Anda di halaman 1dari 88

1

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Appendiktomi merupakan pengobatan melalui prosedur tindakan

operasi hanya untuk penyakit appendiksitis atau pengangkatan usus buntu

yang terinfeksi. Appendiktomi dilakukan sesegera mungkin untuk

menurunkan resiko perforasi lebih lanjut (komplikasi) seperti peritonitis

atau abses (Marijata, 2006).


Hasil survey Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada

tahun 2008 Angka kejadian appendiksitis di sebagian besar wilayah

indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien yang

menderita penyakit apendiksitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah

penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang. Dari hasil Survey

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia, apendiksitis akut

merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi

untuk dilakukan operasi kegawat daruratan abdomen. Insidensi

apendiksitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus

kegawatan abdomen lainya (Depkes, 2008).


Jawa Tengah tahun 2009 menurut dinas kesehatan jawa tengah,

jumlah kasus appendiksitis dilaporkan sebanyak 5.980 dan 177

diantaranya menyababkan kematian. Jumlah penderita appendiksitis

tertinggi ada di Kota Semarang, yakni 970 orang. Hal ini mungkin terkait

dengan diet serat yang kurang pada masyarakat modern (Taufik, 2011).
Angka kejadian pada kasus appendiksitis di RSUD Pandanarang

Boyolali banyak yang mengalami dan harus di rawat rumah sakit. Pada

kurun waktu dari Januari sampai Maret 2015 sebanyak 8 kasus


2

apendiksitis yang dirawat di rumah sakit dan semuanya dilakukan

appendiktomi. sedangkan sepanjang tahun 2014 terdapat sebanyak 37

kasus apendiktomi Intervensi medis untuk appendiksitis akut dan kronik

perforasi adalah dengan appendiktomi.


Untuk merawat pasien dengan post operasi appendiktomi perawat

harus mampu memberikan pelayanan asuhan keperawatan secara

komprehensif. Masalah- masalah yang timbul akibat luka insisi setelah

dilakukan appendiktomi dapat berupa pendarahan, shock, gangguan

pernafasan, infeksi, dan nyeri biasanya akan timbul akibat luka insisi yang

dapat mempengaruhi mobilisasi, nafsu makan yang menurun, gangguan

istirahat dan merasa kurang nyaman.

Apendisitis akut sama-sama dapat terjadi pada laki-laki maupun

perempuan, tetapi insidensi pada laki-laki umumnya lebih banyak dari

perempuan terutama pada usia 20-30 tahun (Sjamsuhidajat, 2010),

Dewasa ini semakin banyak dokter dan tenaga medis yang

menganjurkan pasien post operasi apendektomi agar segera mengerakkan

tubuhnya atau mobilisasi (Hamidah,2011). Mobilisasi dini adalah

kebijaksanaan untuk selekas mungkin membimbing penderita keluar dari

tempat tidur dan membimbingnya selekas mungkin berjalan (saleha,

S.2009)

Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang

diperlukan oleh individu untuk melakukan aktifitas sehari-hari yang

berupa pergerakan sendi, sikap gaya berjalan, latihan maupun kemampuan

aktivitas (Perry&potter, 2010) mobilisasi dini adalah pergerakan yang


3

dilakukan sedini mungkin ditempat tidur dengan melatih bagian-bagian

tubuh untuk melakukan perengangan atau belajar

pengertian mobilisasi dini di Rumah Sakit Islam Surabaya

mayoritas dalam kategori kurang yaitu 27 responden ( 81,82%), tentang

kerugian bila tidak melakukan mobilisasi dini dalam kategori baik yaitu 22

responden (66,67%), tentang tahap-tahap mobilisasi dini mayoritas dalam

kategori cukup yaitu 17 responden (51,52%). Dilihat secara keseluruhan

bahwa gambaran pengetahuan pasien post op apendektomi tentang

mobilisasi dini di Rumah Sakit Islam Surabaya tahun 2016 mayoritas

pengetahuan kategori cukup yaitu 18 responden (54,55 %), sedangkan

dengan kategori baik berjumlah 8 responden (24.24%) dan kategori kurang

berjumlah 7 responden (21,21%).

Adapun perubahan intensitas nyeri pada pasien paska operasi yang

ditandai dengan sebelum diberikan tindakan terapi relaksasi yaitu nyeri

ringan 1 orang, nyeri sedang 8 orang dan nyeri hebat terkontrol 11orang,

sementara tingkat nyeri pasca operasi setelah diberikan tehnik relaksasi

menurun menjadi tidak nyeri 1 orang, nyeri ringan 9 orang dan nyeri

sedang 10 orang. Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh dewi

(2009) yang menyebutkan bahwa pengukuran rata–rata tingkat nyeri

sebelum diberikan tehnik relaksasi setelah diklasifikasi dari 10

responden, 4 orang (40%) mengalami nyeri ringan, dan 6 orang (60%)

nyeri sedang, hasil pengukuran tingkat nyeri rata-rata setelah pemberian

tehnik relaksasi dari 10 responden 5 orang (50%) mengalami nyeri

ringan dan 5 orang lagi masih mengalami nyri sedang, bila dilihat dari
4

skala nyeri masing-masing responden (100%) mengalami penurunan

persepsi nyeri ada perbedaan hasil pengukuran skala nyeri sebelum dan

sesudah peberian tehnik relaksasi pada apendiksitis.

Uraian diatas melandasi penelitian untik melakukan penelitian

tentang mobilisasi dini dan teknik relaksasi spiritual pasa pasien post

operasi apendektomi dirumah Sakit Islam Surabaya tahun 2018.

B. Batasan penelitian

Perawatan pasien post apendiktomi memiliki tujuan untuk

menstabilkan hemodinamik pasien dengan harapan nyeri dapat

berkurang secara berangsur-angsur dan menjadi baik. Tindakan

mandiri keperawatan dapat dilakukan diantaranya yaitu dengan

memberikan latihan otot skeletal dengan menggunakan tehnik

mobilisasi dini dan relaksasi spiritual yang bermanfaat untuk

meningkatkan fungsi aktifitas pada pasien post operasi apendektomi.

Penelitian ini, peneliti hanya membatasi masalah yaitu penerapan

tehnik mobilisasi dini dan relaksasi spiritual terhadap perubahan

tingkat nyeri pasien post operasi apendektomi di Rumah Sakit Islam

Surabaya.

C. Rumusan Masalah
5

“ Bagaimanakah Pengaruh Mobilisasi Dini dan Relaksasi Spiritual

Terhadap perubahan tingkat nyeri klien post operasi apendektomi di

Rumah Sakit Islam Surabaya?”

D. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum:

Untuk mengetahui pengaruh mobilisasi dini dan relaksasi spiritual

terhadap perubahan tingkat nyeri klien post operasi apendektomi di

Rumah Sakit Islam Surabaya.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi tingakat nyeri sesudah operasi pada

kelompok kontrol
b. Untuk mengidentifikasi tingakat nyeri 2 hari sesudah operasi pada

kelompok kontrol
c. Untuk mengidentifikasi tingakat nyeri sesudah operasi pada

kelompok perlakuan
d. Untuk mengidentifikasi tingakat nyeri 2 hari sesudah operasi pada

kelompok perlakuan
e. Menganalisa uji statistik antara tingkat nyeri setelah 2 hari sesudah

operasi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan klien post

operasi apendektomi di Rumah Sakit Islam Surabaya.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
6

Memberikan informasi mengenai Pengaruh Mobilisasi Dini dan

Relaksasi Spiritual Terhadap perubahan tingkat nyeri klien post operasi

apendektomi di Rumah Sakit Islam Surabaya

2. Manfaat praktis

a. Bagi klien
Hasil penelitian ini dapat digunakan klien post operasi apendiktomi

sebagai sumber pengetahuan dan wawasan dalam menurunkan nyeri

pada pasien post operasi apendiktomi.


b. Bagi Institusi pendidikan
Pengaruh mobilisasi dini dan relaksasi spiritual terhadap perubahan

tingkat nyeri klien post operasi apendektomi di Rumah Sakit Islam.

c. Bagi Perawat
Hasil penelitian sebagai acuan atau bahan kajian dalam merumuskan

perencanaan asuhan keperawatan sehingga dapat dilakukan tindakan

keperawatan yang sesuai dengan prioritas masalah dan kebutuhan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Apendisitis

1. Pengertian
7

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut

pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum

untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer,2001).

Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks

vermiformis, dan merupakan penyebab akut abdomen yang paling

sering. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa fungsi

apendiks sebenarnya. Apendisitis dapat disebabkan karena infeksi atau

obstruksi pada apendiks. Obstruksi menyebabkan apendiks menjadi

bengkak, perubahan flora normal dan mudah diinfeksi oleh bakteri.

Jika diagnosis lambat ditegakkan, dapat terjadi perforasi pada

apendiks. Sehingga akibatnya terjadi Peritonitis atau terbentuknya

abses disekitar apendiks (Schwartz, 2006)

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh terjadinya proses radang

bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya

hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing

askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari

kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang

mempermudah terjadinya radang apendiks (Sabiston, 2008)

a. Faktor sumbatan (obstruksi)

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis

(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan

oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis


8

fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya

sumbatan oleh parasit dan cacing

b. Faktor Bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada

apendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah

terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi

peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur

didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara

Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus,

Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang

menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan

aerob < 10%.

c. Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan

sehari-hari.Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah

serat mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang

2. Etiologi

Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi

bakteri. Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya

penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks.

Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena

adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hipeplasia jaringan

limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer

primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi


9

lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid. (Irga,

2007)

3. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur

karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada

bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal

dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan

mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama

mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks

mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan

intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml.

Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar

60 cmH20 .

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks

mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi

mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan

apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi

trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat

inilah terjadi Apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri

epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36

jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena

ditentukan banyak faktor.


10

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.

Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah,

dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan

mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah

kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan Apendisitis supuratif akut.

Apendisitis supuratif akut sebagian besar berhubungan dengan

obstruksi lumen apendiks oleh fekalith atau hiperplasia. Bila

kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks

yang diikuti dengan terbentuknya gangren. Stadium ini disebut dengan

apendisitis ganggrenosa. Bila dinding yang telah rapuh tersebut

pecah, akan terjadi apendisitis perforasi, pengeluaran pusnya ke

dalam rongga peritoneum yang mengakibatkan peritonitis dan dapat

berkembang menjadi septikemia dan menyebabkan kematian.

Patologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian

melibatkan seluruh lapisan dinding abdomen dalam waktu 24-48 jam

pertama. Bila semua proses tersebut berjalan lambat maka usaha

pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup

apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga

terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan

istilah infiltrate apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan

berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk

abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan

menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.

( Hermanto, 2011 )
11

4. Klasifikasi Histopatologi

Klasifikasi apendisitis pada anak secara umum yang sampai saat ini

banyak dianut adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinik

patologis dari Robbins Cotran, klasifikasi ini berdasarkan pada

temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :

Apendisitis Simpel / Apendistis akut fokal (grade I):

Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau

hiperemis ringan dan edema, belum tampak adanya eksudat serosa

Gambar 2. Sel –sel radang akut di lapisan mukosa


Apendisitis Supurativa (grade Il):
12

Sering didapatkan adanya obstruksi,apendiks dan mesoapendiks

tampak edema, kongesti pembuluh darah,mungkin didapatkan adanya

petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen pada serosa serta terjadi

kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini mungkin bisa

tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan

mesenterium didekatnya.

Gambar 3. Sel –sel radang akut di lapisan mukosa, submukosa

dan muskularis

Apendisitis Gangrenosa (grade III):

Selain didapatkan tanda-tanda supurasididapatkan juga adanya

dinding apendiks yang berwarna keunguan,kecoklatan atau merah

kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah terjadi adanya


13

mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen dengan bau

busuk.

Gambar 4. Sel –sel radang akut dengan jaringan ikat fibrous dan

daerah nekrotik

Apendisitis Ruptur (grade IV):

Sudah tampak dengan jelas adanya rupture apendiks, umumnya

sepanjang antemesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan

peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.

Gambar 5. Sel –sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding


apendiks disertai
disertai diskontinuitas jaringan

Apendisitis Abses (grade V):


14

Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,abses terbentuk disekitar

apendiks yang rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari

sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis bahkan

mungkin seluruh rongga abdomen.

Gambar 6. Sel –sel radang akut menginfiltrasi sampai lapisan

serosa

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih

panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah

dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya

perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena

telah ada gangguan pembuluh darah.

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi

mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks,

omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain

seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan

melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum

selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis.

Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup


15

kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh

karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,

tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan

perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat

menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu

ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami

eksaserbasi akut. (Santacrose, 2006)

5. Gejala Klinis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis

adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar

umbilicus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan

rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu

makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih

ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa

lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik

setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah

epigastrium, tetapi terdapat konstipasi. Apendisitis kadang juga

disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 – 38,5 derajat

celcius

Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain

a. Nyeri abdominal
16

Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri

dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di

daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam

nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc

Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya

sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan

peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada

saat berjalan atau batuk.

b. Mual-muntah biasanya pada fase awal.

c. Nafsu makan menurun.

d. Obstipasi dan diare pada anak-anak.

e. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada

komplikasi biasanya tubuh

f. belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C


Gejala apendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala

awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering

tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak

spesifik ini sering diagnosis apendisitis diketahui setelah terjadi

perforasi. (Aiken et all , 2007)

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Penunjang Apendisitis Akut atau Usus Buntu

1) Pemeriksaan Laboratorium.Pemeriksaan darah didapatkan

leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama

pada kasus dengan komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED


17

akan meningkat. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya

eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini

sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding

seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai

gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis.

2) Pemeriksaan Radiologis. Foto polos abdomen Pada appendicitis

akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi (misalnya

peritonitis) tampak: scoliosis ke kanan, psoas shadow tak

tampak, bayangan gas usus kananbawah tak tampak, garis

retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak, 5% dari

penderita menunjukkan fecalith radio-opak

3) Appendicogram. Hasil positif bila : non filling, partial filling,

mouse tail cut off.

4) Pemeriksan USG.Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat

dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila

dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk

menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,

adnecitis dan sebagainya.

5) Barium enema. Pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan

barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat

menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada

jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis


18

banding.

Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada appendicitis

akut memperlihatkan tidak adanya pengisian apendiks dan efek

massa pada tepi medial serta inferior dari seccum; pengisisan

lengkap dari apendiks menyingkirkan appendicitis.

6) CT-Scan Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis.

Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari appendicitis

seperti bila terjadi abses.

7) Laparoscopi.Tindakan lemeriksaan dengan menggunakan

kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix

dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di

bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan

tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada

saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.

b. Pemeriksaan Darah (Penanda Inflamasi)

1) Neutrofil

Disebut juga leukosit polimorfonuklear (PMN) karena

gumpalan-gumpalan inti yang berikat secara fleksibel dapat

mengambil sekian banyak (poly) bentuk (morf) , merupakan jenis

granulosit sel darah putih dan yang paling banyak dalam leukosit

45 -75 % . Neutrofil berperan di dalam garis depan pertahanan

seluler terhadap invasi kuman –kuman.


19

Fungsi utama neutrofil adalah sebagai fagositosis dan

pembersihan debris , partikel dan bakteri serta pemusnahan

organisme mikroba , dan hal ini mungkin disebabkan spesialisasi

membrannya untuk proses ini. Peran bermanfaat neutrofil yang

telah terbukti adalah mencegah invasi oleh mikroorganisme

patogen , serta melokalisasi dan mematikan patogen tersebut

apabila telah terjadi invasi . (Ronald A, 2004)

Neutrofil ditemukan dalam aliran darah , selama fase akut

peradangan , terutama sebagai akibat infeksi bakteri, paparan

lingkungan dan beberapa jenis kanker , neutrofil adalah salah satu

yang pertama merespon sel-sel inflamasi untuk bermigrasi ke arah

sumber peradangan. Bermigrasi melalui pembuluh darah

kemudian melalui jaringan interstitial, ditargetkan oleh sinyal

kimia seperti interleukin -8, interferon gamma, dalam proses yang

disebut kemotaksis.Neutrofil berpindah dari plasma menuju

daerah radang melalui diapedesis sel karena adanya sinyal-sinyal

kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Perpindahan tersebut

dikenal dengan kemotaksis atau perpindahan yang dirangsang

oleh zat kimia. Kepekaan neutrofil terhadap rangsangan kimia

tersebut menyebabkan neutrofil yang paling dahulu sampai di

daerah inflamasi.Adapun urutan yang dialami oleh sel neutrofil

adalah neutrofil bergerak ke tepi pembuluh darah → melekat pada

dinding pembuluh darah → keluar dari pembuluh darah→


20

neutrofil menelan bakteri dan debris jaringan (fagositosis). (Dalal

I , 2005)

2) C – Reaktif Protein

C-Reaktif Protein merupakan protein darah yang terikat

dengan C-polisakarida, pentamer 120 kDa. Kadarnya dapat

meningkat 100 . 200 kali atau lebih tinggi pada inflamasi sistemik

yang menyebabkan kerusakan endotel. CRP merupakan penanda

inflamasi yang paling stabil. Suatu pemeriksaan C–reaktif protein

adalah pemeriksaan darah yangmengukur jumlah protein C–

reaktif di dalam tubuh. CRP yang meningkat sebagai respon

terhadap peradangan (alat ukur beratnya peradangan dalam

tubuh). (Ronald A, 2004).C-reactive protein (CRP) adalah protein

yang mengikat fraksi C polisakarida dari dinding sel

pneumokokus. Protein ini adalah protein fase akut klasik yang

dapat disintesis di hati.Protein ini dibentuk akibat proses

infeksi,peradangan, luka bakar dan keganasan.Respon fase akut

diikuti dengan peningkatan aktifitas koagulasi,fibrinolitik,

leukositosis, efek sistemik dan perubahan kadar beberapa

jenisprotein plasma seperti CRP atau hsCRP.Kadar CRP

biasanya meningkat 6 – 8 jam setelah demam dan mencapai

puncak 24 –48 jam. Pada orang normal kadar CRP < 5 mg/L dan

dapat meningkat 30x dari nilai normal pada respon fase akut.

(Lorentz, 2000 ).
21

C – Reaktif Protein dipakai untuk :

a) memberikan informasi seberapa akut dan seriusnya suatu

penyakit.

b) deteksi proses peradangan sistemik di dalam tubuh.

c) membedakan antara infeksi aktifdan inaktif.

d) mengikuti hasil pengobatan infeksibakterial setelah

pemberian antibiotika.

e) mendeteksi infeksi dalam kandungankarena robeknya

amnion.

f) untuk mengetahui adanya infeksi pasca operasi.

g) membedakan antara infeksi dan reaksi penolakan pada

transplantasisumsum tulang.

h) mempunyai korelasi yang baik dengan laju endap darah

(LED).

Sebagaimana disebutkan diatas, dikenal 2 macam protein fase

akut reaktif yaitu :

a) C-reactive protein (CRP)

b) high sensitive C-reactive protein (hsCRP).

hsCRP dipakai untuk deteksi dini infeksi pada anak dan menilai

resiko penyakit jantung koroner. Hasil beberapa penelitian

menyimpulkan bahwa hsCRP dipakai untuk memprediksi resiko

penyakit jantung koroner pada orang yang tampak sehat dan dapat

dipakai sebagai indikator prognosis. Oleh karena itu peningkatan


22

kadar hsCRP tidak spesifik dan tidak dapat dinilai tanpa ada

pendapat klinis (keluhan). (Bangert SK, 2004)

7. Penanganan

a. Terapi kristaloid untuk pasien dengan tanda-tanda klinis dehidrasi

atau septicemia.

b. Pasa, pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan

apapun melalui mulut.

c. Berikan analgesik dan antiemetik parenteral untuk kenyamanan

pasien.

d. Pertimbangkan adanya kehamilan ektopik pada wanita usia subur,

dan lakukan pengukuran kadar hCG

e. Berikan antibiotik intravena pada pasien dengan tanda-tanda

septicemia dan pasien yang akan dilanjutkan ke laparotomi.

f. Antibiotik Pre-Operatif Pemberian antibiotik pre-operatif telah

menunjukkan keberhasilan dalam menurunkan tingkat luka infeksi

pasca bedah. Pemberian antibiotic spektrum luas untuk gram negatif

dan anaerob diindikasikan. Antibiotik preoperative harus diberikan

dalam hubungannya pembedahan.

g. Tindakan Operasi Apendiktomi, pemotongan apendiks. Jika

apendiks mengalami perforasi, maka abdomen dicuci dengan garam

fisiologis dan antibiotika. Bila terjadi abses apendiks maka terlebih

dahulu diobati dengan antibiotika IV, massanya mungkin mengecil,

atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu

beberapa hari.
23

B. KONSEP NYERI

1. Definisi Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial.

Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawat

kesehatan(smeltzer&Bare 2002). Tamsir (2012) menjelaskan nyeri

sebagai suatu keadaan yang memengaruhi seseorang dan eksistensinya

diketahui bila seseorang pernah mengalaminya.

2. Fisiologi Nyeri

Saat terjadinya stimulus yang menimbulkan kerusakan jaringan

hingga pengalaman emosional dan psikologis yang menyebabkan

nyeri, terdapat rangkaian peristiwa elektrik dan kimiawi yang

kompleks, yaitu transduksi, transrmisi, modulasi dan persepsi.

Transduksi adalah proses dimana stimulus noksius diubah menjadi

aktivitas elektrik pada ujung saraf sensorik (reseptor) terkait. Proses

berikutnya, yaitu transmisi, dalam proses ini terlibat tiga komponen

saraf yaitu saraf sensorik perifer yang meneruskan impuls ke medulla

spinalis, kemudian jaringan saraf yang meneruskan impuls yang

menuju ke atas (ascendens), dari medulla spinalis ke batang otak dan

thalamus. Yang terakhir hubungan timbal balik antara thalamus dan

cortex. Proses ketiga adalah modulasi yaitu aktivitas saraf yang

bertujuan mengontrol transmisi nyeri. Suatu senyawa tertentu telah


24

ditemukan di sistem saraf pusat yang secara selektif menghambat

transmisi nyeri di medulla spinalis. Senyawa ini diaktifkan jika terjadi

relaksasi atau obat analgetika seperti morfin (Dewanto, 2003).

Proses terakhir adalah persepsi, proses impuls nyeri yang

ditransmisikan hingga menimbulkan perasaan subyektif dari nyeri

sama sekali belum jelas. Bahkan struktur otak yang menimbulkan

persepsi tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan karena nyeri

secara mendasar merupakan pengalaman subyektif yang dialami

seseorang sehingga sangat sulit untuk memahaminya (Dewanto,

2003).

Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer.

Zat kimia (substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan,

kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan

nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang

terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke

bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal

dari seluruh tubuh)

Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak

di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali

dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di mana intensitas

dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai

tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat
25

kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mcngurangi nyeri di daerah

yang terluka (Potter & Perry, 2005)

Di dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau

tertutup. Saat gerbang terbuka, impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak.

Gerbang juga bisa ditutup. Stimulasi saraf sensoris dengan cara

menggaruk atau mengelus secara lembut di dekat daerah nyeri dapat

menutup gerbang sehingga mencegah transmisi impuls nyeri. Impuls

dari pusat juga dapat menutup gerbang, misalnya motivasi dari

individu yang bersemangat ingin sembuh dapat mengurangi dampak

atau beratnya nyeri yang dirasakan (Potter & Perry, 2005).

Kozier, dkk. (2009) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan

respon tubuh meliputi aspek pisiologis dan psikologis, merangsang

respon otonom (simpatis dan parasimpatis respon simpatis akibat

nyeri seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi,

peningkatan pernapasan, meningkatkan tegangan otot, dilatasi pupil,

wajah pucat, diaphoresis, sedangkan respon parasimpatis seperti nyeri

dalam, berat , berakibat tekanan darah turun nadi turun, mual dan

muntah, kelemahan, kelelahan, dan pucat

Pada kasus nyeri yang parah dan serangan yang mendadak

merupakan ancaman yang mempengaruhi manusia sebagai sistem

terbuka untuk beradaptasi dari stressor yang mengancam dan

menganggap keseimbangan. Hipotalamus merespon terhadap stimulus

nyeri dari reseptor perifer atau korteks cerebral melalui sistem


26

hipotalamus pituitary dan adrenal dengan mekanisme medula adrenal

hipofise untuk menekan fungsi yang tidak penting bagi kehidupan

sehingga menyebabkan hilangnya situasi menegangkan dan

mekanisme kortek adrenal hipofise untuk mempertahankan

keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyediakan energi kondisi

emergency untuk mempercepat penyembuhan. Apabila mekanisme ini

tidak berhasil mengatasi stressor (nyeri) dapat menimbulkan respon

stress seperti turunnya sistem imun pada peradangan dan menghambat

penyembuhan dan kalau makin parah dapat terjadi syok ataupun

perilaku yang maladaptif (Potter & Perry, 2005)

3. Patofisiologi nyeri

a. Nyeri diawali dengan kerusakan jaringan (tissue damage), dimana

jaringan tubuh yang cedera melepaskan zat kimia inflamatori

(excitatory neurotransmitters), (histamine dan bradykinin) sebagai

vasodilator yang kuat (edema, kemerahan dan nyeri dan

menstimulasi pelepasan prostaglandins)

b. Transduksi (transduction) : perubahan energi stimulus menjadi

energi elektrik, proses transmisi (transmission) yakni ketika energi

listik mengenai nociceptor dihantarkan melalui serabut saraf A dan

C dihantarkan dengan cepat ke substantia gelatinosa di

dorsal horn dari spinal cord ke otak melalui spinothalamic tracts -

thalamus dan pusat-pusat yang lebih tinggi termasuk reticular

formation, limbic system, dan somatosensory cortex


27

c. Persepsi (perseption) : otak menginterpretasi signal, memproses

informasi dari pengalaman, pengetahuan, budaya, serta

mempersepsikan nyeri - individu mulai menyadari nyeri.

d. Modulasi (modulation) : saat otak mempersepsikan nyeri, tubuh

melepaskan neuromodulator, seperti opioids (endorphins and

enkephalins), serotonin, norepinephrine & gamma aminobutyric

acid - menghalangi /menghambat transmisi nyeri & membantu

menimbulkan keadaan analgesik, & berefek menghilangkan nyeri.

4. Klasifikasi Nyeri

a. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Awitan

Tamsuri (2012) menjelaskan bahwa nyeri berdasarkan waktu

kejadian dapat dikelompokkan sebagai nyeri akut dan kronis.

1) Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu atau durasi 1

detik sampai dengan kurang dari 6 bulan. Nyeri akut biasanya

menghilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan

setelah kerusakan jaringan menyembuh.

2) Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi lebih dari 6 bulan. Nyeri

kronis umumnya timbul tidak teratur, intermiten, atau bahkan

persisten. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik

sebagai penderitanya.
b. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi
Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam

jenis, yaitu nyeri superfisial, nyeri somatik dalam, nyeri viseral,

nyeri alih, nyeri sabar, dan nyeri bayangan(fantom)(Tamsuri 2012).


28

1) Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang

terjadi pada otot tulang serta struktur penyokong lainnya,

umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya

perenggagan dan iskemia.


2) Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan

organ interna.
3) Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari

sensasi asal kejaringan sekitar.


4) Nyeri fantom adalah nyeri yang dirasakan klien yang mengalami

amputasi.
5) Nyeri alih (refered pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya

nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dikatakan

nyeri pada beberapa tempat dan lokasi.

c. Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri


Tamsuri (2012) Menyebutkan ada beberapa faktor yang

mempengaruhi persepsi tentang nyeri pada seorang individu yang

meliputi :
1) Usia
Usia merupakan variable yang penting dan mempengaruhi nyeri,

khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan

yang ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi

bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri.


2) Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara makna dalam

berespon terhadap nyeri. Toleransi nyeri sejak lama menjadi

subyek penelitian yang melibatkan pria dan wanita. Akan tetapi,

toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia


29

dan merupakan hal yang unik pada setiap individu, tanpa

memperhatikan jenis kelamin.


3) Kebudayaan
Keyakinan dan nilai budaya mempengaruhi gaya hidup individu

dalam mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang

diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal

ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri, misalnya

seorang perawat yakin bahwa menangis dan merintih

mengindikasikan suatu ketidak mampuan untuk mentoleransi

nyeri, akibatnya pemberian terapi mungkin tidak cocok untuk

klien berkebangsaan amerika/jerman. Seorang klien

berkebangsaan amerika/jerman yang menangis keras tidak selalu

mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat

dan mengharapkan perawat melakukan intervensi.


4) Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri , pengalaman

nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri, hal ini

dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya dan

pendidikan individu tersebut. Individu mempersepsikan nyeri

dengan cara yang berbeda-beda apabila nyeri tersebut memberi

kesan ancaman, suatu hukuman dan tantangan.


5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri

dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat

dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedang upaya

pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang

menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep perawat


30

tetapkan diberbagai terapi untuk menghilangkan nyeri seperti

relaksasi, tehnik relaksasi terbimbing (guided imageri), dan

masase. Dengan memfokuskan perhatian dan kosentrasi klien

pada stimulus yang lain, maka perawat dapat menempatkan

nyeri pada kesadaran yang stabil.

6) Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat komplek. Ansietas

seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat

menimbulkan suatu perasaan ansietas. Klien post operasi

seringkali mengalami kesulitan mengontrol diri bila nyeri timbul

sehingga tingkat ansietasnya juga meningkat.


7) Keletihan
Meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan

sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan

koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap

individu yang menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila

keletihan disertai dengan kesulitan tidur. Maka persepsi nyeri

dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri sering kali berkurang setelah

individu mengalami suatu periode tidur yang lelap atau keadaan

yang melelahkan.
8) Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya tidak

selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri

dengan lebih mudah pada masa yang akan datang apabila

individu sejak lama akan mengalami serangkaian episode nyeri

tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka


31

anseitas atau rasa takut dapat muncul. Sebaliknya apabila

individu mengalami nyeri, dengan jenis sama yang berulang-

ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut dengan berhasil

dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk

mengietepretasikan sensasi nyeri. Akibatnya, klien akan lebih

siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk

menghilangkan nyeri.

9) Gaya koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang

membuat anda merasa kesepian dan kurang perhatian. Apabila

klien mengalami nyeri seperti dirumah sakit klien merasa tidak

berdaya dengan rasa sepi itu. Hal yang sering terjadi adalah

klien merasa kehilangan kontrol terhadap lingkungan. Dengan

demikian gaya koping mempengaruhi kemampuan individu

tersebut untuk mengatasi nyeri

10) Dukungan keluarga dan sosial


Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri ialah

kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap

mereka terhadap klien. Individu dari kelompok sosio budaya

yang berbeda memiliki harapan yang berbeda tentang cara

mereka menumpahkan keluhan mengenai nyeri individu yang

mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga

atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau

perlindungan, walupun nyeri tetap tetap klien rasakan, kehadiran

orang yang dicintai klien akan meminimalkan kesepian dan


32

ketakutan, apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali

pengalaman nyeri membuat klien semakin tertekan.


11) Intensitas nyeri
Itensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah

nyeri yang dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri

sangat subyektif dan individual, dan kemungkinan nyeri dalam

intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang

yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekataan objektif

yang paling mungkin adalah mengunakan respon fisiologi tubuh

terhadap nyeri itu sendiri namun, pengukuran dengan tehnik ini

juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu

sendiri (Tamsuri 2012).


Pengkajian karakteristik umum nyeri membantu perawat

mengetahui pola nyeri dan tipe terapi yang digunakan untuk

menangani nyeri. Karakteristik nyeri meliputi awitan dan durasi,

lokasi nyeri, kualitas dan tindakan yang memperberat atau

memperingan nyeri (Potter and Perry 2006). Smletzer dan Barre

(2002) menjelaskan bahwa ada banyak intrumen pengukuran

nyeri diantaranya yang dikemukakan oleh Agency for Health

Care polcy and Research (AHCPR) : (1) Skala analog visual, (2)

Skala numerical rating scale dan, (3) skala intensitas deskriptif,

dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.4
Skala analog visual

Tidak Nyeri Nyeri

sangat hebat
33

Gambar 2.5
Numerical ratting scale
I----I----I----I---I---I---I----I----I----I
0 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri nyeri sedang nyeri hebat

Gambar 2.6
Skala intensitas nyeri deskriptif

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10nyeri
Tidak Nyeri ringan Nyeri sedang nyeri berat nyeri berat
terkontrol tidak terkontrol

Sumber : Smeltzer, sc & Barre, BG 2002, Buku ajar


keperawatan medikal bedah bruner & suddart, edisi 2,
Vol 1, Hal 218, EGC, Jakarta.

Keterangan:

0:Tidak nyeri

1-3: Nyeri ringan: secara obyektif klien dapat

berkomunikasidengan baik.

4-6: Nyeri sedang: Secara obyektif klien mendesis, menyeringai,

dapat menunjukkan daerah atau lokasi nyeri, dapat

mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

7-9: Nyeri berat: secara obyektif klien terkadang tidak

dapatmengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,

dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat


34

mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas

panjang dan distraksi

10: Nyeri sangat berat: Pasien sudah tidak mampu

lagiberkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat

keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali

diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan,

sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi

perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga

sulit untuk dipastikan.

12) Intensitas nyeri dengan skala perilaku

Pengukuran nyeri juga dapat dilakukan dengan menggunakan

skala perilaku atau behavioral pain assessment scale, dengan

skor 0 – 10. Skor total diantara 0, yang menyatakan tidak ada

perilaku nyeri, hingga 10 yang menyatakan adanya perilaku

nyeri yang berat (Scott & McDonald, 2007).

Tabel. 2.1 Behavioral Pain Assesment Scale (Campbell, 2000


dalam Scott & McDonald, 2007)
0 1 2
Wajah Otot wajah Otot wajah Sering ke Face
rileks tegang, selalau score:
mengerut, mengerutkan
mimic wajah, dagu
wajah mengepal
kesakitan

0 1 2
Restlessness Diam, Kadang- Sering Restlessness
tampilan kadang memperlihatk score
rileks, gerakan an gerakan
pergerakan gelisah, kegelisahan
normal posisi
35

tegang

0 1 2
Tonus Otot Tonus otot Tonus Muscle tone
normal meningkat, Tonus kaku score:
fleksi jari
dan tumit
Vocalisasi 0 1 2 Vocalisation
Tidak ada Kadang- Sering score:
suara kadang berguman,
abnormal berguman, menangis dan
menangis, menggerutu
atau
menggerutu

0 1 2
Consolability rileks Nyaman Sulit untuk Consolabilit
(Kenyamana bila merasa y score:
n) disentuh, nyaman baik
distractible dengan
sentuhan atau
perbincangan

Behavioral pain assessment scale total (0–10) ............................./10

13) Nyeri Pasca Operasi


Tindakan pembedahan adalah suatu tindakan yang dapat

mengancam integritas seseorang, baik bio-psiko-sosial maupun

spiritual, yang bersifat potensial ataupun aktual. Setiap tindakan

pembedahan dapat menimbulkan respon ketidaknyamanan

secara verbal maupun non verbal (Engram dalam solehati,

2008).
Nyeri pasca operasi akan meningkatkan stres pasca operasi

dan memiliki pengaruh negative pada penyembuhan nyeri.

Kontrol nyeri sangat penting sesudah pembedahan nyeri yang

disebabkan dapat mengurangi kecemasan, bernafas lebih mudah

dan dalam, dapat mentoleransi mobilisasi yang cepat.

Pengkajian nyeri dan kesesuaian analgesik karena digunakan


36

untuk memastikan bahwa nyeri pasien paska operasi dapat

dibebaskan (Tarrace dan serginson dalm farida 2010)

C. KONSEP RELAKSASI
1. Pengertian relaksasi
Relaksasi adalah tehnik untuk mengurangi ketegangan nyeri dengan

merelaksasikan otot. Beberapa peneliti menyatakan bahwa tehnik

relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri paska operasi (Tamsuri

2012).
Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan

stress (potter & perry 2006).


2. Jenis relaksasi
smeltzer bare (2002) menjelaskan beberapa relaksasi, antara lain,
yaitu:
a. Relaksasi nafas dalam

1) Relaksasi nafas dalam


a) Pengertian relaksasi nafas dalamTehnik relaksasi nafas

dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan,

yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien

atau pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam,

nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal)

(smeltzer dan Bare 2002)


b) Tujuan tehnik relaksasi nafas dalam
smeltzer dan Bare 2002 menyatakan bahwa tujuan untuk

relaksasi pernafasan adalah untuk meningkatkan ventilasi

alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasis

paru, meningkatkan efisiensi batuk, mengurangi stress

baik stress fisik maupun emisional yaitu menurunkan

itensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.


2) Prosedur tehnik relaksasi nafas dalam
37

Tambunan (2009) dan potter & perry (2006) menjelaskan

langkah tehnik relaksasi nafas dalam


a) Atur pasien pada posisi yang nyaman
b) Minta pasien untuk menempatkan tangannya kebagian

dada dan perut


c) Minta pasien untuk menarik nafas melalui hidung secara

pelan , dalam dan meraskan kembang kempisnya perut


d) Meminta pasien untuk menahan nafas selama beberapa

detik kemudian keluarkan nafas secara perlahan melalui

mulut
e) Memberitahukan pasien bahwa pada saat nafas mulut

pada posisi mencucu (Pulsed lip)


f) Meminta pasien mengeluarkan nafaas sampai perut

mengempis
g) Lakukan latihan nafas hingga 2-4 kali.
Supaya relaksasi dapat dilakukan dengan efektif, maka

diperlukan partisipasi indifidu dan kerja sama. Tehnik

relaksasi diajarkan hanya saat klien tidak merasakan

(rasa tidak nyaman yang akut) hal ini dikarenakan

ketidakmampuan berkonsentrasi membuat latihan

menjadi tidak efektif (Potter &Perry 2006).

3) Manfaat Relaksasi Nafas Dalam


Tehnik relaksasi nafas dalam dapat memberikan berbagai

manfaat. Menurut potter & perry (2006) menjelaskan efek

relaksasi nafas dalam antara lain penurunan nadi, penurunan

ketegangan otot, penurunan kecepatan metabolisme,

peningkatan kesadaran, perasaan damai dan sejahtera dan

periode kewaspadaan yang santai.


38

Keuntungan relaksasi nafas dalam antara lain dapat

dilakukan setiap saat, kapan saja dan dimana saja, caranya

sangat mudah dan dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien

tanpa suatu media serta merileksasikan otot yang tegang.

Sedangkan kerugian relaksasi nafas dalam antara lain tidak

dapat dilakukan pada pasien yang menderita penyakit jantung

dan pernafasan (Smeltzer & Barre 202).


4) Pengaruh relaksasi nafas dalam terhadap penurunan itensitas

nyeri.
Tehnik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan

itensifas nyeri melaui tiga mekanisme yaitu :


a) Dengan merelaksasikan otot skelet yang mengalami

spasme yang disebabkan insisi (trauma) jaringan saat

pembedahan.
b) Relaksasi otot skelet akan meningkatkan aliran darah ke

daerah yang mengalami trauma sehingga mempercepat

proses penyembuhan dan menurunkan (menghilangkan

sensasi nyeri karena nyeri post bedah merupakan nyeri

yang disebabkan karena trauma jaringan oleh karena itu

jika trauma (insisi) sembuh maka nyeri akan hilang


c) Tehnik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu

merangsang tubuh untuk melepaskan opoid endogen

yaitu endorpin dan enkefalin (Smeltzer & BRRE 2002).

5) Patofisiologi tehnok relaksasi nafas dalam terhadap

penurunan nyeri

pembedahan
Tehnik relaksasi nafas dalam Hormon adrenalin turun
Rasa nyeri post op apendik

Kosentrasi meningkat Memberi rasa tenang


39

Mempermudah mengatur O2 dalam darah meningkat


pernafasan Mengurangi detak jantung

Nyeri turun Tekanan darah turun

a) Gambaran dalam pikiran (imageri)


b) Rengangan
c) Senaman
d) Progressive muscular relaxsation
e) Bertafakur
f) Yoga

D. KONSEP MOBILISASI DINI

1. Pengertian Mobilisasi Dini

Mobilisasi dini adalah pergerakan yang dilakukan sedini

mungkin di tempat tidur dengan melatih bagian–bagian tubuh

untuk melakukan peregangan atau belajar berjalan (Soelaiman,

2000).

Mobilisasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin

membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan

membimbingnya selekas mungkin berjalan. Menurut Carpenito

(2000), mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting

pada fungsi fisiologis karena hal itu esensial untuk

mempertahankan kemandirian. Dari Kedua definisi tersebut dapat

disimpulkan bahwa mobilisasi dini adalah suatu upaya

mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara

membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis.


40

Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat napas

dalam dan menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal,

dorong untuk menggerakkan kaki dan tungkai bawah sesegera

mungkin, biasanya dalam waktu 12 jam.

Pada saat awal, pergerakan fisik bisa dilakukan di atas tempat

tidur dengan menggerakkan tangan dan kaki yang bisa ditekuk atau

diluruskan, mengkontraksikan otot-otot dalam keadaan statis

maupun dinamis termasuk juga menggerakkan badan lainnya,

miring ke kiri atau ke kanan. Pada 12 sampai 24 jam berikutnya

atau bahkan lebih awal lagi badan sudah bisa diposisikan duduk,

baik bersandar maupun tidak dan fase selanjutnya duduk di atas

tempat tidur dengan kaki yang diletakkan atau ditempatkan di

lantai sambil digerak-gerakan. Di hari kedua pasca operasi, rata-

rata untuk pasien yang dirawat di kamar atau bangsal dan tidak ada

hambatan fisik untuk berjalan, semestinya memang sudah bisa

berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya

berjalan sendiri ke toilet atau kamar mandi dengan posisi infus

yang tetap terjaga.

2. Konsep Mobilisasi
Mobilisasi mula–mula berasal dari ambulasi dini yang merupakan

pengembalian secara berangsur–angsur ke tahap mobilisasi

sebelumnya untuk mencegah komplikasi (Ancheta, 2005)

3. Rentang Gerak dalam mobilisasi

Dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu :

a. Rentang gerak pasif


41

Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-

otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara

pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki

pasien.
b. Rentang gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi

dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya

berbaring pasien menggerakkan kakinya.


c. Rentang gerak fungsional berguna untuk memperkuat otot-otot

dan sendi dengan melakukan aktifitas yang diperlukan

(Carpenito, 2000).

4. Manfaat mobilisasi
Manfaat mobilisasi bagi pasien pasca operasi apendiktomi adalah :
a. Penderita merasa lebih sehat dan kuat dengan early ambulation.

Dengan bergerak, otot–otot perut dan panggul akan kembali

normal sehingga otot perutnya menjadi kuat kembali dan dapat

mengurangi rasa sakit dengan demikian pasien merasa sehat dan

membantu memperoleh kekuatan, mempercepat kesembuhan.

Faal usus dan kandung kencing lebih baik.Dengan bergerak

akan merangsang peristaltik usus kembali normal. Aktifitas ini

juga membantu mempercepat organ-organ tubuh bekerja seperti

semula.
b. Mobilisasi dini memungkinkan kita mengajarkan segera untuk

pasien beraktifitas. Perubahan yang terjadi pada pasien post

apendidktomi cepat pulih kesehatannya.


c. Mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli, dengan

mobilisasi sirkulasi darah normal/lancar sehingga resiko

terjadinya trombosis dan tromboemboli dapat dihindarkan.


42

5. Tahap-tahap Mobilisasi Dini

Mobilisasi dini dilakukan secara bertahap berikut ini akan

dijelaskan tahap mobilisasi dini pada pasien post op apendiktomi :

a. Setelah operasi, pada 6 jam pertama pasien pasca operasi

apendiktomi harus tirah baring dulu. Mobilisasi dini yang bisa

dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, menggerakkan

ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat

tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser

kaki.
b. Setelah 6-10 jam, pasien diharuskan untuk dapat miring kekiri

dan kekanan
c. mencegah trombosis dan trombo emboli.
d. Setelah 24 jam pasien dianjurkan untuk dapat mulai belajar

untuk duduk.
e. Setelah itu pasien dapat duduk, dianjurkan pasien belajar

berjalan (Kasdu, 2003).

E. KONSEP SPIRITUAL
1. Pengertian
Kata spiritual berasal dari bahasa Latin yaitu spiritus yang

berarti hembusan atau bernafas, kata ini memberikan makna segala

sesuatu yang penting bagi hidup manusia. Seseorang dikatakan

memiliki spirit yang baik jika orang tersebut memiliki harapan

penuh, optimis dan berfikir positif, sebaliknya jika seseorang

kehilangan spiritnya maka orang tersebut akan menunjukkan sikap

putus asa, pesimis dan berfikir negatif (Blais et al, 2002; Roper,

2002).
43

Terdapat berbagai defenisi spiritual menurut sudut pandang

masing-masing. Mahmoodishan (2010) dan Vlasblom (2012)

mendefenisikan spiritualitas merupakan konsep yang luas, sangat

subjektif dan individualis, diartikan dengan cara yang berbeda pada

setiap orang. Spiritualitas adalah kepercayaan seseorang akan

adanya Tuhan, dan kepercayaan ini menjadi sumber kekuatan pada

saat sakit sehingga akan mempengaruhi keyakinannya tentang

penyebab penyakit, proses penyembuhan penyakit dan memilih

orang yang akan merawatnya (Blais et al, 2002; Hamid, 2008).

Defenisi lain menyatakan bahwa spiritualitas merupakan

bagian inti dari individu yang tidak terlihat dan memberikan makna

dan tujuan hidup serta hubungan dan keterikatan dengan Yang

Maha Tinggi yaitu Tuhan (Dewit- Weaver, 2001 dalam McEwen,

2003). Spiritualitas berbeda dengan agama, spiritualitas merupakan

konsep yang lebih luas yang bersifat universal dan pribadi

sedangkan agama merupakan bagian dari spiritualitas yang terkait

dengan budaya dan masyarakat (McEwen, 2003).

Berdasarkan konsep keperawatan, makna spiritual dapat

dihubungkan dengan kata-kata : makna, harapan, kerukunan, dan

sistemkepercayaan (Dyson, Cobb, Forman,1997). Dyson

mengamati bahwa perawat menemukan aspek spiritual tersebut

dalam hubungan dengan seseorang dengan dirinya sendiri, orang

lain dan dengan Tuhan. Menurut Reed (1992) spiritual mencakup

hubungan intra, inter, dan transpersonal. Spiritual juga diartikan


44

sebagai inti dari manusia yang memasuki dan mempengaruhi

kehidupannya dan dimanifestasikan dalam pemikiran dan perilaku

serta dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam

danTuhan (Dossey & Guazetta, 2000).

2. Aspek Spiritual
Spiritualitas klien menjadi perhatian khusus bidang

keperawatan. Ewajiaban Spiritualitas mengacu kepada kepedulian

antar sesama. Sisi spiritualitas berusaha untuk menyelesaikan

permasalahan orang lain bukan saja merupakan kewajiban setiap

orang, hal tersebut adalah suatu kesenangan yang paling baik dan

luhur dalam kehidupan (jalaludin,2012).


Spiritualitas sebagai bentuk multi dimensi yang dibangun dari

sembilan aspek utama (Elkins et al,1988) yaitu :


a. Dimensi transedental (trancedent dimension)
b. Makna tujuan hidup (meaning and purpose in life)
c. Misi dalam hidup (mission of life)
d. Kesuccian dalam hidup (Sacredness of life)
e. Nilai kebendaan (material values)
f. Altruism (altruism)
g. Idealisme (idealism)
h. Kesadaran akan kemampuan tinggi untuk berempati

(awareness of high empatic capaciti)


i. Manfaat spiritual (fruits of spirituality)

Sembilan aspek spiritualis tersebut diatas dirangkum menjadi

empat aspek oleh Smith (1994) yaitu sebagai berikut :

a. Merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna. Hal ini mencakup

rasa memiliki dalam hidup


b. Memiliki sebuah komitmen aktualisasi potensi-potensi positif

dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran


45

bahwa nilai-nilai spiritual menawarkan kepuasan yang lebih

besar dibanding nilai-nilai material, serta spiritualitas

mempunyai hubungan integral dengan seseorang, diri sendiri

dan semua orang.


c. Menyadari akan keterkaitan dan tersentuh dengan penderitaan

orang lain
d. Meyakini bahwa hubungan dengan demensi trasedensi adalah

menguntungkan. Hal ini mencakup perasaan bahwa segala hal

dalam hidup ini adalah suci.

3. Nafas Syukur
Relaksasi nafas dalam yang dikombinasi dengan rasa

syukur merupakan salah satu tehnik pengelolaan diri yang

didasarkan pada cara kerja sistem syaraf simpati dan para simpatis.

Energi dapat dihasilkan ketika kita melakukan relaksasi nafas

karena pada saat kita menghembuskan nafas, kita mengeluarkan zat

karbon dioksida sebagai kotoran hasil pembakaran dan ketika kita

menghirup kembali oksigen yang diperlukan tubuh untuk

membersihkan darah masuk (Smeltzer,2001; Resti,2014)


Nafas syukur merupakan bentuk tehnik relaksasi nafas

dalam yang digabungkan dengan keyakinan dan rasa syukur atas

nikmat hidup yang sudah diperoleh dengan mengucapkan kalimat

“Alhamdulillah”. Formula kata atau kalimat tertentu yang dibaca

berulang-ulang dan diikuti dengan tindakan yang iklas dengan

melibatkan unsur keimanan dan keyakinan akan menimbulkan

respon relaksasi yang lebih kuat dibandingkan dengan hanya

relaksasi tanpa melibatkan unsur keyakinan. Ungkapan yang


46

dipakai dapat berupa nama Tuhan, atau kata-kata lain yang

memiliki makna menenangkan bagi klien (benson,2000;

Sangkan,2002).

4. Manfaat Nafas Syukur


Manfaat nafas syukur yang mengadaptasi pada tehnik relaksasi

nafas dalam (Priharjo,2003; benson,2000) adalah sebagai berikut :


a. Ketentraman hati
b. Berkurangnya rasa cemas, khawatir dan gelisah
c. Tekanan darah dan ketenangan jiwa menjadi rendah
d. Detak jantung lebih rendah
e. Mengurangi tekanan darah
f. Meningkatkan keyakinan
g. Kesehatan mental menjadi lebih baik

5. Prosedur
Prosedur nafas syukur ini merupakan modifikasi dari tehnik

relaksasi nafas dalam dengan melibatkan faktor keyakinan


(Benson,2000; Sangkan, 2002), yaitu:
a. Memilih kata yang sesuai dengan keyakinan, kata ini digunakan

sebagai fokus atau pengantar meditasi dan pemilihan kata

sebaiknya memiliki arti khusus terutama kata yang dapat

menimbulkan munculnya kondisi transendensi, sehingga

diharapkan dengan kata tersebut diharapkan bisa meningkatkan

kekuatan respon relaksasi dengan memberikan kesempatan

faktor keyakinan untuk memberi pengaruh. Dalam metode ini

akan digunakan kata “Alahmdulillah” karena kata ini singkat

dan langsung menuju kepada objek transendensi.


b. Atur posisi yang nyaman, jika memungkinkan klien meletakkan

lengan disamping klien dan kaki jangan disilangkan,

lingkungan diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu


47

proses relaksasi misalnya suhu, kebisingan, pakaian yang

terlalu ketat dan bau-bauan yang tidak enak.


c. Memejamkan mata secara perlahan dan sewajarnya tidak perlu

memicingkan mata kuat-kuat. Pemaksaan untuk memejamkan

mata akan membuat otot-otot mata tidak rileks.


d. Memulai dengan membersihkan pikiran dari semua pikiran-

pikiran tidak penting dan hanya fokus pada pernafasan.

Merasakan udara yang masuk kedalam paru-paru dan keluar

dari paru-paru. Melakukan ini selama 5 menit hingga masuk ke

keadaan rileks.
e. Rileks, bernafas normal dengan perlahan-lahan
f. Menarik nafas yang dalam dan perlahan-lahan melalui hidung

dan kemudian hembuskan perlahan-lahan melalui mulut diikuti

dengan mengucapkan “Alahamdulillah”, mengucapkan baik

didalam hati maupun secara lisan sebanyak 21 kali sambil

mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.


g. Kalimat yang diucapkan saat melakkann nafs syukur sebagai

berikut :
1) “Alahamdulillah” Apapun masalah yang sedang menimpah

kami, kami percaya bahwa itu semua adalah rencana-Mu,

jadikanlah kami orang yang bersabar, pandai bersyukur dan

kuatkanlah diri kami menghadapi ujan hidup ini.


2) Kami bersyukur atas nikmat hidup yang Allah berikan

selama ini semoga kami termasuk golongan orang-orang

yang selalu bersyukur dalam kondisi apapun.


3) Kami selalu mengucapkan “Alhamdulillah” atas apa yang

terjadi hari ini dan berdoa untuk hari esok agar kammi
48

masih bisa melaluinya dengan penuh rasa syukur dan

bahagia.
h. Ulangi prosedur langkah kelima sampai lankah ke tujuh

sebanyak 15 kali, dengan diselingi dengan diselingi istirahat

singkat setiap 5 kali.


i. Pertahankan sikap tetap rileks.
6. Dzikir
a. Pengertian
Pengertian dalam kamus tasawuf yang ditulis oleh Solihin

dan Rosihin Anwar menjelaskan dzikir merupakan kata yang

digunakan unutuk menunjuk setiap bentuk pemusatan pikiran

kepada Tuhan (suluk) (Solihin & rosihin, 2002).


Dzikir adalah perbuatan menginggat Allah dan keagungan-

Nya, yang meliputi hampir semua bentuk ibadah dan perbuatan

seperti tasbih, tahmid, shalat, membaca al-Qur’an, berdoa,

melakukan perbuatan baik dan menghindarkan diri dari

kejahatan (Bastaman,2007).
Dzikir adalah salah satu ritual yang biasa dilakukan oleh

umat islam yang dapat menimbulkan respon relaksasi dan

memberikan efek terhadap kesehatan jangka panjang dan

perasaan bahagia (Ibrahim, 2003). Dzikir juga merupakan

bagian dari meditasi transcendental yang dapat menghambat

efek stress dengan menurunkan kadar kortisol (Zamry,2012).


b. Macam Dzikir
Dzikir terdiri dari dua macam yaitu dzikir lisan dan dzikir hati

(Kahhar & Madinah, 2007) :


a. Dzikir dengan lisan berarti mengulang nama-Nya, sifat-

Nya, Atau pujian kepada-Nya. Dzikir lisan hendaknya


49

dilakukan secara rutin dan berkelanjutan untuk melatih dan

pembiasaan lidah serta merasukka kedalam hati.


b. Dzikir dengan hati berarti menghadirkan kebersamaan dan

keagungan Nya didalam setiap hati dan jiwa. Tidak ada

yang diingat kecuali Tuhannya. Tidak ada nafas yang di

hirup dan dihembuskan kecuali dengan lafadz Allah SWT,

senantiasa ingat akan kebesaran dan kemulian-Nya didalam

hati yang terdalam.


Seseorang dapat mencapai taraf dzikir hati dengan

melakukan dzikir lisan. Apabila seseorang dapat

melakukan dzikir dengan lisan dan hatinaya sekaligus,

maka ia telah mencapai kesempurnaan dalam suluk-Nya.

Hal ini dikarenakan dzikir hatilah yang membuahkan

pengaruh sejati.
Dzikir bisa dilakukan dengan hati dan lisan. Adapun

yang paling baik adalah dzikir lisan dan hati sekaligus.

Seandainaya harus memilih kedua hal tersebut, maka dzikir

hati lebih baik dari dzikir lisan saja (Kahhar&Madinah,

2007).
Adapun bacaan-bacaan yang dianjurkan dalam

dzikir hati lisa menurut hawari adalah sebagai berikut :


1) Membaca tasbih (subhanallah) yang mempunyai arti

Maha Suci Allah.


2) Membaca tahmid (alhamdulillah) yang bermakna

segala puji bagi Allah.membaca tahlil (la illaha

illallah) yang bermakna tida tuhan selainAllah.


3) Membaca takbir (Allahu akbar) yang berarti Allah

Maha Besar.
50

4) Membaca hauqalah (la haula wala quwwata illa billah)

yang bermakna tiada daya upaya dan kekuatan kecuali

Allah.
5) Hasbalah : Hasbiyallahu wani’malwakil yang berarti

cukuplah Allah dan sebaik-baiknya pelindung.


6) Istigfar : Astaghfirullahal’adzim yang bermakna saya

memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung.


7) Membaca lafadz baqiyatussalihah: subhanallah

walhamdulillah walaillaha illallah Allahu Akbar yang

bermakna Maha Suci Allah dan segala puji bagi Allah

dan tiada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar.


c. Tata Cara Dzikir
Dzikir dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Masjid

adalah tempat yang paling utama untuk berdzikir (Ibnu abbas

dalam saleh, 2010). Namun pada dasarnya dimanapun

tempatnya berdzikir boleh dilakukan kecuali tempat yang

dilarang yaitu toilet.


d. Penepatan Waktu
Dzikir dapat dilakukan kapan pun dan dalam situasi apapun.

Ada beberapa waktu yang paling baik untuk berdzikir yaitu

setelah sholat, ketika mendapat musibah dan sepertiga malam

(Amin & alfandi, 2008). Dzikir dilakukan minimal 21 menit

dan maksimal tidak ada waktunya (lakukan semampunya), dua

kali sehari pagi dan sore. Waktu yang baik untuk berdzikir

adalah sebelum makan atau 2 jam sesudah makan, karena

selama dzikir alran darah disalurkan ke kulit, otot-otot lengan,

kaki dan otak serta menjauh dari perut, Akibatnya efek akan

bersaing dengan proses pencernakan makanan (Zamri, 2012)


51

e. Pengaturan Nafas
Bernafas memegang peranan yang sangat penting dalam

menghubungkan antara pikiran dan tiubuh. Saat berdzikir

benar-benar disadari kapan menarik dan mengeluarkan nafas

sehingga akan timbul kesadaran pentingnya bernafas dan mem

buat paru-paru mempunyai daya tampung oksigen yang lebih

besar. Bernafaslah secara perlahan dan wajar tanpa

memaksakan iramanya, pada saat ini kondisi jiwa harus penuh

rasa syukur karena masih dapat bernafas, dan mulailah

mengucapkan kalimat Alhamdulillah.


6. Prosedur Dzikir
a. Persiapan :
1) Kondisi lingkungan tenang
2) Berwudlu atau tayamum
3) Gunakan pakaian penutup aurat
4) Hilangkan kekuatiran duniawi, masalah dengan orang lain

dan perasaan negatif dari pikiran


5) Pilih posisi yang nyaman
6) Tenangkan diri sampai benar-benar nyaman
7) Pejamkan mata dengan perlahan dan rileks
8) Anda harus yakin bahwa dzikir akan membuat batin menjadi

tenang sehingga berpengaruh terhadap kesembuhan penyakit

anda.
b. Pelaksanaan :
1) Niat
2) Posisi rileks
3) Nafas lambat dan wajar sambil konsentrasi
4) Mulailah melemaskan otot mulai dari kaki, betis paha, perut

dan pinggang. Kemudian disusul dengan mengangkat pundak

perlahan-lahan, ulurkan kedua tangan kemudian kendurkan

dan biarkan terkulai dalam posis berdoa


5) mulailah menyebut kata atau kalimat tasbih “Subhanallah”.

Dan kalimat istigfar “Astaghfirullahal’adzim” yang masing-


52

masing sebanyak 20 kali didalam hati maupun diucap dengan

lisan, dengan senang hati secara perlahan-lahan.


6) Setelah berdzikir, tutuplah dengan shalwat dan ucapkan

Alhamdulillah
7) Jika muncul rasa apapun, gambaran masa lalu atau suara

masa lalu yang tidak nyaman, pasrah saja, terima atau

lepaskan dengan ikhlas, jika ingin menangis, menangislah,

biarkanlah perasaan keluar dan biarkan bebas terlepas.

Bebaskan diri dari dari segala beban yang mungkin tersimpan

didalam diri, kuncinya pasrah dan ikhlas.

F. KOMBINASI KONSEP MOBILISASI DAN RELAKSASI

SPIRITUAL
1. Pengertian

Mobilisasi dini adalah pergerakan yang dilakukan sedini

mungkin di tempat tidur dengan melatih bagian–bagian tubuh

untuk melakukan peregangan atau belajar berjalan (Soelaiman,

2000).

Spiritual berasal dari bahasa Latin yaitu spiritus yang berarti

hembusan atau bernafas, kata ini memberikan makna segala

sesuatu yang penting bagi hidup manusia. Seseorang dikatakan

memiliki spirit yang baik jika orang tersebut memiliki harapan

penuh, optimis dan berfikir positif, sebaliknya jika seseorang

kehilangan spiritnya maka orang tersebut akan menunjukkan sikap

putus asa, pesimis dan berfikir negatif (Blais et al, 2002; Roper,

2002).
53

Kombinasi pendekatan mobilisasi dini dan relaksasi spiritual

lebih optimal untuk mengurangi nyeri pasca bedah.

Penatalaksanaan nyeri pada pasien pasca bedah apendiektomi

termasuk dengan kombinasi pemberian farmakologi dan

nonfarmakologi seperti relaksai (Francesca, 2007)


Mobilisasi dini dan relaksasi spiritual merupakan salah satu

intervensi nonfarmakologis yang digunakan untuk mengurangi

nyeri pasca bedah. Mobilisasi dini dan relaksasi spiritual ini

sebagai intervensi keperawatan mandiri bertujuan untuk

melengkapi interfensi farmakologis yang telah diberikan.

Kombinasi mobilisasi dini dan relaksasi spiritual diharapkan lebih

besar pengaruhnya untuk mengurangi nyeri pasca bedah dibanding

dengan pasien yang hanya menerima terapi yang lainnya sehingga

dalam penelitian ini kombinasi mobilisasi dini dan relaksasi

spiritual merupakan variabel independen dan perubahan tingkat

nyeri merupakan variabel independen.

Keaslian penelitian

Tabel 2.2 keaslian penelitian

N Penulisan,Tahun Judul Desain Hasil


o
1 Rr Caecilia, et The effect of Ekperimenta Terdapat pengaruh mobilisasi dini terhadap
al early l study perubahan tingkat nyeri klien post operasi
(2016) Mobilization on apendektomi dengan hasil menunjukkan
the change of bahwa mobilisasi dapat diberikan untuk
pain level in menurunkan skala nyeri pada klien post
clients with Post operasi apendektomi
appendectomy
operation
1 Bormann, et al Efects of spiritual Randomized Kelompok Mantram mengalami perbaikan
(2006) mantram Controlled dalam mengurangi sifat marah, meningkatkan
54

repetition on HIV Trial keyakinan dan keterhubungan spiritual


outxames berkorelasi negatif dengan intrusive thoughts
dan positif terhadap kualitas hidup
2 Volker Busch et The Effect of Experimenta Ada pengaruh penurunan ambang nyeri,
al(2012) Deep and Slow l study aktivitas simpatis, dan penurunan perasaan
Breathing on Pain negatif (ketegangan, kemarahan, dan depresi)
Perception, setelah diberikan pernafasan dalam dan
Autonomic lambat
Activity, and
Meood
Processing
3 Volker Busch et The Effect of Perimental Ada pengaruh penurunan ambang nyeri,
al (2012) Deep and Slow Ex study aktivitas simpatis dan penurunan perasaan
Breathing on Pain negatif (ketegangan, kemerahan dan depresi )
Perception, setelah diberikan pernafasan dalam dan
Autonomic lambat
Activity, and
Mood Processing
4 Cecilia maria et Component of a Cross Identifikasi komponen ini, diklafsifikasikan
al (2013) roy,s adaptation sectional sebagai modus fisiologis, memberikan
model in patients study kontribusi pada perencanaan intervensi
undergoing keperawatan khusus difokuskan pada adaptasi
apendektomi klien
55

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Kerangka Konseptual

Faktor resiko: Insisi apendik


a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Umur
d. Jenis kelamin
e. Subtipe nyeri Luka post operasi
f. Pengukuran numerical
g. mobilisasi
h. tidak ketergantungan /mandiri Nyeri luka post Operasi

Mobilisasi dini farmakologi Relaksasi spiritual


(meningkatkan konsentrasi)

Relaksasi otot
mengatur pernafasan

Meningkatkan sirkulasi darah


Dzikir
(astaghfirullahal,adzim, subhanallah
dan alhamdulillah)
oksigen meningkat melewati
pembuluh darah

Pembentukan persepsi (+)


- Keyakinan kepada Tuhan
Pituitari (acth)
- Lebih dekat dengan Tuhan
- Berserah diri pada Tuhan
- Rasa tenang
Medula adrenal

Mengurangi detak jantung hormon


adrenalin turun
56

katekolamin

Tekanan darah turun

vasodilatasi
Penurunan tingkat nyeri

Keterangan:
: Diteliti
: Tidak diteliti
: Mempengaruhi
Sumber: (Alternmuller, 2009; Castro, 2002; Rojo; 2011; Smeltzer & Bare; 2015, Yasa, 2008)

Faktor resiko apendik meliputi umur, jenis kelamin, subtipe nyeri,

pengukuran numerical, mobilisasi, tidak ketergantungan /mandiri dimana

akan menyebabkan pasien tidak mau aktifitas dini setelahtindakan

operasi. Pada kondisi ini tejadi perubahan pada tingkat nyeri bila tidak

dilakukan latihan mobilisasi dini dan relaksasi spiritual karena tubuh

mampu untuk melepaskan opoiod endogen yaitu endorpin dan enkefalin,

sehingga menimbulkan penurunan nyeri.

Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien post

apendektomi meliputi pemberian posisi yang nyaman, mobilisasi dini dan

relaksasi spiritual, dapat mempenggaruhi perubahan tingkat nyeri

sehingga terjadi penurunan nyeri dimana pasien bisa mobilisasi dini.

A. Hipotesis Penelitian
H0 : tidak ada beda tingkat nyeri paska operasi apendektomi antara

kelompok kontrol dan kelompok perlakukan


H1 : ada beda tingkat nyeri paska operasi apendektomi antara kelompok

kontrol dan kelompok perlakuan


57

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancang Bangun

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan

desain penelitian quasy experiment dengan studi pre dan post test yang

berfungsi untuk mencari hubungan sebab akibat antara variabel independen

dengan variabel dependen dalam periode waktu tertentu. Kelompok intervensi

mendapatkan perlakuan berupa mobilisasi dini dan relaksasi spiritual,

sedangkan kelompok kontrol mendapatkan perlakuan berupa latihan fisik

sesuai dengan standar perawatan Rumah Sakit Islam Surabaya. Hasil yang

didapatkan untuk melihat perbedaan tingkat derajat nyeri dan penurunan nyeri

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol (Sastroasmoro & Ismael,

2010).

Kelompok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan pengukuran

tingkat penurunan nyeri sebagai data dasar yang akan digunakan untuk

melihat pengaruh dari mobilisasi dan relaksasi spiritual. Selanjutnya pada

kelompok intervensi juga dilakukan pengukuran tingkat derajat nyeri. Pada

kelompok kontrol juga dilakukan pengukuran tingkat penurunan nyeri setelah

mendapatkan latihan sesuai dengan standar rumah sakit pada periode waktu

yang sama. Rancangan penelitian dapat dilihat pada gambar berikut ini:
58

Gambar 4.1
Rancangan penelitian

Kelompok Efek (O2)


Intervensi I
(O1)

Subyek
Penelitian

Kelompok
Efek (O4)
Kontrol
(O3)

Keterangan:
O1 - O2 : Perbedaan tingkat sebelum dan setelah dilakukan teknik
mobilisasi dini dan relaksasi spiritual pada kelompok
intervensi
O3 - O4 : Perbedaan tingkat nyeri sebelum dan setelah dilakukan
perlakuan pada kelompok kontrol
O2& O4 : Penilaian tingkat nyeri setelah dilakukan tehnik mobilisasi dini
dan relaksasi spiritual pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol.

B. Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan dari unit analisis yang karakteristiknya dapat

diduga (Sabri & Hartono, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah semua

pasien post apendektomi yang dirawat di Rumah Sakit Islam Surabaya.

C. Sampel, Besar Sampel, dan Cara Pengambilan Sampel

1. Sampel

Sampel pada peneltian ini adalah sebagian pasien post op apendektomi

yang dirawat di Rumah Sakit Islam Surabaya. Sampel diambil dengan

kriteria sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

1) Pasien / keluarga bersedia untuk menjadi responden


59

2) Kesadaran komposmentis

3) Tanda-tanda vital (Tekanan darah, nadi, pernafasan, dan suhu)

stabil

4) Usia 5-70 tahun

5) USG menunjukkan Apendik

6) Pasien apendik setelah post op apendik

b. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

1) Pasien post op apendektomi

2) Pasien post op apendik sulit dilakukan intervensi seperti anak –anak

dan tua.

2. Besar Sampel

Pada penelitian ini besar sampel yang digunakan didapatkan melalui

rumus Federer (1963) dimana sampel akan dibagi menjadi dua kelompok

sebagai berikut:

( t−1 ) ( r−1 ) ≥15

Keterangan:
t : Banyak kelompok perlakuan
r : Jumlah replikasi

( t−1 ) ( r−1 ) ≥15


(2-1) (r-1) ≥ 15

1r-1 ≥ 15
1r ≥ 15+1
r ≥ 16 Maka didapatkan hasil 16 sampel kelompok kontrol dan 16 sampel

kelompok intervensi, peneliti juga mengantisipasi adanya sampel yang


' n
drop out sebanyak 10% (Sastroasmoro
n= & Ismail, 2014), maka besar
(1−f )
sampel yang dibutuhkan adalah
60

Keterangan:

n = perkiraan besar sampel yang dihitung

f = periraan proporsi yang drop out (10%)


16
n=
(1−0,1)

n=17,7

n=18
Hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa sampel minimal yang

dibutuhkan adalah 18 orang untuk masing-masing kelompok. Jadi besar

sampel yang dibutuhkan adalah 36 orang.

3. Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel menggunakan tehnik non probability sampling

dengan consecutive sampling, dimana setiap pasien yang memenuhi

kriteria penelitian dapat menjadi responden sampai kurun waktu tertentu,

sehingga jumlah responden yang diperlukan dapat terpenuhi. Peneliti

melakukan pemilihan terlebih dahulu untuk kelompok intervensi, setelah

terpenuhi dilanjutkan dengan pemilihan kelompok kontrol untuk mencegah

terjadinya interaksi antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

D. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Islam Surabaya. Peneliti memilih

tempat ini karena jumlah pasien post operasi apendektomi yang dirawat cukup

banyak. Penelitian dilaksanakan selama empat minggu, terhitung mulai bulan

Mei 2018.

E. Kerangka Kerja Penelitian

Populasi
Seluruh pasien post op apendik di Rumah Sakit
Islam Surabaya sebesar 36
orang

Pengumpulan data
61

Sampling
Nonprobability sampling dengan teknik
consecutive sampling

Sampel
Sebagian pasien post op apendik di Rumah Sakit
Islam sebesar 36 orang

Kelompok perlakuan (18) Kelompok kontrol (18)


Pra : Skor skala nyeri Pra : Skor skala nyeri

Dilakukan Tehnik mobilisasi Dilakukan latihan sesuai standar


dini dan relaksasi spiritual perawatan rumah sakit

Post : Skor skala nyeri

Analisa data
Menggunakan uji statistik Loglinear pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol

Penyajian hasil dan pembahasan

Simpulan dan saran

Gambar 4.2. Kerangka Operasional Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap


Perubahan Tingkat Nyeri Klien Post Operasi Apendiktomi Dengan mobilisasi
dini dan relaksasi spiritual Di Rumah Sakit Islam Surabaya

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian
62

Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


a. Variabel bebas (independent variable)
Variabel idependen pada penelitian ini adalah Mobilisasi dini dan relaksasi

spiritual.
b. Variabel terikat (dependent variable)
Variabel dependen pada penelitian ini adalah penurunan nyeri pada

kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pasien post op apendiktomi.


c. Variabel Confounding
Variabel confounding pada penelitian ini adalah umur, dan jenis kelamin.

2. Definisi Operasional

Tabel 4.2 Definisi Operasional penerapan

Pengaruh Mobilisasi Dini dan relakssi spiritual Terhadap Perubahan Tingkat


Nyeri Klien Post Operasi Apendiktomi Di Rumah Sakit Islam Surabaya

Variabel Definisi Operasional Parameter Hasil Ukur Skala


Variabel Independen
Mobilisasi Latihan tehnik mobilisasi Tehnik Tehnik Nominal
dini dini dan relaksasi mobilisasi mobilisasi
menggunak spiritual yang tujuan dini dan dini dan
an tehnik untuk meningkatkan relaksasi relaksasispi
ventilasi alveoli,
relaksasi spiritual ritual
memelihara pertukaran
spiritual. gas, mencegah atelektasis
dengan (Kode 1)
paru, meningkatkan latihan sesuai
efisiensi batuk, standar Latihan
mengurangi stress baik perawatan sesuai
stress fisik maupun rumah sakit standar
emisional yaitu diukur perawatan
menurunkan itensitas dengan rumah sakit
nyeri dan menurunkan observasi (Kode 2)
kecemasan.
63

Variabel Dependen
Tingkat Tingkat nyeri pada Melakukan Skor scala Ordinal
nyeri pada pasien post operasi pengkajian tidak nyeri
kelompok apendiktomi yang dengan (Kode 0)
kontrol meliputi : menggunakan
a. Tingkat derajat nyeri scala nyeri Skor scala
b. Tingkat kesadaran nyeri
c. suhu ringan1-3 :
d. Nadi, (Kode 1)
e. Gerakan lengan
f. Gerakan tungkai
Skor
scalasedang
4-6 : (Kode
2)

Skor scala
7-9 : berat
terkontrol(
Kode 3)

Skor scala
10: sangat
berat tidak
terkontrol
(Kode 4)
Tingkat Tingkat nyeri pada Melakukan Skor scala Ordinal
nyeri pada pasien post operasi pengkajian tidak nyeri
kelompok apendiktomi yang dengan (Kode 0)
perlakuan meliputi : menggunakan
g. Tingkat derajat scala nyeri Skor scala
nyeri nyeri
h. Tingkat ringan1-3 :
kesadaran (Kode 1)
i. suhu
j. Nadi,
k. Gerakan lengan Skor
l. Gerakan tungkai scalasedang
4-6 : (Kode
2)

Skor scala
7-9 : berat
terkontrol(
Kode 3)
64

Skor scala
10: sangat
berat tidak
terkontrol
(Kode 4)
Variabel Confounding
Umur Rentang kehidupan Alat <25 tahun Nominal
manusia yang diukur pengumpulan (Kode 1)
dengan satuan tahun. data
berdasarkan ≥25 tahun
data (Kode 2)
responden
Jenis Laki-laki atau Alat Laki-laki Nominal
kelamin perempuan pengumpulan (Kode 1)
data Perempuan
berdasarkan (Kode 2)
data
responden

F. Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian pada penelitian ini menggunakan format scala nyeri:

a. Data karakteristik, yang terdiri dari umur, jenis kelamin, derajat nyeri

pasien post operasi apendiktomi.

b. Pengukuran scala nyeri yang meliputi sepuluh komponen. Komponen-

komponen tersebut yaitu tingkat kesadaran, gerakan bola mata, lapang

pandang, kelemahan pada wajah, motorik lengan, motorik tungkai.

2. Cara Pengumpulan Data

Pengkajian scala nyeri dilakukan oleh peneliti bersama dengan tenaga

pelaksana. Tenaga pelaksana berasal dari perawat pelaksana dengan kriteria


65

pedidikan minimal D3 Keperawatan. Langkah pengumpulan data pada

penelitian ini sebagai berikut:

a. Tahap persiapan

1) Administrasi

Penelitian dilakukan setelah mendapatkan izin penelitian oleh

pembimbing dan komite etik Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.

Setelah itu peneliti melakukan koordinasi dengan pihak Rumah Sakit

Islam Surabaya

2) Pelatihan tenaga pelaksanaan

Peneliti dibantu dengan tenaga pelaksana untuk melakukan

pengumpulan data dan melakukan perlakuan pemberian tehnik

mobilisasi dini dan relaksasi piritual. Tenaga pelaksana diberikan

penjelasan mengenai uraian tugas yang dilakukan.

b. Tahap pelaksanaan

Peneliti berdiskusi dengan perawat ruangan untuk memilih pasien

sesuai kriteria inklusi. Setelah itu peneliti menemuai pasien dan

keluarga untuk meperkenalkan diri dan menjelaskan prosedur

mobilisasi dini dan relaksasi spiritual, dan manfaat dari mobilisasi dini

dan relaksasi spiritual. Tahapan dalam pemgambilan data sebagai

berikut:

1) Pasien atau keluarga yang telah dijelaskan dan bersedia untuk

berpartisipasi dalam penelitian maka dilakukan penandatanganan

inform consent.
66

2) Responden dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok

intervensi dengan kelompok kontrol, dengan memilih kelompok

intervensi terlebih dahulu.

3) Kelompok intervensi diberikan tehnik mobilisasi dini dan relaksasi

spiritual pada hari pertama, sedangkan kelompok kontrol diberikan

latihan sesuai standar perawatan rumah sakit.

4) Setiap responden dilakukan pengukuran perubahan tingkatnyeri dan

fungsi kognitif pada saat sebelum perlakuan dan sesudah dilakukan

perlakuan

5) Perubahan tingkat nyeridan fungsi kognitif pada dua kelompok

dibandingkan sebelum dan sesudah perlakuan

G. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Data yang sudah terkumpul sebelum dianalisis terlebih dahulu dilakukan

hal-hal sebagi berikut:

a. Editing

Pada tahap ini berfungsi untuk memastikan bahwa data yang diperoleh

sudah terisi dengan lengkap dan dapat terbaca dengan baik. Dilakukan

dengan cara mengoreksi data yang telah diperoleh yang meliputi

kebenaran pengisian dan kelengkapan jawaban.

b. Scoring

Scoring merupakan pemberian skor pada form scala nyeri, kemudian

diklasifikasikan sebagai berikut:


67

1) Perubahan tingkat nyeri pasien diukur menggunakan(skala nyeri)

skor nyeri yang meliputi 10 komponen, dengan skor terendah0 =

normal, dan skor tertinggi 10 = defisit nyeri sangat berat. Penilaian

deficit nyeri diklasifikasikan menjadi 5, yaitu :

a) Skor scala (0) : tidak nyeri (Kode 1)


b) Skor Scaka1-3 : nyeri ringan (Kode 2)
c) Skor Skala 4-6 : nyeri sedang (Kode 3)

d) Skor Skala7-9: nyeri berat (Kode 4)

e) Skor Skala10: nyeri sangat berat berat (Kode 5)

c. Coding
data meliputi memberikan kode pada semua variabel untuk

memudahkan analisa jawaban dari responden, kemudian menentukan

tempatnya pada coding sheet atau pada kolom yang telah ditentukan.

Pemberian kode diklasifikasikan menjadi :

1) Perubahannyeri

a) Tidak Nyeri (Kode 1)


b) Nyeri ringan (Kode 2)
c) Nyeri sedang (Kode 3)
d) Nyeri berat (Kode 4)
e) Nyeri sangat berat (Kode 5)

2) Fungsi Kognitif

a) Normal (Kode 1)
b) Gangguan ringan (Kode 2)
c) Gangguan sedang (Kode 3)

d) Gangguan berat (Kode 4)

d. Processing
68

Setelah semua pengisian skor scala nyeri sudah terisi penuh, dan sudah

melewati sistem coding maka langkah selanjutnya adalah memproses

data agar dapat dianalisis. Data diproses dengan menggunakan cara

meng-entry data dari formulir ke paket program computer. Paket

program computer yang digunakan untuk entry data adalah SPSS for

window.

e. Cleaning

Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali

data yang sudah di-entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan

tersebut dimungkinkan terjadi pada saat kita meng-entry data ke

komputer.

f. Tabulating

Tabulating adalah proses mengelompokkan data ke suatu tabel tertentu

menurut sifat yang dimiliki. Data hasil dari pengumpulan kuesioner di

coding kemudian dimasukkan ke dalam tabel. Setelah terbentuk tabel

selanjutnya tabeltersebut dianalisis dan dinyatakan dalam bentuk

tulisan. Hasil pengolahan data dalam bentuk presentase kemudian

diinterpretasikan dengan menggunakan skala kualitatif sebagai berikut

100 % = Seluruhnya

76-99% = Hampir seluruhnya

51-75% = Sebagian besar

50% = Setengah
69

26-49% = Hampir setengahnya

1-25% = Sebagian kecil

0% = Tidak satupun

2. Analisi Data

Variabel independen dalam penelitian ini adalah nominal sedangkan

variabel dependen pada penelitian ini meliputi dua variabel ordinal maka

analisis data menggunkan uji model loglinear.

H. Etika Penelitian

Prinsip etika penelitian dijunjung tinggi untuk menjaga dan melindungi

responden. Pada penelitian ini peneliti menggunakan aspek-aspek etika

penelitian: beneficience, self determination, justice, dan privacy (Hamid,

2008).

1. Beneficience

Peneliti melindungi dan menghindari respinden dari bahaya dan

ketidaknyamanan fisik maupun mental saat penelitian dengan

memperhatikan reaksi fisiologisnya. Peneliti juga meyakinkan responden

bahwa informasi dan partisipasi yang diberikan terjaga kerahasiaannya.

Selain itu peneliti meyakinkan bahwa mobilisasi dini dan relaksasi spiritual

mudah untuk dilakukan dan dapat bermanfaat bagi responden.

2. Self determination

Responden mempunyai hak untuk memutuskan secara sukarela untuk

berpartisipasi dalam penelitian ini atau tidak. Sebelum peneliti melakukan


70

intervensi responden diberikan penjelasan mengenai prosedur tehnik

mobilisasi dini dan relaksasi spiritual yang akan dilaksanakan, kemudian

responden diberikan kesempatan untuk bertanya dan selanjutnya keputusan

berpartisipasi diserahkan pada responden. Peneliti menghormati responden

untuk turut berpartisipasi maupun tidak, setelah responden menyatakan

bersedia untuk berpartisipasi maka peneliti memberikan lembar persetujuan

inform consent untuk ditandatangani.

3. Justice

Selama penelitian responden diperlakukan secara adil yang diawali

dengan pemilihan pada semua responden berdasarkan kriteria penelitian.

Pada kelompok intervensi peneliti akan melakukan mobilisasi dini dan

relaksasi spiritual selama satu bulan, dan pada kelompok kontrol peneliti

akan memberikan latihan sesuai standar perawatan rumah sakit. Responden

dapat melakukan klarifikasi perkembangan hasil selama dilakukan latihan.

4. Privacy

Data yang dikumpulkan selama penelitian akan disimpan dan dijaga

kerahasiaannya dengan cara tidak menggunakan identitas (anonymity) atau

menggunakan kode angka yang dituliskan dilembar karakteristik responden

dan lembar observasi. Data hanya digunakan untuk kepentingan penelitian

dan setelah penelitian selesai data dimusnahkan.


71

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. & Jeffri G., 2012, Dispepsia, Continuing Medical Education, 39 (9),
647

Aribowo, H & Andrifiliana, 2011, Infeksi Luka Operasi (Surgical Site Infection),
Yogyakarta, SMF Bedah RSUP Dr. Sarjito

Andre, Y., Rizanda M., & Arina W. M., 2013, Hubungan Pola Makan dengan
Kejadian Depresi pada Penderita Dispepsia Fungsional, Jurnal
Kesehatan Andalas, 2 (2), 73.

Atkinson L.J And Loise kohn (1995). Barry & Kohn”s Introduction To Operating
Room Tecnique, Six Edition, Mc Graw-Hill Book Company, Singapore.

Arikunto, Suharsini (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.


Jakarta. Rineka Cipta

Arif Mutakin (2009). Asuhan Keperawatan Perioperatif, Konsep, Proses dan


Aplikasi. Jakarta, Salemba

Brunner & Suddarth. (2000). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Burner & Sudarth (2002). Tex Book Of Medikal Surgikal nursing. Jakar ta, EGC.

Barbara Engram (1998). Rencana Asuhan Keperawatan medikal-bedah.


Jakarta,EGC.

Clair S.T, 2013. Patient Education Partners in Your Surgical Care


72

Appendectomy, American collage of surgeons, Chicago.

Cook, J, Balu S, Ambrose. E. O.W, & WHO, 1995, Penatalaksanaan Bedah


Umum di RS, diterjemahkan oleh Harjanto Effendi, 118-120, Jakarta,
EGC.

Doenges, E. M, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan (Terjemahan), Edisi 3,


Jakarta: EGC.

Grace, Pierce A & Borley Neil R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Surabaya:
Erlangga

Ferri Efendi (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik


Keperawatan. Jakarta, Salemba Medika.

Liang MK, (2015). The Appendix in scwartz,s Principles of surgery, 10th ed,
Mc Graw Hill education, New York, United Stated, 1241-59

Herdman, T Heather (ed). 2011. NANDA Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

Hidayat, A.A (2010). Metode Penelitian Dan Tehnik Analisis Data. Jakarta,
Salemba Medika.

Mansjoer, Arif (ed). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Media Aesculapius

Nursalam (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta, Salemba Medika. Hal 38-126,147,149.

Notoatmojo, Soekidjo (2002) Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, rineka


Cipta.

Nursalam (2008). Managemen Keperawatan. Jakarta, Salemba Medika.

Reeves, Charlene J. et al. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta.


Salemba Medika

Reksoprodjo, Soelarto (ed). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Tangerang:


Binapura Aksara

Rasyid, H. N, 2013, Prinsip Pemberian Antibiotik Profilaksis pada


Pembedahan, Bandung, Bagian Orthopaedi dan Traumatologi
FK Unpad.

Reksoprodjo, S, 2010, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, 115, Tangerang,


Binarupa Aksara.

Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC


73

Sjamsuhidajat, R & Wim, de Jong (ed). 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC

Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G.2001. Keperawatan Medikal Bedah.


Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G.2002. Keperawatan Medikal Bedah.


Jakarta: EGC

Surya, B., 2006, Peran C-Reactive Protein (CRP) dalam Menentukan Diagnosa
Apendisitis Akut, Majalah Kedokteran Nusantara, 39 (3), 208.

Sugiharto, Chuluq, & Ermita, 2011, Karakteristik Klinis, Laboratoris dan


Mortalitas pada Pasien Appendiksitis Akut di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Dokter Saeiful Anwar Malang, Ilmu Kesehatan
Masyarakat FKUB.

Williams & Wilkins. 2012. Kapita Selekta Penyakit. Jakarta: EGC


74

LAMPIRAN 1 INFORMATION FOR CONSENT (Lembar Informasi Responden)


PENJELASAN PENELITIAN UNTUK DISETUJUI
(Information for Consent)

Nama Peneliti : Moch Fatkan


Alamat : Desa entalsewu rt 15 Rw 04 Kecamatan buduran kab.
sidoarjo
Judul Penelitian : Pengaruh Mobilisasi dini dan Relaksasi Spiritual Terhadap
perubahan Tingkat Nyeri Klien Post Operasi Apendektomi di Rumah Sakit islam
surabaya

. Tujuan penelitian
Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui pengaruh mobilisasi dini dan relaksasi
spiritual terhadap perubahan tingkat nyeri klien post operasi apendektomi di
Rumah Sakit Islam Surabaya.

Manfaat Penelitian : manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini dapat
digunakan klien post operasi apendiktomi sebagai sumber pengetahuan dan
wawasan dalam menurunkan nyeri pada pasien post operasi apendiktomi.

Metode dan Prosedur Kerja Penelitian :


1. Bapak/ibu yang telah terpilih menjadi responden dibagi menjadi dua
kelompok
2. Masing-masing kelompok diberikan pre-test
3. Pada kelompok perlakuan akan diberikan intervensi berupa latiahn
mobilisasi dini dan relaksasi spiritual dalam waktu dua kali sehari dan
diberikan buku/modul panduan pelaksanaan dalam waktu 2 hari
4. Pada kelompok kontrol diberikan perlakuan sesuai dengan standart kegiatan
masing-masing responden
5. Peneliti mengevaluasi hasil setiap selesai kegiatan dengan memberikan post-
test
75

Resiko yang mungkin timbul : pada saat melakukan kegiatan mobilisasi dini dan
relaksasi apiritual kemungkinan akan megalami kelelahan, nyeri dan peneliti
menjamin minimalnya angka resiko.

Efek Samping Penelitian : dalam penelitian ini yang diberikan perlakuan


mobilisasi dini dan relaksasi spiritual tidak memiliki efek samping apapun.

Jaminan Kerahasiaan : keterangan dan informasi yang diberikan Bapak/Ibu


diajamin oleh peneliti karena hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan
sebagai hasil penelitian.

Hak untuk menolak sebagai subjek penelitian : keikutsertaan Bapak/Ibu ini


bersifat sukarela, apabila Bapak/Ibu tidak berkenan mengikuti penelitian maka
berhak untuk menolak.

Hak untuk Undur Diri : partisipasi penelitian ini berdasarkan sukarela dan
Bapak/Ibu berhak untuk mengundurkan diri kapanpun tanpa menimbulkan
konsekuensi apapun.
Subjek dapat dikeluarkan dari penelitian : dalam penelitian ini Bapak/Ibu bisa
dikeluarkan menjadi responden apabila Bapak/Ibu tidak melakukan intervensi
yang diberikan oleh peneliti.

Hal-hal lain yang perlu diketahui:Bapak/Ibu responden dapat menghubungi


peneliti jika ada kendala dalam menjalani kegiatan penelitian ini ataupun ingin
mengundurkan diri dalam penelitian ini segera hubungi Moch fatkan
(085648697250).

Surabaya,…………………………..

Peneliti Yang Menerima Penjelasan

( ) ( )

Saksi I Saksi II
76

( ) ( )

LAMPIRAN 2INFORMED CONSENT (Lembar Persetujuan Responden)


Assalamualaikum Wr. Wb.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Umur :
Alamat :
No. Kontak :
Menyatakan bersedia untuk ikut serta berpartisiapsi sebagai responden penelitian
yang berjudul “Pengaruh Mobilisasi Dini dan Relaksasi Spiritual Terhadap
Perubahan Tingkat Nyeri Klien Post Apendektomi Di Rumah Sakit Islam
surabaya”
Penelitian ini dilakukan oleh Moch Fatkan Mahasiswa prodi S2 Keperawatan
Terapan Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Nahdlaul Ulama
Surabaya. Alamat peneliti : Desa Entalsewu Rt 15 Rw 04 Kec buduran Kabupaten
Sidoarjo No. Telp : 085648697250
Sebelumnya saya telah mendapatkan informasi tentang penelitian ini dan saya
memahami bahwa :
1. Kesukarelaan untuk ikut penelitian
2. Responden memiliki hak penuh untuk menolak tidak ikut serta berpartisiasi
dalam penelitian ini tanpa unsur paksaan dari siapapun.
3. Hak mengundurkan diri
4. Responden dapat pula untuk sewaktu-waktu berhenti atau mengundurkan diri
untuk berpartisipasi dalam penelitian ini tanpa sanksi apapun.
5. Perlindungan terhadap responden
6. Jika terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi saat dilakukan penelitian ini,
maka peneliti akan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
7. Kerahasiaan data
Semua informasi dan data yang diperoleh selama dilakukan penelitian ini akan
dicatat dan digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan. Informasi tersebut hanya
akan digunakan dengan tidak mengungkapkan identitas responden. Semua
informasi yang dikumpulkan tetap menjadi rahasia dan tidak akan disebutkan
dalam publikasi hasil penelitian, laporan attau publikasi kepada siapapun diluar
penelitian ini.
77

Surabaya, 2018
Peneliti Responden

( ) ( )

Saksi I Saksi II

( ) ( )

DATA DEMOGRAFI

Judul penelitian: Pengaruh Pengaruh Mobilisasi dini dan Relaksasi Spiritual


Terhadap perubahan Tingkat Nyeri Klien Post Operasi Apendektomi di Rumah
Sakit Islam Surabaya

Tanggal penelitian:
Petunjuk : Isilah data dibawah ini dan berikan tanda (V) pada jawaban
yang menurut anda paling sesuai.

A. Biodata klien :
1. Nama (inisial) :
2. Umur : ..................Thn
3. Jenis kelamin :
laki-laki
perempuan
4. Pendidikan :
SD
SMP
SMA
PT
Tidak sekolah
5. Status perkawinan :
kawin
tidak kawin
Duda/janda
B. Terapi farmakologi
obat yang dikonsumsi selama menjalani operasi apendik :
obat analgetik
obat lain
78

KUESIONER B
PENGUKURAN NYERI
No Para meter skala Pre test Post test

1 Tidak nyeri 0 : Tidak nyeri


( kode 1)
2 Klien dapat berkomunikasi 1-3 : Nyeri
dengan baik Ringan(kode 2)

3 Secara obyektif klien 4-6 : Nyeri


mendesis Sedang (kode 3)
Menyeringai dapat
menunjukkan daerah atau
lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan
baik
4 Secara obyektif nyeri klien 7-9 : Nyeri Berat
terkadang tidak dapat terkontrol
mengikuti perintah tapi ( kode 4)
masih respon terhadap
tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri,
tidak dapat
mendiskripsikannya, tidak
dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan
distraksi

5 Pasien sudah tidak mampu 10 : Nyeri


lagi berkomunikasi , Sangat berat
memukul, (tidak
terkontrol)
(kode 5)

SKALA NYERI :
79

KUESIONER C
MOBILISASI DINI

Aspek yang diobservasi Melakukan


ya tidak
Apakah hari pertama bapak/ibu/saudara: Kode 1 Kode 2
Miring kekiri dan kekanan setelah 6-10 jam setelah
post operatif.
Apakah bapak/ibu/saudara Pada 6 jam pertama
pasien harus tirah baring dahulu
Apakah bapak/ibu/saudara mobilisasi bisa dilakukan
dengan mengerakkan ujung jari kaki dan memutar
pergelangan kaki, mengangkat tumit menegangkan
otot betis menekuk dan mengeser kaki pada 3/4 jam
setelah operasi
Apakah bapak/ibu/saudara setelah 6-10 jam pasien
miring kiri dan kanan
Apakah bapak/ibu/saudara pada hari ke 2 :
Pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan
bantal) selama 24 jam.
Apakah bapak/ibu/saudara pada hari kedua penderita
dapat duduk selama 5 menit , dan melakukan nafas
dalam

Apakah bapak/ibu/saudara pada hari kedua sudah bisa


duduk

Apakah bapak/ibu/saudara pada hari ke 3:


Pasien sudah mampu berjalan

Apakah bapak/ibu/saudara pada hari ke 4 :


Pasien sudah mampu berjalan

Apakah bapak/ibu saudara latihan diatas tepat tidur


mengerakkan kaki setelah operasi
Apakah bapak/ibu saudara latihan diatas tepat tidur
mengerakkan tangan,sendi kaki,ujung-ujung jari kaki
setelah operasi
Apakah bapak/ibu saudara latihan diatas tepat tidur
mengerakkan tubuh untuk miring kiri setelah operasi
Apakah bapak/ibu saudara latihan diatas tepat tidur
mengerakkan tubuh untuk miring kanan setelah operasi
80

Apakah bapak/ibu saudara latihan diatas tepat tidur bisa


mengangkat kaki setelah operasi
Apakah bapak/ibu saudara latihan diatas tepat tidur
mengerakkan tubuh dan bisa duduk dibantu petugas dan
keluarga setelah operasi
Apakah bapak/ibu saudara latihan diatas tepat tidur
mengerakkan tubuh dan bisa duduk bersandar dibantu
petugas dan keluarga setelah operasi
Apakah bapak/ibu saudara latihan diatas tepat tidur
mengerakkan tubuh dan bisa duduk bersandar dibantu
petugas dan keluarga serta kaki bisa digeser dan
diturunkan dari tempat tidur dua hari setelah operasi

Apakah bapak/ibu saudara latihan diatas tepat tidur


mengerakkan tubuh dan bisa duduk bersandar dibantu
petugas dan keluarga serta kaki bisa digeser dan
diturunkan dari tempat tidur serta berjalan dua hari
setelah operasi

no Pertanyaan dan latihan parameter Pre test Post


test
1 Apakah bapak/ibu saudara Rentang gerak pasif guna
latihan diatas tepat tidur menjaga kelenturan otot
mengerakkan kaki setelah dan persendian dengan
operasi mengerkkan otot yang lain
Rentang gerk pasif melatih
kelenturan kekuatan otot
serta sendi dengan cara
mengunakan otot-ototnya
secara aktif
Rentang gerak fungsional
untuk memperkuat otot dan
sendi untuk melakukan
aktifitas yang diperlukan
2 Apakah bapak/ibu saudara Rentang gerak pasif guna
latihan diatas tepat tidur menjaga kelenturan otot
mengerakkan tangan,sendi dan persendian dengan
81

kaki,ujung-ujung jari kaki mengerkkan otot yang lain


setelah operasi Rentang gerk pasif melatih
kelenturan kekuatan otot
serta sendi dengan cara
mengunakan otot-ototnya
secara aktif
Rentang gerak fungsional
untuk memperkuat otot dan
sendi untuk melakukan
aktifitas yang diperlukan
3 Apakah bapak/ibu saudara Rentang gerak pasif guna
latihan diatas tepat tidur menjaga kelenturan otot
mengerakkan tubuh untuk dan persendian dengan
miring kiri setelah operasi mengerkkan otot yang lain
Rentang gerk pasif melatih
kelenturan kekuatan otot
serta sendi dengan cara
mengunakan otot-ototnya
secara aktif
Rentang gerak fungsional
untuk memperkuat otot dan
sendi untuk melakukan
aktifitas yang diperlukan
4 Apakah bapak/ibu saudara Rentang gerak pasif guna
latihan diatas tepat tidur menjaga kelenturan otot
mengerakkan tubuh untuk dan persendian dengan
miring kanan setelah mengerkkan otot yang lain
operasi Rentang gerk pasif melatih
kelenturan kekuatan otot
serta sendi dengan cara
mengunakan otot-ototnya
secara aktif
Rentang gerak fungsional
untuk memperkuat otot dan
sendi untuk melakukan
aktifitas yang diperlukan
5 Apakah bapak/ibu saudara Rentang gerak pasif guna
latihan diatas tepat tidur menjaga kelenturan otot
bisa mengangkat kaki dan persendian dengan
setelah operasi mengerkkan otot yang lain
Rentang gerk pasif melatih
kelenturan kekuatan otot
serta sendi dengan cara
mengunakan otot-ototnya
secara aktif
Rentang gerak fungsional
untuk memperkuat otot dan
sendi untuk melakukan
aktifitas yang diperlukan
82

6 Apakah bapak/ibu saudara Rentang gerak pasif guna


latihan diatas tepat tidur menjaga kelenturan otot
mengerakkan tubuh dan dan persendian dengan
bisa duduk dibantu petugas mengerkkan otot yang lain
dan keluarga setelah Rentang gerk pasif melatih
operasi kelenturan kekuatan otot
serta sendi dengan cara
mengunakan otot-ototnya
secara aktif
Rentang gerak fungsional
untuk memperkuat otot dan
sendi untuk melakukan
aktifitas yang diperlukan
7 Apakah bapak/ibu saudara Rentang gerak pasif guna
latihan diatas tepat tidur menjaga kelenturan otot
mengerakkan tubuh dan dan persendian dengan
bisa duduk bersandar mengerkkan otot yang lain
dibantu petugas dan Rentang gerk pasif melatih
keluarga setelah operasi kelenturan kekuatan otot
serta sendi dengan cara
mengunakan otot-ototnya
secara aktif
Rentang gerak fungsional
untuk memperkuat otot dan
sendi untuk melakukan
aktifitas yang diperlukan
8 Apakah bapak/ibu saudara Rentang gerak pasif guna
latihan diatas tepat tidur menjaga kelenturan otot
mengerakkan tubuh dan dan persendian dengan
bisa duduk bersandar mengerkkan otot yang lain
dibantu petugas dan Rentang gerk pasif melatih
keluarga serta kaki bisa kelenturan kekuatan otot
digeser dan diturunkan dari serta sendi dengan cara
tempat tidur dua hari mengunakan otot-ototnya
setelah operasi secara aktif
Rentang gerak fungsional
untuk memperkuat otot dan
sendi untuk melakukan
aktifitas yang diperlukan
9 Apakah bapak/ibu saudara Rentang gerak pasif guna
latihan diatas tepat tidur menjaga kelenturan otot
mengerakkan tubuh dan dan persendian dengan
bisa duduk bersandar mengerkkan otot yang lain
dibantu petugas dan Rentang gerk pasif melatih
keluarga serta kaki bisa kelenturan kekuatan otot
digeser dan diturunkan dari serta sendi dengan cara
tempat tidur serta berjalan mengunakan otot-ototnya
dua hari setelah operasi secara aktif
Rentang gerak fungsional
83

untuk memperkuat otot dan


sendi untuk melakukan
aktifitas yang diperlukan

LEMBAR OBSERVASI PRILAKU KEMANDIRIAN RESPONDEN


TERHADAP MOBILISASI YANG DILAKUKAN
PASKA OPERASI APENDEKTOMI
NO AKTIFITAS MOBILISASI DINI HARI
SETELAH OPERASI 0 1 2 3 4 5
1 LATIHAN NAFAS DALAM
2 LATIHAN GERAK
PERGELANGAN KAKI
MENGANGKAT KAKI
3 MENGATUR POSISI NYAMAN
MIRING KIRI DAN KANAN
4 LATIHAN GERAK SENDI KAKI
DAN TANGAN
5 LATIHAN DUDUK
6 LATIAHAN BERDIRI
7 LATIAHAN JALAN

KUESIONER D
84

RELAKSASI SPIRITUAL

No Pertanyaan dan latihan Parameter Pre Post


parameter test test
1 Atur posisi pasien yang
nyaman
2 Minta pasien meletakkan Selama lima menit fokus pada
tangan kebagian dada fikiran yang bersih hingga
dan perut keadaan rilek
3 Minta pasien untuk Mengucapkan alhamdulillah -
menarik nafas melalui dan dzikir (tasbih, alham
hidung secara pelan, dulilllah, allahuakbar, lahaula
dalam dan merasakan walaquwwatailla billah)
kembang kempisnya lansung menuju objek
kempisnya perut transedensi )
4 Meminta pasien untuk Pada saat menghembuskan
menahan nafas selama nafas ucapkan kalimat
beberapa detik kemudian astagfirullahhaladzim 20 kali
keluarkan nafas secara
perlahan melalui mulut
5 Memberitahukan pasien Pada saat menghembuskan
bahwa pada saat nafas ucapkanlah kalimat
pernafasan rasakan udara tahmid “ Alahmdulillah”
yang datang keparu-paru sebanyak 20 kali
dan mengeluarkan lewat
mulut pada posisi pasien
rilek
6 Meminta pasien
mengeluarkan nafas
sampai perut mengempis
7 Lakukan latihan nafas
hingga 2-4 kali
8 Meminta klien untuk
berdoa dalam
hati(menghitung dzikir
dengan ruas jari tangan)
9 Apakah klien rilek dalam
melakukan latihan
10 Apakah klien untuk pasrah
dan tawakal serta yakin
Allah akan menjawab
doa” Allah akan
mengugurkan bersama
dosa-dosanya seperti
pohon yang mengugurkan
daun-daunnya”
85

TAHAPAN PELAKSANAAN
(SOP INTERVENSI MOBILISASI DINI DAN RELAKSASI SPIRITUAL )

1. Persiapan sebelum pelaksanaan :


a. Persiapan ruangan yang nyaman dan meminimalkan kebisingan
b. dan gangguan dengan memasang sampiran disekeliling tempat tidur
c. Persiapan klien dengan meminta untuk berbaring rileks
2. Langkah-langkah tindakan mobilisasi dini dan relaksasi spiritual :
a. Beri salam terapeutik pada klien
b. Perkenalkan diri dan bina hubungan saling percaya pada pasien
c. Beri penjelasan manfaat dan tujuan mobilisasi dini dan relaksasi spiritual
d. Komunikasikan dengan keluarga dan klien bahwa membutuhkan suasana yang tenang
selama 30 menit
e. Pasang pembatas tirai ruangan atau sketsel untuk menjaga prifasi klien
f. Anjurkan klien untuk menghitung dzikir degan ruas jari tangan
g. Fasilitasi klien untuk memakai pakaian yang menutup aurot
h. Mencari posisi yang paling nyaman
i. menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit,

menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki.


j. Jika memungkinkan klien meletakkan lengan disamping klien
k. Memejamkan kedua mata
l. Memulailah dengan membersihkan pikiran dari semua pikiran-pikiran tidak penting dan
hanya fokus pada pernafasan. Rasakan udara yang datang keparu-paru dan keluar dari

paru-paru. Lakukan ini selama 5 menit hingga anda masuk kedalam keadaan rileks.
m. Rileks, bernafas normal dengan perlahan – lahan melalui hidung, kemudian hembuskan
perlahan-lahan melalui mulut.
n. Yakinilah bahwa “tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya,
melainkan Allah akan mengugurkan bersama dosa-dosanya seperti pohon yang
mengugurkan daun-daunnya” (HR, Bukhari dan Muslim).
86

o. Pada saat menghembuskan nafas melalui mulut, ucapakanlah kalimat istigfar “


Astagfirullahhal adzim”, mengucapkan baik dalam didalam hati maupun didalam hati
maupun secara lisan sebanyak 20 kali.
p. Frase/kalimat yang diucapkan saat melakukan mobilisasi dini dan relaksasi spiritual
adalah “Astaghfirllahhal’adzim adalah Allah yang maha pengampun, ampunilah semua
kesalahan dan dosa yang telah kami perbuat.
q. Ulangi poin 9-10
r. Pada saat menghembuskan nafas melalui mulut, ucapkanlah kalimat
tahmid”alhamdulillah”, mengucapkan baik didalam hati maupun secara lisan sebanyak 20
kali sambil menyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Nya.
s. Frase kalimat yang diucapkan saat melakukan nafas syukur dan dzikir kalimat Tahmid
“Alahmdulillah” sebagai berikut :
1) “ Alhamdulillah” Apapun masalah yang sedang menimpa kami. Kami percaya

bahwa itu semua adalah rencana-Mu jadikanlah kami orang yang bersabar, pandai
bersyukur dan kuatkanlah diri kami menghadapi ujian hidup ini.
2) Kami bersyukur atas nikmat hidup yang Allah berikan selama ini semoga kami
termasuk golongan orang-orang yang selalu bersyukur dan dalam kondisi apapun.
3) Kami selalu mengucapkan “Alahmdulillah” atas apa yang terjadi hari ini dan berdoa
untuk hari esok agar kami masih bisa melaluinya dengan rasa syukur dan bahagia
t. Kembalikan pasien pada kondisi rileks
u. Kaji respon pasien setelah dilakukan latihan
v. Salam penutup kegiatan selesai

Penutup
a. Menanyakan pada pasien tentang hasil latihan yang telah dilakukan
b. Evaluasi hasil Intervensi
1) Tingkat ibadah klien meningkat
2) Klien menerima dengan ikhlas atas kondisi kesehatan yang dialami
3) Klien tidak mudah marah dan selalu bersabar
4) Klien tampak tenang
5) Klien dapat tidur dengan nyeyak
6) Klien mau dan mampu berinterkasi dengan lingkungan sosial.
87

LEMBAR KONSULTASI PEMBIMBING I

Nama Mahasiswa : Moch Fatkan


NIM : 1110016008
Fakultas : Keperawatan
Program Studi : Magister Keperawatan
Pembimbing : Dr. Ah Yusuf.,S.Kp.,M.Kes

Proses Konsultasi Proposal Tesis :

No Tanggal Materi Hasil Tanda tangan Tanda


Konsultasi Konsultasi mahasiswa Tangan
Pembimbing
1 28-12-2017 Jurnal, bab 1 dan Refisi tujuan dan
Bab 3 kerangka
konseptual
2 22-12-2017 Bab 1,Bab 2,Bab 3, Revisi Definisi
dan Bab 4 dan operasional dan
literturreview sampel penelitian
3 12-1-2018 Bab 1,Bab 2,Bab 3, Revisi Bab 4
dan Bab 4
4 2-2-2018 Modul latihan Acc Modul

5 10-2-2018 Consul revisi Acc BAB 1.2.3.4

6 23-02-2018 Consul revisi post Acc BAB 1,2,3,4


ujian proposal

Surabaya, Januari 2018

Mengetahui,
Kaprodi S2 Keperawatan

Puji Astuti, S.Kep,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep,.MB


NPP 9907642
88

LEMBAR KONSULTASI PEMBIMBING II

Nama Mahasiswa : Moch Fatkan


NIM : 1110016008
Fakultas : Keperawatan
Program Studi : Magister Keperawatan
Pembimbing : Wesiana.Herisanti,S.Kep.,Ns.,M.Kep

Proses Konsultasi Proposal Tesis :

No Tanggal Materi Hasil Tanda tangan Tanda


Konsultasi Konsultasi mahasiswa Tangan
Pembimbing
1 28-12-2017 Jurnal, bab 1 dan Refisi tujuan dan
Bab 3 kerangka
konseptual
2 22-12-2017 Bab 1,Bab 2,Bab 3, Revisi Definisi
dan Bab 4 dan operasional dan
literturreview sampel penelitian
3 12-1-2018 Bab 1,Bab 2,Bab 3, Revisi Bab 4
dan Bab 4
4 2-2-2018 Modul latihan Acc Modul

5 10-2-2018 Consul revisi Acc BAB 1.2.3.4

6 23-02-2018 Consul revisi post Acc BAB 1,2,3,4


ujian proposal

Surabaya, ................ 2018

Mengetahui,
Kaprodi S2 Keperawatan

Puji Astuti, S.Kep,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep,.MB


NPP 9907642

Anda mungkin juga menyukai