Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS PROFESI FISIOTERAPI

MANAJEMEN FISIOTERAPI INTERNA PADA GANGGUAN


AKTIVITAS FUNGSIONAL SHOULDER DEXTRA
BERUPA DRESSING, SELFCARE, AND PARYING
AKIBAT REFERED PAIN E.C DISFUNGSI
GALLBLADDER (CHOLELITHIASIS)
SEJAK 3 BULAN LALU

DISUSUN OLEH :

DWI AGNASARI

R024201026

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Profesi Fisioterapi dengan judul

“Manajemen Fisioterapi Interna Pada Gangguan


Aktivitas Fungsional Shoulder Dextra Berupa
Dressing, Selfcare, And Parying Akibat
Refered Pain E.C Disfungs Gallbladder
(Cholelithiasis) Sejak 3 Bulan Lalu”

Mengetahui,

Clinical Educator

Hamizah, S.ft.,Physio.,M.Kes.

Clinical Intructor

Herdin, S.Ft.,Physio.,M.Pd.,M.Kes.

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................1

DAFTAR TABEL...................................................................................................iv

BAB 1......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................3

C. Tujuan Dan Manfaat.....................................................................................3

BAB II......................................................................................................................5

ANATOMI DAN FISIOLOGI.................................................................................5

A. Anatomi Kandung Empedu (Gallbladder)....................................................5

B. Fisiologi Saluran Empedu.............................................................................7

BAB III..................................................................................................................12

PATOLOGI CHOLELITHIASIS..........................................................................12

A. Definisi Cholelithiasis.................................................................................12

B. Epidemologi Cholelithiasis.........................................................................13

C. Etiologi Cholelithiasis.................................................................................13

D. Patofisiologi Cholelithiasis.........................................................................17

E. Klasifikasi Cholelithiasis...........................................................................18

F. Manifestasi Klinis Cholelithiasis................................................................21

iii
G. Komplikasi Cholelithiasis...........................................................................24

BAB IV..................................................................................................................25

MANAJEMEN FISIOTERAPI..............................................................................25

A. Proses Dan Pengukuran Fisioterapi............................................................25

B. Diagnosa Fisioterapi...................................................................................31

C. Problem Dan Tujuan Fisioterapi.................................................................31

D. Program Dan Intervensi Fisioterapi............................................................31

E. Home Program............................................................................................34

F. Evaluasi dan Modifikasi..............................................................................34

G. Kemitraan....................................................................................................35

BAB V....................................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................36
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Gallbladder.............................................................................8

Gambar 2. Kontraksi Dan rileksasi spingter Oddi................................................10

Gambar 3. Patologi Cholelithiasis/ Batu empedu.................................................12

1
DAFTAR TABEL

Tabel 1. PFGD Ekstremitas Shoulder dan Trunk.................................................28

Tabel 2.ROM........................................................................................................31

Tabel 3. Intervensi Fisioterapi..............................................................................34

Tabel 4. Evaluasi Fisioterapi.................................................................................37

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menjaga asupan makanan juga diperhatikan karna mengkonsumsi

makanan yang memiliki kadar kalori dan lemak berlebih dari jumlah yang

dibutuhkan juga berbahaya bagi tubuh karna akan menyebabkan penyakit

obesitas. Obesitas merupakan suatu gangguan yang melibatkan lemak tubuh

berlebihan yang meningkatkan risiko masalah kesehatan seperti hipertensi,

penakit jantung, stroke, penyakit kandung empedu atau Cholelithiasis

(Nathaniel, 2018)

Cholelithiasis atau batu empedu merupakan suatu pembentukan batu

yang berada di dalam kandung empedu yang terbentuk dari satu atau lebih

endapan berbagai jenis material seperti kolesterol, bilirubin, protein, garam

empedu dan asam lemak (Ninla Elmawati Falabiba, 2019). Batu empedu

adalah kondisi dimana terdapat endepan kristal yang terbentuk di kandung

empedu atau di saluran empedu (Putri & Indrasari, 2017)

Data World Health Organization (WHO) tahun 2014 menunjukkan

bahwa terdapat 400 juta penduduk di dunia mengalami Cholelithiasis dan

mencapai 700 juta penduduk pada tahun 2016. Cholelithiasis atau batu empedu

terbentuk akibat ketidak seimbangan kandungan kimia dalam cairan empedu

yang menyebabkan pengendapan satu atau lebih komponen empedu.

1
Cholelithiasis merupakan masalah kesehatan umum dan sering terjadi di

seluruh dunia, walaupun memiliki prevalensi yang berbeda beda di setiap

daerah.

. Di Asia prevalensi Cholelithiasis yaitu sebesar 3% sampai 10%. Di

indonesia, riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan bahwa

prevalensi Cholelithiasis pada dewasa adalah sebesar 15,4%, dan prevalensi

tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2016 yaitu 11,7%. Saat ini

penderita Cholelitiasis di Indonesia cenderung meningkat karena perubahan

gaya 3 hidup seperti orang-orang barat yang suka mengkonsumsi makanan

cepat saji yang dapat menyebabkan kegemukan karena timbunan lemak dan

menjadikan pemicu terjadinya Cholelitiasis

Insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok berisiko tinggi yang

di singkat dengan “6F” yaitu : fat, fifties, female, fertile, food, dan family.

Terbentuknya batu empedu disebabkan oleh banyak faktor risiko dimana

kejadiannya akan meningkat seiring dengan banyaknya faktor risiko yang

dimiliki, dimana faktor risikonya terdiri dari usia, jenis kelamin, obesitas, dan

diabetes mellitus. Di dalam kantung empedu terdapat cairan yang disebut

sebagai empedu dan berperan dalam pencernaan lemak. Batu empedu akan

terbentuk ketika cairan empedu tersebut mengeras (Andalas, 2017). Pada

pasien yang di diagnose mengalami batu empedu nyeri yang dirasakan tidak

hanya di bagian perut melainkan sampai ke belakang dan ke bahu kanan.

Nyeri yang di rasakan di bahu kanan akibat permsalahan batu empedu

menurunkan khualitas hidup pasien.

2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana membandingkan anatomi, fisiologi, dan patofisiologi disfungsi
gallbladder (cholelithiasis)
2. Bagaimana menguraikan tanda dan gejala akibat disfungsi gallbladder
(cholelithiasis)
3. Bagaimana menentukan jenis pemeriksaan fisioterapi dan menganalisis
hasil pemeriksaan yang telah dilakukan ?
4. Bagaimana menganalisis problematik dan mendesain intervensi
fisioterapi ?
5. Bagaimana melakukan jenis pemeriksaan dan mengaplikasikan jenis
intervensi yang ditentukan sesuai dengan problematik yang ada ?

C. Tujuan Dan Manfaat

1. Mampu membandingkan anatomi, fisiologi, dan patofisiologi disfungsi


gallbladder (cholelithiasis)
2. Mampu menguraikan tanda dan gejala akibat disfungsi gallbladder
(cholelithiasis)
3. Mampu menentukan jenis pemeriksaan fisioterapi dan menganalisis hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan,
4. Mampu menganalisis problematik dan mendesain intervensi fisioterapi,
5. Terampil melakukan jenis pemeriksaan dan mengaplikasikan jenis
intervensi yang ditentukan sesuai dengan problematik yang ada.

3
4
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI

A. Anatomi Kandung Empedu (Gallbladder)


Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak

tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus,

infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung nya buntu dari kandung

empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu Kolum adalah

bagian yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah

duktus sistika (Sueta, 2014).

Kandung empedu adalah organ berongga yang panjangnya sekitar 10 cm

dan berisi berisi 30-60 ml empedu, terletak dalam suatu fosa yang menegaskan

batas anatomi antara lobus hati kanan dan kiri. Empedu yang disekresi secara

terus-menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran

empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran lebih besar yang keluar dari

permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang segera

bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung

dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus dan bagian cranialnya

menjadi hati dan ductus hepaticus biliaris (L Bruno, 2019)

Bagian fundus umumnya menonjol sedikit keluar ke luar tepi hati, di

bawah lengkung iga kanan, di tepi lateral muskulus rectus abdominis. Sebagian

5
korpus besar korpus menempel dan tertanam di dalam jaringan hati. Kandung

empedu seluruhnya diliputi oleh peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami

distensi akibat bendungan oleh batu, maka infundibulum menonjol seperti kantong

(kantong Hartmann). Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu,

panjangnya 1-2 cm, diameter 2-3 mm, diliputi permukaan dalam dengan mukosa

yang banyak sekali membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) yang disebut Valve of

Heister, yang mengatur pasase bile ke dalam kandung empedu dan menahan

alirannya dari kandung empedu. Ductus cysticus bergabung dengan ductus

hepaticus communis menjadi ductus biliaris communis.

Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum

hepatoduodenale dengan batas atas porta hepatis sedangkan batas bawahnya distal

papila Vateri. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik bermuara ke saluran yang

paling kecil yang disebut kanikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi

empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutkan ke duktus

hepatikus di hilus. Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara

1-4 cm. Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada

letak muara duktus sistikus. Ductus choledochus berjalan menuju duodenum dari

sebelah belakang, akan menembus pankreas dan bermuara di sebelah medial dari

duodenum descendens. Dalam keadaan normal, ductus choledochus akan

bergabung dengan ductus pancreaticus Wirsungi (baru mengeluarkan isinya ke

duodenum) Tapi ada juga keadaan di mana masing-masing mengeluarkan isinya,

pada umumnya bergabung dulu. Pada pertemuan (muara) ductus choledochus ke

dalam duodenum, disebut choledochoduodenal junction. Tempat muaranya ini

6
disebut Papilla Vatteri. Ujung distalnya dikelilingi oleh sfingter Oddi, yang

mengatur aliran empedu ke dalam duodenum

B. Fisiologi Saluran Empedu


Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari.

Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung

empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50%. Fungsi primer dari

kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium

(Doherty, 2010). Kandung empedu mensekresi glikoprotein dan H+ .

Glikoprotein berfungsi untuk memproteksi jaringan mukosa, sedangkan H+

berfungsi menurunkan pH yang dapat meningkatkan kelarutan kalsium,

sehingga dapat mencegah pembentukan garam kalsium. Pengaliran cairan

empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi

kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa,

empedu yang diproduksi akan disimpan di dalam kandung empedu. Setelah

makan, kandung empedu akan berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu

mengalir ke dalam duodenum

7
Gambar 1. Anatomi kandung empedu

Sumber: (Sueta, 2014)

Fungsi kandung empedu yaitu :


1. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang

ada di dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan

empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati

(Musbahi, 2020).

2. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak

dan vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya

dari usus. Hemoglobin yang berasal dari 13 penghancuran sel darah

merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan

dibuang ke dalam empedu (Musbahi, 2020).

Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon

kolesistokinin, hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke

8
duodenum sekitar 30 menit setelah makan. Dasar yang menyebabkan

pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu, tetapi

efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan

dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis

kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga

dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari

sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan

simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon

terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam

makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila

terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung

empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam (Molinero

et al., 2019)

Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen

terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan

garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh

hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi

mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi

normal kalau diperlukan.

3. Proses pengosongan kandung empedu

Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial

kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan

berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon

9
kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam

darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot

polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi,

sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum.

Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi

lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak.

Gambar 2. Kontraksi dan rileksasi Spingter Oddi

Sumber : (Sueta, 2014)

Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :

a. Hormonal

Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan

merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.

Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung

empedu

b. Neurogen

Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi

cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan

10
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu. Rangsangan langsung dari

makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai Sphincter

Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan

empedu akan tetap keluar walaupun sedikit. Pengosongan empedu yang

lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal memegang peran

penting dalam perkembangan inti batu.

11
BAB III

PATOLOGI CHOLELITHIASIS

A. Definisi Cholelithiasis
Cholelithiasis atau batu empedu merupakan suatu pembentukan batu yang

berada di dalam kandung empedu yang terbentuk dari satu atau lebih endapan

berbagai jenis material seperti kolesterol, bilirubin, protein, garam empedu dan

asam lemak (Ninla Elmawati Falabiba, 2019). Batu empedu adalah kondisi

dimana terdapat endepan kristal yang terbentuk di kandung empedu atau di

saluran empedu (Putri & Indrasari, 2017).

Gambar 3. Patologi Batu Empedu

Sumber : (Fay, Akhavan, & Goldberg, 2020)

12
B. Epidemologi Cholelithiasis
Prevelensi terjadinya batu empedu pada populasi di eropa yaitu

sekitar 10-15%, sedangkan di asia dan Afrika sekitar 3-5%. Insidensi penyakit

batu empedu di Amerika Serikat mencapai 73% pada wanita dewasa. Angka

mortilitas untuk penyakit batu empedu mencapai 0,6%. Negara Indonesia

sendiri, prevelensi terkait penyakit batu empedu hamper sama dengan di Asia.

Studi epidemologi menyatakan bahwa sekitar 70-80% penyakit batu empedu

tidak menimbulkan gejala, hanya sekitar 20% yang menimbulkan gejala

dengan komplikasi setelah 5-20 tahun diagnosa. Penyakit batu empedu

menyebabkan permasalahan pada usus sehingga membutuhkan prosedur

pembedahan (Putri & Indrasari, 2017).

C. Etiologi Cholelithiasis
Cholelithiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di

dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-

duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di

dalam kandung empedu. Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas

ginjal kanan, kolon, lambung, pankreas, dan usus serta tepat di bawah

diafragma. Hati dibagi menjadi lobus kiri dan kanan, yang berawal di sebelah

anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke belakang vena kava.

Kuadran kanan atas abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu dan

kandung empedu. Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama

hati. Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang

13
mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam

usus. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu,

tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu (Alhawsawi,

Alshenqeti, Alqarafi, Alhussayen, & Turkistani, 2019)

Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu

mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di

dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu

(kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan

dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar

melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.

Berdasarkan jenis batu yang terbentuk, faktor yang mempengaruhi

terbentuknya batu berbeda-beda. Kondisi-kondisi yang menjadi faktor

predisposisi terbentuknya batu pigmen adalah penyakit hemolitik yang kronik,

pemberian nutrisi parenteral total, kolestasis kronik dan sirosis dan pemberian

obat (cefriaxone). Sedangkan faktor predisposisi terbentuknya batu pigmen

coklat adalah adanya infestasi parasit seperti Ascharis lumbricoides. Sekresi

kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang

abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu

empedu (Fay et al., 2020). Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan

pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu,

terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu

banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu

sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik

14
mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam

tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam

waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu

(Sueta, 2014).

Jadi dari beberapa sumber penyebab dan faktor resiko terjadinya batu

pada kandung empedu (Cholelithiasis) adalah penyakit hemolitik dan penyakit

spesifik nonhemolitik, wanita dengan usia lebih dari 40 tahun dan

menggunakan kontrasepsi hormonal, kegemukan, dan makanan berlemak (Fay

et al., 2020). Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus

koledokus melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus

sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara

parsial atau 28 komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau

batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau

tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus

sistikus (Sueta, 2014).

Adapun Faktor faktor risiko batu empedu yaitu :

a. Genetik

Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk

batu empedu bisa berjalan dalam keluarga. Di negara Barat penyakit ini

sering dijumpai, di USA 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung

empedu. Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih

dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain

selain USA, Chili dan Swedia (Sueta, 2014)

15
b. Usia

Risiko untuk terkena batu empedu sejalan dengan bertambahnya usia. Orang

dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis

dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda. Di Amerika

Serikat, 20 % wanita lebih dari 40 tahun mengidap batu empedu. Semakin

meningkat usia, prevalensi batu empedu semakin tinggi. Hal ini disebabkan

(Albab, 2019):

1) Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.

2) Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan

bertambahnya usia.

3) Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah

c. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis

dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen

berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.

Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria menderita batu empedu dan

prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia, walaupun umumnya

selalu pada wanita (Albab, 2019).

d. Berat Badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko

lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI

maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga

16
mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung

empedu (Albab, 2019).

e. Makanan

Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak

hewani berisiko untuk menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan

komponen dari lemak. Jika kadar kolesterol yang terdapat dalam cairan

empedu melebihi batas normal, cairan empedu dapat mengendap dan lama

kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang

cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat

menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu (Albab, 2019).

f. Aktivitas Fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko

terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih

sedikit berkontraksi (Albab, 2019).

g. Nutrisi Intra-Vena jangka lama

Nutrisi intra-vena jangka lama mengakibatkan kandung empedu

tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang

melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi

meningkat dalam kandung empedu (Albab, 2019).

D. Patofisiologi Cholelithiasis

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1)

pembentukan empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti

17
batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan

kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu,

kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila

perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol

turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media

yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh

pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh

mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol

yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin,

merupakan keadaan yang litogenik (Sueta, 2014).

Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti

pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol

keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan.

Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel

sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai

benih pengkristalan (Sueta, 2014).

E. Klasifikasi Cholelithiasis
a. Batu Kolestrol

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih

dari 70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu

yang mengandung > 50% kolesterol) (Sueta, 2014).

Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan

prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan

18
permukaannya halus. Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol

bertanggung jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian

besar empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung

paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah

fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol

dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga

kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Ini

dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan

persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol (Sueta,

2014)

Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap:

1) Supersaturasi empedu dengan kolesterol.

2) Pembentukan nidus.

3) Kristalisasi/presipitasi.

4) Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan

senyawa lain yang membentuk matriks batu.

b. Batu Pigmen

1) Batu Pigmen Coklat (Kalsium Bilirubin)

Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan

dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu

pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran

empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi,

striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksisaluran

19
empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal

dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam

glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang

tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan

erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen

cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu

dalam empedu yang terinfeksi

2) Batu Pigmen Hitam

Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan

pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam

ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Patogenesis

terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk

dalam kandung empedu dengan empedu yang steril (Albab, 2019)..

Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus

koledokus melalui duktus sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus

sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan alian empedu secara

parsial maupun total sehingga menimbulkan gejala kolik bilier. Pasase

berulang batu empedu melalui duktus sistikus yang sempit dapat

menimbulkan iritasi dan perlukaan sehingga dapat menimbulkan

peradangan dinding duktus dan striktur. Apabila batu berhenti di dalam

duktus sistikus dikarenakan diameter batu yang terlalu besar ataupun

karena adanya striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus

sistikus (Albab, 2019).

20
Kolelitiasis asimptomatis biasanya diketahui secara kebetulan,

sewaktu pemeriksaan ultrasonografi, foto polos abdomen, atau perabaan

saat operasi. Pada pemeriksaan fisik atau laboratorium biasanya tidak

ditemukan kelainan (Albab, 2019).

c. Batu Campuran

Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana

mengandung 20-50% kolesterol. Merupakan batu campuran kolesterol

yang mengandung kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90

% pada penderita

kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian

besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama

dengan batu kolesterol (Sueta, 2014).

F. Manifestasi Klinis Cholelithiasis


1. Asimtomatik

Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala

(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri

bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual (Suindra, 2007).

Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung

empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari

25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan

merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode wakti 5

tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam

semua pasien dengan batu empedu asimtomatik (Sueta, 2014).

21
2. Simtomatik

Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas.

Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan

kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri

pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan

berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan

kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris.

Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris (Sueta,

2014).

3. Komplikasi

Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang

paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara

wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu,

berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum. Gambaran

tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan

konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa

tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat

inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau ke ujung

skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan,

yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda

toksemia, nyeri tekan pada kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign”

(pasien berhenti bernafas sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat

22
dipalpasi ditemukan hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya

akan mengalami kolesistektomi terbuka atau laparoskopik (Sueta, 2014).

Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis

akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada

abdomen bagian atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke

punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan

berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri

dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali terulang (Sueta,

2014).

Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi

beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat

dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama.

Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung

empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi.

Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis)

dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat

bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat

menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat,

sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung

empedu (Sueta, 2014).

23
G. Komplikasi Cholelithiasis

Komplikasi yang umum dijumpai adalah kolesistisis, kolangitis, hidrops dan

emfiema.

1. Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu yang terjadi karena

adanya infeksi yang menyebar akibat obstruksi pada saluran empedu.

2. Hidrops merupakan obstruksi kronik dari kandung empedu yang biasa terjadi

di duktus sistikus sehingga kandung empedu tidak dapat diisi lagi oleh

empedu.

3. Emfiema adalah kandung empedu yang berisi nanah. Komplikasi pada pasien

yang mengalami emfiema membutuhkan penanganan segera karena dapat

mengancam jiwa

4. Kolesistisis merupakan peradangan pada kandung empedu, dimana terdapat

obstruksi atau sumbatan pada leher kandung empedu atau saluran kandung

empedu, yang menyebakan infeksi dan peradangan pada kandung empedu

(Baloyi, Rose, & Morare, 2020)

24
BAB IV

MANAJEMEN FISIOTERAPI

A. Proses Dan Pengukuran Fisioterapi

1. Data Umum Pasien

Nama : Ny.R
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Gowa
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Pabrik
Hobi : Bermain Bulu tangkis
Berat Badan : 53 kg
Tinggi Badan : 154 cm
2. Chief Of Complain
Nyeri dan sedikit kaku pada bahu kanan serta nyeri perut bagian atas sebelah
kanan
3. History Taking
a. Pasien mulai mengalami keluhan nyeri pada bahu kanan 3 bulan yang lalu
dan terkadang nyeri pada perut bagian atas sejak 1 tahun lalu
b. Pasien merasakan nyeri tiba tiba, pada saat bangun pagi namun pasien
mengira akibat pasien tidur dengan posisi berbaring kearah kanan. Nyeri
biasanya bertambah pada malam hari setelah istirahat. Nyeri perut kanan
juga kadang kadang muncul, hanya saja beberapa bulan terakhir lebih
sering eri

25
c. Ketika mengangkat sesuatu yang berat, mengambil barang yang tinggi
nyeri pada bahu kanan muncul
d. Pasien hanya memijat dan mengompres air hangat ketika nyerinya datang
e. Pasien sudah pernah ke dokter dan diagnose memiliki batu empedu
f. Pasien sudah melakukan foto radiologi terkait nyeri di shoulder dan
hasilnya nomal
g. Riwayat penyakit, pasien memiliki riwayat kolestrol yang tinggi,
Hipertensi (-), DM (-)
h. Pasien kesulitan jika memakai baju dan rukuk saat sholat akibat nyeri di
bagian perut
i. Pasien mengalami kesulitan tidur, jika nyerinya timbul
j. Pasien tidak memiliki keluhan yang lain
4. Assimetric
b. Inspeksi Statis
1) Wajah pasien cemas dan meringis
2) Tidak ada oedem
c. Inspeksi Dinamis
Pasien berjalan dengan sedikit lateral fleksi sinistra dan sedikit
membungkuk
d. Tes Orientasi
Pasien merasakan nyeri say di minta mengambil sesuatu yang tinggi
e. Palpasi
1) Kontur kulit : Normal
2) Suhu : Normal
3) Oedem : Tidak ada
4) Tenderness : nyeri pada m. upper trapezius, Teres minor, dan
rhomboid, perut kanan

26
f. PFGD
1) Regio Dextra
Tabel 1. PFGD Shoulder dan Trunk
Dextra Aktif Pasif TIMT
Fleksi Mampu full Mampu, hard Mampu, tidak nyeri
ROM endfeel
Ekstensi Tidak Terbatas Mampu, hard Mampu, tidak nyeri
endfeel
Abduksi Mampu, tidak Terbatas Mampu, sedikit
full ROM nyeri
Adduksi Mampu, full Mampu, soft Mampu, tidak nyeri
ROM endfeel
Eksorotasi Sedikit terbatas Mampu. end Mampu, sedikit
feel hard nyeri
Endorotasi Mampu, full Mampu. end Mampu, tidak nyeri
ROM feel hard
Regio Sinistra : Aktif ROM, pasif ROM, dan TIMT shoulder joint
sinistra pada semua bidang : DBN.
2) Region Trunk/Abdomen
Aktif Pasif TIMT
Fleksi Mampu tidak Mampu, Mampu, tidak nyeri
full ROM sedikit nyeri
Ekstensi Mampu full Mampu, hard Mampu, tidak nyeri
ROM endfeel
Laterak Mampu, tidak Terbatas Mampu, Tidak nyeri
fleksi dextra full ROM
Laterak Mampu, full Mampu, soft Mampu, tidak nyeri
fleksi dextra ROM endfeel
Rotasi dextra Sedikit terbatas Mampu. end Mampu, Tidak nyeri

27
feel hard
Rotasi Mampu, full Mampu. end Mampu, tidak nyeri
Sinistra ROM feel hard

5. Restrictive
b. ROM : Keterbatasan ROM abduksi dan eksorotasi shoulder dan
fleksi serta lateral fleksi
c. ADL : Terganggu dressing dan praying
d. Pekerjaan : Terganggu
e. Rekreasi : Terganggu
6. Tissue Impairtment And Psy:cogenic Prediction
a. Muskulotendinogen
b. Osteoarthrogen : Keterbatasan gerak ada shoulder
c. Neurogen : Refered pain (gallbladderr)
d. Psikogenik : Kecemasan
7. Spesific Test
a. Vital sign
8. Tekanan Darah : 130/90 mmHg
9. Denyut Nadi : 84x/menit
10.Suhu : 35oC
11.Pernapasan : 20x/menit
b. Nyeri (VAS)
Hasil : Nyeri diam (2), Nyeri Tekan (7), nyeri gerak (5)
IP : Terdapat Nyeri
c. ROM (Goniometer)
Tabel 2. ROM shoulder

Aktif S. 160o.0o.45o F.150o.0o.50o T.50o.0o.85o


Pasif S. 165o.0o.48o F.155o.0o.50o T.55o.0o.90o

IP : Terdapat limitasi ROM shoulder

28
d. Pola Kapsular
Hasil : (-)
IP : Tidak terdapat adhesive pada sendi
e. Palpasi
Hasil : Nyeri pada m.upper trapezius, m.teres minor, m. rhomboid,
dan diafragma
IP : Terdapat Spasme
f. Muphy Test
Hasil : (+)
IP : Terdapat nyeri di arena quadran kanan abdominal pada saat
pasien menarik napas
g. Scapular protraction slide test dextra dan sinistra
Hasil = simetris
IP = tidak abnormalitas gerakan scapula dextra
h. Anterior apprehension test
Hasil = tidak ada gerakan translasi yang besar
IP = tidak ada instability anterior GH
i. Apley inferior/superior stratch test
Hasil = (-)
IP = tidak terdapat patologi pada rotator eksternal GH
joint/kontraktur kapsul sendi
j. Bicipital instability test/modified yorgason test
Hasil = - tidak ada subluksasi tendon bicep
IP = tidak ada instability pada ligament humeral transversal
k. Cross body test
Hasil = (-)
IP = tidak terdapat adhesive kapsul posterior
l. Anterior slide test
Hasil =-
IP = tidak ada lesi pada SLAP/GH osteoartritis

29
m. Painful arch test
Hasil =-
IP = tidak ada impingement syndrom
n. Empty can test
Hasil =-
IP = tidak ada lesi m. supraspinatus
o. Neer test
Hasil =-
p. IP = tidak ada subacromial impingement
q. Indeks barthel
Hasil : 70
IP : Ketergantungan sedang
r. HRS-A
Hasil : 18
IP : Kecemasan sedang
s. MMT
Hasil : Regio shoulder (abductor dan endorototator) (4), Regio Trunk
(4)
IP : Mampu melakukan gerakan, full ROM, namun tidak bisa
menahan tahanan minimal
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Bilirubin
2) Pemeriksaan Darah
b. Pemeriksaan Radiologi
3) Foto Polos Abdomen
4) USG
5) Koleskintografi
6) ERCP (Endoscopic Retrograde CholangioPancreatography),

30
B. Diagnosa Fisioterapi
Adapun diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses
pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu : “Gangguan gerak fungsional
shoulder dextra berupa nyeri, limitasi ROM,muscle weakness dan limitasi ADL
et causa refered pain dysfungsi gallbladder ( e.g cholelithiasis) sejak 3 bulan
yang lalu.”

C. Problem Dan Tujuan Fisioterapi


1. Problem Fisioterapi
a. Problem Primer
Nyeri
b. Problem Sekunder
1) Kecemasan
2) Spasme m. upper trapezius,m. teres minor, m. rhomboid dan diafrgama
3) Kelemahan Otot
4) Limitasi ROM
c. Problem Kompleks
Gangguan ADL berupa Dressing, Selfcare, dan Praying
2. Tujuan Fisioterapi
a. Tujuan Jangka Panjang
Mengmbalikan kemampuan ADL dressing,selfcare, dan praying
b. Tujuan Jangka Pendek
1) Mengurangi Nyeri
2) Mengurangi Spasme otot
3) Meningkatkan kekuatan otot
4) Meningkatkan ROM shoulder
5) Mengurangi kecemasan

D. Program Dan Intervensi Fisioterapi

Tabel 3. Intervensi Fisioterapi


No Problem FT Modalitas FT Dosis

31
1. Kecemasan Komunikasi terapeutik F : 1x/hari
I : pasien fokus
T : intrapersonal
approach
T : 5 menit

2. Nyeri IR (pre-eliminary F : 1x/hari


exercise) I : 30 cm dari kulit
T : local
T : 10 menit
Interferensi F : 1x/hari
I : 35-45 mA
T : local contraplanar
T : 10 menit
Manual Therapy F : 1x/hari
I : 20-30% pressure
T : NMT (Friction dan
muscle release)
T : 10 menit
MVT F : 3x/seminggu
I : 100-200 gr pressure
T : Voiding
gallbladder, smoothing
and stretching,
oscilation, de-spasming
tecnique
T : 10 menit
3 Spasme m. upper Exercise Therapy F : 1x/hari

32
trapezius, m. teres I : 8 hit 5-7 rep
minor, m. T : Purse deep
rhomboid, breathing, diafragma
diafragma breathing
T : 3 menit
Exercise Therapy F : 1x/hari
I : 5x10 rep
T : Stretching exc
T : 5 menit
4 Limitasi ROM Manual therapy F : 1x/hari
I : 5-7x rep
T : traksi dan translasi
T : 5 menit
ROM exercise F : 1 x sehari
I : 10 rep
T : PROMEX,
AROMEX, abduksi,
fleksi dan rotasi
shoulder
T : 3 menit
5 muscle weakness Strengthening exercise F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : strengthening
exercise with elastic
band
T : 3 menit
6 Gangguan ADL Exercise therapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : PNF
T : 3 menit

33
E. Home Program
Paien diberikan edukasi untuk melakukan latihan-latihan di rumah
dengan pendampingan anggota keluarga berupa latihan pernafasan, latihan
pendulum exec,latihan finger leader bridging, pengelurun otot-otot yang
mengalami tegang, melakukan gerakan –gerakan aktif pasif region ekstremitas
superior untuk menghindari kekakuan pada sendi dan menjaga kekuatan otot.
Pasien di harapkan mampu mengelolah pikiran positif agar terhindar oleh rasa
cemas (kelola cemas). Perlu dukungan dan bantuan dari pihak keluarga dalam
proses penyembuhan kondisi pasien.

F. Evaluasi dan Modifikasi

g. Evaluasi Sesaat
Tabel 4. Evaluasi sesaat

Problem Setelah 1 kali intervensi


No Parameter Intervensi
FT Sebelum Sesudah
1 Nyeri VAS ‾ Nyeri ‾ Nyeri Ada
Tekan = 7 Tekan = 6 penurunan
‾ Nyeri ‾ Nyeri nyeri
Gerak = 5 Gerak = 3
‾ Nyeri ‾ Nyeri
Diam = 2 Diam = 0
2 Kecemasan HRS-A 18 15 Ada
(kecemasan (kecemasa penurunan
sedang) n ringan) tingkat
kecemasan
4 Kekuatan MMT Regio Regio Belum ada
Otot shoulder : shoulder : perubahan
4 4

34
b. Modifikasi
Modifikasi program fisioterapi yang dapat diberikan berupa
peningkatan intensitas dari dosis yang diberikan sebelumnya. Pasien
perlu melakukan pemeriksaan Laboratorium secara berkala setelah
diberikan intervensi Fisioterapi sebagai pendukung kegiatan evaluasi
fisioterapi terhadap pasien untuk menentukan program modifikasi
terapi pada pasien selanjutnya.

G. Kemitraan
Pengembangan kemitraan Fisioterapi dapat dilakukan dengan profesi
kesehatan lainnya dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan sepenuhnya
terhadap kondisi klien. Hal ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan klien dan
perkembangan patofisiologinya. Dalam memberikan intervensi klien tersebut,
Physio dapat bermitra dengan dokter spesialis saraf, dokter spesialis patologi
klinik, ahli okupasional, perawat, psikolog, ahli gizi, dan pekerja sosial medis
lainnya.

35
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Albab, A. U. (2019). Karakteristik Pasien Kolelitiasis Di RSUP Dr. Wahidin


Sudirohusodo Makassar Periode Januari-Desember 2012. 1–56.
Retrieved from
http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/
OTA1NDMwMjVmODY2OTY4Y2ZjMWM3MWI1MDllNGFiMGQy
YWVlMTU5MQ==.pdf
Alhawsawi, Z. M., Alshenqeti, A. M., Alqarafi, A. M., Alhussayen, L. K., &
Turkistani, W. A. (2019). Cholelithiasis in patients with paediatric sickle
cell anaemia in a Saudi hospital. Journal of Taibah University Medical
Sciences, 14(2), 187–192. https://doi.org/10.1016/j.jtumed.2019.02.007
Andalas. (2017). anatomi dan fisiologi kedokteran. Retrieved from
file:///C:/Users/HP/Downloads/galdbleder/KTI FARY MISDINOOR
ARIANTO.pdf
Baloyi, E. R. J., Rose, D. M., & Morare, N. M. T. (2020). Incidental gastric
diverticulum in a young female with chronic gastritis: A case report.
International Journal of Surgery Case Reports, 66, 63–67.
https://doi.org/10.1016/j.ijscr.2019.11.030
Fay, D. L., Akhavan, S., & Goldberg, V. M. (2020). Asuhan keperawatan Pada pasien
Dengan Cholelithiasis Yang Dirawat Di Rumah Sakit. In Angewandte
Chemie International Edition, 6(11), 951–952.
L Bruno. (2019). Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi. Journal of Chemical Information
and Modeling, Vol. 53.
https://doi.org/http://doi.org/10.1017/cbo9781107415324.004

36
Molinero, N., Ruiz, L., Milani, C., Gutiérrez-Díaz, I., Sánchez, B., Mangifesta, M.,
… Margolles, A. (2019). The human gallbladder microbiome is related
to the physiological state and the biliary metabolic profile. Microbiome,
7(1), 1–18. https://doi.org/10.1186/s40168-019-0712-8
Musbahi, A. e. all. (2020). Outcomes and risk factors of cholecystectomy in high risk
patients: A case series. Annals of Medicine and Surgery, 50(December
2019), 35–40. https://doi.org/10.1016/j.amsu.2019.12.003
Nathaniel, A. et al. (2018). Perilaku Profesional Terhadap Pola Makan Sehat.
Indonesian Business Review, 1(2), 186–200.
https://doi.org/10.21632/ibr.1.2.186-200
Ninla Elmawati Falabiba. (2019). cholelithiasis. 1–4.
Putri, F., & Indrasari, N. D. (2017). Gallstone Analysis. The Indonesian Journal of
Gastroenterology, Hepatology, and Digestive Endoscopy, 17(2), 124.
https://doi.org/10.24871/1722016124-130
Sueta, M. A. D. (2014). Faktor-Faktor Terjadinya Batu Empedu Di RSUP Dr .
Wahidin Sudirohusoda Makassar. Departemen Ilmu Bedah Fk Uh/Rsup
Wahidin Sudirohusodo Makassar, 1–78.

37

Anda mungkin juga menyukai