Anda di halaman 1dari 24

TUGAS ANALISA JURNAL PENGARUH RANGE OF MOTION (ROM)

TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OPERASI


FRAKTUR EKSTREMITAS BAWAH

DI SUSUN OLEH :
1. MUHAMMAD SAFEI
2. NAHDAH DYAH NADILLA
3. NOVRIANTI GLEDYS
4. RATNA FARIDA PANDIANGAN
5. TRI WAHYUNI

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


PERTAMEDIKA JAKARTA 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah yang telah melimpahkan segala berkah , nikmat ,
serta, hidayah-Nya, sehingga tulisan dengan judul“ PENGARUH RANGE OF MOTION
(ROM) TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR
EKSTREMITAS BAWAH dapat diselesaikan.

Penulis menyadari tulisan ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena
itu penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebanyak banyak nya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan tulisan.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna ,oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tulisan ini. Akhir kata semoga Allah
SWT membalas semua kebaikan yang telah di berikan dan mudah mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Oktober 2021.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh
dunia, khususnya di negara berkembang. Menurut Global Status Report on Road Safety
2013 yang dibuat oleh World Health Organization (WHO), sebanyak 1,24 juta korban
meninggal tiap tahunnya di seluruh dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Di Indonesia
pada tahun 2010 telah terjadi 31.234 kematian akibat kecelakaan lalu lintas. (WHO,
2013). Trauma yang dialami seseorang akan menyebabkan masalah-masalah seperti,
biaya yang besar untuk mengembalikan fungsi tulang setelah mengalami trauma, risiko
kematian yang tinggi, produktivitas menurun akibat banyak kehilangan waktu untuk
bekerja, dan kecacatan sementara sampai permanen. Salah satu bentuk trauma yang
diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas tersebut adalah yang mengenai sistem
muskuloskeletal yaitu terjadinya fraktur (Muttaqin, 2008).
Fraktur atau patah tulang merupakan suatu kondisi terputusnya kontinuitas
tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa dan juga
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma.
Penyebab fraktur adalah trauma, yang dibagi atas trauma langsung, trauma tidak
langsung, dan trauma ringan. Trauma langsung yaitu benturan pada tulang, biasanya
penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung
terbentur dengan benda keras (jalanan). Trauma tidak langsung yaitu titik tumpuan
benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi. Trauma
ringan yaitu keadaan yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah
rapuh atau underlying deases atau fraktur patologis (Sjamsuhidayat & Wim de Jong,
2010). Dampak yang ditimbulkan oleh trauma pada fraktur diantaranya terbatasnya
aktivitas, karena rasa nyeri akibat tergeseknya saraf motorik dan sensorik pada luka
fraktur. Nyeri adalah sesuatu hal yang bersifat subjektif, tidak ada dua orang sekalipun
yang mengalami kesamaan rasa nyeri dan tidak ada dua kejadian menyakitkan yang
mengakibatkan respon atau perasaan yang sama pada individu. Asosiasi internasional
yang khusus mempelajari tentang nyeri (The International Association For the Study of
Pain/IASP) (1977) dalam (Potter & Perry, 2010), mendefinisikan nyeri sebagai sesuatu
yang tidak menyenangkan, bersifat subjektif dan berhubungan dengan panca indera,
serta merupakan suatu pengalaman emosional yang dikaitkan dengan kerusakan
jaringan baik aktual maupun potensial, atau digambarkan sebagai suatu
kerusakan/cedera. Salah satu dampak dari fraktur yang ditimbulkan diantaranya
terbatasnya aktivitas terutama pada pasien post operasi fraktur. Post operasi yang tidak
mendapatkan perawatan maksimal setelah pasca bedah dapat memperlambat
penyembuhan dan menimbulkan komplikasi. Pasien post operasi sering kali dihadapkan
pada permasalahan adanya proses peradangan akut dan nyeri yang mengakibatkan
keterbatasan gerak. Sedangkan kecacatan fisik dapat dipulihkan secara bertahap melalui
latihan rentang gerak yaitu dengan latihan Range of Motion (ROM) yang dievaluasi
secara aktif, yang merupakan kegiatan penting pada periode post operasi guna
mengembalikan kekuatan otot pasien (Lukman dan Ningsih, 2009). Rasa nyeri post
operasi yang dialami pasien, membuat pasien takut untuk menggerakkan ekstremitas
yang cedera, sehingga pasien cenderung untuk tetap terbaring lama, membiarkan tubuh
tetap kaku. Untuk mencegah tidak terjadinya kekakuan otot dan tulang pada daerah
yang dilakukan operasi, serta mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien maka tindakan
yang dapat dilakukan adalah mobilisasi contohnya yaitu dengan melakukan Range Of
Motion (Smeltzer & Bare, 2009).
Range Of Motion (ROM) adalah Latihan gerakan sendi yang memungkinkan
terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, di mana klien menggerakan masing-masing
persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif (Perry & Potter,
2006). Meningkatkan kemampuan aktivitas mandiri pasien harus melakukan
pergerakan, hal tersebut juga bertujuan untuk menghilangkan kekakuan pada otot dan
tulang, terutama pada pasien post operasi. Pergerakan badan sedini mungkin dan nyeri
yang dirasakan pada saat latihan gerakan sendi harus dapat ditahan dan keseimbangan
tubuh tidak lagi menjadi gangguan (Kusmawan, 2008).
Fraktur atau patah tulang merupakan suatu kondisi terputusnya kontinuitas
tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa dan juga
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma.
Trauma menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak
langsung. Fraktur biasa terjadi karena trauma langsung eksternal, tetapi dapat juga
terjadi karena deformitas tulang misalnya fraktur patologis karena osteoporosis,
penyakit paget dan osteogenesis imperfekta) (Sjamsuhidayat, 2005; Potter & Perry,
2005). Nyeri post operasi adalah nyeri yang dirasakan akibat dari hasil pembedahan.
Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri post operasi berbeda-beda. Lokasi pembedahan
mempunyai efek yang sangat penting yang hanya dapat dirasakan oleh pasien. Nyeri
pasca operasi tidak hanya terjadi setelah operasi besar, tetapi juga setelah operasi kecil.
Selain faktor fisiologis, nyeri juga dipengaruhi oleh rasa takut atau kecemasan mengenai
operasi (dimensi afektif), yang dapat meningkatkan persepsi individu terhadap intensitas
nyeri (dimensi sensorik). Meskipun semua pasien post operasi mengalami sensasi rasa
nyeri, ada perbedaan dalam ekspresi atau reaksi nyeri (dimensi perilaku), latar belakang
budaya (dimensi sosiokultural) (Suza, 2007).

B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh range of motion (rom) terhadap
intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah
BAB II

ANALISA JURNAL

A. Jurnal Utama
1. Judul jurnal
PENGARUH RANGE OF MOTION (ROM) TERHADAP INTENSITAS NYERI
PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS BAWAH
2. Peneliti
Orien Permana , Sofiana Nurchayati , Herlina
3. Populasi
Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau yang diteliti (Notoatmodjo, 2010).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang dirawat diruangan dahlia
RSUD Arifin Achmad.
Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah pasien yang mengalami post operasi fraktur
ekstremitas bawah yang ada di ruangan Dahlia RSUD Arifin Achmad. Instrumen
pada penelitian ini adalah lembar observasi dengan menggunakan Numeric Rating
Scale (NRS).
Tehnik sampling
Pengumpulan data dilakukan di ruang rawat inap dahlia RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru. Peneliti melakukan pemilihan sampel berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan. Kelompok eksperimen selanjutnya akan diberikan tindakan ROM
selama 20 menit, dan kelompok kontrol tidak. Setelah melakukan intervensi kedua
kelompok diukur kembali intensitas nyerinya dengan menggunakan skala intensitas
nyeri numerik.

4. Desain penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasy Experiment
dengan rancangan penelitian Non-Equivalent Control Group, yaitu sebuah
rancangan penelitian dimana peneliti tidak melakukan randomisasi untuk
pengelompokan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian ini
melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Dalam penelitian ini kelompok eksperimen diberikan intervensi/perlakuan.
Sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan intervensi/perlakuan. Pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol masing-masing dilakukan pengukuran
sebelum diberikan intervensi (pre-test) dan setelah diberikan intervensi (post-test)
(Hidayat, 2007)
5. Instrumen yg digunakan
Instrumen pada penelitian ini adalah lembar observasi dengan menggunakan
Numeric Rating Scale (NRS).
6. Uji statistik yang digunakan
Analisa data pada penelitian ini adalah univariat dan bivariat. Analisa univariat
dilakukan untuk melihat karakteristik responden meliputi umur, jenis kelamin, dan
status pendidikan. Analisa bivariat menggunakan dependent t test dan independent t
test. Dependent t test digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata nilai intensitas
nyeri pre-test dan post-test. Independent t test digunakan untuk membandingkan
nilai intensitas nyeri post-test pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

B. Jurnal pendukung
1. Judul Jurnal
Pengaruh Range of Motion (ROM) Aktif Terhadap Fleksibilitas Sendi Lutut Pada
Lanjut Usia
2. Peneliti
Indrayana Tavip, Warijan, Siswanto Joni
3. Hasilnya
Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa pair 1 nilai t hitung adalah sebesar -1.908
degan sig 0.068. Karena sig > 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima,
artinya rata-rata sudut ROM sebelum dan sesudah latihan adalah sama (tidak
berbeda). Pada pair 2 nilai t hitung adalah sebesar -2.152 degan sig 0.042. Karena
sig < 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak, artinya rata-rata sudut ROM
sebelum dan sesudah latihan adalah tidak sama (berbeda). dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa latihan ROM aktif mempengaruhi sudut ROM sendi lutut pada
latihan hari ke 4 sampai hari ke 8. Dalam penelitian menunjuk kan kondisi awal
rentang gerak lansia pada kedua kelompok rata-rata memiliki keterbatasan rentang
gerak. Hal tersebut terlihat dari rata-rata rentang gerak yang dibawah batas normal
rentang gerak. Rentang gerak fleksi lutut pada kedua kelompok masih dibawah
130o, Sedangkan ekstensi dalam batas normal yaitu antara 0o-10o.

C. Analisa PICO
1. Problem
Rasa nyeri post operasi yang dialami pasien, membuat pasien takut untuk
menggerakkan ekstremitas yang cedera, sehingga pasien cenderung untuk tetap
terbaring lama, membiarkan tubuh tetap kaku
2. Intervention
Untuk mencegah tidak terjadinya kekakuan otot dan tulang pada daerah yang
dilakukan operasi, serta mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien maka tindakan
yang dapat dilakukan adalah mobilisasi contohnya yaitu dengan melakukan Range
Of Motion (Smeltzer & Bare, 2009). Range Of Motion (ROM) adalah Latihan
gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, di
mana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik
secara aktif ataupun pasif (Perry & Potter, 2006). Meningkatkan kemampuan
aktivitas mandiri pasien harus melakukan pergerakan, hal tersebut juga bertujuan
untuk menghilangkan kekakuan pada otot dan tulang, terutama pada pasien post
operasi. Pergerakan badan sedini mungkin dan nyeri yang dirasakan pada saat
latihan gerakan sendi harus dapat ditahan dan keseimbangan tubuh tidak lagi
menjadi gangguan (Kusmawan, 2008).
3. Comparison
- Judul jurnal:
PENERAPAN KOMPRES DINGIN TERHADAP PENURUNAN NYERI
PADA PASIEN FRAKTUR TIBIA DI KOTA METRO
- Peneliti:
Chrisna Wahyu Ramadhan , Anik Inayati , Ludiana
- Hasilnya:
Penerapan ini menunjukan bahwa, sebelum di lakukan kompres dingin skala
nyeri pasien adalah 6 dalam katagori nyeri sedang setelah diberikan kompres
dingin selama 3 hari berturut-turut, nyeri pasien berkurang menjadi skala nyeri 1
dalam katagori ringan.
4. Outcome
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan intensitas nyeri yang
signifikan sebelum dan sesudah melakukan ROM, sehingga dapat disimpulkan
bahwa gerakan ROM efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pada pasien. Hasil
penelitian Rustianawati (2013), dalam penelitiannya tentang efektivitas ambulasi
dini terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi di
RSUD Kudus mendapatkan hasil bahwa mobilisasi pasca laparatomi dapat
menurunkan nyeri.
BAB III
TINJAUAN TEORI

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah ganguan dari kontinuitas yang normal
dari suatu tulang (Black 2014). Fraktur atau patah tulang adalah kondisi
dimana kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan terputus secara
sempurna atau sebagian yang disebabkan oleh rudapaksa atau osteoporosis
(Smeltzer & Bare, 2013). Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang rawan
baik bersifat total maupun sebagian, penyebab utama dapat disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitarnya
(Helmi, 2012). Fraktur dapat terjadi di bagian ekstremitas atau anggota
gerak tubuh yang disebut dengan fraktur ekstremitas. Fraktur ekstremitas
merupakan fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk lokasi
ekstremitas atas (tangan, lengan, siku, bahu, pergelangan tangan, dan bawah
(pinggul, paha, kaki bagian bawah, pergelangan kaki). Fraktur dapat
meimbulkan pembengkakan, hilangnya fungsi normal, deformitas,
kemerahan, krepitasi, dan rasa nyeri (Ghassani, 2016).
2. Klasifikasi
Fraktur dapat dijelaskan dengan banyak cara. Bahkan ada lebih dari 150
tipe fraktur yang telah dinamai bergantung pada berbagai metode klasifikasi
(Black, 2014). Menurut Wahid (2013) penampilan fraktur dapat sangat
bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi menjadi beberapa
kelompok yaitu:
a. Berdasarkan sifar fraktur
1) Fraktur tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
karena kulit masih utuh tanpa komplikasi.
2) Fraktur terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit
b. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur
1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada
foto.
2) Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti :
a) Hair line fracture (patah retak rambut). Hal ini disebabkan
oleh stress yang tidak biasa atau berulang-ulang dan juga
karena berat badan terus menerus pada pergelangan kaki.
b) Buckle atau torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya.
c) Green stick fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma:
1) Fraktur tranversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur oblik: Fraktur yang arah garis patahannya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi juga.
3) Fraktur spiral: Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi: Fraktur yang terjadi karena trauma aksial
fieksi yang mendorong tulang arah permukaan lain.
5) Fraktur avulsi: Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang
d. Berdasarkan jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif: Fraktur dimana garis patah lebuh dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur segmental: Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan
3) Fraktur multiple: Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser): Garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan masih utuh
2) Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
- Dislokasi ad longitudinam cum contraction (pergeseran
searah sumbu dan overlapping)
- Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
- Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen
saling menjauh
f. Fraktur kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang
g. Fraktur patologis: Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang
3. Faktor penyebab fraktur
Menurut helmi (2012), hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
fraktur adalah:
a. Fraktur traumatik, disebabkan karena adanya trauma ringan atau berat
yang mengenai tulang baik secara langsung maupun tidak.
b. Fraktur stress, disebabkan karena tulang sering mengalami penekanan.
c. Fraktur patologis, disebabkan kondisi sebelumnya, seperti kondisi
patologis penyakit yang akan menimbulkan fraktur
4. Manifestasi klinis fraktur
Menurut Black, (2014) mendiagnosis fraktur harus berdasarkan
manifestasi klinis klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis.
Beberapa fraktur sering langsung tampak jelas; beberapa lainnya terdeteksi
hanya dengan rontgen (sinar –x). Pengkajian fisik dapat menemukan
beberapa hal berikut. Deformitas, Pembengkakan (edema), Echimosisi
(memar), Spasme otot , Nyeri, Ketegangan , Kehilangan fungsi, Pegerakan
abnormal dan krepitasi, Perubahan neurovaskular. Syok.
5. Stadium penyembuhan fraktur
Proses penyembuhan pada fraktur berbeda-beda tergantung ukuran
tulang yang terkena dan umur pasien. Fraktur lain yang dapat
mempengaruhi proses penyembuhan fraktur adalah tingkat kesehatan pasien
secara keseluruhan dan status nutrisi yang baik. Beberapa tahapan atau fase
dalam proses penyembuhan tulang menurut Smeltzer & Bare (2013) antara
lain:
a. Fase inflamasi, yaitu adanya respon tubuh terhadap trauma yang ditandai
dengan pendarahan dan timbulnya hematoma pada tempat terjadinya
fraktur. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena
terputusnya aliran darah yang akan menyebabkan inflamasi,
pembengkakan, dan nyeri. Fase ini akan berlangsung selama beberapa
hari sampai pembengkakan dan nyeri berkurang.
b. Fase proliferasi, hematoma pada fase ini akan mengalami organisasi
dengan membentuk benang fibrin dalam jendalan darah yang akan
membentuk jaringan dan menyebabkan revaskularisasi serta invasi
fibroblast dan osteoblast. Proses ini akan menghasilkan kolagen dan
proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang, terbentuk
jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid) yang berlangsung setelah
hari ke lima.
c. Fase pembentukan kalus, pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran
pada tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah
terhubungkan. Waktu yang diperlukan agar fragmen tulang tersebut
adalah 3-4 minggu.
d. Fase penulangan kalus/osifikasi, yaitu proses pembentukan kalus mulai
mengalami penulangan dalam waktu 2-3 minggu melalui proses
penulangan endokondral. Pada orang dewas normal, kasus fraktur
panjang memerlukan waktu 3-4 bulan.
e. Fase remodeling/konsolidasi, terjadi perbaikan fraktur yang meliputi
pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan
structural sebelum terjadi patah tulang. Fase ini memerlukan waktu
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
6. Komplikasi
Komplikasi fraktur Menurut Wahid (2013) komplikasi fraktur dibedakan
menjadi komplikasi awal dan lama yaitu:
a. Komplikasi awal

1) Kerusakan arteri Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai


dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, sianosis bagian distal,
hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstremitas yang
disebabkan oleh tindakan emergency splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.
2) Kompartemen syndrom.
Kompartement sindrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh odema atau peredaran arah
yang menekan otot, tulang, saraaf dan pembuluh darah. Selain itu
karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu
kuat.
3) Fat embolism syndrom
Kompilasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang
panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat
oksigen dalam darah yang ditandai dengan gangguan pernafasan,
takikardi, hipertensi, takipneu dan demam.
4) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk kedalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi bisa juga karena pengunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat .
5) Avaskuler nekrosis Avaskuler Nekrosis (AV) terjadi karena aliran
daarah ke tulang rusak atau terganngu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman Ischemia.
6) Shock Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebakan
menurunnya oksigenasi
b. Komplikasi lanjut.
Biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah
terjadinya fraktur paada pasien yang telah menjalani proses
pembedahan. Menurut kutipan dari Smeltzer dan Bare (2013),
komplikasi ini dapat berupa:
1) Komplikasi pada sendi seperti kekakuan sendi yang

menetap dan penyakit degeneratif sendi pasca

trauma.

2) Komplikasi pada tulang seperti penyembuhan fraktur

yang tidak normal (delayed union, mal union, non

union).

3) Komplikasi pada otot seperti atrofi otot dan rupture

tendon lanjut.

4) Komplikasi pada syaraf seperti tardy nerve palsy yaitu

saraf menebal akibat adanya fibrosis intraneural.

7. Penatalaksanaan fraktur
Menurut Muttaqin (2013) konsep dasar penatalaksanaan fraktur yaitu:

a) Fraktur terbuka.

Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh

bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam

(golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap

dilakukan:Pembersihan luka, eksisi jaringan mati atau

debridement, hecting

situasi dan pemberian antibiotik.

b) Seluruh fraktur.

Rekognisi (Pengenalan). Riwayat kejadian harus jelas untuk

menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.

1) Reduksi (Reposisi) terbuka dengan fiksasi interna (Open

Reduction and Internal Fixation/ORIF). Merupakan upaya

untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti

semula secara optimum. Dapat juga diartikan reduksi fraktur

(setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada

kesejajaran dan rotasi anatomis.

2) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna (Open Reduction and

Enternal Fixation/ORIF), digunakan untuk mengobati patah

tulang terbuka yang melibatkan kerusakan jaringan lunak.

Ekstremitas dipertahankan sementara dengan gips, bidai atau


alat lain. Alat imobilisasi ini akan menjaga reduksi dan

menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Alat ini

akan memberikan dukungan yang stabil bagi fraktur

comminuted (hancur dan remuk) sementara jaringan lunak

yang hancur dapat ditangani dengan aktif (Smeltzer & Bare,

2013).

3) Retensi (Immobilisasi).

o Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang

sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah

fraktur direduksi,

o fragmen tulang harus dimobilisasi, atau di pertahankan

dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi

penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi

eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,

pin, dan teknik gips, atau fiksatoreksternal. Implant logam

dapat digunakan untuk fiksasi internal yang berperan

sebagia bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.

4) Graf tulang, yaitu penggantian jaringan tulang untuk

menstabilkan sendi, mengisi defek atau perangsangan dalam

proses penyembuhan. Tipe graf yang digunakan tergantung

pada lokasi yang terkena, kondisi tulang, dan jumlah tulang

yang hilang akibat cidera. Graft tulang dapat berasal dari

tulang pasien sendiri (autograft) atau tulang dari tissue bank

(allograft) (Smeltzer & Bare, 2013)

5) Rehabilitasi adalah upaya menghindari atropi dan kontraktur

dengan fisioterapi. Reduksi dan imobilisasi harus

dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (missal:

Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan)

dipantau, dan ahli bedah orthopedi diberitahu segera bila ada

tanda gangguan neurovaskuler.


Kegelisahan ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan

berbagai pendekatan (misalnya: menyakinkan, perubahan

posisi, stageri peredaan nyeri, termasuk analgetik). Latihan

isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan

atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi

dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk

memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.

Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan

sesuai batasan terapeutik

B. KONSEP INTERVENSI YANG DIBERIKAN


1. Pengertian
ROM ( Range of Motion) adalah jumlah maksimum gerakan yang
mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh, yaitu
sagital, transversal, dan frontal. Pengertian ROM lainnya adalah latihan
gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan
otot, dimana klien menggerakan masing- masing persendiannya sesuai
gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif.
2. Tujuan
a. Meningkatkan atau mempertahankan fleksibiltas dan kekuatan otot
b. Mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan
c. Mencegah kekakuan pada sendi
3. Manfaat ROM
a. Mencegah terjadinya kekakuan sendi
b. Memperlancar sirkulasi darah
c. Memperbaiki tonus otot
d. Meningkatkan mobilisasi sendi
e. Memperbaiki toleransi otot untuk latihan
4. Jenis – Jenis ROM
a. ROM Aktif
yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien) dengan
menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan
membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara
mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Keuatan
otot 75 %. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi
dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif .
b. ROM Pasif
yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain
(perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan persendian
klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan
otot 50 %. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak
sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan
beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah
baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total (suratun, dkk,
2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-
otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif
misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
5. Jenis Gerakan
a. Fleksi, yaitu berkurangnya sudut persendian.
b. Ekstensi, yaitu bertambahnya sudut persendian.
c. Hiperekstensi, yaitu ekstensi lebih lanjut.
d. Abduksi, yaitu gerakan menjauhi dari garis tengah tubuh.
e. Adduksi, yaitu gerakan mendekati garis tengah tubuh.
f. Rotasi, yaitu gerakan memutari pusat dari tulang.
g. Eversi, yaitu perputaran bagian telapak kaki ke bagian luar, bergerak
membentuk sudut persendian.
h. Inversi, yaitu putaran bagian telapak kaki ke bagian dalam bergerak
membentuk sudut persendian.
i. Pronasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan
bergerak ke bawah.
j. Supinasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan
bergerak ke atas.
k. Oposisi, yaitu gerakan menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan
pada tangan yang sama.
6. Sendi Yang Digerakan
1) ROM Aktif
Seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri
secara aktif.
2) ROM Pasif
Seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang
terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.
- Leher (fleksi/ekstensi, fleksi lateral)
- Bahu tangan kanan dan kiri ( fkesi/ekstensi, abduksi/adduksi,
Rotasi bahu)
- Siku tangan kanan dan kiri (fleksi/ekstensi, pronasi/supinasi)
- Pergelangan tangan (fleksi/ekstensi/hiperekstensi,
abduksi/adduksi)
- Jari-jari tangan (fleksi/ekstensi/hiperekstensi, abduksi/adduksi,
oposisi)
- Pinggul dan lutut (fleksi/ekstensi, abduksi/adduksi, rotasi
internal/eksternal)
- Pergelangan kaki (fleksi/ekstensi, Rotasi)
- Jari kaki (fleksi/ekstensi)
7. Indikasi
a. Stroke atau penurunan tingkat kesadaran
b. Kelemahan otot
c. Fase rehabilitasi fisik
d. Klien dengan tirah baring lama
8. Kontra Indikasi
a. Trombus/emboli pada pembuluh darah
b. Kelainan sendi atau tulang
c. Klien fase imobilisasi karena kasus penyakit (jantung)
9. Attention
a. Monitor keadaan umum klien dan tanda-tanda vital sebelum dan
setelah latihan
b. Tanggap terhadap respon ketidak nyamanan klien
c. Ulangi gerakan sebanyak 3 kali
10. Gerakan Rom
Berdasarkan bagian tubuh, yaitu :
a. Leher
- Fleksi
Menggerakkan dagu menempel ke dada.
- Ekstensi
Mengembalikan kepala ke posisi tegak.
- Hiperekstensi
Menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin.
- Fleksi lateral
Memiringkan kepala sejauh mungkin kearah setiap bahu.
- Rotasi
Memutar kepala sejauh mungkin ke arah setiap bahu.
b. Bahu
- Fleksi
Menaikkan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan ke
posisi diatas kepala.
- Ekstensi
Mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh.
- Hiperekstensi
Menggerakkan lengan ke belakang tubuh, siku tetap lurus.
- Abduksi
Menaikkan lengan ke posisi samping diatas kepala dengan
telapak tangan jauh dari kepala
- Adduksi
Menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh
mungkin.
- Rotasi dalam
Dengan siku fleksi, memutar bahu dengan menggerakkan lengan
sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang
- Rotasi luar
Dengan siku fleksi, menggerakkan lengan sampai ibu jari ke atas
dan samping kepala.
- Sirkumduksi
Menggerakan lengan dengan gerakan penuh
c. Siku

- Fleksi
Menekuk siku sehingga lengan bawah bergerak ke depan sendi
bahu dan tangan sejajar bahu.
- Ekstensi
Meluruskan siku dengan menurunkan lengan.

d. Lengan Bawah

- Supinasi
Memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan
menghadap ke atas
- Pronasi
Memutar lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap ke
bawah
e. Pergelangan Tangan

- Fleksi
Menggerakkan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan bawah
- Ekstensi
Menggerakkan jari-jari sehingga jari-jari, tangan dan lengan
bawah berada dalam arah yang sama
- Hiperekstensi
Membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh mungkin.
- Abduksi
Menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari
- Adduksi
Menekuk pergelangan tangan miring ke arah lima jari
f. Jari-Jari Tangan
- Fleksi
Membuat genggaman
- Ekstensi
Meluruskan jari-jari tangan
- Hiperekstensi

Menggerakkan jari-jari tangan ke belakang sejauh


mungkin
- Abduksi
Meregangkan jari-jari tangan yang satu dengan yang lain
- Adduksi
Merapatkan kembali jari-jari tangan
g. Ibu Jari
- Oposisi
Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang
sama.
h. Pinggul

- Fleksi
Menggerakkan tungkai ke depan dan ke atas
- Ekstensi
Menggerakkan kembali ke samping tungkai yang lain
- Hiperekstensi
Menggerakkan tungkai ke belakang tubuh
- Abduksi
Menggerakkan tungkai ke samping menjauhi tubuh
- Adduksi
Menggerakkan kembali tungkai ke posisi medial dan melebihi jika
mungkin
- Rotasi dalam
Memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai lain
- Rotasi luar
Memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain
- Sirkumduksi
Menggerakkan tungkai memutar
i. Kaki

- Inversi
Memutar telapak kaki ke samping dalam (medial)
- Eversi
Memutar telapak kaki ke samping luar (lateral
j. Jari-Jari Kaki
- Fleksi
Melengkungkan jari-jari kaki ke bawah
- Ekstensi
Meluruskan jari-jari kaki
- Abduksi
Merenggangkan jari-jari kaki satu dengan yang lain
- Adduksi
Merapatkan kembali bersama-sama.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Setelah dilakukan penelitian tentang pengaruh range of motion (ROM) terhadap
intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah didapatkan hasil yang
menunjukkan bahwa sebagian besar umur yang mengalami post operasi fraktur
ekstremitas bawah terjadi pada rentang umur 26-35 tahun yaitu sebanyak 9 orang
(30,0%), sedangkan untuk jenis kelamin mayoritas berjenis kelamin laki-laki sebanyak 27
orang (90,0%), mayoritas berpendidikan SMA yaitu sebanyak 15 orang (50,0%).
Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti tentang pemberian ROM yaitu pada
kelompok eksperimen yang diberikan perlakuan gerakan ROM selama 4 hari mengalami
penurunan yang sangat signifikan yaitu didapatkan mean pretest adalah 4,71 menjadi
3,27. Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan bahwa juga terjadi penurunan sedikit
yaitu didapatkan mean pretest pada kelompok kontrol 4,91 menjadi 4,71. Hasil yang
didapatkan dari penelitian ini yaitu pada kelompok eksperimen terdapat penurunan yang
signifikan antara pretest dan posttest, dan pada kelompok kontrol juga didapatkan adanya
penurunan yang terjadi pada pretest dan posttest. Hal ini disebakan karena pada kedua
kelompok diberikan analgetik ketorolak dan pada kelompok eksperimen diberikan latihan
gerakan- gerakan ROM. Hasil ini membuktikan terdapat bahwa pengaruh ROM efektif
menurunkan intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah.
B. Saran
Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan khusunya keperawatan dapat menjadikan
range of motion (ROM) sebagai salah satu alternatif terapi non farmakologi dalam
penatalaksanaan nyeri dengan intensitas sedang. Peneliti menyarankan agar gerakan
ROM dapat dimodifikasi dengan terapi lain seperti terapi musik, dan terapi murrotal al
quran.

DAFTAR PUSTAKA

Chrisna Wahyu Ramadhan (2021 ). Penerapan kompres dingin terhadap penurunan nyeri pada
pasien FRAKTUR TIBIA. (2021). Volume 1, Nomor 1, Maret 2021, 1, 13-20.
Orien Permana, S. N. (t.thn.). PENGARUH RANGE OF MOTION (ROM) TERHADAP. Vol 2
No 2, Oktober 2015, 2, 1327-1334.
Tavip, I. (2020). Pengaruh Range of Motion (ROM) Aktif Terhadap Fleksibilitas Sendi Lutut
Pada Lanjut Usia. March 31, 2020.

Anda mungkin juga menyukai