Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN ANALISA JURNAL

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA

DENGAN KEMANDIRIAN ACTIVITY OF DAILY LIVING PASCASTROKE

Disusun Oleh:

Diah Ambarwati ()

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Usia lanjut merupakan periode dimana banyak ditandai dengan kemunduran fisik yang dapat
mengakibatkan penurunan pada peranan social. Hal ini pula yang menyebabkan timbulnya gangguan
di dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga tingkat ketergantungan semakin meningkat.
Adanya kelemahan pada fungsi tubuh secara menyeluruh, terutama pada fleksibilitas pembuluh darah
juga menyebabkan lansia mudah terkena penyakit degenerative, terutama stroke.
Stroke merupakan penyakit yang termasuk urutan ketiga penyebab kematian di dunia setelah
jantung dan kanker. Stroke juga merupakan penyakit yang menyebabkan kecacatan serius dan
permanen nomor 1 di dunia. Di dunia serangan stroke terjadi pada 15 juta orang. Dari 15 juta orang
tersebut, 5 juta orang meninggal dunia, 15 juta lainnya bertahan hidup, namun mengalami cacat
permanen dan hidup bergantung kepada keluarga dan masyarakat, serta 15 juta orang sisanya sembuh
sebelum terkena stroke (WHO, 2010).
Stroke memberi dampak yang dapat mempengaruhin aktifitas seseorang, misalnya menjadikan
orang tidak percaya diri, menurunkan produktivitas, hilangnya semangat untuk melaksanakan hobi dan
lainnya. Dampak yang dapat ditimbulkan pasca stroke adalah kelumpuhan dan kecacatan, gangguan
berkomunikasi, gangguan emosi, nyeri, gangguan tidur, depresi, disfagia dan masih banyak lainnya
(Lingga, 2013). Pasca terserang stroke tingkat ketergantungan seseorang terhadap orang lain menjadi
semakin meningkat, sehingga orang tidak mandiri dalam melakukan aktifitas kemandirian (ADL)
sehari-hari.
Tidak hanya mengalami kecacatan, pasien stroke juga cenderung mengalami depresi. Dalam hal
ini, peranan dan dukungan dari orang sekitar terutama keluarga sangat diperlukan untuk mempengaruhi
orang tersebut agar tidak depresi. Dukungan keluarga adalah upaya yang diberikan kepada anggota
keluarga baik moril maupun materiil berupa motivasi, saran, informasi dan bantuan yang nyata (smet,
2004). Dukungan keluarga dapat diperoleh dari anggota keluarga (suami, istri, anak dan kerabat), teman
dekat atau relasi (Kuntjoro, 2002). Adanya dukungan keluarga membuat orang pasca stroke tidak
mengalami depresi, karena tetap terjalin komunikasi dengan orang lain.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada hubungan antara dukungan keluarga
dengan kemandirian activity of daily living pasca stroke di Instalasi rehabilitasi Medik RSU Haji
Surabaya di bulan Juni-Juli 2015 adalah:
1. mengidentifikasikan karakteristik demografi (umur, jenis kelamin, dan pekerjaan), dukungan
keluarga dan kemandirian, analisis kemandirian activity of daily living berdasarkan karakteristik
geografi.
2. Menganalisa hubungan antara dukungan keluarga dengan kemandirian activity of daily living pasca
stroke
BAB II

ANALISA JURNAL

A. JURNAL UTAMA

1. Judul Jurnal
“Hubungan antara dukungan keluarga dengan kemandirian Activity Of Daily Living
Pascastroke” di Instalasi Rehabilitasi Medik RSU Haji Surabaya di Bulan Juni-Juli 2015.

2. Peneliti
Nama Peneliti adalah Esa KArunia FKM UA, dengan alamat korespondensi Departemen
Epidemologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur.

3. Populasi, Sample dan Teknik Sampling


Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2015 di Instalasi Rehabilitasi Medik Rumah
Sakit Umum (RSU) Haji Surabaya. Populasi penelitian sebanyak 90 orang. Jumlah populasi ini
didasarkan pada jumlah pasien pascastroke yang berkunjung di Instalasi Rehabilitasi Medik pada
tahun 2014. Metode pengambilan sampel menggunakan simple random sampling, dengan jumlah
responden sebanyak 47 orang. Kriteria dalam pemilihan sampel adalah pasien pascastroke yang
mengikuti terapi minimal satu bulan di Instalasi Rehabilitasi Medik RSU Haji Surabaya, dapat
berkomunikasi, menandatangani informed consent dan bersedia menjadi responden.

4. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan observasional analitik, karena tidak ada perlakuan kepada subjek
yang dilakukan oleh peneliti. Rancang bangun yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain
studi cross sectional, yaitu desain studi epidemiologi yang mempelajari prevalensi, distribusi
maupun hubungan antara penyakit dengan paparan atau karakteristik yang terkait dengan kesehatan
lainnya yang dilakukan secara serentak pada individu di suatu populasi pada suatu masa (Murti,
2003)

5. Instrumen yang digunakan


Variabel bebas dalam penelitian ini adalah karakteristik demografi (umur, jenis kelamin,
dan pekerjaan) dan dukungan keluarga, sedangkan variabel terikatnya adalah kemandirian ADL.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara dan observasi ke penderita stroke,
sedangkan pengumpulan data sekunder adalah dengan melihat rekam medik pasien dan laporan
bulanan Instalasi Rehabilitasi Medik RSU Haji Surabaya.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner karakteristik responden,
form barthel index dan kuesioner dukungan keluarga. Form barthel index digunakan untuk
mengukur tingkat kemandirian dalam melakukan ADL.
6. Uji Statistik yang digunakan
Untuk mengetahui gambaran distribusi responden menggunakan statistic deskriptif.
Sedangkan untuk melihat hubungan antara variable bebas dengan variable terikat menggunakan
Chi-square Apabila dari analisis data terdapat hubungan antara variabel bebas dengan variabel
terikat, maka akan dihitung besar risiko menggunakan Odds Ratio.

B. JURNAL PENDUKUNG

1. Judul Jurnal Pendukung,


“Dukungan Keluarga dan Kemandirian Activity Daily Living Dalam Penurunan Depresi Pasca
Stroke” di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Baptis Kediri.

2. Peneliti,
Ria Wahyu Kristyanti Erlin Kurnia STIKES RS. Baptis Kediri

3. Hasil Penelitian dari jurnal pendukung,


Karakteristik responden pada penelitian ini 58,3% pasien laki-laki dengan usia lebih 50 %
(59,4%) usia ≥56 tahun, pendidikan cukup (SMP: 30,2%), dengan pekerjaan sebagai swasta
(37,5%) dan lama menderita stroke paling banyak 1 sampai kurang dari 3 tahun (43,7%).
Hasil penelitian mengenai dukungan keluarga dari jumlah responden sebanyak 96 orang
didapatkan hasil responden dengan dukungan keluarga baik yaitu sebanyak 67 orang (69,8%) dan
dukungan keluarga sedang sebanyak 29 orang (30,2%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar responden mendapatkan dukungan keluarga baik.
Hasil penelitian mengenai tingkat kemandirian dalam Activity Daily Living dari jumlah
responden sebanyak 96 orang didapatkan hasil responden dengan tingkat kemandirian kurang
tergantung sebanyak 50 responden (52,1%), menengah sebanyak 19 responden (19,7%), minimal
sebanyak 15 responden (15,6%), mandiri sebanyak 4 responden (4,2%), sangat tergantung
sebanyak 4 responden (4,2%), total sebanyak 4 responden (4,2%). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lebih dari 50% responden mengalami tingkat kemandirian kurang tergantung.
Hasil penelitian mengenai tingkat depresi dari jumlah responden sebanyak 96 orang
didapatkan hasil responden dengan tingkat depresi sedang yaitu sebanyak 54 orang (56,2%), tingkat
depresi ringan sebanyak 21 orang (21,9%), dan tingkat depresi berat sebanyak 21 orang (21,9%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden mengalami tingkat depresi sedang.
Hasil dari tabulasi silang dari 96 responden, didapatkan dukungan keluarga sedang dengan
depresi sedang (55,2%) dan dukungan baik dengan depresi sedang (56,7%). Analisis menggunakan
Wilcoxon bahwa α ≤ 0,05 didapatkan p = 0,000, dimana p < α yang berarti H0 ditolak dan Ha1
diterima. Jadi ada pengaruh yang signifikan antara dukungan keluarga terhadap tingkat depresi
pada pasien pasca stroke di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Baptis Kediri. Angka tabel Z adalah
6,168 berarti memiliki perbedaan bermakna atau hubungan yang kuat. Angka tabel Z bernilai
negatif bahwa kedua variabel menunjukkan arah hubungan yang berlawanan arah. Hal ini
menegaskan bahwa semakin baik dukungan keluarga maka semakin rendah tingkat depresi pasien.
Hasil dari tabulasi dari 96 responden didapatkan tingkat kemandirian total dengan tingkat
depresi berat (100%), tingkat kemandirian sangat tergantung dengan tingkat depresi sedang (75%),
tingkat kemandirian menengah dengan tingkat depresi berat (68,4%), tingkat kemandirian kurang
tergantung dengan tingkat depresi sedang (84%), tingkat kemandirian minimal dengan tingkat
depresi ringan (80%), dan tingkat kemandirian mandiri dengan tingkat depresi ringan (75%).
Analisis menggunakan Wilcoxon bahwa α ≤ 0,05 didapatkan p = 0,000, dimana p < α yang berarti
H0 ditolak dan Ha1 diterima. Jadi ada pengaruh yang signifikan antara tingkat kemandirian dalam
Activity Daily Living terhadap tingkat depresi pada pasien pasca stroke di Instalasi Rawat Jalan
Rumah Sakit Baptis Kediri. Angka tabel Z adalah 7,303 berarti memiliki perbedaan bermakna
tingkat atau hubungan yang kuat. Angka tabel Z bernilai negatif bahwa kedua variabel
menunjukkan arah hubungan yang berlawanan arah. Hal ini menegaskan bahwa semakin mandiri
tingkat kemandirian pasien pasca stroke maka semakin rendah tingkat depresi pasien.

C. ANALISA PICO

1. Problem
Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik, karena tidak ada perlakuan
kepada subjek yang dilakukan oleh peneliti. Rancang bangun yang digunakan dalam penelitian ini
adalah cross sectional. Sampel diambil menggunakan metode simple random sampling dari
populasi penelitian sebesar 90 orang hanya 47 responden yang diambil sebagai sampling. Kriteria
dalam pemilihan sample adalah pasien pasca stroke yang mengikuti terapi minimal satu bulan di
instalasi rehabilitasi medik RSU Haji Surabaya, dapat berkomunikasi, menandatangani informed
consent dan bersedia menjadi responden.

2. Intervention
Dalam penelitian ini tekhnik pengumpulan data primer yang diperoleh melalui
wawancara dan observasi ke penderita stroke. Sedangkan pengumpulan data skunder adalah
dengan melihat rekam medis pasien dan laporan bulanan Instalasi Rehabilitasi Medik RSU Haji
Surabaya.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuestioner karakteristik responden,
form bathel index dan kuestioner dukungan keluarga. Form Bathel Index digunakan untuk
mengukurtingkat kemandirian dalam melakukan ADL.
Analisa data dilakukan secara analitik untuk mengetahui gambaran distribusi responden
menggunakan statistic deskriptif.
Ada dua variable yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variable bebas (umur, jenis
kelamin dan pekerjaan) dan dukungan keluarga, sedangkan variable terikatnya adalah kemandirian
ADL. Untuk melihat kedua hubungan antara variable bebas dan terikat digunakan analisa Chi-
Suare. Apabila dari analisa data terdapat hubungan antara variable bebas dan variable terikat, maka
akan dihitung besar risiko dengan menggunakan Odds Ratio.

3. Comparation
1. Jurnal “Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kemandirian Activity Daily
Living Pasca Stroke”
Hasil :
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eka KArunia (2016) di di Instalasi Rehabilitasi
Medik RSU Haji Surabaya pada bulan Juni-Juli 2015. Hasil penelitian menyebutkan sebagian
besar responden pascastroke berumur 43–61 tahun, berjenis kelamin laki-laki, dan tidak
bekerja. Sebagian besar responden mendapatkan dukungan keluarga yang baik, sehingga
responden bisa lebih mandiri dalam beraktivitas. Berdasarkan analisis menggunakan Chi-
square, terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan kemandirian dalam melakukan
ADL pascastroke, nilai p = 0,018 dengan α = 0,05), namun tidak terdapat hubungan antara
umur, jenis kelamin, dan pekerjaan dengan kemandirian ADL pascastroke. Diharapkan
keluarga menciptakan situasi yang tenang, serta menciptakan aktivitas yang bermanfaat untuk
kemandirian orang pascastroke..

2. Jurnal “Dukungan Keluarga dan Kemandirian Activity Daily Living Dalam Penurunan
Depresi PAsca Stroke”.
Hasil :
Hasil survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di tahun 2013 di RS Baptis Kediri
yang didapatkan melalui wawancana terstruktur didapatkan hasil didapatkan adanya dukungan
keluarga baik (69,8%) dan tingkat kemandirian kurang tergantung (52,1%), tingkat depresi
sedang (56,3%). Hasil uji statistik p=0,000 pada semua hubungan variabel dependen
independen yang artinya dukungan keluarga dan kemandirian ADL berhubungan dengan
tingkat depresi pada pasien pasca stroke. Disimpulkan dukungan keluarga dan tingkat
kemandirian ADL baik berhubungan dengan penurunan tingkat depresi.

4. Outcome
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien pascastroke yang paling banyak mengikuti
rehabilitasi adalah pasien yang sudah mandiri dalam beraktivitas berdasarkan hasil penggolongan
nilai form barthel index. Kemandirian diperoleh apabila nilai barthel index 100, dan dikatakan tidak
mandiri apabila skor total 0-99 atau < 100.
Hasil perhitungan menggunakan Chi-Square didapatkan l nilai p = 0,197 dengan α = 0,05.
Responden pascastroke yang berumur 43–61 tahun lebih banyak yang mandiri dibandingkan yang
tidak mandiri. Ini berarti bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan kemandirian ADL
pascastroke.
Hasil dari perhitungan menggunakan Chi-square didapatkan nilai p = 0,271 dengan α = 0,05.
Ini berarti bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kemandirian ADL pascastroke.
Penelitian ini bisa diterapkan ditempat pelayanan kesehatan karena mudah dilakukan dan tidak
membutuhkan alat, pasien juga dapat melakukan teknik ini secara mandiri ketika sudah diajarkan.
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan Chi-square, nilai p = 0,501 dengan α = 0,05. Ini
berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara pekerjaan dengan kemandirian ADL pascastroke.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik demografi tidak berhubungan dengan
kemandirian ADL pasca stroke.
Hasil perhitungan menggunakan Chi-square diperoleh nilai p = 0,018 dengan α = 0,05, ini
berarti bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan kemandirian
aktivitas kehidupan sehari-hari pascastroke. Apabila dihitung besar risiko, hasil penelitian
menunjukkan adanya risiko dukungan keluarga dengan kemandirian ADL pascastroke OR = 11,2,
95% CI (1,251 < OR < 100,31). Risiko ini bermakna, sehingga berarti dukungan keluarga yang
baik mempunyai risiko mandiri dalam melakukan ADL sebesar 11,2 kali dibandingkan responden
yang kurang mendapat dukungan keluarga.
BAB III

TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP PENYAKIT

I. Definisi

Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak
yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang
menderita kelumpuhan atau kematian (Fransisca B. Batticaca).

Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.
(Hendro Susilo, 2000)

Stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral dan merupakan satu gangguan neurologik
pokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses patologik pada pembuluh darah serebral
misalnya trombosis, embolus, ruptura dinding pembuluh atau penyakit vaskuler dasar,
misalnya arterosklerosis arteritis trauma aneurisma dan kelainan perkembangan (Price, 1995).

Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan
pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan menimbulkan gejala dan tanda yang
sesuai dengan daerah otak yang terganggu. Stroke merupakan salah satu masalah kesehatan
yang serius karena ditandai dengan tingginya morbiditas dan mortalitasnya. Selain itu, tampak
adanya kecenderungan peningkatan insidennya (Bustan, 2007).

Secara garis besar, stroke dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Stroke karena pendarahan (Haemorragic)


Pada Stroke Iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena atheroklerosis
(penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah
menyumbat suatu pembuluh darah ke otak. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83%
mengalami stroke jenis ini. Stroke Hemoragik yaitu penyakit stroke yang terjadi
oleh karena pecahnya pembuluh darah di otak terdiri dari perdarahan intraserebral,
perdarahan subarakhnoid.

2. Stroke bukan karena pendarahan (Non Haemorragic/ Iskemik)


Pada stroke haemorragic pembulih darah pecah sehingga menghambat aliran darah
yang normal dan darah merembes kedalam suatu daerah diotak dan merusaknya. Hampir
70% kasus stroke ini terjadi pada penderita hipertensi. Stroke Iskemik yaitu penyakit stroke
yang terjadi oleh karena suplai darah ke otak terhambat atau berhenti. Terdiri
dari: Transient Ischemic Attack (TIA), trombosis serebri, emboli serebri.
II. Etiologi

Penyebab utama dari stroke diurutkan dari yang paling penting adalah aterosklerosis
(trombosis), embolisme, hipertensi yang menimbulkan perdarahan intraserebral dan ruptur
aneurisme sakular. Stroke biasanya disertai satu atau beberapa penyakit lain seperti hipertensi,
penyakit jantung, peningkatan lemak dalam darah, diabetes mellitus atau penyakit vascular
perifer.

1. Stroke Iskhemik
Stroke yang terjadi sebagai akibat dari adanya sumbatan pada arteri sehingga
menyebabkan penurunan suplay oksigen pada jaringan otak (iskhemik) hingga
menimbulkan nekrosis. Sekitar 87 % kasus stroke disebabkan kerena adanya sumbatan yang
berupa thrombus atau embolus. Trombus adalah gumpalan/sumbatan yang berasal dari
pembuluh darah otak. Embolus adalah gumpalan/sumbatan yang berasal dari tempat lain,
misalnya jantung atau arteri besar lainnya.
Faktor lain yang berpengaruh adalah denyut jantung yang irreguler (atrial fibrillation)
yang merupakan tanda adanya sumbatan dijantung yang dapat keluar menuju otak. Adanya
penimbunan lemak pada pembuluh darah otak (aterosklerosis) akan meningkatkan resiko
terjadinya stroke iskhemik.

2. Stroke Hemoragic.
Stroke yang terjadi sebagai akibat pecahnya pembuluh darah yang rapuh diotak. Dua
tipe pembuluh darah otak yang dapat menyebabkan stroke hemoragi, yaitu; aneurysms dan
arteriovenous malformations (AVMs). Aneurysms adalah pengembangan pembuluh darah
otak yang semakin rapuh sehingga data pecah. Arteriovenous malformations adalah
pembuluh darah yang mempunyai bentuk abnormal, sehingga mudah pecah dan
menimbulkan perdarahan otak.

III. Tanda dan gejala

Stoke menyebabkan defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana
yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adequat dan jumlah aliran darah kolateral.
Stroke akan meninggalkan gejala sisa karena fungsi otak tidak akan membaik sepenuhnya.

1. Kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh (hemiparese atau hemiplegia)


2. Lumpuh pada salah satu sisi wajah “Bell’s Palsy”
3. Tonus otot lemah atau kaku
4. Menurun atau hilangnya rasa
5. Gangguan lapang pandang “Homonimus Hemianopsia”
6. Gangguan bahasa (Disatria: kesulitan dalam membentuk kata; afhasia atau disfasia:
bicara defeksif/kehilangan bicara)
7. Gangguan persepsi
8. Gangguan status mental
IV. Patofisiologi Stroke

V. Pemeriksaan penunjang
1. Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik misalnya
pertahanan atau sumbatan arteri.
2. Scan Tomografi Komputer (Computer Tomografy Scan – CT Scan). Mengetahui adanya
tekanan normal dan adanya trobosis, emboli serebral, dan tekanan intracranial (TIK).
Peningkatan TIK dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan
subarachnoid dan perdarahan intracranial. Kadar protein total meningkat, beberapa kasus
thrombosis disertai proses inflamasi.
3. Magnetik Resonance I maging (MRI). MMenunjukan daerah infark, perdarahan,
malformasi arteriovena (MAV).
4. Ultrasonografi Dopler (USG dopler). Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah
system arteri karotis [aliran darah atau timbulnya plak]) dan arteriosklerosis.
5. Elektroensepalogram (Electroensephalogram-EEG). Mengidentifikasi masalah pada
gelombang otak dan memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
6. Sinar tengkorak. Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada trobosis
serebral; kalsifikasi parsial dinding aneurisma pad perdarahan subarachnoid.
7. Pemeriksaan lab: Darah rutin, Gula darah, Urin rutin, Cairan serebrospinal, Analisa gas
darah (AGD), Biokimia darah, Elektrolit.

VI. Komplikasi
1. Pneumonia
2. Gangguan menelan
3. Rasa sakit akibat tekanan
4. Pembengkakan jaringan otak
5. Masalah kesehatan pada bahu
6. Perdarahan saluran pencernaan
7. Epilepsi
8. Kesulitan buang air kecil atau inkontinensia urin
9. Sembelit
10. Pembentukan bekuan darah di vena tubuh bagian bawah dan penyumbatan arteri
paru-paru secara tiba-tiba
11. Depresi

VII. Pencegahan Stroke


1. Hindari merokok, kopi dan alkohol
2. Usahakan untuk dapat mempertahankan berat badan ideal (cegah kegemukan)
3. Batasi intake garam bagi penderita hipertensi
4. Batasi makkanan berkolesterol dan lemak (daging, durian,alpukat,keju dan lainnya)
5. Pertahankan diet dengan gizi seimbang (banyak mkan buah dan sayuran)
6. Olahraga yang teratur.
VIII. Penatalaksanaan Stroke

Stroke 1. Stroke Iskemik Dampak Stroke:


2. Stroke Haemoragic
1. Kognitif: aphasia, kehilangan memori, dan vascular
dementia.
2. Fisik: dysphagia, fatigue, foot drop, hemiparesis,
 Penatalaksanaan: - kelumpuhan, kejang
Penatalaksanaan Umum: 3. Emosional: depresi dan pseudobulbar affect (PBA)
memperbaiki jalan napas dan
mempertahankan ventilasi,
elevasi kepala 30 derajat, dan
sebagainya.
 Farmakologi: pemberian cairan
hipertonis, diuretika, steroid,
aspirin dan tissue plasminogen
activator (tPA) –
 Tindakan bedah:
endosterektomi karotis dan
decompressive surgery -
Penatalaksanaan medis
lainnya: rehabilitasi, terapi
psikologi, tindakan
hipeventilasi.

Rehabilitasi Fisik: Kepatuhan rehabilitasi medis


 Fase Akut: 2 minggu pertama
pasca serangan stroke
 Fase Subakut: 2 minggu-6 bulan Faktor yang mempengaruhi Kepatuhan:
pasca stroke  Faktor petugas
 Fase Kronis: Di atas 6 bulan  Faktor Obat
 Faktor Penderita: Dukungan dari
anggota keluarga

Sumber: Affandi dan Reggy (2016); National Stroke Association (2016); National Medicines Information Centre
(2011); PERDOSSI (2011); Scottich Intercollegiate Guidelines Network (2008); Wirawan (2009); Tombokan, dkk(2015).

B. KONSEP INTERVENSI YANG DIBERIKAN

1. Konsep Activity Daily Living (ADL)

a). Pengertian ADL Brunner & Suddarth (2002) mengemukakan ADL atau Activity Daily
Living adalah aktivitas perawatan diri yang harus pasien lakukan setiap hari untuk memenuhi
kebutuhan dan tuntutan hidup sehari-hari. ADL adalah aktivitas yang biasanya dilakukan
dalam sepanjang hari normal; aktivitas tersebut mencakup, ambulasi, makan, berpakaian,
mandi, menyikat gigi dan berhias dengan tujuan untuk memenuhi/berhubungan dengan
perannya sebagai pribadi dalam keluarga dan masyarakat. Kondisi yang mengakibatkan
kebutuhan untuk bantuan dalam ADL dapat bersifat akut, kronis, temporer, permanen atau
rehabilitative (Potter dan Perry, 2005).
b). Macam-macam ADL Sugiarto (2005) mengemukakan ada beberapa macam ADL, yaitu :
1. ADL dasar, sering disebut ADL saja, yaitu keterampilan dasar yang harus dimiliki
seseorang untuk merawat dirinya meliputi berpakaian, makan & minum, toileting,
mandi, berhias dan mobilitas. Ada juga yang memasukkan kontinensi buang air besar
dan buang air kecil dalam kategori ADL dasar ini. 10
2. ADL instrumental, yaitu ADL yang berhubungan dengan penggunaan alat atau benda
penunjang kehidupan sehari-hari seperti menyiapkan makanan, menggunakan telefon,
menulis, mengetik, mengelola uang kertas.
3. ADL vokasional, yaitu ADL yang berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan sekolah.
4. ADL non vokasional, yaitu ADL yang bersifat rekreasional, hobi, dan mengisi waktu
luang.

c). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemenuhan ADL


Faktor–faktor yang Mempengaruhi kemampuan melakukan Activity of Daily Living (ADL)
Menurut Hardywinoto (2007), yaitu:
A. Umur dan status perkembangan Umur dan status perkembangan seorang klien
menunjukkan tanda kemauan dan kemampuan, ataupun bagaimana klien bereaksi
terhadap ketidakmampuan melaksanakan activity of daily living. Saat perkembangan
dari bayi sampai dewasa, seseorang secara perlahan–lahan berubah dari tergantung
menjadi mandiri dalam melakukan activity of daily living.

B. Kesehatan fisiologis Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan


partisipasi dalam activity of daily living, contoh sistem nervous mengumpulkan,
menghantarkan dan mengolah informasi dari lingkungan. Sistem muskuloskeletal
mengkoordinasikan 11 dengan sistem nervous sehingga dapat merespon sensori yang
masuk dengan cara melakukan gerakan. Gangguan pada sistem ini misalnya karena
penyakit, atau trauma injuri dapat mengganggu pemenuhan activity of daily living secara
mandiri (Hardywinoto, 2007).

C. Fungsi Kognitif Tingkat kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam


melakukan activity of daily living. Fungsi kognitif menunjukkan proses menerima,
mengorganisasikan dan menginterpretasikan sensor stimulus untuk berpikir dan
menyelesaikan masalah. Proses mental memberikan kontribusi pada fungsi kognitif
dapat mengganggu dalam berpikir logis dan menghambat kemandirian dalam
melaksanakan activity of daily living (Hardywinoto, 2007).

D. Fungsi Psikososial Fungsi psikologi menunjukkan kemampuan seseorang untuk


mengingat sesuatu hal yang lalu dan menampilkan informasi pada suatu cara yang
realistik. Proses ini meliputi interaksi yang kompleks antara perilaku intrapersonal dan
interpersonal. Gangguan pada intrapersonal contohnya akibat gangguan konsep diri atau
ketidakstabilan emosi dapat mengganggu dalam tanggung jawab keluarga dan pekerjaan.
Gangguan interpersonal seperti masalah komunikasi, gangguan interaksi sosial atau
disfungsi dalam 12 penampilan peran juga dapat mempengaruhi dalam pemenuhan
activity of daily living (Hardywinoto, 2007).

E. Tingkat stress Stress merupakan respon fisik nonspesifik terhadap berbagai macam
kebutuhan. Faktor yang dapat menyebabkan stress (stressor), dapat timbul dari tubuh
atau lingkungan atau dapat mengganggu keseimbangan tubuh. Stressor tersebut dapat
berupa fisiologis seperti injuri atau psikologi seperti kehilangan.

F. Ritme biologi Ritme atau irama biologi membantu makhluk hidup mengatur lingkungan
fisik disekitarnya dan membantu homeostasis internal (keseimbangan dalam tubuh dan
lingkungan). Salah satu irama biologi yaitu irama sirkardian, berjalan pada siklus 24 jam.
Perbedaaan irama sirkardian membantu pengaturan aktivitas meliputi tidur, temperatur
tubuh, dan hormon. Beberapa faktor yang ikut berperan pada irama sirkardian
diantaranya faktor lingkungan seperti hari terang dan gelap, seperti cuaca yang
mempengaruhi activity of daily living.

G. Status mental Status mental menunjukkan keadaan intelektual seseorang. Keadaan status
mental akan memberi implikasi pada pemenuhan kebutuhan dasar individu. Seperti yang
diungkapkan oleh Cahya yang dikutip dari Baltes, salah satu yang dapat mempengaruhi
13 ketidakmandirian individu dalam memenuhi kebutuhannya adalah keterbatasan status
mental. Seperti halnya lansia yang memorinya mulai menurun atau mengalami
gangguan, lansia yang mengalami apraksia tentunya akan mengalami gangguan dalam
pemenuhan kebutuhan–kebutuhan dasarnya (Hardywinoto, 2007)

2. Dukungan Keluarga
A. Definisi Dukungan Keluarga
Dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga berperan penting dalam proses
kesembuhan pasien stroke yang mana pasien stroke sangat membutuhkan dorongan
keluarga baik untuk terapi maupun pengobatan penderita. Dukungan yang diberikan dapat
berupa kasih sayang, perhatian, motivasi, dan semangat hidup (Rhomadona, dkk., 2014).
Dukungan keluarga dapat diartikan sebagai semua bentuk perilaku dan sikap positif yang
diberikan keluarga kepada salah satu anggota keluarga yang sakit yaitu anggota keluarga
yang mengalami masalah kesehatan (Tumenggung, 2013). Penggunaan dukungan keluarga
sendiri mempunyai dampak pada kesehatan
fisik dan mental anggota keluarga bahkan rendahnya dukungan keluarga yang diberikan
secara konsisten berhubungan dengan meningkatnya angka kesakitan dan kematian
(Saputera, dkk., 2015).

B. Jenis Dukungan Keluarga .


1. Dukungan informatif
Dukungan informatif keluarga yaitu bantuan berupa pengetahuan, saran, petunjuk,
nasihat, umpan balik, atau instruksi, sehubungan dengan kejadian yang dialami
seseorang (Saputera, dkk., 2015). Fungsi keluarga dalam dukungan informatif yaitu
sebagai sebuah kolektor dan penyebar) tentang dunia. Keluarga disini berperan untuk
memberikan informasi terkait penyakit yang diderita oleh salah satu anggota
keluarganya. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasihat, petunjuk, saran, usulan,
dan pemberian informasi (Susanti & Tri, 2013).

2. Dukungan penilaian atau penghargaan


Dukungan penilaian yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,
menengahi pemecahan masalah dan membimbing, sebagai sumber dan validator
identitas anggota keluarga diantaranya memberikan dukungan, perhatian, dan
penghargaan (Susanti & Tri, 2013). Penghargaan yang diberikan keluarga yaitu berupa
bantuan yang diberikan untuk membangun perasaan berharga dan memberikan nilai
positif kepada orang tersebut ditengah keadaannya yang kurang mampu baik secara fisik
maupun maupun (Saputera, dkk., 2015). Dukungan ini biasanya diberikan keluarga
dalam bentuk motivasi serta penghargaan positif untuk setiap upaya yang pasien lakukan
untuk dapat segera sembuh dari penyakitnya. Motivasi yang diberikan keluarga kepada
pasien akan membantu pasien untuk tetap memandang positif setiap usahanya kembali
ke kondisi sehat (Sunniati, 2014).

3. Dukungan emosional
Dukungan emosial yaitu keluarga sebagai tempat aman dan damai untuk beristirahat
dan pemulihan serta membantu penguasaan emosi. Aspek-aspeknya meliputi dukungan
yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, mendengarkan dan
didengarkan, dan perhatian (Susanti & Tri, 2013). Dukungan emosional keluarga
merupakan bantuan sosial yang melibatkan ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian
yang memberikan rasa nyaman memiliki dan dicintai saat mengalami stres (Saputera,
dkk., 2015). Bentuk dukungan emosional yang diberikan yaitu dapat berupa perhatian
yang diberikan keluarga dalam bentuk kasih sayang dan membuat individu dalam
keluarga meyakini bahwa mereka dicintai dan disayangi (Friedman, et al., 2010).

4. Dukungan instrumental atau tambahan


Dukungan instrumental adalah keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan yang
praktis dan konkrit (Friedman, et al., 2010). Keluarga disini memberikan pertolongan
untuk membantu pasien yang menimbulkan perasaan dicintai dan diperhatikan dalam diri
pasien, sehingga pasien merasa berharga walaupun dalam kondisi sakit. Keikutsertaan
keluarga dalam memberikan bantuan secara financial, memberikan perawatan kesehatan
kepada pasien sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keluarga, serta membantu
menyediakan kebutuhan yang diperlukan pasien termasuk dalam bentuk dukungan
tambahan keluarga (Sunniati, 2014). Contoh lainnya yaitu keluarga membantu dalam
pemenuhan kebutuhan makan dan minum, istirahat, serta terhindarnya penderita dari
kelelahan (Susanti & Tri, 2013).

C. Sumber Dukungan Keluarga


Sumber ialah semua atribut dan dukungan yang ada untuk digunakan oleh keluarga
dalam kondisi kritis. Sumber ini terdiri dari tiga tingkatan yaitu tingkatan individu, unit
keluarga, dan komunitas. Sumber dari individu yaitu berupa kecerdasan, pengetahuan dan
keterampilan, sifat kepribadian, kesehatan fisik, dan kesehatan emosional seperti harga diri
atau rasa penguasaan. Sumber unit keluarga dapat mencakup organisasi, keterampilan
dalam pengambilan keputusan, dan kemampuaresolusi-konflik. Sumber komunitas atau
sumber dukungan sosial yaitu berasal dari kerabat atau teman dekat dan lembaga seperti
layanan perawatan kesehatan yang ada di luar keluarga (Friedman, et al., 2010).

D. Manfaat Dukungan Keluarga


Dukungan keluarga sangatlah penting bagi seseorang yang sedang mengalami sakit.
Seseorang yang mendapatkan dukungan keluarga akan membuat mereka menjadi lebih
semangat dalam menghadapi penyakitnya. Seseorang yang memiliki dukungan keluarga
juga dapat mencegah berkembangnya masalah karena tekanan yang dihadapi sehingga
seseorang dengan dukungan keluarga yang tinggi akan lebih berhasil mengatasi dan
mengahadapi suatu masalah dibanding dengan seseorang yang tidak memiliki dukungan
keluarga (Hayulita & Desti, 2014).
Penggunaan dukungan keluarga juga memberikan dampak pada kesehatan fisik dan
mental anggota keluarganya bahkan rendahnya dukungan keluarga yang diberikan secara
konsisten berhubungan dengan meningkatnya angka kesakitan dan kematian individu.
Individu dengan dukungan keluarga tinggi lebih cenderung untuk mempertahankan dan
mengadopsi perilaku kesehatan yang baru daripada individu yang tidak memiliki dukungan
keluarga untuk mengubah perilaku kesehatannya. Dukungan keluarga yang diberikan akan
bermanfaat dalam memotivasi klien untuk mengubah perilaku kesehatannya menjadi lebih
baik (Saputera, dkk., 2015).

E. Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga


Purnawan (2008) menjelaskan bahwa dukungan keluarga dipengaruhi oleh faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari pendidikan dan tingkat
pengetahuan, tahap perkembangan, faktor emosional, dan faktor spiritual. Tahap
perkembangan artinya dukungan dapat ditentukan oleh rentang usia (bayi-lansia) yang
memiliki pemahaman dan respon kesehatan yang berbeda-beda.
Pendidikan dan tingkat pengetahuan ialah suatu keyakinan terhadap adanya
dukungan yang terbentuk oleh intelektual yang terdiri dari latar belakang pendidikan,
pengetahuan, dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif seseorang akan membentuk
cara berpikir orang tersebut. Cara berpikir seseorang akan membuat orang tersebut mampu
untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan
pengetahuannya tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan tubuhnya.
Faktor emosional mempengaruhi keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan dan
cara melaksanakannya. Seseorang yang cenderung mengalami respon stres terhadap
perubahan hidupnya misal bereaksi pada berbagai tanda sakit, respon orang tersebut akan
cenderung khawatir bahwa penyakit tersebut dapat membahayakan hidupnya. Seseorang
yang secara umum sangat tenang sebaliknya akan mempunyai respon emosial yang kecil
selama sakit. Seseorang yang tidak mampu untuk melakukan koping secara emosional
terhadap ancaman penyakit mungkin akan menyangkal bahwa adanya gejala penyakit pada
dirinya dan tidak mau untuk menjalani pengobatan.
Faktor spiritual merupakan bagaimana cara seseorang menjalani kehidupannya.
Spiritual ini mencakup keyakinan dan nilai yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga
atau teman dan kemampuan dalam mencari harapan dan arti kehidupan. Kondisi spiritual
seseorang akan mempengaruhi bagaimana seseorang dalam mencari dukungan dari orang
terdekatnya.
Faktor eksternal yang mempengaruhi dukungan keluarga meliputi praktik di keluarga,
faktor sosial ekonomi, dan latar belakang budaya. Praktik di keluarga yaitu bagaimana
dukungan yang diberikan keluarga biasanya mempengaruhi penderita dalam melaksanakan
tugasnya. Contohnya klien akan melakukan tindakan pencegahan jika keluarganya
melakukan hal sama. Contoh lainnya yaitu anak yang selalu diajak orang tuanya untuk
melakukan pemeriksaan rutin, maka saat dia mempunyai anak dia akan melakukan hal yang
sama.
Faktor sosial ekonomi dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit dan
mempengaruhi cara seseorang dalam mengartikan dan bereaksi terhadap penyakitnya.
Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari kelompok sosialnya.
Adanya kelompok sosial ini akan mempengaruhi keyakinan seseorang terhadap kesehatan
dan cara pelaksanaannya. Semakin tinggi tingkat ekonomi biasanya akan membuat orang
tersebut lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang dirasakan, sehingga dia akan
segera mencari pertolongan saat merasa ada gangguan dengan kesehatannya. Latar
kebudayaan seseorang juga mempengaruhi nilai, keyakinan, dan kebiasaan individu dalam
memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi. Kebudayaan yang
masih menganut kepercayaan kepada dukun akan membuat seseorang tersebut untuk
meminta pertolongan untuk pengobatan ke seorang dukun.
Nor, dkk. (2014) menjelaskan bahwa faktor lainnya yang mempengaruhi dukungan
keluarga antara lain yaitu umur, pendidikan, dan pekerjaan. Semakin seseorang cukup umur,
tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam bekerja dan berpikir.
Usia dewasa memiliki pemahaman dan respon terhadap dukungan keluarga yang lebih baik
yang akan menimbulkan perubahan kesehatan yang optimal terkait pertumbuhan dan
perkembangannya. Pendidikan yang rendah akan cenderung membuat bentuk dukungan
keluarga yang diberikan rendah pula karena pendidikan mempengaruhi terbentuknya
keyakinan seseorang terhadap suatu dukungan.
Faktor pekerjaan biasa dipandang sebagai status sosial di masyarakat, semakin rendah
bentuk pekerjaan semakin buruk tingkat perekonomianyang didapat keluarga. Tingkat
perekonomian akan mempengaruhi tingkat dukungan yang diberikan keluarga misalnya
keluarga yang bekerja sebagai petani. Bekerja sebagai petani akan membuat keluarga tidak
bisa maksimal dalam memberikan dukungan karena keluarga yang bekerja sebagai petani
akan terikat oleh waktu dan tanggung jawab atas pekerjaan yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya.

3. Hubungan antara dukungan keluarga dengan kemandirian activity of daily living pasca stroke.

 Keluarga memberi pengaruh pada penentuan keyakinan dan nilai, terutama dalam
penentuan program pengobatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara dukungan keluarga dengan kemandirian ADL pascastroke. Keluarga memberi
pengaruh terhadap perkembangan pascastroke. Bagi penderita stroke dalam upaya
mempertahankan kesehatan, keluarga bertindak sebagai support system.
 Kecacatan yang diderita oleh penderita stroke, membuatnya sulit untuk beradaptasi,
sehingga berpengaruh terhadap suasana hati, bisa marah atau bahkan menangis.
Menurunnya kapasitas otak akibat stroke pasti akan mempengaruhi fungsi otak. Kecacatan
juga akan mempengaruhi fungsi gerak dan psikologis. Hal ini akan semakin parah apabila
orang tersebut kehilangan kemandirian dalam beraktivitas. Perubahan fisik membuat
penderita stroke merasa terasingkan dan hidupnya tidak berguna lagi karena hidupnya
bergantung pada orang lain. Hal ini pula akan menjadi murung dan depresi.
 Berdasarkan analisis risiko, dukungan keluarga berisiko menyebabkan kemandirian
aktivitas kehidupan sehari-hari atau ADL pascastroke (Karunia, 2015). Maka dari itu,
pemulihan pascastroke ditujukan semata-mata untuk mengembalikan kemandian, namun
juga memulihkan aspek-aspek sosial. Rehabilitasi dilaksanakan pada saat awal seseorang
terkena stroke sampai jangka panjang. Pada saat dirumah, keluarga berperan dalam
pengembalian kemandirian misalnya dengan perawatan secara praktis di rumah serta latihan
guna membiasakan hidup secara mandiri.
 Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan kemandirian aktivitas
kehidupan sehari-hari. Hasil wawancara, dukungan keluarga yang paling banyak diterima
adalah sikap sabar yang diberikan oleh anggota keluarga dalam menghadapi responden,
selalu menghargai apa yang dilakukan responden, selalu memotivasi agar tetap berlatih,
selalu memberikan informasi yang bermanfaat bagi kesehatan, dan selalu mengantar dan
menjemput responden. Responden yang memiliki dukungan keluarga yang kurang
dikarenakan hidup terpisah dengan anggota keluarga yang lain atau hidup sendiri,
suami/istri salah satunya meninggal, dan hidup dengan keluarga, namun sudah tidak
dipedulikan dan anggota keluarga sibuk bekerja.
 Keputusan yang dibuat anggota keluarga dan dukungan untuk mengikuti terapi juga akan
mempengaruhi kecepatan orang pascastroke untuk mencapai kemandirian. Kemandirian
akan lebih cepat muncul apabila anggota keluarga cepat memutuskan kapan dilakukan
rehabilitasi. Semakin cepat latihan, maka akan semakin cepat pula penyesuaian terhadap
kemandirian. Beberapa penelitian menyatakan sebaiknya latihan atau rehabilitasi medik
dimulai sebelum 6 bulan pasca serangan stroke terjadi, agar pemulihan berjalan dengan baik
(Lingga, 2013).
 Kalimat pujian ini menjadi salah satu sumber kekuatan dan motivasi untuk tetap berlatih
dan rutin melakukannya. Pada masa latihan, keluarga dan pelatih harus bekerjasama untuk
menciptakan suasana latihan yang santai namun terarah. Kalimat pujian dan penyemangat
diberikan apabila orang pascastroke tersebut telah berhasil menyelesaikan latihan. Adanya
kalimat pujian yang diucapkan anggota keluarga maupun pelatih akan memberi semangat
berlatih dikarenakan keinginan yang besar untuk segera pulih muncul.
 Bentuk dukungan keluarga lainnya yang dapat meningkatkan kemandirian adalah dengan
menyediakan benda-benda yang dibutuhkan orang pascastroke (menanyakan benda
kesukaan pasien). Benda ini dibutuhkan oleh orang pascastroke untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya. Beberapa benda yang dibutuhkan ini dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi
orang pascastroke. benda-benda tersebut adalah sapu tangan untuk mengelap air liur,
perlengkapan makan dan minum, perlengkapan untuk perawatan diri dan kebersihan tubuh,
serta alat bantu jalan.
 Mengatur pola diet juga penting untuk mempertahankan kesehatan dan mempercepat
pemulihan pascastroke. Makanan yang akan diberikan kepada orang pascastroke harus
diperhatikan nilai gizinya dan harus memadai. Disfagia yang dialami oleh orang
pascastroke, menyulitkan dalam menelan makanan, oleh karena itu anggota keluarga harus
menyediakan makanan yang sesuai dengan acuan menu yang boleh dikonsumsi oleh orang
pascastroke. Kecukupan kalori juga perlu diperhatikan.
 Orang pascastroke yang kekurangan kalori tidak memiliki tenaga untuk berlatih dan merasa
lemas. Kalori yang berlebihan juga membuat orang pascastroke sulit untuk bergerak. Hal
inilah yang juga akan menghambat kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari
(Lingga, 2013). Dukungan keluarga yang berupa penyediaan diet pascastroke juga
mempengaruhi kecepatan pemulihan kemandirian aktivitas kehidupan seharihari. Tempat
tinggal juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemandirian ADL pasien pascastroke.
 Kondisi tempat tinggal orang pascastroke seharusnya dibuat atau dirancang sesuai dengan
kondisi orang pascastroke itu sendiri, sehingga mereka merasa nyaman dan semakin gemar
berlatih di rumah.
BAB IV

PENUTUP

A. SIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Instalasi Rehabilitasi Medik RSU Haji Surabaya
didapatkan hasil distribusi 83% pasien pascastroke mendapatkan dukungan yang baik dari
keluarga, dan hanya 17% yang tidak mendapat dukungan yang baik dari keluarga.
53.2% pasien pasca stroke yang sudah mengikuti rehabilitasi medik adalah pasien yang sudah
mandiri dalam beraktifitas, 46,8% tergolong tidak mandiri.
Dari hasil penghitungan menggunakan Chi-square tidak ada hubungan antara umur, jenis
kelamin dan pekerjaan dengan kemandirian ADL os.
Sementara itu didapatkan hasil 61,5% kategori mandiri dengan support system keluarga yang
baik, hanya 12,5% dikategorikan tidak mandiri karena support system keluarga yang kurang.

B. SARAN

Pentingnya dukungan keluarga dalam perawatan pasien stroke terutama dalam pemenuhan ADL
sehari-hari dikarenakan pasca stroke mengalami keterbatasan fisik dalam ADL.
Keterlibatan dukungan keluarga perlu dibekali pendidikan, pelatihan, penyuluhan oleh perawat
sebelum pasien direncanakan perawatan dirumah.
Pendidikan yang harus diberikan kepada keluarga meliputi pemahaman psikologis karena
kerusakan atau penurunan fungsi otak sehingga keluarga mampu menerima dirinya apa adanya.
Pemberian pelatihan cara pemenuhan ADL baik berpakaian, mandi, eliminasi serta pemenuhan
kebutuhan aktifitas lainnya.
Peran dukungan keluarga akan meningkatkan rasa percaya diri kepada pasien pasca stroke
sehingga pasien lebih cepaty mandiri dalam pemenuhan ADL os.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

CDC, NCHS. 2015. Underlying Cause of Death 1999-2013.


Elkind, MS., Sacco, R. 2001. Stroke. Woburn: butterworth-heinemann: 100.
Engstrom, G., Hedblad, B., Rsovall, M., Janzon, L., Lindgarde, F. 2005. Occupation, Marital Status, and
Low-Grade Imfl ammation: Mutual Confounding or Independent Cardiovaskular Risk Factors?
Journal of The American Heart Association, vol. 26 no. 1: 643–648.
Friedman, M.M. 1998. Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktik. Jakarta: EGC.
Gerungan, WA. 1991. Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco.
Hall, M.J., Levant, S., DeFrances C.J. 2012. Hospitalization for stroke in U.S. hospitals, 1989–2009.
Hyattsville: National Center for Health Statistics.
Irfan M. 2010. Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Karunia, E. 2015. Determinan Kemandirian Aktivitas Kehidupan Sehari-hari (AKS) Pascastroke. Skripsi.
Surabaya: Universitas Airlangga.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta, Balitbangkes.
Kuntjoro. 2002. Hubungan Dukungan Sosial dengan Tingkat Sosial pada Lansia. Skripsi. Surakarta:
Fakultas Ilmu Kesehatan Muhammadiyah
Lingga, L. 2013. All About Stroke: Hidup Sebelum dan Pascastroke. Jakarta: Elex Media Komputindo
Mozaffarian D., Benjamin E.J, Go A.S., Arnett D.K., Blaha, M.J., Cushman, M., de Ferranti, S., et al. 2015.
Heart Disease and Stroke Statistics 2015.Journal of American Heart Association. Circulation 131; 29–
322.
Murti, B. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiology. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nurmalasari, N. 2013. Pengaruh Rehabilitasi Medik Terhadap Kecepatan Stroke Recovery pada Penderita
Stroke Iskemik. Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga.
Padila. 2013. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika.
Rinajumita. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas
Lampas Kecamatan Payakumbuh Utara Tahun 2011.Skripsi. Padang: Universitas Andalas.
Rosiana, E. 2012. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Menjalani Fisioterapi pada Klien
Pascastroke di Instalasi Rehabiitasi Medik RSUD Sleman Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta:
Universitas

Anda mungkin juga menyukai