Umumnya penderita stroke yang telah stabil akan membutuhkan fasilitas rehabilitasi.
Rehabilitasi medik pasca stroke prinsipnya harus dilakukan sesegera mungkin sesuai dengan kondisi
pasien yang bertujuan untuk terapi fungsi fisik, okupasi, dan terapi wicara (National Stroke
Association, 2012). Penderita stroke akan termotivasi untuk menata kehidupannya kembali dalam
atmosfer caring dan dukungan keluarga yang baik (Lum, 2013). Pada saat menjalani
rehabilitasi,dukungan keluarga khususnya pasangan yang merawat sangatlah penting untuk
menumbuhkan kepatuhan pasien menjalani program medis. Keluarga harus terlibat secara aktif dalam
proses rehabilitasi stroke secara menyeluruh. Sebagian besar perawatan dan dukungan bagi pasien
pasca stroke berasal dari sumber informal seperti anggota keluarga, terutama yang pasangan hidup
yang merawat (Coombs, 2007).
Penderita stroke sangat membutuhkan dukungan pasangan baik dalam proses rehabilitasi fisik
maupun psikologis bahkan ekonomi. Hal tersebut dikarenakan mereka mengalami ketergantungan
aktivitas sehari-hari, gangguan emosi dan depresi, serta ada yang mengalami gangguan seksual.
Dampak lain dari stroke adalah gangguan emosional. Penderita stroke menjadi lebih sensitif.
Hal ini disebabkan karena penderita belum siap menerima kondisi yang diderita saat ini dan juga
kemampuan dari penderita untuk mengontrol emosi terganggu. Penderita menjadi frustasi, cepat
merasa sedih, tiba-tiba menangis, menuntut perhatian yang lebih dari pasangan. Pasangan harus
menjadi lebih sabar sehingga tidak menimbulkan konflik atau pertengkaran.
Faktor Risiko Dominan Penderita Stroke di Indonesia
DOMINANT RISK FACTORS OF STROKE IN INDONESIA
Lannywati Ghani*, Laurentia K. Mihardja** Delima*
*Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta 10560, Indonesia
**Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan
Jl. Percetakan Negara 23 Jakarta 10560, Indonesia
*E-mail: lannywatighani@yahoo.com
Submitted : 2-9-2015, Revised : 17-9-2015, Revised : 5-10-2015, Accepted : 5-1-2016
Semakin bertambah usia maka prevalensi stroke semakin meningkat. Usia ≥ 55 tahun
berisiko 5,8 kali dibanding kelompok 15-44 tahun. Prevalensi stroke lebih tinggi pada
kelompok yang tidak mengonsumsi sayur buah yaitu sebesar 3% dibanding yang
mengonsumsi (Tabel 1). Hu D18 dalam melakukan meta-analisis dari 20 studi kohor
mendapatkan risiko stroke menurun 32% setiap mengonsumsi 200 gram buah setiap hari dan
menurun 11% setiap mengonsumsi 200 gram sayuran setiap hari. Jadi makan buah sayur
memberi perlindungan terhadap kejadian stroke.
Pada responden dengan aktifitas fisik kurang, prevalensi stroke (2,7%) lebih tinggi
dibanding aktifitas cukup (0,8%) (Tabel1). Walaupun kita meragukan aktifitas fisik jadi
berkurang kemungkinan akibat stroke, namun penelitian menunjukkan aktifitas fisik
bermanfaat mencegah stroke, karena mempertahankan berat badan normal, kolesterol dan
tekanan darah normal.19
Prevalensi stroke lebih tinggi pada kelompok mantan perokok sebesar 3,6%.
Kemungkinan pada waktu kejadian stroke mereka merokok, namun setelah terjadi stroke
merokok dihentikan (mantan).
Diabetes berisiko untuk terjadi stroke. Hal ini sesuai dengan laporan Hewitt J dkk 29
yang menyampaikan bahwa diabetes berkontribusi minimal 2 kali sebagai faktor risiko stroke
dan kira kira 20% pasien diabetes akan meninggal akibat stroke.
Faktor risiko dominan penderita stroke di Indonesia adalah umur yang semakin
meningkat, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan gagal jantung. Namun
demikian, stroke sudah muncul pada kelompok usia muda (15-24 tahun) sebesar 0,3%,
demikian juga di negara lain.
ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
STROKE DI RSUD INDRAMAYU
1Wayunah, 2Muhammad Saefulloh
1Prodi Ners, STIKes Indramayu
2Prodi Ilmu Keperawatan, STIKes Indramayu
Email : 1ayoun_plumbon@yahoo.com
Tidak ada hubungan secara signifikan antara faktor umur, jenis kelamin, riwayat pendidikan,
riwayat diabetes mellitus, riwayat keluarga, riwayat jantung, riwayat perilaku merokok, kadar
kolesterol darah dan riwayat obesitas dengan kejadian stroke CVD-SH maupun CVD-SNH (p > 0,05,
95 %
CI).
Ada hubungan secara signifikan antara faktor riwayat stroke dan aktivitas fisik dengan
kejadian stroke CVD-SH maupun CVD-SNH (p < 0,05, 95 % CI). Variabel aktivitas fisik adalah
variabel yang dominan mempengaruhi secara bermakna jenis stroke setelah dikontrol variabel
pendidikan, riwayat hipertensi, riwayat DM, riwayat jantung, dislipidemia, obesitas, dan umur sebagai
variabel confounding.
FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STROKE PADA
PASIEN DI RSU H. SAHUDIN KUTACANE KABUPATEN ACEH TENGGARA
Khairatunnisa1; Dian Maya Sari2
1,2Fakultas Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia
Davis (1998) yang mengatakan bahwa tekanan darah sistolik yang tinggi secara
signifikan berhubungan dengan peningkatan insidens stroke atau TIA/ stroke iskemik.Hasil
penelitian Framingham menunjukkan bahwa kejadian stroke lebih tinggi pada orang yang
hipertensi berat (tekanan darah lebih tinggi dari 160/95 mmHg) dibandingkan dengan orang yang
normal (tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg). Semakin tinggi tekanan darah seseorang,
maka semakin besar risiko untuk terkena stroke (Pearson, 1994).
Diabetes mellitus menyebabkan laju penuaan sel berlangsung sangat cepat akibat kadar
glukosa yang tinggi disertai kerapuhan pembuluh darah, sehingga berisiko tinggi terhadap
hipertensi dan penyakit jantung yang akhirnya meningkatkan risiko serangan stroke (Lingga,
2013).
Pada penelitian ini, merokok tidak berpengaruh terhadap kejadian stroke kemungkinan
karena berkaitan dengan jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari dan juga berkaitan dengan
berapa lama responden mulai merokok. Kebiasaan merokok juga terkait langsung dengan kadar
kolesterol dalam darah. Merokok bisa mengurangi kadar HDL dan meningkatkan kadar LDL
(ASH, 2011), sehingga pengaruh merokok terhadap stroke tidak terjadi secara langsung,
melainkan melalui peningkatan kadar kolesterol darah.
Orang dengan obesitas memang berisiko untuk terkena stroke, namun risiko ini tidak
terjadi secara langsung. Obesitas merupakan faktor risiko stroke karena dapat meningkatkan
risiko terjadinya hipertensi, penyakit jantung koroner dan diabetes mellitus (Brass, 1992).
Konsumsi alkohol bisa meningkatkan risiko stroke, tetapi tidak secara langsung, melainkan
melalui faktorlain. Konsumsi alkohol yang berat terbukti bisa meningkatkan risiko hipertensi
(Hillbom, 2011).
PENGARUH MANAJEMEN STRES TERHADAP
KESIAPAN PASIEN STROKE DAN KELUARGA
DALAM
MERENCANAKAN PERILAKU ADAPTIF
PASCA PERAWATAN DI RUMAH SAKIT
Rr. Tutik Sri Hariyati, Made Sumarwati, Hanny Handiyani *
Minum air hangat dapat memberikan sensasi yang cepat menyebarkan gelombang
panasnya ke segala penjuru tubuh manusia. Pada saat yang bersamaan pembuluh darah akan
berdilatasi sehingga dapat mengeluarkan keringat dan gas dalam tubuh. Abdomen salah satu
organ yang memiliki reseptor terhadap suhu yang panas dan lebih dapat mendeteksi suhu
panas dibanding dengan suhu dingin (Guyton & Hall, 2006).
Masase abdomen efektif mengatasi konstipasi jika dilakukan secara rutin setiap hari.
Hal ini yang menyebabkan perbedaan dengan penelitian terdahulu karena pada penelitian
terdahulu masase abdomen tidak dilakukan setiap hari secara rutin. Masase abdomen yang
dilakukan secara rutin dapat merangsang peristaltik usus serta memperkuat otot-otot abdomen
yang akan membantu system pencernaan dapat berlangsung secara lancar (Folden, 2009).
Masase abdomen dan mendapatkan minum air putih hangat sebanyak 500 ml setelah
dilakukan masase abdomen terbukti dapat mempercepat terjadinya proses defekasi. Proses
defekasi ini dapat berlangsung secara cepat disebabkan oleh stimulasi pada otot-otot
abdomen yang secara langsung dapat merangsang peristaltik usus ditambah dengan minum
air hangat sebanyak 500 ml yang akan memberikan suasana yang encer dan cair pada usus.
Suasana yang encer ini akan memudahkan usus halus mendorong sisa makanan untuk
diabsorbsi di usus besar.
Secara fisiologis, air hangat juga memberi pengaruh oksigenisasi dalam jaringan
tubuh (Hamidin, 2012). Hal serupa diungkapkan oleh Yuanita (2011), minum air hangat
dapat mem-perlancar proses pencernaan, karena pencernaan membutuhkan suasana yang
encer dan cair. Pada penderita konstipasi minum air hangat sangat tepat untuk membantu
memperlancar pencernaan karena dengan minum air hangat partikel-partikel dalam usus akan
dipecah dan menyebabkan sirkulasi pencernaan menjadi lancar sehingga mendorong usus
mengeluarkan feses.
Pemanfaatan terapi farmakologis yang selama ini diterapkan oleh tenaga kesehatan
telah terbukti memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas hidup pasien pasca
stroke. Namun terkadang terapi farmakologis yang diterapkan pada pasien pasca stroke dapat
menimbulkan kebosanan dalam diri pasien. Hal ini dikarenakan terapi farmakologis yang
diberikan harus selalu dilakukan secara berulang-ulang dan continue (tanpa terputus).
Pemanfaatan terapi seperti ini terkadang dapat dikatakan tidak efektif untuk dilakukan kepada
sebagaian besar pasien. Salah satu terobosan yang dapat dilakukan oleh tenaga keperawatan
adalah dengan pemanfaatan SEFT.
Terapi SEFT yang merupakan kombinasi dari akupunktur dan hypnotherapy telah
dipercaya oleh sebagian orang mampu untuk mengatasi gangguan fisik yang timbul. Pasien
pasca stroke selama ini tanpa disadari cenderung mengalami penurunan kualitas hidup. Hal
ini dikarenakan adanya pengalaman diri pernah menderita stroke. Adanya persepsi negatif
seperti ini akan berpengaruh terhadap kondisi fisik yang dialami. SEFT yang diawali dengan
set up dan tune in berusaha untuk melepaskan seorang pasien pasca stroke bahwa dirinya
tidak bisa sembuh dan kembali seperti semula. Tahapan ini dilakukan agar pasien mampu
semakin dekat dengan penciptanya / bersifat religius. Dengan adanya pemahaman ini maka
pasien pasca stroke sudah mampu menumbuhkan pikiran positif dalam dirinya. Selanjutnya
adalah tahap tapping. Tahapan ini merupakan tindakan yang dilakukan untuk merangsang
titik-titik syaraf dalam tubuh untuk bekerja secara optimal. Sama halnya dengan akupunktur.
SEFT juga berusaha agar semua titik-titik dalam tubuh bekerja secara optimal. Selain itu
pemberian terapi SEFT oleh seorang sefter dapat didukung dengan pemberian terapi SEFT
secara mandiri. Seorang pasien pasca stroke yang mampu menerapkan SEFT secara mandiri
dapat membantu dirinya sendiri untuk berusaha pulih seperti sebelum mengalami stroke.
1. Teknik SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) efektif untuk membantu mobilitas
pasien pasca stroke
2. Teknik SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) efektif untuk membantu pasien
pasca stroke dalam melakukan perawatan diri
3. Teknik SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) efektif untuk membantu pasien
pasca stroke dalam menjalankan aktifitas utamanya
4. Teknik SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) efektif untuk membantu
mengatasi nyeri yang dialami pasien pasca stroke
*E-mail: adhamners@yahoo.com
Kekuatan Otot Ekstremitas Atas. Rerata ke-kuatan otot ektremitas atas setelah
akupresur pada kelompok intervensi lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa akupresur yang dilakukan dapat meningkatkan
skor kekuatan otot ekstremitas atas pada responden yang mengalami kelemahan kekuatan
otot akibat stroke hemiparetik.
Akupresur pada titik akupresur yang berada di atas regio skapula dapat meningkatkan
kekuatan otot ekstremitas atas secara bermakna pada pasien pasca stroke. Sebagaimana
dikemukakan Shin dan Lee (2007) bahwa titik akupresur yang berada pada regio skapula
memiliki hubungan yang sangat erat dengan titik trigger untuk memperbaiki fungsi
ekstremitas atas. Titik trigger merupakan titik sensitif yang bila ditekan akan menimbulkan
nyeri pada tempat yang jauh dari titik tersebut, dimana titik ini merupakan degenerasi lokal di
dalam jaringan otot yang diakibatkan oleh spasme otot, trauma, ketidakseimbangan endokrin
dan ketidakseim-bangan otot. Titik trigger dapat ditemukan pada otot rangka dan tendon,
ligamen, kapsul sendi, periosteum dan kulit. Otot yang normal tidak mempunyai titik trigger.
Rentang Gerak Ekstremitas Atas. Rerata rentang gerak ektremitas atas setelah
dilakukan akupresur pada kelompok intervensi lebih tinggi diban-dingkan dengan kelompok
kontrol. Akupresur yang dilakukan dapat meningkatkan skor rentang pada responden yang
mengalami keterbatasan rentang gerak akibat stroke hemiparetik.
Kang, et al., (2009) mengemukakan bahwa pemberian akupresur pada titik meridian
dapat memperbaiki sirkulasi qi dan darah dalam tubuh, sehingga akan merelaksasikan otot
yang mengeras dan merangsang perbaikan alamiah pada abnormalitas skeletal dan rentang
gerak dapat meningkat.