Anda di halaman 1dari 19

REFERAT FEBRUARI 2022

TATALAKSANA REHABILITASI MEDIK INKONTINENSIA URIN

DISUSUN OLEH:
FILBERT FILMORE CENDRIAWAN
C011181503

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Mathilda, Sp.KFR

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITRAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2022

i
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Filbert Filmore Cendriawan

NIM : C011181503

Judul Referat : Tatalaksana Rehabilitasi Medik Inkontinensia Urin

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada bagian

Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi, Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin

Makassar, Maret 2022

Supervisor Pembimbing

dr. Mathilda, Sp.KFR

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...................................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN ...................................................................................................2
2.1 Fisiologi Berkemih .................................................................................................2
2.2 Definisi Inkontinensia Urin ...................................................................................2
2.3 Epidemiologi Inkontinensia Urin ..........................................................................2
2.4 Etiologi Inkontinensia Urin ...................................................................................3
2.5 Patofisiologi Inkontinensia Urin............................................................................3
2.6 Klasifikasi Inkontinensia Urin ..............................................................................4
2.6.1 Inkontinensia Urin Tipe Stress ....................................................................4
2.6.2 Inkontinensia Urin Tipe Urgensi .................................................................4
2.6.3 Inkontinensia Urin Tipe Overflow ...............................................................4
2.6.4 Inkontinensia Urin Tipe Fungsional ............................................................4
2.6.5 Inkontinensia Urin Tipe Campuran ............................................................5
2.7 Diagnosis Inkontinensia Urin ................................................................................5
2.7.1 Anamnesis ......................................................................................................5
2.7.2 Pemeriksaan Fisik .........................................................................................5
2.7.3 Pemeriksaan Cough Stress Test ...................................................................6
2.7.4 Pemeriksaan Postvoid Residual (PVR) Urine .............................................7
2.7.5 Pemeriksaan Penunjang ...............................................................................8
2.8 Tatalaksana Inkontinensia Urin............................................................................8
2.8.1 Farmakologi ..................................................................................................9
2.8.2 Rehabilitasi Secara Mandiri .......................................................................10
2.8.3 Rehabilitasi Dengan Pelaku Rawat ............................................................11
2.8.4 Penggunaan Kateterisasi ............................................................................12
2.8.5 Tatalaksana Pembedahan...........................................................................12
2.9 Pencegahan ...........................................................................................................13
BAB 3 PENUTUP ..........................................................................................................14
3.1 Kesimpulan ...........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................15

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Seiring bertambahnya usia seseorang, maka terjadi juga penurunan dalam


beberapa hal, misalnya penurunan fisik, sosial, dan psikologis. Inkontinensia urin
adalah salah satu masalah kesehatan yang umum terjadi pada orang yang berusia
lanjut. Inkontinensia urin adalah keluarnya urin diluar kehendak seseorang dalam
jumlah dan frekuensi yang bervariasi. Inkontinensia termasuk salah satu dari
geriatric giant pada usia lanjut. Oleh karena itu, penanganan dari inkontinensia
urin harus dengan pendekatan multidisiplin. Dengan meningkatnya resiko
mengidap inkontinensia urin seiring bertambahnya usia, inkontinensia urin bisa
mempengaruhi kualitas hidup baik pria maupun wanita.
Ketika kita melihat beberapa statistic dari beberapa negara, kami bisa
menyimpulkan bahwa banyak penduduk usia lanjut yang mengalami
inkontinensia urin. Di Eropa, ditemukan sebanyak 30% yang mengidap
inkontinensia urin. Di Amerika Serikat, ditemukan hingga 37% yang menderita
inkontinensia. Di Indonesia sendiri, inkontinensia mencapai 13,5%. Dan menurut
penelitian, perempuan memiliki resiko lebih besar untuk menderita inkontinensia
urin dibandingkan laki-laki. Penyebab dari inkontinensia urin sangat beragam,
oleh sebab itu dibutuhkan pemeriksaan yang menyeluruh agar dapat menentukan
tipe inkontinensia urin pada pasien.
Inkontinensia urin bisa terjadi secara akut maupun persisten. Jika terjadi
inkontinensia kurang dari 3 bulan, maka digolongkan sebagai inkontinensia urin
akut. Tetapi jika terjadi secara kronis, maka digolongkan ke dalam inkontinensia
urin persisten. Inkontinensia urin persisten dibagi menjadi 5 tipe, yaitu tipe stress,
urgensi, overflow, fungsional, dan campuran. Pemeriksaan pada inkontinensia
urin harus dilakukan secara menyeluruh, dimulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik head to toe, pemeriksaan penunjang, bahkan tes-tes yang bisa menguatkan
diagnosis. Pengobatannya pun sangat beragam, mulai dari pengobatan
nonfarmakologi, farmakologi, hingga tindakan operatif.

1
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Fisiologi Berkemih


Proses berkemih terdiri dari 2 fase, yaitu fase pengosongan dan
penyimpanan. Proses berkemih ini melibatkan otot detrusor, sfingter uretra,
impuls saraf, dan korteks cerebri. Pada fase penyimpanan, saraf simpatis akan
meningkat, sedangkan saraf parasimpatis akan menurun. Oleh sebab itu, terjadi
kontraksi pada sfingter uretra dan relaksasi otot detrusor. Sedangkan pada fase
pengosongan, saraf parasimpatis akan meningkat dan saraf simpatis akan
menurun. Itu yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot detrusor dan terjadi
relaksasi pada sfingter uretra.

2.2 Definisi Inkontinensia Urin


Inkontinensia urin adalah kondisi dimana urin keluar secara involunter
dalam jumlah dan frekuensi tertentu. Menurut International Continence Society
(ICS), inkontinensia urin adalah keluhan keluarnya urin diluar kehendak sehingga
menimbulkan masalah sosial dan kesehatan. Inkontinensia urin termasuk salah
satu geriatric giant pada usia lanjut. Hal ini bisa berdampak pada masalah media,
psikososial, dan masalah ekonomi. (Charalambous et al, 2009)

2.3 Epidemiologi Inkontinensia Urin


Angka kejadian inkontinensia urin meningkat seiring bertambahnya usia.
Inkontinesia urin juga lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki
hingga 2x lipat. Menurut Sumardi dkk, prevalensi perempuan di Indonesia yang
mengidap inkontinensia urin yaitu 13,5%, dan lebih dari setengah berupa
inkontinensia tipe stress. Inkontinensia urin tipe stress dan urge adalah 2 tipe yang
terbanyak ditemukan pada orang dewasa maupun lanjut usia. (Sumardi et al,
2014)
Di benua Asia, prevalensi terendah ditemukan di Cina (4%) dan terbanyak
ditemukan di Thailand (17%). Sedangkan di Eropa dan Amerika Serikat masing-
masing memiliki prevalensi mencapai sekitar 30% dan 37%. Menurut penelitian

2
yang dilakukan oleh Sohn dkk, diantara 2418 wanita yang berusia diatas 65 tahun,
506 orang (20,9%) mengidap inkontinensia urin. (Sohn et al., 2018)

2.4 Etiologi Inkontinensia Urin


Ada beberapa kemungkinan penyebab terjadinya inkontinensia urin akut
yang disingkat menjadi DIAPPERS, yaitu sebagai berikut: (Christine et al., 2013)
 Delirium
 Infection urinary
 Atrophic vaginitis or urethritis
 Pharmaceutical
 Psychological disorders depression
 Endocrine disorders, Restricted mobility
 Stool impaction

Selain dari 7 kemungkinan diatas, ada beberapa penyebab lain terjadinya


inkontinensia urin, antara lain:
 Kehamilan dan persalinan per vaginam
 Proses penuaan
 Menopause
 Diabetes Melitus
 Obesitas
 Gangguan fungsional dan kognitif
 Gangguan neurologis
 Riwayat prostatektomi dan operasi pelvis lainnya

2.5 Patofisiologi Inkontinensia Urin


Semakin bertambah usia seseorang, maka residu urin semakin meningkat,
berkebalikan dengan kemampuan untuk menahan BAK dan kapasitas kandung
kemih yang semakin menurun. Bukan hanya residu urin yang meningkat, tetapi
kontraksi kandung kemih secara involunter juga meningkat. Inkontinensia urin
pada usia lanjut bisa terjadi jika kombinasi antara kontraksi kandung kemih dan

3
gangguan mobilitas, serta adanya hambatan fungsional. Jadi inkontinensia urin
bisa terjadi akibat adanya abnormalitas pada kandung kemih, sfingter uretra, atau
keduanya. (Nambiar et al., 2017)

2.6 Klasifikasi Inkontinensia Urin


Inkontinensia urin terbagi menjadi 2, yaitu inkontinensia akut dan
persisten. Inkontinensia akut adalah inkontinensia yang terjadi kurang dari 3
bulan, onsetnya tiba-tiba, berkaitan dengan penyakit akut, iatrogenik, bersifat
sementara, serta dapat sembuh bila masalah penyakit atau obat-obatan telah
teratasi. Sedangkan inkontinensia persisten tidak berkaitan dengan penyakit akut
dan bersifat menetap. Inkontinensia persisten terbagi atas 5 yaitu: (Christine et al.,
2013)

2.6.1 Inkontinensia Urin Tipe Stress


Keluarnya urin secara involunter (biasanya dalam jumlah sedikit)
apabila adanya peningkatan tekanan intraabdomen (batuk, bersin, tertawa,
olahraga, dll).

2.6.2 Inkontinensia Urin Tipe Urgensi


Keluarnya urin (seringkali dalam jumlah banyak) karena tidak mampu
menahan untuk berkemih apabila timbul sensasi keinginan untuk berkemih.
Gejalanya biasa disertai keluhan frekuensi >8x/hari dan adanya nokturia
akibat adanya overactive bladder (OAB).

2.6.3 Inkontinensia Urin Tipe Overflow


Keluarnya urin (dalam jumlah sedikit) akibat overdistensi vesica
urinaria atau faktor lain yang menyebabkan retensi urin. Terjadi akibat
adanya blokade pada uretra, sehingga vesica urinaria tidak dapat kosong
secara sempurna.

2.6.4 Inkontinensia Urin Tipe Fungsional


Keluarnya urin akibat ketidakmampuan untuk ke toilet. Biasanya
karena adanya gangguan kognitif dan fungsi fisik, ketidakmampuan
psikologis atau hambatan lingkungan.

4
2.6.5 Inkontinensia Urin Tipe Campuran
Campuran dari inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Adanya
ketidakmampuan menahan untuk berkemih dan keluarnya urin akibat
peningkatan tekanan intraabdomen.

2.7 Diagnosis Inkontinensia Urin


2.7.1 Anamnesis
 Kapan urin keluar tanpa disadari
 Gejala lower urinary tract symptoms (LUTS)
 Jumlah kehamilan dan melahirkan
 Penyakit dahulu
 Operasi sebelumnya
 Obat yang dikonsumsi
 Bowel habit (konstipasi atau mengedan)
 Status mental (menggunakan kuisioner Geriatric Depression Scale/
GDS)
 Status kognitif (menggunakan kuisioner MMSE/ Mini Mental Status
Examination)
 Status fungsional (menggunakan kuisioner Barthel Index atau ADL/
Activity Daily Living)
 Status nutrisi (menggunakan kuisioner Mini Nutritional Assessment)

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


 Menilai keadaan umum pasien.
 Pemeriksaan kardiovaskuler: kelebihan volume (misalnya ronki,
edema, dll) yang dapat menyebabkan peningkatan aliran urin dan
dapat memperburuk inkontinensia urin tipe urgensi.
 Pemeriksaan paru: menyingkirkan penyebab batuk kronik (PPOK atau
bronchitis) yang dapat meningkatkan tekanan intraabdomen dan dapat
menyebabkan inkontinensia urin tipe stress.

5
 Pemeriksaan abdomen : distensi kandung kemih, nyeri tekan
suprapubik, massa di abdomen regio hipogastric (perut bagian
bawah), buli-buli teraba/tidak.
 Pemeriksaan neurologis: refleks ani, refleks bulbocavernosis, keadaan
columna vertebralis.
 Pemeriksaan ekstremitas: menyingkirkan kemungkinan inkontinensia
urin tipe fungsional. Edema perifer juga mungkin mengindikasikan
kelebihan volume.
 Inspeksi daerah genitalia: adanya prolapse organ panggul (POP),
tanda inflamasi seperti vaginitis atrofi atau tanda iritasi pada vulva
(adanya eritema dan neovaskularisasi pada daerah labium minora dan
epitel vagina), kondisi perineum, massa di pelvis dan kelainan
anatomis. (Goode et al., 2010)
 Vaginal Toucher (VT): memeriksa prolapse organ panggul (dengan
sistokel, rektokel).
 Rectal Toucher (RT)/ Digital Rectal Examination (DRE) : untuk
memeriksa kekuatan tonus sfingter, otot dasar panggul, memeriksa
BPH maupun kanker prostat. Bisa juga untuk menilai impaksi tinja
yang dapat memberikan tekanan pada uretra dan mengganggu
pengosongan kandung kemih (inkontinensia urin tipe overflow).
(DuBeau et al., 2010)

2.7.3 Pemeriksaan Cough Stress Test


Jika dicurigai inkontinensia urin tipe stress, maka pemeriksaan cough
stress test adalah penilaian klinis yang paling diandalkan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Pasien harus mengisi kandung kemih hingga
penuh (tanpa keinginan kuat untuk berkemih), pasien dalam posisi litotomi.
Pada wanita, harus memisahkan labium. Kemudian pasien diminta untuk
batuk paksa sekali. Jika tes awal dilakukan posisi terlentang dan tidak ada
kebocoran, tes harus diulang dalam posisi berdiri. Pasien menggunakan
pembalut atau kaki terbuka selebar bahu diatas kain atau lembaran kertas di

6
lantai untuk melihat kebocoran. Jika urin keluar dengan awitan batuk, berarti
tes ini positif untuk inkontinensia stress.
Tes negatif jika tidak ada kebocoran atau kebocoran tertunda 5-15
detik. Hasil negatif palsu bisa terjadi jika vesica urinaria pasien kosong, batuk
tidak cukup kuat, otot dasar panggul berkontraksi untuk mengatasi
inkompetensi sfingter uretra, atau jika prolapse yang parah menutupi
kebocoran. Kebocoran yang tertunda bisa menunjukkan spasme vesica
urinaria yang dipicu oleh batuk dan bukan karena kelemahan sfingter, ini bisa
menunjukkan adanya inkontinensia urin tipe urgensi. (Christine et al., 2013)

2.7.4 Pemeriksaan Postvoid Residual (PVR) Urine


Pengukuran postvoid residual urine dianjurkan untuk mendiagnosis
inkontinensia urin tipe overflow. Walaupun hanya sebagian kecil pasien yang
terdiagnosis inkontinensia urin overflow, tetapi penting untuk menyingkirkan
diagnosis ini karena kegagalan kronis pengosongan kandung kemih dapat
menyebabkan hidronefrosis dan ireversibel gangguan fungsi ginjal.
Inkontinensia urin tipe overflow lebih sering terjadi pada usia lanjut, tetapi
bisa pada usia muda yang mengalami gangguan neurologis, seperti multiple
sclerosis.

Untuk mengukur postvoid residual urine, pasien diminta untuk


mengosongkan kandung kemih dan kemudian mengukur jumlah urin yang
tersisa di dalam kandung kemih. Pengukuran dapat menggunakan ultrasound
yang merupakan metode pilihan jika tersedia. Alternatifnya, dapat juga
menggunakan kateterisasi uretra in-and-out. Pada pasien dengan dugaan
obstruksi prostat, sebaiknya pengukuran menggunakan USG, karena jika
menggunakan kateterisasi, bisa menyebabkan infeksi atau obstruksi salurah
kemih.

Pengukuran postvoid residual urine kurang dari 50 mL, negatif untuk


inkontinensia urin tipe overflow. Jika volume urin di kandung kemih
sebanyak 50-200 mL, tes harus diulang. Jika volume lebih dari 200 mL, hasil
positif untuk inkontinensia urin tipe overflow. (Barry D.W., 1998)

7
2.7.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis: Hematuria, pyuria, kultur bakteri, proteinuria, glikosuria,
infeksi saluran kemih (ISK).
2. Darah: Gula darah, fungsi ginjal, PSA.
3. Radiologi
 USG Abdomen.
 BNO-IVP.
 Urethrocystoscopy.
4. Urinary Diary
 Mengetahui seberapa parah inkontinensia dan tipenya.
 Mencatat tiap berapa jam kencing dan berapa volumenya.
 Berapa kali ada inkontinensia stress.
 Rangsangan berkemih yang terus-menerus dan tidak tertahankan.
5. Urodinamik
 Untuk melihat destrusor dan uroflow.
 Diperlukan apabila terapi konservatif dan medikamentosa gagal
dan direncanakan untuk melakukan tindakan operatif.

2.8 Tatalaksana Inkontinensia Urin


Tatalaksana pada inkontinensia urin berbeda-beda berdasarkan jenis
inkontinensia urin dan kondisi pasien tersebut. Tatalaksananya dapat dilakukan
secara mandiri atau membutuhkan pelaku rawat. Tujuan dari dilakukan
tatalaksana pada inkontinensia urin adalah mengembalikan pola berkemih dan
kontinensia menjadi normal pada pasien yang mandiri. Tetapi pada pasien yang
membutuhkan pelaku rawat, tatalaksana bertujuan untuk menjaga pasien dan
lingkungan agar selalu kering dan terjaga hygiene.
1. Inkontinensia Urin Tipe Stress
 Latihan otot dasar panggul (Kegel)
 Terapi perilaku
 Agonis alfa-adrenergik

8
 Estrogen
 Injeksi periuretra
 Pesarium
 Operasi suspensi leher kandung kemih
2. Inkontinensia Urin Tipe Urgensi
 Latihan kandung kemih
 Obat relaksan kandung kemih. Pria: antagonis alfa-adrenergik
3. Inkontinensia Urin Tipe Overflow
 Operasi pengurangan sumbatan
 Kateterisasi intermitten
 Kateterisasi indwelling (jika harus menggunakan kateter dalam jangka
waktu yang panjang)
4. Inkontinensia Urin Tipe Fungsional
 Terapi berdasarkan penyakit yang mendasari
 Modifikasi lingkungan
 Menggunakan pembalut atau popok

2.8.1 Farmakologi
Tatalaksana farmakologi pada inkontinensia urin sangat bervariatif,
tergantung penyebab tipe inkontinensia urin itu sendiri. Dibawah ini beberapa
golongan obat yang bisa digunakan untuk mengatasi inkontinensia urin,
antara lain:
1. Antikolinergik dan Antispasme
Obat ini berfungsi untuk meningkatkan kapasitas dari vesica
urinaria dan mengurangi kontraksi yang involunter dari vesica
urinaria. Obat golongan ini banyak digunakan pada pasien
dengan inkontinensia urin tipe urgensi atau campuran
2. Agonis Kolinergik
Obat golongan agonis kolinergik bekerja dengan cara
merangsang sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi kontraksi
pada vesica urinaria. Obat ini golongan ini banyak digunakan
pada inkontinensia urin tipe overflow

9
3. Agonis Alfa Adrenergik
Obat ini berfungsi untuk meningkatkan kontraksi otot polos
uretra. Obat ini paling sering digunakan pada pasien dengan
inkontinensia urin tipe stress.
4. Alpha-1 Blocker
Obat ini sering digunakan pada pasien dengan benign
hyperplasia prostate (BPH). Obat ini berfungsi untuk
merelaksasikan otot polos pada vesica urinaria dan mengurangi
volume prostat. Obat ini sering digunakan pada pasien dengan
inkontinensia urin tipe urgensi akibat BPH.
5. 5-Alpha Reductase Inhibitor
Obat ini juga sering digunakan pada pasien dengan benign
hyperplasia prostate (BPH). Obat ini dapat mengurangi volume
prostat jangka panjang.
6. Estrogen
Terapi dengan estrogen biasanya diberikan untuk memperkuat
jaringan periuretra. Oleh sebab itu, obat ini sering digunakan
pada pasien dengan inkontinensia urin tipe stress dan urgensi
yang berkaitan dengan vaginitis atrofi.

2.8.2 Rehabilitasi Secara Mandiri

a. Latihan Otot Dasar Panggul/ Latihan Kegel


Latihan kegel adalah latihan yang sangat popular karena bisa
dilakukan secara mandiri di rumah. Latihan kegel dilakukan untuk
menguatkan otot-otot dasar panggul, terutama otot pubococcygeus
yang biasanya melemah akibat penuaan, kehamilan, persalinan
pervaginam, pembedahan, dll. Akibatnya pasien biasanya akan
mengalami prolapse organ panggul dan terjadi inkontinensia urin.
Latihan kegel ini dilakukan dengan cara mengkontraksikan dan
relaksasikan otot dasar panggul setiap hari. Sebaiknya
mengosongkan kandung kemih sebelum melakukan latihan kegel.
Latihan kegel ini biasa disarankan pada penderita inkontinensia urin
tipe stress dan urgensi. (Huang Y.C. et al, 2021)

10
b. Bladder Training
Bladder training ini bertujuan untuk meningkatkan
pengosongan urin di vesica urinaria. Latihan ini biasanya juga
digunakan pada pasien dengan inkontinensia urin tipe stress dan
urgensi. Terdapat 3 komponen dalam latihan ini, antara lain edukasi,
pengosongan kandung kemih terjadwal, serta penguatan otot
panggul. Latihan ini biasanya membutuhkan terapis yang sudah
terlatih, fungsi kognitif dan fisik dari pasien yang masih memadai,
serta memiliki motivasi yang tinggi. (Robert M. et al, 2006)
c. Bladder Retraining
Latihan ini bertujuan untuk mengembalikan pola berkemih dan
kontinensia yang normal. Latihan ini biasanya digunakan pada
inkontinensia akut, misalnya pada pasien post kateterisasi dengan
inkontinensia urgensi atau overflow, poststroke. Latihan ini
memerlukan fisik dan fungsi kognitif yang adekuat. (Majumdar et al,
2010)

2.8.3 Rehabilitasi Dengan Pelaku Rawat


a. Scheduled Toileting
Scheduled toileting adalah pasien rutin ke toilet dengan interval
waktu yang sudah ditentukan. Misalnya, harus ke toilet setiap 3 jam
sekali dalam sehari. Tujuannya adalah untuk mencegah pasien
mengompol. Scheduled Toileting biasanya digunakan pada pasien
dengan inkontinensia urin tipe urgensi dan fungsional. Cara ini bisa
digunakan pada pasien yang memiliki gangguan fungsi kognitif dan
fisik, tetapi cara ini harus membutuhkan motivasi dari pengasuh atau
pelaku rawat. (Adrian W, et al. 2014)
b. Habit Training
Habit training adalah jadwal berkemih yang dibuat berdasarkan pola
kebiasaan berkemih dari pasien tersebut. Tujuan dari habit training
sama dengan schedule toileting. (Hagglund D., 2010)
c. Prompted Voiding

11
Prompted voiding adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan cara
memberikan minum secara rutin dan menawarkan pasien untuk
berkemih setiap 2 jam pada siang hari. Ke toilet hanya bila pasien
menginginkan. Terapi ini diberikan untuk mengurangi frekuensi dari
inkontinensia urin dan meningkatkan keinginan pasien untuk
berkemih. Prompted voiding ini bisa diberikan pada inkontinensia
urin tipe apa saja, kecuali tipe overflow. Rehabilitasi ini dapat diuji
coba dalam 3 hari pertama, kemudian dilihat apakah pasien dapat
merespon dengan baik atau tidak. (Hagglund D., 2010)

2.8.4 Penggunaan Kateterisasi


Kateter untuk inkontinensia dibagi menjadi 3, yaitu kateter eksternal
(kateter kondom), intermitten, dan indwelling. Kateter eksternal digunakan
pada pasien yang ketergantungan total dengan inkontinensia urin yang sulit
diatasi, namun tidak terjadi retensi urin. Penggunaan kateter intermitten
biasanya pada pasien dengan retensi urin dan inkontinensia urin tipe
overflow. Sedangkan kateter indwelling digunakan pada pasien yang
membutuhkan penggunaan kateter dalam jangka waktu yang panjang.
Ada beberapa indikasi penggunaan kateter indwelling, antara lain:
a. Retensi urin yang menyebabkan:
 Inkontinensia urin tipe overflow.
 Infeksi saluran kemih simptomatik atau gangguan fungsi ginjal.
 Tidak bisa diatasi dengan kateterisasi intermitten.
 Tidak bisa diatasi dengan obat-obatan maupun pembedahan.
b. Perawatan pasien dengan hendaya berat, dimana mengganti baju atau
sprei saja bisa membuat pasien menjadi tidak nyaman.
c. Ada ulkus dekubitus atau iritasi pada kulit yang di sebabkan oleh
inkontinensia
d. Permintaan dari pasien sendiri

2.8.5 Tatalaksana Pembedahan


Tatalaksana pembedahan biasanya adalah opsi terakhir yang dilakukan jika
pengobatan nonfarmakologi dan farmakologi gagal dalam mengatasi

12
inkontinensia pada pasien. Ada beberapa indikasi dilakukannya pembedahan,
antara lain:
 Pada pasien usia lanjut dengan inkontinensia urin tipe stress yang
gagal dengan pengobatan nonfarmakologi maupun farmakologi
 Prolapse organ panggul
 Adanya outflow obstruction yang sudah dibuktikan secara anatomis
maupun urodinamik pada laki-laki
 Kerusakan uretra akibat melakukan tindakan invasif misalnya operasi
Transuretra Resection of The Bladder (TURB) maupun Transuretra
Resection of the Prostate (TURP)

2.9 Pencegahan
Langkah pertama dalam mencegah inkontinensia urin adalah melakukan
gaya hidup yang sehat. Ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan, antara lain:
 Menurunkan berat badan jika mengalami obesitas.
 Mengkonsumsi makanan yang tinggi serat untuk menghindari terjadinya
konstipasi.
 Membatasi konsumsi kafein, tanin, dan minuman beralkohol.
 Berhenti merokok.
 Berolahraga secara rutin.

13
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Inkontinensia urin bisa terjadi akibat adanya masalah pada vesica urinaria,
sphincter uretra, bahkan disfungsi neurologis. Inkontinensia urin adalah keluarnya
urin secara involunter yang bisa berdampak kepada masalah psikososial,
kesehatan, hygiene, bahkan ekonomi. Inkontinensia urin termasuk salah satu
geriatric giant. Inkontinensia urin terbagi menjadi inkontinensia akut dan
persisten. Inkontinensia urin persisten sendiri terbagi menjadi 5 tipe, yaitu tipe
stress, urgensi, overflow, fungsional, dan campuran. Gejalanya pun sangat
bervariatif tergantung tipe inkontinensia itu sendiri. Penyebabnya inkontinensia
sendiri juga sangat banyak. Baik pria maupun wanita dapat mengidap
inkontinensia urin, walaupun menurut penelitian, wanita lebih sering mengalami
inkontinensia urin dibandingkan pria.

Tatalaksana pada inkontinensia urin pun sangat bervariatif. Mulai dari


tatalaksana nonfarmakologi, farmakologi, hingga tindakan operatif. Rehabilitasi
medik salah satu pengobatan yang bisa dijalani pasien dengan inkontinensia urin.
Pengobatan rehabilitasi medik bisa dengan penguatan otot dasar panggul (latihan
kegel), terapi perilaku, bladder training, bladder retraining, schedule toileting,
habit training, prompted voiding. Pengobatan rehabilitasi medik ini dilakukan
sesuai dengan tipe inkontinensia urin, gejala pasien, penyakit mendasari, hingga
kondisi fisik dan kognitif pasien. Tujuan dilakukan rehabilitasi medik adalah
untuk mengatasi inkontinensia urin, mengurangi frekuensi berkemih, mengurangi
volume urin, serta memperbaiki kualitas hidup pasien ke depannya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Adrian W., dkk. 2014. Urinary Incontinence in Frail Elderly Persons: Report
From the 5th International Consultation on Incontinence. Canada: Division
of Geriatric Medicine, University of Alberta.

Barry D.W. 1998. Diagnostic Evaluation of Urinary Incontinence in Geriatric


Patients. Texas: University of Texas Health Science Center.

Charalambous S. dan Trantafylidis A. 2009. Impact of Urinary Incontinence on


Quality of Life. Greece: Department of Urology, Ippokratio General
Hospital.

Christine Khandelwal, Christine Kistler. 2013. Diagnosis of Urinary Incontinence.


USA: University of North Carolina.

DuBeau C.E., dkk. 2010. Incontinence in the Frail Elderly: Report From the 4 th
International Consultation on Incontinence. Worcester, Massachusetts:
Division of Geriatric Medicine, University of Massachusetts

Fantl J.A., dkk. 1996. Urinary Incontinence In Adults: Acute and Chronic
Management. United States: Department of Health and Human Service.

Frank C., Szlanta A. 2010. Office Management of Urinary Incontinence Among


Older Patients. Canada: Canadian Family Physician.

Goode P.S., dkk. 2010. Incontinence in Older Women. Birmingham: Department


of Medicine, University of Alabama.

Hagglund D. 2010. A Systematic Literature Review of Incontinence Care For


Person With Dementia: The Research Evidence. Sweden: School of Health
and Medical Sciences

Huang Y.C. dan Chang K.V. 2021. Kegel Exercises. Taiwan: National Taiwan
University Hsopital.

15
Majumdar A., dkk. 2010. Inpatient Bladder Retraining: Is It Beneficial On Its
Own?. Birmingham, United Kingdom: The International Urogynecological
Association

Nambiar A.K., dkk. 2018. EAU Guidelines on Assessment and Nonsurgical


Management of Urinary Incontinence. United Kingdom: Department of
Urology, Freeman Hospital.

Robert M., dkk. 2006. Conservative Management of Urinary Incontinence.


Canada: Executive and Council of the Society of Obstetricians and
Gynaecologists.

Sohn K., Lee C.K., Shin J., Lee J. 2018. Association Between Female Urinary
Incontinence and Geriatric Health Problems: Results From Korean
Longitudinal Study of Ageing. Korea: Korean J Fam Med.

16

Anda mungkin juga menyukai