Anda di halaman 1dari 8

ARTIKEL

KEUNGGULAN SISTEM PENILAIAN TRAUMA


“REVISED TRAUMA SCORE (RTS)”

Untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan Peminatan Gawat


Darurat

Program Studi Keperawatan

Disusun oleh
Yetty Bayuana
(A11601397)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG
2019
ARTIKEL
KEUNGGULAN SISTEM PENILAIAN TRAUMA
“REVISED TRAUMA SCORE (RTS)”

A. Latar Belakang
Trauma merupakan penyebab ketiga terbesar kematian dan
kecacatan di seluruh dunia, terutama usia dekade keempat di negara
berkembang Lebih dari 5 juta orang meninggal akibat trauma pada
tahun 2002, lebih dari 90% terjadi di negara berkembang. Dari tahun
2000-2020, kematian akibat kecelakaan lalu lintas diperkirakan
meningkat 83% di negara berkembang. Akibat trauma dapat berupa
kecacatan fisik seperti luka/ cedera, psikologis dan keuangan. Trauma
adalah kejadian yang bersifat holistic yang dapat menyebabkan
hilangnya produktivitas seseorang. Definisi ini memberikan gambaran
supervicial dari respon fisik terhadap cedera.
Penanganan trauma merupakan salah satu tantangan utama
pelayanan kesehatan saat ini. Dokter dan perawat harus menilai secara
objektif keparahan cedera, sehingga diperlukan sebuah sistem yang
menyatukan deskripsi dan kuantifikasi cedera. Penilaian cedera
sebagai proses kuantifikasi dampak trauma dimulai tahun 1969 oleh
American Association for Automotive Safety, yaitu Abbreviated Injury
Score (AIS) dan terus mengalami perkembangan. Sistem penilaian
trauma mencoba menerjemahkan keparahan cedera menjadi angka,
harus dapat digunakan di lapangan sebelum pasien sampai ke rumah
sakit untuk keputusan rujukan serta untuk mengambil keputusan di
Instalasi Gawat Darurat (IGD). Pengukuran tingkat keparahan cedera
merupakan prasyarat penting terhadap penanganan trauma yang
efektif.
Triase dapat lebih konsisten jika menggunakan sistem penilaian.
Penilaian untuk triase harus mudah diaplikasikan. Deskripsi cedera
melalui telepon dapat difasilitasi oleh penggunaan istilah standar dan
penilaian organ yang spesifik. Hal ini membantu proses penilaian antar
dokter/ perawat di institusi yang sama atau berbeda serta para dokter
spesialis. Pemantauan berulang dan sistematis dapat digunakan
sebagai identifikasi awal perbaikan atau perburukan. Beberapa sistem
penilaian bertujuan memperkirakan probabilitas kelangsungan hidup.
Penilaian membantu peneliti untuk menentukan tingkat keparahan dan
populasi pasien.
Salah satu sistem penilaian trauma yaitu Revised Trauma Score
(RTS). Menurut penulis, RTS merupakan sistem penilaian yang paling
unggul dari sekian sistem penilaian yang ada. Sistem ini juga paling
praktis dan sederhana untuk penilaian trauma pada kondisi gawat
darurat sehingga mempermudah dan mempercepat pekerjaan dokter/
perawat. Sistem ini juga paling banyak digunakan sebagai sistem
penilaian fisiologis dengan menggabungkan nilai GCS dengan laju
respirasi dan tekanan darah sistolik. Penilaian RTS dilakukan segera
setelah pasien cedera, umumnya saat sebelum masuk rumah sakit atau
ketika berada di unit gawat darurat. Penulis akan menjelaskan lebih
detail terkait keunggulan Revised Trauma Score (RTS).

B. Pembahasan
Revised Trauma Score (RTS) diperkenalkan oleh Champion, et
al, (1983), sistem ini paling banyak digunakan sebagai sistem penilaian
fisiologis. Revised Trauma Score (RTS) menilai sistem fisiologis
manusia secara keseluruhan, instrumen RTS merupakan hasil dari
penyempurnaan instrumen GCS untuk menilai kondisi awal pasien
trauma. Sistem ini menggabungkan nilai GCS dengan laju respirasi dan
tekanan darah sistolik. RTS lebih sensitif daripada TS.
Terdapat dua tipe, untuk triase dan penelitian. RTS triase
digunakan sebagai instrumen tenaga kesehatan pra-rumah sakit untuk
membantu memutuskan apakah pasien trauma harus dibawa ke
fasilitas pelayanan primer atau ke pusat trauma. Untuk tenaga
kesehatan rumah sakit, RTS membantu memutuskan tingkat respons
yang diaktifkan. RTS ≤11 berhubungan dengan mortalitas 30% dan
harus segera dibawa ke pusat trauma. RTS penelitian berbeda dari
triase dalam hal penggunaan faktor pemberat dan didesain untuk
pengumpulan data retrospektif di-bandingkan penilaian prospektif.
Faktor pemberat tersebut berupa komponen respirasi dikalikan dengan
koefisien 0,2908, tekanan darah sistolik dikalikan 0,7326, dan GCS
dikalikan 0,9368. Koefisien diperoleh dari regresi logistik data MTOS
(Major Trauma Outcome Study), dan jika dijumlahkan memberikan nilai
berkisar dari 0 hingga 7,8408, nilai rendah menunjukkan cedera lebih
berat

Sistem Penilaian Trauma dengan Revised Trauma Score (RTS)

Nilai RTS = 0,9368 (GCS) + 0,7326 (TDS) + 0,2908 (RR)


* nilai kisaran 0 – 7,8408 (berat – ringan)

Penilaian mortalitas menggunakan Revised Trauma Score (RTS)


Penghitungan RTS dilakukan dengan menjumlahkan coded value dari
3 (tiga) parameter yaitu GCS, tekanan darah sistolik (TDS) dan
frekuensi nafas (RR) :
1. GCS
Glasgow Coma Score adalah alat diagnostik yang sudah
sejak lama menjadi alat untuk mengevalusi tingkat kesadaran
pasien, menilai status klinis pasien, dan menjadi alat prognosis
untuk pasien yang mengalami trauma. Glasgow Coma Score juga
digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan
dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita trauma.
Penilaian GCS bergantung pada respon serebrum terhadap
rangsangan aferen. Variasi dari nilai GCS disebabkan oleh
gangguan fungsi serebrum atau gangguan di batang otak yang
mempengaruhi jalannya rangsangan ke hemisfer serebrum (Irawan
et al., 2010; Wilkinson & Lennox, 2005). Menurut Irawan et al.
(2010), Poon et al. (2005),Zafonte et al. (1996), pengukuran GCS
saat pertama kali pasien cedera kepala masuk rumah sakit dapat
digunakan dalam memprediksi tingkat Disability Rating Scale
(DRS) saat pasien keluar dari rumah sakit, dengan emampuan
prediksi sebesar 71 - 77% unuk disabilitas keseluruhan dan prediksi
disabilitas sedang-berat sebesar 69-83%. Skor GCS menjadi
standar pengukuran fungsi neurologis pada pasien dengan
perubahan status mental oleh karena penyebab apapun, termasuk
cedera kepala (Lingsma, 2014). Glasgow Coma Score merupakan
faktor penting yang harus diukur pada pasien dengan cedera
kepala (Jennet, 2005). Selain digunakan untuk mengukur tingkat
kesadaran pasien secara kuantitatif, GCS juga digunakan untuk
memprediksi risiko kematian di awal trauma (Signorini, 1999).
Penelitian pada pasien cedera kepala menunjukkan bahwa GCS
lebih sensitif daripada prediksi dengan cerebral state index
(Mahdian et al., 2014). Menurut Kung et al.(2011), skor GCS akan
lebih akurat untuk memprediksi outcome pasien cedera kepala
apabila pemeriksaan GCS dikombinasikan dengan usia dan respon
pupil.Oleh karena itu pemeriksaan GCS pada lingkup emergency
atau penanganan fase akut diharapkan dapat memprediksi
outcome klinis pada pasien dengan cedera. Outcome klinis yang
penting pada pasien cedera kepala salah satunya adalah
menentukan survival pasien (Manley et al., 2012).
2. Tekanan darah sistolik
Tekanan darah adalah salah satu indikator penting dalam
prognosis pasien dengan cedera kepala. Sehingga tekanan darah
adalah salah satu parameter yang harus dipantau/diobservasi oleh
petugas kesehatan (perawat emergency) dalam tatalaksana pasien
cedera kepala (Manley et al., 2012). Pada kondisi awal trauma
kepala, maka secara reflek tubuh akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan darah, dengan tujuan untuk
mempertahankan Cerebral Perfusion Pressure (CPP). Apabila
kondisi kerusakan pada cerebral semakin meluas ditambah
perdarahan yang semakin banyak akan berdampak pada
kegagalan mekanisme kontrol dari tekanan darah. Pada saat itulah
pasien cedera kepala memasuki fase sekunder injury, yang ditandai
oleh penurunan SBP. Kondisi lain yang dapat menyebabkan
hipotensi diantaranya adalah adanya kehilangan darah, sebagian
mungkin karena cedera sistemik, sebagian lagi karena cedera
langsung pada pusat refleks kardiovaskuler di medula oblongata
(Werner & Engelhard, 2007). Penurunan SBP pada pasien dengan
cedera kepala merupakan petunjuk bahwa terjadi peningkatan
tingkat keparahan pasien tersebut (Bullock & Povlishock, 2007)
Penurunan tekanan darah sistolik (<90 mmHg) dapat
berdampak langsung pada penurunan tekanan perfusi otak atau
Cerebral Perfusion Pressure (CPP). Cerebral Perfusion Pressure
yang rendah akan menyebabkan timbulnya iskemik dan infark pada
jaringan otak, hal ini menuntut agar CPP dipertahankan dalam
rentang normal untuk mencegah terjadinya iskemik jaringan
cerebral (Nurhidayat & Rosjidi, 2007). Menurut Irawan et al. (2010)
menyatakan bahwa SBP <90 mmHg berasosiasi dengan tingkat
mortalitas yang lebih tinggi dan lama perawatan ICU yang lebih
panjang. Dalam penelitian lain disebutkan bahwa hipotensi yang
terjadi dari awal sangat berkolerasi secara signifikan dengan
peningkatakan insiden dan derajat intrakranial pressure serta
angka mortalitas (Seeling et al., (1986) dalam Brain Trauma
Fondation (2007). Apabila terjadi hipotensi (TD kurang dari 90
mmHg) yang berlangsung selama 15 menit, dapat memperburuk
prognosis pasien cedera kepala dan meningkatkan mortalitas
pasien cedera kepala (Haddad & Arabi, 2012; Rose et al., 2012).
Hipotensi merupakan salah satu faktor prognosis yang penting
pada pasien cedera kepala, efek hipotensi terhadap outcome
pasien dengan cedera kepala berat tidak pernah baik, sehingga
direkomendasikan tekanan darah seharusnya dimonitor dan
hipotensi (Tekanan darah sistolik < 90 mmHg) sedapat mungkin
dicegah (Bratton et al., 2007; Butcher et al., 2007). Oleh karena itu
diperlukan upaya observasi pasien yang bertujuan untuk
mendeteksi dan memberikan tindakan pencegahan hipotensi
segera pada pasien cedera kepala. Tindakan ini merupakan
langkah potensial menurunkan jumlah kematian akibat cedera
kepala sekunder (Manley et al., 2012).
3. RR (Respiration Rate)
Respiration rate adalah jumlah siklus pernafasan (inspirasi
dan ekspirasi penuh) yang dihitung dalam satu menit penuh.
Frekuensi pernafasan merupakan salah satu komponen tanda-
tanda vital yang bisa dijadikan indikator untuk mengetahui kondisi
pasien terutama kondisi kritis.
Hasil penelitian oleh Minardi & Crocco (2009), yang
menyatakan bahwa frekuensi nafas kurang dari 10 kali per menit
berhubungan dengan prognosis buruk karena penurunan
oksigenasi dan perfusi ke otak atau menandakan telah terjadinya
kompresi serebral akibat peningkatan tekanan intrakranial terutama
pada fase awal cedera kepala. Frekuensi pernafasan kurang dari
12 kali per menit atau >24 kali per menit meningkatkan resiko
kematian pada pasien cedera kepala, dengan kata lain memiliki
outcome yang buruk (Smith & Roberts, 2011; Yu et al., 2010).
Perubahan frekuensi pernafasan menyebabkan saturasi oksigen
dalam darah menurun yang diikuti perfusi jaringan yang menurun
juga. Perfusi jaringan otak yang rendah pada otak dapat
menyebabkan perburukan kondisi pasien cedera kepala, sehingga
pasien memiliki outcome yang buruk. Semakin tinggi perfusi
oksigen ke otak maka outcome pasien cedera kepala semakin baik
(Safrizal et al., 2013). Pada fase awal pasca terjadinya cedera
kepala, tubuh akan berusaha untuk mempertahankan saturasi
oksigen dengan cara meningkatkan frekuensi pernafasan
(hiperventilasi). Terjadinya hiperventilasi dapat disebabkan oleh
gangguan pada intrakranial. Keadaan hiperventilasi yang terjadi
tanpa adanya rangsangan dari pemberian obat-obatan tertentu,
kemungkinan telah terjadi peningkatan tekanan intrakranial akibat
cedera kepala yang dapat berakibat fatal terutama pada pasien
lanjut usia (Oertel et al., 2002). Menurut penelitian Irawan et al.
(2010) dan Japardi (2004) menyatakan bahwa, keadaan
hiperventilasi efektif dalam mengontrol tekanan intrakranial.
Hiperventilasi menurunkan tekanan parsial karbon dioksida
(PaCO2) arteri yang menyebabkan vasokonstriksi, penurunan
aliran darah serebral, dan tekanan intrakranial (Oertel et al., 2002)

Kelebihan sistem penilaian Revised Trauma Score (RTS):


1. Revised Trauma Score (RTS) telah divalidasi sebagai metode
penilaian untuk membedakan pasien yang memiliki prognosis baik
atau buruks.
Penilaian RTS dapat mengidentifikasi lebih dari 97% orang yang
akan meninggal jika tidak mendapatkan perawatan. Revised
Trauma Score (RTS) mudah dilakukan dan dapat memperkirakan
prognosis secara lebih akurat jika digunakan untuk pasien trauma
kepala berat dan pasien dengan politrauma. Kemampuan RTS
dalam menentukan kondisi yang membahayakan jiwa adalah 79,9
%.
2. Revised Trauma Score (RTS) merupakan skor yang paling mudah
digunkan di fase prahospital dan triase lapangan yang bisa
dilakukan oleh dokter maupun perawat.
Berdasarkan hasil jurnal yang di buat oleh Jassy tentang aplikasi
RTS, ISS dan TRISS dalam memprediksi mortalitas pada pasien
multitrauma didapatkan bahwa untuk RTS, dari pasien dengan skor
> 7 terdapat 1 kematian; dari pasien dengan skor 6-7 terdapat 3
kematian , dan dari pasien dengan skor 5 terdapat 1 kematian.
Untuk ISS, semua pasien yang meninggal memiliki skor ≥ 25,
sedangkan untuk TRISS, 2 pasien yang meninggal dengan skor 81-
100, 1 pasien dengan skor 61-80 dan 2 pasien yang meninggal,
dengan skor 41-60. Simpulan, Revised Trauma Score (RTS) paling
mudah diaplikasikan saat triase dan fase pre rumah sakit, serta
direkomendasikan untuk menjadi bagian dari pedoman penangan
kasus multitrauma. RTS dapat diaplikasikan sebagai prediktor
mortalitas pasien multitrauma.
3. Revised Trauma Score (RTS) memiliki akurasi penilaian skor yang
baik
Berdasarkan hasil jurnal yang di buat oleh Riki tentang akurasi
revised trauma score sebagai prediktor mortality pasien cedera
kepala didapatkan bahwa hasil analisis Uji Mann-Whitney penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
mortality pasien dalam 7 hari perawatan dengan score GCS, SBP,
RR dan SpO2 dengan p value dari semua variabel independen <
0.05. Hasil Uji regresi logistik menunjukkan bahwa persamaan RTS
(GCS, SBP, RR) memiliki nilai p value Uji Hosmer and Lamesho =
0.849, nilai sensitivity sebesar 0.93, specificity 0.863, Positive
Predictive Value (PPV) 0.95, Negative Predictive Value (NPV) 0.79,
dan dengan AUC 0.942 (CI95% 0.88-0.99). Maka persamaan RTS
(GCS, SBP, RR) memiliki kualitas diskriminasi, kalibrasi dan akurasi
yang baik, sehingga persamaan RTS (GCS, SBP, RR) dapat
digunakan sebagai prediktor mortality pasien cedera kepala.
Penggunaan persamaan RTS (GCS, SBP, RR) masih layak sebagai
alat bantu dalam triage pasien cedera kepala.

C. Kesimpulan
Trauma adalah kondisi sensitif-waktu dan merupakan salah satu
tantangan utama. Triase pasien trauma penting untuk menentukan
prioritas penentuan kebutuhan korban dengan sumber terbatas.
Sistem penilaian trauma membantu menilai secara kuantitatif
berat ringannya cedera, memperkirakan hasil akhir trauma, bahkan
berguna untuk penelitian. Pasien cedera dan risiko berat dapat
teridentifikasi melalui fisiologi abnormal mereka. Masalah yang lebih
sulit dalam triase adalah identifikasi pasien dengan cedera anatomis
nyata dengan status fisiologis mendekati normal.
Hingga sekarang, tidak ada sistem penilaian trauma standar.
Setiap sistem penilaian mempunyai keterbatasan. Sistem penilaian
anatomis membutuhkan informasi akurat sifat dan derajat setiap
cedera, tidak didesain untuk penggunaan prospektif pada keadaan
gawat darurat, karena nilai akurat biasanya tidak dapat diperoleh dalam
waktu singkat. Akan tetapi, nilai-nilai ini membantu para peneliti
mengelompokkan cedera yang sama untuk perbandingan retrospektif
terhadap dampak. Penilaian fisiologis dapat dilengkapi tanpa informasi
cedera penyerta yang detail. Kurangnya ketersediaan tenaga terlatih
untuk menilai secara akurat dan segera juga menghambat praktiknya.
Penilaian paling praktis untuk penilaian trauma pada kondisi
gawat darurat dan paling sederhana adalah Revised Trauma Score
(RTS). Dimana sistem ini dapat dikerjakan oleh dokter dan perawat, dan
dapat digunakan untuk menentukan tatalaksana dan memantau
perubahan klinis. Sistem penilaian trauma berkembang terus.
Pengembangan di masa depan diharapkan harus membuat sistem
yang lebih baik.

D. Referensi
Salim, C. (2015). Sistem Penilaian Trauma. Jurnal CDK (Cermin Dunia
Kedokteran)-232 vol. 42 no. 9. e-ISSN 2503-2720 p-ISSN 0125-
913X

Ristanto, R; dkk. 2016. Akurasi Revised Trauma Score Sebagai


Prediktor Mortality Pasien Cedera Kepala. Jurnal Kesehatan
Hesti Wira sakti. Vol 4 No. 2 e-ISSN 2580-9571 p-ISSN 2302-4283

Saudin, D dan Mukamad R. 2017. Penerapan Sistem Penilaian Trauma


Revised Trauma Score (RTS) untuk Menentukan Mortalitas
Pasien Trauma Triage Instalasi Gawat Darurat. Jurnal Edu
Nursing. e-ISSN 2579-6127

Anda mungkin juga menyukai