Anda di halaman 1dari 34

ANALISA JURNAL GAWAT DARURAT

“HUBUNGAN KEGAWATDARURATAN DENGAN WAKTU TANGKAP


PADA PASIEN JANTUNG KORONER”

Disusun oleh : NAHDAH DYAH NADILLA


NIM : 11182046

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA JAKARTA

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah Nya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah pada
junjungan kita, Rasulullah Muhammad SAW. Puji dan syukur dan shalawat selalu
mengawali penulis dalam setiap langkah, sehingga dapat menyelesaikan Analisa
Jurnal guna memenuhi tugas matakuliah GADAR.

Dalam penulisan makalah ini, penulis bukanlah manusia yang sempurna sehingga
menyadari adanya kekurangan dalam penulisan makalah ini. Terselesaikannya
makalah Analisa Jurnal tidak terlepas dari bimbingan, dukungan, serta bantuan
dari semua pihak yang terlibat.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmatnya kepada mereka dan kita
semua yang telah bekerja sama. Smmoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.

Bogor, 30 Maret 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan gawat darurat adalah pelayanan yang memerlukan
penanganan cepat, tepat, dan cermat dalam menentukan prioritas
kegawatdaruratan pasien untuk mencegah kecacatan dan kematian
(Mahyawati dan Widaryati, 2015).
Salah satu fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan
kegawatdaruratan adalah Rumah Sakit dengan Instalasi Gawat Darurat
(IGD). IGD merupakan gerbang utama jalan masuknya penderita gawat
darurat. IGD adalah suatu instalasi bagian rumah sakit yang melakukan
tindakan berdasarkan triage terhadap pasien (Musliha, 2010).
Salah satu indikator keberhasilan penanggulangan medik penderita
gawat darurat adalah kecepatan memberikan pertolongan yang memadai
kepada penderita gawat darurat baik pada keadaan rutin sehari-hari atau
sewaktu bencana. Keberhasilan waktu tanggap atau respon time sangat
tergantung kepada kecepatan yang tersedia serta kualitas pemberian
pertolongan untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah cacat sejak di
tempat kejadian, dalam perjalanan hingga pertolongan rumah sakit
(Haryatun dan Sudaryanto, 2008).
Waktu tanggap adalah waktu yang dihitung pada saat pasien tiba di
depan pintu rumah sakit sampai mendapat tanggapan atau respon time dari
2 petugas Instalasi Gawat Darurat sampai selesai proses penanganan gawat
darurat (Haryatun dan Sudaryanto, 2008). Mekanisme waktu tanggap,
disamping menentukan keluasan rusaknya organ-organ dalam, juga dapat
mengurangi beban pembiayaan. Kecepatan dan ketepatan pertotolongan
yang diberikan pada pasien yang datang ke Instalasi gawat darurat
memerlukan standar sesuai dengan waktu tanggap yang cepat dan
penanganan yang tepat. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan sarana,
prasarana, sumber daya manusia dan manajemen Instalasi Gawat Darurat
rumah sakit sesuai standar (Keputusan Menteri Kesehatan, 2009). Salah
satu penyakit yang membutuhkan waktu tanggap yang baik adalah
penyakit jantung koroner.
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan suatu kelainan
yang terjadi pada organ jantung dengan akibat terjadinya gangguan
fungsional, anatomis serta sistem hemodinamis (Depkes RI, 2007).
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah ketidaksanggupan jantung bekerja
yang dapat terjadi secara akut maupun kronik dan timbul karena
kekurangan suplai darah pada miokardium sehubungan dengan proses
penyakit pada sistem nadi koroner. Manifestasinya dapat berupa angina
pektoris, infark miokard, fibrilasi ventricular atau kematian jantung
mendadak (WHO, 2008).
Penyakit janting koroner terjadi bila pembuluh arteri koroner
tersebut tersumbat atau menyempit karena endapan lemak, yang secara
bertahap menumpuk di dinding arteri. Proses penumpukan itu disebut
aterosklerosis, dan bisa terjadi di pembuluh arteri lainnya, tidak hanya
pada arteri koroner (Citrakesumasari, 2008).
Faktor yang berperan penting terhadap timbulnya PJK meliputi 2
faktor resiko, yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat
dimodifikasi. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti dislipidemia,
hipertensi, diabetes mellitus dan merokok. Sedangkan faktor resiko yang
tidak dapat dimodifikasi seperti usia, jenis kelamin dan riwayat keluarga
yang menderita penyakit jantung. Semakin banyak faktor resiko yang ada
pada seseorang maka semakin besar pula kemungkinan orang itu
menderita PJK (Zahrawardani, 2012).
Berdasarkan statistik World Health Organization (WHO), saat ini
PJK merupakan isu kesehatan global yang sangat penting mengingat
penyakit ini tercatat sebagai pembunuh nomor satu di dunia dengan jumlah
17, 3 juta kematian (Maatilu, dkk, 2014). WHO juga memprediksi bahwa
pada tahun 2030 jumlah kematian akibat PJK akan meningkat sebesar 33%
atau menjadi 23 juta kematian di dunia.
Berdasarkan studi pendahuluan di Medical Record Rumah Sakit
Islam Siti Khadijah Palembang diketahui bahwa terjadi penurunan jumlah
kasus PJK sebanyak 10% di tahun 2015. Sedangkan pada tahun 2016
hanya terjadi penurunan 1%.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Maatilu (2014) di IGD RSUP
Prof. DR. R. D. Kandou Manado didapatkan hasil bahwa response time
perawat dalam penanganan kasus gawat darurat rata-rata lambat (>5
menit). Begitu pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Noor
(2009) di IGD RSUP Persahabatan yang menyatakan bahwa waktu
tanggap 7.45 menit.
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
diketahuinya hubungan kegawatdaruratan dengan waktu tanggap pada
pasien jantung koroner di IGD RSI Siti Khadijah Palembang.

B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
kegawatdararuratan dengan waktu tanggap pada pasien jantung koroner di
IGD RSI Siti Khadijah Palembang.
BAB II

ANALISA JURNAL

A. Jurnal Utama
1. Judul Jurnal
“HUBUNGAN KEGAWATDARURATAN DENGAN WAKTU
TANGGAP PADA PASIEN JANTUNG KORONER”
2. Peneliti
Apriani, Syafitri Febriani
Program Studi Ners, STIK Siti Khadijah Palembang
3. Populasi Sampel dan Tekhnik Sampling
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat di IGD RSI Siti
Khadijah Palembang Tahun 2017 yang berjumlah 30 orang.Teknik
Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Total Sampling.
Maka jumlah sampel yang akan diambil dalam penelitian ini adalah
sebanyak 30 responden.
4. Disain Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan metode observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional, subyek penelitian adalah pegawai
IGD RSI Siti Khadijah Palembang dengan jumlah responden sebanyak
30 responden.
5. Instrumen yang digunakan
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 17 Juni-07 Juli 2017. Data yang
diperoleh dicatat pada lembar observasi. Kemudian data penelitian ini
dianalisis dengan menggunakan uji chi square.
6. Uji Statistik yang digunakan
Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi square.
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square didapatkan p-
value=0,003 ≤ α=0,05 sehingga ada hubungan yang signifikan antara
kegawatdaruratan terhadap waktu tanggap (kecepatan) pada pasien
jantung koroner di IGD RSI Siti Khadijah Palembang.
B. Jurnal Pendukung
1. Judul Jurnal
“HUBUNGAN WAKTU TANGGAP PERAWAT DALAM
PENANGANAN PASIEN FRAKTUR TERBUKA DENGAN
RESIKO TERJADINYA SYOK HIPOVOLEMIK”
2. Peneliti
Aldo Yuliano , Nova Erlina Sasra
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Perintis Sumbar
3. Hasil Penelitian
Hasil Analisa Univariat dan Bivariat. Distribusi Ferkuensi Responden
Berdasarkan Waktu Tanggap Perawat dan resiko terjadinya syok
hipovolemik di IGD RSUD Dr Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun
2015.

Tabel 1. Waktu Tanggap Perawat di IGD RSUD Dr Achmad Mochtar

Waktu Tanggap Frekuensi (%)


Tepat 9 34,6 %
Tidak Tepat 17 65,4 %
Jumlah 26 100 %

(Tabel 1) menunjukan hasil penelitian tentang waktu tanggap dalam


penanganan pasien fraktur terbuka di IGD RSUD Dr Achmad
Mochtar Bukittinggi bahwa Waktu tanggap dalam penanganan kasus
fraktur terbuka yang tidak tepat waktu tanggapnya sebanyak 65,4 %.
Dan yang tepat sebanyak 34,6%.
Tabel 2. Resiko Terjadinya Syok Hipovolemik di IGD RSUD Dr Achmad
Mochtar Bukittinggi Tahun 2015.

Resiko terjadinya syok Frekuensi (%)


hipovolemik
Tidak Beresiko 10 38,5 %
Beresiko 16 61,5 %
Jumlah 26 100 %

(Tabel 2) menunjukan hasil penelitian tentang waktu tanggap dalam


penanganan pasien fraktur terbuka di IGD RSUD Dr Achmad
Mochtar Bukittinggi bahwa Pasien fraktur terbuka yang mengalami
resiko syok hipovolemik sebanyak 61,5 %, dan yang tidak beresiko
syok hipovolemik sebanyak 38,5%.

Tabel 3. Hubungan waktu tanggap perawat dalam penanganan pasien fraktur


terbuka dengan resiko terjadinya syok hipovolemik di IGD RSUD Dr
Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2015.

Resiko Terjadinya Syok Hipovolemik


Waktu Tidak % Beresiko % Jumlah % Fisher’s OR
Tanggap Exact Test
Tepat 6 66,7 3 33,3 9 34,6
Tidak 4 23,5 13 76,5 17 65,4 0,046 6,500
Tepat
Jumlah 10 38,5 16 61,5 26 100

(Tabel 3) menunjukan hasil penelitian tentang waktu tanggap dengan


resiko terjadinya syok hipovolemik bahwa Terdapat hubungan yang
signifikan antara waktu tanggap perawat dalam penanganan pasien
fraktur terbuka dengan resiko terjadinya syok hpovolemik di IGD
sebanyak 76,5%. Masih terdapat keterlambatan dalam penanganan
pada pasien gawat darurat atau fraktur terbuka dengan persentase tepat
65,4% dan yang tidak tepatnya 34,6%, ini memperlihatkan perlunya
upaya unutk mengobservasi ulang tentang waktu tanggap berdasarkan
hasil analisa hubungan waktu tanggap dengan resiko terjadinya syok
pada pasien fraktur yang telah dilakukan pada penelitian ini.

C. Analisa PICO
1. Problem
Berdasarkan statistik World Health Organization (WHO), saat ini PJK
merupakan isu kesehatan global yang sangat penting mengingat
penyakit ini tercatat sebagai pembunuh nomor satu di dunia dengan
jumlah 17, 3 juta kematian (Maatilu, dkk, 2014). WHO juga
memprediksi bahwa pada tahun 2030 jumlah kematian akibat PJK
akan meningkat sebesar 33% atau menjadi 23 juta kematian di dunia.

Berdasarkan studi pendahuluan di Medical Record Rumah Sakit Islam


Siti Khadijah Palembang diketahui bahwa terjadi penurunan jumlah
kasus PJK sebanyak 10% di tahun 2015. Sedangkan pada tahun 2016
hanya terjadi penurunan 1%.
2. Intervention
Waktu tanggap adalah waktu yang dihitung pada saat pasien tiba di
depan pintu rumah sakit sampai mendapat tanggapan atau respon time
dari 2 petugas Instalasi Gawat Darurat sampai selesai proses
penanganan gawat darurat (Haryatun dan Sudaryanto, 2008).
Mekanisme waktu tanggap, disamping menentukan keluasan rusaknya
organ-organ dalam, juga dapat mengurangi beban pembiayaan.
Kecepatan dan ketepatan pertotolongan yang diberikan pada pasien
yang datang ke Instalasi gawat darurat memerlukan standar sesuai
dengan waktu tanggap yang cepat dan penanganan yang tepat. Hal ini
dapat dicapai dengan meningkatkan sarana, prasarana, sumber daya
manusia dan manajemen Instalasi Gawat Darurat rumah sakit sesuai
standar (Keputusan Menteri Kesehatan, 2009). Salah satu penyakit
yang membutuhkan waktu tanggap yang baik adalah penyakit jantung
koroner.

3. Comparation
a. Judul Jurnal Pembanding
“UPAYA PENCEGAHAN KEKAMBUHAN MELALUI
DISCHARGE PLANNING PADA PASIEN PENYAKIT
JANTUNG KORONER”
b. Peneliti
Ratna Agustin
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya
c. Hasil Penelitian
Hasil uji statistik dengan Wilcoxon Signed Rank Test
menunjukkan bahwa pengetahuan kelompok perlakuan memiliki
tingkat signifikansi p = 0,024 dan kelompok kontrol adalah p =
0,018. Sikap kelompok perlakuan menunjukkan p = 0,027 dan
kelompok kontrol p = 0,414. Uji Mann Whitney menunjukkan
bahwa p = 0,002 untuk pengetahuan dan p = 0,002 untuk sikap.
Dapat disimpulkan bahwa discharge planning berpengaruh
terhadap pengetahuan dan sikap pencegahan kekambuhan pada
pasien penyakit jantung koroner.
4. Outcome
Hasil penelitian diketahui bahwa dari 30 responden, responden dengan
kegawatdaruratan prioritas I sebanyak 5 responden (16,7%),
responden dengan kegawatdaruratan prioritas II sebanyak 22
responden (73,3%), sedangkan responden dengan kegawatdaruratan
prioritas III sebanyak sebanyak 3 responden (10,0%).
Kegawatdaruratan pasien dapat mengalami perburukan kondisi atau
akan semakin gawat hingga terjadi komplikasi dan kematian, apabila
tidak ditangani dengan segera. Sangat penting dalam memprioritaskan
kegawatan pasien sesuai dengan proses triase karena akan
mempermudah untuk tindakan selanjutnya sesuai kebutuhan pasien
(Mahyawati dan Widaryati, 2015). Di ruang IGD sendiri ada 4
prioritas, yaitu prioritas I (merah), prioritas II (kuning), prioritas III
(hijau) dan prioritas IV (hitam) (Musliha, 2010).
Hasil penelitian setelah dilakukan analisis data, peneliti mendapatkan
hasil dari 30 responden yang mendapatkan waktu tanggap (kecepatan)
sangat cepat sebanyak 23 responden (76,7%) sedangkan waktu
tanggap (kecepatan) dengan cepat sebanyak 7 responden (23,3%).
Berdasarkan data di atas peneliti berasumsi bahwa pasien yang datang
ke IGD RSI Siti Khadijah Palembang dengan waktu tanggap
(ketepatan) tepat lebih banyak dibandingkan dengan waktu tanggap
(ketepatan) tidak tepat. Dalam hal ini waktu tanggap (ketepatan)
sangatlah penting, karena jika terlambat sedikit saja dalam
memberikan tindakan medis pada pasien maka dapat mengakibatkan
kondisi pasien menjadi lebih buruk lagi.
Hasil penelitian didapatkan tentang kegawatdaruratan terhadap waktu
tanggap (kecepatan) diperoleh data bahwa dari 30 responden yang
termasuk ke dalam prioritas II dengan waktu tanggap sangat cepat
sebanyak 18 responden (60,0%) dan waktu tanggap cepat sebanyak 4
responden (13,3%) responden, lebih banyak di bandingkan dengan
prioritas I dengan waktu tanggap sangat cepat sebanyak 5 responden
(16,7%) dan prioritas III dengan waktu tanggap cepat sebanyak 3
responden (10,0%). Dari hasil uji statistik pearson chi square
diperoleh ρ-value=0,003 (<ɑ 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan signifikan antara kegawatdaruratan dengan waktu
tanggap (kecepatan) pada pasien jantung koroner.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjaun Teori
1. Gawat Darurat
Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan
yang dinilai sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima
tindakan medis atau evaluasi tindakam operasi dengan segera.
Berdasarkan definisi tersebut the American College of Emergency
Physicians states dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan
memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan
menyediakan terapi pada pasien-pasien dengan trauma yang tidak
dapat di duga sebelumnya serta penyakit lainnya (Krisanty, 2009).
Menurut Krisanty (2009) Penatalaksanaan awal diberikan untuk :
a. Mempertahankan hidup
b. Mencegah kondisi menjadi lebih buruk
c. Meningkatkan pemulihan
Menurut Krisanty (2009) Seseorang yang memberikan
penatalaksanaan awal harus :
a. Mengkaji sesuatu
b. Menentukan diagnosis untuk setiap korban
c. Memberikan penanganan yang cepat dan adekuat, mengingat
bahwa korban mungkin memiliki lebih dari satu cedera dan
beberapa korban akan membutuhkan perhatian dari pada yang lain
d. Tidak menunda pengiriman korban ke Rumah Sakit sehubungan
dengan kondisi serius Pada penderita trauma, waktu sangat
penting, oleh karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah
dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai initial asesment (penilaian
awal) dan meliputi (ATLS, 2004) :
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resutisasi
6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan

Penanganan definitif

a. Primary Survey
Penatalaksanaan awal pada primary survey dilakukan pendekatan
melalui ABCDE yaitu :
A : Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam
resusitasi dan membutuhkan keterampilan yang khusus dalam
penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal
pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang
meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau
maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat
timbul secara mendadak dan total, perlahan – lahan dan
sebagian, dan progresif dan/atau berulang (Dewi. 2013).

Menurut ATLS 2004, Kematian-kematian dini karena masalah


airway seringkali masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan
oleh :
1) Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
2) Ketidakmampuan untuk membuka airway
3) Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang
secara keliru
4) Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5) Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6) Aspirasi isi lambung
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan
ventilasi dan oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam
mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus
dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin
lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway
orofaringeal serta nasofaringeal (Smith, Davidson, Sue,
2007). Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai
dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita
yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas
bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway harus
tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau
Glasgow Coma Scale sama atau kurang dari 8 biasanya
memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan
motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya
airway definitif.
Teknik-teknik mempertahankan airway :
a. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi
terlentang dan horizontal, kecuali pada pembersihan
jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus
direndahkan dengan posisi semilateral untuk
memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda
asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan
satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit
mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada
dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke
belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha
dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara
intermittena (Alkatri, 2007).

b. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah
rahang, yang kemudian secara hati – hati diangkat ke
atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari
tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah
untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara
bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver
chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.
Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak
membahayakan penderita dengan kemungkinan patah
ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa
cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera
spinal.
c. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua
tangan pada mandibula, jari kelingking dan manis
kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari
tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus
mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada
pada mentum mandibula. Kemudian mandibula
diangkat ke atas melewati molar pada maxila (Arifin,
2012).
d. Oropharingeal Airway (OPA)
Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk
membebaskan jalan napas pada pasien yang kehilangan
refleks jalan napas bawah (Krisanty, 2009). Teknik :
Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian
pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien.
Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran
pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke
sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah
terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut.
Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa
ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara
melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan
menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring
dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa
berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan
fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas
bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro faring
dengan cara memplester pinggir atas dan bawah
pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien
(Arifin, 2012)
e. Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan
respon, airway nasofaringeal lebih disukai
dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa
diterima dan lebih kecil kemungkinannya merangsang
muntah (ATLS, 2004).
B : Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel sel tubuh
memerlukan pasokan konstan O2 yang digunakan untuk
menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang
menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-
menerus (Dewi. 2013). Airway yang baik tidak dapat
menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula (Dewi,
2013). Menjamin terbukanya airway merupakan langkah awal
yang penting untuk pemberian oksigen. Oksigenasi yang
memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke
jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas
ventilasi dapat dinilai secara klinis (Krisanty, 2009).
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan
menggunakan teknik bag-valve-face-mask merupakan cara
yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh dua
orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat
digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (ATLS,
2004).
Cara melakukan pemasangan face-mask (Arifin, 2012):
1) Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2) Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang
sesuai bila sungkup muka dapat menutupi hidung dan
mulut pasien, tidak ada kebocoran)
3) Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian
mulut)
4) Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada
angulus mandibula, jari manis dan tengah memegang
ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan
memfiksasi sungkup muka
5) Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan
sedikit kepala pasien
6) Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang
sudah dipasangkan
7) Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-
sama (tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan
sungkup muka bersama-sama)
8) Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9) Bila yang digunakan Bagging, maka tangan kiri
memfiksasi sungkup muka, sementara tanaga kanan
digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir
sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag)
C : Circulation dengan kontrol perdarahan(hemorrage control)
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma
(Krisanty, 2009). Oleh karena itu penting melakukan
penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni
dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi
(ATLS, 2004).
1) Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang
yang menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
2) Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat
merupakan tanda hipovolemia.
3) Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti
a. femoralis dan a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan
nadi, kecepatan dan irama. Dalam keadaan darurat yang
tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat
memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi
(Dewi. 2013) :
1) Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan
darah minimal 80 mmHg sistol.
2) Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan
darah minimal 70 mmHg sistol.
3) Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan
darah minimal 70 mmHg sistol Jika teraba pulsasi
pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60
mmHg sistol
D : Disability, status neurologis
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap
keadaan neurologis secara cepat. Hal yang dinilai adalah
tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (ATLS, 2004).
Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan
menggunakan AVPU, sedangkan GCS (Glasgow Coma Scale)
merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status
neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder
(Krisanty P. Dkk, 2009,).AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon
E : Exposure/environmental control, membuka baju penderita,
tetapi cegah hipotermia Merupakan bagian akhir dari primary
survey, penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya,
kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll.
Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering dan
hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-
vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien
tidak hipotermi (Dewi. 2013).
b. Survei Sekunder
Setelah dilakukan survei primer dan masalah yang terkait dengan
jalan napas, pernapasan, serkulasi, dan status kesdaran telah
selaesai dilakukan tindakan, maka tahapan selanjutnaya adalah
survei sekunder. Pada survei sekunder pemeriksaan lengkap mulai
dari head to toe
1) Full set of vital signs, five intervensition, and facilitation
presence ( tanda – tanda vital, 5 intervensi, dan
memfasilitasi kehiran keluarga) Full set of vital signs (TTV)
Tanda – tanda vital ini menjadi dasar untuk penilaian
selanjutnya. Pasien yang kemungkinan mengalami trauma
dada harus dicatat denyut nadi radial dan apikalnya; nilai
tekanan darh pada kedua lengan. Termasuk suhu dan
saturasi oksigen sebainya dilengkapi pada tahap ini, jika
belum dilakukan.
2) Give comfort measures (Memberikan kenyamanan) Korban
trauma sering mengalami masalah yang terkait dengan
kondisi fisik dan psikologis. Metode farmologi dan non –
farmakologi banyak digunakan untuk menurunkan rasa
nyeri dan kecemasan. Dokter dan perawat yang terlibat
dalam tim trauama harus bisa mengenali keluhan dan
melakukan intervensi bila dibutuhkan.
3) History and Head - to – Toe Examination Riwayat Pasien
(History)
Jika pasien sadar dan kooperatif, lakukan pengkajian pada
pasien untuk memperoleh informasi penting tentang kondisi
sebelumnya sampai di rumah sakit seperti tempat kejadian.
Proses cedera, penilaian pasien dan intervensi didapatkan
dari peyugas EMS. Untuk mempermudah dalam melakukan
pengkajian yang berkaitan dengan riwayat kejadian pasien,
maka dapat digunakan mneminic MIVT yaitu mechanism
(mikanisme), injuries suspected (dugaan adanya cedera),
vital signs on scene (TTV di tempat kejadian), dan
treatment received (penawaran yang telah diterima).
4) Inspect the posterior surfaces (periksa permukaan bagian
belakang)
Dengan tetap mempertahankan posisi tulang belakang
dalam kondisi netral, meringkan pasien ke satu sisi.
Prosedur ini membutuhkan beberapa orang anggota tim.
Pemimpin tim menilai keaadaan posterior psien dengan
mecari tanda – tanda jejas, lebam, perubahan bentuk,
pergeseran, atau nyeri. Pemeriksaan rektal dapat dilakukan
pada tahap ini apabila belum dilakukan pada saat
pemeriksaan pinggul dan pada kesempatan ini juga bisa
digunakan untuk mengambil baju pasien yang berada di
bawah tubuh pasien. Apabila pada pemeriksaan tulang
belakang tidak didapatkan adanya kelainan atau gangguan
dan pasien dapat terlentang, maka backboard dapat diambil
diambil (dengan mengikuti protokol institusi)
2. Waktu Tanggap ( Respon Time)
Response Time merupakan kecepatan dalam penanganan pasien,
dihitung sejak pasien datang sampai dilakukan penanganan (Suhartati
et al. 2011). Waktu tanggap yang baik bagi pasien yaitu ≤ 5 menit.
Penanganan gawat darurat ada filosofinya yaitu Time Saving it’s Live
Saving. Artinya seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi
gawat darurat haruslah benar-benar efektif dan efisien. Hal ini
mengingatkan pada kondisi tersebut pasien dapat kehilangan nyawa
hanya dalam hitungan menit saja. Berhenti nafas selama 2 - 3 menit
pada manusia dapat menyebabkan kematian yang fatal
(Sutawijaya,2009). Waktu tanggap pelayanan merupakan gabungan
dari waktu tanggap saat pasien tiba di depan pintu rumah sakit sampai
mendapat tanggapan atau respon dari petugas instalasi gawat darurat
dengan waktu pelayanan yaitu waktu yang di perlukan pasien sampai
selesai. Waktu tanggap pelayanan dapat di hitung dengan hitungan
menit dan sangat dipengaruhi oleh berbagai hal baik mengenai jumlah
tenaga maupun komponen-komponen lain yang mendukung seperti
pelayanan laboratorium, radiologi, farmasi dan administrasi. Waktu
tanggap dikatakan tepat waktu atau tidak terlambat apabila waktu yang
diperlukan tidak melebihi waktu rata-rata standar yang ada (Haryatun,
2005). Sistem tingkat kedaruratan triage mempunyai arti yang penting
karena triage merupakan suatu proses mengomunikasikan kondisi
kegawat daruratan pasien di Dalam UGD. Jika data hasil pengkajian
triage dikumpulkan secara akurat dan konsisten, maka suatu UGD
Dapat menggunakan keterangan tersebut untuk menilai dan
menganalisis, serta menentukan suatu kebijakan, seperti berapa lama
pasien dirawat di UGD, berapa hari pasien harus dirawat di rumah
sakit jika pasien diharuskan untuk rawat inap, dan sebagainya
(Kartikawati, 2013).
Kategori Triage
a. Skala Triage Australia
Skala triage Australia ini banyak digunakan di UGD rumah sakit di
Australia. Penghitungan waktu dimulai sejak pasien pertama kali
tiba di UGD, pemeriksaan tanda-tanda vital dilakukan hanya jika
perawat akan mengambil keputusan tingkat kedaruratan triage.
Selain itu, proses triage meliputi pemeriksaan kondisi kegawat
daruratan pasien secara menyeluruh.

Tabel 2.1.Skala Triage Australia (Kartikawati, 2013)

Tingkat Waktu Perawatan


Sangat mengancam hidup Langsung
Sedikit mengancam hidup 10 menit
Beresiko mengancam hidup 30 menit
Darurat 60 menit
Biasa 120nit

b. Skala Triage Kanada


Sekelompok dokter dan perawat di kanada mengembangkan skala
akuitas dan triage lima tingkat.Setiap tingkat triage mewakili
beberapa keluhan dari pasien. Pada triage tingkat 1, contoh
kasusnya: serangan jantung, trauma berat, gagal napas akut, dan
lain-lain. Sementara itu, triage tingkat 5, contohnya pasien terkilir,
luka ringan, dan sebagainya. Triage yang dilakukan oleh perawat
harus berdasarkan ilmu dan pengalaman tentang proses pemilihan
pasien berdasarkan tingkat kedaruratannya.

Dalam melakukan proses triage ,perawat mengambil keputusan


tentang: seberapa lama pasien dapat menunggu tindakan sebelum
perawat melakukan pengkajian secara komprehensif dan seberapa
lama pasien dapat menunggu untuk selanjutnya diperiksa
dokter yang akan merawatnya. Jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan tersebut membantu menentukan tingkat kedaruratan
pasien di mana respons pasien pada setiap levelnya dapat berbeda-
beda.
Tabel 2.2. Skala Triage Kanada (Kartikawati, 2013)

Tingkat Waktu untuk Perawat


Resusitasi Langsung
Gawat Darurat Langsung
Darurat <30 menit
Biasa <60 menit
Tidak Gawat <120 menit

c. Skala Triage Manchester


Skala triage Manchester dikembangkan di Inggris oleh kelompok
perawat dan dokter gawat darurat. Setiap tingkatan pada triage ini
diberi nama, nomor, dan warna sebagai pedoman perawat dalam
memberikan perawatan kepada pasien. Perawat menanyakan tanda
dan gejala kepada pasien, jawaban iya dari pasien menunjukkan
tingkat kedaruratan pasien.
Tabel 2.3. Skala Triage Manchester (Kartikawati, 2013)

No Nama Warna Waktu


1 Langsung Merah 0 menit
2 Gawat darurat Orange 10 menit
3 Darurat Kuning 60 menit
4 Standard Hijau 120 menit
5 Biasa Biru 240nit

3. Konsep Perawat
Definisi Perawat
Perawat atau nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata nutrix yang
berarti merawat atau memelihara. menurut Harlley (2010),perawat
adalah seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara,
membantu dan melindungi seseorang karena sakit.Perawat profesional
adalah perawat yang bertanggung jawab dan berwewenang
memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan
kewenanganya (Mulyaningsih 2011).
Peran Perawat
Peran perawat dalam melakukan perawatan diantaranya:
a. Care giver atau pemberi asuhan keperawatan Perawat memberikan
asuhan keperawatan profesional kepada pasien meliputi
pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi hingga evaluasi.
Selain itu, perawat melakukan observasi yang kontinu terhadap
kondisi pasien, melakukan pendidikan kesehatan, memberikan
informasi yang terkait dengan kebutuhan pasien sehingga masalah
pasien dapat teratasi (Susanto, 2012).
b. Client advocate atau advokator
Perawat sebagai advokator berfungsi sebagai perantara antara
pasien dengan tenaga kesehatan lain.Perawat membantu pasien
dalam memahami informasi yang didapatkan, membantu pasien
dalam mengambil keputusan terkait tindakan medis yang akan
dilakukan serta memfasilitasi pasien dan keluarga serta masyarakat
dalam upaya peningkatan kesehatan yang optimal (Kusnanto,
2004).
c. Client educator atau pendidik
Perawat sebagai pendidik menjalankan perannya dalam
memberikan pengetahuan, informasi, dan pelatihan ketrampilan
kepada pasien, keluarga pasien maupun anggota masyarakat dalam
upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan (Susanto,
2012).Perawat sebagai pendidik bertugas untuk memberikan
pengajaran baik dalam lingkungan klinik, komunitas, sekolah
maupun pusat kesehatan masyarakat (Brunner & Suddarth, 2003).
Perawat sebagai pendidik berperan untuk mendidik dan
mengajarkan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, serta
tenaga kesehatan lain sesuai dengan tanggungjawabnya. Perawat
sebagai pendidik berupaya untuk memberikan pendidikan atau
penyuluhan kesehatan kepada klien dengan evaluasi yang dapat
meningkatkan pembelajaran (Wong, 2009).
d. Change agent atau agen pengubah
Perawat sebagai agen pengubah berfungsi membuat suatu
perubahan atau inovasi terhadap hal-hal yang dapat mendukung
tercapainya kesehatan yang optimal. Perawat mengubah cara
pandang dan pola pikir pasien, keluarga, maupun masyarakat untuk
mengatasi masalah sehingga hidup yang sehat dapat tercapai
(Susanto, 2012).
e. Peneliti
Perawat sebagai peneliti yaitu perawat melaksanakan tugas untuk
menemukan masalah, menerapkan konsep dan teori,
mengembangkan penelitian yang telah ada sehingga penelitian
yang dilakukan dapat bermanfaat untuk peningkatan mutu asuhan
dan pelayanan keperawatan (Susanto, 2012). Perawat sebagai
peneliti diharapkan mampu memanfaatkan hasil penelitian untuk
memajukan profesi keperawatan (Sudarma, 2008).
f. Consultant atau konsultan
Perawat sebagai tempat untuk konsultasi bagi pasien, keluarga dan
masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan yang dialami
klien. Peran ini dilakukan oleh perawat sesuai dengan permintaan
klien (Kusnanto, 2004).
g. Collaborator atau kolaborasi
Peran perawat sebagai kolaborator yaitu perawat bekerja sama
dengan anggota tim kesehatan lainnya dalam memberikan
pelayanan kepada klien (Susanto, 2012).
4. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Peran Perawat
Widiasih (2008), menyatakan keberhasilan pelayanan gawat darurat
dipengaruhi oleh 3 kesiapan, yaitu kesiapan mental artinya petugas
harus siap dalam 24 jam dan tidak dapat ditunda, kemudian kesiapan
pengetahuan teoritis dan fatofisiologi berbagai organ tubuh yang
penting dan keterampilan manual untuk tindakan dalam pertolongan
pertama. Yang ketiga kesiapan alat dan obat-obatan darurat yang
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam memberikan
pertolongan kepada pasien gawat darurat. Peran adalah sebagian dari
perilaku, menurut Green Lawrence (1990) dalam (Notoatmojo, 2003)
perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu:
a. Predisposing factors
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut
masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi
dansebagainya, faktor-faktor ini terutama yang positif
mempermudah terwujudnya perilaku maka sering disebut faktor
pemudah.Dalam memberikan bantuan pelayanan gawat darurat
petugas harus mempunyai ada 3 unsur kesiapan, salah satunya
adalah kesiapan pengetahuan dan keterampilan karena erat
kaitannya dengan upaya penyelamatan langsung terhadap
pasienWidiasih, 2008).
1) Pengetahuan
Notoatmodjo (1993), menyatakan bahwa pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
perilaku dan tindakan seseorang, karena dari pengalaman dan
penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Selanjutnya Depkes (1991), mengutarakan bahwa
pengetahuan yang baik akan menunjang terwujudnya perilaku
yang baik pula. Semakin tinggi tingkat pendidikan perawat
maka semakin baik pula dalam setiap tindakan yang akan
dilakukan. Arikunto (1993) menjelaskan bahwa semakin tinggi
tingkat pengetahuan semakin baik pula dalam melaksanakan
intervensi keperawatan. Sedangkan Notoatmodjo (1993),
mengatakan bahwa semakin baik pengetahuan seseorang maka
semakin baik pula dalam mengaplikasikan sesuatu yang
diperoleh.
2) Motivasi
Hasil penelitian Sabarulin (2013) menunjukkan motivasi yang
besar sangat berpengaruh baik terhadap kinerja perawat
dibandingkan dengan perawat yang memiliki motivasi rendah
maka kinerja perawat lebih rendah. Motif atau dorongan dalam
melakukan sesuatu pekerjaan sangat besar pengaruhnya
terhadap moral kerja dan hasil kerja. bersedia melakukan
pekerjaan bila motif yang mendorong cukup kuat yang pada
dasarnya tidak mendapat saingan atau tantangan dari motif lain
yang berlawanan. Motif yang mendorong seorang perawat
dalam melakukan pekerjaannya adalah motif instrinsik yaitu
dorongan yang terdapat dalam pekerjaan yang dilakukan. Hasil
penelitian Nasution (2009) menunjukkan bahwa kinerja
perawat dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berdasarkan
karakteristik responden seperti umur, jenis kelamin, dan
pengalaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok
umur pada responden yang berusia ≥39 tahun lebih besar
persentasenya yaitu 45,2% dengan kinerja baik dibandingkan
usia < 39 tahun yaitu 24,2%. Berdasarkan jenis kelamin
menunjukkan bahwa responden perempuan lebih besar
persentasenya yang berkinerja baik yaitu 38,3% dibandingkan
dengan responden laki-laki, yaitu 26,7%. Berdasarkan lama
kerja menunjukkan bahwa responden yang bekerja ≥13 tahun
kinerjanya lebih baik yaitu 46,2% dibandingkan responden
yang bekerja < 13 tahun, yaitu 25%.
b. Enabling factors
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau
fasilitas kesehatan, bagi masyarakat misalnya air bersih, tempat
pembuangan tinja. Ketersedian makanan yang bergizi dan sebagai-
nya. Temasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti
puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat
desa, dokter atau bidan, praktek swasta dan sebagainya. Untuk
berperilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana
pen-dukung. Fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau
memungkinkan terjadinya perilaku kesehatan maka faktor-faktor
ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin.
c. Reinforcing factors
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh
masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas
kesehatan. Untuk berperilaku sehat masyarakat kadang-kadang
bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan
fasilitaf saja melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari
para tokoh masyarakat, tokoh agama para petugas, lebih-lebih para
petugas kesehatan. Dalam menilai ketrampilan seseorang yang
dalam hal ini response time perawat, bisa saja dipengaruhi adanya
faktor lain Keadaan ini tergantung dari motivasi perawat dalam
mempraktikkan ketrampilan kerja yang didapat dari
pendidikannya. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi prestas
kerja, menurut Mangkunegara (2000) faktor-faktor tersebut antara
lain: Faktor kemampuan dan Faktor motivasi. Motivasi merupakan
kemauan atau keinginan didalam diri seseorang yang
mendorongnya untuk bertinda (Depkes RI, 2002). Nursalam
(2001), menjelaskan peran perawat dalam intervensi keperawatan
harus berdasarkan pada kewenangan dan tanggung jawab secara
profesional meliputi tindakan dependen, independen dan
interdependen.
BAB IV

ANALISA PENERAPAN EBN

A. Analisa Ruangan
IGD merupakan gerbang utama masuknya padien dalam kondisi gawat
darurat untuk mencegah resiko kecacatan dan kematian dengan respon
time selama < 5 menit dan waktu definitif < 2 jam. Salah satu indikator
keberhasilan penanggulangan medik penderita gawat darurat adalah
kecepatan memberikan pertolongan yang memadai kepada penderita gawat
darurat baik pada keadaan rutin sehari-hari atau sewaktu bencana.
Keberhasilan waktu tanggap atau respon time sangat tergantung kepada
kecepatan yang tersedia serta kualitas pemberian pertolongan untuk
menyelamatkan nyawa atau mencegah cacat sejak di tempat kejadian,
dalam perjalanan hingga pertolongan rumah sakit.

Waktu tanggap adalah waktu yang dihitung pada saat pasien tiba di depan
pintu rumah sakit sampai mendapat tanggapan atau respon time dari 2
petugas Instalasi Gawat Darurat sampai selesai proses penanganan gawat
darurat (Haryatun dan Sudaryanto, 2008). Mekanisme waktu tanggap,
disamping menentukan keluasan rusaknya organ-organ dalam, juga dapat
mengurangi beban pembiayaan. Kecepatan dan ketepatan pertotolongan
yang diberikan pada pasien yang datang ke Instalasi gawat darurat
memerlukan standar sesuai dengan waktu tanggap yang cepat dan
penanganan yang tepat. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan sarana,
prasarana, sumber daya manusia dan manajemen Instalasi Gawat Darurat
rumah sakit sesuai standar (Keputusan Menteri Kesehatan, 2009). Salah
satu penyakit yang membutuhkan waktu tanggap yang baik adalah
penyakit jantung koroner.
Berdasarkan studi pendahuluan di Medical Record Rumah Sakit Islam Siti
Khadijah Palembang diketahui bahwa terjadi penurunan jumlah kasus PJK
sebanyak 10% di tahun 2015. Sedangkan pada tahun 2016 hanya terjadi
penurunan 1%.

B. Analisa SWOT
1. Strength/Kekuatan
Berdasarkan hasil penelitian setelah dilakukan analisis data, peneliti
mendapatkan hasil dari 30 responden yang mendapatkan waktu
tanggap (ketepatan) tepat sebanyak 23 responden (76,7%) sedangkan
waktu tanggap (ketepatan) dengan tidak tepat sebanyak 7 responden
(23,3%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh


Rahil (2012) dari 20 responden yang mendapatkan waktu tanggap
(ketepatan) tepat sebanyak 17 responden (85%) dan responden yang
mendapatkan waktu tanggap (ketepatan) tidak tepat sebanyak 3
responden (15%). Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang masuk ke
IGD RSUD Panembahan Senopati Bantul mendapatkan respon time
yang tepat dari perawat dengan pelayanan waktu < 5 menit dan
keadaan ini menunjukkan jika sudah terpenuhinya standar IGD sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009
bahwa indikator waktu tanggap di IGD adalah harus ≤ 5 menit.

Berdasarkan data di atas peneliti berasumsi bahwa pasien yang datang


ke IGD RSI Siti Khadijah Palembang dengan waktu tanggap
(ketepatan) tepat lebih banyak dibandingkan dengan waktu tanggap
(ketepatan) tidak tepat. Dalam hal ini waktu tanggap (ketepatan)
sangatlah penting, karena jika terlambat sedikit saja dalam
memberikan tindakan medis pada pasien maka dapat mengakibatkan
kondisi pasien menjadi lebih buruk lagi.
2. Weakness/ Kelemahan
Menurut Depkes RI (2010), ketepatan waktu dalam memberikan
pelayanan medis kepada pasien mempunyai batas waktu yang telah
ditentukan yaitu sangat tepat ≤5 menit dan tidak tepat >5 menit.

Dikarenakan tenaga terlatih dibidang kegawatdaruratan sangat terbatas


maka diharapkan bagi Rumah sakit untuk dapat memberikan pelatihan
khusus mengenai kegawatdaruratan bagi perawatperawat khususnya
perawat IGD sehingga waktu tanggap perawat menjadi lebih cepat dan
tepat, yang akhirnya nyawa pasien menjadi terselamatkan.

3. Opportunity/Peluang
Maka peneliti berasumsi pada saat pasien yang datang dengan
kegawatdaruratan khususnya pasien jantung koroner mendapatkan
penangan yang tepat. Karena jika tidak akan mengancam jiwa pasien
terlebih lagi jika saat serangan terjadi dan hal ini dapat mengakibatkan
kondisi menjadi semakin buruk bahkan dapat mengakibatkan
kematian.

Kesesuaian antara hasil penelitian dengan teori yang ada diharapkan


bisa menjadi peluang bagi pihak Rumah Sakit sehingga dapat
meningkatkan angka keberhasilan pengobatan.

4. Threats/ Ancaman
Ketidak sesuaian antara hasil penelitian dengan teori yang ada
memberi ancaman tersendiri bagi rumag sakit. Kurangnya tenaga
terlatih di sebuah Instalasi Gawat Darurat akan menjadi hambatan bagi
angka keberhasilan penanganan pasien gawat darurat.
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
1. Responden yang datang ke IGD RSI Siti Khadijah Palembang lebih
banyak pada prioritas II (73,3%).
2. Responden yang mendapatkan waktu tanggap (kecepatan) sangat cepat
lebih banyak yaitu sebesar 76,7%.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan bagi Rumah Sakit untuk dapat
memberikan pelatihan khusus mengenai kegawatdaruratan bagi
perawatperawat khususnya perawat IGD sehingga waktu tanggap perawat
menjadi lebih cepat dan tepat, yang akhirnya nyawa pasien menjadi
terselamatkan.
DAFTAR PUSTAKA

Citrakesumasari. 2012. Anemia Gizi Masalah dan Pencegahannya. Yogyakarta:


Kaliaka.

Depkes RI. 2007. Pedoman Surveilans Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.
Departemen Kesehatan RI: Jakarta.

Depkes RI. 2010. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. Jakarta:


Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Haryatun, Nunuk & Sudaryanto. 2008. Perbedaan Waktu Tanggap Tindakan


Keperawatan Pasien Cedera Kepala Kategori I-V Di Instalasi Gawat Darurat
RSUD Dr. Moewardi. Jurnal Berita Ilmu Keperawatan.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2009. StandarInstalasi Gawat


Darurat (IGD) Rumah Sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Kelmanutu, L. S., Sidin, A. I., & Maidin, A. 2013. Saredimensi Mutu Pelayanan
Pada Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Karel Sadsuitubun Langgur
Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 2013.
MalukuTenggara.http://repository.unhas.ac.id/bitstream/han
dle/123456789/5601/Jurnal%20Bu%20Lev ina.pdf;sequence=1.

Maatilu, V., Mulyadi, N., & Malara, R. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Response Time Perawat pada Penanganan Pasien Gawat Darurat di IGD
RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado. Jurnal Keperawatan, 2(2).

Mahyawati dan Widaryati. 2015. Hubungan Kegawatdaruratan Pasien Dengan


Waktu Tanggap Perawat di IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi,
Program Studi Ners, STIKES Aisyiah Yogyakarta.

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta:


Nuha Medikal. Noor. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Response Time
Pada Penanganan Pasien Instalasi Gawat Darurat RSUP Persahabatan. Tidak
Dipublikasikan.

Rahil, Nazwar Hamdani. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Lama


Waktu Tanggap Perawat pada Penanganan Asma di Instalasi Gawat Darurat
RSUD Panembahan Senopati Bantul. Jurnal Respati Yogyakarta.

Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang. 2015. Medical Record Rumah Sakit
Islam Siti Khadijah Palembang. Palembang.

Sabriyanti. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Ketepatan Waktu


Tanggap Penanganan Kasus pada Response Time I di Instalasi Gawat Darurat
Bedah dan Non-Bedah RSUP DR.Wahidi Sudirohusodo. Jurnal

Anda mungkin juga menyukai