Anda di halaman 1dari 27

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM PENDIDIKAN S1 KEPERAWATAN


AP
AD
RH GA
TE AR N
YA LU TA
DA KE LA
BU AN I SE
T
UH WA ES
AR RA AW
NG PE UL
PE KE DI S
MUH.NUR RAHMAN HADI

ARYAN GUNINA SIKIN


NURFITA PRATIWI
TEAM 4

DINA MARIANA

YULIA
DEFENISI
Budaya atau kultur adalah sekumpulan
kepercayaan,nilai dan perilaku yang telah di sepakati
oleh kelompok untuk dapat berinteraksi secara efektif
dengan lingkungannya,termasuk perilaku dalam
menjaga kesehatan.
(bosek M.S.D.W dan Savage T.A (2007) )
MENGAPA PENTING KITA KETAHUI ?
Karena pengetahuan perawat terhadap berbagai kultur
masyarakat sangat membantu dalam memberikan asuhan
keperawatan,karena perawat akan menghadapi hubungan dan
komunikasi transkultural yang terjadi karena setiap individu
yang dianut oleh orang tersebut.Komunikasi transkultural dapat
efektif apabila perawat telah memahami nilai kultural yang
dianut oleh kliennya.
ASPEK BUDAYA TERHADAP
KESEHATAN DAN PENYAKIT
Dalam sumijatun,dkk.(2005) dikatakan bahwa beberapa
kecenderungan sosial yang dapat mempengaruhi kesehatan
antara lain adalah perubahan gaya hidup bertambahnya
penghargaan pada kualitas hidup perubahan komposisi keluarga
dan pola hidup,kenaikan pendapatan rumah tangga,serta adanya
perbaikan defenisi dari kualitas perawatan kesehatan.
NILAI KULTURAL

Nilai kultural adalah prinsip-prinsip atau kualitas yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat
dan diyakini tentang hal-hal yang baik dan berguna bagi kelompoknya.Setiap kelompok masyarakat
mempunyai nilai-nilai yang berbeda,sebagai contoh,pada umumnya bangsa Asia-termasuk
Indonesia –akan mempunyai respek yang tinggi dan berlaku formal pada seseorang yang
mempunyai status dan posisi dalam masyarakat.Sedangkan bangsa Inggris,Amerika,Australia,dan
skandinavia akan lebih mengutamakan nilai keterusterangan dan kebersamaan daripada
respek,formal,status atau posisi seseorang.Dengan demikian,sebagai tenaga profesional perawat
juga harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang nilai-nilai yang dianut oleh
kliennya,sehingga interaksi dapat berjalan dengan baik.
PENGKAJIAN
KULTUROLOGIS

Pengkajian kulturologis merupakan penilaian/pemeriksaan terhadap


individu,kelompok,dan komunitas yang dilakukan secara sistematis mengenai kepercayaan
kultural mereka,nilai-nilai yang dianut dan akan digunakan untuk menentukan kebutuhan,serta
intervensi keperawatan dalam konteks kultural masyarakat yang dievaluasi.
PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG
DIGUNAKAN UNTUK PENGKAJIAN
KULTUROLOGIS

1. Riwayat ringkas kelompok budaya asal dan rasial


a. Dari kelompok suku mana klien berasal
b. Dimana klien dilahirkan
c. Dimana saja klien pernah tinggal
PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG
DIGUNAKAN UNTUK PENGKAJIAN
KULTUROLOGIS

2. Orientasi nilai
a. Bagaimana sikap klien terhadap peristiwa
kelahiran,kematian,kesehatan,penyakit,dan juga penyediaan pelayanan
kesehatan.
b. Apakah budaya akan berdampak pada pandangan klien mengenai body
image yang terjadi akibat penyakit atau operasi.
c. Bagaimana klien memandang tentang keilmuan kesehatan yang terkait
dengan biomedik;apakah dapat menerima,curiga,atau takut.
PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG
DIGUNAKAN UNTUK PENGKAJIAN
KULTUROLOGIS

3. Sanksi dan pembatasan kultur


a. Bagaimana kelompok kultural klien mengenal ekspresi emosi dan
perasaan,sprititualitas,dan kepercayaan agamanya.Bagaimana
menghadapi klien terminal,maut,kematian,dan kesedihan/berduka,dan
bagaimana cara mengeskpresikannya.
b. Bagaimana cara mengeskpresikan sesuatu dari jenis kelamin yang
berbeda.
PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG
DIGUNAKAN UNTUK PENGKAJIAN
KULTUROLOGIS

4. Praktik dan kepercayaan yang berhubungan dengan kesehatan


a. Bagaimana pandangan klien terhadap penyebab penyakitnya,misalnya
hukuman tuhan,ketidakseimbangan antara panas dan dingin,hukuman
moral dan sebagainnya.
b. Apakah ada kepercayaan klien/keluarganya untuk melakukan sesuatu
guna meningkatkan kesehatannya,seperti penggunaan barang keramat
(jimat),makanan/minuman tertentu,latihan,doa-doa dan upacara ritual.
PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG
DIGUNAKAN UNTUK PENGKAJIAN
KULTUROLOGIS

5. Nutrisi
a. Apa arti makan dan makanan bagi klien,dengan siapa biasanya kliem
makan,bagaimana variasi makanan klien,apa pendapat klien tentang
makanan sehat dan makanan kurang sehat,serta apa pendapat klien
tentang diet.
b. Bagaimana cara penyiapan makanan yang dilakukan klien/keluarganya.
c. Apakah ada praktik dan kepercayaan agama yang mempengaruhi diet
klien.
PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG
DIGUNAKAN UNTUK PENGKAJIAN
KULTUROLOGIS

6. Pertimbangan Sosial Ekonomi.


a. Bagaimana Keluarga klien berpartisipasi dalam perawatan klien,seperti
membantu memberi makan,memandikan,dan melakukan sentuhan.
b. Apa dampak status sosial ekonomi dalam gaya hidup,tempat
tinggal,kondisi hidup,dan kemampuan dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan.
PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG
DIGUNAKAN UNTUK PENGKAJIAN
KULTUROLOGIS

7. Organisasi penyedia dukungan kultural

Apa yang mempengaruhi dan dimiliki organisasi kultural terhadap klien


untuk mendapatkan bantuan pelayanan kesehatan seperti sekolah,Jaminan
kesehatan umat islam,dan gereja.
PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG
DIGUNAKAN UNTUK PENGKAJIAN
KULTUROLOGIS

8. Latar belakang pendidikan


a. Dapatkah klien membaca,menulis,dan memahami bahasa yang
digunakan dalam komunikasi.serta apakah bahasa kedua yang
digunakan klien sehari-hari.
b. Gaya belajar seperti apa yang mudah dipahami klien,apakah melalui
tulisan atau brosur,penjelasan secara tatap muka,atau demonstrasi.
PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG
DIGUNAKAN UNTUK PENGKAJIAN
KULTUROLOGIS

9. Aspek kultural insiden penyakit


a. Apakah klien mempunyai kondisi genetik atau penyakit yang sering
diderita oleh kultur tertentu,seperti hipertensi,anemia Sickle cell,dan
intoleransi laktosa.
b. Adakah penyakit sosial yang lebih sering terjadi di dalam kelompok
kultural klien,antara lain seperti alkoholisme,keracunan limbah,AIDS,
dan penggunaan narkoba.
PENGARUH BUDAYA
TERHADAP ASUHAN
KEPERAWATAN KELUARGA
DI SULAWESI SELATAN

ANALISIS
JURNAL
STANDAR FISIK IDEAL DALAM PERSPEKTIF BUDAYA DAN KESEHATAN
(Kasus: Obesitas Pada Etnis Bugis)
Hikmawati Mas’ud1
1Jurusan Gizi Politeknik kesehatan Makassar

Masyarakat pada etnis Bugis mendambakan tubuh yang padat dan berisi, atau disebut Mallise. Hal ini mengacu kepada statemen berikut:
“Iya pakkaleng makanjae iya mallise ’pappada ase’, iya rupa makanjae iya pappadae ana’lolo mappakarennu rennue, iya mpekke’makanjae na
mpekke manu pede’maloppo pede’makanja kanja” . Artinya, tubuh yang bagus adalah yangberisi seperti padi, wajah yang rupawan seperti wajah anak
bayi yang enak dipandang dan menggembirakan, pertumbuhan tubuh yang baik seperti tumbuhnya seekor anak ayam yang semakin besar semakin
cantik atau gagah.
Menyimak standar ideal tubuh pada etnis Bugis, dapat dikatakan bahwa obesitas dengan ukuran dan bentuk tubuh dan struktur tubuh alamiah
memenuhi kriteria tubuh ideal. Demikian halnya wajah obesitas seperti wajah anak bayi dengan bentuk muka yang bulat dan lebar, wajah terlihat berseri,
sehingga memenuhi kriteria citra tubuh ideal. Pencitraan tubuh obesitas mulai dari bagian wajah sampai bagian kaki dengan ukuran dan bentuk tubuh
yang besar dan lebar. Pencitraan tubuh tersebut memperlihatkan struktur tubuh alamiah dengan perubahan organ-organ tubuh yang merata. Artinya,
ukuran dan bentuk wajah yang besar dan lebar diiringi perubahan ukuran dan bentuk leher, dada, perut, lengan dan tangan, betis dan kaki.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pencitraam tubuh terhadap obesitas dalam pandangan kultural etnis Bugis memenuhi standar daya tarik fisik
secara kebudayaan.
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian
Kolostrum pada Bayi Baru Lahir di RSUD Haji Makassar
Ayatullah Harun, Basmalah Harun, Hilda Nurfaida
Akademi Kebidanan Pelamonia Makassar
Akademi Keperawatan Makassar
Akademi Kebidanan Pelamonia Makassar

Ibu dengan dukungan keluarga rendah tidak dapat mempengaruhi pemberian kolostrum pada bayi baru lahir lebih
besar dari pada ibu dengan dukungan keluarga yang tinggi. Data proporsi dukungan keluarga hampir seluruhnya berada
pada dukungan keluarga rendah, peniliti mengamsumsikan bahwa tingginya pemberian kolostrum dengan dukungan
keluarga rendah dikarenakan banyak faktor yang dapat mempengaruhi pemberian kolostrum pada ibu nifas yaitu dari
minat, pengalaman, pengetahuan maupun status pendidikan sehingga dukungan keluarga ibu bukanlah salah satu faktor
yang mempengaruhi pemberian kolostum pada bayi baru lahir.
TRADISI MAKKATTE’ DITINJAU DARI
ASPEK GENDER DAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA ETNIS BUGIS SULAWESI SELATAN
Subriah, Andi Syintha Ida
Jurusan Kebidanan, Poltekkes Kemenkes Makassar

Masyarakat bugis memahami tradisi makkatte’ sebagai ritual budaya yang sangat penting untuk dilaksanakan pada anak perempuan.
Anak perempuan yang belum melaksanakan makkatte’ dianggap belum sah memeluk agama islam sehingga tradisi ini sangat penting
untuk dilaksanakan, biasanya makkatte’ ini dilakukan pada umur anak sekitar 4–7 tahun. Sanro biasanya melakukan tindakan pada daerah
kemaluan anak perempuan yang di khitan kemudian dilanjutkan dengan tata cara adat makkatte’ hal ini menunjukkan dilaksanakannya
tradisi ini dengan baik dan apabila tradisi makkatte’ ini terlambat untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan maka si anak perempuan ataupun
orangtuanya akan merasa malu.
Implikasi khitan perempuan terhadap gender dan kesehatan reproduksi dapat dilihat dari ada tidaknya resiko yang di timbulkan dari
praktik makkatte’’ tersebut dan dapat dilihat bahwa praktik makkatte’’ tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dapat
mengganggu kesehatan reproduksi perempuan yang melakukan praktik makkate’ bila dilakukan secara steril dan tanpa tindakan yang
berlebihan pada alat genitalia luar perempuan sehingga dapat ditegakkan suatu konsep bahwa : “ Praktik makkatte’’ yang dilakukan
secara steril dan tanpa tindakan yang berlebihan ataupun tanpa melukai alat genitalia externa dan interna tidak menimbulkan implikasi
terhadap gender dan kesehatan reproduksi seorang perempuan “.
Perilaku Menyusui Bayi pada Etnik Bugis di Pekkae
Asiah Hamzah* Sukri** Hariani Jompa***

1. Perilaku perempuan Bugis di Pekkae dalam menyusui bayinya tidak lepas dari Siri’.
2. Semua perilaku perempuan Bugis di Pakkae mulai dari masa hamil sampai anak lahir dan proses menyusui, tidak lepas dari Ininnawa Madeceng
(harapan yang baik) kepada anak sehingga untuk merubah perilaku yang membahayakan kesehatan bayi ( Prelactal Feeding) tidaklah mudah,
karena terkait dengan nilai normatif, budaya dan etnik masyarakat Bugis.
3. Perilaku perempuan Bugis yang tidak memberikan bayinya sesuatu yang jelek atau kotor, bermakna perempuan Bugis melindungi anak dari
penyakit. Hal ini terkait dengan nilai normatif masyarakat Bugis yaitu Acca dan Paccing (pintar dan bersih), bermakna anak yang tidak sakit-sakitan
dan bersih akan menjadi anak yang pandai kelak di kemudian hari.
FAKTOR DETERMINAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS JUMPANDANG BARU
KECAMATAN TALLO KOTA MAKASSAR
Syahruni, M.Tahir Abdullah, Leo Prawirodihardjo
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin
E-mail: syahruni.buraerah.a.hakim@gmail.com

Nilai sosial budaya diekspresikan sebagai norma-norma dan nilai-nilai dalam kelompok tertentu berdasarkan cara
hidup dan pemberian asuhan yang diputuskan,dikembangkan, dan dipertahankan oleh anggota kelompok tersebut. Dari
pemahaman tentang nilai budaya tersebut cukup berperan dalam menentukan seorang ibu menyusui untuk memberikan
atau tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.
KONSEP PERAWATAN KEHAMILAN ETNIS MAKASSAR
DI KABUPATEN JENEPONTO
CONCEPTS PREGNANCY CARE IN THE DISTRICT JENEPONTO OF ETHNIC MAKASSAR
Sri Wahyuni. M1, Ridwan M. Thaha1, Suriah1
Bagian PKIP Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin,
(Sriwahyuni.ayhuu@yahoo.com, 085275209501)
Makanan pantang dari golongan hewani seperti udang dilarang karena dapat menyebabkan bayi maju mundur menjelang persalinan artinya
masyarakat percaya bahwa dengan mengonsumsi udang akan menyulitkan pada proses persalinan. Pemaparan informan tersebut sejalan dengan hasil
wawancara informan keluarga dan sanro pamana‟ (dukun bayi) yang menganjurkan ibu hamil untuk menghindari makanan pantangan dari golongan hewani
dan golongan nabati.
Makanan pantangan dari golongan nabati seperti pepaya karena dipercaya bahwa ibu hamil akan merasakan sakit perut yang lama pada saat
menjelang persalinan dan daun kelor dilarang karena mengandung getah yang pedis yang akan menyebabkan rasa sakit dalam proses kelahiran dikenal
dengan sebutan “gatta kelorang”.
Pantangan lain seperti dilarang mandi terlalu sore karena dipercaya dapat menyebabkan air ketuban berlebihan pada proses persalinan, dilarang
minum tablet penambah darah karena dapat menyebabkan kepala anak besar, dilarang makan memakai piring besar karena akan memiliki ari-ari yang
besar dan dapat menyulitkan persalinan dan suami dilarang membunuh binatang karena dipercaya dapat mengakibatkan anak menjadi cacat.
Peran penolong persalinan dalam perawatan kehamilan pada umunya ibu hamil lebih memilih jasa bidan dalam perawatan kehamilan.Jasa bidan
digunakan pada saat ibu hamil mulai merasakan adanya tanda-tanda kehamilan hingga persalinan.Sedangkan jasa dukun digunakan terutama dalam
upacara adat tujuh bulanan atau appassili.
PENGOBATAN TRADISIONAL
ORANG BUGIS-MAKASSAR
THE TRADITIONAL MEDICINE OF BUGIS-MAKASSAR PEOPLE
S. Dloyana Kusumah
Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
e-mail: yanakusumah@yahoo.co.id

Dalam kehidupan Masyarakat Bugis dikenal tiga macam penyakit yakni: penyakit fisik, penyakit karena “dibuat” orang atau guna-
guna, dan penyakit akibat gangguan makhluk halus.
Penyakit ini dikenal dalam dunia antropologi dengan sebutan magi, baik magi putih maupun magi hitam. Sementara penyakit yang
diakibatkan oleh gangguan makhluk halus terjadi karena manusia dianggap melanggar pemali (tabu), pantangan atau hal lain yang pantang
dilakukan.
Pengobat tradisional sanro masih tetap berfungsi sebagai orang yang dimintai bantuan oleh masyarakat untuk menyembuhkan
penyakit yang dideritanya. Jika dilihat dari sikap masyarakat terhadap pengobat tradisional ini dapat dikategorikan menjadi dua jenis yakni:
pertama anggota masyarakat bila sakit hanya minta bantuan sanro/dukun, kedua, mereka meminta bantuan jasa sanro/dukun setelah

berulangkali ke dokter atau klinik namun merasa belum ada kemajuan.


SISTEM PENGOBATAN DAN PENYEMBUHAN PENYAKIT
(Studi Sosiologi Kesehatan Pada Masyarakat Sinjai Timur Sulawesi Selatan)
Oleh: Zulkifli Arifin
Dosen STISIP Muhammadiyah Sinjai

Proses pengobatan dukun dalam menyembuhkan penyakit adalah penggunaan doa-doa atau bacaan-bacaan, air putih, dan
ramuan tra-disional. Pengobatan maupun diagnosis yang dilakukan dukun selalu identik dengan campur tangan kekua-tan gaib
ataupun yang memadukan antara kekuatan rasio dan batin. Selain itu dukun juga mengobati pasien dengan cara menekan-nekan
titik-titik syaraf pada bagian tubuh, yang bertujuan untuk melancarkan jalannya darah dan melonggarkan urat-urat yang kaku.
KESIMPULAN
Budaya atau kultur adalah sekumpulan kepercayaan,nilai dan perilaku yang telah di sepakati oleh kelompok
untuk dapat berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya,termasuk perilaku dalam menjaga kesehatan. Oleh
karena itu pengetahuan perawat terhadap berbagai kultur masyarakat sangat membantu dalam memberikan
asuhan keperawatan,karena perawat akan menghadapi hubungan dan komunikasi transkultural yang terjadi
karena setiap individu yang dianut oleh orang tersebut.Komunikasi transkultural dapat efektif apabila perawat
telah memahami nilai kultural yang dianut oleh kliennya.

Perawat harus sensitif dan waspada terhadap keunikan warisan budaya dan tradisi kesehatan klien dalam
memberikan asuhan keperawatan kepada klien dari latar belakang kebudayaan yang berbeda. Perawat harus
mengkaji dan mendengarkan dengan cermat tentang konsistensi warisan budaya klien. Pengakajian tentang
budaya klien merupakan pengkajian yang sisrematik dan komprehensif dari nilai-nilai pelayanan budaya,
kepercayaan, dan praktik individual, keluarga, komunitas. Tujuan engkajian budaya adalah untuk mendapatkan
informasi yang signifikan dari klien sehingga perawat dapat menerapkan kesamaan budaya
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai