Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor yang

dihadapi oleh seseorang yang dapat menimbulkan kerugian baik pada diri

sendiri, orang lain maupun lingkungan orang sekitar (Keliat, 2010). Perilaku

kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan suatu

tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri

maupun orang lain, disertai oleh amuk dan gaduh gelisah yang tidak

terkontrol (Kusumawati & Hartono, 2010). Perilaku kekerasan adalah

menyentuh orang lain secara menakutkan, memberi kata-kata ancaman

melukai disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang paling berat adalah

melukai atau merusak secara sosial. (Keliat, 2010). Perilaku kekerasaan

adalah perilaku seseorang yang dapat membahayakan diri sendiri maupun

orang lain secara fisik yang di sertai amuk dan gaduh yang dapat merugikan

diri sendiri ataupun orang lain. Adapun risiko yang mungkin terjadi yaitu

dapat mencederai orang lain dan lingkungan yang diakibatkan karna

ketidakmampuan mengendalikan amarah secara konstruktif.

Tanda dan gejala yang muncul dalam perilaku kekerasan dapat dilihat

dari beberapa aspek antara lain : aspek motorik (mondar-mandir,

ketidakmampuan untuk diam, tangan mengepal dan meninju, rahang

mengatup, pernafasan meningkat, tiba-tiba menghentikan aktifitas motorik,


merusak benda dan melukai orang lain), aspek verbalisasi (mengancam ke

arah obyek nyata meminta perhtian yang mengganggu, suara keras dan

tertekan, ada isi pikir delusi dan paranoid), afek (marah, permusuhan, sangat

cemas, mudh tersinggung, senang berlebihan atau tidak sesuai dengan emosi

labil), tingkat kesadaran (sadar, tiba-tiba perubahan status mental,

disorientasi, gangguan daya ingat, ketidakmampuan mengikuti petunjuk)

(Stuart &Laraia, 2006). Tanda dan gejala yang muncul dalam peilaku

kekerasan berupa amarah dan tindakan yang mengancam orang lain.

Faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan diantaranya

adalah teori biologik (neurobiologik, biokimia, genetik, gangguan

terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi, kesulitan dalam

mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga, ketidak siapan ibu dalam

merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai orang dewasa, adanya

riwayat perilaku anti sosial), teori psikologik (teori psikoanalitik, teori

pembelajran, teori sosiokultural) (Riyadi & Purwanto, 2009).

Adapun faktor -faktor yang dapat mencetuskan terjadinya perilaku

kekerasan yaitu ekspresi diri ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol

solidaritas, tidak meliputi penyalahgunaan obat dan alkohol pada saat frustasi,

kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan (Yosep,

2009). Faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan dapat

berupa gangguan pemikiran, perilaku dan mental seseorang.

Perilaku yang ditunjukkan oleh klien yang menderita perilaku

kekerasan diantaranya mondar-mandir, ketidakmampuan untuk diam, tangan


mengepal dan meninju, rahang mengatup, pernafasan meningkat, tiba-tiba

menghentikan aktifitas motorik, merusak benda dan melukai orang lain,

mengancam ke arah obyek nyata meminta perhatian yang mengganggu, suara

keras dan tertekan, ada isi pikir delusi dan paranoid, marah, permusuhan,

sangat cemas, mudah tersinggung, senang berlebihan atau tidak sesuai dengan

emosi labil, sadar, tiba-tiba perubahan status mental, disorientasi, gangguan

daya ingat, ketidakmampuan mengikuti petunjuk (Stuart & Laraia, 2006).

Ada beberapa dampak yang ditimbulkan dari perilaku kekerasan klien yaitu

merusak lingkungan, merusak orang lain dengan memukul ataupun melukai

orang lain, yang lebih berpengaruh yaitu dapat merusak diri sendiri karena

akan banyak orang yang menjauhi klien.

World Health Organization (WHO, 2012) menyatakan, bahwa jumlah

penderita gangguan jiwa didunia adalah 450 juta jiwa. Satu dari empat

keluarga sedikitnya mempunyai seorang dari anggota keluarga yang

mengalami gangguan kesehatan jiwa. Setiap empat orang yang membutuhkan

pelayanan kesehatan, seorang diantaranya mengalami gangguan jiwa dan

tidak terdiagnosa secara tepat sehingga kurang mendapat pengobatan dan

merawat secara tepat.

Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi

Daerah Khusus Ibu Kota jakarta (24,3%), Nagroe Aceh Darusalam (18,5%),

Sumatra Barat (17,7%), NTB (10,9%), Sumatra Selatan (9,2%), dan Jawa

Tengah (6,8%) (Depkes RI 2008). Data Riset Kesehatan Dasar (2013)

menunjukan prevalensi gangguan jiwa nasional mencapai 5,6% dari jumlah


penduduk. Berdasar data tersebut bisa disimpulkan bahwa penderita

gangguan jiwa di Indonesia setiap tahunnya selalu meningkat (Riskesdas,

2013).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Jawa Tengan tahun 2012, angka

kejadian penderita gangguan jiwa di Jawa Tengah berkisar antara 3.300 orang

sampai 9.300 orang. Angka ini merupakan penderita gangguan jiwa yang

sudah terdiagnosa. Dilihat dari angka kejadian diatas penyebab yang paling

sering timbulnya gangguan jiwa adalah dikarenakan himpitan masalah

ekonomi, kemiskinan. Kemampuan dalam beradaptasi tersebutberdampak

pada kebingungan, kecemasan, frustasi, perilaku kekerasan, konflik batin dan

gangguan emosional menjadi faktor penyebab tumbuhnya penyakit mental

(Dinkes Jateng, 2012).

Keluarga merupakan sekumpulan orang (rumah tangga) yang

memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan

terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi

ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan.
Keluarga adalah hubungan Antara laki – laki dan perempuan yang di ikat

oleh suatu pernikahan yang sah dan memiliki tujuan yang sama.

Peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien gangguan jiwa

diantaranyamemberikan bantuan utama terhadap pasien gangguan jiwa,

pengertian dan pemahaman tentang berbagai maninfestasi gejala – gejala

sakit jiwa yang terjadi pada penderita, membantu dalam aspek administrasi

dan finansial yang harus di keluarkan dalam selama proses pengobatan

penderita, untuk itu yang harus dilakukan keluarga adalah nilai dukungan dan

kesediaan menerima apa yang sedang dia alami oleh penderita dapat

dipertahankan setelah di klaim sehat oleh tenaga psikolog, psikiater,

neurology, dokter, ahli gizi, terapis dan kembali menjalani hidup bersama

keluarga dan masyarakat seitar (Salahudin, 2009). Peran keluarga dalam

gangguan jiwa merupakan medan kontrol yang memberikan dan

berkontribusi terhadap derajat sehat terhadap anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa.

Pentingnya peran keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa, tetapi

dalam jalanya proses perawatan gangguan jiwa ada beberapa masalah yang

seringkali dihadapi keluarga dalam merapat klien, diantaranya : hubungan

interpersonal dengan lingkungan, perubahan status kesehatan salah satu

anggota keluarga akan mempengaruhi keluarga secara keseluruhan, pelayan

kesehatan hanya berfungsi membantu klien dan keluarga mengembangkan

kemampuan dalam mencegah dan menyelesaikan masalah secara adaptif,

keluarga yang tidak tahu cara menangani klien (Keliat, 2010).


Keluarga dengan gangguan jiwa seringkali dipengaruhi oleh stigma

yang terlontar dari masyarakat tentang gangguan jiwa sehingga keluarga

dengan didukung masyarakat kerap melakukan tindakan yang tidak masuk

akal dalam menangani pasien gangguan jiwa, seperti tindakan pemasungan

atau pengurungan terhadap klien gangguan jiwa dan pengabaian terhadap hak

– hak dan martabat mereka sebagai manusia. Tindakan ini tidak serta merta

mengurangi angka kekambuhan klien tetapi menimbulkan stressor baru

bagiklien sehingga dapat memperparah kondisi mereka.Pengetahuan keluarga

dalam merawat pasien gangguan jiwa juga sangat dibutuhkan untuk

memaksimalkan peran keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa.

Berdasarkan hasil uraian di atas, peneliti bermaksud meneliti kemampuan

keluarga dalam merawat pasien dengan risiko perilaku kekerasan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat

disampaikan rumusan masalah yaitu Bagaimana membuat asuhan

keperawatan pada pasien risiko perilaku kekerasan.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa yang

mengalami risiko perilaku kekerasan di rumah sakit jiwa Atma Husada

Mahakam.
2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengkajian pada pasien risiko perilaku kekerasan.

b. Mengetahui Diagnosa pada pasien risiko perilaku kekerasan.

c. Mengetahui Intervensi pada pasien risiko perilaku kekerasan.

d. Mengetahui evaluasi pada pasien risiko perilaku kekerasan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pembaca

Penelitian ini dapat memberikan gambaran serta pengetahuan

tentang bagaimana asuhan keperawatan dengan klien dengan risiko

perilaku kekerasan

2. Bagi Peneliti

Dapat meningkatkan pengetahuan dan penulis mampu untuk

mengaplikasikan teori yang diperoleh selama perkuliahan di lahan secara

langsung khususnya tentang asuhan keperawatan klien dengan risiko

perilaku kekerasan.

3. Bagi Masyarakat

Masyarakat mendapatkan tambahan pengetahuan serta wawasan

tentang kemampuan keluarga dalam merawat klien dengan risiko perilaku

kekerasan

4. Bagi Pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan masukan

dalam kebijakan untuk membuat asuhan keperawatan klien dengan risiko

perilakukekerasan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
tingkah laku tersebut (Purba, dkk: 2008). Menurut Stuart dan Sundeen (2005),
perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan
kesal atau marah yang tidak konstruktif.
Pada pasien perilaku kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan secara
fluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Marah merupakan perasaan
jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak
terpenuhi yang tidak dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen: 2005).
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem saraf
parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat. Pada
saat marah ada perasaan ingin menyerang, menghancurkan atau melempar
sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal ini disalurkan maka
akan terjadi perilaku agresif (Purba, dkk: 2008).
Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat
menimbulkan respon asertif yang merupakan kemarahan yang diungkapkan
tanpa menyakiti orang lain dan akan memberikan kelegaan pada individu serta
tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat
menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan
menentang. Respon melawan dan menentang merupakan respon yang maladaptif
yaitu agresi-kekerasan (Purba dkk: 2008).

B. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh
Townsend (2005) adalah:
a. Teori biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan
memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau
menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus
frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada
penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem
neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokomia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight
yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku
agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem
limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan
serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsi, khususnya lobus
temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori psikologi
1) Teori psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak
kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra
diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan
rendahnya harga diri.
2) Teori pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut
diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang
tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan
yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang
lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang
tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c. Teori sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum
menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya.
Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu
menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi
secara konstruktif. Penduduk yang ramai/padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat
menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
C. Faktor Presipitasi
Menurut Yosep (2009) faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku
kekerasan sering kali berkaitan dengan:
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa
frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

D. Tanda dan Gejala


Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
1) Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman
2) Rasa terganggu, dendam dan jengkel
3) Bermusuhan, mengamuk, dan ingin berkelahi
4) Menyalahkan dan menuntut
e. Intelektual
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Kasar
4) Berdebat
5) Meremehkan dan sarkasme
f. Spiritual
1) Merasa diri berkuasa dan benar
2) Mengkritik pendapat orang lain
3) Menyinggung perasaan orang lain
4) Tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
1) Menarik diri, pengasingan
2) Penolakan
3) Kekerasan
4) Ejekan dan sindiran.
h. Perhatian
1) Bolos
2) Mencuri
3) Melarikan diri
4) Penyimpangan seksual.

E. Mekanisme Terjadinya Perilaku Kekerasan


Menurut Iyus Yosep (2009) kemarahan diawali oleh adanya stressor yang
berasal dari internal atau eksternal. Stressor internal seperti penyakit, hormonal,
dendam, kesal sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari lingkungan seperti
ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu, penggusuran, bencana
dan sebagainya. Hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada
sistem individu (disruption and loss). Hal yang terpenting adalah bagaimana individu
memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan tersebut (personal
meaning).
Bila seseorang memberi makna positif, misalnya kemacetan adalah waktu
untuk beristirahat, penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana bising adalah
melatih persyarafan telinga maka ia akan dapat melakukan kegiatan secara positif
(compensatory act) dan tercapai perasaan lega (resolution). Bila ia gagal dalam
memberikan makna menganggap segala sesuatunya sebagai ancaman dan tidak
mampu melakukan kegiatan positif misalnya: olah raga, menyapu atau baca puisi
saat ia marah dan sebagainya. Maka akan muncul perasaan tidak berdaya dan
sengsara (helplessness). Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (anger).
Kemarahan yang diekspresikan keluar (exspressed outward) dengan kegiatan yang
konstruktif dapat menyelesaikan masalah. Kemarahan yang diekspresikan dengan
kegiatan destruktif dapat menimbulkan perasaan bersalah dan menyesal (guilt).
Kemarahan yang dipendam akan menimbulkan gejala psikomatis (painfull symptom).
Perasaan marah normal terjadi pada setiap individu, namun perilaku yang
dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfungsi sepanjang rentang adaptif dan mal
adaptif. (Gambar 1)

Respon adaptif  Respon mal adaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


                                                  
                                    Gambar 1. Rentang Respon Marah
Kegagalan dapat menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan
diri atau respon melawan dan menentang. Respon melawan dan menentang merupakan
respon yang maladaptif, yaitu agresif=kekerasan perilaku yang I menampakkan mulai
dari yang rendah sampai yang tinggi, yaitu:
1. Asertif, mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan merasa
lega.
2. Frustasi, merasa gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak
realistis.
3. Pasif, diam saja karena tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sedang
dialami.
4. Agresif
Memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain dengan
ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai. Umumnya klien masih
dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai orang lain.
5. Kekerasan
Sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku kekerasan ditandai dengan
menyentuh orang lain secara menakutkan, member kata-kata ancaman, melukai
disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang paling berat adalah
melukai/merusak secara serius. Klien tidak mampu menegndalikan diri.
Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu:
a. Mengungkapkan secara verbal
b. Menekan
c. Menantang.
Dari ketiga cara ini yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara lain
adalah destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa
bermusuhan dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat
diekspresikan pada diri sendiri atau lingkungan dan akan tampak sebagai depresi
psikosomatik atau agresif dan mengamuk.
Mekanisme terjadinya masalah dapat digambarkan melalui diagram berikut:

Provokasi
(ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi)

Stress

Cemas

Marah

Diungkapkan secara tepat/asertif Mengingkari marah/merasa kuat

Masalah teratasi Marah tidak terungkap

Marah berkepanjangan

Marah pada diri sendiri Marah pada orang lain

Depresi Agresi

DAFTAR PUSTAKA

Anna, budi. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(basic


course).jakarta: EGC

Anna, budi.2009. ModelPraktik Keperawatan Profesional jiwa. Jakarta : EGC

Purba, J. M, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah


Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: Usu Press.

Stuart dan Sundeen. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC.

Townsend, Mary C. 2005. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri,


Pedoman untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.


Keliat, Budi Anna, d kk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC

Townsend, MC. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri:


Pedoman untuk Pembuatan Rencana Keperawatan. Jakarta : EGC

Keliat, Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta: EGC

Keliat, Budi Ana. 2001. Peran Serta Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan
Jiwa. Jakarta: EGC.

Maramis, W.F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University press,
Surabaya.

Purba J. M, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah


Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: Usu Press

Stuart, G.W., and Laraia, M.T. (1998). Principles and practice of psychiatric
nursing. Fifth edition. St. Louis: Mosby Year Book.

Anda mungkin juga menyukai