Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

MANAJEMEN FISIOTERAPI KARDIOVASKULO


PULMONAL
EMPHYSEMA

NAMA KELOMPOK

Ni Kadek Utari Warmadewi 1402305013


Ni Putu Witari Ikayani 1402305014
Dewa Ayu Kd Ari Purnama Dewi 1402305015
Ni Luh Gd Wiwin Sriandani 1402305016
Made Krisna Agustara 1402305017
Deva Natalia Motik 1402305018
Luh Dwi Erna Krismawati 1402305019
Puji Agustine Sri Rahayu 1402305020
Ni Putu Septiarini Yuana Putri 1402305021
Pande Komang Indra Pramadewa 1402305022
Natasya Talia Kadakolo 1402305023

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 2
A. DEFINISI ................................................................................................. 3
B. ETIOLOGI ................................................................................................ 3
C. FAKTOR RISIKO .................................................................................... 4
D. PATOFISIOLOGI .................................................................................... 4
E. GEJALA KLINIS ..................................................................................... 6
F. PROSES ASUHAN FISIOTERAPI
1. Assessment
a. Anamnesis .................................................................................... 7
b. Pemeriksaan
Pemeriksaan Umum ..................................................................... 7
Pemeriksaan Khusus .................................................................... 7
Pemeriksaan Penunjang ............................................................... 16
2. Diagnosis Berdasarkan ICF ............................................................... 19
3. Planning ............................................................................................. 20
4. Intervensi
a. Postural Drainase ......................................................................... 20
b. Clapping atau Perkusi .................................................................. 23
c. Vibrating ...................................................................................... 24
d. Breathing Exercise ....................................................................... 25
e. Latihan Batuk Efektif ................................................................... 30
5. Evaluasi .............................................................................................. 31
6. Edukasi ............................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 32

2
A. DEFINISI EMPHYSEMA
Emphysema adalah suatu kondisi yang melibatkan kerusakan pada dinding
kantung udara (alveoli) di paru-paru. Biasanya ada lebih dari 300 juta alveoli di
paru-paru. Alveoli biasanya melar dan kenyal, seperti balon kecil. Seperti balon,
dibutuhkan upaya untuk mengembangkan alveoli yang normal; namun, tidak
dibutuhkan energi untuk mengosongkan alveoli karena dengan sendirinya akan
kembali ke ukuran aslinya. Pada kasus emphysema, dinding dari beberapa alveoli
telah rusak. Ketika ini terjadi, alveoli kehilangan stretchiness mereka dan
menjebak udara. Karena sulit untuk mendorong semua udara keluar dari paru-paru,
paru-paru tidak efisien dalam mengosongkan dan karena itu mengandung udara lebih
banyak dari biasanya. Ini disebut air trapping dan menyebabkan hiperinflasi pada
paru-paru. Kombinasi terus terjadi menyebabkan tambahan udara di paru-paru dan
perlu usaha ekstra untuk bernapas terjadi pada orang yang sesak napas. Obstruksi
jalan napas terjadi pada emphysema karena alveoli yang biasanya mendukung
terbukanya saluran udara tidak dapat melakukannya selama inhalasi atau ekshalasi.
Tanpa dukungan dari alveoli, saluran pernapasan collapse, sehingga menyebabkan
obstruksi aliran udara. (American Thoracic Society, 2013).

B. ETIOLOGI
Emphysema dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
1. Rokok
Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan
nafas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan
hyperplasia kelenjar mucus bromkus.
2. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emphysema seperti polusi
udara misalnya asap tembakau dapat menyebabkan gangguan pada silia
menghambat fungsi makrofag alveolar.
3. Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat, penyakit
infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut, dan asma bronkiale,
dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan terjadinya emphysema.

3
4. Genetik
Faktor genetic juga berpengaruh terhadap terjadinya emphysema.
5. Paparan debu
Terpapar dengan debu juga bisa menyebabkan emphysema.

C. FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya kondisi Empisema meliputi :
1. Merokok
Empisema paling mungkin berkebang pada perokok, meningkat sesuai dengan
jumlah usia dan jumlah tembakau yang di hisap.
2. Usia
Usia sangat berpengaruh, biasanya sebagian besar yang terkena Empisema akibat
tembakau mengalami. Gejala umumnya muncul pada usia 40 dan 60 tahun.
3. Paparan asap rokok
Terjadi pada perokok pasif yaitu orang yang tidak sengaja menghisap asap dari
rokok orang lain. Menjadi Perokok pasif dapat meningkatkan risiko empisema.
4. Pekerjaan yang menimbulkan paparan debu atau asap
Jika anda bekerja pada situasi sering menghirup asap dari bahan kimia tertentu,
dan debu dari produk biji-bijian, kapas, kayu, atau pertambangan anda lebih
mungkin mengembangkan empisema terlebih lagi jika perokok.
5. Paparan polusi dalam atau luar ruangan
Menghirup polutan dalam ruangan seperti asap dari bahan pemanas, serta polutan
luar ruangan seperti knalpot mobil dapat meningkatkan Empisema.

D. PATOFISIOLOGI

Gambar 1. Diagram Patogenesis


Emphysema
(Sumber : Goldklang, 2013)

4
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emphysema paru. Yaitu penyempitan
saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari
elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan
suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada
peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi
paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat
keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak
terjadi kerusakan.

Gambar 2. Mekanisme Inflamasi pada kasus Emphysema


(Sumber : Goldklang, 2013)
Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru.
Arsitektur paru akan berubah dan timbul emphysema.Sumber anti elastase yang
penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase
bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa-
1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya
tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi
kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emphysema. Sedangkan pada
paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru
keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan
tekanan yang menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru.

5
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik
jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan
tertutup. Pada pasien emphysema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih
banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang
rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung
pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi
perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli
tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas. (Goldklang, 2013)

E. GEJALA KLINIS
Beberapa orang memiliki emphysema selama bertahun-tahun tanpa
menyadarinya, karena penyakit ini timbul secara bertahap (progresif). Banyak kasus
tidak didiagnosis sampai kerusakan irreversibel terjadi. Beberapa tanda-tanda
pertama adalah sesak napas dan batuk, terutama selama latihan atau aktivitas fisik.
Hal ini akan terus memburuk sampai sulit bernapas sepanjang waktu, bahkan ketika
beristirahat. Emphysema dimulai dengan hancurnya alveoli di paru-paru dimana
oksigen dari udara dipertukarkan dengan karbondioksida dalam darah. Dinding
alveoli tipis dan rapuh. Kerusakan pada alveoli bersifat irreversibel. Oleh karena
alveoli rusak maka pasokan oksigen ke aliran darah akan berkurang dan hal ini
menyebabkan sesak napas. Paru-paru juga kehilangan elastisitas mereka, yang
penting untuk menjaga saluran udara terbuka. Pasien akan mengalami kesulitan
menghembuskan napas. Adapun gejala dari emphysema yaitu :
a. Sianosis sentral
b. Sesak napas
c. Batuk kronis
d. Sakit kepala saat bangun pagi hari
e. Sering merasa gelisah
f. Penurunan berat badan
g. Sering merasa kelelahan
h. Berkurangnya nafsu makan
i. Kemampuan untuk berolahraga dan menjalani aktivitas rutin menurun
j. Napas pendek sehingga tidak bisa menaiki tangga
Adapun tanda-tanda dari emphysema yaitu :

6
a. Barrel chest yaitu perubahan bentuk dada yang disebabkan oleh pembesaran
paru-paru dan dinding dada serta penggunaan otot-otot pernapasan yang
tidak efektif.
b. Gerakan otot pernapasan yang tidak teratur
c. Getaran dada selama berbicara disebut juga taktil fremitus
d. Menunjukkan Pursed-lip breathing yang bertujuan untuk membuat setiap
napas lebih efektif
e. Sulit untuk meraba denyut bagian apeks karena adanya hiperinflasi
f. Adanya penurunan suara napas serta terdengar wheezing saat ekspirasi
g. Clubbing finger

F. PROSES ASUHAN FISIOTERAPI


1. Assessment
a. Anamnesis
Anamnesis ini dibagi menjadi anamnesis umum dan anamnesis khusus. Pada
anamnesis umum akan dilakukan penggalian informasi mengenai identitas
diri pasien, seperti nama, umur, alamat dan pekerjaan. sedangkan dalam
anamnesis khusus akan dilakukan penggalian informasi tentang keluhan
umum yangmerupakan chief complaints atau hal yang dikeluhkan pasien
hingga pasien datang ke fisioterapi. Selain itu akan dilakukan penggalian
informasi mengenai Basic Four seperti riwayat penyakit sekarang yang di
dalamnya terdapat pertanyaan seputar sacred seven, riwayat penyakit dahulu,
riwayat penyakit keluarga dan riwayat penyakit sosial.
b. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Umum
Berupa Vital Sign pasien seperti tinggi badan, berat badan, indeks
masa tubuh, respiration rate, tekanan darah, denyut nadi dan suhu
tubuh.
2. Pemeriksaan Khusus
a. Inspeksi
Seseorang dengan emphysema saat diinspeksi akan terlihat adanya
usaha nafas yang lebih (breathlessness) dan costal indrawing.
Selain itu akan tampak perubahan diameter thorax normal menjadi

7
Barrel Chest yaitu penambahan diameter thorax anterior posterior,
Pink puffer (SOB dan tachypnea), hyperinflation dan respiratory
distress.

Gambar 3. Postur Barrel Chest


(Sumber : Hough A, 2001)
b. Palpasi
Pada pasien emphysema perlu dilakukan palpasi pada pososo
trachea sebagai salah satu indikator adanya gangguang sisi paru
yang mengalami patologi. Akan terjadi penurunan daaya ekspansi
thorac, fremitus menurun dan range inspirasinya menurun.
c. Perkusi
Lakukan perkusi pada area anterior dan posterior lalu bandingkan
anatar kiri dengan kanan, biasanya pada penderita emphysema
auskultasi akan menjadi hyperresonant dan diapragmatic excurtion
menurun (normalnya 5-6cm).
d. Auskultasi
Dengarkan lima lobus pada paru dan bandingkan antara kiri
dengan kanan. Biasanya air entry menurun pada kasus ini.
e. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar (PFGD)
f. Spesifik Test
1. Pulmonary Function Test (Spirometry)

8
Gambar 4. Spirometry
(Sumber : allergyasthmaclinic.com)
Fungsi pulmonal (post-bronchodilator forced expiratory volume in
one second (FEV1)/forced vital capacity (FVC)) pasien dengan
spirometri dapat diperiksa terlebih dahulu sebelum pemeriksaan
spesifik berikutnya untuk menilai adanya airflow limitation.
Spirometri ini dapat diterapkan setelah mengetahui riwayat pasien:
exposure to cigarettes; and/or environmental or occupational
pollutants; and/or presence of cough, sputum production or
dyspnea. Klasifikasi spirometrik dapat digunakan untuk
menentukan status kesehatan, evaluasi klinik, dan konfirmasi
secara fisiologis dari kasus PPOK, khususnya emphysema.

Gambar 5. Perbandingan Spirogram Normal dengan emphysema


(sumber : http://oac.med.jhmi.edu)

9
Adapun klasifikasi spirometri pada kasus PPOK ialah sebagai
berikut :

Gambar 6. Tabel Klasifikasi Spirometri


(Sumber : Celli, BR., et al. 2004)
2. Pemeriksaan Kapasitas Fungsional Paru dan Toleransi
Latihan
a. Six-Minutes Walk Test (6MWT)

Gambar 7. Rute 6MWT


(Sumber : Celli, BR., et al. 2004)

Metode 6MWT merupakan salah satu modalitas dalam


mengevaluasi kapasitas fungsional latihan. Metode ini
menggunakan jarak sejauh 100 kaki (30 m) tanpa peralatan
latihan ataupun pelatihan, namun hanya berjalan. Yang dinilai
ialah seberapa mampu pasien berjalan di permukaan yang datar
selama 6 menit serta respon pasien secara menyeluruh seperti:
sistem kardiopulmonal, sirkulasi darah sistemik dan perifer,
neuromuscular, dan metabolism otot. Self-paced 6MWT menilai
kapasitas fungsional submaksimal. Skala yang digunakan dalam

10
menilai kapasitas fungsional latihan pasien selama melakukan
metode 6MWT yaitu Borg Scale.

Gambar 8. Skala Borg


(sumber : American Thoracic Society. 2002)
Indikasi dan kontraindikasi bagi pasien dalam
melaksanakan metode ini ialah:

Gambar 9. Tabel Indikasi Six-Minute walk Test


(Sumber: American Thoracic Society. 2002)
Sedangkan kontraindikasi untuk metode 6MWT terdiri dari
kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi absolutnya
termasuk angina yang tidak stabil dan infark miokard selama
beberapa bulan sebelumnya. Untuk kontraindikasi relatifnya
yaitu resting heart rate lebih dari 120, tekanan darah sistolik
lebih dari 180 mm Hg, dan tekanan darah diastolik lebih dari
100 mm Hg.

11
Pasien dengan temuan kondisi tersebut sebaiknya dirujuk
dahulu pada tenaga medis lainnya atau diawasi selama
pemeriksaan klinis individu dan persiapan pelaksanaan tes.
Hasil dari EKG istirahat selama enam bulan sebelumnya
sebaiknya ditinjau sebelum tes. Stable exertional angina
bukanlah kontraindikasi absolut untuk metode 6MWT, namun
pasien dengan gejala ini dapat mengikuti tes setelah pengobatan
antiangina dan rescue nitrate medication harus tersedia selama
tes. (Pernyataan American Thoracic Society, tahun 2002)
Sedangkan persiapan yang dibutuhkan bagi fisioterapis dan
pasien ialah sebagai berikut.

Gambar 10. Persiapan Six Minute Walking Test


(Sumber : American Thoracic Society. 2002)

12
Gambar 11. Contoh Laporan Hasi; <etode 6MWT
(sumber : Reid, WD., Chung, Frank. 2004)

b. Upper Extremity Motion (with UEF system)

13
Gambar 12. Pengaturan eksperimen UEF dan hasil keluaran sensor
(kecepatan angular siku).
(sumber : Toosizadeh, Nima., et al. 2017)
Alternatif selain metode 6MWT ialah menilai gerakan
ekstremitas atas pasien, terutama apabila pasien termasuk dalam
kategori kontraindikasi atau tidak mampu melakukan tes
berjalan. Dalam pemeriksaan ini, pasien secara repetitif
melakukan gerakan fleksi dan ekstensi secara penuh pada siku
yang dominan dalam posisi duduk. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan selama 20 detik percobaan.
Berikut parameter yang dinilai pada pemeriksaan ini:

Gambar 12. Tabel Parameter UEF


(sumber : Toosizadeh, Nima., et al. 2017)
c. Shuttle Walking Test

14
Gambar 13. Lintasan Shuttle Walking Test
Pemriksaan ini terdiri dari Incremental Shuttle Walk Test
(ISWT) & Endurance Shuttle Walk Test (ESWT), yang dimana
menggunakan jarak 10 meter. Pemeriksaan ini dapat dinilai
valid untuk mengukur kapasitas fungsional kardiopulmonal
pada pasien PPOK dan dapat memprovokasi respon fisiologis
yang mirip dengan Cardiopulmonal Exercise Test (CPET).
d. Alignment & Mobility of the Upper Quadrant
Pemeriksaan ini baru diteliti sekali oleh Morais et al (2015)
yang dimana menilai beberapa region seperti:
Head, thoracic spine and shoulder (menggunakan lateral
digital photographs). Instruksi bagi pasien: posisi netral dan
maksimal dari protraksi dan retraksi kepala, fleksi dan
ekstensi thorak, serta fleksi bahu.
Pectoralis minor muscle (PmM) length (menggunakan pita
ukur, dari coracoid process - inferior border of the 4th rib,
posisi berdiri dengan tangan di samping trunk). Pemendekan
otot ini berhubungan dengan fungsi respirasi dan ditemukan
pada pasien dengan kasus kronik.
Thoracic excursion (chest mobility) menggunakan pita ukur
pada upper-lower thorax.
Upper thoracic excursion dinilai dengan menempatkan pita
ukur pada intercostal space at the midclavicular line dan
proc. spinosus thoracal V. Lower thoracic excursion diukur
pada ujung proc. xiphoid dan proc. spinosus thoracal X.
Pasien diminta menahan nafasnya pada puncak inspirasi dan
ekspirasi untuk pengumpulan data. Kesimpulan yang didapat
dari hasil penelitian ini yaitu adanya adaptasi
musculoskeletal yang mempengaruhi: pasien dengan kasus
PPOK menunjukkan gangguan fungsi pulmonal yang
berasosiasi dengan panjang otot pectoralis minor dan gerakan
dari kuadran tubuh atas (seperti protraksi kepala dan

15
thoracal), hal ini dimunkinkan karena adanya adaptasi
musculoskeletal terhadap kondisi respiratori kronik.
3. Differential (or Additional) Diagnosis
a. Cardiopulmonary Exercise Test

Gambar 13. Cycle Ergometry


(Sumber : http://circ.ahajournals.org)
Pemeriksaan ini dilakukan sebagai evaluasi tambahan
yang menilai apakah ada factor lain yang ikut berkontribusi
dalam terbatasnya toleransi latihan (contoh: myocardial
ischemia, early onset metabolic acidosis is associated with
skeletal muscle dysfunction). Peralatan yang digunakan ialah
cycle ergometry, berdasarkan berbagai pertimbangan dan
keamanan pasien emphysema.
Penunjang diagnosis lainnya dapat berasal dari gambaran
radiologi, tes arterial blood gas, dan/atau tes alpha1-
antitrypsin deficiency (apabila terdapat riwayat keluarga
yang mengalami emphysema).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang emphysema berdasarkan Khan, Ali (2016)
terbagi menjadi berikut :
Pemeriksaan rutin

16
a. Faal paru
b. Spirometri
c. Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15-20 menit kemudian. Dilakukan pada pasien yang
stabil.
d. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
e. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain
Pada emphysema terlihat gambaran :
a. Hiperinflasi
b. Hiperlusen
c. Ruang retrosternal melebar
d. Diafragma mendatar
e. Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)

17
Gambar 14 Radiologi Emphysema
(Sumber : Khan, Ali Nawaz. 2016)
Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
a. Radiologi
CT - Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emphysema dini dan menilai jenis serta derajat
emphysema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks
polos
Scan ventilasi perfus

Gambar 14 Radiologi Emphysema


(Sumber : Khan, Ali Nawaz. 2016)

b. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh
Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
c. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung
d. Bakteriologi

18
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
e. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emphysema herediter
(emphysema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang
ditemukan di Indonesia.

2. Diagnosis berdasarkan ICF


a. Body Structure
Rusaknya dinding alveoli dan hilangnya elastisitas paru
b. Body Function
Emphysema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku dan
mengembang dan terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi.
Emphysema bersifat progresif ketika dinding-dinding alveoli rusak atau
hancur bersama dengan pembuluh-pembuluh darah kapiler yang mengalir
didalamnya. Hal ini mengurangi total area didalam paru dimana darah dan
udara tidak dapat bersentuhan sehingga membatasi potensi pertukaran O2
dan CO2.
c. Activities & Participation
- Sesak napas saat melakukan kegiatan (exertional breathlessness)
- Tidak dapat melakukan aktivitas yang dapat menyebabkan kelelahan
seperti berolahraga,aktivitas sehari-hari,hobi maupun pekerjaan
- Kehilangan nafsu makan
d. Enviromental Factors
- Bagi penderita yang memiliki pekerjaan tidak dapat bekerja dalam waktu
yang cukup lama seperti biasanya
- Pengaruh lingkungan yang mayoritas merokok menyebabkan penderita
sulit untuk menghilangkan kebiasaan merokok
- Mengurangi aktivitas dengan intensitas yang berat
e. Personal Factors

19
Penderita dapat termotivasi untuk menjalankan perawatan apabila ada
dukungan dari dokter spesialis,fisioterapi,keluarga serta motivasi dari diri
sendiri khususnya untuk berhenti merokok bagi perokok.

3. Planning
Planning Jangka Pendek
Mengurangi sesak nafas, meningkatkan endurance, mengoptimalkan ventilasi
paru
Planing Jangka Panjang
Beraktifitas normal kembali

4. Intervensi
Tujuan dari fisioterapi adalah :
a. Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi batuk.
b. Mengatasi gangguan pernapasan pasien.
c. Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks.
d. Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan.
e. Mengurangi spasme otot leher.

Penerapan Fisioterapi pada pasien emphysema sebagai berikut :


1. Postural Drainase
Postural drainase (PD) merupakan salah satu intervensi untuk melepaskan
sekresi dari berbagai segmen paru dengan menggunakan pengaruh gaya
gravitasi.. Mengingat kelainan pada paru bisa terjadi pada berbagai lokasi maka
PD dilakukan pada berbagai posisi disesuaikan dengan kelainan parunya. Waktu
yang terbaik untuk melakukan PD yaitu sekitar 1 jam sebelum sarapan pagi dan
sekitar 1 jam sebelum tidur pada malam hari. PD dapat dilakukan untuk
mencegah terkumpulnya sekret dalam saluran nafas tetapi juga mempercepat
pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi atelektasis. Pada penderita dengan
produksi sputum yang banyak PD lebih efektif bila disertai dengan clapping dan
vibrating.
a. Indikasi untuk Postural Drainase :
Pasien yang memakai ventilasi,

20
Pasien yang melakukan tirah baring yang lama
Pasien yang produksi sputum meningkat seperti pada fibrosis
kistik atau bronkiektasis
Pasien dengan batuk yang tidak efektif .
Pasien dengan atelektasis yang disebabkan oleh sekret
Pasien dengan abses paru
Pasien dengan pneumonia
Pasien pre dan post operatif
Pasien neurologi dengan kelemahan umum dan gangguan
menelan atau batuk
b. Kontra Indikasi Untuk Postural Drainase :
Tension pneumotoraks
Hemoptisis
Gangguan sistem kardiovaskuler seperti hipotensi, hipertensi,
infark miokard akutrd infark dan aritmia.
Edema paru
Efusi pleura yang luas
c. Persiapan Pasien Untuk Postural Drainase.
Longgarkan seluruh pakaian terutama daerah leher dan pinggang.
Terangkan cara pengobatan kepada pasien secara ringkas tetapi
lengkap.
Periksa nadi dan tekanan darah.
Apakah pasien mempunyai refleks batuk atau memerlukan
suction untuk mengeluarkan sekret.
d. Cara melakukan pengobatan :
Terapis harus di depan pasien untuk melihat perubahan yang
terjadi selama Postural Drainase.
Postoral Drainase dilakukan dua kali sehari, bila dilakukan pada
beberapa posisi tidak lebih dari 40 menit, tiap satu posisi 3 10
menit.
Dilakukan sebelum makan pagi dan malam atau 1 s/d 2 jam
sesudah makan.
e. Penilaian Hasil Pengobatan :

21
Pada auskultasi apakah suara pernafasan meningkat dan sama kiri
dan kanan.
Pada inspeksi apakah kedua sisi dada bergerak sama.
Apakah batuk telah produktif, apakah sekret sangat encer atau
kental
Bagaimana perasaan pasien tentang pengobatan apakah ia merasa
lelah, merasa enakan, sakit.
Bagaimana efek yang nampak pada vital sign, adakah temperatur
dan nadi tekanan darah.
Apakah foto toraks ada perbaikan.
f. Kriteria Untuk Tidak Melanjutkan Pengobatan :
Pasien tidak demam dalam 24 48 jam.
Suara pernafasan normal atau relative jelas.
Foto toraks relative jelas.
Pasien mampu untuk bernafas dalam dan batuk.
g. Alat Dan Bahan :
Bantal 2-3
Tisu wajah
Segelas air hangat
Masker
Sputum pot
h. Prosedur Kerja :
Jelaskan prosedur
Kaji area paru, data klinis, foto x-ray
Cuci tangan
Pakai masker
Dekatkan sputum pot
Berikan minum air hangat
Atur posisi pasien sesuai dengan area paru yang akan didrainage
Minta pasien mempertahankan posisi tersebut selama 10-15
menit. Sambil PD bisa dilakukan clapping dan vibrating
Berikan tisu untuk membersihkan sputum
Minta pasien untuk duduk, nafas dalam dan batuk efektif
22
Evaluasi respon pasien (pola nafas, sputum: warna, volume,
suara pernafasan)
Cuci tangan
Dokumentasi (jam, hari, tanggal, respon pasien)
Jika sputum masih belum bisa keluar, maka prosedur dapat
diulangi kembali dengan memperhatikan kondisi pasien.

Gambar 15. Postural Drainase Position


(sumber: Chaeruman, Uwes)
2. Clapping atau Perkusi
Perkusi adalah tepukan dilakukan pada dinding dada atau punggung
dengan tangan dibentuk seperti mangkok. Tujuan melepaskan sekret yang
tertahan atau melekat pada bronkhus. Perkusi dada merupakan energi

23
mekanik pada dada yang diteruskan pada saluran nafas paru. Perkusi dapat
dilakukan dengan membentuk kedua tangan deperti mangkok. lndikasi
untuk perkusi : Perkusi secara rutin dilakukan pada pasien yang mendapat
postural drainase, jadi semua indikasi postural drainase secara umum adalah
indikasi perkusi.
a. Perkusi harus dilakukan hati-hati pada keadaan :
Patah tulang rusuk
Emphysema subkutan daerah leher dan dada
Skin graf yang baru
Luka bakar, infeksi kulit
Emboli paru
Pneumotoraks tension yang tidak diobati
b. Alat dan bahan : Handuk kecil
c. Prosedur kerja :
Tutup area yang akan dilakukan clapping dengan handuk untuk
mengurangi ketidaknyamanan
Anjurkan pasien untuk rileks, napas dalam dengan Purse lips
breathing
Perkusi pada tiap segmen paru selama 1-2 menit dengan kedua
tangan membentuk mangkok.

Gambar 15. Postural Drainase Position


(sumber : Chaeruman, Uwes)
3. Vibrating
Vibrasi secara umum dilakukan bersamaan dengan clapping. Sesama
postural drainase terapis biasanya secara umum memilih cara perkusi atau
vibrasi untuk mengeluarkan sekret. Vibrasi dengan kompresi dada
menggerakkan sekret ke jalan nafas yang besar sedangkan perkusi
melepaskan/melonggarkan sekret. Vibrasi dilakukan hanya pada waktu

24
pasien mengeluarkan nafas. Pasien disuruh bernafas dalam dan kompresi
dada dan vibrasi dilaksanakan pada puncak inspirasi dan dilanjutkan sampai
akhir ekspirasi. Vibrasi dilakukan dengan cara meletakkan tangan
bertumpang tindih pada dada kemudian dengan dorongan bergetar. Kontra
indikasinya adalah patah tulang dan hemoptisis.
a. Prosedur kerja :
Meletakkan kedua telapak tangan tumpang tindih diatas area paru
yang akan dilakukan vibrasi dengan posisi tangan terkuat berada
di luar
Anjurkan pasien napas dalam dengan Purse lips breathing
Lakukan vibrasi atau menggetarkan tangan dengan tumpuan pada
pergelangan tangan saat pasien ekspirasi dan hentikan saat pasien
inspirasi
Istirahatkan pasien
Ulangi vibrasi hingga 3X, minta pasien untuk batuk
b. Tujuan
Meningkatkan efisiensi pernapasan dan ekspansi paru
Memperkuat otot pernapasan
Mengeluarkan secret dari saluran pernapasan
Klien dapat bernapas dengan bebas dan tubuh mendapatkan
oksigen yang cukup.

Gambar 16. Postural Drainase Position


(sumber : Chaeruman, Uwes)
4. Breathing Exercise
Tujuan latihan pernafasan adalah untuk:
Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi air trapping

25
Memperbaiki fungsi diafragma
Memperbaiki mobilitas sangkar toraks
Memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas tanpa
meningkatkan kerja pernapasan.
Mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga bernapas
lebih efektif dan mengurangi kerja pernapasan
A. Pernafasan Diafragma
Pemberian oksigen bila penderita mendapat terapi oksigen di rumah.
Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur miring
ke kiri atau ke kanan, mendatar atau setengah duduk.
Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut bagian
tengah, tangan yang lain di atas dada.
Akan dirasakan perut bagian atas mengembang dan tulang rusuk
bagian bawah membuka. Penderita perlu disadarkan bahwa
diafragma memang turun pada waktu inspirasi. Saat gerakan
(ekskursi) dada minimal. Dinding dada dan otot bantu napas
relaksasi
Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi pelan-
pelan melalui mulut (pursed lips breathing), selama inspirasi,
diafragma sengaja dibuat aktif dan memaksimalkan protrusi
(pengembangan) perut.
Otot perut bagian depan dibuat berkontraksi selama inspirasi untuk
memudahkan gerakan diafragma dan meningkatkan ekspansi
sangkar toraks bagian bawah.
Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi otot perut
untuk menggerakkan diafragma lebih tinggi. Beban seberat 0,5 1
kg dapat diletakkan di atas dinding perut untuk membantu aktivitas
ini

26
Gambar 17. Pernafasan Diapragma
(sumber : Admin, 1015)
B. Pursed lips breathing
Menarik napas (inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui hidung
(bukan menarik napas dalam) dengan mulut tertutup
kemudian mengeluarkan napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui
mulut dengan posisi seperti bersiul
PLB dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen selama
ekspirasi
Selama PLB tidak ada udara ekspirasi yang mengalir melalui hidung
Dengan pursed lips breathing (PLB) akan terjadi peningkatan
tekanan pada rongga mulut, kemudian tekanan ini akan diteruskan
melalui cabang-cabang bronkus sehingga dapat mencegah air
trapping dan kolaps saluran napas kecil pada waktu ekspirasi

Gambar 18. Purse Lip Breathing


(sumber : Health Allina)
C. Lower Side Rib Breathing
Letakkan kedua tangan di bagian bawah kedua rusuk

27
Tarik nafas dalam dan pelan, sehingga tangan terasa maju kedepan
Keluarkan nafas secara pelan melalui mulut(pursed lips breathing)
sehingga tangan terasa kembali pada posisi semula. Istirahat

Gambar 19. Lower Side Rib Breathing


(sumber : Charuman, Uwes)

D. Lower Back and Ribs Breathing


Duduk di kursi, Letakkan kedua tangan di punggung, tahan dan
luruskan punggung
Tariklah nafas dalam dan pelan sehingga rongga rusuk belakang
mengembang
Tahan kedua tangan, keluarkan nafas secara pelan

Gambar 20. Lower Back and Ribs Breathing

E. Segmental Breathing
Letakkan tangan pada kedua bagian rusuk bawah
Tarik nafas dalam dan pelan, konsentrasikan kepada bagian kanan
rusuk dan tangan mengembang

28
Pastikan/usahakan bagian rongga rusuk/tangan kanan mengembang
lebih besar dibandingkan dengan bagian kiri
Tahan tangan, keluarkan nafas secara perlahan dan rasakan rongga
rusuk/kanan yang mengembang kembali seperti semula Ulangi, dan
lakukan sebaliknya untuk bagian kiri sama seperti tehnik diatas

Gambar 20. Segmental Breathing Exercise


(sumber : Chaeruman, Uwes)
F. Postsurgical Deep Breathing/Nafas dalam setelah Operasi
Cara latihan napas dalam pasca operasi :
Duduk di sudut tempat tidur atau kursi, juga dpat berbaring terlentang
dengan lutut agak ditekukkan.
Pegang/tahan bantal atau gulungan handuk pada bagian yang terdapat
luka operasi dengan kedua tangan
Bernafaslah dengan normal
Bernafaslah dengan dalam melalui hidung, Rasakan lambung
menekan keluar ketika bernafas
Lipatkan bibir seperti meniup lilin
Kemudian tiupkan perlahan melalui mulut, rasakan dada menurun
ketika mengeluarkan nafas
Istirahat untuk beberapa saat
Ulangi tindakan diatas beberapa kali

29
Gambar 21. Postsurgical Deep Breathing/Nafas dalam setelah Operasi
(sumber : Chaeruman, Uwes)
5. Latihan Batuk Efektif
Huff Coughing adalah tehnik mengontrol batuk yang dapat digunakan
pada pasien menderita penyakit paru-paru seperti COPD/PPOK,
emphysema atau cystic fibrosis. Postsurgical Deep Coughing
Huff Coughing
Untuk menyiapkan paru-paru dan saluran nafas dari Tehnik Batuk huff,
keluarkan semua udara dari dalam paru-paru dan saluran nafas. Mulai
dengan bernafas pelan. Ambil nafas secara perlahan, akhiri dengan
mengeluarkan nafas secar perlahan selama 3 4 detik.
Tarik nafas secara diafragma, Lakukan secara pelan dan nyaman, jangan
sampai overventilasi paru-paru.Setelah menarik nafas secara perlahan,
tahan nafas selama 3 detik, Ini untuk mengontrol nafas dan
mempersiapkan melakukan batuk huff secara efektif
Angkat dagu agak keatas, dan gunakan otot perut untuk melakukan
pengeluaran nafas cepat sebanyak 3 kali dengan saluran nafas dan mulut
terbuka, keluarkan dengan bunyi Ha,ha,ha atau huff, huff, huff.
Tindakan ini membantu epligotis terbuka dan mempermudah
pengeluaran mucus.
Kontrol nafas, kemudian ambil napas pelan 2 kali.
Ulangi tehnik batuk diatas sampai mucus sampai ke belakang
tenggorokkan
Setelah itu batukkan dan keluarkan mucus/dahak
a. Postsurgical Deep Coughing
Step 1 :
Duduk di sudut tempat tidur atau kursi, juga dapat berbaring
terlentang dengan lutut agak ditekukkan.
Pegang/tahan bantal atau gulungan handuk terhadap luka
operasi dengan kedua tangan
Bernafaslah dengan normal
Step 2 :
Bernafaslah dengan pelan dan dalam melalui hidung.

30
Kemudian keluarkan nafas dengan penuh melalui mulut, Ulangi
untuk yang kedua kalinya.
Untuk ketiga kalinya, Ambil nafas secara pelan dan dalam
melalui hidung, Penuhi paru-paru sampai terasa sepenuh
mungkin.
Step 3 :
Batukkan 2 3 kali secara berturut-turut. Usahakan untuk
mengeluarkan udara dari paru-paru semaksimalkan mungkin
ketika batuk.
Relax dan bernafas seperti biasa
Ulangi tindakan diatas seperti yang diarahkan.
5. Evaluasi
Evalusai dapat dilakukan pada setiap pertemuan intervensi maupun diakhir dari
semua intervensi yang telah dilakukan untuk mengukur keberhasilan atau
efektifitas dari intervensi yang telah diberikan. Evaluasi dapat dilakukan dengan
melakukan pengukuran kembali seperti yang dilakukan saat pemeriksaan awal.

6. Edukasi
Edukasi penting dan efektif yang dapat diberikan untuk pasien emphysema
adalah berhenti merokok. Dengan berhenti merokok dapat menghentikan resiko
kerusakan paru-paru. Selain itu terapkan pola hidup sehat dengan rajin
berolahraga ringan, perbanyak konsumsi buah dan sayur, makan makanan yang
bergizi, dan perbanyak minum air putih.

31
DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2015. Cara Berlatih Pernafasan Diafragma. Available at


http://firda.hol.es/uncategorized/cara-berlatih-pernafasan-diafragma-dalam-
bernyanyi/ diakses pada 15 April 2017

American Thoracic Society. 2002. ATS Statement: Guidelines for the Six-Minute Walk
Test. Am J Respir Crit Care Med Vol 166. pp 111117. Available at:
https://www.thoracic.org/statements/resources/pfet/sixminute.pdf diakses pada
15 April 2017
American Thoracic Society/American College of Chest Physicians. 2003. ATS/ACCP
Statement on Cardiopulmonary Exercise Testing. Am J Respir Crit Care Med
Vol 167. pp 211277. Available at: https://www.atsjournals.org diakses pada
16 April 2017
American Thoracic Society. 2013. ATS Patient Information Series.
AmJRespirCritCareMed Vol.171 P3-P4, 2005. Available at:
https://www.thoracic.org/patients/patient-resources/resources/copd-intro.pdf
diakses pada 15 April 2017
Celli, BR., et al. 2004. Standards for the diagnosis and treatment of patients with
COPD: a summary of the ATS/ERS position paper. Eur Respir J; 23: 932946.
Chaeruman,uwes. (n.d). Modul 1 kb3 fisioterapi dada. Available at
https://www.slideshare.net/uweschaeruman/modul-1-kb3-fisioterapi-dada.
diakses pada 15 April 2017
Dasco, Emphysema, [pdf], (http://www.godasco.com/pdfs/Emphysema.pdf diakses
tanggal 13 April 2017)
Djojodibroto Darmanto.2014.Respirologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Goldklang M, Stockley R. Pathophysiology of emphysema and implications. Chronic
Obstr Pulm Dis (Miami). 2016; 3(1): 454-458. Available
at: http://doi.org/10.15326/jcopdf.3.1.2015.0175 diakses pada 16 April 2017
Health allina. (n.d). pursed lip breathing exercises. Available at
https://www.allinahealth.org/mdex/ND0168G.HTM dikases pada 15 April
2017

32
Khan, Ali Nawaz. 2016. Emphysema Imaging. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/355688-overview diakses pada 17 April
2017
Lung disorders, [pdf], (http:///www.wvncc.edu/uploads/9c_disease.handout.pdf diakses
taggal 13 april 2017)
McCarthy, Kevin. 2016. Pulmonary Function Testing. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/303239
Porter, Stuart. 2003. Tidys Physiotherapy.
Pryor, JA., Webber, BA. 1998. Second Edition: Physiotherapy for Respiratory and
Cardiac Problems. London: CHURCHILL LIVINGSTONE.
Morais N, Cruz J, Marques A. 2015. Posture and mobility of the upper body quadrant
and pulmonary function in COPD: an exploratory study. Braz J Phys Ther.
Subagyo, Ahmand. 2013. Emfisema Paru. Available at
http://klikparu.com/2013/12/emfisema-paruhtml diakses pada 12 April 2017
Toosizadeh, Nima., et al. 2017. Assessing upper-extremity motion: An innovative
method to quantify functional capacity in patients with chronic obstructive
pulmonary disease. PLOS ONE | DOI:10.1371/journal.pone.0172766

33

Anda mungkin juga menyukai