Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ANALISIS JURNAL PSIKOLOGI PADA PASIEN KRITIS

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Program Studi Keperawatan

Disusun oleh

Yetty Bayuana

A11601397

PRODI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH


GOMBONG

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah mata kuliah Keperawatan Kritis tentang
“Analisa Jurnal Psikologi pada Pasien Kritis” sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.

Pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas untuk memenuhi
tugas mata kuliah Keperawatan Kritis program studi S1 Keperawatan, kami
mengucapkan terimah kasih kepada:

1. Ibu Barkah Waladani S. Kep Ns6 selaku dosen koordinator mata kuliah
keperawatan kritis.
2. Ibu Isma Yuniar M. Kep selaku dosen mata kuliah keperawatan kritis
3. Semua pihak yang ikut serta berpartipasi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis berharap dengan disusunnya makalah ini dapat sedikit banyak
menambah pengetahuan para pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca demi penyempurnaan makalah ini.

Gombong, 06 September 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... 2

DAFTAR ISI ...................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................... 4


B. Tujuan .................................................................................................... 5
C. Manfaat .................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Umum Psikologis Pasien Kritis .............................................. 6


B. Analisa Jurnal ..................................................................................... 10
C. Hasil Analisa Jurnal berdasarkan Teori .......................................... 11
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 14
B. Saran .................................................................................................... 14

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasien yang dirawat diruang ICU (Intencive Care Unit) mengalami keadaan
gawat yang mengancam kehidupan. Untuk itu perawat diruang ICU cenderung
cepat dan cermat serta kegiatannya dilakukan secara terus menerus dalarn 24
jam. Perawatan diruang ICU sering menggunakan alat-alat canggih yang asing
bagi pasien maupun keluarga. Bagi pasien terminal yang menghadapi penyakit
kronis beranggapan bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa
semacam ini didasari oleh berbagai macam faktor, seperti ketidakpastian akan
pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit, kecemasan, dan kegelisahan tidak
akan berkumpul lagi dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Pada stadium terminal, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya
mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat
badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan
spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka
kebutuhan pasien pada stadium terminal suatu penyakit tidak hanya pemenuhan
atau pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap
kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan.
Oleh karena itu sebagai perawat dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman
tentang dampak psikologi pasien kritis sehingga diharapkan perawat mampu
melakukan peran perawat kritis secara holistic.

4
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami dampak psikologis pada pasien
kritis yang dirawat di ICU

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari makalah ini, adalah :


a. Mampu mengetahui dan memahami konsep umum psikologi pasien
kritis.
b. Mampu menganalisa jurnal tentang psikologi pasien kritis .
c. Mampu menganalisa hasil penelitian berdasarkan teori

C. Manfaat
Menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai keperawatan kritis,
terutama terkait dengan psikologi pasien kritis. Makalah ini semoga dapat
dijadikan sebagai sumber bagi pembaca dalam menyusun makalah atau tugas
yang berhubungan dengan keperawatan kritis.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Umum Psikologis Pasien Kritis


1. Pengertian Pasien Kritis
Pasien kritis menurut AACN (American Association of Critical
Nursing) didefinisikan sebagai pasien yang berisiko tinggi untuk masalah
kesehatan aktual ataupun potensial yang mengancam jiwa. Semakin kritis
sakit pasien, semakin besar kemungkinan untuk menjadi sangat rentan,
tidak stabil dan kompleks, membutuhkan terapi yang intensif dan asuhan
keperawatan yang teliti (Nurhadi, 2014)
Masalah psikologi yang dialami oleh pasien kritis adalah perasaan
tidak percaya akan kondisi sakit yang dialaminya saat ini. Pasien kritis
juga mengalami kesedihan dan ketakutan karena keadaan sakit, tidak bisa
beraktifitas secara normal. Selain itu pasien kritis juga mengalami depresi,
khawatir dan stress karena kondisi yang dialaminya saat ini. Seseorang
dalam menghadapi kematian akan melewati lima tahap yakni
penyangkalan, kemarahan, tawar menawar, depresi dan penerimaan (Ross,
2011).
Setelah seseorang diberitahukan tentang penyakitnya yang tidak dapat
disembuhkan dan bahwa proses penyakitnya semakin parah, pasien
langsung jatuh ke fase depresi. Fase ini dapat berlangsung lama atau cepat
tergantung dari faktor usia, pendidikan, agama, lingkungan sosial
budaya,faktor ekonomi dan sebagainya. Perubahan kondisi psikologis lain
diantaranya: pasien selalu merasa bingung, merasa tidak aman,
ketergantungan dan menjadi individu yang pasif. Perubahan kondisi
psikologis pada pasien tersebut perlu diperhatikan karena nantinya akan
mengancam identitas diri, menyebabkan perubahan peran diri, mengubah
citra tubuh dan mengganggu gaya hidup (Smeltzer & Bare, 2007)
2. Lima Tahapan Menjelang Kematian (Terminal)

6
Menurut E. Kuebler-Ross 1926-2004 mengamati bahwa
kematian/terminal adalah suatu proses. Dalam proses itu, pasien
cenderung mengalami lima tahap pergolakan emosional tertentu, yang
disingkat menjadi DABDA: Denial, Anger, Bargaining, Depression,
Acceptance. Perlu diingat bahwa kelima tahap itu bukanlah suatu proses
kronologis yang progresif kerna bisa terjadi kasus “overlapping” (berada
di dua tahap sekaligus) atau “progresi dan regresi” (maju dan mundur)
atau stagnasi (jalan di tempat). Namun bila dirawat dan dipersiapkan
dengan baik, pasien bisa mengarungi kelimanya hingga akhirnya
menghembuskan nafasnya dengan tenang (acceptance).
a. Tahap Pertama: Shock & Denial (Kaget & Penyangkalan)
Setiap orang tahu bahwa kematian adalah fakta yang pasti akan
menimpa dirinya di masa depan. Namun moment datangnya kematian
itu terasa misterius: tiada kepastian kapan ia datang. Akibatnya, orang
cenderung menganggap kematian sebagai “impossible possiblity:
possible for others, impossible for me.” Itu sebabnya reaksi spontan
pertama orang atas informasi tentang ancaman kematiannya adalah rasa
kaget, tak percaya dan penyangkalan: “No, not me, it can not be true! I
don’t believe it!” Pasien lalu berusaha untuk membuktikan kesalahan
informasi medis itu dengan mencari diagnosis alternatif atau hiburan &
dukungan dari orang lain atas pendapatnya pribadi itu. Secara
psikologis, penolakan itu berfungsi sebagai benteng emosional atau
“defence mechanism” agar pasien tidak langsung ambruk mentalnya
oleh tekanan kabar buruk atas nasibnya. Dengan kata lain, penolakan
itu memberi waktu & energi bagi pasien untuk terus berjuang
menyelamatkan hidupnya; sekurangnya, untuk tidak kehilangan
semangat hidupnya
b. Tahap Kedua: Anger (Marah)
Bila usaha mencari diagnosis alternatif dan dukungan itu gagal dan
kondisinya makin memburuk, pasien masuk dalam tahap emosional
yang kedua, yakni rasa marah, jengkel dan iri atas nasib baik kesehatan
orang lain. Pasien cenderung berkata (dalam hati): “Why me? It is not

7
fair! How can this happen to me? Who is to blame?” Dalam tahap ini,
“substitution mechanism” (mencari kambing hitam/kesalahan orang
lain) bekerja kuat dalam jiwa pasien. Artinya, sebetulnya pasien itu
marah dan berontak terhadap nasib malangnya sendiri, namun ia lalu
mengalihkan dan melampiaskan emosi negatif itu terhadap orang lain
yang berada di sekitarnya: kepada tim medis, keluarga, kenalan dan
bahkan kepada Tuhan. Ketika ditanya apakah pantas bila orang itu
marah-marah kepada Tuhan, meragukan keberadaan & kebaikanNya,
EKB menjawab: “I would help him to express his anger toward God
because God is certainly great enough to be able to accept it.” Bila
orang yang merawatnya bisa tetap bersikap tenang, penuh perhatian,
tidak terprovokasi untuk beradu argumentasi saling menyalahkan dan
balik bersikap negatif, pasien bisa meninggalkan sikap agresifnya ini
dan beralih ke tahap selanjutnya.
c. Tahap Ketiga: Bargaining (Barter/Tawar-Menawar)
Dalam tahap ketiga ini pasien mulai bisa mengerti dan menerima
fakta bahwa ia akan segera mati, namun ia masih berusaha untuk
menunda waktu atau memperpanjang usia hidupnya: ‘Psychologically,
the individual is saying, “I understand that I will die, but if I could just
have more time …”. Permohonan perpanjangan waktu itu umumnya
diajukan kepada Tuhan yang dipercayai sebagai penguasa hidup &
mati. Permohonan semacam itu biasanya didorong oleh rasa salah atas
pola hidup di masa lalu dan rasa sesal karena belum melaksanakan
rencana tertentu seperti belum merampungkan karya tulis atau gelar
akademis tertentu, belum ke tanah suci, belum sukses menyekolahkan
anak ke tingkat sarjana atau melihat cucu pertama, dll. Oleh karena itu,
permohonan perpanjangan usia itu biasanya dibarengi dengan
janji/sumpah tertentu: janji untuk memperbaiki diri (bertobat) dan
untuk berbuat lebih banyak amal kasih bagi sesama sebagai ungkapan
rasa syukur & trimakasih pada Yang Mahakuasa. Ringkasnya, pasien
berusaha melakukan tawar-menawar dengan Tuhan. Pola pikirnya
dipengaruhi “infantile mechanism” (pikiran kekanak-kanakan), yakni

8
do ut des (doing A for getting B): saya melakukan sesuatu yang terpujim
agar bisa mendapat hadiah/imbalan yang sesuai dengan kehendak saya
(NB: pola pikir dewasa lebih menekankan unsur do ketimbang des-nya)
d. Tahap Keempat: Depression (Sedih & Murung)
Bila usaha barter di atas gagal kerna kondisinya ternyata tidak
membaik, pasien bisa jatuh dalam depressi: suasana sedih dan murung
yang mencengkam: “I am so sad, why bother with anything? I’m going
to die, why go on? “ Pasien mulai bersikap pasif dan apatis: ia lebih
banyak diam, kurang kooperatif, menolak tamu atau bantuan medis,
kerap menangis meratapi nasibnya. EKB membedakan dua jenis
depressi, yakni reactive dan preparatory: “The Reactive depression is
directed to the past, preparatory depression is concerned with the
future.” Depressi reaktif adalah rasa salah dan sedih atas segala hal
yang sudah/dan atau belum dilakukan di masa lalu. Pasien seperti
dibebani oleh pelbagai persoalan yang belum selesai dari masa lalunya.
Depressi preparatif adalah antisipasi pasien akan saat ajalnya yang
makin mendekat: ia makin sadar bahwa ia harus meninggalkan segala
barang dan orang yang ia cintai. Rasa dan sikap apatis yang
diperlihatkanpasien adalah suatu “decathexis mechanism,” (melakukan
diskoneksi): “This mechanism allows the dying person to disconnect
oneself from things of love and affection.” Ringkasnya, pasien mulai
berduka dan berkabung atas resiko perpisahan yang akan segera
dialaminya.
e. Tahap Kelima: Acceptance (Penerimaan)
Pada tahap ini, pasien mulai bisa berdamai dengan fakta
kematiannya. Penerimaan ini bukanlah berarti menyambut kematian
sebagai kabar gembira melainkan sebagai fakta yang tak terpisahkan
dari hidup: pasien bisa bersikap realistik sesuai dengan realita hidup
yang memang mengandung maut, tanpa disertai rasa marah dan
depressi lagi. Ringkasnya, bila depressi preparatif di atas adalah suatu
proses perpisahan (letting go) dengan orang-orang tercinta di
sekitarnya, maka tahap penerimaan adalah proses perpisahan dengan

9
diri sendiri (letting go of oneself). Orang yang beriman bisa melengkapi
sikap penerimaan kematian ini dengan sikap pengharapan. Menurut
Gabriel Marcel, pengharapan itu bukanlah suatu sikap kognitif, artinya
tidak disertai dengan pengetahuan yang pasti tentang apa yang akan
terjadi. Harapan adalah perasaan bahwa masa depan itu bisa
mengandung kemungkinan-baik yang tidak terpikirkan oleh kita dan
tidak kita tentukan sendiri tapi oleh yang lain, khususnya oleh Tuhan.

B. Analisa Jurnal
Judul Jurnal : Pengalaman Psikologis Pasien Infark Miokard Akut selama
dirawat di Ruang Intensif

No. Author Tahun Sempel Metode Hasil Kesimpulan

1 Etika 2017 10 orang Metode penelitian Hasil Kesimpulan dari


Emaliya informan yang digunakan wawancara penelitian
wati, pasien adalah penelitian didapatkan dari pengalaman pasien
Titin infark deskriptif 10 orang kondisi terminal:
Sutini, miokard kualitatif dengan informan untuk infark miokard akut
Kusman akut yang pendekatan dimensi selama di rawat di
Ibrahim, memenuhi phenomenologi. psikologis Ruang Cardiac
Yanny kriteria Teknik pengalaman Intensif Care Unit
Trisyani, penelitian pengambilan perawatan yang (CICU) Rumah
Ayu informan dengan terungkap dari : Sakit Hasan Sadikin
Prawesti cara purposive. Bandung dilihat dari
1. 10 responden 4 dimensi yaitu
merasa tidak dimens fisik,
berdaya dimensi psikologis,
2. 9 responden dimensi sosial dan
mengalami dimensi spiritual.
ketidakpastia Untuk dimensi fisik
n didapatkan tema
menghadapi penelitian nyeri
masa depan dada dan sesak
3. 8 responden nafas. Untuk
menyatakan dimensi psikologis
ketakutan didapatkan tema
akan penelitian tidak
kematian berdaya dan
ketidakpastian
menghadapi masa
depan. Sedangkan

10
untuk dimensi sosial
didapatkan tema
penelitian yaitu
tidak dapat ditemani
keluarga, pesan
kelangsungan hidup
keluarga, dan biaya
besar untuk berobat.
Sedangkan untuk
dimensi spiritual
didapatkan tema
penelitian ketakutan
akan kematian dan
kesulitan dalam
melaksanakan
ibadah (sholat)

C. Hasil analisa dari jurnal (perbandingan konsep/teori dengan hasil


penelitian
1. Hasil penelitian : 10 responden pasien infark miokard akut merasa tidak
berdaya selama perawatan di ruang CICU/HCCU
Konsep/ teori : Setelah seseorang diberitahukan tentang penyakitnya yang
tidak dapat disembuhkan dan bahwa proses penyakitnya semakin parah,
pasien langsung jatuh ke fase depresi. Fase ini dapat berlangsung lama atau
cepat tergantung dari faktor usia, pendidikan, agama, lingkungan sosial
budaya,faktor ekonomi dan sebagainya. Perubahan kondisi psikologis lain
diantaranya: pasien selalu merasa bingung, merasa tidak aman,
ketergantungan dan menjadi individu yang pasif. Perubahan kondisi
psikologis pada pasien tersebut perlu diperhatikan karena nantinya akan
mengancam identitas diri, menyebabkan perubahan peran diri, mengubah
citra tubuh dan mengganggu gaya hidup (Smeltzer & Bare, 2007)
Analisa : Melihat dari hasil wawancara informan mengungkapkan rasa
tidak berdaya, ketidakpastian pada masa depan, hal ini mencirikan bahwa
mereka di fase depresi. Di sini seluruh pasien ketergantungan pada orang
lain, baik itu keluarganya maupun petugas kesehatan. Kemudian mereka
akan mengalami mekanisme berupa upaya untuk mengatasi keadaan
tersebut. Pasien hendak membela diri terhadap informasi yang diterimanya,
bersikap mengingkarinya yang segera diikuti dengan sikap menutup diri
terhadap semua komunikasi. Pasien tidak mau berhubungan lagi dengan

11
dokter maupun perawat, menutup dirinya terhadap keluarga dan orang-
orang lain di sekelilingnya. Sikap tadi dilanjutkan dengan menyatakan
kemarahan terhadap orang-orang yang ingin menemuinya. Akhirnya pasien
masuk ke fase tawar menawar, pasien menunjukkan keinginan untuk dapat
sembuh kembali dan melanjutkan perannya dalam keluarga dan masyarakat.
2. Hasil penelitian : 9 responden pasien infark miokard akut mengalami
ketidakpastian menghadapi masa depan selama perawatan di ruang
CICU/HCCU
Konsep/ teori : Setelah seseorang diberitahukan tentang penyakitnya yang
tidak dapat disembuhkan dan bahwa proses penyakitnya semakin parah,
pasien langsung jatuh ke fase depresi. Fase ini dapat berlangsung lama atau
cepat tergantung dari faktor usia, pendidikan, agama, lingkungan sosial
budaya,faktor ekonomi dan sebagainya. Perubahan kondisi psikologis lain
diantaranya: pasien selalu merasa bingung, merasa tidak aman,
ketergantungan dan menjadi individu yang pasif. Perubahan kondisi
psikologis pada pasien tersebut perlu diperhatikan karena nantinya akan
mengancam identitas diri, menyebabkan perubahan peran diri, mengubah
citra tubuh dan mengganggu gaya hidup (Smeltzer & Bare, 2007)
Analisa : Setelah pasien mengalami fase tawar menawar ternyata keadaan
penyakit yang diderita mendesaknya terus untuk memahami keparahan
penyakitnya. Hal ini mengakibatkan akhirnya pasien masuk kembali ke fase
depresi. Pasien menjadi murung, cemas, dan ketakutan, tetapi pada akhirnya
dapat menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan
kembali. Pasien yang menerima keadaan penyakitnya, masuk ke fase
acceptance yang akan diikuti oleh perilaku pasif atau aktif mempersiapkan
diri menghadapi apa yang akan dialami. Di samping itu ada pasien yang
telah memasuki fase acceptance tetapi masih tetap berusaha dan
mengharapkan kesembuhan, upaya ini dinamakan “perjuangan untuk
hidup”. Tetapi pada akhirnya pasien memasuki proses yang tidak dapat
dihindarinya yaitu menjelang akhir hayat. Kelima fase ini selalu disertai
dengan adanya harapan tentang kesembuhan betapapun kecilnya. Pasien
melakukan segala sesuatu untuk memperpanjang usianya dan
menganjurkan keluarganya untuk mencari pengobatan baru. Dalam situasi
ini orang- orang yang dekat dengan pasien seperti keluarga, rohaniawan,
perawat dan dokter dapat dengan sangat efektif mempengaruhi pasien.
Semua fase tadi dapat berlangsung lama atau cepat tergantung dari faktor
usia, pendidikan, agama, lingkungan sosial budaya, faktor ekonomi dan
sebagainya.

12
3. Hasil penelitian : 8 responden pasien infark miokard akut menyatakan
ketakutan akan kematian selama perawatan di ruang CICU/HCCU
Konsep/teori : Seseorang dalam menghadapi kematian akan melewati lima
tahap yakni penyangkalan, kemarahan, tawar menawar, depresi dan
penerimaan (Ross, 2011). Kondisi- kondisi tersebut jika tidak dipersiapkan
dengan baik maka dalam mencapai tahap penerimaan (acceptance) akan
sulit dan nantinya tujuan untuk menuju kematian yang bermartabat sulit
dicapai (Monks, 2009). Death anxiety atau kecemasan kematian merupakan
suatu kondisi emosional yang dirasakan ketika suatu hal yang tidak
menyenangkan dialami oleh seseorang ketika memikirkan kematian
(Templer 1970, Govender 2008). Persepsi yang berlebihan tentang
kematian akan meningkatkan kecemasan kematian itu sendiri dan secara
tidak langsung membuat diri individu tersebut menjadi tidak siap dalam
menghadapi kematian. Level kecemasan kematian tergantung pada
beberapa hal, diantaranya dari individu tersebut, dari segi kehidupan selama
proses penyakitnya berlangsung, dari segi ketika prognosis penyakitnya
tidak diketahui, dari ada atau tidaknya hambatan dalam masa
penyembuhan, dari durasi penyakitnya serta dari pemikiran akan kematian
dan kehidupan (Gokler, Dogan, & Unsal, 2014).,
Analisa : Ketakutan akan kematian pada pasien akut miokard infark
mengalami krisis yang berhubungan dengan perubahan patofisiologi
dimana rasa nyeri yang hebat dan disertai sesak nafas membuat pasien
berpikir bahwa sekaranglah akhir kehidupannya, selain itu pengobatan
yang diperlukan dan atau situasi yang mempengaruhi seseorang membuat
pasien memiliki pikiran negatif. Selain perubahan patofisiologi,
penanganan pasien infark miokard memerlukan penanganan cepat dan tepat
karena terlambat saja penanganan yang diberikan dapat berakibat fatal
situasi ini sangat mempengaruhi pikiran pasien

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pasien kritis adalah pasien yang mengalami kegagalan pada satu organ
atau lebih, dan beresiko tinggi mengalami masalah kesehatan aktual,
membutuhkan terapi yang intensive dan memerlukan pemantauan dengan
terpasang alat-alat penunjang hidup. Masalah psikologi yang dialami oleh
pasien kritis adalah perasaan tidak percaya akan kondisi sakit yang dialaminya
saat ini. Pasien kritis juga mengalami kesedihan dan ketakutan karena keadaan
sakit, tidak bisa beraktifitas secara normal. Selain itu pasien kritis juga
mengalami depresi, khawatir dan stress karena kondisi yang dialaminya saat
ini. Seseorang dalam menghadapi kematian akan melewati lima tahap yakni
penyangkalan, kemarahan, tawar menawar, depresi dan penerimaan. Kelima
fase ini selalu disertai dengan adanya harapan tentang kesembuhan betapapun
kecilnya. Pasien melakukan segala sesuatu untuk memperpanjang usianya dan
menganjurkan keluarganya untuk mencari pengobatan baru. Dalam situasi ini
orang- orang yang dekat dengan pasien seperti keluarga, rohaniawan, perawat
dan dokter dapat dengan sangat efektif mempengaruhi pasien. Semua fase tadi
dapat berlangsung lama atau cepat tergantung dari faktor usia, pendidikan,
agama, lingkungan sosial budaya, faktor ekonomi dan sebagainya.

B. Saran
Penulis mengharapkan makalah ini dapat menjadi bahan informasi dalam
meningkatkan wawasan pengetahuan mengenai keperawatan kritis dalam
melakukan praktek keperawatan di Rumah Sakit dan pembelajaran di
akademik terkait dengan psikologi pasien kritis.

14
DAFTAR PUSTAKA

Emaliyawati, E dkk. 2017. Pengalaman Psikologis Pasien Infark Miokard Akut


Selama dirawat di Ruang Intensif. Jurnal Pendidikan Keperawatan
Indonesia. Vol 3 (1): 32-38. E-ISSN 2477-3743 P-ISSN 2541-0024
Nurhadi. 2014. Gambaran Dukungan Perawat pada Keluarga Pasien Kritis di
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi. Program Studi S1 Ilmu Keperawatan,
Universitas Diponegoro
Kubler-Ross, E. 2004. Kematian sebagai Kehidupan: on Deadt and Dying. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama

15

Anda mungkin juga menyukai