Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kematian maternal merupakan suatu fenomena puncak gunung es karena kasusnya cukup
banyak namun yang nampak di permukaan hanya sebagian kecil. Diperkirakan 50.000.000
wanita setiap tahunnya mengalami masalah kesehatan berhubungan dengan kehamilan dan
persalinan. Komplikasi yang ada kaitannya dengan kehamilan berjumlah sekitar 18 persen
dari jumlah global penyakit yang diderita wanita pada usia reproduksi. Diperkirakan 40
persen wanita hamil akan mengalami komplikasi sepanjang kehamilannya. Disamping itu 15
persen wanita hamil akan mengalami komplikasi yang bisa mengancam jiwanya dan
memerlukan perawatan obstetri darurat, dan perawatan tersebut biasanya masih belum
tersedia. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa ada 500.000 kematian
ibu melahirkan di seluruh dunia setiap tahunnya, 99 persen diantaranya terjadi di negara
berkembang2. Dari angka tersebut diperkirakan bahwa hampir satu orang ibu setiap menit
meninggal akibat kehamilan dan persalinan. Angka kematian maternal di negara berkembang
diperkirakan mencapai 100 sampai 1000 lebih per 100.000 kelahiran hidup, sedang di negara
maju berkisar antara tujuh sampai 15 per 100.000 kelahiran hidup. Ini berarti bahwa di negara
berkembang risiko kematian maternal satu diantara 29 persalinan sedangkan di negara maju
satu diantara 29.000 persalinan. Salah satu ukuran yang dipakai untuk menilai baik buruknya
keadaan pelayanan kesehatan dalam suatu negara atau daerah adalah angka kematian
maternal (maternal mortality). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia
menjumpai kematian ibu 450 per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 1992 Angka Kematian
Ibu (AKI) sekitar 421 per 100.000 kelahiran hidup. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia Departemen Kesehatan (SDKI Depkes) menetapkan AKI di Indonesia secara
nasional sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup dan merupakan angka tertinggi dibanding
dengan negara-negara ASEAN lainnya. Sumber data yang lain pada tahun 1994 dari hasil
penelitian di rumah sakit umum di Indonesia terdapat angka kematian ibu sebesar 550 per
100.000 kelahiran hidup. Angka ini mengalami penurunan sebesar 373 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka ini tiga sampai enam kali lebih besar dari negara di wilayah ASEAN dan lebih
besar 50 kali dibanding dengan negara maju.

Komplikasi kehamilan dan persalinan yang terjadi di berbagai negara berkembang menjadi
penyebab utama kematian wanita pada usia reproduksi. Ini berarti Lebih dari satu wanita
meninggal setiap menit dari penyebab komplikasi, atau ini berarti 585.000 wanita meninggal
setiap tahun. Kurang dari satu persen kematian ini terjadi di negara maju, ini memperlihatkan
bahwa wanita dapat menghindari kematian tersebut jika sumber daya dan jasa tersedia.
Bertambahnya jumlah tenaga kesehatan yang melayani wanita hamil dan melahirkan ternyata
belum menurunkan angka kematian ibu secara bermakna. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
penyelesaian masalah secara medis teknis bukan merupakan jaminan penyelesaian masalah
tingginya mortalitas ibu. Ada faktor lain yang akan menyumbang keberhasilan intervensi
medis yaitu dengan ditopang oleh cepatnya pengambilan keputusan ibu atau keluarga untuk
mencari pertolongan. Tindakan ini sangat banyak dipengaruhi oleh sikap waspada ibu dan
keadaan sosial ekonomi keluarga. Ibu yang telah diberi informasi bahwa kehamilan mungkin
berisiko tinggi biasanya lebih waspada bila menghadapi permasalahan selama kehamilan.
Sejauh ini informasi yang diberikan terbatas pada ibu dan bersifat umum sehingga kurang
terkait dengan anggota keluarga lain. Pada keadaan kritis atau bahaya bukan hanya ibu yang
berperan memutuskan untuk mencari pertolongan tetapi seluruh keluarga. Perawatan selama
persalinan dan kehamilan yang telah diperbaiki dapat mengurangi kematian maternal 50
sampai 80 persen serta kematian perinatal 30 sampai 40 persen. Perbaikan aspek sosial,
budaya, ekonomi, dan pendidikan, dapat membantu mengatasi 64 persen penyebab kematian
ibu. Perbaikan penanganan klinis, bisa mengatasi 36 persen kematian ibu. Sementara itu lebih
dari 70 persen kasus kematian maternal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan, para
suami yang mengambil keputusan yang utama di dalam mencari perawatan untuk istrinya.
Kesadaran masyarakat akan tanda-tanda bahaya pada kehamilan merupakan upaya
meminimalkan kegawat daruratan obstetri, namun banyak kepercayaan tradisional dan
penundaan pengambilan keputusan untuk mencari perawatan pada fasilitas kesehatan yang
masih dijalankan di masyarakat. Ketiadaan dana dan keterlambatan transportasi yang cepat
untuk mencapai fasilitas kesehatan menjadi penyebab faktor kematian. Keterlambatan
kegawatdaruratan obstetri lebih lanjut juga dapat disebabkan oleh tidak tersediannya
kapasitas untuk melakukan perawatan obstetri di kalangan petugas medis. Kepercayaan
tradisional yang dianut masyarakat tertentu akan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
suami sebagai kepala keluarga atau orang yang memegang peranan penting di dalam
keluarga. Akibatnya jika terjadi kasus kegawatdaruratan pada ibu hamil, melahirkan atau
setelah melahirkan harus melibatkan beberapa pihak untuk berembuk. Hal ini akan

mengakibatkan

terjadinya

keterlambatan

di

dalam

pengambilan

keputusan

yang

mengakibatkan kematian pada ibu.


Perawatan intensif pasien hamil melibatkan perawatan simultan dari dua pasien.Keputusan
penting dibuat untuk keselamatan ibu sangat dapat mempengaruhi janin.Sesuatu pemahaman
dasar tentang perubahan fisiologis yang beruhubungan dengan kehamilan diperlukan untuk
memberikan perawatan yang tepat untuk kondisi kritis ibu hamil (Roberta, Hines, 2005)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Kardiorespirasi


Peningkatan secara signifikan selama kehamilan,laju nafas,oksigen,tidal ventilasi dan
PaO2.Fungsional residual penurunan kapasitas PaCO2 tapi ada sehingga penurunan
konsentrasi plasma bikarbonat menghindari respirasi alkalosis. Ditandai diafragma terangkat
dan nafas dari dinding dada adalah lebih sering dibandingkan pernafasan dinding
abdomen.Selama periode apnea, ada saturasi oksigen yang cepat karena kapasitas residual
fungsional menurun dan peningkatan konsumsi oksigen. Hal ini terutama penting untuk
saturasi pasien hamil untuk menghindari hipoksemia selama masa induksi anestesi umum.
Mempertahankan ibu PO2 diatas 60 mmHg akan membantu memastikan oksigenasi janin
yang memadai. Agen inhalasi dipercepat karena peningkatan ventilasi menit.Mukosa
pernafasan menjadi membesar dan rentan terhadap perdarahan akibat perubahan hormonal
perawatan sehingga khusus harus diberikan selama intubasi. Volume darah ibu meningkat
hingga 50%. Curah jantung meningkat secara signifikan untuk mempertahankan ibu dan janin
dengan meningkatkan heart rate dan stroke volume. Selama persalinan dan segera sesudah
persalinan. Pada umumnya sekitar 400 cm3 dan 800cm3 darah yang keluar dari vagina dan
sesar,tetapi ini biasanya juga dilewatkan oleh volume darah serta curah jantung umunya
kembali normal setelah 2 minggu setelah melahirkan. Posisi yang terlentang menyebabkan
penurunan curah jantung karena kompresi dari pembuluh darah besar. Kompresi aorta,cava
ini merupakan penyebab dan mudah diperbaiki bagi gawat janin akibat hipoperfusi uterus
yang signifikan. Ibu hamil pada trimester ke 3 terutama harus ditempatkan dengan posisi
memiringkan jika mereka harus berbaring untuk memperbaiki rahim yang membesar. Hal ini
juga penting untuk dicatat bahwa selama trimester ke2 ada penurunan sistemik resistensi
vaskular kenaikan rendah tekanan darah ibu, yang secara bertahap naik kembali
normal,tekanan darah sistolik ibu harus dipertahankan pada 90 mmHg untuk memsatikan
perfusi plasenta.
Perubahan EKG yang umumnya termasuk deviasi ke kiri dan xray dada dapat memberikan
kesan jantung karena elevasi dari diafragma.akhirnya, aliran sistolik murmur ternilai. Karena
peningkatan volume darah. (Roberta, Hines, 2005)
4

2.2. Sistem Renal dan Gastrointestinal


Laju glomerular filtrasi meningkat secara signifikan pada kehamilan sebanyak 50%
menyebabkan penurunan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin. Ada penurunan ginjal
renal tubular untuk glukosa ada asam amino menyebabkan glycosuria serta proteinuria (lebih
dari 300 mg/dl) proses penyebab seperti preeklampsia dapat mempengaruhi sistem ginjal
secara signifikan menyebabkan protenuria mendalam dan gagal bahkan ginjal. Refleks
gastroesophageal dan pengosongan dari lambung adalah penyebab signifikan morbiditas dan
kematian ibu. Hal ini disebabkan kombinasi faktor termasuk efek progesteron serta penaikan
ke atas dari perut oleh uterus. Pada umunya hipersekresi asam lambung mneyebabkan PH
lambung dibawah 2,5 menempatkan ibu hamil berisiko besar seperti aspirasi pneumonitis.
(Roberta, Hines, 2005)
2.3. Hematologi
Kehamilan dinilai sebagai hiperkoagulasi yang meningkatkan risiko trombosis vena dalam
dan emboli paru tetapi perlindungan terhadap perdarahan ibu.leukosistosis ringan dan
penurunan 20% dalam jumlah trombosit juga terlihat.akhirnya anemia fisiologis yang
disebabkan oleh peningkatan massa sel darah merah terhadap volume plasma terlihat biasa.
(Roberta, Hines, 2005)
2.4. Monitoring Janin
Saat seorang pasien hamil dirawat diunit perawatan intensif,pendekatan tim akan
mengoptimal hasil harus dikonsulkan dokter kandungan. Awal perawatan karena perlunya
menyediakan monitoring yang tepat tidak hanya ibu tapi juga janin modalitas yang paling
umum digunakan untuk memantau janin dengan USG. Nonstress test (NST),kontraksi stress
test,dan profil biofisikal. USG dapat digunakan untuk menilai posisi, letak plasenta,darah
arteri uterina yang semuanya membantu dalam menilai kesejahteraan janin. NST digunakan
untuk menilai DJJ,dalam kaitannya dengan gerakan janin serta kontraksi uterus. Pada
kehamilan NST dianggap reaktif ketika djj meningkat selama 15 kali selama perode waktu 15
detik. Pada kehamilan prematur,10 dari 10 kriteria digunakan Contraction stress test (CST)
digunakan untuk menentukan toleransi janin dari intrauterina. Kontraksi diinduksi umumnya
dengan penggunaan oksitosin dan djj dinilai.jika ada 3 dideselerasi lambat dalam jangka
waktu 10 menit. Tes ini dianggap positif dan intervensi perlu dipertimbangkan. Deselerasi
lambat umumnya dianggap sebagai tanda uteroplasenta. Hal ini penting utnuk
5

mempertimbangkan kondisi ibu ketika menafsirkan janin sebelum intervensi,karena beberapa


kondisi ibu seperti hipotensi dan hipoksemia terkadang harus cepat diperbaiki dengan
perbaikan lanjutan dalam hasil test janin. Tes ini melibatkan faktor-faktor seperti gerakan
janin, nafas, serta cairan amnion. (Roberta, Hines, 2005)
2.5. Komplikasi Obstetri
Kehamilan dapat mengakibatkan komplikasi serius yang membutuhkan keahlian dari tim
perawatan intensif ini masalah umum berasal dari perdarahan massif yang keluar, penyakit
hipertensi dalam kehamilan, dan emboli pulmonal. (Roberta, Hines, 2005)
2.5.1. Perdarahan massif
Perdarahan obstetri adalah penyebab utama kematian ibu didunia. Hal ini umumnya
disebabkan oleh atonia uteri, penyebab lain termasuk plasenta abnormal plasenta
previa,solusio plasenta,laserasi jalan lahir, ruptur uteri, inversi uteri, koagulopati dan
hematoma. Perdarahan post partum didefinisikan sebagai darah yang keluar lebih dari 500
cc sampai 1000 cc selama persalinan dan sesar,terjadi penurunan hematokrit lebih dari 10
5% atau membutuhkan transfusi setelah melahirkan akibat kehilangan darah.manajement
dan syok hipovolemi termasuk menjaga tekanan darah sistolik diatas 90 mmHg,urin yang
keluar 25ml/jam dan pantau sampai normal. (Roberta, Hines, 2005)
1. Atonia uteri
a. Definisi atonia uteri
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan
uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta
setelah bayi dan plasenta lahir (Karkata, 2011)
Perdarahan oleh atonia uteri dapat dicegah dengan :
- Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin

karena

hal

ini

dapat

menurunkan

insidens

perdarahan

pascapersalinan akibat atonia uteri.


- Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400 600) setelah bayi lahir.
b. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan
masih aktif dan banyak,bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri
masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu
diperhatikkan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu
juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari

pembuluh darah,tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus


diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
c. Penanganan
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien.
Pasien bisa amsih dalam keadaan sadar,sedikit anemis atau sampai syok
berat hipovolemi.Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada
keadaan klinisnya.
Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal- hal sebagai
-

berikut
Sikap trendelenbrug, memasang venous line, dan memberikan oksigen
Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara :
Massase fundus uteri dan merangsang puting susu
Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara i.m, i.v
Memberikan derivat prostaglandin F2 (carbonat tromethamine) yang
kadang kadang memberikan efek samping berupa diare,hipertensi,mual

muntah,febris,dan takikardi.
Pemberian misoprostol 800-1000g per rektal.
Kompresi bimanual eksternal/internal
Kompresi aorta abdominalis
Pemasangan tampon kondom:, kondom dalam kavum uteri disambungkan
dengan kateter,difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan infus 200 ml

yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif.


2. Plasenta previa
A. Definisi plasenta previa
Plasenta Previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah
rahim demikian rupa sehinggga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium
uteri internum.
Sejalan dengan bertambah membesarnya rahim dan meluasnya segmen
bawah rahim kearah proksimal memungkinkan plasenta yang berimplantasi
pada segmen bawah rahim ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah
rahim seolah plasenta tersebut berimigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik
mendatar dan meluas dalam persalinan kala satu bisa mengubah luas pembukaan
serviks yang tertutup oleh plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau
klasifikasi dari plasenta previa ketika pemeriksaan dilakukan baik dalam masa
antenatal maupun dalam masa intranatal, baik dengan ultrasonografi maupun
pemeriksaan digital. Oleh karena itu, pemeriksaan ultrasonografi perlu diulang
secara berkala dalam asuhan antenatal ataupun intranatal ( Chalik, 2011).
B. Klasifikasi plasenta previa
7

1. Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi


seluruh ostium uteri internum.
2. Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium
uteri internum.
3. Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada
pinggir ostium uteri internum.
4. Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah rahim demikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak
lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2
cm dianggap plasenta letak normal.
C. Diagnosis
Perempuan hamil yang mengalami perdarahan dalam kehamilan lanjut
biasanya menderita plasenta previa atau solusio plasenta. Gambaran klinik yang
klasik sangat menolong membedakan antara keduanya. Dahulu untuk kepastian
diagnosis pada kasus dengan perdarahan banyak, pasien dipersiapkan di dalam
kamar bedah demikian rupa segala sesuatunya termasuk staf dan perlengkapan
anesthesia semua siap untuk tindakan bedah sesar. Dengan pasien dalam posisi
litotomi di atas meja operasi dilakukan periksa dalam (vaginal toucher) dalam
lingkungan di desinfeksi tingkat tinggi (DTT) secara hati-hati dengan dua jari
telujuk dan jari tengah meraba forniks posterior untuk mendapat kesan ada atau
tidak ada bantalan antara jari dengan bagian terbawah janin.
D. Penanganan
Setiap perempuan hamil yang mengalami perdarahan dalam trimester kedua
atau trimester ketiga harus dirawat dalam rumah sakit. Pasien diminta istirahat
baring dan dilakukan pemeriksaan darah lengkap termasuk golongan darah dan
faktor Rhesus (Rh). Jika Rh negatif immune globulin treatment (RhoGam) perlu
diberikan pada pasien yang belum pernah mengalami sensitisasi. Jika kemudian
ternyata perdarahan tidak banyak dan berhenti serta janin dalam keadaan sehat
dan masih prematur dibolehkan pulang dilanjutkan dengan rawat rumah atau
rawat jalan dengan syarat telah mendapat konsultasi yang cukup dengan pihak
keluarga agar dengan segera kembali ke rumah sakit bila terjadi perdarahan
ulang, walaupun kelihatannya tidak ada perbedaan pada morbiditas ibu dan janin
bila pada masing-masing kelompok diberlakukan rawat inap atau rawat jalan.
Pada kehamilan antara 24 minggu sampai 34 minggu diberikan steroid dalam
perawatan antenatal untuk pematangan paru janin. Dengan rawat jalan pasien
8

lebih bebas dan kurang stress serta biaya dapat ditekan. Rawat inap kembali
diberlakukan bila keadaan menjadi lebih serius.
Hal yang perlu dipertimbangkan adalah adaptasi fisiologik perempuan hamil
yang memperlihatkan seolah keadaan klinis dengan tanda tanda vital dan hasil
pemeriksaan laboratorium yang masih normal padahal bisa tidak mencerminkan
keadaanya yang sejati. Jika perdarahan terjadi dalam trimester kedua perlu
diwanti-wanti karena perdarahan ulangan biasanya lebih banyak. Jika ada gejala
hipovolemia seperti hipotensi dan takikardi, pasien tersebut mungkin telah
mengalami perdarahan yang cukup berat, lebih berat daripada penampakannya
secara klinis. Transfusi darah yang banyak perlu segera diberikan.
Pada keadaan yang telibat stabil dalam rawatan di luar rumah sakit
hubungan suami istri dan kerja rumah tangga dihindari kecuali jika setelah
pemeriksaan ultrasonografi ulangan, dianjurkan minimal setelah 4 minggu,
memperlihatkan ada migrasi plasenta menjauhi ostium uteri internum. Bila hasil
ultrasonografi (USG) tidak demikian, pasien tetap dinasihati untuk mengurangi
kegiatan fisiknya dan melewat ke tempat jauh tidak dibenarkan sebagai
antisipasi terhadap perdarahan ulang sewaktu-waktu.
Selama rawat inap mungkin perlu diberikan transfusi darah dan terhadap
pasien dilakukan pemantauan kesehatan janin dan observasi kesehatan maternal
yang ketat berhubungan tidak bisa diramalkan pada pasien mana dan bilamana
perdarahan ulang tidak sampai membahayakan. Pasien dengan plasenta previa
dilaporkan berisiko tinggi untuk mengalami solusio plasenta (rate ratio 13, 8),
seksio sesarea (rate ratio 3, 9), kelainan letak janin (rate ratio 2, 8), dan
perdarahan pasca persalinan (rate ratio 1, 7). Sebuah laporan menganjurkan
pemeriksaan maternal serum alfa feto protein (MSAFP) dalam trimester kedua
sebagai upaya mendeteksi pasien yang perlu diawasi dengan ketat. Bila kadar
MSAFP naik tinggi lebih dari 2 kali median (2.0 multiple of the median) pasien
tersebut mempunyai peluang 50 % memerlukan rawatan dalam rumah sakit
karena perdarahan sebelum kehamilan 30 minggu, harus dilahirkan prematur
sebelum 34 minggu hamil, dan harus dilahirkan atas indikasi hipertensi dalam
kehamilan sebelum kehamilan 34 minggu. Pada lebih kurang 20 % pasein
solusio plasenta datang dengan tanda his. Dalam keadaan janin masih prematur
dipertimbangkan memberikan sulfas magnesikus untuk menekan his buat
sementara waktu sembari member steroid untuk mempercepat pematangan paru
janin. Tokolitik lain seperti beta-mimetics, calcium channel blocker tidak dipilih
9

berhubung pengaruh sampingan bradikardia dan hipotensi pada ibu. Demikian


juga dengan indometasin tidak diberikan berhubung mempercepat penutupan
duktus arteriosus pada janin.
Perdarahan dalam trimester ketiga perlu pengawasan lebih ketat dengan
istirahat baring yang lebih lama dalam rumah sakit dan dalam keadaan yang
serius cukup alasan untuk merawatnya sampai melahirkan. Serangan perdarahan
ulang yang banyak bisa saja terjadi sekalipun pasien diistirahat baringkan. Jika
pada waktu masuk terjadi perdarahan yang banyak perlu segera dilakukan
terminasi bila keadaan janin sudah viabel. Bila perdarahannya tidak sampai
demikian banyak pasien diistirahatkan sampai kehamilan 36 minggu dan bila
pada amniosentesis menunjukan paru janin telah matang, terminasi dapat
dilakukan dan jika perlu melalui seksio sesarea (Chalik, 2011).
3. Solusio Plasenta
A. Definisi solusio plasenta
Solusio plasenta adalah pelepasan sebagian atau seluruh plasenta yang
normal implantasinya antara 22 minggu dan lahirnya anak (Sastrawinata, 1984).
Abdul Bari Saifuddin dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta
adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasi normalnya sebelum janin
lahir, dan definisi ini hanya berlaku apabila terjadi pada kehamilan di atas 22
minggu atau berat janin di atas 500 gram ( Abdul BS, 2002).
B. Klasifikasi solusio plasenta
Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptur sinus marginalis),
dapat pula terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis) atau bisa seluruh
permukan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis). Perdarahan yang
terjadi dalam banyak kejadian akan merembes antara plasenta dan miometrium
untuk seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan akhirnya
memperoleh jalan ke kanalis sevikalis dan keluar melalui vagina atau
perdarahan eksternal (revealed hemorrhage). Akan tetapi, ada kalanya, walaupun
jarang, perdarahan tersebut tidak keluar melalui vagina atau perdarahan

tersembunyi (concealed hemorrhage) jika :


Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim.
Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim
Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah

karenanya
Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen
bawah rahim.
10

Dalam klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran


klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu solusio
plasenta ringan, solusio plasenta sedang, dan solusio plasenta berat. Yang ringan
biasanya baru diketahui setelah palsenta lahir dengan adanya hematoma yang
tidak luas pada permukaan maternal atau ada ruptur sinus marginalis.
Pembagian secara klinik ini baru definitif bila ditinjau retrospektif karena
solusio plasenta sifatnya berlangsung progresif yang berarti solusio plasenta
yang ringan bisa berkembang menjadi lebih berat dari waktu ke waktu. Keadaan
umum penderita bisa menjadi buruk apabila perdarahannya cukup banyak pada
kategori concealed hemorrhage (Chalik, 2011).
a. Solusio plasenta ringan
Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25 %, atau ada yang
menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya
kurang dari 250 ml. Tumpahan darah yang keluar terlihat seperti pada haid
bervariasi dari sedikit sampai seperti menstruasi yang banyak. Gejala-gejala
perdarahan sukar dibedakan dari plasenta previa kecuali warna darah yang
kebiruan, Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada.
b. Solusio plasenta sedang
Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25 %, tetapi belum mencapai
separuhnya (50 %). Jumlah darah yang keluar lebih banyak dari 250 ml
tetapi belum mencapai 1. 000 ml. Umumnya pertumpahan darah terjadi ke
luar dan dalam bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas
seperti rasa nyeri pada nyeri pada perut yang terus menerus, denyut jantung
janin cepat, hipotensi dan takikardi.
c. Solusio plasenta berat
Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50 % dan jumlah darah yang
keluar telah mencapai 1.000 ml atau lebih. Pertumpahan darah bisa terjadi ke
luar dan ke dalam bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda klinik jelas,
keadaan umum penderita buruk disertai syok, dan hampir semua janinnya
telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai
pada oliguri biasanya telah ada (Chalik, 2011)
C. Diagnosis
Dalam banyak hal diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda
klinik yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri pada uterus, kontraksi tetanik pada
11

uterus, dan pada solusio plasenta yang berat terdapat kelainan denyut jantung
janin pada pemeriksaan dengan kardiotokografi (KTG). Namun, adakalanya
pasien datang dengan gejala mirip persalinan prematur, atau pun datang dengan
perdarahan tidak banyak dengan perut tegang, tetapi janin telah meninggal
diagnosis definitif hanya bisa ditegakkan secara retrospketif yaitu setelah partus
dengan melihat adanya hematoma retroplasenta.
Pemerikasaan dengan ultrasonografi berguna untuk membedakannya dengan
plasenta previa, tetapi pada solusio plasenta pemeriksaan dengan USG tidak
memberikan kepastian berhubung kompleksitas gambaran retroplasenta yang
normal mirip dengan gambaran perdarahan retroplasenta pada solusio plasenta.
Kompleksitas gambaran normal retroplasenta, kompleksitas vascular rahim
sendiri, desidua dan mioma semuanya bisa mirip dengan solusio plasenta dan
memberikan hasil pemeriksaan positif palsu. Di samping itu, solusio plasenta
sulit dibedakan dengan plasenta itu sendiri. Pemeriksaan ulang pada perdarahan
baru sering bisa membanntu karena gambaran ultrasonografi dari darah yang
telah membeku akan berubah menurut waktu menjadi lebih ekogenik pada 48
jam kemudian menjadi hipogenik dalam waktu 1 sampai 2 minggu.
Penggunaan color Doppler bisa membantu diagnosis solusio palsenta di
mana tidak terdapat sirkulasi darah yang aktif padanya, sedangkan pada
kompleksitas lain, baik kompleksitas retroplasenta yang hiperekoik maupun
yang hipeokoik seperti mioma dan kontraksi uterus,terdapat sirkulasi darah yang
aktif padanya. Pada kontraksi uterus terdapat sikulasi aktif di dalamnya, pada
mioma sirkulasi aktif terdapat lebih banyak pada bagian perferi daripada di
bagian tengahnya.
Pulses-wave Doppler dinyatakan tidak menjadi alat yang berguna untuk
menegakkan diagnosis solusio plasenta berhubung hasil pemeriksaaan yang
tidak konsisten.
Magnetic resonance imaging (MRI) bisa mendeteksi darah melalui deteksi
methemoglobin, tetapi dalam situasi darurat seperti pada kasus solusio plasenta
tidaklah merupakan perangkat diagnosis yang tepat.
Alfa-feto-protein serum ibu, Maternal serum alpha fetoprotein screening
(MSAFP) dan human chorionic gonadotropin (hCG) serum ibu ditengarai bisa
melewati plasenta dalam keadaan di mana terdapat gangguan fisiologik dan
keutuhan anatomik dari plasenta. Peninggian kadar MSAFP tanpa sebab lain
yang meninggikan kadarnya terdapat pada solusio plasenta. Adapun sebab-sebab
12

lain yang meninggikan MSAFP adalah kehamilan dengan kelainan-kelainan


kromosom, neural tube defect, juga pada perempuan yang berisiko rendah
terhadap kematian janin, hipertensi karena kehamilan, plasenta previa, ancaman
persalinan prematur, dan hambatan pertumbuham janin. Pada perempuan yang
mengalami persalinan prematur dalam trimester ketiga dengan solusio plasenta
dijumpai kematian MSAFP dengan sensitivitas 67 % bila tanpa perdarahan dan
dengan sensitivitas 100 % bila disertai perdarahan. Nilai ramal negatif (negative
predictive value) pada keadaan ini bisa mencapai 94 % pada tanpa perdarahan
100 % pada perdarahan.
Uji coba Kleihauver untuk mendeteksi darah atau hemoglobin janin dalam
darah ibu tidak merupakan uji coba yang berguna pada diagnosis solusio
plasenta karena perdarahan pada solusio plasenta kebanyakan berasal dari
belakang plasenta, bukan berasal dari ruang intervillus di mana janin berdekatan
sekali dengan darah ibu (Chalik, 2011).
D. Penanganan
I.
Umum
1. Pemberian darah yang cukup
2. Pemberian O2
3. Pemberian antibiotika
4. Pada shock yang berat diberi kostikosteroid dalam dosis tinggi.
II.
Khusus
1. Terhadap hypofibrinogenemia.
- Substitusi dengan human fibrinogen 10 g atau darah segar.
- Menghentikan fibrinolyse dengan trasylol (proteinase inhibitor)
200.000 signa (S) intra vena selanjutnya kalau perlu 100.000
S/jam dalam infus.
2. Untuk merangsang diurese: mannit, mannitol. Diurese yang baik
III.

lebih dari 30-40 cubic centimeter (cc) /jam.


Obstetri
Pimpinan persalinan pada solusio plasenta bertujuan untuk
mempercepat persalinan sedapat-dapatnya kelahiran terjadi dalam 6 jam.
Alasan ialah :
- Bagian plasenta yang terlepas meluas
- Perdarahan bertambah
- Hypofibrinogenemia bertambah
Tujuan ini dicapai dengan :
a) Pemecahan ketuban : pemecahan ketuban pada solusio plasenta tidak
bermaksud untuk menhentikan perdarahan dengan segera tetapi
13

untuk mengurangkan regangan dinding rahim dan dengan demikian


mempercepat persalinan.
b) Pemberian infus pitocin ialah 5 Sigma dalam 500 cc glucose 5 %.
c) Seksio sesarea dilakukan :
- Kalau cervix panjang dan tertutup
- Kalau setelah pemecahan ketuban dan pemberian oxytocin dalam
2 jam belum juga ada his.
- Kalau anak masih hidup.
d) Hysterektomi dilakukan kalau ada atonia uteri yang berat yang tak
dapat diatasi dengan usaha-usaha yang lazim (Sastrawinata, 1984).

2.5.2. Hipertensi Dalam Kehamilan


hipertensi dalam kehamilan,preeklampsia,eklampsia dan sindrom HELLP, peningkatan
enzim hati, dan trombosit rendah.sindrom ini adalah bagian hipertensi dalam kehamilan
dapat merubah

patofisiologi kardiovascular,hematologi, renal, hepar, dan sistem

neurologi.preeklampsi dan penyebab penyerta hipertensi 140/90 mmHg, proteinuria >300


mg/dl.dan edema.jika terjadi edema diperiorbital eklampsia adalah sudah terjadi kejang.
Preeclampsia adalah sindrom yang memiliki manifestasi klinis seperti new-onset
hypertension pada saat kehamilan (setelah usia kehamilan 20 minggu, tetapi biasanya
mendekati hari perkiraan lahir), berhubungan dengan proteinuria: 1+ dipstick atau 300 mg
dalam 24 jam urin tampung. Sindrom ini terjadi pada 5 - 8 % dari seluruh kehamilan.
Pengobatan antihipertensi pada pasien ini bukan ditujukkan untuk menyembuhkan atau
memulihkan preeklamsia. Preeklamsia dapat berkembangkan secara tiba-tiba pada wanita
muda, pada wanita yang sebelumnya normotensive, sehingga perlu pencegahan gangguan
kardiovaskular dan serebrovaskular sebagai konsekuensi dari berat dan cepat peningkatan
tekanan darah,

hal ini adalah tujuan utama manajemen klinis yang membutuhkan

kebijaksanaan penggunaan obat antihipertensi (Levine et.al, 2004).


1.

Eklamsi
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat
dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi secara general dan
dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar
14

10% wanita eklamsi, terutama nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah
postpartum. Setelah perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum dan
intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan bahwa
seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48 jam postpartum (Cunningham, 2005).
a.

Diagnosis
Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan laboratorium guna
memantau perubahan dalam hematologi, ginjal, dan hati yang dapat mempengaruhi
prognosis pasien dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk
memantau pasien hipertensi dalam kehamilan adalah hemoglobin dan hematokrit
untuk memantau hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis hipertensi
gestasional. Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH untuk mengetahui
keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui adanya proteinuria atau jumlah
ekskresi protein urin 24 jam. Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui fungsi
ginjal, yang umumnya pada kehamilan kreatinin serum menurun. Asam urat perlu
diperiksa karena kenaikan asam urat biasanya dipakai sebagai tanda beratnya pre
eklampsia. Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi kronik. Seperti juga pada
kehamilan tanpa hipertensi, perlu pula dilakukan pemeriksaan gula darah dan
kultur urin (Suhardjono, 2007).
Diagnosis hipertensi dalam kehamilan berarti adalah ditemukannya
peningkatan tekanan darah pada pemeriksaan vital sign. Standar pengukuran
tekanan darah adalah sebagai berikut. Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi
duduk dengan posisi cuff setinggi jantung. Adanya penekanan vena kava inferior
oleh uterus gravid pada posisi berbaring dapat mengganggu pengukuran sehingga
terjadi pengukuran yang lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil
dianjurkan untuk duduk tenang 5-10 menit (Gipson dan Carson, 2009).
Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat 140/90
mmHg atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk menentukan tekanan
darah diastolik. Dahulu telah dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan
diastolik 15 mmHg atau sistolik 30 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnostik,
bahkan apabila tekanan darah saat diukur di bawah 140/90 mmHg. Kriteria
tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti menunjukkan bahwa
wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami efek samping
merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya menurun
15

pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik pada primigravida dengan
kehamilan normotensi kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg. Oedem telah
ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik karena hal tersebut juga banyak terjadi
pada wanita hamil yang normotensi. Oedem dianggap patologis bila menyeluruh
dan meliputi tangan, muka, dan tungkai. Sebagai catatan, oedem tidak selalu
terdapat pada pasien preeklamsi maupun eklamsi (Brooks, 2005).
Kriteria diagnosis hipertensi dalam kehamilan rekomendasi dari The
Associety of Obstetrician and Gynaecologists of Canada (JOGC Vol 30 number 3,
March 2008) adalah: 1. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan di rumah sakit
atau tempat pelayanan kesehatan primer, 2. Hipertensi dalam kehamilan
didefinisikan sebagai tekanan diastolic >90 mmHg, didapatkan pada minimal 2 kali
pemeriksaan pada lengan yang sama, 3.Wanita dengan sistolik >140mmHg harus
dipantau untuk mengawasi adanya perkembangan kea rah hipertensi diastolic.
Hipertensi berat, didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik 160 mmHg atau
tekanan darah diastolic 110mHg,5. Untuk hipertensi tidak berat, pemeriksaan
tekanan darah serial harus dicatat sebelum menegakkan diagnosis hipertensi, 6.
Pada hipertensi berat, konfirmasi pemeriksaan ulang dilakukan setelah 15 menit
Pre Eklamsia dan Eklamsia
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :

TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.

Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.

Kemungkinan terjadinya preeklamsi :

TD 160/110 mmHg.

Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.

Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.

Trombosit <100.000/mm3.

Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).

Peningkatan ALT atau AST.

Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.

Nyeri epigastrium persisten. (Cunningham, 2005)


16

Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang


dapat dilihat pada Tabel 2.2. Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut,
semakin besar kemungkinan harus dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara
preeklamsi ringan dan berat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan
dapat berkembang dengan cepat menjadi berat.
Meskipun

hipertensi

merupakan

syarat

mutlak

dalam

mendiagnosis

preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut tingkat keparahan
hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita dewasa muda mungkin terdapat
proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan
wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang.
Peningkatan tekanan darah yang cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului
nyeri kepala berat yang persisten atau gangguan visual.
Pada preeklamsia dapat terjadi komplikasi akibat tekanan darah yang tinggi
sehingga terjadi kejang. Kejang terjadi tanpa adanya riwayat epilepsy dan bukan
merupakan proses intracranial. Keadaan ini dikenal sebagai keadaan eklamsia.
Tabel 2.2. Gejala berat hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, 2005)
Abnormalitas
Tekanan darah

< 100 mmHg


Trace - 1+

110 mmHg
Persisten 2+

diastolik
Proteinuria
Sakit kepala
Nyeri perut

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Ada
Ada
Ada

bagian atas
Oliguria
Kejang (eklamsi)
Serum Kreatinin
Trombositopeni
Peningkatan

Tidak ada
Tidak ada
Normal
Tidak ada
Minimal

Ada
Ada
Meningkat
Ada
Nyata

enzim hati
Hambatan

Tidak ada

Nyata

Tidak ada

Ada

pertumbuhan
janin
Oedem paru

1. Superimposed Preeclampsia
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
17

Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada sebelum
kehamilan 20 minggu.

Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit


<100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum kehamilan
20 minggu (Brooks, 2005).

2.5.3. Emboli Cairan Ketuban


Emboli cairan ketuban adalah komplikasi dari kehamilan dengan tingkat kematian
80%,di USA biasanya disertai emboli pulmonal adalah penyebab kematian ibu. Hasil AFE
dari masuknya cairan amnion kedalam sirkulasi ibu dan menyebabkan dispnea,takipnea
dan hipoksia.Selain itu,ada serangan tiba-tiba dan kardiovascular.
a.

Definisi Emboli Air Ketuban


Emboli cairan ketuban adalah suatu gangguan kompleks yang secara klasik ditandai

oleh terjadinya hipotensi, hipoksia, dan koagulopati konsumtif secara mendadak.


b. Gejala Klinik
Salah satu faktor utama yang membuat AFE sangat mengenaskan adalah tidak dapat
diprediksi sama sekali. Meskipun sebagian besar kasus terjadi saat onset persalinan,
beberapa insiden terjadi di luar persalinan. Pengecualian pada onset waktu adalah jarang,
tetapi beberapa kasus telah dilaporkan terjadi pada periode post-partum lambat, setelah
kelahiran seksio cesarean, amniocentesis, pelepasan plasenta, atau dengan aborsi
terapeutik. Beberapa kasus juga berhubungan dengan trauma abdominal, cervical suture
removal, ruptur uterus, atau intrapartum amnioinfusion.
Manifestasi klasik AFE digambarkan sebagai dyspnea yang tiba-tiba, dan tidak terduga,
kegagalan respiratorik, hipotensi yang diikuti oleh kolaps kardiovaskular, DIC dan
kematian. Menurut Morgan, gejala klinik distress pernafasan terjadi pada 51% pasien,
hipotensi 27%, abnormalitas koagulopati 12%, dan kejang 10%. Analisis Clarkes national
registry (1995) menunjukkan gejala klinik AFE yang terjadi sebelum persalinan adalah
kejang (30%), dyspnea (27%), bradikardi fetal (17%), dan hipotensi (13%). Gejala klinik
AFE yang terjadi setelah persalinan, 54% menunjukkan koagulopati yang mengakibatkan
perdarahan postpartum.
18

Terdapat tiga fase AFE yang diidentifikasi pada manusia. Fase pertama meliputi :
1. Sistim respirasi berupa distress pernafasan dan sianosis
2. Hemodinamik berupa edema pulmonal dan syok hemoragik
3. Neurologis berupa konfusi dan koma
Jika pasien bertahan hidup melewati fase kardiorespiratorik, 40%-50% akan masuk ke
dalam fase kedua, yang dikarakteristik oleh koagulopati, perdarahan, dan syok. Pada fase
kedua, gagal jantung kiri merupakan tanda yang jelas dan yang paling sering dilaporkan.
Peningkatan tekanan kapiler pulmonal dan central venous pressure merupakan
karakteristik edema pulmonal.
Pada fase ketiga, gejala akut telah dilewati dan kerusakan terhadap sistim otak, paru-paru,
dan ginjal telah terjadi. Pasien meninggal akibat kerusakan otak dan paru-paru berat.
Infeksi dan kegagalan multi organ dapat menyebabkan kematian.
Berikut adalah kriteria cardinal AFE.

c. Diagnosis
Pengenalan dan diagnosis AFE dengan segera sangat penting untuk memperbaiki
prognosis maternal dan fetal. Sampai saat ini, diagnosis pasti AFE dibuat hanya setelah
otopsi maternal menunjukkan adanya sel skuamous, lanugo, atau material fetal dan air
ketuban lainnya di dalam vaskulatur arterial pulmonal. Meskipun data laboratorium
mungkin menunjukkan kemungkinan AFE, tidak ada hasil laboratorium atau tanda klinis
yang dapat digunakan untuk mendiagnosis AFE.

19

Dengan demikian, yang bisa dilakukan adalah diagnosis klinis. Karena secara garis besar
air ketuban menyerbu pembuluh darah paru-paru, maka amat penting untuk mengamati
gejala klinis si ibu. Apakah ia mengalami sesak napas, wajah kebiruan, terjadi gangguan
sirkulasi jantung, tensi darah mendadak turun, bahkan berhenti, dan atau adanya gangguan
perdarahan.
Dampak yang ringan biasanya hanya sebatas sesak napas, tapi yang berat dapat
mengakibatkan kematian ibu. Dahulu, ditemukannya sel skuamosa atau debris lain yang
berasal dari janin di sirkulasi paru sentral dianggap patognomonik untuk emboli cairan
amnion. Selain itu beberapa penelitian memperlihatkan bahwa sel skuamosa, trophoblast
dan debris lain yang berasal dari janin mungkin sering ditemukan disirkulasi sentral
wanita dengan kondisi selain emboli cairan amnion.
Dengan demikian, temuan ini tidak sensitif atau spesifik dan diagnosis umumnya
ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis yang khas.
Clark et all juga membuat register nasional untuk AFE sebagai usaha untuk meneliti dan
memahami sindrom ini lebih baik. Berikut adalah kriteria inklusi untuk diagnosis AFE.
d. Penatalaksanaan
Terapi untuk AFE tidak bersifat kausatif, tetapi suportif dan terfokus pada stabilisasi
jantung dan paru ibu. Kebanyakan pasien akan dirawat di Intensive Care Unit (ICU)
setelah dilakukan stabilisasi inisial. Tujuan utama terapi adalah menghindari terjadinya
tambahan

hipoksia

dan

kegagalan

organ.

Prinsip

utama

dalam

menangani

kegawatdaruratan obstetric sama dengan gawatdarurat lainnya, yaitu prinsip ABC


(Airway, Breathing, and Circulation). Perbedaan utamanya adalah perlunya untuk
menangani 2 pasien (ibu dan janin). Fetus harus dimonitor secara kontinyu untuk
mendeteksi tanda-tanda adanya gangguan (lebih diinginkan dilakukan oleh perawat
obstetric yang berpengalaman). Untuk memastikan perfusi uterus yang optimal selama
penanganan AFE, ibu harus dalam posisi miring ke kiri untuk mencegah beban uterus
gravid menekan vena cava inferior dan mengganggu aliran darah.
Meskipun terdapat penurunan mortalitas, tidak ada terapi baru dan tetap bersifat suportif.
Strategi penanganan adalah meningkatkan oksigenasi, mendukung sirkulasi, dan
mengoreksi koagulopati. Bila secara klinis memungkinkan, jalur arterial dan kateter arteri

20

pulmonal harus dilakukan untuk menyediakan akses sample darah untuk analisis sitologi
air ketuban dan fetal debris.
Oksigenasi maternal dengan tekanan oksigen arterial > 60 mmHg harus dicapai dengan
memberikan oksigen melalui face mask kepada seluruh pasien yang sadar. Intubasi trakea
dan ventilasi mekanik menggunakan oksigen 100% harus dilakukan pada pasien dengan
kejang atau koma.
Untuk meningkatkan cardiac output dan menyokong tekanan darah, dapat diberikan
dopamine, pada keadaan syok berat, lebih baik diberikan epinefrin atau norepinefrin.
Obat-obatan lain yang mungkin dapat berguna untuk hipertensi pulmonal berat antara lain
nitric oxide (sebagai vasodilator pulmonal selektif), prostacyclin, dan sildenafil.
Dalam kurang dari 4 jam, 50% pasien yang bertahan hidup melewati fase pertama akan
mengalami DIC dengan perdarahan massif. Dengan demikian, produk-produk darah harus
disiapkan sebelumnya, seperti packed red blood cells atau darah O-negative. Penanganan
DIC memerlukan transfusi packed red blood cells dan produk-produk darah lainnya. Akses
intravena

diperlukan

karena

mungkin

diperlukan

transfusi

massif.

Platelets,

cryoprecipitate, dan fresh frozen plasma harus diberikan sesuai prosedur berdasarkan hasil
laboratorium prothrombin time, fibrinogen, fibrin dan fibrin degradation product (FDP).
Secara ringkas, terdapat tiga tujuan utama terapi yaitu oksigenasi, mempertahankan
cardiac output dan tekanan darah, dan koreksi koagulopati. Segera setelah keadaan ibu
stabil, focus perhatian ditujukan pada kelahiran bayi. Jika fetus telah matur dan belum
dilahirkan pada saat maternal cardiac arrest, seksio cesarean harus dilakukan sesegera
mungkin.
Wanita yang belum melahirkan dan mengalami henti jantung harus dipertimbangkan untuk
melakukan tindakan seksio caesaria perimortem darurat sebagai upaya menyelamatkan
janin. Namun, bagi ibu yang hemodinamikanya tidak stabil, tetapi belum mengalami henti
jantung, pengambilan keputusan yang seperti itu menjadi semakin rumit.
Bila AFE terjadi sebelum atau selama persalinan, fetus dalam bahaya sejak onset AFE
terjadi akibat krisis kardiopulmonal maternal. Kelahiran fetus meningkatkan kesempatan
akan prognosis yang baik untuk ibu karena beban uterus gravid pada vena cava inferior
berkurang sehingga dapat mengurangi penurunan tekanan darah sistemik. Dengan
demikian, segera setelah kondisi ibu stabil, kelahiran bayi harus segera dilakukan. Jika
21

resusitasi ibu tidak berhasil, emergency bedside seksio cesarean diperlukan untuk
menyelamatkan janin. Semakin segera setelah maternal cardiopulmonary arrest fetus
dilahirkan, semakin baik prognosis fetus. Oleh sebab itu, meskipun tampaknya sulit serta
meskipun ibu mungkin dipandang sebagai pasien utama, usaha resusitasi yang
berkepanjangan tidak disarankan.

2.5.4. Emboli pulmonal


Ada berbagai macam kejadian trombotik selama kehamilan. Kejadian Deep Vein
Thrombosis (DVT) berkisar dari 0,18% menjadi 0,25 %.pada pasien dengan DVT tidak
diobati 15-20% mengembangkan emboli paru dibandingkan 50% pada pasien yang
diobati.Etilogi untuk DVT adalah dinding pembuluh,vena,dan perubahan dalam koagulasi
(virchow triad) faktor risiko termasuk usia ibu,paritas,obesitas,antitrombin,dll.Diagnosis
dapat dipastikan dengan USG,MRI. Pengobatan dilibatkan penggunaan heeparin dan
dipantau.Tanda

tanda

emboli

pulmonal

termasuk

dyspnea,takipnea,dan

nyeri

dada.Diagnosis dibuat dari presentasi klinis,gas darah dan EKG.


a. Definisi emboli
Emboli pulmonal merupakan suatu kondisi tersumbatnya pembuluh darah
pulmonal (atau salah satu cabangnya) oleh bekuan darah, lemak, sel tumor, udara, air
ketuban atau benda-benda asing lain.
b.

klasifikasi
Klasifikasi emboli paru tergantung dari banyaknya pembuluh darah yang tersumbat

dan daerah pulmo yang dipengaruhinya, yaitu


-

Minor

Sub massif

Masif

22

Dikatakan emboli paru masif jika trombus menyumbat lebih dari 50%
vaskularisasi daerah pulmo atau jika terdapat dua atau lebih lobar vessel yang
tersumbat oleh trombus dapat dideteksi dengan angiogram atau lebih dari 50% tidak
ada perfusi dilihat dari scan paru.

c. Diagnosis
Gejala
Gejala klinis dari emboli paru sangat bervariasi, antara lain dispneu, nyeri dada,
batuk,dan hemoptisis. Gejala tidak spesifik pada pasien yang di sedasi dan sakit kritis
antara lain peningkatan kebutuhan oksigen, hipokarbia dan kolaps kardiovaskuler
mendadak.
Pemeriksaan fisik
Takipnea, takikardi, hipotensi, pulsasi arteri menurun, tanda-tanda gagal jantung
kanan seperti peningkatan JVP, gallop. Dipertimbangkan PE jika didapatkan tanda
kegagalan weaning dan demam persisten tanpa adanya bukti infeksi.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium

Faktor koagulasi ( PT, INR,APTT)

Analisa gas darah

D dimer

Troponin

B-type natriuretik peptide (BNP)


2. Elektrokardiografi

23

Terdapat ST elevasi, RBBB komplit atau inkomplit, aritmia, takikardi. Tanda yang
klasik dari emboli paru adalah gelombang S besar di lead I. gelombang Q yang besar
di lead III, dan T inverted di lead III (S1Q3T3)
3. Rontgen thorak
Tidak spesifik karena banyak memberi gambaran normal, tetapi pada stadium lanjut
terlihat gambaran Westermark sign (dilatasi pembuluh darah pulmonal, pleural efusi,
dan elevasi dari diafragma)
1. Scanning Ventilasi/perfusi (V/Q) Paru
Ventilation Pulmonary Scanning (V/Q lung scanning) membantu menegakkan
diagnosa pada pasien tanpa riwayat penyakit kardiopulmonal dan didapatkan rontgen
thorak yang normal.
2. Echocardiografi
Dapat sebagai alat diagnostik yang cepat. Digunakan pada pasien yang diberi
trombolisis atau jika akan dilakukan embolektomi.
3.

Pulmonary angiografi
Pemeriksaan invasif, paling tepat dan spesifik untuk mendeteksi adanya emboli paru.
Kontraindikasi pada pasien yang alergi terhadap kontras, wanita hamil, pasien dengan
riwayat emboli paru yang didiagnosa dengan V/Q Scan.

4.

Spiral computed tomographic pulmonary angiography (CTPA)


CTPA dapat secara akurat mendeteksi disfungsi ventrikel kanan dan derajat emboli
paru.
Penilaian untuk menentukan probabilitas seorang pasien menderita emboli paru,
dapat dipakai Wells score.
Tabel skor Wells
Kriteria

skor

Suspek DVT secara klinis

Diagnosis alternatif lain kurang mungkin

24

dibandingkan PE
Takikardi

1,5

Imobilisasi

1,5

Riwayat DVT atau PE

1,5

Hemoptisis

Keganasan

Interpretasi
Tradisional

Skor >6: risiko tinggi

Skor 2-6: risiko sedang

Skor <2: risiko rendah


Alternatif

Skor >4 : kemungkinan besar PE. Dipertimbangkan pencitraan

Skor <4 : kemungkinan PE. Periksa D dimer untuk diagnosis


PE
Sumber: Adam 9

d.Penatalaksanaan
Suportif
Terapi vasopressor (dopamin, norepinefrin) harus dipertimbangkan jika hipotensi
menetap. Oksigenasi, intubasi, dan ventilasi mekanik jika terjadi gagal nafas. Jika
digunakan ventilasi mekanik, diperlukan penanganan khusus untuk mengevaluasi
efeknya terhadap hemodinamik. Ventilasi mekanis dapat mengurangi aliran balik vena
dan memperburuk kegagalan RV pada pasien dengan PE masif
1.

Antikoagulan
Unfractionated heparin (UFH)
25

Tabel 3 Dosis Heparin berdasar kadar aPTT

Low molecular weight heparin (LMWH)


Dosis enoxaparin 1 mg/kg subcutan setiap 12 jam. Keuntungan LMWH adalah dosis
lebih mudah, tidak memerlukan pemeriksaan faktor koagulasi secara rutin.
Warfarin (Coumadin)
Diberikan pada hari pertama pemberian heparin. Pemantauan dengan periksa INR.
Warfarin diberikan 3-6 bulan.
2. Trombolisis
Indikasi trombolisis untuk emboli paru

Absolut :
Emboli paru masif dengan hipotensi atau hipoperfusi sistemik

Relatif

Disfungsi ventrikel kanan

Hipertensi Pulmonal

Extensive Deep vein thrombosis

Mencegah berulangnya emboli paru

26

Tabel Trombolitik yang dipakai untuk emboli paru :


Obat

Dosis

Streptokinase (Streptase)

250.000 U selama 30
menit,
100.000U/jam

kemudian
selama

24 jam
Urokinase (abbokinase)

4400 U/kg selama 10


menit, kemudian 4400
U/kg/jam selama 12 jam
atau 24 jam

Recombinant

tissue

plasminogen

activator

100 mg selama 2 jam

(rTPA)
Sumber: Adam9

3. Insersi inferior vena cava (IVC) filter


Dilakukan jika terdapat kontraindikasi terhadap terapi antikoagulan, atau terjadi
emboli paru selama terapi antikoagulan, terdapat free floating thrombus. Komplikasi
pemasangan IVC filter antara lain: kegagalan mencegah emboli paru, oklusi vena cava
inferior, pecahnya filter, dan embolisasi fragmen filter ke jantung dan paru serta
perforasi cava, risiko DVT meningkat, trombosis vena cava. Untuk itu Pasien yang
terpasang IVC filter sesegera mungkin diberikan antikoagulan jika sudah stabil,
kemudian IVC filter dapat dilepas (setelah terapi antikoagulan efektif).

27

Gambar 1 Bard Denali IVC filter


4. Pulmonary Embolectomy
Embolectomi paru jarang dilakukan, tetapi dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan PE besar yang tidak responsif terhadap trombolisis atau trombolisis
merupakan kontraindikasi absolut. Insersi vena cava filter harus dipertimbangkan
untuk

pasien

berisiko

tinggi

emboli

paru,

dimana

antikoagulan

menjadi

kontraindikasi, serta pasien dengan emboli paru berulang meskipun telah mendapat
antikoagulan.

28

BAB III
KESIMPULAN
Perawatan intensif pasien hamil melibatkan perawatan simultan dari dua pasien.Keputusan
penting dibuat untuk keselamatan ibu sangat dapat mempengaruhi janin.Sesuatu pemahaman
dasar tentang perubahan fisiologis yang beruhubungan dengan kehamilan diperlukan untuk
memberikan perawatan yang tepat untuk kondisi kritis ibu hamil.

29

Anda mungkin juga menyukai