Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

PENGKAJIAN ADL PADA LANSIA DENGAN BARTELS INDEKS

Disusun Guna Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan
Gerontik

Disusun oleh :

Disusun oleh:

1. Wahyu Rizky A (A11601393) 8. Yusuf Ahmadi (A11601400)


2. Wening L Y (A11601394) 9. Zain Zamron Z (A11601401)
3. Wibi Krisbianto (A11601395) 10. Zakiah Al M (A11601402)
4. Yeriani (A11601396) 11. Zidni Zidan (A11601403)
5. Yetty Bayuana (A11601397) 12. Zulfa Nur G S (A11601404)
6. Yuliawati (A11601398) 13. Dewi Ayu R (A11601405)
7. Yunita Ekawati (A11601399) 14. Firda Nadya A (A11601406)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH


GOMBONG
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah mata kuliah Keperawatan
Gerontik tentang “Pengkajian ADL pada Lansia dengan Bartels Indeks”
sesuai dengan waktu yang telah di tentukan.

Pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas untuk memenuhi
tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik program studi S1 Keperawatan, kami
mengucapkan terimah kasih kepada:

1. Bapak Marsito M. Kep., Sp. Kom selaku dosen koordinator mata kuliah
Keperawatan Gerontik.
2. Ibu Rina Saraswati M. Kep selaku dosen pembimbing mata kuliah
Keperawatan Gerontik.
3. Semua pihak yang ikut serta berpartipasi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis berharap dengan disusunnya makalah ini dapat sedikit banyak
menambah pengetahuan para pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi penyempurnaan makalah
ini.

Gombong, Maret 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER MAKALAH ......................................................................................... 1


DAFTAR ISI ...................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 4
B. Tujuan ..................................................................................................... 6
C. Manfaat .................................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep ADL pada Lansia ...................................................................... 7
B. Pengertian Pengkajian ADL pada Lansia dengan Bartels Indeks .......... 10
C. Tujuan Pengkajian ADL pada Lansia dengan Bartels Indeks ................ 14
D. Cara Penggunaan serta Interpretasi dari Format Pengkajian ADL pada
Bartels Indeks ......................................................................................... 14
E. Format Pengkajian pada Bartels Indeks ................................................. 16
F. ROM pada Lansia ................................................................................... 17
BAB III PEMBAHASAN .................................................................................. 20
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 24
B. Saran ...................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 25

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Activity of Daily Living adalah pengukuran terhadap aktivitas
yang dilakukan rutin oleh manusia setiap hari. Aktivitas tersebut antara
lain: memasak, berbelanja, merawat/mengurus rumah, mencuci, mengatur
keuangan, minum obat dan memanfaatkan sarana transportasi. Skala
ADL terdiri atas skala ADL dasar atau Basic Activity of Daily Living
(BADLs), Instrumental or Intermediate Activity of Daily Living
(IADLs), dan Advanced Activity of Daily Living (AADLs). Skala ADL
dasar mengkaji kemampuan dasar seseorang untuk merawat dirinya
sendiri (self care), dan hanya mewakili rentang (range) yang sempit dari
kinerja (performance). Agung (2006)
Diseluruh dunia ± 500 juta lanjut usia (lansia) dengan umur rata-
rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2
milyar. Sedangkan menurut Badan kesehatan dunia WHO bahwa
penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2020 mendatang sudah
mencapai angka 11,34% atau tercatat 28,8 juta orang, balitanya tinggal
6,9% yang menyebabkan jumlah penduduk lansia terbesar di dunia
(Badan Pusat Statistik (BPS)).
Bertambahnya lansia di Indonesia sebagai dampak keberhasilan
pembangunan, menyebabkan meningkatnya permasalahan pada kelompok
lansia yang perjalanan hidupnya secara alami akan mengalami masa tua
dengan segala keterbatasannya terutama dalam masalah kesehatan. Hal
tersebut diperkuat lagi dengan kenyataan, bahwa kelompok lansia lebih
banyak menderita penyakit yang menyebabkan ketidakmampuan
dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Keadaan tersebut masih
ditambah lagi bahwa lansia biasanya menderita berbagai macam
gangguan fisiologi yang bersifat kronik, juga secara biologik, psikis,
sosial ekonomi, akan mengalami kemunduran (Brunner & Suddart, 2001).

4
Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek
kehidupan termasuk kesehatannya. Oleh karena itu, kesehatan lansia perlu
mendapat perhatian khusus dengan tetap memelihara dan meningkatkan
agar selama mungkin bisa hidup secara produktif sesuai kemampuannya.
Pada lansia pekerjaan yang memerlukan tenaga sudah tidak cocok lagi,
lansia harus beralih pada pekerjaan yang lebih banyak menggunakan otak
dari pada otot, kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari (Activity
Daily Living/ ADL) juga sudah mengalami penurunan.
Untuk memenuhi kebutuhan lansia diperlukan pengetahuan atau
kognitif dan sikap yang dapat mempengaruhi perilaku lansia dalam
kemandirian pemenuhan kebutuhan ADL. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang, semakin tinggi pengetahuan seseorang semakin baik
kemampuannya terutama kemampuannya dalam pemenuhan kebutuhan
ADL. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek sehingga orang bisa
menerima, merespon, menghargai, bertanggung jawab dalam memenuhi
kebutuhan ADL. Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk
terwujudnya perilaku perlu faktor lain antara yaitu fasilitas atau sarana
dan prasarana. Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku itu terbentuk di
dalam diri se eorang dari dua faktor utama yakni faktor dari luar diri
seseorang (faktor eksternal) dan faktor dari dalam diri seseorang yang
bersangkutan (faktor internal). Oleh karena itu perilaku manusia sangat
bersifat kompleks yang saling mempengaruhi dan menghasilkan bentuk
perilaku pemenuhan kebutuhan ADL pada lansia. Setiap insan manusia
merupakan makhluk hidup yang unik yang tidak bisa sama atau ditiru satu
sama lain, akan tetapi mempunyai satu persamaan pada berbagai
kebutuhan yang berdasarkan pada hirarki Maslow.
Pada saat ini lansia kurang sekali mendapatkan perhatian serius
ditengah keluarga dan masyarakat terutama dalam hal pemenuhan
kebutuhan aktifitas sehari-hari/ ADL. Hal ini disebabkan karena lansia

5
mempunyai keterbatasan waktu, dana, tenaga dan kemampuan untuk
merawat diri. sedangkan keluarga tidak mampu untuk membantu lansia.
Maka rumah jompo atau panti sosial dapat menjadi pilihan mereka.
Panti sosial atau panti werdha adalah suatu institusi hunian
bersama dari para lanjut usia yang secara fisik dan kesehatan masih
mandiri dimana kebutuhan harian dari para penghuni biasanya disediakan
oleh pengurus panti (Darmodjo & Martono, 1999). Sedangkan menurut
Jhon (2008), panti werdha adalah tempat dimana berkumpulnya orang –
orang lansia yang baik secara sukarela ataupun diserahkan oleh pihak
keluarga untuk diurus segala keperluannya. Tempat ini ada yang dikelola
oleh pemerintah dan ada yang dikelola oleh swasta. Dirumah jompo para
lansia akan menemukan banyak teman sehingga diantara mereka saling
membantu, saling memberikan dukungan dan juga saling memberikan
perhatian khususnya dalam pemenuhan kebutuhan ADL.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep ADL pada lansia.
2. Untuk mengetahui pengertian pengkajian ADL pada lansia dengan
Bartels Indeks.
3. Untuk mengetahui tujuan pengkajian ADL pada lansia dengan Bartels
Indeks.
4. Untuk mengetahui cara penggunaan serta interpretasi dari format
pengkajian ADL pada Bartels Indeks.
5. Untuk mengetahui format pengkajian ADL pada Bartels Indeks
6. Untuk mengetahui ROM pada lansia

C. Manfaat
Mampu melakukan pengkajian ADL pada lansia dengan Bartels Indeks

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep ADL pada Lansia


1. Pengertian ADL

ADL atau Activity Daily Living adalah aktivitas perawatan diri


yang harus pasien lakukan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan dan
tuntutan hidup sehari-hari. Brunner & Suddarth (2002)

ADL adalah aktivitas yang biasanya dilakukan dalam sepanjang


hari normal; aktivitas tersebut mencakup, ambulasi, makan, berpakaian,
mandi, menyikat gigi dan berhias dengan tujuan untuk
memenuhi/berhubungan dengan perannya sebagai pribadi dalam keluarga
dan masyarakat. Kondisi yang mengakibatkan kebutuhan untuk bantuan
dalam ADL dapat bersifat akut, kronis, temporer, permanen atau
rehabilitative (Potter dan Perry, 2005).

2. Macam-macam ADL
Menurut Sugiarto (2005) ada beberapa macam ADL, yaitu :
a) ADL dasar, sering disebut ADL saja, yaitu keterampilan dasar yang
harus dimiliki seseorang untuk merawat dirinya meliputi berpakaian,
makan & minum, toileting, mandi, berhias dan mobilitas. Ada juga
yang memasukkan kontinensi buang air besar dan buang air kecil
dalam kategori ADL dasar ini.
b) ADL instrumental, yaitu ADL yang berhubungan dengan penggunaan
alat atau benda penunjang kehidupan sehari-hari seperti menyiapkan
makanan, menggunakan telefon, menulis, mengetik, mengelola uang
kertas.
c) ADL vokasional, yaitu ADL yang berhubungan dengan pekerjaan atau
kegiatan sekolah.
d) ADL non vokasional, yaitu ADL yang bersifat rekreasional, hobi, dan
mengisi waktu luang.

7
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemenuhan ADL
Faktor–faktor yang Mempengaruhi kemampuan melakukan Activity of
Daily Living (ADL) Menurut Hardywinoto (2007), yaitu:
a) Umur dan status perkembangan
Umur dan status perkembangan seorang klien menunjukkan tanda
kemauan dan kemampuan, ataupun bagaimana klien bereaksi terhadap
ketidakmampuan melaksanakan activity of daily living. Saat
perkembangan dari bayi sampai dewasa, seseorang secara perlahan–
lahan berubah dari tergantung menjadi mandiri dalammelakukan
activity of daily living.
b) Kesehatan fisiologis
Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan
partisipasi dalam activity of daily living, contoh sistem nervous
mengumpulkan, menghantarkan dan mengolah informasi dari
lingkungan. Sistem muskuloskeletal mengkoordinasikan.dengan
sistem nervous sehingga dapat merespon sensori yang masuk dengan
cara melakukan gerakan. Gangguan pada sistem ini misalnya karena
penyakit, atau trauma injuri dapat mengganggu pemenuhan activity of
daily living secara mandiri (Hardywinoto,
2007).
c) Fungsi Kognitif
Tingkat kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam
melakukan activity of daily living. Fungsi kognitif menunjukkan
proses menerima, mengorganisasikan dan menginterpretasikan sensor
stimulus untuk berpikir dan menyelesaikan masalah. Proses mental
memberikan kontribusi pada fungsi kognitif dapat mengganggu dalam
berpikir logis dan menghambat kemandirian dalam melaksanakan
activity of daily living (Hardywinoto, 2007).
d) Fungsi Psikososial
Fungsi psikologi menunjukkan kemampuan seseorang untuk
mengingat sesuatu hal yang lalu dan menampilkan informasi pada
suatu cara yang realistik. Proses ini meliputi interaksi yang kompleks

8
antara perilaku intrapersonal dan interpersonal. Gangguan pada
intrapersonal contohnya akibat gangguan konsep diri atau
ketidakstabilan emosi dapat mengganggu dalam tanggung jawab
keluarga dan pekerjaan. Gangguan interpersonal seperti masalah
komunikasi, gangguan interaksi sosial atau disfungsi dalam
penampilan peran juga dapat mempengaruhi dalam pemenuhan
activity of daily living (Hardywinoto, 2007).
e) Tingkat stress
Stress merupakan respon fisik nonspesifik terhadap berbagai macam
kebutuhan. Faktor yang dapat menyebabkan stress (stressor), dapat
timbul dari tubuh atau lingkungan atau dapat mengganggu
keseimbangan tubuh. Stressor tersebut dapat berupa fisiologis seperti
injuri atau psikologi seperti kehilangan.
f) Ritme biologi
Ritme atau irama biologi membantu makhluk hidup mengatur
lingkungan fisik disekitarnya dan membantu homeostasis internal
(keseimbangan dalam tubuh dan lingkungan). Salah satu irama biologi
yaitu irama sirkardian, berjalan pada siklus 24 jam. Perbedaaan irama
sirkardian membantu pengaturan aktivitas meliputi tidur, temperatur
tubuh, dan hormon. Beberapa faktor yang ikut berperan pada irama
sirkardian diantaranya faktor lingkungan
seperti hari terang dan gelap, seperti cuaca yang mempengaruhi
activity of daily living.
g) Status mental
Status mental menunjukkan keadaan intelektual seseorang. Keadaan
status mental akan memberi implikasi pada pemenuhan kebutuhan
dasar individu. Seperti yang diungkapkan oleh Cahya yang dikutip
dari Baltes, salah satu yang dapat mempengaruhi ketidakmandirian
individu dalam memenuhi kebutuhannya adalah keterbatasan status
mental. Seperti halnya lansia yang memorinya mulai menurun atau
mengalami gangguan, lansia yang mengalami apraksia tentunya akan

9
mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan–kebutuhan
dasarnya (Hardywinoto, 2007).

B. Pengertian Pengkajian ADL pada Lansia dengan Bartels Indeks


Pengukuran kemandirian dilakukan pada orang pascastroke
menggunakan form Barthel index. Barthel index merupakan suatu instrumen
pengkajian yang berfungsi untuk mengukur kemandirian fungsional dalam
hal perawatan diri dan mobilitas. Barthel index juga digunakan sebagai
kriteria dalam menilai kemampuan fungsional bagi orang yang mengalami
gangguan keseimbangan. Pada barthel index terdapat 10 indikator, yaitu
makan, mandi, perawatan diri, berpakaian, buang air kecil, buang air besar,
penggunaan toilet, transfer, mobilitas, dan naik turun tangga (Padila, 2013).
Indikator pertama pada pengukuran kemandirian, adalah makan.
Orang pascastroke yang mengalami kelumpuhan total, pasti akan memerlukan
orang lain untuk membantunya makan. Salah satu anggota gerak yang tidak
dapat digerakkan atau lumpuh sebagian, masih dapat menggunakan
tangannya yang normal untuk makan. Membiarkan orang pascastroke makan
sendiri merupakan salah satu bentuk rehabilitasi fi sik yang sangat bermanfaat
untuk membantu orang pascastroke untuk mandiri. Apabila orang pascastroke
memerlukan bantuan untuk makan, maka orang yang menyuapi harus
bersabar, dikarenakan kemampuan untuk mengunyah dan menelan makanan
mengalami gangguan atau disfagia. Orang pascastroke lebih mudah
tersinggung apabila orang yang menyuapi tidak sabar menghadapinya. Fakta
di lapangan, sebagian besar responden mandiri dalam hal makan, meskipun
harus makan dengan tangan kiri, karena tangan kanannya lumpuh.
Mandi adalah indikator kedua dalam barthel index. Adanya
keterbatasan fi sik bukanlah menjadi faktor penghambat untuk tidak mandi
secara rutin. Orang pascastroke harus tetap mandi secara rutin meskipun
harus dibantu oleh orang lain. Kesegaran akan memberikan energi yang
positif kepada orang pascastroke, misalnya akan merasa bugar dan pikiran
menjadi jernih (Lingga, 2013).

10
Indikator ketiga adalah perawatan diri. Perawatan diri yang dimaksud
di sini adalah menggosok gigi, mencuci muka, menyisir rambut dan lainnya.
Perawatan diri ini dapat dilakukan sendiri tanpa perlu bantuan orang lain,
apabila orang pascastroke tidak mengalami kelumpuhan total. Perawatan diri
dapat dilakukan dengan duduk atau berdiri, apabila orang pascastroke lumpuh
total, maka harus disandarkan oleh orang yang membantu. Orang pascastroke
yang mengalami gangguan memori akan lupa cara untuk menggosok gigi,
maka perlu diajarkan cara menggosok gigi yang benar (Lingga, 2013). Hasil
wawancara pada penelitian ini menunjukkan orang pascastroke dapat
menggosok gigi, mencuci muka dan menyisir rambut dengan mandiri,
meskipun untuk menuju wastafel atau tempat untuk merawat diri masih
dibantu oleh orang lain.
Indikator selanjutnya adalah berpakaian. Selama tangan tidak
mengalami kelumpuhan total, orang dengan pascastroke seharusnya dapat
berpakaian sendiri. Berpakaian dengan bantuan orang lain ditujukan untuk
orang yang lumpuh total, tangan terasa nyeri dan tak nyaman saat digerakkan.
Orang dengan pascastroke disarankan untuk menggunakan pakaian yang
longgar dan usahakan kemeja. Ini ditujukan agar pasien berlatih
menggunakan jarinya terutama saat memasangkan kancing (Lingga, 2013).
Indikator kelima pada barthel index adalah mengontrol buang air
besar. Orang pascastroke harus dibiasakan buang air besar di toilet. Hal ini
mengajarkan kepada orang pascastroke untuk hidup secara normal, namun
pada kondisi darurat, orang pascastroke terpaksa buang air besar di ranjang.
Orang pascastroke yang usianya sudah sangat tua terkadang terjadi
inkontinensia atau tiba-tiba buang air besar namun tidak terasa.
Indikator antara lain mengenai penggunaan toilet. Penggunaan toilet
ini berkaitan dengan kegiatan saat buang air besar dan kecil misalnya
memakai dan melepas celana dan menyiram WC. Orang pascastroke yang
mengalami kelumpuhan satu sisi akan dapat secara mandiri melakukannya.
Hal serupa juga terjadi pada penelitian ini, bahwa sebagian besar responden
mandiri dalam penggunaan toilet, meskipun untuk berjalan terkadang masih
butuh bantuan minimal.

11
Transfer dari tempat tidur ke kursi dan kembali ke tempat tidur adalah
indikator kedepalan pada pengukuran kemandirian. Orang pascastroke yang
mengalami kelumpuhan total akan memerlukan bantuan beberapa orang
untuk berpindah dari tempat tidur ke kursi, begitu juga sebaliknya. Bertumpu
pada tangan yang sehat menjadi kekuatan orang pascastroke dengan
kelumpuhan satu sisi untuk transfer, namun, seharusnya tangan yang
mengalami kelumpuhan juga harus dilatih dengan cara menekan kasur pada
saat orang tersebut duduk.
Indikator terkait mobilitas, mobilitas yang dimaksud dalam hal ini
adalah berjalan di permukaan datar. Berjalan diatas permukaan datar tidak
harus berjalan menggunakan kaki, tapi juga apabila tidak dapat berjalan dapat
mengayuh kursi roda sendiri. Barthel index terdapat empat kriteria terkait
indikator mobilitas, yaitu tidak dapat berjalan dan mengayuh kursi roda
sendiri, memerlukan kursi roda, berjalan dengan bantuan, serta mandiri.
Indikator yang terakhir adalah naik dan turun tangga. Naik dan turun
tangga, tidak akan dapat dilakukan oleh orang yang mengalami kelumpuhan
total. Hal yang dilakukan oleh orang pascastroke yang menderita kelumpuhan
total adalah berpegangan pada orang yang ada di sekitar. Tidak hanya itu,
tangan yang sehat biasanya digunakan untuk berpegangan pada pegangan
tangga. Tangan ini dijadikan tumpuan bagi orang tersebut. pada penelitian ini,
diketahui bahwa paling banyak responden mandiri dalam hal ini, meskipun
bertumpu pada walker maupun tangannya yang sehat.
Barthel Index (BI)
Diperkenalkan oleh Mahoney dan Barthel tahun 1965, digunakan
untuk menilai status fungsional dan kemampuan pergerakan otot/ekstremitas
pada pasien dan sering dipakai untuk menilai fungsi aktivitas keseharian
pasien (ADL). Barthel Index memiliki sensitifitas uji 77% dan spesifisitas
70% bermanfaat juga untuk mengevaluasi efektifitas kemajuan terapi dan
prognosis serta keberhasilan rehabilitasi. Nilai penilaian menurut Wade dan
Coffin (1988) memuat 10 penilaian antara 0 (total ketergantungan) sampai 20
(total independen), yaitu meliputi:

12
Skala Penilaian Barthel Index

No Item penilaian Nilai


1 Kontrol BAB 0 = Ikontinensia
1 = Bantuan minimal
2 = Teratur, mandiri
2 Kontrol BAK 0 = Ikontinensia, kateter
1 = Bantuan minimal
2 = Teratur, mandiri
3 Kebersihan mandiri 0 = Butuh bantuan
1 = Mandiri
4 Ke kamar mandi 0 = Dibantu sepenuhnya
1 = Bantuan minimal
2 = Mandiri
5 Makan 0 = Tidak mampu
1 = Bantuan minimal
2 = Mandiri
6 Pindah posisi 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan 1 atau 2 orang
2 = Bantuan Minimal
3 = Mandiri
7 Mobilisasi 0 = Tidak bisa
1 = Mandiri dengan kursi roda
2 = Berjalan bantuan 1 orang
3 = Mandiri dengan bantuan alat
8 Berpakaian 0 = Dibantu sepenuhnya
1 = Butuh Bantuan minimal
2 = Mandiri
9 Naik tangga 0 = Tidak bias
1 = Butuh Bantuan
2 = Mandiri naik dan turun
10 Mandi 0 = Dibantu

13
1 = Mandiri
Total nilai

C. Tujuan Pengkajian ADL pada Lansia dengan Bartels Indeks


Tujuan Pengkajian ADL pada Lansia dengan Bartels Indeks :
1. Untuk menentukan kemampuan klien dalam memelihara diri sendiri,
melengkapi data dasar untuk membuat rencana keperawatan, serta
memberi waktu pada klien untuk berkomunikasi
2. Untuk mengukur tingkat kemandirian Lansia dalam melakukan ADL
meliputi makan, pindah dari kursi roda ke tempat tidur dan kembali,
masuk dan keluar toilet, kebersihan diri, mandi sendiri, berjalan diatas
permukaan yang datar, naik dan turun tangga, berpakaian, mengontrol
BAB dan mengontrol BAK.
3. Untuk dijadikan sebagai kriteria dalam menilai kemampuan fungsional
bagi pasien-pasien yang mengalami gangguan keseimbangan, terutama
pada pasien pasca stroke
4. Untuk menentukan dan mendapatkan hasil data yang andal dan sahih
dalam mengukur status fungsional dasar pada Lansia (Agung, 2010)

D. Cara Penggunaan serta Interpretasi dari Format Pengkajian ADL pada


Bartels Indeks
Kemandirian bagi lansia juga dapat dilihat dari kualitas hidup.
Kualitas hidup lansia dapat dinilai dari kemampuan melakukan activity of
daily living. Menurut Setiati (2000), Activity of Daily Living (ADL) ada 2
yaitu, ADL standar dan ADL instrumental. ADL standar meliputi
kemampuan merawat diri seperti makan, berpakaian, buang air besar/kecil,
dan mandi. Sedangkan ADL instrumental meliputi aktivitas yang kompleks
seperti memasak, mencuci, menggunakan telepon, dan menggunakan uang.
Agung (2006)
Activity of Daily Living adalah pengukuran terhadap aktivitas yang
dilakukan rutin oleh manusia setiap hari. Aktivitas tersebut antara lain:
memasak, berbelanja, merawat/mengurus rumah, mencuci, mengatur

14
keuangan, minum obat dan memanfaatkan sarana transportasi. Skala ADL
terdiri atas skala ADL dasar atau Basic Activity of Daily Living (BADLs)
Instrumental or Intermediate Activity of Daily Living (IADLs), dan
Advanced Activity of Daily Living (AADLs). Skala ADL dasar mengkaji
kemampuan dasar seseorang untuk merawat dirinya sendiri (self care), dan
hanya mewakili rentang (range) yang sempit dari kinerja (performance).
Skala ADL dasar ini sangat bermanfaat dalam menggambarkan status
fungsional dasar dan menentukan target yang ingin dicapai untuk pasien–
pasien dengan derajat gangguan fungsional yang tinggi, terutama pada pusat–
pusat rehabilitasi. Terdapat sejumlah alat atau instrument ukur yang telah
teruji validitasnya untuk mengukur ADL dasar salah satunya adalah indeks
ADL Katz. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi defisit status fungsional
dasar dan mencoba memperoleh cara mengatasi dan memperbaiki status
fungsional dasar tersebut. Skor ADL dasar dari setiap pasien lansia harus
diikuti dan dipantau secara berkala/periodik untuk melihat apakah terjadi
perburukan atau perbaikan.
Pengukuran aktiviti dayly living pada lansia dapat diukur dengan
menggunakan instrumen Barthel Indeks adalah sebagai berikut :
Barthel indeks merupakan suatu instrumen pengkajian yang berfungsi
mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas
serta dapat juga digunakan sebagai kriteria dalam menilai kemampuan
fungsional bagi pasien- pasien yang megalami gangguan keseimbangan
menggunakan 10 indikator, yaitu: makan, mandi, perawatan diri, berpakaian,
buang air kecil, buang air besar, penggunaan toilet, berpindah tidur atau
duduk mobilitas dan naik turun tangga.

15
E. Format Pengkajian ADL pada Bartels Indeks

No Jenis ADL Kategori Skor

1 Makan (Feeding) 0 : Tidak dapat


1: perlu bantuan untuk memotong dll
2 : Mandiri

2 Mandi (Bathing) 0 : Tergantung orang lain


1 : Mandiri

3 Perawatan diri 0 : Perlu bantuan


(Groming) 1 : mandiri

4 Berpakaian 0: Tergantung
(Dressing) 1 : Sebagian dibantu/ peru dibantu
2 : Mandiri

5 Buang air kecil 0: Tidak dapat mengontrol (perlu di


(Bowel) kateter)
1: BAK kadang- kadang
2: Terkontrol penuh (Lebih dari 7 hari)

6 Buang air besar 0: Inkontinensia (perlu enema)


(Bladder) 1 : Kadang inkontinensia (Sesekali
seminggu)
2 : Terkontrol penuh

7 Penggunaan toilet 0: Tergantung bantuan orang lain


1: Perlu bantuan tetapi dapat melakukan
sesuatu sendiri
2 : Mandiri

16
8 Berpindah (Tidur 0 : Tidak dapat
atau duduk) 1 : Butuh bantuan
2: Dapat duduk dengan sedikit
3: Mandiri

9 Mobilitas 0 : Tidak bergerak atau tidak mampu


1 : Mandiri dengan kursi roda
2 : Berjalan dengan bantuan
3 : Mandiri

10 Naik turun tangga 0 : Tidak mampu


1: perlu bantuan
2: mandiri

F. ROM pada Lansia


Range Of Motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk
mempertahankan atau memperbaiko tingkat kesempurnaan kemampuan untuk
menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan
massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005). ROM adalah kemampuan
maksimal seseorang dalam melakukan gerakan. Merupakan ruang gerak atau
batas-batas gerakan dari kontraksi otot dalam melakukan gerakan, apakah
otot memendek secara penuh atau tidak, atau memanjang secara penuh atau
tidak (Lukman dan Ningsih, 2009). Suratun, et al (2006) Range of motion
adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi yang
bersangkutan. Latihan ROM ialah latihan yang dilakukan untuk
mempertahankan atau memperbaiki kemampuan menggerakan persendian
secara normal dan lengkap untuk meningkatkan masa dan tonus otot sehingga
dapat mencegah kelainan bentuk, kekakuan dan kontraktur (Nurhidayah, et al.
2014). Latihan ROM adalah latihan yang meggerakan persendian seoptimal
dan seluas mungkin sesuai kemampuan seseorang yang tidak menimbulkan
rasa nyeri pada sendi yang digerakan. Adanya pergerakan pada persendian

17
akan menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah kedalam kapsula
sendi(Astrand, et al. 2003).
1. Tujuan ROM
a. Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot
b. Memelihara mobilitas persendian
c. Mencegah kelainan bentuk (Suratun, 2008).
2. Manfaat ROM
Menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan
pergerakan, memperbaiki tonus otot, mencegah terjadinya kekakuan sendi
dan untuk memperlancar darah. Menurut Nurhidayah, et al (2014)
menyatakan bahwa manfaat ROM adalah:

a. Menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan


pergerakan

b. Mengkaji tulang, sendi dan otot

c. Mencegah terjadinya kekakuan sendi

d. Memperlancar sirkulasi darah

e. Memperbaiki tonus otot

f. Meningkatkan mobilisasi sendi

g. Memperbaiki toleransi otot untuk latihan.

3. Klasifikasi ROM
Suratun, et al (2006), menyatakan bahwa ada beberapa klasifikasi latihan
ROM, yaitu:
a. Latihan ROM pasif, yaitu latihan ROM yang dilakukan pasien dengan
bantuan dari orang lain, perawat, ataupun alat bantu setiap kali
melakukan gerakan. Indikasi : pasien usia lanjut dengan mobilitas
terbatas, pasien tirah baring total, kekuatan otot 50%.
b. Latihan ROM aktif, yaitu latihsn ROM yang dilakukan mandiri oleh
pasien tanpa bantuan perawat pada setiap melakukan gerakan.

18
Indikai:mampu melakukan ROM sendiri dan kooperatif, kekuatan otot
75%.

4. Prinsip Dasar Latihan ROM, yaitu:

a. ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali


sehari.

b. ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan


pasien.

c. ROM sering diprogramkan oleh dokter dan dikerjakan oleh ahli


fisioterapi.

d. Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan latihan ROM adalah


leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.

e. ROM dapat dilakukan pada semua persendian atau hanya pada


bagianbagian yang dicurigai mengalami proses penyakit.

f. Melakukan ROM harus sesuai waktunya, misalnya setelah mandi


atau perawatan rutin telah dilakukan (Suratun. et.all 2008).

19
BAB III
PEMBAHASAN

Pengkajian dengan menggunakan Barthel Index sangatlah penting,


terutama ketika terjadi hambatan pada kemampuan lansia dalam melaksanakan
fungsi kehidupan sehari – harinya. Kemampuan fungsional ini harus
dipertahankan semandiri mungkin. Dari hasil penelitan tentang gangguan status
fungsional merupakan indikator penting tentang adanya penyakit pada lansia.
Pengkajian status fungsional dinilai penting untuk mengetahui tingkat
ketergantungan. Dengan kata lain, besarnya bantuan yang diperlukan dalam
aktivitas kehidupan sehari – hari (Ediawati, 2013).

Menurut Guntur (2006) mengatakan bahwa proses menua adalah suatu


proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya,
sehingga tidak dapatbertahan terhadap infeksi dan memperbaikinya kerusakan
yang diderita. Menurut Orem (2001) menggambarkan lansia sebagai suatu unit
yang juga menghendaki kemandirian dalam mempertahankan hidup, kesehatan
dan kesejahteraannya. Faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian lansia
dalam melakukan aktivitas sehari – hari seperti usia, imobilitas dan mudah jatuh
(Ediawati, 2012). Perubahan fisik yang terjadi pada lansia tentunya akaN
mempengaruhi kemandirian lansia. Kemandirian adalahkebebasan untuk
bertindak, tidak tergantung pada orang lain, tidak terpengaruh pada orang lain
dan bebas mengatur diri sendiri atau aktivitas seseorang baik individu maupun
kelompok dari berbagai kesehatan atau penyakit (Ediawati, 2012). Kemandirian
pada lansia sangat penting untuk merawat dirinya sendiri dalam memenuhi
kebutuhan dasar manusia. Meskipun sulit bagi anggota keluarga yang lebih muda
untuk menerima orang tua melakukan aktivitas sehari-hari secara lengkap dan
lambat. Dengan pemikiran dan caranya sendiri lansia diakui sebagai individu
yang mempunyai karakteristik yang unik oleh sebab itu perawat membutuhkan
pengetahuan untuk memahami kemampuan lansia untuk berpikir, berpendapat
dan mengambil keputusan untuk meningkatkan kesehatanya (Atut, 2013)Lanjut

20
usia sebagai individu samahalnya dengan klien yang digambarkan oleh Orem
(2001)yaitu suatu unit yang juga mengehendaki kemandirian dalam
mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejateraannya. Kemandirian pada lanjut
usia tergantung pada kemampuan status fungsionalnya dalam melakukan
aktivitas sehari – hari (Ediawati, 2012). Dalam kamus psikologi kemandirian
berasal dari kata “independen” yang diartikan sebagai suatu kondisi dimana
seseorang tidak tergantung pada orang lain dalam menentukan keputusan dan
adanya sikap percaya diri (Husain, 2013).

Kemandirian merupakan sikap individu yang diperoleh secara komulatif


dalam perkembangan dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri
dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu mampu
berfikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandirian seseorang dapat memilih
jalan hidupnya untuk berkembang ke yang lebih mantap (Husain, 2013).

Kemandirian lansia dalam ADLdidefinisikan sebagai kemandirian


seseorang dalam melakukan aktivitas dan fungsi - fungsi kehidupan sehari - hari
yang dilakukan oleh manusia secara rutin dan universal (Ediawati, 2013). Untuk
menilai ADL digunakan berbagai skala seperti Katz Index,Barthel yang
dimodifikasi, dan Functional Activities Questioner (FAQ) (Ediawati, 2013).

Meningkat jumlah penduduk suatu negara maka menyebabkan terjadinya


perubahan struktur penduduk negara tersebut. Perubahan struktur penduduk
tersebut dapat mempengaruhi angka beban ketergantungan,terutama bagi
penduduk lansia. Perubahan ini menyebabkan angka ketergantungan lansia
menjadi meningkat. Rasio ketergantungan penduduk tua (old dependency ratio)
adalah angka yang menunjukkan tingkat ketergantungan penduduk tua terhadap
penduduk usia produktif. Angkatersebut merupakan perbandingan antara jumlah
penduduk tua (60 tahun ke atas) dengan jumlah penduduk produktif (15-59
tahun).Angka ini mencerminkan besarnya beban ekonomi yang harus ditanggung
penduduk produktif untuk membiayai penduduk tua (Kemenkes RI, 2012).

Latihan ROM adalah latihan yang menggerakkan persendian seoptimal


dan seluas mungkin sesuai kemampuan seseorang yang tidak menimbulkan rasa
nyeri pada sendi yang digerakkan. Adanya pergerakan pada persendian akan

21
menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke dalam kapsula sendi
(Astrand, et al., 2003 ; Junquera, 1998). Ketika sendi digerakkan, permukaan
kartilago antara kedua tulang akan saling bergesekan. Kartilago banyak
mengandung proteoglikans yang menempel pada asam hialuronat yang bersifat
hidrophilik, sehingga kartilago banyak mengandung air sebanyak 70-75%.
Adanya penekanan pada kartilago akan mendesak air keluar dari matrik kartilago
ke cairan sinovia. Bila tekanan berhenti maka air yang keluar ke cairan sinovia
akan ditarik kembali dengan membawa nutrisi dari cairan sinovia (Hazzard, et al.,
2003 ; Jenkins, 2005). Menurut Jenkins (2005) penurunan ROM disebabkan oleh
tidak adanya aktivitas dan untuk mempertahankan kenormalan ROM, sendi dan
otot harus digerakkan dengan maksimum dan dilakukan secara teratur (Winters,
et al., 2004), seperti dengan senam Tai Chi, fleksibilitas sendi wanita berusia 50
tahun ke atas dapat ditingkatkan (Susanto, 2000). Latihan peregangan statik
(static stretching) pada usia dewasa juga dapat meningkatkan fleksibilitas sendi
(Herriott, et al., 2004)Pada proses menua biasanya terjadi penurunan produksi
cairan sinovia pada persendian dan tonus otot, kartilago sendi menjadi lebih tipis
dan ligamentum menjadi lebih kaku serta terjadi penurunan kelenturan
(fleksibilitas), sehingga mengurangi gerakan persendian. Adanya keterbatasan
pergerakan dan berkurangnya pemakaian sendi dapat memperparah kondisi
tersebut (Tortora dan Grabowski, 2003; Wold, 1999). Penurunan kemampuan
muskuloskeletal dapat menurunkan aktivitas fisik (physical activity) dan latihan
(exercise), sehingga akan mempengaruhi lansia dalam melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari (activity daily living/ ADL). Latihan dan aktivitas fisik
pada lansia dapat mempertahankan kenormalan pergerakan persendian, tonus otot
dan mengurangi masalah fleksibilitas (Wold, 1999). Range of Motion (ROM)
merupakan salah satu indikator fisik yang berhubungan dengan fungsi pergerakan
(Easton, 1999). Menurut Kozier (2004), ROM dapat diartikan sebagai pergerakan
maksimal yang dimungkinkan pada sebuah persendian tanpa menyebabkan rasa
nyeri. Latihan ROM merupakan salah satu alternatif latihan yang dapat dilakukan
oleh lansia dengan keterbatasan gerak sendi. Latihan ROM dapat dilakukan
dengan posisi duduk dan berdiri serta pada posisi terlentang di tempat tidur
(Wold, 1999). Pada survei awal di Panti Wreda Wening Wardoyo Ungaran,

22
lansia yang mengalami keterbatasan gerak dan kelemahan fisik, tidak mengikuti
kegiatan senam yang dilaksanakan setiap hari dan tidak melakukan latihan untuk
memperbaiki keadaannya. Adanya keterbatasan pergerakan dan berkurangnya
pemakaian sendi, dapat memperparah kondisi sistem muskuloskeletal yang
mengalami penurunan karena proses menua (Tortora dan Grabowski, 2003;
Wold, 1999). Menurut Dep.Kes RI (1998), lansia yang kurang mampu
melakukan latihan fisik atau olah raga karena sakit dan lemah, dapat melakukan
gerakan-gerakan sederhana yang menyerupai senam dan menurut Martini (2004),
Latihan ROM baik sebagai persiapan untuk lansia yang lemah fisik dalam
permulaan program latihan. Dengan latihan ROM, diharapkan dapat
meningkatkan fleksibilitas sendi pada lansia yang mengalami keterbatasan gerak
sendi, sehingga lansia dapat menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari dengan
lebih mandiri atau latihan yang lebih tinggi seperti latihan senam, oleh karena itu
penulis bermaksud mengungkapkan besaran peningkatan fleksibiltas sendi dan
kekuatan otot pada lansia setelah melakukan latihan ROM.

23
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
ADL adalah aktivitas yang biasanya dilakukan dalam sepanjang
hari normal; aktivitas tersebut mencakup, ambulasi, makan, berpakaian,
mandi, menyikat gigi dan berhias dengan tujuan untuk
memenuhi/berhubungan dengan perannya sebagai pribadi dalam keluarga
dan masyarakat.
Pengkajian dengan menggunakan Barthel Index sangatlah penting,
terutama ketika terjadi hambatan pada kemampuan lansia dalam
melaksanakan fungsi kehidupan sehari – harinya. Kemampuan fungsional
ini harus dipertahankan semandiri mungkin. Dari hasil penelitan tentang
gangguan status fungsional merupakan indikator penting tentang adanya
penyakit pada lansia. Pengkajian status fungsional dinilai penting untuk
mengetahui tingkat ketergantungan. Dengan kata lain, besarnya bantuan
yang diperlukan dalam aktivitas kehidupan sehari – hari

B. Saran
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pihak
yang membacanya

24
DAFTAR PUSTAKA

Agung Iskandar. 2010. Uji Keandalan dan Kesahihan Indeks Activity of Daily
Living Barthel untuk Mengukur Status Fungsional Dasar pada
Lanjut Usia di RSCM. Tesis. Jakarta: Program Study Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Diakses pada tanggal 14 Maret 2019 dari
http://www.eprints.lib.ui.ac.id
Ananda.,I.P. 2017. Pengaruh Range Of Motion (ROM) Terhadap Kekuatan Otot
Pada Lansia dengan Bedrest di PSTW Budhi 3 Margaguna.
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan. Jakarta Selatan. Diakses pada tanggal 14 Maret 2019.
Istianah. 2017. Pengaruh Discharge Planning terstruktur pada pasien stroke
untuk menurukan faktor risiko kekambuhan. length Of Stay dan
peningkatan status fungsional di RSUD Sleman.
http://eprients.poltekkesjogja.ac.id/610
Karunia., E. 2016. Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kemandirian
Activity Of Dayling Pasca Stroke. Deprtemen Epidemiologi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Uniersitas Airlangga Surabaya.
Jawa Timur. Diakses pada tanggal 14 Maret 2019.
Pratama., I.H. 2017. Identifikasi Tingkat kemandirian Lansia Dalam Melakukan
Aktivitas Sehari- hari di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula
Kendari. Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kendari.
Diakses pada tanggal 14 Maret 2019.
Rohaedi.,S.,Putri., S.T & Karimah.,A.D. 2016. Tingkat Kemandirian Lansia
Dalam Activities Daily Living di Panti Sosial Tresna Senja Rawi.
Prodi D3 keperawatan FPOK Universitas Pendidikan Indonesia.
Diakses pada tanggal 14 Maret 2019.
Ulliya,.S. 2007. Pengaruh Latihan Range Of Motion (ROM) Terhadap
Fleksibilitas Sendi Lutut Pada lansia di Panti Wreda Wening
Wardoyo Ugaran. Program Ilmu Keperawatan FK UNIP. Diakses
pada tanggal 14 maret 2019

25
26

Anda mungkin juga menyukai