. Inkontinensia urge
Keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, di mana otot ini
bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan
ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul,
manifestasinya dapat berupa perasaan ingin berkemih yang mendadak (urge),
berkemih berulang kali (frekuensi) dan keinginan berkemih di malam hari
(nokturia).
b. Inkontinensia stress
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin dengan secara tidak terkontrol
keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar
panggul, operasi dan penurunan estrogen. Pada gejalanya antara lain
keluarnya urin sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal
yang lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut.
c. Inkontinensia overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan akibat isinya yang sudah terlalu
banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya akibat otot detrusor kandung
kemih yang lemah. Biasanya hal ini bisa dijumpai pada gangguan saraf akibat
dari penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, dan saluran
kemih yang tersumbut. Gejalanya berupa rasanya tidak puas setelah
berkemih (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih), urin yang
keluar sedikit dan pancarannya lemah.
d. Inkontinensia refleks
Hal ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti
demensia. Dalam hal ini rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada.
e. Inkontinensia fungsional
Dapat terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi fisik dan kognitif
sehingga pasien tidak dapat mencapai ke toilet pada saat yang tepat. Hal ini
terjadi pada demensia berat, gangguan neurologi, gangguan mobilitas dan
psikologi.
6. Manifestasi
Menurut Aspiani ( 2014) ada beberapa manifestasi klinis inkontinensia urin,
antara lain :
a. Inkontinensia urge
Gejala dari inkontinensia urge adalah tingginya frekuensi berkemih (lebih
sering dari 2 jam sekali). Spasme kandung kemih atau kontraktur berkemih
dalam jumlah sedikit (kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih
dari 500 ml).
b. Inkontinensia stress
Gejalanya yaitu keluarnya urin pada saat tekanan intra abdomen meningkat
dan seringnya berkemih.
c. Inkontinensia overflow
Gejala dari inkontinensia jenis ini adalah keluhan keluarnya urin sedikit dan
tanpa sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh, distensi kandung kemih.
d. Inkontinensia refleks
Orang yang mengalami inkontinensia refleks biasanya tidak menyadari bahwa
kandung kemihnya sudah terisi, kurangnya sensasi ingin berkemih, dan
kontraksi spasme kandung kemih yang tidak dapat dicegah.
e. Inkontinensia fungsional
Mendesaknya keinginan berkemih sehingga urin keluar sebelum mencapai
toilet merupakan gejala dari inkontinensia urin fungsional.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Aspiani (2014) yaitu
dengan mengurangi faktor risiko, mempertahankan homeostatis,
mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan
otot pelvis, dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut, dapat
dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat dalam kartu catatan yaitu waktu berkemih, jumlah urin yang
keluar baik secara normal maupun karena tak tertahan. Banyaknya minuman
yang diminum, jenis minuman yang diminum, dan waktu minumnya juga
dicatat dalam catatan tersebut.
b. Terapi non farmakologi
Terapi ini dilakukan dengan cara mengoreksi penyebab timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
dan hiperglikemi. Cara yang dapat dilakukan adalah :
1) Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dilakukan dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga waktu
berkemih 6-7x/hari. Lansia diharapkan mampu menahan keinginan
berkemih sampai waktu yang ditentukan. Pada tahap awal, diharapkan
lansia mampu menahan keinginan berkemih satu jam, kemudian
meningkat 2- 3 jam.
2) Promited voiding yaitu mengajari lansia mengenali kondisi berkemih. Hal
ini bertujuan untuk membiasakan lansia berkemih sesuai dengan
kebiasaannya. Apabila lansia ingin berkemih diharapkan lansia
memberitahukan petugas. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif.
3) Melakukan latihan otot dasar panggul atau latihan kegel.
Latihan kegel ini bertujuan untuk mengencangkan otot-otot dasar panggul
dan mengembalikan fungsi kandung kemih sepenuhnya serta mencegah
prolaps urin jangka panjang
c. Terapi farmakologi
Obat yang dapat diberikan pada inkontinensia dorongan (urge) yaitu
antikolenergik atau obat yang bekerja dengan memblokir
neurotransmitter, yang disebut asetilkolin yang membawa sinyal
otak untuk mengendalikan otot. Ada beberapa contoh obat
antikolenergik antara lain oxybutinin, propanteline, dyclomine,
flsavoxate, dan imipramine. Pada inkontinensia tipe stress diberikan
obat alfa adregenic yaitu obat untuk melemaskan otot. Contoh dari
obat tersebut yaitu pseudosephedrine yang berfungsi untuk
meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter yang mengalami
relaksasi diberikan obat kolinergik agonis yang bekerja untuk
meningkatkan fungsi neurotransmitter asetilkolin baik langsung
maupun tidak langsung. Obat kolinergik ini antara lain bethanechol
atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk menstimulasi
kontraksi.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini bisa dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urge, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Pada inkontinensia
overflow biasanya dilakukan pembedahan untuk mencegah retensi urin.
Terapi ini biasanya dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvis.
e. Modalitas lain
Terapi modalitas ini dilakukan bersama dengan proses terapi dan pengobatan
masalah inkontinensia urin, caranya dengan menggunakan beberapa alat bantu
bagi lansia antara lain pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal dan
bedpan.
8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Artinawati (2014) terdapat beberapa pemeriksaan penunjang untuk
masalah inkontinensia urin, antara lain :
a. Urinalis
Spesimen urin yang bersih diperiksa untuk mengetahui penyebab
inkontinensia urin seperti hematuria, piuria, bakteriuria, glukosuria, dan
proteinuria.
b. Pemeriksaan darah
Dalam pemeriksaan ini akan dilihat elektrolit, ureum, kreatinin, glukosa, dan
kalsium serum untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang
menyebabkan poliuria.
c. Tes laboratorium tambahan
Tes ini meliputi kultur urin, blood urea nitrogen, kreatinin, kalsium, glukosa,
dan sitologi.
d. Tes diagnostik lanjutan
1) Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih
bagian bawah
2) Tes tekanan uretra untuk mengukur tekanan di dalam uretra saat istirahat
dan saat dinamis.
3) Imaging tes untuk saluran kemih bagian atas dan bawah
e. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih ini dilakukan selama 1-3 hari untuk mengetahui pola
berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat
mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, serta gejala yang
berhubungan dengan inkontinensia urin.
A. Pengertian Senam Kegel
Latihan otot dasar panggul (ODP) dikembangkan pertama kali oleh Dr.
Arnold kegel pada tahun 1940 dengan tujuan menguatkan otot dasar panggul dan
mengatasi stres inkontinensia urin. Hal ini sesuai dengan konsep latihan kegel dan
pendapat seorang dokter kandungan bernama kegel pada tahun 1940, bahwa
latihan kegel sangat bermanfaat untuk menguatkan otot rangka pada dasar
panggul, sehingga memperkuat fungsi sfingter eksternal pada kandung kemih
(Septiastri & Siregar, 2012). Latihan otot dasar panggul ini awalnya
diperkenalkan oleh Kegel untuk pasien pasca melahirkan. Latihan ini terus
dikembangkan dan dapat dilakukan pada lansia yang mengalami masalah
inkotinensia stress yaitu pengeluaran urine tidak terkontrol akibat bersin, batuk,
tertawa atau melakukan latihan jasmani dan inkontinensia urgensi dimana terjadi
gangguan kontrol pengeluaran urin, dengan dilakukan latihan Kegel bisa
memperbaiki fungsi otot dasar panggul yaitu rangkaian otot dari tulang panggul
sampai tulang ekor. Menurut Nursalam (2007), latihan kegel merupakan aktivitas
fisik yang tersusun dalam suatu program yang dilakukan secara berulang-ulang
guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel merupakan latihan dalam
bentuk seri untuk membangun kembali kekuatan otot dasar panggul, memberikan
bantuan yang signifikan dari rasa sakit vestibulitis vulva, dan, dalam banyak
kasus memungkinkan pasien untuk terlibat dalam aktivitas seksual yang normal
(Widiastuti, 2011). Latihan ini berupa latihan ODP secara progresif pada otot
Levator ani yang dapat dikontraksikan secara sadar yang selanjutnya dikenal
dengan Kegel Exercise (Rahajeng, 2010). Kegel Exerciseatau senam Kegel
merupakan terapi non operatif yang paling sering dilakukan untuk mengatasi stres
inkontinensia karena membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot pada
uretra dan periuretra (Bobak, 2004 dalam Yanthi, 2011).
E. IndikasiSenam Kegel
Senam kegel dianjurkan bagi wanita dan pria yang umumnya memiliki
keluhan terkait lemahnya otot PC. Berikut adalah beberapa indikasi senam
kegel:
1. Pria dan wanita yang memiliki masalah inkontinensia (tidak mampu
menahan buang air kecil).
2. Wanita yang sudah mengalami menopause untuk mempertahankan
kekuatan otot panggul dari penurunan kadar estrogen.
3. Wanita yang mengalami prolaps uteri (turunnya rahim) karena
melemahnya otot dasar panggul, juga untuk wanita yang mengalami
masalah seksual. Pria yang mengalami masalah ejakulasi dini serta
ereksi lebih lama. (Ardani, 2010).
F. Kontra IndikasiSenam Kegel
Latihan senam kegel membatu memulihkan dan meperkuat otot-otot yang
mengelilingi dan mendukung kantung kemih , rahim ,rectum, dan uretra (otot
panggul otot-otot ini di kenal sebagai otot pubococcygeal. Latihan senam
kegel membatu untuk meperlambat atau mehentikan alirah air seni , serta
otot-otot yang mencegah keluarnya gas (damayanti, 2010).
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
karakteristik responden, mayoritas responden berada pada rentang usia antara
60-74 tahun yaitu 9 responden (56.3%), dan jenis persalinan semua responden
riwayat persalinannya normal yaitu 16 responden (100%). Dan Hasil analisis
data menggunakan uji Shapirowilk setelah diberikan senam kegel diperoleh
nilai P-value = 0,000 (<0,05), artinya ada pengaruh signifikan dari pemberian
senam kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine.
B. Saran
Bedasarkan hasil penelitian tentang pengaruh senam kegel terhadap frekuensi
inkontinensia urine pada lansia di puskesmas Pijorkoling kota
Padangsidimpuan ada beberapa saran yang akan peneliti sampaikan yaitu
sebagai berikut: Bagi masyarakat diharapkan senam kegel ini dimanfaatkan
dalam membantu menurunkan frekuensi urine, dan dilakukan sebagai
alternatif dalam mengatasiinkontinensia urine selain pengobatan farmakologi.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, A., Achdiat, A., & Arizal, A. (2010). Penyakit di Usia Lanjut. Jakarta: EGC.
Dahlan. (2014). Pengaruh latihan kegel terhadap inkontinensia urine pada lansia di
Panti Sosial Tresna WherdaMeci Angi Bima. Jurnal Kesehatan Prima,
(Inkontinensia Urine), 1292–1297.
Depkes RI. (2012). Riset Kesehatan Dasar. Prevalensi inkontinensia urine di
Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI
Maas, M. L., Buckwalter, K. C., Hardy, M.D., Tripp-Reimer, T., Titler, M.G.,
&Specht,
J.P. (2011). Asuhan Keperawatan Geriatrik, Diagnosis NANDA, Kriteria Hasil
NOC, Intervensi NIC. Jakarta: EGC
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nugroho. (2013). Keperawatan Gerontik. Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Riskesdas. (2013). Prevalensi inkontinensia urine di Sumatra utara. Jakarta: Badan
Penelitian dan pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Setyoadi. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik. Salemba
Medika: Jakarta
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Wahyudi. (2017). Pengaruh Senam Kegel Terhadap Frekuensi Berkemih Pada
Lansia. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Jakarta