Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH KOMPREHENSIF

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS GERIATRI


DENGAN PARAPARASE INFERIOR e.c DEGENERASI
VERTEBRA LUMBAL DAN EFUSI PLEURA BILATERAL
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

Disusun oleh:
Khairani Salsabila 201.0702.008
Alfatih Lois A 201.0702.021
Rhaudya Salsa A 201.0702.041
Putri Gina Nonlohi 201.0702.048

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI PROGRAM DIPLOMA TIGA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2023

8
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyusun Laporan Kasus Fisioterapi Klinis yang
berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Paraparase Inferior e.c
Degenerasi Vertebra Lumbal dan Efusi Pleura Bilateral Di Rumah Sakit Daerah
KOJA”. disusun untuk menyelesaikan tugas sebagai bentuk Ujian Komprehensif
Praktik Klinis Fisioterapi Stase Geriatri. Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas
dari bantuan dan dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam
kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Agustiyawan, SST.FT, M.Fis, Ftr, AIFO selaku Kepala Jurusan Program
Studi Fisioterapi.
2. Bapak Heri Wibisono, S.Pd, M.Si, AIFO selaku dosen pembimbing kampus.
3. Ibu Devina Indra Syahbunan, S.Tr.Ftr selaku Koordinator Fisioterapi RSUD Koja.
4. Seluruh Fisioterapis Rehabilitasi Medik RSUD Koja yang membantu dalam
menyusun laporan kasus ini.
Penyusunan Laporan Kasus ini juga tidak lepas dari dukungan moril, materi, serta
doa keluarga penulis, yang selalu menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan
laporan kasus. Serta terimakasih kepada seluruh senior dan staff Fisioterapi RSUD
Koja yang telah ikut serta membantu dalam penyususnan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangannya, atas
segala kekurangan dalam karya tulis ini penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya.
Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak terkait
khususnya dalam bidang kesehatan

Jakarta, April 2023

Penulis

8
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...................................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1


I.1 Latar Belakang ........................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah...................................................................................2
I.3 Tujuan ......................................................................................................3
I.4 Manfaat ....................................................................................................3

BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................4


II.1 Definisi ....................................................................................................4
II.2 Anatomi dan Fisiologi ...........................................................................7
II.3 Patofisiologi .........................................................................................11
II.4 Etiologi ..................................................................................................12
II.5 Faktor Resiko ......................................................................................12
II.6 Tanda dan Gejala ...............................................................................13

BAB III LAPORAN KASUS ...............................................................................15


III.1 Identitas Pasien ..................................................................................15
III.2 Anamnesa............................................................................................15
III.3 Pemeriksaan .......................................................................................17
III.4 Diagnosa Fisioterapi ..........................................................................25
III.5 Perencanaan Fisioterapi ....................................................................25
III.6 Intervensi Fisioterapi .........................................................................26
III.7 Evaluasi Fisioterapi............................................................................29
III.8 Prognosa..............................................................................................31

BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................32
IV.1 Hasil Penatalaksanaan Fisioterapi ...................................................32

8
IV.2 Keterbatasan .......................................................................................32

BAB V PENUTUP ................................................................................................33


V.1 Kesimpulan ...........................................................................................33
V.2 Saran .....................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................34

8
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Lansia memiliki berbagai masalah kesehatan yang mungkin terjadi, hal ini bisa
disebabkan karena kebiasaan buruk atau perilaku tidak sehat. Salah satu contoh,
kebiasaan buruk yaitu merokok dan tidak menjaga pola makan sehat. Keluhan
mengenai masalah kesehatan yang khas pada lansia disebut sebagai sindrom geriatri.
Sindrom geriatri adalah kumpulan gejala atau masalah kesehatan yang sering terjadi
pada lansia akibat adanya penurunan fungsi tubuh dan kejiwaan. Selain itu lansia juga
mengalami penurunan elastisitas dan penurunan ekspansi paru.
Geriatri merupakan lansia dengan masalah dan penyakit yang diderita seiring
bertambahnya usia dan butuh perawatan medis dan pengobatan. Geriatri merupakan
salah satu faktor yang mengakibatkan munculnya masalah kesehatan yang terkait
dengan usia yaitu penyakit yang berhubungan dengan kardiovaskular dan saraf.
Penyakit yang diderita oleh pasien geriatri umunya bersifat kronis. Penyakit yang
sering terjadi pada lansia adalah kanker, hipertensi, diabetes, stroke, jantung coroner
dan gagal jantung. Menurut survei Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia
(PERGEMI), sebanyak 24,6% penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia memiliki
riwayat penyakit kronis. Dari kelompok lansia dengan riwayat tersebut, mayoritasnya
atau 37,8% memiliki penyakit hipertensi. Kemudian 22,9% memiliki penyakit
diabetes, 11,9% penyakit rematik, dan 11,4% penyakit jantung. Riwayat penyakit
lainnya yang dimiliki lansia adalah asma 10,4%, asam lambung 8%, asam urat 5,5%,
penyakit paru kronis 3%, kolesterol 3%, dan penyakit ginjal 2%.
Lansia kurang memperhatikan kesehatan terutama pada kondisi neurologis yang
di tandai dengan kelemahan atau kelumpuhan parsial ditungkai bawah biasanya
disebut dengan paraparese ada beberapa kondisi ini. Hal ini biasanya tidak dapat
disebutkan, meskipun dapat dikelola, dan pasien dapat menerima bantuan untuk

8
meningkatkan kualitas hidup dan untuk membantu dan mempertahankan otot di kaki
(Bromley, 2018).
Paraparese adalah terjadinya gangguan antara dua anggota gerak tubuh bagian
bawah. Hal ini terjadi karena adanya efek antara sendi facet superior dan inferior
(parsinterartikularis). Paraparese adalah adanya defek pada pars interartikularis tanpa
subluksasi korpus vertebrata .parapareses terjadi pada 5% dari populasi. Kebanyakan
penderita tidak menunjukan gejala atau gejalanya hanya minimal, dan sebagian besar
kasus dengan tindakan konservatif memberikan hasil yang baik. Parapareses dapat
terjadi pada semua level vertebrata, tapi yang paling sering terjadi pada vertebrata
lumbal bagian bawah (Iskandar,2019).
Kasus cidera pada tulang vertebra sekitar 70% karena trauma dan kurang lebih
setengahnya termasuk cedera pada vertebra, sekitar 50% dari kasus trauma
dikarenakan oleh kecelakan lalu-lintas. Kecelakaan industri sekitar 26%, kecelakaan
dirumah sekitar 10%mayoritas dari kasus trauma di temukan adanya fraktur atau
dislokasi, kurang dari 25% hanya fraktur saja(Bromley,2018).
Kondisi tersebut di atas dapat membawa konsekuensi langsung maupun tidak
langsung terhadap penderitanya. Konsekuensi langsung seperti gangguan dalam
mobilitas (duduk, berdiri, berjalan dan lari), sedangkan yang tidak langsung dapat
berupa gangguan terhadap pribadinya yaitu bagaimana penderita mempersepsi
kecacatannya yang dapat menimbulkan reaksi kecewa, rendah diri dan merasa terisolir.
Pleura adalah membran serosa yang terlipat di permukaan paru sehingga
membentuk struktur membranosa dua lapis. Pleura dibagi menjadi menjadi pleura
parietal (melekat pada dinding dada) dan pleura visceral (melekat pada paru dan
struktur lain) dimana akan terbentuk ruang diantara keduanya yang disebut kavitas
pleura yang berisi sedikit cairan pleura (Charalampidis et al., 2020)
Efusi pleura adalah suatu keadaan terdapatnya akumulasi cairan dengan jumlah
berlebihan pada rongga pleura, yang normalnya memiliki sejumlah cairan (5-15ml)
yang berfungs sebagai pelumas pada permukaan pleura agar bergerak tanpa adanya
friksi (Puspita, et al., 2017). Penyebab efusi pleura sendiri sangatlah beragam, dinegara
bagian barat efusi pleura dapat disebabkan karena gagal jantung kongesti, sirosis hati,

8
keganasan, dan pneumonia bakteri, sedangkan dinegara berkembang seperti Indonesia
banyak disebabkan karena infeksi (Puspita et al., 2017). Penyakit ganas menyumbang
41% dan tuberculosis menyumbang 33% dari kasus efusi pleura eksudatif, 2 pasien
(2%) memiliki konsistensi tuberculosis dan keganasan yang dianalisis dengan
kelompok ganas. Parapneumoni efusi ditemukan hanya 6% kasus, penyebab lain gagal
jantung kongesti 3%, komplikasi dari operasi by pass coroner 2%, rheumatoid atritis
2%, erythematous lupus sistemik 1%, kolesistitis aut 1%, etiologi tidak diketahui 8%
(Mattison et all, 2011).
Paraparase dan Efusi Pleura ini saat ini masih menjadi masalah penting dalam
bidang kesehatan. Angka kematian penyakit efusi pleura berkisar antara 5 hingga 30%
dengan insiden bervariasi berdasar kondisi komorbid. Paraparase masih dianggap
sebagai kegawatdaruratan penyakit dan dapat berimplikasi pada bagian dari kehidupan
seseorang. Peran fisioterapi dalam mengembalikan aktifitas fungsional dan
mempertahankan kapasitas paru seperti semula dengan menerapkan metode terapi
seperti pemberian Terapi Latihan dan Teknik ACBT ditujukan agar fungsi dan gerak
menjadi tidak terganggu dan mencegah timbulnya komplikasi Melihat kondisi tersebut
penulis tertarik mengambil judul Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Paraparese
Inferior e.c Degenerasi Vertebra Lumbal dan Efusi Pleura Bilateral di RSUD Koja

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang tersebut maka didapat rumusan masalah pada makalah ini
adalah. “Bagaimana Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Paraparase Inferior?”

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu
1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan pengetahuan, menganalisis, mempelajari dan memberikan
terapi yang tepat pada kasus Penyakit Paraparase Inferior.

8
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui efektivitas pemberian modalitas pada pasien kasus Penyakit
Paraparase Inferior.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat penulisan makalah ini, yaitu :
1. Bagi perkembangan Ilmu Fisioterapi
Diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada
bidang fisioterapi.
2. Bagi masyarakat
Manfaat bagi masyarakat adalah hasil penulisan ini dapat menjadi sumber
informasi untuk memperoleh pengetahuan mengenai gambaran
meningkatkan kekuatan otot, sensoris dan mobilitas sangkar thorax pada
pasien paraparase inferior
3. Bagi Penulis
Manfaat bagi penulis adalah memberikan pengalaman dan wawasan dalam
metodelogi penelitian yang baik dan benar, mengetahui gambaran
meningkatkan kekuatan otot, sensoris dan mobilitas sangkar thorax dan
sebagai pengetahuan serta masukan dalam pengembangan ilmu Kesehatan
yang akan daring.

8
BAB II
LANDASAN TEORI

II.1 Paraparase Inferior


II.1.1 Pengertian paraparase inferior
Masyarakat jaman sekarang kurang memperhatikan kesehatan terutama
pada kondiri neurologis yang di tandai dengan kelemahan atau kelumpuhan
parsial ditungkai bawah biasanya disebut dengan paraparese ada beberapa kondisi
ini. Hal ini biasanya tidak dapat disebutkan, meskipun dapat dikelola, dan pasien
dapat menerima bantuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan untuk membantu
dan mempertahankan otot di kaki (Bromley, 2020).
Paraparese inferior adalah sindrom klinis dimana prosesnya dimediasi
oleh sistem imun menyebabkan cedera neural medulla spinalis dan
mengakibatkan berbagai derajat disfungsi motorik, sensori, dan autonomi.
Penyakit ini dapat menyerang anak-anak maupun dewasa pada semua usia. Akan
tetapi puncak usia adalah antara usia 30-39 tahun 65 -70 tahun dan (Anwar,2019).
Paraparese adalah terjadinya gangguan antara dua anggota gerak tubuh
bagian bawah.Hal ini terjadi karena adanya efek antara sendi facet superior dan
inferior (parsinterartikularis). Paraparese adalah adanya defek pada pars
interartikularis tanpa subluksasi korpus vertebrata .parapareses terjadi pada 5%
dari populasi. Kebanyakan penderita tidak menunjukan gejala atau gejalanya
hanya minimal, dan sebagian besar kasus dengan tindakan konservatif
memberikan hasil yang baik. Parapareses dapat terjadi pada semua level
vertebrata, tapi yang paling sering terjadi pada vertebrata lumbal bagian bawah
(Iskandar,2018).

8
II.1.2 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1.1 Tulang Belakang


Sumber ; Unairnews.com
Tulang Belakang secara medis dikenal sebagai columna vertebralis
(Malcolm, 2022). Rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur lentur yang
dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang.
Diantara setiap dua ruas tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan. Panjang
rangkaian tulang belakang pada orang dewasa mencapai 57 sampai 67
sentimeter. Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah
tulang terpisah dan 9 ruas sisanya dikemudian hari menyatu menjadi sakrum 5
buah dan koksigius 4 buah (Pearce, 2020). Tulang vertebra merupakan struktur
komplek yang secara garis besar terbagi atas 2 bagian. Bagian anterior tersusun
atas korpus vertebra, diskus intervertebralis (sebagai artikulasi), dan ditopang
oleh ligamentum longitudinale anterior dan posterior. Sedangkan bagian
posterior tersusun atas pedikel, lamina, kanalis vertebralis, serta prosesus
tranversus dan spinosus yang menjadi tempat otot penyokong dan pelindung
kolumna vertebrae. Bagian posterior vertebra antara satu dan lain dihubungkan
dengan sendi apofisial (faset). Stabilitas vertebra tergantung pada integritas
korpus vertebra dan diskus intervertebralis serta dua jenis jaringan penyokong
yaitu ligamentum (pasif) dan otot (aktif) (Pearce, 2020)

8
II.1.3 Etiologi
Penyebab paraparese inferior adalah sindrom klinis berupa berbagai
derajat disfungsi motorik, sensori, dan autonomy yang disebabkan oleh
peradangan fokal di medulla spinalis. Pasien biasanya mengalami kecacatan
karena cedera pada neural sensori, motorik dan autonomi di dalam medulla
spinalis (Anwar,2019). Paraparese dapat di sebabkan oleh suatu infeksi, satu
hingga dua segmen dari medulla spinalis dapat rusak secara sekaligus. Infeksi
langsung dapat terjadi melalui emboli septik (Japardi, 2021). Paraparese adalah
suatu keadaan berupa kelemahan pada ekstremitas.Paraparese bukan merupakan
suatu penyakit yang berdiri sendiri, namun merupakan suatu gejala, disebabkan
adanya kelainan patologis pada medulla spinalis (Ngastiyah, 2022). Kelainan-
kelainan pada medulla spinalis tersebut diantaranya adalah multiple sclerosis,
suatu penyakit inflamasi dan demyelinisasi yang di sebabkan oleh berbagai
macam hal. Diantaranya adalah mgenetik, infeksi dan virus dan faktor
lingkungan (Sudoyo, 2020) Selain itu paraparese juga dapat disebabkan oleh
tumor yang menekan medulla spinalis, baik primer maupun skunder. Juga dapat
disebabkan oleh kelainan vascular pada pembulu darah medulla spinalis, yang
bisa berujung pada stroke medulla spinalis (Iskandar, 2018). Semua keadaan
tersebut dapat menyebabkan terjadinya paraparese inferior yang apabila tidak
segera ditangani akan memperburuk keadaan penderita. Sehingga diagnosis dan
penanganan yang tepat pada kelainana-kelainan diatas di harapkan dapat
membantu penderita paraparese untuk mewujudkan kondisi yang optimal
(Iskandar, 2018).

II.1.4 Patofisiologi
Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah jarak
kortikospinalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada toto-otot
bagian tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi. Lesi transversal medulla spinalis
pada tingkat servikal, misalnya C5 dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada

8
otot-otot, kedua lengan yang berasal dari miotoma C6 sampai miotoma C8, lalu
otot-otot toraks dan abdomen serta seluruh otot-otot kedua ekstremitas (Bromley,
2018). Akibat terputusnya lintasan somatosensory dan lintas autonomy
neurovegetatif asendens dan desendens, maka dari tingakat lesi kebawah,
penderita tidak dapat melakukan buang air besar dan kecil, serta tidak
memperlihatkan reaksi neurovegetatif (Bromley, 2018). Lesi transversal yang
memotong medulla spinalis pada tingkat torakal atau tingkat lumbal atas
mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa dengan lesi yang terjadi
pada daerah servikal yaitu pada tingkat lesi terjadi gangguan motorik berupa
kelumpuhan LMN pada otot-otot yang merupakan sebagian kecil dari otot-otot
toraks dan abdomen, namun kelumpuhan yang terjadi tidak begitu jelas terlihat
dikarenakan peranan dari otot-otot tersebutkurang menonjol, hal ini dikarenakan
lesi dapat mengenai kornu anterior medulla spinalis. Dan dibawah tingkat lesi
dapat terjadi gangguan motoric berupa kelumpuhan UMN karena jaras
kortikospinal lateral segmen thorakal terputus (Apley, 2017). Gangguan fungsi
sensori dapat terjadi karena lesi yang mengenai kornu posterior medulla spinalis
maka akan terjadi penurunan fungsi sensibilitas dibawah lesi, sehingga penderita
berkurang merasakan adanya rangsangan taktil, rangsangan nyeri, rangsangan
thermal, rangsangan discrim dan rangsangan lokasi Gangguan fungsi autonomy
dapat terjadi karena terputusnya jaras ascenden spinothalamicu sehingga
inkotinensial urin dan inkotinensial alvi.Tingkat lesi transversal di medulla
spinalis mudah terungkap oleh batas defisit sensorik.Dibawah batas tersebut,
tanda-tanda UMN dapat ditemukan pada kedua tungkai secara lengkap (Apley,
2017).

II.I.4 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda yang sering dijumpai pada penderita dengan
paraparase akut adalah sebagai berikut:
1. Sensitivitas kulit pada kaki berkurang.
2. Nyeri dibagian ekstremitas bawah.

8
3. Kesulitan membungkuk dan meluruskan kaki.
4. Ketidak mampuan untuk menginjak tumit.
5. Kesulitan berjalan.
6. Goyah/mudah terjatuh.
Gejala ini mulai muncul dengan cepat dan pada saat yang sama
disimpan untuk waktu yang lama. Dalam kasus yang parah, paraparese dari
ekstremitas bawah pada orang dewasa bergabung dan disfungsi organ
panggul. Selain itu dapat didiagnosis kelemahan otot yang parah, manusia
menjadi apati, hamper tidak makan dan tidur perubahan suasana hati,
gangguan usus, peningkatan suhu tubuh dan mempengaruhi pertahanan
tubuh (Ngastiyah, 2018). Pada lansia penyakit ini didiagnosis dengan adanya
penyakit lain. Pada usia yang lebih tua, diagnosa harus baik dihapus atau di
komfirmasikan (Carpenito, 2016). Ketika lebih rendah spastik paraparese
orang merasakan apa-apa dikakinya yang terkena , dia sering dapat dibakar
atau menyakiti diri sendiri dan tidak ada itu tidak merasa. Oleh karena itu
orang-orang dengan gejala ini membutuhkan perawatan khusus dan
observasi (Hariyono S,2022)

II.2 Efusi Pleura


II.2.1 Pengertian Efusi Pleura
Pleura merupakan membran serosa yang melingkupi parenkim paru,
mediastinum, diafragma serta tulang iga; terdiri daripleura viseral dan pleura
parietal. Rongga pleura terisi sejumlah tertentu cairan yang memisahkan kedua
pleura tersebut sehingga memungkinkan pergerakan kedua pleura tanpa
hambatan 15 selama proses respirasi. Cairan pleura berasal dari pembuluh-
pembuluh kapiler pleura, ruang interstitial paru, kelenjar getah bening
intratoraks, pembuluh darah intratoraks dan rongga peritoneum. Jumlah cairan
pleura dipengaruhi oleh perbedaan tekanan antara pembuluh-pembuluh kapiler
pleura dengan rongga pleura sesuai hukum Starling serta kemampuan eliminasi
cairan oleh sistem penyaliran limfatik pleura parietal. Tekanan pleura merupakan

8
cermin tekanan di dalam rongga toraks. Perbedaan tekanan yang ditimbulkan
oleh pleura berperan penting dalam proses respirasi. Efusi pleura merupakan
keadaan terdapat cairan dalam jumlah berlebihan didalam rongga pleura. Pada
kondisi normal, rongga ini hanya berisi sedikit cairan (5 sampai 15 ml) ekstrasel
yang melumasi permukaan pleura. Peningkatan produksi atau penurunan
pengeluaran cairan akan mengakibatkan efusi pleura (Kowalk, 2018). Efusi
pleura merupakan pengumpulan cairan dalam ruang pleural yang terletak
diantara permukaan visceral dan parental, adalah proses penyakit primer yang
jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit
lain, secara normal ruang pleura mengandung sejumlah kecil cairan (5-15 ml)
berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak
tanpa adanya friksi (Smeltzer&Bare, (2022) dalam Putri, (2016)).

II.2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan

Gambar 1.2 Sistem Pernapasan


Sumber : (Tortorra and Derrickson, 2018 )

8
1. Hidung
Masuknya udara bermula dari hidung. Hidung merupakan organ pertama dalam
sistem respirasi yang terdiri dari bagian eksternal (terlihat) dan bagian internal. Di
hidung bagian eksternal terdapat rangka penunjang berupa tulang dan hyaline
kartilago yang terbungkus oleh otot dan kulit (Tortorra and Derrickson, 2018 ).
2. Faring
Faring, atau tenggorokan, adalah saluran berbentuk corong dengan panjang 13
cm. Dinding faring disusun oleh otot rangka dan dibatasi oleh membrane mukosa.
Otot rangka yang terelaksasi membuat faring dalam posisi tetap sedangkan apabila
otot rangka kontraksi maka sedang terjadi proses menelan. Fungsi faring adalah
sebagai saluran untuk udara dan makanan, menyediakan ruang resonansi untuk
suara saat berbicara, dan tempat bagi tonsil (berperan pada reaksi imun terhadap
benda asing (Tortorra and Derrickson, 2018 ).
3. Laring
Laring tersusun atas 9 bagian jaringan kartilago, 3 bagian tunggal dan 3 bagian
berpasangan. 3 bagian yang berpasangan adalah kartilago arytenoid, cuneiform,
dan corniculate. Arytenoid adalah bagian yang paling signifikan dimana jaringan
ini mempengaruhi pergerakan membrane mukosa (lipatan vokal sebenarnya) untuk
menghasilkan suara. 3 bagian lain yang merupakan bagian tunggal adalah tiroid,
epiglotis, dan cricoid. Tiroid dan cricoid keduanya berfungsi melindungi pita suara.
Epiglotis melindungi saluran udara dan mengalihkan makanan dan minuman agar
melewati esofagus (Peate and Nair, 2019).
4. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk
oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk
seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput lender yang berbulu
getar yang disebut bersilia, hanya bergerak kearah luar. Panjang trakea 9 sampai
11 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos (Peate
and Nair, 2019).
5. Bronkus

8
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah
yang terdapat pada ketinggian vertebrator akalis IV dan V, mempunyai struktur
serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu berjalan ke
bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru. Bronkus kanan lebih pendek dan
lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12
cincin mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil
disebut bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada
ujung bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli. (Peate
and Nair, 2019).

6. Paru-paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-
sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m².
Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2
dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih
700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan). Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru
kanan, terdiri dari 3 yaitu, lobus (belahan paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus
media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri, terdiri
dari pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari
belahan yang kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu
5 buah segmen pada lobus superior, dan 5 buah segmen pada inferior. Paru-paru
kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, 2 buah
segmen pada lobus medialis, dan 3 buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap
segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Di
antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi
pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat sebuah
bronkiolus (Peate and Nair, 2019).

9
II.2.3 Otot – Otot Pernapasan
Menurut Djojodibroto (2019), yang digolongkan ke dalam struktur
pelengkap sistem pernafasan adalah struktur penunjang ang diperlukan untuk
bekerjanya sistem pernafasan tersebut. Struktur pelengkap itu sendiri terdiri dari
costae dan otot, difragma serta pleura. Dinding dada atau dinding thoraks
dibentuk oleh tulang, otot, serta kulit. Tulang pembentuk dinding thoraks antara
lain costae (12 buah), vertebra thoracalis (12 buah), sternum , clavicula dan
scapula. Sementara itu, otot pembatas rongga dada terdiri dari:
1) Otot ekstremitas superior
a. Musculus pectoralis major
b. Musculus pectoralis minor
c. Musculus serratus anterior
d. Musculus subclavius
2) Otot anterolateral abdominal
a. Musculus abdominal oblicus externus
b. Musculus rectus abdominis
3) Otot thorax intrinsik
a. Musculus intercostalis externa
b. Musculus intercostalis interna
c. Musculus sternalis
d. Musculus thoracis transversus
Selain sebagai pembentuk dinding dada, otot skelet juga berfungsi
sebagai otot pernafasan. Menurut kegunaannya, otot- otot pernafasan dibedakan
menjadi otot untuk inspirasi, dimana otot inspirasi terbagi menjadi otot inspirasi
utama dan tambahan, serta otot untuk ekspirasi tambahan.
1) Otot inspirasi utama (principal) yaitu:
a. Musculus intercostalis externa
b. Musculus intercartilaginus parasternal
c. Otot diafragma.

20
2) Otot inspirasi tambahan (accessory respiratory muscle) sering juga disebut
sebagai otot bantu nafas terdiri dari:
a. Musculus sternocleidomastoideus
b. Musculus scalenus anterior
c. Musculus scalenus medius
d. Musculus scalenus posterior

II.2.4 Biomekanik Sistem Pernapasan


Inspirasi Ekspirasi
Diafragma turun Diafragma naik
Toraks membuka Toraks menutup
Volume intrathoracic meningkat Volume intrathoracic menurun
Tekanan intrathoracic menurun Tekanan intrathoracic meningkat

Pada saat inpirasi sendi kostotranversalis dan sendi kostovertebralis


akan mengadakan gerakan axis rotasi upward dan outward membentuk sudut
25-350 terjadi pada kostae I-VI dimana kostae akan elevasi, selain itu terjadi
torsio (putaran) pada sendi sternokostalis yang menyebabkan sternum forward
dan 19 upward. Cavitas thoracis akan melebar, diameter medial lateral
bertambah besar, angulus infrasternalis bertambah lebar, m. intercostalis juga
akan mengangkat ujung-ujung sterna arcus costalis sehingga corpus sternum
akan terdorong kearah ventral dan menyebabkan diameter anterior posteriornya
juga melebar. Spatium intercostalis akan lebih melebar. Diaphragma sangat
berperan pada saat inspirasi, pergerakan diafragma menyebabkan peninggian
costae dan menggerakakan sternum kedepan yang mengakibatkan pelebaran
rongga toraks sehingga udara dapat masuk ke dalam paru, dan diapragma akan
turun sampai level T8- T9 untuk mencegah tekanan visceral abdomen.
Pergerakan pada kostae sering disebut sebagai bucket handle atau pump handle
terjadi secara berturut-turut dan terjadi pada sendi kostovertebral, sendi

20
kostotransversa dan sendi sternocostalis. Pada pernafasan dangkal diaphragma
akan turun 1.5 cm dan pada pernafasan dalam akan turun lebih dari 10 cm
Proses ekspirasi terjadi secara pasif, kostae kembali ke posisi semula,
diameter medial lateral toraks kembali menyempit (ekstrinsik elastic recoil) dan
jaringan paru-paru kembali mengempis (instrinsik elastic recoil). (3) Otot yang
akan membantu pada saat terjadi ekspirasi paksa termasuk otot abdomen
disamping otot-otot toraks, beberapa otot yang berperan untuk menarik kostae
dan sternum sehingga ekspresi maksimal terjadi.

II.2.5 Epidemiologi Efusi Pleura


Saat ini inisidensi infeksi pleura mulai meningkat di semua kelompok
umur dan menjadi perhatian di seluruh dunia. Data ini telah terkonfirmasi oleh
penelitian di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan Asia (Light RW, 2013).
Walaupun penyakit ini dapat terjadi pada segala umur, tetapi paling sering
menyerang anakanak dan dewasa tua. Insidensi kasus ini ditemukan dua kali
lebih banyak pada lakilaki dibandingkan perempuan (Light RW, 2016).
Penelitian Nayak dkk di Kanada menunjukkan peningkatan kasus efusi pleura,
dimana pada tahun 1996 terdapat 2,9 kasus per 100.000 penduduk dan angka ini
meningkat menjadi 6,7 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2014. Kelompok
umur yang paling banyak menderita efusi pleura adalah kelompok usia 50-70
tahun (Nayak R, Brogly SB, Lajkosz K, Lougheed MD, 2020). Penelitian oleh
Grijalva dkk di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa secara keseluruhan,
angka rawat inap terkait efusi parapneumonia meningkat dari 3,04 per 100.000
pada tahun 1996 menjadi 5,98 per 100 000 pada tahun 2008, yang menunjukkan
terjadinya peningkatan 2,0 kali lipat. Rasio kematian kasus di rumah sakit secara
keseluruhan untuk rawat inap yang berhubungan dengan efusi parapneumonik
adalah relative sama pada tahun 1996-2008(Lai, Lin, & Liao, 2017), (Grijalva,
Zhu, Nuorti, & Griffin, 2021). Angka kematian akibat empyema di Utah,
Amerika Serikat, meningkat dua kali lipat pada tahun 2008, dengan peningkatan
kasus di semua kelompok umur (Light RW,2018)

20
II.2.6 Etiologi
Menurut Wijayaningsih (2018: 31) etiologi terjadinya efusi pleura yaitu:
1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan
seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediastinum,
sindroma meig (tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior.
2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis,
pneumonia, virus), bronkiektaksis, abses amuba subfrenik yang menembus ke
rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena
trauma. Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit
neoplastic, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh
sedikitnya satu dari lima mekanisme dasar, yaitu :
a. Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik.
b. Penurunan tekanan osmotic koloid darah.
c. Peningkatan tekanan negatif intrapleural.
d. Adanya inflamasi atau neoplastic pleura.
e. Peningkatan permeabilitas kapiler.
Menurut Berta &Puspita, (2015),Kriteria klasifikasi dari penyebab efusi
pleura merupakan :
a. Efusi Tuberkulosis Efusi pleura didiagnosis sebagai tuberkulosis apabila 21
terdapat 1 dari kriteria sebagai berikut:
1. terdapat nekrosis perkijuan pada biopsi pleura,
2. pewarnaan Ziehl – Neelsen atau kultur Lowenstein dari cairan pleura positif,
3. Pada pemeriksaan histologditemukan granuloma tanpa nekrosis perkijuan
dengan pemeriksaan sputum BTA positif.
b. Efusi Parapneumoni Didefinisikan sebagai efusi pleura disertai demam dan
batuk dan terdapat efusi pleura bersifat eksudatif
c. Efusi Maligna Efusi maligna didiagnosis dengan analisis sitologi atau
histologi terdapat Sel adenocarcinoma atau sel mesotelial.
d. Efusi Cardiac Efusi cardiac terdiagnosis apabila cairan bersifat transudat serta
terdapat tanda klinis gagal jantung pada pasien.

20
e. Efusi sirosis hepatis Efusi sirosis terdiagnosis apabila cairan bersifat transudat
serta terdapat tanda klinis sirosis hepatis pada pasien.
f. Efusi uremik Efusi uremik terdiagnosis pada penderita dengan gagal ginjal
dan ureum tinggi, atau pada pasien dengan ureum tinggi tanpa penyebab yang
jelas.
g. Efusi SLE (Systemic Lupus Eritematosus) Efusi pada SLE adalah efusi yang
terjadi pada pasien penderita SLE dengan kultur bakteri negatif.

II.2.7 Patofisiologi Efusi


Pleura Efusi pleura merupakan suatu keadaan dimana terjadi akumulasi
cairan pleura akibat dari transudasi atau eksudasi yang berlebihan pada paru
interstisial, pleura parietal atau cavum peritoneum atau absorbsi yang terganggu
dari pleura parietal limfatik. Pleura parietal yang melapisi rongga thorax
sedangkan pleura visceral yang menutup setiap paru-paru. Cairan pleura seperti
selaput tipis ada di antara pleura parietal dan pleura visceral yang memungkinkan
kedua permukaan tersebut 22 bergesekan satu sama lain selama respirasi dan
mencegah pemisahan thorak dan paru-paru.(Safitri, 2010) Penimbunan cairan
dalam rongga pleura disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, tuberkulosis
atau penyakit kardiovaskuler seperti gagal jantung, sindroma nefrotik bisa juga
disebabkan oleh keganasan dan perdarahan karena trauma atau terapi anti
koagulan. (Wirawan, 2015). Jenis efusi pleura dibagi menjadi dua kelompok, hal
ini penting untuk mengenali penyebabnya. (Iran JP, 2016) Klasifikasi efusi
pleura :
a. Efusi pleura transudat Akumulasi cairan non inflamasi dalam ruang
interstisial atau rongga pleura yang disebabkan oleh perubahan faktor sistemik
yang terjadi dalam paru-paru akibat dari perubahan tekanan hidrostatik dan atau
tekanan koloid atau penimbunan cairan, bukan akibat dari perubahan
permeabilitas pembuluh darah. Perubahan ini berhubungan dengan penyakit
jantung kongestif, sirosis hepatis, sindroma nefrotik dan hipoalbuminemia pada
pasien malnutrisi dan malabsorbsi. Ciri-ciri cairan transudat: Cairan jernih,

20
warna kuning muda, berat jenis < 1.015, tidak berbau, bekuan (- ) / negatif, ph >
7,31, protein < 3 g%, glukosa = plasma darah, kadar LDH < 200 I U, rivalta (-) /
negatif, hitung sel PMN sedikit, pewarnaan Gram (-) / negatif, BTA (-) /negatif,
kultur kuman (-) / negatif.(Hardjoeno, 2007).
b. Efusi pleura eksudat Cairan radang ekstravaskuler yang mempunyai
berat jenis tinggi (> 1.015) dengan kandungan protein yang lebih tinggi dari
transudat. Cairan radang ini dapat membeku karena mengandung fibrinogen
(Agus Fahmi Siregar, 2018). Penyakit yang bisa menyebabkan terjadinya eksudat
seperti infeksi, neoplasma atau keganasan, trauma atau kondisi
inflamasi.(Hamidie Ronald Daniel,2015) Ciri-ciri cairan eksudat: Cairan keruh,
warna kuning kehijauan/merah coklat/putih susu, berat jenis > 1.015, berbau,
bekuan (+) /positif, ph < 7,31, protein > 3 g%, glukosa < plasma darah, kadar
LDH > 200 I U, rivalta (+) /positif, hitung sel PMN banyak, pewarnaan Gram (+)
/positif.

II.3 Parameter Pemeriksaan


II.3.1Vital Sign
Metode yang paling umum untuk memantau dan mendokumentasikan
kesejahteraan atau kemunduran pasien sering melalui penilaian lima tanda-tanda
vital meliputi pengukuran tekanan darah (BP), saturasi oksigen darah (SpO2),
denyut nadi, laju pernapasan, dan suhu tubuh. Suhu tubuh normal untuk orang
dewasa adalah 36°-38° C (96.8°-100.4° F). Suhu tubuh ini dapat diukur dengan
alat thermometer (thermometer gelas, elektronik, timpani) dan berbagai rute (per
oral, rectal, axilla, tympani). Sedangkan suhu tubuh abnormal untuk dewasa adalah
40° C (104° F). Pada orang dewasa, kecepatan denyut nadi normal adalah 60-100
beats/min . Sedangkan denyut nadi abnormal adalah 130 beats/min. Untuk orang
dewasa, laju pernapasan normal adalah 12-20 breaths/min. Sedangkan laju
pernapasan abnormal adalah 26 breaths/min. Saturasi oksigen darah (SpO2)
normal untuk dewasa adalah 95- 100%. Sedangkan saturasi oksigen abnormal

20
adalah 200 mm Hg. Dan nilai diastolik abnormal 120 mm Hg (Sarotama and
Melyana, 2019).
II.3.2 Inspeksi
Inspeksi pasien dimulai segera setelah terapis memasuki ruangan.
inspeksi harus dilakukan secara sistematis, dimulai dari kepala dan dilanjutkan
ke kaudal. yang harus diperhatikan pada inspeksi termasuk ekspresi wajah, upaya
bernafas melalui hidung atau mulut, leher, dada dalam situasi istirahat dan
dinamis, postur dan posisi, serta ekstremitas. Perhatikan irama dan frekuensi
pernapasan. Dikenal berbagai tipe : Normal. Rate dewasa 8 – 16 x/menit dan anak
maksimal 44 x/menitTachypnoea.Cepat dan dangkal, penyebab : nyeri pleuritik,
penyakit paru restriktif, diafragma letak tinggi karena berbagai
sebab.Hyperpnoea hiperventilasi. Napas cepat dan dalam, penyebabnya: cemas,
exercise, asidosis metabolik, pada kasus koma ingat gangguan otak
(midbrain/pons). Pernapasan Kussmaul. Napas dalam dengan asidosis metabolik
Bradypnoea. Napas lambat, 24 karena depresi respirasi karena obat, tekanan
intrakranial meninggi. Napas Cheyne Stokes. Ada perioda siklik antara napas
dalam dan apnoe bergantian. Gagal jantung, uremi, depresi napas, kerusakan
otak. Meskipun demikian dapat terjadi pada manula dana anak- anak. Pernapasan
Biot . Disebut pernapasan ataxic, iramanya tidak dapat diramalkan, acap
ditemukan pada kerusakan otak di tingkat medulla. Sighing. “Unjal ambegan”,
menggambarkan sindrom hiperventilasi yang dapat berakibat pusing dan sensasi
„sesak napas‟, psikologik juga. Ekspirasi diperpanjang. Ini terjadi pada penyakit
paru obstruktif, karena resistensi jalan napas yang meningkat. Gerakan paru yang
tidak sama, dapat kita amati dengan melihat lapang dada dari kaki penderita,
tertinggal, umumnya menggambarkan adanya gangguan di daerah dimana ada
gerakan dada yang tertinggal. (tertinggal= abnormal). Dada yang lebih tertarik
ke dalam dapat karena paru mengkerut (atelectasis, fibrosis) pleura mengkerut
(schwarte) sedangkan dada mencembung karena paru mengembung (emfisema
pulmo) pleura berisi cairan (efusi pleura)Deformitas dan bentuk Dada normal
anak. Dada normal dewasa Dada bentuk tong. Diameter antero-post memanjang

20
– usila, kifosis, emfisema paru disebut juga barrel chestDada bentuk corong.
Funnel chest, pectus excavatum, lekuk di sternum bawah yang dapat membuat
kompresi jantung dan vasa besar - bising Dada Burung. pigeon chest, pectus
carinatum,dada menjorok ke depan Dada kifoskoliosis. Dada mengikuti
deformitas punggung, terjadi distorsi alat dalam yang sering mengganggu
interpretasi dapatan diagnosis fisik.

II.3.3 Palpasi
1. Dengan palpasi ini diharapkan kita dapat menilai semua kelainan pada
dinding dada (tumor, benjolan, muskuloskeletal, rasa nyeri di tempat
tertentu, limfonodi, posisi trakea serta pergeserannya, fraktur iga, ruang
antar iga, fossa supraklavikuler, dsb) serta gerakan, excursion dinding dada.
2. Lingkarkan pita ukur (ukur sampai 0.5 cm ketelitian) sekitar dada dan nilai
lingkar ekspirasi dan lingkar inspirasi dalam, yang menggambarkan
elastisitas paru dan dada.
3. Untuk ini diperlukan penggunaan dua tangan ditempatkan di daerah yang
simetris, kemudian dinilai. Pada waktu pasien bernapas dalam :
a. Tangan diletakkan di bagian depan dada) maka amati gerakan dada
simetriskah, (tangan ditaruh di dada samping) gerakan tangan kita naik turun
secara simetris apa tidak, (tangan ditaruh di dada belakang bawah) gerakan
tangan ke lateral di bagian bawah atau tidak. Gerakan dinding dada
maksimal terjadi di bagian depan dan bawah.
b. Pada waktu melakukan palapasi kita gunakan juga untuk memeriksa
fremitus taktil. Dinilai dengan hantaran suara yang dijalarkan ke permukaan
dada dan kita raba dengan tangan kita.

20
III.3.4 Fremitus

1) Pasien diminta mengucapkan dengan suara dalam, misalnya


mengucapkan sembilan puluh sembilan (99) atau satu-dua-tiga dan rasakan
getaran yang 26 dijalarkan di kedua tangan saudara.
a. Fremitus akan meninggi kalau ada konsolidasi paru (misal : pneumonia,
fibrosis)
b. Fremitus berkurang atau menghilang apabila ada gangguan hantaran ke
dinding dada (empiema, penebalan pleura, tumor, pneumothorax)
2) Apabila jaringan paru yang berisi udara ini menjadi kurang udaranya
atau padat,suara yang dijalarkan ke dinding dada lewat cabang bronkus yang
terbuka ini melemah. Suara dengan nada tinggi (high-pitched sounds) yang
biasanya tersaring terdengar lebih jelas. Keadaan ini ditemukan di permukaaan
dari jaringan paru yang abnormal. Perubahan ini dikenal sebagai: suara bronchial,
bronchophonie, egophony dan suara bisikan (whispered pictoriloqui). Untuk
mudahnya dikatakan : suara bronchial dan vesikuler mengeras. Hal ini dapat
dirasakan dengan palpasi (fremitus taktil) atau didengar dengan auskultasi.
3) Pengukuran sesak adalah hal yang urgen bagi pasien. Salah satunya
adalah dengan Dyspnea Severerity Scale (DSS). Dyspnea Severerity Scale
parameter :skor dispnea,yang berdasarkan penilaian pasien memiliki
subyektifitas dan komponen afektif,, oleh karena itu skor dispnea-nya dapat
membuat ambigu. Dyspnea Severerity Scale adalah untuk mengembangkan dan
memvalidasi sistem penilaian sederhana untuk mengevaluasi tingkat keparahan

20
dispnea dalam keadaan darurat perawatan, berdasarkan parameter yang diukur
secara objektif. (Gondos et al. 2017).

III.3.5 Perkusi

Tujuan perkusi dada dan paru ini ialah untuk mencari batas dan
menentukan kualitas jaringan paru-paru. Perkusi dapat cara : direk : langsung
mengetuk dada atau iga - cara klasik Auenbrugger) atau indirek: ketukan pada
jari kiri yang bertindak sebagai plessimeter oleh jari kanan. Di bagian depan
mulai di fossa supraclav. Terus ke bawah, demikian juga pada bagian belakang
dada. Ketukan perkusi dapat keras atau lemah. Makin keras makin dalam suara
dapat “tertembus‟. Misalnya untuk batas paru bawah yang jaringan parunya
mulai menipis, dengan perkusi keras maka akan terkesan jaringan di bawahnya
sedangkan dengan perkusi lemah maka masih terdeteksi paru yang tipis ini
sehingga masih terdengar suara sonor. Dengan perkusi dapat terdengar beberapa
kemungkinan suara :
1) Suara sonor (resonant) : suara perkusi jaringan paru normal.
2) Suara memendek (suara tidak panjang)
3) Suara redup (dull), ketukan pada pleura yang terisi cairan, efusi pleura
4) Suara timpani (tympanic) seperti ketukan di atas lambung yang kembung
5) Suara pekak (flat), seperti suara ketukan pada otot atau hati misalnya. Resonansi
amforik, seperti timpani tetapi lebih bergaung,

20
6) Hipersonor (hyperresonant) disini justru suara lebih keras, contoh pada bagian
paru yang di atas daerah yang ada cairannya, suara antara sonor dan timpani,
karena udara bertambah misalnya pada emfisema pulmonum, juga
pneumothorak. Perkusi dapat menentukan batas paru hati, peranjakan, batas
jantung relatif dan batas jantung absolut. Kepadatan (konsolidasi) yang tertutup
oleh jaringan paru lebih tebal dari 5 cm sulit dideteksi dengan perkusi. Kombinasi
antara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi banyak mengungkap patologi
paru. Perlu diingat bahwa posisi pasien (misalnya tidur miring) mempengaruhi
suara perkusi meskipun sebenarnya “normal”. Untuk menentukan batas paru
bawah gunakan perkusi lemah di punggung sampai terdengar perubahan dari
sonor ke redup, kemudian pasien diminta inspirasi dalam-tahan napas-perkusi
lagi sampai redup. Perbedaan ini disebut peranjakan paru (normal 2 – 3 cm).
Peranjakan akan kurang atau hilang pada emfisema paru, pada efusi pleura, dan
asites yang berlebihan. Untuk menentukan batas paru-hati lakukan hal yang sama
di bagian depan paru, linea medio clavicularis kanan. Perkusi hendaknya dimulai
di tempat yang diduga sehat (dari inspeksi dan palpasi) menuju ke bagian yang
diduga sakit. Untuk lebih meyakinkan, bandingkan dengan bagian yang
kontralateral. Batas-batas kelainan harus ditentukan. Perkusi untuk menentukan
apex paru (Kronig’s isthmus) dilakukan dengan cara melakukan perkusi di
pundak mulai dari lateral ke arah medial. Suara perkusi dari redup sampai sonor,
diberi tanda. Kemudian perkusi dari medial (leher) ke lateral sampai terdengar
sonor, beri tanda lagi. Diantara kedua tanda inilah letaknya apex paru. Pada orang
sehat lebarnya 4-6 cm. Pada kelainan di puncak paru (tuberculosis atau tumor)
daerah sonor ini menyempit atau hilang (seluruhnya redup). Pada perkusi efusi
pleura dengan jumlah ciran kira-kira mengisi sebagian hemitoraks (tidak terlalu
sedikit dan juga tidak terlalu banyak) akan ditemukan batas cairan (keredupan)
berbentuk garis lengkung yang berjalan dari lateral ke medial bawah yang disebut
garis Ellis- Damoiseau. Pada perkusi di kiri depan bawah akan terdengar suara
timpani yang berbentuk setengah lingkaran yang disebut daerah semilunar dari
Traube. Daerah ini menggambarkan lambung (daerah bulbus) terisi udara.

20
III.3.6 Auskultasi

Untuk auskultasi digunakan stetoskop, sebaiknya yang dapat masuk


antara 2 iga (dalam ruang antar iga). Urutan pemeriksaan seperti pada perkusi.
Minimal harus didengar satu siklus pernapasan (inspirasi- ekspirasi). Bandingkan
kirikanan pada tempat simetris.
Umumnya fase inspirasi lebih panjang dan lebih jelas dari ekspirasi.
Penjelasan serta perpanjangan fase ekspirasi mempunyai arti penting. Kita mulai
dengan melukiskan suara dasar dahulu kemudian melukiskan suara
tambahannya. Kombinasi ini, bersama dengan palpasi dan perkusi memberikan
diagnosis serta diferensial diagnosis penyakit paru.
Suara dasar : Vesikuler: Suara paru normal, inspirium > ekspirium serta
lebih jelas Vesikuler melemah : Pada bronchostenose, emfisema paru,
pneumothorak, eksudat, atelektase masif, infiltrat masif, tumor. Vesikuler
mengeras: Terdengar lebih keras. Vesikuler mengeras dan memanjang: Pada
radang, Bronchial: Ekspirasi lebih jelas, seperti suara dekat trachea, dimana paru
lebih padat tetapi bronchus masih terbuka (kompresi, radang), Amforik: Seperti
bunyi yang ditimbulkan kalau kita meniup diatas mulut botol kososng sering
pada caverne. Eksipirasi Jelas. Suara tambahan : Ronchi kering (bronchitis
geruis, sonorous, dry rales). Pada fase inspirasi maupun ekspirasi dapat nada
tinggi (sibilant) dan nada rendah (sonorous) rhonchi, rogchos berarti ngorok‟.
Sebabnya ada getaran lendir oleh aliran udara. Dengan dibatukkan sering hilang
atau berubah 30 sifat.Rhonchi basah (moist rales). Timbul letupan gelembung

20
dari aliran udara yang lewat cairan. Bunyi di fase inspirasi. Ronkhi basah halus
(suara timbul di bronchioli), ronkhi basah sedang (bronchus sedang), ronkhi
basah kasar (suara berasal dari bronchus besar). ronkhi basah meletup. Sifatnya
musikal, khas pada infiltrat, pneumonia, tuberculosis. Krepitasi. Suara halus
timbul karena terbukanya alveolus secara mendadak, serentak terdengar di fase
inspirasi. (contoh: atelectase tekanan) Suara gesekan (wrijfgeruisen, friction-
rub). Ada gesekan pleura dan gesek perikardial sebabnya adalah gesekan dua
permukaan yang kasar (mis: berfibrin) Ronkhi basah sering juga disebut sebagai
crackles, rhonchi kering disebut sebagai wheezes dan gesek pleura atau gesek
perikard sebagai pleural dan pericardial rubs.

III.3.7 Visual Analog Scale (VAS)


Visual analog scale (VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan
untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi
tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili
sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter.
Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan
deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang
lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat
vertikal atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala
hilangnya/reda rasa nyeri. Digunakan pada pasien anak >8 tahun dan dewasa.
Manfaat utama VAS adalah penggunaannya sangat mudah dan sederhana.
Namun, untuk periode pasca bedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS
memerlukan koordinasi visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi

20
III.3.8.Index Barthel Indeks
Barthel adalah suatu indeks untuk mengukur kualitas hidup seseorang
dilihat dari kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (Activity of
Daily Living, ADL) secara mandiri (Shafi'i, Sukiandra, & Mukhyarjon, 2016).
Indeks Barthel berfungsi mengukur kemandirian fungsional dalam hal
perawatan diri dan mobilitas serta dapat juga digunakan sebagai kriteria dalam
menilai kemampuan fungsional bagi pasien-pasien yang mengalami gangguan
keseimbangan. Tingkat kemandirian diklasifikasikan menjadi 10 indikator
(Hermansyah, Lina, & Aminoto, 2017). 10 indikator yaitu makan, mandi,
Perawatan diri (Grooming), berpakaian, buang air besar, buang air kecil,
penggunaan toilet, Transfer (Berpindah), Mobilisasi (Bergerak), dan naik turun
tangga ini diperoleh dari pengkajian dengan Indeks Barthel (Idris & Estherine,
2016).

20
Keterangan interpretasi
skor : 0-20 : Ketergantungan penuh
21-60 : Ketergantungan berat
61-90 : Ketergantungan moderat
91 – 99 : Ketergantungan ringan
100 : Mandiri

III.3.9.Pengukuran Sangkar Thorak


Pengukuran sangkar thorak di ukur menggunaka metter line dengan titik
patokan yaitu lingkar axilla, ics4, dan xypoideus dengan pemberian modalitas
fisioterapi yaitu Breathing exeercise dan mobilisasi sangkar thorakExercise
yang didesain untuk melatih otot – otot pernapasan dan mengembalikan
distribusi ventilasi, membantu mengurangi kerja otot pernapasan dan
membenarkan pertukaran gas serta oksigen menurun (Norpiandi,2011).
Pengukuran pada 3 titik tersebut masing-masing diukur denganmengambil
selisih antara lingkar dada saat inspirasi maksimal dan lingkar dada saat
ekspirasi maksimal (Adachi et al., 2015). Wilmor dan Costill (2005, dalam
Fitriyanti, 2013) mengemukakan bahwa apabila perbedaan ukuran lingkar dada

20
pada saat inspirasi maksimal dan ekspirasi maksimal hanya sedikit, maka
keadaan ini berarti paru-paru dapat berkembang namun hanya sedikit saja. Nilai
ekspansi dada dinyatakan tidak normal apabila bernilai kurang dari 3 cm. Pryor
dan Prasad (2008) menyebutkan bahwa nilai normal ekspansi dada adalah 3-
5cm. Hal ini sependapat dengan O’connel et al., (2011) dalam bukunya “Special
Tests of the Cardiopulmonary, vascular and Gastrointestinal System” yang juga
menyebutkan bahwa nilai normal ekspansi dada hanya berkisar 3-5 cm . Selain
itu, Latihan yang diberikan terapis berupa mobilisasi sangkar thorak dapat
meningkatkan volume inhalasi dan membantu meningkatkan aliran udara
masuk melalui saluran ventilasi colateral. Latihan sangkar thorak yang
dilakukan seacara verbal dan stimulasi taktil, penguluran secara cepat dan
ditambah tahanan yang diberikan melalui tangan terapis dengan mengambil
keuntungan memanjangnya ketegangan secara optimal pada oto otot inspirasi
sehingga dapat memperbaiki inspirasi maksimal (Suseno,2021).

III.3.10.Intervensi fisioterapi
1) Terapi Latihan
Terapi latihan atau exercise therapy merupakan latihan yang sistematik,
terencana dari gerakan tubuh maupun aktivitas fisik dengan tujuan mencegah
kerusakan fungsi, mencegah faktor resiko kesehatan, mengoptimalkan status
kesehatan dan kebugaran serta meningkatkan kemampuan fungsional (Kisner
dan Colby, 2017). Dari sejumlah pendekatan fisioterapi pada pasien stroke,
pendekatan yang umum digunakan yaitu Bobath dan Propioceptive
Neuromuscular Facilitation (PNF) (Abdullahi et al., 2016).
2) Breathing control
Dalam pernapasan normal, 70-80% pekerjaan dilakukan oleh diafragma (otot
pernapasan utama di bawah jantung dan paru-paru), dan merupakan cara
bernapas yang paling hemat energi dan santai. Metode pernapasan ini hemat
energi karena sebagian besar area yang mengonsumsi oksigen yang kita hirup
berada di bagian bawah paru-paru dekat diafragma. Orang dengan penyakit

20
paru-paru sering bernapas dari bagian atas paru-paru mereka. Ini adalah cara
bernapas yang tidak efektif. Kontrol pernapasan hanyalah pernapasan biasa,
menggunakan dada bagian bawah, dengan relaksasi dada bagian atas dan
bahu. a. Untuk melatih pengendalian napas, Anda harus berada dalam posisi
yang nyaman dan tertopang dengan baik. Fisioterapis akan memberi tahu
Anda tentang posisi terbaik b. Letakkan tangan dengan lembut di atas perut
dan jaga agar bahu dan dada tetap rileks. Biarkan tangan Anda terangkat
perlahan saat Anda menarik napas. c. Rasakan perut Anda naik perlahan dan
biarkan udara keluar. Penting untuk rileks saat Anda mengeluarkan napas. d.
Jaga agar leher dan bahu Anda tetap rileks e. Dengan cara ini dapat membuat
pernapasan lebih efisien dan dengan demikian meningkatkan kualitas
pernapasan.

3). Tapotement dan Vibrasi Chest


Tapotement merupakan gerakan pukulan ringan yang dilakukan secara
berirama yang ditujukan pada bagian yang berdaging. Tujuannya adalah
mendorong atau memudahkan sirkulasi darah dan mendorong keluar sisasisa
pembakaran dari tempat persembunyiannya dengan kepalan tangan, jari lurus,
setengah lurus atau dengan telapak tangan yang mencekung, dengan
dipukulkan ke bagian otot-otot besar seperti otot punggung. Vibrasi Chest
dengan menggetarkan sangkar dada, diberikan setelah pemberian postural
drainage dan aplikasi tapotement, vibrasi digunakan untuk meningkatkan dan
mempercepat aliran sekret di dalam paru. Vibrasi 35 dilakukan pada saat
pasien ekspirasi, dimana sebelumnya pasien diminta tarik napas dalam
kemudian saat ekspirasi diberikan vibrasi sampai akhir ekspirasi. Dengan
frekuensi 4-5 kali getaran.

20
BAB III
LAPORAN KASUS
III.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. U
Ttl : 20 Mei 1949
No RM : 00-39-75-91
Usia : 71 Tahun
Jenis kelamin : laki laki
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Alamat : Gandaria 1407
Hobi :-
Diagnosa medis : paraparase e.c degenerasi vertebra lumbal & efusi
pleura bilateral

III.2 Anamnesa (Auto Anamnesa)


a. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan kedua kakinya lemas dan tidak dapat di gerakan yang
disertai dengan sesak nafas sejak 1 bulan yang lalu
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada tanggal 5 april 2023 di pagi pada pukul 09.00 pasien mengeluhkan sakit
pada perut dan sulit untuk BAB disertai adanya mual dan sesak nafas, kemudian
pada malam hari puku 20.00 saat pasien hendak mengambil minum tiba-tiba
pasien merasa kedua kakinya lemah dan tidak dapat digerakan sehingga pasien
terjatuh dan ditemukan keluarga dengan posisi duduk bersandar, pada pukul
23.00 pasien dibawa oleh keluarganya ke RSUD KOJA. Pasien sempat
ditangani di IGD RSUD KOJA lalu setelah itu di pindahkan ke ruang rawat
inap lantai 14 gedung D, pada tangggal 6 april 2023 pasien merasa sesak dan
langsung diberikan alat bantu berupa oksigen, setelah di rawat inap selama 5
hari akhirnya di beri penanganan fisioterapi dengan hasil belum adanya
perubahan, setelah diberi penanganan fisioterapi selama terapi sebanyak 3x
pasien baru merasa penurunan pada sesak nafas yang dirasakan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Gerd : Pasien menderita gerd sudah dari tahun 2019

20
d. Riwayat Sosial
Pasien tinggal Bersama anak dan istinya
e. Riwayat Penyakit Penyerta
-
f. Riwayat Penyakit Keluarga
-
g. Riwayat Penggunaan Obat
- OMZ 2x1
- methylcotal
h. Status psikologis (interpersonal & intrapersonal)
- Interpersonal: Pasien memiliki semangat untuk sembuh kembali terlihat
dari antusias selama menjalani fisioterapi.
- Intrapersonal: Keluarga pasien selalu sabar menemani pasien dalam
menjalani fisioterapi. Keluarga selalu memberikan dukungan dan motivasi
kepada pasien.
III.3 Pemeriksaan
Tanggal Pemeriksaan : 10 April 2023
1. Pemeriksaaan Umum
a. Kesadaran : Composmentis
b. Tekanan Darah : 121/80 Mmhg
c. Nadi : 99x/menit
d. Nafas : 25x/menit
e. Saturasi Oxigen : 80%
f. Suhu : Afebrish
2. Inspeksi
a. Statis :
a) Posisi Half Lying
b) Menggunakan alat bantu pernapasan
c) Menggunakan infus pada tangan kanan
- Tampak Anterior

20
o Konjungtiva pucat
o Gerakan pada cuping dan hidung normal
o Bibir pucat (sianosis)
o Shoulder asimetris ( bahu kiri lebih sedikit rendah di
banding bahu kanan)
o Thoracal breathing
o Semifleksi knee dextra dan sinistra
o Clubbing finger (-)

- Tampak Lateral
o Shoulder protaksi
o Kurva vertebra normal

- Tampak Posterior
o Shoulder asimetris ( bahu kiri lebih sedikit rendah di
banding bahu kanan)
o Thoracal breathing
o Semifleksi knee dextra dan sinistra
b. Dinamis
Ambulasi : Membutuhkan bantuan dari keluarga atau orang lain
Transfer : membutuhkan bantuan dari keluarga atau orang lain

3. Palpasi
- Gerak Napas : Thoracal Breathing
- Nyeri Dada : (+) Ada nyeri dada saat pasien inspirasi dan
ekspirasi napas
- Nyeri Tekan : (+) Ada nyeri di bagian M. Pectoralis Mayor
Bilateral
- Odema (di sekitar arteri radialis)
- Spasme di otot otot pernapasan :

20
o M. Pectoralis Mayor : (+) Bilateral
o M. Upper Trap : (+) Bilateral
o M. Sternocleidomastoideus : (+) Bilateral

4. Pemeriksaan Nyeri
Pemeriksaan nyeri menggunakan skala VAS
1) Nyeri Gerak : 3/10 pada saat Gerakan aktif full ROM fleksi dan ekstensi
shoulder sinistra
2) Nyeri Tekan : 2/10 pada M.Upper Trap dan M. Pectoralis Mayor
3) Nyeri Diam : (-) Tidak Ada
4) Onset Nyeri : saat gerakan aktif full ROM

5. Perkusi
Pemeriksaan Perkusi Dextra Sinistra
Upper Dullness Dullness
Middle Dullness Dullness
Lower Sonor Dullness

6. Auskultasi
a) Crackles : (-) tidak ada
b) Wheezing : (-) tidak ada
c) Rochi : (+) pada segmen dada upper dan middle anterior bilateral

7. Pemeriksaan Ekspansi Thoraks


Inspirasi Ekspirasi Selisih

Axilla ( Upper ) 85 cm 87 cm 2 cm

ICS 5 ( Middle) 88 cm 90 cm 2 cm

Xypoideus (Lower) 90 cm 91 cm 1 cm
-

20
8. Pemeriksaan Sesak Napas (Skala Brog Scale)
- 5 (berat)

9. Pemeriksaan Lingkup Gerak Sendi dan Kekuatan Otot


- Pemeriksaan Lingkup Gerak Sendi
Kanan Kiri ROM Normal
Cervical
Ekstensi/Fleksi S: 45° – 10° – 40° S: 45° – 0° – 40°
Lateral Fleksi F: 35° – 0° – 35° F: 35° – 0° – 35° F: 45° – 0° – 45°
Rotasi R: 50° – 0° – 50° R: 50° – 0° – 50° R: 50° – 0° – 50°

Thoracal/Lumbal
Ekstensi/Fleksi Tidak dilakukan S: 30° – 0° – 85°
Lateral Fleksi F: 30° – 0° – 30°
Rotasi R: 45° – 0° – 45°

Shoulder
Ekstensi/Fleksi S: 30° – 0° – 75° S: 30° – 0° – 65° S: 30° – 0° – 85°
Abduksi/Adduksi F: 170° – 0° – 65° F: 110° – 0° – 55° F: 170° – 0° – 75°
Eksorotasi/Endorotasi R: 90° – 0° – 80° R: 90° – 0° – 80° R: 90° – 0° – 80°

Elbow
Ekstensi/Fleksi S: 0° – 0° – 150° S: 0° – 40° – 130° S: 0° – 0° – 150°
Supinasi/Pronasi R: 90° – 0° – 80° R: 90° – 0° – 80° R: 90° – 0° – 80°

Wrist
Ekstensi/Fleksi S: 50° – 0° – 60° S: 50° – 0° – 60° S: 50° – 0° – 60°
Palmar/Dorsal Fleksi F: 20° – 0° – 30° F: 20° – 0° – 30° F: 20° – 0° – 30°

Hip (Pasif)
Ekstensi/Fleksi S: 15° – 0° – 120° S: 15° – 0° – 115° S: 15° – 0° – 125°
Eksorotasi/Endorotasi R: 45° – 0° – 45° R: 40° – 0° – 40° R: 45° – 0° – 45°
Abduksi/Adduksi F: 45° – 0° – 15° F: 45° – 0° – 10° F: 45° – 0° – 15°

20
Knee (Pasif)
Ekstensi/Fleksi S: 0° – 0° – 125° S: 0° – 5° – 125° S: 0° – 0° – 135°

Ankle (Pasif)
Plantar fleksi/Dorsal S: 20° – 0° – 30° S: 20° – 0° – 30° S: 20° – 0° – 35°
Fleksi
Eversi/Inversi R: 30° – 0° – 15° R: 25° – 0° – 15° R: 30° – 0° – 20°

- Pemeriksaan Kekuatan Otot


Kanan Kiri
Cervical
Ekstensi/Fleksi 5 5
Lateral Fleksi 4 4

Thoracal/Lumbal
Ekstensi/Fleksi 0 0
Lateral Fleksi 0 0

Shoulder
Ekstensi/Fleksi 4 4
Abduksi/Adduksi 4 4

Elbow
Ekstensi/Fleksi 4 4
Supinasi/Pronasi 4 4

Wrist
Ekstensi/Fleksi 4 4
Palmar/Dorsal Fleksi 4 4

Hip (Pasif)
Ekstensi/Fleksi 0 0
Eksorotasi/Endorotasi 0 0
Abduksi/Adduksi 0 0

Knee (Pasif)
Ekstensi/Fleksi 0 0

20
Ankle (Pasif)
Plantar fleksi/Dorsal 0 0
Fleksi
Eversi/Inversi 0 0

10. Test Spesifik


1. Fremitus : Vibrasi meredup pada segmen dada Middle dan Lower Dextra
Sinistra
2. Kesimetrisan pengembangan dada
a. Upper : Simetris
b. Middle : Asimetris ( Dada tidak mengembang maksimal)
c. Lower : Asimetris (Dada tidak mengembang maksimal)
3. Test sensibilitas
a. Upper extremitas : (-) tidak ada gangguan sensibilitas
b. Lower extremitas : (+) ada gangguan sensibilitas

11. Pemeriksaan Kemampuan Fungsional


Hasil pemeriksaan kemampuan fungsional pasien menggunakan
Barthel indeks menunjukan hasil “ketergantungan total” dengan jumlah
poin 10. Adapun penilaian indeks Barthel yang didapatkan adalah sebagain
berikut:
No. Aktivitas Nilai
Makan
1 0: tidak mampu
5
2 5: dibantu (makanan dipotong-potong dahulu)
3 10: Mandiri
Mandi
4 0: dibantu 0
5 5: mandiri (menggunakan shower)
Personal Hygiene (cuci muka, menyisir rambut, bercukur
jenggot, gosok gigi)
0
6 0: dibantu
7 5: mandiri

20
Berpakaian
8 0: dibantu seluruhnya
9 5: dibantu Sebagian 5
10 10: mandiri (termasuk mengancing baju, memakai tali sepatu,
dan restleting)
Buang Air Besar (BAB)
11 0: tidak dapat mengontrol (perlu diberikan enema)
0
12 5: kadang mengalami kecelakaan
13 10: mampu mengontrol BAB
Buang Air Kecil (BAK)
14 0: tidak dapat mengontrol BAK, dan menggunakan kateter
0
15 5: kadang mengalami kecelakaan
16 10: mampu mengontrol BAK
Toileting /ke kamar kecil
17 0: dibantu seluruhnya
18 5: dibantu Sebagian 0
19 10: mandiri (melepas atau memakai pakaian, menyiram WC,
membersihkan organ kelamin)
Berpindah (dari tempat tidur ke kursi, dan sebaliknya)
20 0: tidak ada keseimbangan untuk duduk
21 5: dibantu satu atau dua orang, dan bisa duduk 0
22 10: dibantu (lisan atau fisik)
23 15: mandiri
Mobilisasi (berjalan di permukaan datar)
24 0: tidak dapat berjalan
25 5: menggunakan kursi roda 0
26 10: berjalan dengan bantuan satu orang
27 15: mandiri
Naik dan turun tangga
28 0: tidak mampu
0
29 5: dibantu menggunakan tongkat
30 10: mandiri
TOTAL KESELURUHAN 10
Keterangan:
0 – 20: ketergantungan total
21 – 61: ketergantungan berat/sangat tergantung
62 – 90: ketergantungan berat

20
91 – 99: ketergantungan ringan
100: mandiri

12. Pemeriksaan Penunjang


a. Tanggal Pemeriksaan : 13 April 2023
Long Size : 303903776
Tindakan : CT – SCAN Vertebra Thoracal
Gambar :

Kesan : Degenerative disc disease thoracal


b. Tanggal Pemeriksaan : 13 April 2023
Long Size : 5484086
Tindakan : Foto Thorax PA/AP/RLD

20
Gambar :

III. 4 Diagnosa Fisioterapi


1. Problematik Fisioterapi
a. Body Function and Impairment
- Keterbatasan Lingkup Gerak Sendi pada bagian Lower Extremitas
- Kelemahan pada anggota gerak lower extremitas
- Adanya sesak napas
- Adanya gangguan sensibilitas pada Lower Extremitas
- Penurunan kekuatan otot
- Postur tubuh Assimetris
- Penurunan Ekspansi Thorax
- Adanya Spasme pada M. Upper Trapezius, M. Pectoralis Mayor dan M.
Strenocleidomateous
b. Activity Limitation
Penurunan aktifitas fungsional yaitu pada malam hari pasien sulit untuk tidur
terlentang. dan beraktivitas berat.
c. Participation Restriction
- Pasien belum mampu mengikuti aktivitas sosial di lingkungan
rumah.

20
III. 5 Perencanaan Fisioterapi
1. Tujuan Jangka Pendek
- Meningkatkan Lingkup Gerak Sendi dan Kekuatan otot
- Mengurangi Sesak Napas
Meningkatkan Ekspansi Thoraks
- Mengurangi Spasme
-
2. Tujuan Jangka Panjang
- Meningkatkan kemampuan fungsional gerak dan kemampuan aktivitas
fungsional

3. Modalitas / Intervensi
- Breathing Control
Posisi pasien : Berbaring di atas bed
Posisi Fisioterapis : Disamping pasien
Prosedur :
F : 1x/hari
I : insipirasi 2x-ekspirasi 3x
T: 3-5 menit
R: 5x pengulangan
Tujuan : Untuk merelaksasi otot pernafasan dan membantu pola nafas
yang baik dengan cara :
a. Instruksikan pasien untuk memposisikan badannya senyaman mungkin
lalu minta pasien untuk meletakkan salah satu tangan di atas perut
b. Pasien diminta untuk menarik nafas melalui hidung secara perlahan
Kemudian minta pasien untuk menghembuskan secara perlahan melalui
mulut dengan perut yang dikempeskan
c. Lakukan pengulangan 5-8 kali atau sesuai dengan toleransi pasien.
- Stretching
Posisi pasien : Berbaring di atas bed

21
Posisi Fisioterapis : Disamping pasien
Prosedur :
F : 2x/hari,
T: 3-5 menit
R: 5x pengulangan
Tujuan : Untuk merileksasi otot – otot yang mengalami kekakuan
- ROM exc
Pasif Posisi fisioterapi: posisis fisioterapi berdiri di pinggir bed Posisi
pasien: half lying Cara: fisioterapi mengerakkan sendi pasien hingga full
ROM
4. Rencana Evaluasi
Evaluasi dilakukan setelah 4 pertemuan fisioterapi. Adapun kriteria keberhasilan
intervensi adalah sebagai berikut:
- Sesak berkurang
- LGS dan kekuatan otot meningkat
- Spasme berkurang
- Peningkatan Ekspansi Thorax

21
III.6 Intervensi Fisioterapi
1. Breathing Control
Breathing control adalah suatu teknik bernafas dengan menggunakan paru sisi
bawah dan menghindari atau meminimalkan penggunaan otot-otot bantu.
- Pursed Lip Breathing Exercise
Pursed lip breathing adalah latihan pernapasan dengan menghirup udara
melalui hidung dan mengeluarkan udara dengan cara bibir lebih dirapatkan atau
dimonyongkan dengan waktu ekshalasi lebih di perpanjang. Tujuan dilakukannya
Pursed Lip Breathing adalah membantu pasien untuk mengontrol pernapasan,
mencegah kolaps dan melatih otot-otot ekspirasi untuk memperpanjang ekshalasi
dan meningkatkan tekanan jalan napas selama ekspirasi, dan mengurangi jumlah
udara yang terjebak
- Diaphragmatic Breating Exercise
Diaphragmatic Breating Exercise adalah Teknik latihan pernapasan yang
menitik beratkan penggunaan otot diafragma saat melakukan pernapasan (inspirasi
dan ekspirasi). Pernapasan diafragmatik bertujuan membantu menggunakan
diafragma dengan benar selama pernapasan, dan bermanfaat untuk menguatkan
diafragma, menurunkan kerja pernapasan dengan memperlambat frekuensi
pernapasan, menurunkan kebutuhan oksigen, menggunakan kekuatan dan energi
yang lebih sedikit untuk bernapas.
2. Streching
Stretching merupakan suatu aktivitas meregangkan otot untuk
meningkatkan fleksibilitas otot dan jangkauan Gerakan persendian (Monayo, 2017).
Menurut The Croosfit Journal Article (2016) dalam Monayo (2017) mengemukakan
bahwa stretching sangat efektif dilakukan untuk meningkatkan fleksiblitas otot dan
sendi. Tujuan dilakukannya stretching adalah untuk mencegah kontraktur otot,
menjaga fleksibilitas dari otot dan sendi.

21
3. ROM exercise
Range of motion (ROM) berarti jangkauan atau batas dimana bagian tubuh
dapat digerakkan di sekitar sendi atau titik tetap; totalitas gerakan yang mampu
dilakukan oleh sendi. Rentang gerak sendi diukur selama ROM pasif (dibantu)
PROM atau ROM aktif (independen) AROM .
a. ROM biasanya dinilai selama penilaian terapi fisik atau pengobatan. Nilai
normal bergantung pada bagian tubuh, dan variasi individu.
b. Tujuan latihan ROM adalah mencegah perkembangan pemendekan otot
adaptif, kontraktur, dan pemendekan kapsul, ligamen, dan tendon. Latihan
ROM juga memberikan stimulasi sensorik.
Terdapat pla beberapa jenis ROM antara lain :
1. Rentang gerak pasif (PROM) adalah ROM yang dicapai ketika kekuatan
luar (seperti terapis atau mesin CPM ) secara eksklusif menyebabkan
pergerakan sendi dan biasanya merupakan rentang gerak maksimum yang
dapatdigerakkan oleh sendi. Biasanya dilakukan ketika pasien tidak mampu
atau tidak diperbolehkan untuk menggerakkan bagian tubuh.
2. Rentang gerak dengan bantuan aktif (AAROM) adalah saat sambungan
menerima bantuan parsial dari kekuatan luar. Biasanya dilakukan saat
pasien membutuhkan bantuan gerakan dari kekuatan eksternal karena
kelemahan, nyeri, atau perubahan tonus otot
3. Rentang gerak aktif (AROM) adalah ROM yang dapat dicapai saat otot
lawan berkontraksi dan rileks, menghasilkan gerakan sendi. Misalnya,
rentang gerak aktif untuk memungkinkan siku menekuk membutuhkan otot
bisep berkontraksi sementara otot trisep berelaksasi. Rentang gerak aktif
biasanya kurang dari rentang gerak pasif. Biasanya dilakukan oleh pasien
secara mandiri dan ketika pasien mampu secara sukarela berkontraksi,
mengontrol, dan mengkoordinasikan suatu gerakan.

21
4. Latihan Ekspansi Thorax
Latihan napas yang bertujuan untuk mengatur frekuensi danpola napas,
memperbaiki fungsi diafragma,memperbaiki mobilitas sangkarthorak dan
mengatur kecepatan pernapasan sehingga bernapas lebih efektif.
5. Home Program dan Edukasi
Edukasi diberikan kepada pasien dan keluarga pasien, yaitu :
1. Edukasi agar pasien tetap breathing exercise selama dirumah
2. Pasien juga disarankan untuk berolahraga ringan seperti jalan santai dan
bersepeda santa

III. 7 Evaluasi Fisioterapi


a. Pemeriksaan sesak Napas
T1 T2 T3
Borg Scale 5 (Ringan) 5 (Sangat 3 (Sangat
ringan) ringan)

b. Pemeriksaan ekspansi thorax


T1 T2 T3
Axila (upper) 2 cm 2 cm 2 cm
ICS 5 (middle) 2 cm 2 cm 2 cm
Xypoideus 1 cm 1 cm 2 cm
(Lower)

c. Pemeriksaan Lingkup Gerak Sendi


Tidak terdapat perubahan

21
d. Pemeriksaan Kemampuan Fungsional Tidak terdapat perubahan nilai tetap
10 ( ketergantungan total)

III. 8 Prognosa
Pasien pulang tanpa kita ketahui, dan kita menduga terdapat 2 kemungkinan
yang pertama pasien di rujuk ke RSPAD dan kedua pasien pulang atas kemauan diri
sendiri.

21
BAB IV
PEMBAHASAN

IV.1 Hasil penatalaksanaan Fisioterapi


Berdasarkan evaluasi dari hasil intervensi menggunakan Streching, Breathing
Control, & ROM Exercise yang dilakukan selama 3 kali mulai tanggal 10 April 2023
sampai 13 April 2023 dengan permasalahan adanya keterbatasan LGS pada lower
extremity, penurnan kekatan otot, adanya sesak napas, adanya spasme pada M.
Pectoralis Mayor, M. Upper Trapezius, dan M. Sterno Cleido Mastoiddes, adanya
penurunan ekspansi thoraks, adanya nyeri dada saat inspirasi dan ekspirasi pada pasien
Tn.U usia 71 tahun dengan diagnosa paraparase e.c degenerasi vertebra lumbal & efusi
pleura bilateral sudah menunjukan adanya peningkatan khususnya pada Ekspansi
Thoraks, penurnan skala sesak nafas dan penrnan pada sapasme.
Pada permasalahan diatas, penulis melakukan menggunakan Streching,
Breathing Control, ROM Exercise dengan tujuan meningkatkan kapasitas fungsional
paru, merelaksai otot pernafasan, meningkatkan kemampan fngsi motorik dan sensorik
UE dan LE dextra sinistra & meningkatkan ekspansi sangkar thorax.

IV.2 Keterbatasan
Keterbatasan yang ditemui oleh kelompok dalam pelaksanaan intervensi yang
diberikan adalah:
a. Keterbatasan waktu dalam pemberian intervensi, yaitu hanya dilakukan dalam 4 sesi.

21
BAB V
PENUTUP
V.I Kesimpulan
Berdasarkan evaluasi dari hasil intervensi menggunakan Streching, Breathing
Control, & ROM Exercise yang dilakukan selama 3 kali mulai tanggal 10 April 2023
sampai 13 April 2023 dengan permasalahan adanya keterbatasan LGS pada lower
extremity, penurnan kekatan otot, adanya sesak napas, adanya spasme pada M.
Pectoralis Mayor, M. Upper Trapezius, dan M. Sterno Cleido Mastoiddes, adanya
penurunan ekspansi thoraks, adanya nyeri dada saat inspirasi dan ekspirasi pada pasien
Tn.U usia 71 tahun dengan diagnosa paraparase e.c degenerasi vertebra lumbal & efusi
pleura bilateral sudah menunjukan adanya peningkatan khususnya pada Ekspansi
Thoraks, penurnan skala sesak nafas dan penrnan pada sapasme.
V.2 Saran
Berdasarkan laporan hasil studi kasus ada beberapa saran yang perlu
diperhatikan dalam pemberian intervensi, diantaranya ketepatan pemberian intervensi
berdasarkan problem yang ada dan durasi pemberian intervensi. Untuk pasien sendiri
diminta menghindari faktor yang dapat memungkinkan berulang sesak napasnya.
Pasien juga disarankan untuk tetap melanjutkan program fisioterapi secara teratur
sesuai dengan program yang sudah terjadwal. Saran bagi keluarga, diharapkan dapat
selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada pasien.

10

Anda mungkin juga menyukai