Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

FARMAKO-FITOTERAPI GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN, TULANG


DAN SENDI, SYARAF DAN KESEHATAN JIWA
OSTEOPOROSIS

Disusun Oleh :
1. Hood Maulana Iqbal 1708010043
2. Puput Afril Lianti 1808010057
3. Fajrina Maulani 1808010058
4. Fadita Eka Falahdin 1808010059
5. Jantika Rahmawardani 1808010060
6. Eka Anisa Agustina 1808010061
7. Himas Atin Kuncorowati 1808010062
8. Irna Nurfahla 1808010063
9. Nailil Hana Falsifa 1808010064
10. Jeri Rinawati 1808010065
11. Rista Oktaviani 1808010066

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Allah Swt. yang mana telah memberikan kitarahmat dan
hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik tanpa suatu halangan
dan rintangan yang cukup berarti.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan
menuju jalan islami.

Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak


yang telah turut membantu hingga terselesaikannya makalah dengan judul “Gangguan
Tulang, Sendi Osteoporosis”

Kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah sederhana ini masih banyak
kekurangan yang ada didalamnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-
teman sekalian . Amin

Purwokerto, 13 Juni 2021

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii


BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
C. Tujuan .................................................................................................................... 3
D. Manfaat .................................................................................................................. 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 4
A. Pengertian Osteoporosis ........................................................................................ 4
B. Etiologi Osteoporosis ............................................................................................ 6
C. Patogenesis Osteoporosis ...................................................................................... 6
D. Mekanisme Terjadinya Osteoporosis .................................................................... 8
E. Gejala Terjadinya Osteoporosis............................................................................. 9
BAB III. PEMBAHASAN ............................................................................................ 10
A. Terminologi dan Osteoporosis Ny. G ................................................................. 10
B. Parameter Kadar Pemeriksaan Hasil Lab Osteoporosis Ny. G ........................... 11
C. Faktor Penyebab Osteoporosis Ny. G ................................................................. 14
D. Algoritma Penyembuhan Osteoporosis Ny. G.................................................... 16
E. Monitoring Osteoporosis Ny. G ......................................................................... 17
F. Evaluasi Osteoporosis Ny. G .............................................................................. 17
G. Pemeriksaan Lebih Lanjut Ny. G ....................................................................... 17
H. Target Terapi ...................................................................................................... 19
BAB IV. PENUTUP...................................................................................................... 25
A. Kesimpulan……………………………………………………………………... 25
B. Saran……………………………………………………………………………. 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Osteoporosis menjadi penyakit yang sering terjadi di kalangan penduduk
Asia. Pada tahun 2050, diperkirakan 50 persen kasus osteoporosis akan terjadi.
Berdasarkan data dari 14 negara terlihat bahwa si Asia terjadi peningkatan dua
hingga tiga kali lipat dalam 30 tahun pada kasus patah tulang pinggul .
Peningkatan terjadi karena rendahnya konsumsi vitamin D dan kalsium di
masing-masing negara.
Menurut data Internasional Osteoporosis Foundation, lebih dari 30%
Wanita mengalami resiko patah tulang akibat osteoporosis. Bahkan besaran
angka tersebut kini mendekati 40%,sementara untuk pria resiko osteoporosis
berada pada besaran angka 13%. Dan International Osteoporosis Foundation
(IOF) mencatat 20% pasien patah tulang Osteoporosis meninggal dalam waktu
satu tahun. Sepertiga diantaranya harus terus berbaring di tempat tidur, sepertiga
lainnya harus dapat dibantu untuk dapat berdiri dan berjalan. Hanya sepertiga
yang dapat sembuh dan beraktivitas optimal (Suryati, A Nuraini,2006).

Osteoporosis adalah suatu problem klimakterium yang serius. Di amerika


serikat di jumpai satu kasus osteoporosis di antara dua sapai tiga wanita
pascamonopouse. Massa tulang pada manusia mencapai maksimum pada usia
sekitar 35 tahun, kemudian terjadi penurunan massa tulang secara eksponensial.
Penurunan massa tulang ini berkisar antara 3-5% setiap decade, sesuai dengan
kehilangan massa otot dan hal ini dialami baik pada pria maupun wanita. Pada
massa klimakterium, penurunan massa tulang pada wanita lebuh mencolok dan
dapat mencapai 2-3% setahun secara eksponensial. Pada usia 70 tahun
kehilangan massa tulang pada wanita mencapai 50%, sedangkan pada pria usia
90 tahun kehilangan massa tulang ini baru mencapai 25% (Gonta P,1996)

Saat ini penduduk Indonesia mempunyai umur harapan dari 70,7 tahun
menjadi 72 tahun (Depkes RI, 2012) Prevalensi Osteoporosis di Indonesia sudah
mencapai 19,7%. Berdasarkan hasil analisis data resiko osteoporosis oleh
Puslitbang Gizi Depkes bekerja sama dengan Fonterra Brand Indonesia yang
dipublikasikan tahun 2006 menyatakan 2 dari 5 orang Indonesia memiliki resiko
Osteoporosis. Hal ini juga didukung oleh Indonesian White Paper yang
dikeluarkan oleh Perhimpunan osteoporosis Indonesia (Perosi) pada tahun 2007
yaitu Osteoporosis pada wanita yang berusia di atas 50 tahun mencapai 32,3%
dan pada pria di usia diatas 50 tahun mencapai 28,85. Secara keseluruhan
percepatan proses penyakit Osteoporosis pada wanita sebesar 80% dan pria 20%
(Suryati, A Nuraini, 2006)

1
Dengan bertambahnya usia maka angka kasus Osteoporosis akan
mengalami peningkatan, seperti yang ditunjukkan data Indonesia antara lain
pada 5 Provisi mengalami resiko Osteoporosis lebih tinggi adalah Sumatera
Selatan (27,7%), Jawa Tengah (24,02%), Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara
(22,82%), Jawa Timur (21,42%) dan Kalimantan Timur (10,5%) (Pranoto, 2011)

Menurut Henrich, (2003) Aktivitas fisik dapat mengurangi kehilangan


massa tulang bahkan menambah massa tulang dengan cara meningkatkan
pembentukan tulang lebih besar dari pada resorpsi tulang. Aktivitas fisik yang
bermanfaat adalah yang menumpu beban seperti berjalan kaki, bersepeda dan
aerobik. Kegiatan sehari-hari yang kurang aktif agar diperbaiki untuk mencegah
pengurangan kepadatan tulang yang berisiko osteoporosis (Liliana, 2000).

Menopause adalah tahap dalam kehidupan wanita ketika menstruasi


berhenti, dengan demikian tahun – tahun melahirkan anak pun berhenti.
Meskipun merupakan prose salami dan bukanlah penyakit, banyak wanita
memahami monopouse sebagai periode dimana mereka akan mengalami
penderitaan mental dan fisik, pemahan itu tidak sepenuhnya benar. Monopuose
harusnya dan bias jasi menjadi awal dari sebuah periode kehidupan yang positif
dan memuaskan. Memang benar bahwa resiko dari kesehatan meningkat setelah
menopause, tapi kita harus memandangnya sebagai peluang untuk melakukan
perawatan kesehatan yang bersifat pencegahan untuk berbagai masalah
kesehatan. Termasuk didalamnya adalah mengendalikan berat badan, menjaga
kesehatan mental dan sikap positif terhadap kehidupan seksual (Nadine suryop
rajogo, 2009).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Seorang Ibu yang
mengalami osteopororsis yaitu Ny G yang berusia 65 tahun, memiliki Berat
Badan 70 kg, Tinggi Badan 170 cm peneliti melakukan observasi, pasien
mengeluhkan nyeri pada panggul dan punggung. Kemudian dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan tes BMD, diketahui T-score pasien -3,0 pada panggul, -3,2
pada lumbar , selain dari tes tersebut diperoleh hasil rontgen ditemukan adanya
fraktur di tulang panggul dan vertebra L-5. Pasien mengaku tidak mengalami
trauma pada daerah yang sakit atau jatuh. Dari hasil anamnesa, diketahui pasien
mengalami menopause 10 tahun yang lalu, dikaruniai anak berjumlah 6 orang,
serta alergi susu sapi, berdasarkan Riwayat penyakitnya pasien memiliki
gastritis. Selain itu, Sewaktu muda, pasien rutin mengkonsumsi omeprazole
untuk mengatasi gastritisnya. Dilihat dari Pola makan dan aktivitas sehari-hari
normal, karena pasien adalah ibu rumah tangga. Dari riwayat keluarga, diketahui
ibu dan 2 saudara pasien juga memiliki alergi susu, dan ibu pasien pernah
mengalami patah tulang karena jatuh di kamar mandi. Hasil pemeriksaan

2
laboratorium didapatkan kadar Na 140 mEq/L, K 4,0 mEq/L, Cl 104 mEq/L, Ca
11 mg/dL, TSH 3,2 mIU/L.

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami kasus yang terjadi pada Ny G
2. Mengetahui dan memahami algoritma penyembuhan osteoporosis Ny G
3. Mengetahui dan memahami target terapi kasus osteoporosis Ny G
4. Mengetahui dan memahami terapi farmakologi dan Non Farmakologi
Osteoporosis pada Ny G
5. Mengetahui monitoring dan evaluasi kasus Osteoporosis Ny G

D. Manfaat
1. Memberikan pengetahuan pada pembaca dan penulis terhadap kasus
osteoporosis
2. Memberikan pemahaman terapi farmakologi dan non farmakologi kasus
Osteoporosis
3. Memberikan pengatahuan dan pemahaman terhadap monitoring dan evaluasi
kasus osteoporosis

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Osteoporosis
Secara harfiah kata osteo berarti tulang dan kata porosis berarti
berlubang atau dalam istilah populer adalah tulang keropos. Zat kapur, kalsium
adalah mineral terbanyak dalam tubuh kurang lebih 98% kalsium dalam tubuh
terdapat di dalam tulang. Kelompok kerja WHO dan konsensus ahli
mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit yang ditandai dengan rendahnya
massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang menyebabkan
kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Keadaan
tersebut tidak memberikan keluhan klinis kecuali apabila telah terjadi fraktur
(Thief in the night).

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik. Fraktur osteoporosis dapat


terjadi pada tiap tempat meskipun fraktur yang berhubungan dengan kelainan ini
meliputi thorak dan tulang belakang (lumbal), radius distal dan femur proksimal.
Definisi tersebut tidak berarti bahwa semua fraktur pada tempat yang
berhubungan dengan osteoporosis disebabkan oleh kelainan ini. Interaksi antara
geometri tulang dan dinamika terjatuh atau kecelakaan (trauma), keadaan
lingkungan sekitar, juga merupakan faktor penting yang menyebabkan fraktur.
Hal ini semua dapat berdiri sendiri atau berhubungan dengan rendahnya densitas
tulang.

Menurut American Association of Clinical Endocrinologists (AACE)


puncak pembentukan massa tulang (Peak Bone Mass) terjadi pada usia 10-35
tahun dan sangat tergantung pada asupan kalsium dan aktivitas fisik. Gambar 2.1
(Meilnikow, 2005) menunjukkan perbedaan kepadatan tulang normal dengan
yang keropos.

Osteoporosis adalah kelainan penulangan akibat gangguan metabolisme


dimana tubuh tidak mampu menyerap dan memanfaatkan zat-zat yang
diperlukanuntuk proses pematangan tulang. Pada osteoporosis terjadi
pengurangan masa/jaringan tulang per unit volume tulang dibandingkan dengan
keadaan normal. Dengan bahasa awam dikatakan tulang menjadi lebih ringan
dan lebih rapuh dari biasanya, meskipun mungkin zat-zat dan mineral untuk
pembentukan tulang didalam darah masih dalam batas nilai normal. Proses
pengurangan ini terjadi di seluruh tulang dan berkelanjutan sepanjang kehidupan
(Yatim, 2000)

Manusia lanjut usia (lansia) beresiko menderita osteoporosis, sehingga


setiap patah tulang pada lansia perlu diasumsikan sebagai osteoporosis, apalagi

4
jika disertai dengan riwayattrauma ringandankesehatan seperti mata,jantung, dan
fungsi organ lain.Padausia60-70 tahun, lebih dari 30% perempuan menderita
osteoporosis dan insidennyameningkat menjadi 70% padausia 80 tahun ke atas.
Hal ini berkaitan dengan defisiensi estrogen pada masa menopause dan
penurunan massa tulang karena proses penuaan. Pada laki-laki osteoporosis
lebih dikarenakan proses usia lanjut, sehingga insidennya tidak sebanyak
perempuan (Nuhonni, 2000).
a. Osteoporosis Primer

Sekitar 65-80% wanita dan 45-60% pria dengan osteoporosis menderita


osteoporosis primer. Pada wanita dengan fraktur kompresi karena osteoporosis
primer didapat masa tulang kortikal dan trabekular yang kurang. Jumlah
trabekula yang kurang dan pertanda biokimiawi serta histologik
merupakanbuktiterjadinya resorpsitulang yang meningkat dibandingkan kontrol
pada umur yang sama. Hormonestron dan androstendion berkurang secara
bermakna pada wanita dengan osteoporosis, dan hal ini merupakan sebagian
sebab didapatkannya resorpsi tulang yang bertambah banyak dan pengurangan
masa tulang. Absorbsi kalsium pada wanita dengan kondisi ini menjadi lebih
rendah (Nuhonni, 2000). Osteoporosis primer dibagi lagi menjadi:
1. Osteoporosis tipe 1,disebut juga postemenoposal osteoporosis. Osteoporosis
tipe ini bisa terjadi pada dewasa muda dan usia tua, baik laki-laki maupun
perempuan. Pada perempuan usia antara 51-75 tahun beresiko 6 kali lebih
banyak daripada laki-laki dengan kelompok umur yang sama. Tipe
osteoporosis iniberkaitan dengan perubahan hormon setelah menopause dan
banyak dikaitkan dengan patah tulang pada ujung tulang pengumpil lengan
bawah. Pada osteoporosis jenis ini terjadi penipisan bagian keras tulang yang
paling luar (kortek) dan perluasan rongga tulang (Nuhonni, 2000).

2. Osteoporosis tipe 2, disebut juga senile osteoporosis (involutiona


losteoporosis). Tipe 2 ini banyak ditemui pada usiadi atas 70 tahun dan dua
kali lebih banyak pada wanita dibanding laki-laki pada umur yang sama.
Kelainan pertulangan terjadi pada bagian kortek maupun di bagian trabikula.
Tipe ini sering dikaitkan dengan patah tulang kering dekat sendi lutut, tulang
lengan atas dekat sendi bahu, dan patah tulang paha dekat sendi panggul.
Osteoporosis jenis ini,teijadi karena gangguan pemanfaatan vitamin D oleh
tubuh, misalnya karena keadaan kebal terhadap vitamin D(vit Dresisten)
atau kekurangan dalam pembentukan vitamin D (vit D synthesa) dan bisa
juga disebabkan karena kurangnya sel-sel perangsang pembentukan vitamin
D(vitDreseptor) (Nuhonni, 2000).

b. Osteoporosis Sekunder

5
Osteoporosis sekunder lebih jarang ditemukan, hanya 5% dari seluruh
osteoporosis. Osteoporosis sekunder terdapat pada 20-35% wanita dan 40-55%
pria, dengan gejalanya berupa fraktur pada vertebra dua atau lebih.Diantara
kelainan ini yang paling sering terjadi adalah pada pengobatan dengan steroid,
mieloma, metastasis ke tulang, operasi pada lambung, terapi antikonvulsan, dan
hipogonadisme pada pria. Osteoporosis sekunder ini disebabkan oleh faktor di
luar tulang diantaranya: Karena gangguan hormon seperti hormon gondok,
tiroid, dan paratiroid, insulin pada penderita diabetes melitus dan glucocorticoid,
Karena zat kimia dan obat-obatan seperti nikotin,rokok,obat tidur,
kortikosteroid,alkohol,Penyebab lain seperti istirahat total dalam waktu
lama,pcnyakit gagal ginjal,penyakit hati, gangguan penyerapan usus,penyakit
kanker dan keganasan lain,sarcoidosis, penyakit sumbatan saluran paruyang
menahun,berkurangnya daya tarik bumi dalam waktu lama seeperti pada awak
pesawat ruang angkasa yang berada di luar angkasa sampai berbulan-bulan
(Nuhonni, 2000).

B. Etiologi Osteoporosis
Menurut etiologinya osteoporosis dapat dikelompokkan dalam
osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terjadi
akibat kekurangan massa tulang yang terjadi karena faktor usia secara alami.
Osteoporosis primer ini terdiri dari dua bagian:

1. Tipe I (Post Menopausal)


Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (usia 53-75 tahun). Ditandai oleh fraktur
tulang belakang tipe crush, Colles‟fracture, dan berkurangnya gigi geligi. Hal ini
disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat tersebut, dimana jaringan
trabekular lebih responsif terhadap defisiensi estrogen.

2. Tipe II (Senile)
Terjadi pada pria dan wanita usia ≥70 tahun. Ditandai oleh fraktur panggul dan
tulang belakang tipe wedge. Hilangnya massa tulang kortikal terbesar terjadi
pada usia tersebut

Osteoporosis sekunder dapat terjadi pada tiap kelompok umur yang


disebabkan oleh penyakit atau kelainan tertentu, atau dapat pula akibat pemberian
obat yang mempercepat pengeroposan tulang. Contoh penyebab osteoporosis
sekunder antara lain gagal ginjal kronis, hiperparatiroidisme (hormon paratiroid
yang meningkat), hipertirodisme (kelebihan horman gondok), hipogonadisme
(kekurangan horman seks), multiple mieloma, malnutrisi, faktor genetik, dan obat-
obatan.

C. Patogenesis Osteoporosis

6
Tulang manusia terdiri atas 15% tulang trabekular dan 85% tulang
kortikular. Tulang tidak hanya berfungsi sebagai stabilitator, tetapi juga sebagai
cadangan kalsium, fosfat, magnesium, natrium, kalium, laktat, dan sitrat. Kalsium
merupakan mineral yang sangat penting bagi tubuh. Bila terjadi kekurangan kalsium
tubuh, kadar kalsium dapat dipertahankan stabil melalui mobilisasi kalsium dari
tulang.

Tulang mengalami proses resorpsi dan formasi secara terus menerus yang
disebut sebagai remodelling tulang. Proses remodelling tulang merupakan proses
mengganti tulang yang sudah tua atau rusak, diawali dengan resorpsi atau
penyerapan tulang oleh osteoklas dan diikuti oleh formasi atau pembentukan tulang
oleh osteoblas.

Proses remodelling diawali dengan pengaktifan osteoklast oleh sitokin


tertentu. Sitokin yang berasal dari monosit-monosit dan yang berasal sel-sel
osteoblast (sel induk) itu sendiri sangat berperan pada aktivitas osteoklas. Estrogen
mengurangi aktivitas osteoklas, sedangkan bila kekurangan estrogen meningkatkan
aktivitas osteoklas. Enzim 12 proteolitik, seperti kolagen membantu osteoklas dalam
proses pembentukkan tulang.

Pada tahap resorpsi, osteoklas bekerja mengkikis permukaan daerah tulang


yang perlu diganti. Proses resorpsi ini ditandai dengan pelepasan berbagai metabolit
yang sebagian dapat dipergunakan sebagai pertanda (marker) untuk menasah tingkat
proses dinamisasi tulang.
Pada proses pembentukkan osteoblast mulai bekerja. Sel yang berasal dari
sel mesenhim ini menyusun diri pada daerah permukaan berongga dan membentuk
matriks baru (osteosid) yang kelak akan mengalami proses mineralisasi melalui
pembentukkan kalsium hidroksiapetit dan jaringan matrik kolagen.

Dalam proses pembentukan tulang, hal yang sangat penting adalah


koordinasi yang baik antara osteoklas, osteoblas, dan sel-sel endotel. Selama sistem
ini berada dalam keseimbangan, pembentukkan dan penghancuran tulang akan
selalu seimbang. Pada usia reproduksi, di mana fungsi ovarium masih baik, terdapat
keseimbangan antara proses pembentukkan tulang (osteoblas) dan proses laju
pergantian tulang (osteoklas) sehingga tidak timbul pengeroposan tulang. Namun,
ketika memasuki usia klimakterium, keseimbangan antara osteoklas dan osteobals
mulai mengalami gangguan, fungsi osteoblas mulai menurun dan pembentukkan
tulang baru pun berkurang, sedangkan osteoklas menjadi hiperaktif dan dengan
sendirinya penggantian tulang berlangsung sangat cepat (high turnover).

Aktivitas osteoklas ditandai dengan terjadinya pengeluaran hidroksiprolin


dan piridinolincrosslink melalui kencing, serta asam fosfat dalam plasma. Hormon
paratiroid dan 1,25 (OH)2 vitamin D3 mengaktifkan osteoklas sedangkan kalsitonin
dan estradiol menghambat kerja osteoklas. Resopsi tulang menyebabkan mobilisasi

7
kalsium dan hal ini menyebabkan berkurangnya sekresi hormon paratiroid akibatnya
pembentukkan 1,25 (OH)2 vitamin D3 serta resorpsi kalsium oleh usus berkurang.

D. Mekanisme Terjadinya Osteoporosis


Didalam kehidupan, tulang akan selalu mengalami proses perbaharuan.
Tulang memiliki 2 sel, yaitu osteoklas (bekerja untuk menyerap dan
menghancurkan/merusak tulang) dan osteoblas (sel yang bekerja untuk
membentuk tulang). (Compston, 2002).
Tulang yang sudah tua dan pernah mengalami keretakan, akan dibentuk
kembali. Tulang yang sudah rusak tersebut akan diidentifikasi oleh sel osteosit
(sel osteoblas menyatu dengan matriks tulang). (Cosman, 2009) Kemudian
terjadi penyerapan kembali yang dilakukan oleh sel osteoklas dan nantinya akan
menghancurkan kolagen dan mengeluarkan asam. (Tandra, 2009) Dengan
demikian, tulang yang sudah diserap osteoklas akan dibentuk bagian tulang
yang baru yang dilakukan oleh osteoblas yang berasal dari sel prekursor di
sumsum tulang belakang setelah sel osteoklas hilang. (Cosman, 2009) Proses
remodelling tulang tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Menurut Ganong, ternyata endokrin mengendalikan proses remodeling


tersebut. Dan hormon yang mempengaruhi yaitu hormon paratiroid (resorpsi
tulang menjadi lebih cepat) dan estrogen (resorpsi tulang akan menjadi lama).
Sedangkan pada osteoporosis, terjadi gangguan pada osteoklas, sehingga timbul
ketidakseimbangan antara kerja osteoklas dengan osteoblas. Aktivitas sel
osteoclas lebih besar daripada osteoblas. Dan secara menyeluruh massa tulang
pun akan menurun, yang akhirnya terjadilah pengeroposan tulang pada penderita
osteoporosis. (Ganong, 2008) Gambar 2.2 menunjukan perbedaan tulang yang
normal dan tulang yang sudah mengalami pengeroposan.

8
E. Gejala Terjadinya Osteoporosis
Bila tidak disertai dengan penyakit pemberat lain (komplikasi), penderita
osteoporosis bisa saja tidak merasakan gejala apapun (Guyton, 1996). Keluhan yang
mungkintimbul hanya berupa rasa sakit dan tidak enak dibagian punggung atau
daerah tulang yang mengalami osteoporosis. Namun perlu diwaspadai, bahwa patah
tulang bisa terjadi hanya karena sedikit goncangan atau benturan yang sering pada
tulang yang manahan beban tubuh. Rasa nyeri bisa hilang sendiri setelah beberapa
hari atau beberapa minggu, dan kemudian timbul lagi bila proses osteoporosis
terjadi lagi di tempat lain.Pemadatan ruas tulang punggung yang luas (multiple
compression) bisa memperlihatkan gejala membungkuk padatulang belakang, yang
terjadi perlahan dan menahun dengan keluhan nyeri tumpul. Gejalanya, penderita
nampak bongkok sebagai akibat kekakuanpada otot punggung.

9
BAB III
PEMBAHASAN

A. Terminologi dan Faktor Pendukung Osteoporosis Ny. G


a. Tes bone mass density (BMD), untuk melihat tingkat kepadatan tulang dan
menentukan risiko terjadinya patah tulang, dapat disebut juga sebagai
pemeriksaan yang menggunakan alat khusus untuk pemeriksaan mendeteksi
osteoporosis atau penurunan densitas tulang.
b. T-Score merupakan nilai kepadatan tulang. Skor-T yang sama dengan atau
kurang dari -2,5 konsisten dengan diagnosa osteoporosis, skor-T antara -1,0
dan -2,5 diklasifikasikan sebagai massa tulang rendah (osteopenia), dan
skor-T -1,0 atau lebih tinggi dikategori normal.
c. Lumbar adalah ulang belakang dada terdiri dari lebih sepuluh vertebra. Di
bagian terendah adalah tulang lumbar, yang sering disebut sebagai punggung
bawah dan memiliki lima vertebra.
d. Rongten adalah tindakan menggunakan radiasi untuk mengambil gambar
bagian dalam dari tubuh seseorang.
e. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktural tulang. Klasifikasi fraktur
ada dua jenis yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka.
f. Vertebre L-5 adalah tulang lumbar yang terletak paling bawah

g. Trauma adalah hal sering dikaitkan dengan tekanan emosional dan


psikologis yang besar, biasanya karena kejadian yang sangat disayangkan
atau pengalaman yang berkaitan dengan kekerasan.
h. Anamnesa adalah proses mengumpulkan data tentang masalah kesehatan
dan medis pasien sehingga mereka dapat mengidentifikasi perkiraan
diagnosis / masalah medis yang dihadapi pasien.

10
i. Menopause adalah berakhirnya siklus menstruasi secara alami, yang
biasanya terjadi saat wanita memasuki usia 45 hingga 55 tahun. Seorang
wanita dikatakan sudah menopause bila tidak mengalami menstruasi lagi,
minimal 12 bulan.
j. Gastritis merupakan penyakit pada lambung yang terjadi akibat peradangan
dinding lambung. Pada dinding lambung atau lapisan mukosa lambung ini
terdapat kelenjar yang menghasilkan asam lambung dan enzim pencernaan
yang bernama pepsin.
k. Kadar Na adalah Kadar Natrium dalam darah. Kadar normal natrium dalam
darah adalah 135-145 mEq/L.
l. Kadar K adalah Kadar Kalium. Kadar kalium normal adalah 3,7-5,2
mmol/L
m. Kadar Cl adalah kadar klorida. Normalnya, kadar klorida dalam tubuh
adalah 98–106 mmol/L.
n. Kadar Ca adalah kadar Kalsium. Kadar normal biasanya kurang dari 30 –
35 U/mL atau Nilai normal kalsium darah untuk usia dewasa : 8,1 –10,4
mg/dL
o. TSH adalah Pemeriksaan TSH adalah tes darah yang dilakukan untuk
mengetahui kadar thyroid stimulation hormone (TSH) di dalam tubuh. Nilai
normal dari TSH adalah 0,3-5 U/ml, sementara nilai normal free T4 adalah
0.8 -2.8 ng/Dl atau Kisaran nilai normal TSH untuk orang dewasa 0,4-4,5
mIU/L, sedangkan untuk bayi 3-18 mIU/L.

B. Parameter Kadar Pemeriksaan Hasil Lab Osteoporosis Ny. G


Kasus:
Ny. G, usia 65 tahun, BB 70 kg, TB 170 cm, datang dengan keluhan
nyeri pada panggul dan punggung. Setelah dilakukan tes BMD, diketahui T-
score pasien -3,0 pada panggul, -3,2 pada lumbar, dan hasil rontgen didapatkan
adanya fraktur di tulang panggul dan vertebra L-5. Pasien mengaku tidak
mengalami trauma pada daerah yang sakit atau jatuh. Dari hasil anamnesa,
diketahui pasien mengalami menopause 10 tahun yang lalu, memiliki anak
berjumlah 6 orang, ada alergi susu sapi dan memiliki riwayat gastritis. Sewaktu
muda, pasien rutin mengkonsumsi omeprazole untuk mengatasi gastritisnya.
Pola makan dan aktivitas sehari-hari normal, karena pasien adalah ibu rumah
tangga. Dari riwayat keluarga, diketahui ibu dan 2 saudara pasien juga memiliki
alergi susu, dan ibu pasien pernah mengalami patah tulang karena jatuh di kamar
mandi. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Na 140 mEq/L, K 4,0
mEq/L, Cl 104 mEq/L, Ca 11 mg/dL, TSH 3,2 mIU/L.

Diketahui:
a. Hasil Nilai IMT

11
IMT Pasien = 70Kg : (1,7²) m = 24,22

Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2002,


mengelompokkan IMT menjadi beberapa kelompok yaitu kekurangan berat
tingkat berat (IMT < 17 kg/m2), kekurangan badan tingkat ringan (IMT 17–
18,4 kg/m2), normal (IMT 18,5–25,0 kg/m2), kelebihan berat badan tingkat
ringan (IMT 25,1–27 kg/m2), kelebihan berat badan tingkat berat (IMT > 27
kg/m2).
Maka, nilai IMT pasien pada kasus ini termasuk dalam range normal
mengingat pasien memiliki pola makan sehari-hari yang teratur atau normal,
sehingga IMT bukan merupakan salah satu faktor pasien tersebut terdiagnosa
osteoporosis. Karena rata-rata pasien osteoporosis memiliki nilai IMT
dengan range di bawah normal. Hal ini telah diejlaskan bahwa berat badan
yang rendah, indeks massa tubuh yang rendah dan kekuatan tulang yang
menurun memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap berkurangnya massa
tulang (Krisdiana, 2012). Berdasarkan hasil penelitian Septriani (2013)
menyatakan bahwa berat badan rendah akan lebih mudah menurunkan
kepadatan tulang. Berat badan berlebih (overweight dan obesitas)
mengakibatkan beban mekanik meningkat sehingga merangsang
pembentukan tulang dengan menurunkan apoptosis serta meningkatkan
proliferasi dan diferensiasi osteoblas dan osteosit (Septriani dan Hikmiyah,
2013).

b. Hasil tes BMD :


o T-score pada panggul = -3,0
o T-score pada lumbar = -3,2
Osteoporosis didefinisikan sebagai BMD lebih dari 2,5. Seperti
parameter pada gambar di bawah ini:

12
Berdasarkan hasil tes BMD pasien tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
pasien terdiagnosa osteoporosis.

c. Hasil pemeriksaan laboratorium :


o Kadar Na = 140 mEq/L
Pasien memiliki nilai kadar Na yang normal, karena kadar kation
natrium orang dewasa berkisar antara 135-145 mmol/L (Anonim, 2012).
o Kadar K = 4,0 mEq/L
Pasien memiliki nilai kadar K yang normal, karena Nilai normal kadar
kalium adalah 2,3-5 mEq/L (Fischbach,2009).
o Kadar Cl = 104 mEq/L
Pasien juga memiliki nilai kadar Cl yang normal, karena nilai kadar
normal klorida adalah 98-108 mEq/L (Kultt J.S, 2006).
o Kadar Ca = 11 mg/dL
Nilai normal kalsium dalam darah adalah 8.4-10.3 mg/dL
(Dialab, 2003). Sehingga nilai kadar kalsium masih tergolong normal
lebih sedikit. Walaupun pasien diketahui memiliki alergi susu sapi yang
mana dipengaruhi oleh faktor genetik, dan pada susu sapi terdapat
banyak kalsium, namun pasien bisa jadi memperoleh kalsium dari
asupan makanan lainnya sehingga pasien memiliki sintesis vitamin D
yang cukup, yang juga dapat diperoleh dari paparan sinar matahari,
dimana Vitamin D bertanggung jawab untuk fungsi-fungsi endokrin
untuk mempertahankan homeostasis kalsium. Vitamin D meningkatkan
penyerapan kalsium di usus dan mempertahankan konsentrasi kalsium
dan fosfat serum yang memadai untuk memungkinkan mineralisasi
tulang.
Faktor lain yang mungkin menyebabkan kadar kalsium serum
pada pasien normal ialah pasien memiliki aktifitas sehari-hari yang
normal sebagai ibu rumah tangga. Menurut henrich (2003), aktifitas fisik
sangat mempengaruhi pembentukan massa tulang. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan aktifitas fisik seperti berjalan kaki, dan naik
sepeda pada dasarnya memberikan pengaruh melindungi tulang dan
menurunkan demineralisasi tulang karena pertambahan umur.

o Kadar TSH = 3,2 mIU/L.

13
Berdasarkan tabel nilai normal kadar TSH pada wanita (4-5
mIU/L) di atas, maka dapat dinyatakan bahwa pasien memiliki kadar
TSH yang rendah. TSH yang rendah dapat meningkatkan risiko fraktur
hip (tulang panggul) dan vertebra. Hal ini sesuai dengan pasien yang
mengeluhkan nyeri pada panggul dan punggung. Dan pada hasil rontgen
juga menunjukkan adanya fraktur di tulang panggul dan vertebra L-5.
Osteoporosis meningkatkan mortalitas dan morbiditas, terutama karena
komplikasinya, yaitu fraktur tulang belakang dan tulang pinggul.

C. Faktor Penyebab Osteoporosis Ny. G


Berdasarkan hasil tes BMD dan pemeriksaan laboratorium pada kadar
TSH, maka pasien dapat dikatakan terdiagnosa mengidap penyakit osteoporosis
primer Tipe 1 (Post menopausal). Beberapa faktor pendukung lainnya,
diantaranya yaitu :

1. Jenis kelamin dan Usia


Pada kasus yang dibahas, pasien berjenis kelamin wanita dengan
umur 65 tahun. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
osteoporosis. Wanita secara signifikan memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk terjadinya osteoporosis. Pada osteoporosis primer, perbandingan
antara wanita dan pria adalah 5:1. Seiring dengan meningkatnya usia,
pertumbuhan tulang akan semakin berkurang. Proporsi osteoporosis lebih
rendah pada kelompok lansia dini (usia 55-56 tahun) daripada lansia lanjut
(usia 65-85 tahun). Peningkatan usia memiliki hubungan dengan kejadian
osteoporosis. Jadi terdapat hubungan antara osteoporosis dengan
peningkatan usia. Begitu juga denga fraktur osteoporotic akan meningkat
dengan bertambahnya usia. Insiden fraktur vertebra meningkat setelah umur
60 tahun, dan fraktur pangggul sekitar 70 tahun (Ai Sri Kosnayani,2007).

2. Riwayat fraktur
Hasil rontgen pasien pada kasus, menunjukkan adanya fraktur di
tulang panggul dan vertebra L-5. Beberapa penelitian sebelumnya telah
menyebutkan bahwa, riwayat fraktur merupakan salah satu faktor risiko
osteoporosis. Fraktur atau patah tulang adalah keadaan dimana hubungan
atau kesatuan jaringan tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur
(elastisitas) dengan kekuatan yang memadai, apabila trauma melebihi dari
daya lentur tersebut maka terjadi fraktur (patah tulang). Penyebab terjadinya
fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang maupun pelunakan tulang
yang abnormal (Ekky M, 2001: 113), namun pasien mengaku tidak sampai
mengalami trauma pada daerah yang sakit atau jatuh.

3. Menopause

14
Wanita yang memasuki masa menopause akan terjadi fungsi ovarium
yang menurun sehingga produksi hormon estrogen dan progesteron juga
menurun. Ketika tingkat estrogen menurun, siklus remodeling tulang
berubah dan pengurangan jaringan tulang akan dimulai. Salah satu fungsi
estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal.
Tingkat resorpsi tulang akan menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang,
yang mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Sangat berpengaruh
terhadap kondisi ini adalah tulang trabekular karena tingkat turnover yang
tinggi dan tulang ini sangat rentan terhadap defisiensi estrogen. Tulang
trabekular akan menjadi tipis dan akhirnya berlubang atau terlepas dari
jaringan sekitarnya. Ketika cukup banyak tulang yang terlepas, tulang
trabekular akan melemah. Dari hasil anamnesa, pasien telah menopause
sejak 10 tahun lalu. Hormon esterogen wanita akan turun 2–3 tahun sebelum
menopause timbul, dan terus berlangsung sampai 3–4 tahun setelah
menopause.

4. Mengonsumsi obat-obatan jangka panjang yang dapat memengaruhi


kekuatan tulang
Diketahui pasien memiliki riwayat gastritis dan sewaktu muda,
pasien rutin mengkonsumsi omeprazole untuk mengatasi gastritisnya. Salah
satu efek samping penggunaan omeprazole walaupun jarang terjadi adalah
sakit punggung. Efek samping yang masih kontroversial yaitu osteoporosis
terinduksi obat yang menyebabkan peningkatan risiko fraktur tulang. Risiko
ini diduga terjadi pada orang yang mengonsumsi obat dalam jangka panjang
dengan dosis tinggi dan usia di atas 50 tahun. Walau demikian, masih
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan efek samping ini.

5. Faktor genetik
Faktor genetika juga memiliki konstribusi terhadapa massa tulang.
Anak perempuan dari wanita yang mengalami patah tulang osteoporosis
rata-rata memiliki masa tulang yang lebih rendah daripada anak seusia
mereka (kira-kira 3-7% lebih rendah). Riwayat adanya osteoporosis dalam
keluarga sangat bermanfaat dalam menentukan faktor risiko seseorang
mengalami patah tulang. Seperti pada kasus, dari riwayat keluarga, diketahui
ibu pasien pernah mengalami patah tulang karena jatuh di kamar mandi.

Dengan demikian osteoporosis disebabkan bukan hanya oleh satu faktor


saja melainkan terdapat banyak faktor yang berinteraksi satu sama lain. Terdapat
bebarapa faktor risiko terjadinya osteoporosis, yaitu faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.

15
D. Algoritma Penyembuhan Osteoporosis Ny. G

Semua Wanita Pascamenopause


1) Gaya Hidup dan Optimalisasi Gizi untuk Kesehatan Tulang
Terutama Kalsium dan Vitamin D
2) Menentukan Risiko Patah Tulang 10 Tahun Menurut
Panduan Khusus Negara

Resiko Resiko tinggi-


rendah-sedang sangat tinggi

atau
Rend seda
ah ng Kalsi
Denosumab um +
Bifosfonat Teriparatide
Nilai kembali vitam
Diatinjau Kembali atau
ditiinjau risiko patah in D
resiko patah tulang Abaloparati
tulang dalam 5- u/
kembali dalam 3-5 tahun
10 tahun de terapi
resiko 12,2)(5 tahun untuk
fraktur oral, 3 tahun untuk
Resiko Resiko
Jika intoleran rendah- tinggi
Resiko rendah- Resiko atau tidak tepat sedang Lanjutkan
untuk Pertimbangkan terapi tau
sedang tinggi
penggunaan pemberian ganti ke
Pertimbangkan Lanjutkan terapi
kedua terapi bifosfonat
penghentian obat terapi tau
kemudian
ganti ke
Ditinjau kembali lakukan
terapi
risiko patah tulang penghentian
dalam 2-4 tahun obat
Tinjau ulang
Jika tulang keropos Umur <60 thn Umur resiko fraktur
atau pasien atau telah setiap 1-3 thn
>60
menjadi risiko menopause
tinggi,
thn Jika tulang
<10 thn dengan
pertimbangkan resiko VTE keropos, terjadi
fraktur, atau

Tidak ada Ada gejala


gejala vasomotor Pertimbangkan (dalam
vasomotor urutan):
resiko kanker
payudara 1) SERM
HT (tanpa uterus,
2) HT/Tibolone
Estrogen; dengan 3) Kalsitonin
SERM (raloxifene, uterus, Estr ogen + 4) Kalsium + Vitamin D
Progestin) atau
16
E. Monitoring Osteoporosis Ny. G
1. Monitoring tanda vital, terutama tekanan darah pasien. Target tekanan darah
pasien untuk terapi selama 2 minggu ke depan adalah <140/90 mmHg.
2. Monitoring gejala osteoporosis dan hipertensi yang dialami pasien.
3. Monitoring densitas tulang setiap 1-2 tahun sekali.
4. Pemantauan kadar kolesterol pasien (target <200 mg/dL) .
5. Pemantauan efek samping penggunaan obat.

F. Evaluasi Osteoporosis Ny. G


Pemantauan Terapi Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
mengulang pemeriksaan densitometri setelah 1-2 tahun pengobatan dan dinilai
peningkatan densitasnya. Bila dalam waktu 1 tahun tidak terjadi peningkatan
maupun penurunan densitas massa tulang, maka pengobatan sudah dianggap
berhasil, karena resorpsi tulang sudah dapat ditingkatkan. Selain mengulang
pemeriksaan densitas massa tulang, maka pemeriksaan petanda biokimia tulang juga
dapat digunakan untuk evaluasi pengobatan. Penanda biokimiawi tulang adalah
pemeriksaan darah yang mampu menilai aktivitas pembentukan dan pembongkaran
tulang, serta keseimbangan antara kedua aktivitas tersebut. Penggunaan penanda
biokimia tulang, dapat menilai hasil terapi lebih cepat yaitu dalam waktu 3-4 bulan
setelah pengobatan. Pada evaluasi tersebut yang dinilai adalah penurunan kadar
berbagai petanda resorpsi dan formasi tulang.

G. Pemeriksaan Lebih Lanjut Ny. G


Osteoporosis adalah penyakit pengeroposan tulang yang dapat terjadi tanpa
terdeteksi dalam waktu yang lama serta memerlukan pengobatan secara dini untuk
mencegah terjadinya efek lanjutan.Salah satu metode untuk pemeriksaan
osteoporosis.

a. CT Scan
Dengan area pemeriksaan pada abdomen khususnya pada bagian lumbar
spine (tulang belakang). Pemeriksaan CT Scan pada bagian abdomen seringkali
dilakukan dengan tujuan pemeriksaan organ di dalam abdomen saja, tanpa
memanfaatkan informasi mengenai kondisi kepadatan tulang belakang (lumbar
spine), sehingga sebagian dari informasi yang terkandung dalam gambar tidak
digunakan secara efektif. Agar informasi tersebut dapat digunakan secara
efektif, dalam penelitian ini dibuat suatu desain program untuk mendeteksi
osteoporosis dari citra CT Scan abdomen menggunakan metode jaringan saraf
tiruan backpropagation dengan parameter input yang terdiri dari prosentase area
hitam, prosentase area putih, perbandingan area hitam dengan putih, serta rerata
intensitas pixel. Keluaran dari program ini adalah klasifikasi kondisi tulang
menjadi osteoporosis dan tidak osteoporosis. Tingkat akurasi dari proses

17
pengujian jaringan saraf tiruan mencapai 90%. Selain CT Scan ada juga
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium serta radiologi.
Pemeriksaan radiologi dapat membantu mendeteksi osteoporosis dan menilai
massa tulang. Pemeriksaan baku emas osteoporosis yakni pengukuran densitas
mineral tulang.

b. Radiologi
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan menggunakan pemeriksaan
radiologi konvensional (X-ray) dan pemeriksaan densitas mineral tulang.
Pemeriksaan radiologi konvensional memperlihatkan peningkatan radiolusen
akibat peningkatan resorpsi dan penipisan kortikal. Walau demikian, gambaran
foto rontgen polos tidak sensitif dalam mendeteksi osteoporosis.Pengukuran
kualitas tulang dapat menggunakan pemeriksaan radiologi yakni MRI, MR
spectroscopy, CT multidetektor, serta high-resolution peripheral quantitative
(HR-pQ) CT.

c. Pengukuran Densitas Mineral Tulang


Pemeriksaan dual energy X-ray absorptiometry (DEXA) merupakan
salah satu teknik yang menjadi pilihan utama dalam menilai densitas mineral
tulang. Pemeriksaan ini memiliki banyak fungsi mulai dari membantu
penegakan diagnosis, menilai respon terapi serta memperkirakan risiko fraktur.
Pemeriksaan DEXA akan menampilkan hasil skor T. Skor T menunjukan
densitas mineral tulang (massa mineral tulang per unit area) pasien
dibandingkan dengan nilai normal puncak massa tulang dewasa. Nilai skor T
pada pemeriksaan DEXA <-1,0 mengindikasikan osteopenia sedangkan skor T
<-2,5 mengindikasikan osteoporosis. Selain itu juga dihasilkan skor Z. Skor Z
membandingkan densitas mineral tulang pasien dengan nilai normal berdasar
usia, etnis dan jenis kelamin. Nilai Z skor perlu diperhatikan pada populasi
wanita post menopause. Skor Z yang terlalu rendah dapat mengindikasikan
osteoporosis sekunder pada populasi wanita menopause. Pemeriksaan DEXA
diindikasikan pada populasi berikut:
Pasien dengan kelainan metabolik tulang yang terlihat secara klinis atau
Pasien dengan penyakit dasar yang berisiko menimbulkan osteoporosis:
hiperparatiroid, hipertiroid, gagal ginjal, rheumatoid artritis, defisiensi
testosterone, konsumsi obat glukokortikoid jangka panjang, penggunaan loop
diuretik seperti furosemide perempuan menopause usia >65 tahun perempuan
menopause usia <65 tahun dengan salah satu kriteria berikut yakni perokok
aktif, indeks massa tubuh < 19 untuk populasi Asia, konsumsi kortikosteroid
oral >3 bulan, riwayat fraktur pinggul pada orang tuan, memiliki penyakit yang
berisiko osteoporosis (hipertiroid, malabsorpsi), atau perempuan menopause usia
> 45 tahun dengan riwayat fraktur penderita osteoporosis untuk menilai
keberhasilan terapi Studi menunjukkan pemeriksaan DEXA dengan nilai skor T

18
<-2,5 memiliki nilai sensitivitas 88,2%, spesifitas 62,5%, positive predictive
value (PPV) 83,3% dan negative predictive value (NPV) 71,4% dalam
mendiagnosis osteoporosis.
Hasil pemeriksaan densitas mineral tulang dapat digabung dengan
penilaian FRAX (Fracture Risk Assessment Tool) dalam menilai risiko absolut
fraktur panggul dan/atau fraktur osteoporosis major (tulang vertebra, lengan
bawah, panggul, humerus proksimal) akibat kerapuhan tulang dalam jangka
waktu 10 tahun. Faktor-faktor yang menjadi penilaian dalam FRAX yakni usia,
jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, riwayat fraktur, riwayat fraktur panggul
pada orang tua pasien, riwayat merokok, penggunaan glukokortikoid, riwayat
artritis rheumatoid, riwayat penyakit medis yang berkaitan dengan osteoporosis
sekunder, riwayat konsumsi alkohol dan hasil pengukuran densitas mineral
tulang.

d. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan meliputi pemeriksaan
kadar serum puasa kalsium, fosfat, dan fosfatase alkali. Pemeriksaan 25-
hydroxyvitamin D (25[OH]D) juga diperlukan.Fosfatase alkali dapat
menunjukkan indeks aktivitas osteoblas.
Pada pemeriksaan kalsium serum, phosphorus dan alkaline phosphatase
kadarnya dapat normal pada osteoporosis primer tetapi dapat ditemukan balans
kalsium negatif pada osteoporosis sekunder. Pemeriksaan lain bertujuan untuk
menentukan penyebab osteoporosis, dilakukan sesuai indikasi berupa
pemeriksaan fungsi rutin tiroid, fungsi hati, fungsi ginjal, kadar hormon
paratiroid (kecurigaan hiperparatiroid), serta pengukuran ekskresi kalsium urin
24 jam (deteksi malabsorbsi atau ekskresi kalsium berlebih).

H. Target Terapi
Berdasarkan kasus yang disajikan, maka target dari terapi pada kasus
tersebut adalah untuk meningkatkan kepadatan tulang, menjaga keseimbangan
metabolisme tulang serta mengembalikan kualitas tulang dengan mengatur absorbsi
kalsium. Dimana perlu diketahui bahwa penderita osteoporosis membutuhkan
konsumsi kalsium dan vitamin D dalam jumlah yang mencukupi agar remodelling
tulang berjalan baik (Sihombing, 2012). Remodelling tulang dipengaruhi oleh tiga
sel tulang yaitu osteoblas, osteoklas dan osteosit. Osteosit berfungsi sebagai reseptor
mekanik yang dapat menginduksi remodelling tulang (Setyorini, 2009).

Selain itu, terapi penatalaksanaan osteoporosis juga bertujuan untuk


mencegah kehilangan tulang serta fraktur yang lebih lanjut dan semakin parah.
Karena berdasarkan hasil rontgen pada kasus tersebut menunjukkan bahwa pasien
mengalami fraktur tulang pada tulang panggul dan vertebra L-5. Insidensi fraktur
panggul dapat berkurang 20-25% jika osteoporosis ditangani dengan tepat. Terapi
osteoporosis difokuskan untuk memperlambat atau menghentikan dari kehilangan

19
mineral yang diperlukan oleh tubuh serta untuk mengontrol rasa nyeri yang
ditimbulkan akibat penyakit osteoporosis.

a. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi yang dapat diberikan kepada Ny.G yaitu obat
Risedronat, Strontium ranelat, Vitamin D, dan Kalsium. Yang dapat diberikan
kepada pasien yaitu obat anti resorpsi, salah satu contohnya adalah bisfosfonat.
Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan osteoporosis.
Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari 2 asam fosfonat yang
diikat satu sama lain oleh atom karbon. Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi
tulang oleh sel osteoklas dengan cara berikatan dengan permukaan tulang dan
menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan
enzim lisosomal di bawah osteoklas. Obat bisfosfosnat yang dapat digunakan
untuk terapi osteoporosis yaitu Obat Risedronat, merupakan aminobisfosfonat
generasi ketiga yang sangat poten. Untuk osteoporosis diperlukan dosis 35
mg/minggu atau 5 mg/hari secara kontinyu atau 75 mg 2 hari berturut-turut
sebulan sekali atau 150 mg sebulan sekali. Kontra indikasi pemberian risedronat
adalah hipokalsemia, ibu hamil, menyusui dan gangguan ginjal (creatinine
clearance < 30 ml/menit). Diminum utuh dengan segelas air pada keadaan perut
kosong, paling sedikit 30 menit sebelum makan atau minum pertama pada hari
itu atau jika tidak diminum pagi hari, hindari makanan atau minuman sekurang-
kurangnya selama 2 jam. Dengan posisi berdiri atau duduk tegak selama paling
sedikit 30 menit dan jangan berbaring sampai setelah makan pagi.
Selain itu juga diberikan beberapa obat diantaranya yaitu :

 Pemberian Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis kerja ganda, yaitu


meningkatkan kerja osteoblas dan menghambat kerja osteoklas. Dosis
strontium ranelat adalah 2 mg/hari yang dilarutkan dalam air dan diberikan
pada malam hari sebelum tidur atau 2 jam sebelum makan atau 2 jam setelah
makan. Efek samping strontium ranelat adalah dispepsia dan diare.
Strontium ranelate harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan
riwayat tromboemboli vena.
 Pemberian Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di
usus. Lebih dari 90% vitamin D disintesis dalam tubuh, prekursornya ada di
bawah kulit oleh paparan sinar ultraviolet. Vitamin D dapat berupa
alfacalcidol (25 OH vitamin D3) dan calcitriol (1,25 (OH)2 Vitamin D3),
kedua dapat digunakan untuk pengobatan osteoporosis.Kadar vitamin D
dalam darah diukur dengan cara mengukur kadar 25 OH vitamin D3. Pada
pemberian vitamin D dosis tinggi (50.000 IU) dapat berkembang menjadi
hiperkalsiuria dan hiperkalsemia.

20
 Pemberian Kalsium sebagai mono terapi ternyata tidak cukup untuk
mencegah fraktur pada penderita osteoporosis. Preparat kalsium terbaik
adalah kalsium karbonat, karena mengandung kalsium elemental 400
mg/gram, disusul kalsium fosfat yang mengandung kalsium elemental 230
mg/gram, kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemental 211 mg/gram,
kalsium laktat yang mengandung kalsium elemental 130 mg/gram dan
kalsium glukonat yang mengandung kalsium elemental 90 mg/gram.
Pemberian kalsium dapat meningkatkan risiko hiperkalsiuria dan batu ginjal.

b. Fitoterapi Osteoporosis
Fitoterapi untuk Osteoporosis

 Rimpang jahe merah (Zingiber officinale varietas rubrum)


Rimpang jahe merah mengandung metabolit sekunder yaitu golongan
senyawa flavonoid, polifenol, tanin, monoterpen/seskuiterpen, dan steroid.
Ekstrak etanol rimpang jahe merah (EERJM) dalam meningkatkan densitas
tulang diduga berasal dari kandungan etil p-metoksisinamat yang termasuk
golongan flavonoid dan merupakan salah satu golongan senyawa
fitoestrogenik. Hasil uji secara in silico yang dilakukan oleh Setianingsih
(2016) membuktikan senyawa etil p- metoksisinamat mampu berikatan
dan memiliki afinitas yang baik dengan reseptor estrogen β. Mekanisme
kerja fitoestrogen rimpang jahe merah memodulasi kepadatan tulang
kemungkinan sama dengan estrogen.
Estrogen mempengaruhi proses remodeling tulang dengan
mengendalikan aktivitas sel osteoblas maupun osteoklas, termasuk menjaga
kesembangan kerja dari kedua sel tersebut melalui pengaturan produksi
faktor parakrin-parakrin (Monroe et al., 2003). Estrogen juga mempengaruhi
pembongkaran tulang dengan cara menghambat pematangan osteoklas
sehingga bisa menghambat resorpsi tulang (Arjmandi and Khalil, 2003).
Berdasarkan pemberian EERJM pada tikus terovariektomi dosis 500
mg/kgBB maupun dosis 1000 mg/kgBB mampu meningkatkan densitas
tulang femur. Dengan demikian rimpang jahe merah memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai pencegah maupun obat osteoporosis akibat defisiensi
estrogen yang biasa dialami oleh wanita menopause.

21
 Tanaman Ekor Kuda (Equisetum)
Tanaman ini merupakan tanaman obat yang telah digunakan dalam obat-
obatan tradisional dan herbal dalam pengobatan berbagai penyakit. Tanaman
ini dapat membantu pengobatan osteoporosis karena mengandung silika dan
senyawa lain seperti alkaloid, pitosterol, tanin, triterpenoid dan fenolik.
Mengonsumsinya akan membantu penyerapan kalsium dan pembentuk
kolagen yang lebih baik, sehingga mencegah tulang keropos.
 Spilanthes acmella
Ekstrak etanol 70% dari Spilanthes acmella berpotensi digunakan untuk
pengobatan osteoporosis karena mampu meningkatkan pembentukan masa
tulang dengan menstimulasi aktivitas dari enzim alkaline fosfatase.
 Semanggi merah (Trifolium pratense L.)
Dilansir dari penelitian yang diterbitkan dalam Evidence Based
Complementary and Alternative Medicine, ekstrak semanggi merah
dipercaya dapat menjadi obat herbal bagi pengidap osteoporosis. Hasil
penelitian tersebut menemukan, mengonsumsi esktrak semanggi merah
selama 12 minggu berefek baik untuk kesehatan tulang wanita menopause.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa suplemen ini membantu melindungi
tulang punggung dari efek penuaan tulang akibat usia dan osteoporosis.
Penelitian lain juga menyebutkan proses penurunan kepadatan tulang terjadi
lebih lebih lambat pada wanita yang rutin mengonsumsi herbal ini.
Mengapa? Semanggi merah dilaporkan mengandung isoflavon yang secara
struktur mirip dengan estrogen alami dalam tubuh manusia. Estrogen itu
sendiri adalah hormon yang membantu melindungi kepadatan dan kekuatan
tulang. Penurunan kadar hormon estrogen dalam tubuh merupakan salah satu
faktor utama yang meningkatkan risiko osteoporosis.
 Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.)
Senyawa target yang memiliki khasiat sebagai antiosteoporosis adalah
fitoestrogen, yang merupakan suatu isoflavon. Isoflavon merupakan senyawa
golongan flavonoid. Berdasarkan hasil skrining fitokimia, flavonoid terdapat
dalam simplisia dan ekstrak kental buah kecipir. Dilansir dalam penelitian
bahwa ekstrak etanol buah kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC.)
dosis 500 mg/kg BB mempunyai efek sebagai antiosteoporosis pada
kelompok uji tikus wistar betina berdasarkan parameter peningkatan kadar
Alkaline Phosphatase (ALP) pascaterapi.
 Kedelai (Glycine max)
Kedelai mengandung berbagai nutrisi, diantaranya mengandung senyawa
antinutrient dan komponen lainnya, misalnya isoflavon yang memiliki efek
menguntungkan pada kesehatan serta berfungsi sebagai fitoestrogen.
Isoflavon dari kedelai sebagai suatu fitoestrogen digunakan untuk terapi
pengganti hormon estrogen pada wanita dengan menopausal symptoms,
mencegah terjadinya osteoporosis, serta menjaga kesehatan jantung dan

22
pembuluh darah (Patisaul dan Jefferson, 2010) (Yang et al, 2012) .
Mencegah osteoporosis pada wanita pasca menopause dengan cara
mereduksi pengurangan massa tulang dan menjaga kekuatan tulang (Shedd-
Wise et al, 2011) serta meningkatkan bone mineral density (Wei et al, 2012).
 Cikal Tulang (Cissus quadrangularis)
Dilansir dari Penelitiam Ekstrak etanol Cissus quadrangularis diuji
aktivitas anti-osteoporosis pada tikus ovariektomi yang digunakan sebagai
model osteoporosis pada dua tingkat dosis yang berbeda yaitu 500 dan 750
mg / kg per hari. Hasil percobbaan dinilai berdasarkan biomekanik, biokimia
dan parameterhistopatologi yang menunjukkan bahwa ekstrak etanol
tanaman memiliki efek anti osteoporotik yang pasti (Shirwaikar, dkk, 2003).
Efek dari ekstrak Cikal Tulang ( Cissus quadrangularis ) pada tikus
ovariektomi adalah mempertahankan kalsium Serum dalam kisaran normal,
dan ekstrak Cissus quadrangularis dapat mencegah osteoporosis (Pangestu,
dkk.2014). Dilansir dalam penelitian lain Aktivitas anti-osteoporosis dari
ekstrak petroleum eter dari Cissus quadrangularis dapat dibenarkan karena
dalam penelitian menunjukkan tanaman ini mengandung steroid yang
bertindak sebagai fitoestrogen untukmencegah secara efektif atau
mengurangi keropas tulang oleh stimulasi metabolisme dan meningkatkan
penyerapan mineral (Zhang, dkk. 2006). Dalam penelitian pemberian ekstrak
sipatah-patah dengan berbagai dosis terhadap kepadatan tulang lumbal tikus
putih ovariektomi, hasilnya menunjukan pemberian ekstrak etanol sipatah-
patah pada dosis yang tinggidapat meningkatkan osteoblas dan dapat
menurunkan pembentukan osteoklas (Sabri, 2013).

c. Terapi Non-Farmakologi
Secara umum, perlu disampaikan edukasi dan program pencegahan terhadap
pasien-pasien oosteoporosis antara lain :

1. Anjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk


memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi sistem neuromuskular serta
kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yang
dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit/hari, bersepeda maupun
berenang.
2. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari
maupun suplementasi,
3. Hindari merokok dan minum alkohol.
4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosteron pada
laki-laki dan menopause awal pada wanita.
5. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan
osteoporosis,

23
6. Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada penderita yang sudah
pasti osteoporosis
7. Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh, misalnya
lantai yang licin, obat-obat sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat
menyebabkan hipotensi ortistatik.
8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orangorang yang kurang
terpajan sinar matahari atau pada penderita dengan fotosensitifitas, misalnya
SLE. Bila diduga ada defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum
harus diperiksa. Bila 25(OH)D serum menurun, maka suplementasi vitamin
D 400 IU/hari atau 800 lU/hari pada orang tua harus diberikan. pada
penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 1,25(OH).D harus
dipertimbangkan.
9. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan
Natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium
ditubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium urin > 300 mg/hari, berikan diuretik
tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari).
10. Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka
panjang, usahakan pemberian glukokortikoid pada dosis serendah mungkin
dan sesingkat mungkin,
11. Pada penderita artritis reumatoid dan artritis inflamasi lainnya, sangat
penting mengatasi aktivitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi
nyeri dan penurunan densitas massa tulang akibat artritis inflamatif yang
aktif.

24
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik. Fraktur osteoporosis
dapat terjadi pada tiap tempat meskipun fraktur yang berhubungan dengan
kelainan ini meliputi thorak dan tulang belakang (lumbal), radius distal dan
femur proksimal. Berdasarkan kasus Ny. G nilai IMT pasien pada kasus ini
termasuk dalam range normal mengingat pasien memiliki pola makan sehari-
hari yang teratur atau normal, sehingga IMT bukan merupakan salah satu
faktor pasien tersebut terdiagnosa osteoporosis. Nilai normal kalsium dalam
darah adalah 8.4-10.3 mg/dL (Dialab, 2003). Sehingga nilai kadar kalsium
masih tergolong normal lebih sedikit. Hasil tes BMD, T-score pada panggul =
-3,0, T-score pada lumbar = -3,2, Osteoporosis didefinisikan sebagai BMD
lebih dari 2,5 nilai normal kadar TSH pada wanita (4-5 mIU/L)nilai TSH
pasien adalah 3,2 mlU/L, maka dapat dinyatakan bahwa pasien memiliki
kadar TSH yang rendah.Faktor penyebab osteoporosis yang terjadi pada Ny.
G diantaranya Jenis kelamin dan Usia, riwayat fraktur, menopause,
Mengonsumsi obat-obatan jangka panjang yang dapat memengaruhi kekuatan
tulang, dan faktor genetic. Ny. G perlu juga dilakukan monitoring dan
evaluasi terkait kasus penyakit osteoporis yang diderita, selain itu
pemeriksaan juga bisa dilakukan untuk menunjang hasil pemeriksaan,
pemeriksaan yang bisa dilakukan diantaranya yaitu CT Scan, Radiologi,
Pengukuran Densitas Mineral Tulang, Laboratorium. Berdasarkan hasil
pemeriksaan yang diperoleh kami menganjurkan terapi farmakologi berupa
Risedronat, Strontium ranelat, Vitamin D, dan Kalsium, selain menggunakan
farmakologi pasien juga bisa mengonsumsi bahan alam diantaranya Rimpang
jahe merah , Tanaman Ekor Kuda (Equisetum), Spilanthes acmella, Semanggi
merah (Trifolium pratense L.), Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.), Kedelai
(Glycine max), Cikal Tulang (Cissus quadrangularis).Untuk tercapainya eek
terapi yang diharapkan pasien juga disarankan untuk melakukan terapi non-
farmakologi seperti Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui
makanan sehari-hari maupun suplementasi, Hindari merokok dan minum
alcohol, terapi yang tepat terhadap defisiensi testosteron pada laki-laki dan
menopause awal pada wanita. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang
dapat menimbulkan osteoporosis, dan Hindari mengangkat barang-barang
yang berat pada penderita yang sudah pasti osteoporosis.

25
B. Saran
Dengan disusunnya makalah ini semoga dapat memberikan pengetahuan
dan pemahaman bagi penulis dan pembaca, serta dapat digunakan sebagai
infromasi terhadap kasus penyakit osteoporosis.

26
DAFTAR PUSTAKA
ADA. 2003. Clinical practice recommendation. Diabetes Care.
Ai Sri Kosnayani, 2007, Hubungan antara asupan kalsium, aktifitas fisik, paritas, indeks
massa tuduh dengan kepadatan tulang, Semarang: Undip Pasca Sarjana.
Amran, Pramansa. 2018. Analisis Perbedaan Kadar Kalsium (Ca) Terhadap Karyawan
Teknis Produktif Dengan Karyawan Administratif Pada Persero Terbatas Semen
Tonasa. Jurnal Media Analis Kesehatan, Vol. 1, Edisi 1,Juni2018
Anonim, 2012. Hematologi. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan : Jakarta
A, Shirwaikar, dkk. 2003. Antiosteoporotic Effect Of Ethanol Extract of Gissus
quadrangularis Linn. On Ovariectomized Rat. Jurnal Ethnopharmacol: 89 (2-
3).245-50.
Bintang Soetjahjo dan Djoko Roeshadi, 1998, Index Massa Tubuh Sebagai Prediktor
Massa Tulang, Juni 1998, Hlm. 64-74.
Depkes. R.I. 2002. Standart Osteoporosis. Jakarta; Litbangkes Yatim, F, 2000.
Osteoporosis Penyakit Kerapuhan Tulang PadaLansia. Depkes RI,Jakarta.
Ekky M. Rahardja, 2001, Nutrisi dan Kesehatan Tulang, Ebers Papyrus, Volume 7, Juni
2001, Hlm. 113-122Nuhonni,SA,2000. Osteoporosis dan Pencegahannya.
FKUI,Jakarta.
Fischbach F, 2009. A Manual of Laboratory and Diagnostic Test. 8th Ed. Philadelphia
Baltomore New York: Wolterskliwer Health.
Guyton,AC, 1996. Fisiologi manusiadan Mekanisme Penyakit. Penerbit Buku
kedokteran EGC, Jakarta
Hutabarat, Johan Candra Juliner. 2016. Perancangan Aplikasi Menentukan Berat Badan
Ideal Denganmenggunakan Algoritma K-Meansclustering. Jurnal Riset Komputer
(JURIKOM), Volume : 3, Nomor: 5, Oktober2016
Joseph, baby, dkk. 2011. A Comperative Study on various Properties of Five
Medicinally Important Plants. International Journal of Pharmacology: 7(2):
206-211.
Kansra U. 2002. Osteoporosis, medical management. Journal Indian Academy of
Clinical Medicine.
Krisdiana, O . 2013. Faktor Risiko Osteoporosis Pada Wanita Pascamenopause (Studi
di Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Tahun 2012). Skripsi. Program Sarjana
Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Kultt J.S, 2006. Physiology and Disorders of water, Electrolyte, and Acid Base
Metabolism In : Tietz Text Book of Clinical Chemistry and Molecular
Diagnostics, 4 th Ed. Vol.1, Elsevier Saunders Inc., Philadelphia. PP 1747- 1775.
Lane NE. The Osteoporosis Book a Guide for Patients and Their Families. New York:
Oxford University Press; 1999. p. 19-32

27
Lewiecki EM. Bisphosphonates for the treatment of osteoporosis: insights for clinicians.
Ther Adv Chronic Dis. 2010;1(3):115-28. doi: 10.1177/2040622310374783
Lindsay R, Casman F. Osteoporosis. Dalam : Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci
AS, Longo DL, Loscalzo J (editor). Harrison‟s Principles of Internal Medicine.
Ed. 19. New York: McGraw-Hill, Medical Pub. Division. 2488-504
Mishra, Garima, dkk. 2010. Pharmacological and Therapeutic Activity of Cissus
quadrangularis: An Overview. International Journal of Pharm Tech Research:
Vol.2(2): 1298-1310.
Mondrida, Gina. Dkk. 2018. Validasi Kit Irma Tsh Untuk Penentuan Kadar Tsh Dalam
Serum Darah Manusi. JKPK (JURNAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA),
Vol3, No3, Tahun 2018
National Institutes of Health. Vitamin D. 2014 Nov 10 [cited 2015 Jan 20]. Available
from: http://ods.od.nih.gov/factsheets/VitaminD-HealthProfessional/
Pangestu, Yana., dkk. 2014. Pemberian Ekstrak Tanaman Cikal Tulang (Cissus
quadrangularis) Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Ovariektomi Sebagai
Hewan Model Osteoporosis Terhadap Kadar Kalsium Darah. Tim Pengembangan
Jurnal Universitas Airlangga: Vol 2: 25-28.
Sabrudin, Hermin dan Ferry Armanza. 2018. Korelasi Tumor Marker Cancer
Antigen(CA-125) terhadap kadar Hemoglobin, Leukosit, dan Platelet Limfosit
Ratio pada Pasien Kanker Ovarium di RSUD ULIN Banjarmasin. Jurnal Ilmiah
Kedokteran Wijaya Kusuma 7(1) : 93-106, Maret 2018
Sabri, M., dkk. 2011. Kualitas Tulang Tikus Betina Normal yang Diberi Ekstrak
Sipatah- patah pada Masa Pertumbuhan. Jurnal Veteriner, 12(2): 113-119.
Setiyohadi B. Osteoporosis. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid II, Edisi IV,
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Septriani, R.S. 2013. Hubungan Asupan Protein dan Kafein dengan kepadatan Tulang
Pada Wanita Dewasa Muda. Skripsi. Program Sarjana Universitas Diponegoro.
Semarang.
Setiyohadi B. Pendekatan diagnosis osteoporosis. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit dalam FK UI; 2015: 3454-7.Stevenson JC and Marsh MS. 2007.
An atlas of osteoporosis. Third Edition. Informa UK Ltd,
Setyorini, A, Suandi, I, Sidiartha, I, Suryawan, W. 2009. Pencegahan Osteoporosis
dengan Suplementasi Kalsium dan Vitamin D pada Penggunaan Kortikostreroid
Jangka panjang. Sari Pediatri.
Sihombing, I., Wangko, S. and Kalangi, S. J. R., 2012 „Peran Estrogen pada
Remodeling Tulang‟, Jurnal Biomedik,

Ther Adv Chronic Dis. 2010;1(3):115-28. doi: 10.1177/2040622310374783

28
Tebé C DRL, Casas L, Estrada MD, Kotzeva A, Di Gregorio S, Espallargues M. Risk
factors for fragility fractures in a cohort of Spanish women. 2011. 25(6):507-12
Todd N. Slideshow: A visual guide to osteoporosis [Internet]. [cited 2017 Oct 31].
Available from: https://www.webmd.com/osteoporosis/ss/slideshow-osteoporosis-
overview.
Zhang, Yan, dkk. 2006. Anti-osteoporotic Effects of Medicinal Herbs and their
Mechanisms of Action. Asian Journal of Traditional Medicines,; 1; 3-4.

29

Anda mungkin juga menyukai