Anda di halaman 1dari 81

Laporan Kasus

Short Bowel Syndrome dan Diare Persisten

Oleh :

Agnes Tjahjadi, S.Ked

1830912320095

Pembimbing :

dr. Arief Budiarto, Sp.A

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

Februari, 2020
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Short Bowel Syndrome ...................................................................... 4


1. Definisi .................................................................................. 4
2. Etiologi .................................................................................. 4
3. Epidemiologi.......................................................................... 4
4. Klasifikasi .............................................................................. 5
5. Patofisiologi ........................................................................... 7
6. Tatalaksana ............................................................................ 9
B. Diare Persisten ................................................................................... 15
1. Definisi .................................................................................. 15
2. Epidemiologi.......................................................................... 15
3. Etiologi .................................................................................. 16
4. Patogenesis ............................................................................ 16
5. Manifestasi Klinis .................................................................. 19
6. Diagnosis ............................................................................... 20
7. Tatalaksana ............................................................................ 21
BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 27

BAB IV DISKUSI KASUS ................................................................................. 64

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 76

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Klasifikasi SBS Berdasarkan Segmen Anatomis yang Tersisa ............................... 5

2. Absorpsi Nutrien dalam Usus Kecil..................................................................... 8

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Short Bowel Syndrome (SBS) mengarah pada suatu kondisi malabsorpsi yang

disebabkan oleh hilangnya sebagian besar bagian usus halus. Kumpulan gejala klinis

yang dialami pada SBS yaitu malnutrisi, diare, dehidrasi, penurunan berat badan dan

gejala/tanda yang terkait dengan berat badan yang rendah (keadaan bingung,

kelemahan, gangguan pertumbuhan dan perkembangan seksual serta penuaan dini). 1

Penyebab dari SBS pada bayi dan anak-anak dapat karena kelainan kongenital dan

didapat seperti intususepsi/invaginasi dan necrotizing enterocolitis (NES) yang

banyak dialami oleh bayi prematur.

Salah satu gejala yang menonjol pada SBS adalah diare. Gejala diare dapat

mengakibatkan berkurangnya nafsu makan dan gangguan pencernaan yang

menyebabkan menurunnya absorpsi zat-zat nutrisi dalam tubuh sehingga

menimbulkan malnutrisi. Malnutrisi atau gizi buruk ditentukan berdasarkan beberapa

pengukuran yaitu pengukuran klinis dan pengukuran antropometrik. Pengukuran

klinis digunakan untuk mengetahui status gizi apakah termasuk gizi buruk atau tidak

yang dapat dilihat dari perubahan kulit, rambut atau mata. Sedangkan pada

pengukuran antropometrik dilakukan beberapa macam pengukuran antara lain tinggi

badan, berat badan, dan lingkar lengan atas.2

Pengukuran antropometri lain dengan menggunakan standar antropomerti

World Health Organization (WHO) 2005. Istilah yang dituliskan berdasarkan berat

1
badan menurut usia (BB/U), panjang badan atau tinggi badan menurut usia (PB/U

atau TB/U), dan berat dan menurut panjang badan atau tinggi badan (BB/PB atau

BB/TB). Panjang badan merupakan istilah pengukuran untuk anak usia 0-24 bulan.

Tinggi badan merupakan istilah pengukuran untuk anak usia di atas 24 bulan. Istilah

gizi kurang dan gizi buruk yang ditentukan dari indeks berat badan menurut usia

(BB/U) yang memiliki padan istilah dengan underweight (gizi kurang) dan severely

underweight (gizi buruk). Istilah pendek atau sangat pendek yang didasarkan pada

indeks panjang badan atau tinggi badan menurut usia (PB/U atau TB/U) yang

merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek).

Istilah kurus dan sangat kurus yang didasarkan pada indeks berat badan menurut

Panjang badan atau tinggi badan (BB/PB atau BB/TB) yang merupakan padanan

istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek).3

Gizi buruk merupakan status gizi kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi

atau nutrisinya di bawah dari standar normal. Usia 0-2 tahun merupakan usia dimana

masa tumbuh kembang yang optimal (golden period) terjadi sehingga bila terjadi

gangguan pada masa ini gizi tidak dapat dicukupi pada masa berikutnya dan akan

berpengaruh negatif pada kualitas generasi penerus.4

Gizi buruk merupakan status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan

menurut Umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah underweight (gizi kurang)

dan severely underweight (gizi buruk). Gizi buruk sebagai salah satu penyebab

tersering kesakitan dan kematian anak di dunia juga dapat menyebabkan gangguan

2
pertumbuhan yang berpengaruh pada kesehatan, kecerdasan serta produktivitas pada

anak saat dewasa nanti.5,6

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Short Bowel Syndrome

1. Definisi

Short bowel syndrome (SBS) adalah kumpulan gejala akibat kondisi

malabsorbsi berat yang terjadi setelah dilakukannya tindakan reseksi luas pada

usus halus. SBS biasanya mengikuti reseksi usus yang luas yang membuat

panjang usus halus di bawah dari panjang normal untuk suplai nutrisi yang

adekuat. Permukaan mukosa usus yang berkurang drastis selanjutnya

mengakibatkan diare, dehidrasi, ketidakseimbangan air serta elektrolit dan

malnutrisi.6

2. Etiologi

Penyebab SBS pada bayi dan anak-anak dapat disebabkan karena kelainan

kongenital dan penyakit perinatal seperti atresia usus, defek dinding abdomen

(gastroschisis), malrotasi/volvulus dan penyakit Hirschprung. Penyebab lainnya

adalah necrotizing enterocolitis (NEC) yang banyak dialami pada bayi prematur.7

3. Epidemiologi

Meskipun keseluruhan insiden SBS hanya 1200/100.000 kelahiran hidup,

tingkat kematian pada SBS tinggi. Tingkat kelangsungan hidup yang dilaporkan

pada SBS pediatri berkisar dari 73% hingga 89%. Data ini menjadikan SBS pada

pediatri menjadi salah satu kondisi yang paling mematikan pada masa bayi dan

4
anak-anak. Program pengobatan yang multidisiplin telah dikaitkan dengan

kelangsungan hidup yang lebih baik.8

4. Klasifikasi

Klasifikasi SBS berdasarkan segmen anatomis usus yang masih tersisa ada 3

yaitu:6

a. End-jejunostomy, tipe ini dapat terjadi kronis, dapat berupa kelainan reversibel

maupun tidak reversibel, dimana kebutuhan dukungan parenteral bisa seumur

hidup.

b. Anastomosis jejuno-colic, dimana sisa jejunum disambung dengan bagian

colon, paling sering di colon sebelah kiri. Tipe ini terjadi secara subakut,

membutuhkan dukungan parenteral selama beberapa minggu hingga bulan.

c. Anastomosis jejuno-ileal dengan katup ileo-sekal dan kolon intak bersambung.

Tipe ini biasanya terjadi akut, seringkali self-limiting, dan tidak membutuhkan

dukungan parenteral baik berupa nutrisi maupun cairan intravena dalam jangka

waktu lama.6

Gambar 1. Klasifikasi SBS Berdasarkan Segmen Anatomis yang Tersisa 6

5
Setelah prosedur operasi, evolusi SBS terjadi melalui 3 tahap yaitu:9

a. Tahap akut

Tahap ini dimulai segera setelah reseksi usus dan umumnya berlangsung selama

3-4 minggu, ditandai dengan diare dan gangguan metabolisme. Adanya

hipergastrinemia dan hipersekresi gaster yang mungkin karena hilangnya sekresi

hormon inhibitor dari ileum terminal dan colon, biasanya berlangsung hingga 6

bulan. Manajemen dan observasi pasien yang cermat dalam pengawasan rumah

sakit diperlukan untuk menghindari komplikasi utama dalam tahap ini seperti

dehidrasi, gagal ginjal akut, defisiensi elektrolit dan gangguan asam-basa.

b. Tahap adaptasi

Tahap ini berlangsung selama 1 hingga 2 tahun. Tahap ini terdiri dari proses

spontan yang bertujuan untuk memastikan lebih banyak penyerapan nutrisi yang

efisien per satuan panjang usus yang tersisa. Hal ini disebabkan karena adanya

perubahan struktural yang meningkatkan area absorbsi dan atau perubahan

fungsional yang memperlambat transit gastrointestinal. Hiperfagia adaptif dapat

terjadi. Adaptasi pasca operasi didorong oleh adanya nutrien dalam lumen usus,

pankreas dan sekresi empedu serta hormon usus yang diproduksi oleh sisa ileum

dan usus besar. Tahap ini tampaknya tidak ada atau terganggu pada SBS tipe end-

jejunostomy. Tahap adaptasi ditandai oleh tipe III CIF (chronic intestinal failure),

membutuhkan suplementasi intravena (IVS) di rumah yang disalurkan melalui

Home Parenteral Nutrition (HPN) khusus.

c. Tahap maintenance (pemeliharaan)

6
Pada tahap pemeliharaann, insufisiensi usus mungkin terjadi jika reversibilitas

intestinal failure (IF) terjadi selama tahap adaptasi. Status nutrisi dan kesehatan

pasien dipelihara melalui diet khusus, suplementasi nutrien (dapat melalui

oral/enteral atau intramuskular) dan terapi farmakologis. Pasien yang dengan

ireversibel CIF harus menggunakan HPN di seumur hidupnya atau transplantasi

usus untuk menyelamatkan hidup (ITx) jika HPN terkait atau risiko kematian

terkait penyakit yang mendasarinya muncul.9

5. Patofisiologi

Sindrom usus pendek terjadi akibat kelainan bawaan atau reseksi usus

kecil. Kehilangan >50% usus kecil dengan atau tanpa usus besar dapat

menyebabkan gejala malabsorpsi menyeluruh atau defisiensi nutrisi tertentu

tergantung pada bagian usus yang direseksi. Pada saat lahir, panjang usus kecil

adalah sekitar 200-250 cm, usus tumbuh hingga 300-800 cm pada saat dewasa.

Reseksi usus pada bayi memiliki prognosis yang lebih baik daripada orang

dewasa karena pada bayi adanya potensi untuk pertumbuhan usus. Bayi dengan

usus sepanjang 15 cm dengan katup ileosekal atau panjang usus 20 cm tanpa

katup ileosekal memiliki potensi untuk bertahan dan pada akhirnya bisa terlepas

dari nutrisi parenteral total.10

Selain panjang usus, lokasi anatomis usus yang direseksi juga penting.

Jejunum memiliki lebih banyak lipatan sirkular dan villi yang lebih panjang.

Jejunum bagian proksimal (panjang 100-200 cm) adalah lokasi utama untuk

absorpsi karbohidrat, protein, zat besi dan vitamin larut air, sedangkan absorpsi

lemak terjadi lebih lama di usus halus. Tergantung dari bagian usus yang

7
direseksi, malabsorpsi zat nutrisi tertentu dapat terjadi. Vitamin B12 dan garam-

garam empedu hanya diabsorpsi di ileum bagian distal. Reseksi bagian jejunum

umumnya dapat ditoleransi lebih baik daripada reseksi ileum karena ileum dapat

beradaptasi untuk absorpsi zat nutrisi dan cairan. Absorpsi natrium dan air relatif

jauh lebih banyak di ileum. Reseksi ileum memiliki efek lebih menonjol pada

absorpsi cairan dan elektrolit karena malabsorpsi natrium dan air oleh bagian

ileum yang tersisa. Malabsorpsi garam-garam empedu menstimulasi peningkatan

sekresi cairan dan elektrolit di kolon.10

Gambar 2. Absorpsi Nutrien dalam Usus Kecil10

8
6. Tatalaksana

Tatalaksana farmakologis pada short bowel syndrome (SBS) berfokus

pada penggantian cairan, manajemen elektrolit dan nutrisi yang hilang,

mengurangi diare, dan menjaga pertambahan berat badan yang adekuat untuk

tumbuh kembang anak. Diare pada pasien SBS umumnya diterapi dengan

antimotilitas seperti loperamid yang efektif untuk mengurangi motilitas usus dan

meningkatkan waktu transit. Kolestiramin, golongan resin yang dapat mengikat

asam empedu, juga dapat membantu dalam terapi diare koleretik. Meskipun

begitu, penggunaannya harus diperhatikan karena pada pasien dengan reseksi ileal

masif terjadi kekurangan asam empedu akibat ekskresi yang melebihi sintesis oleh

hepar sehingga pemberian kolestiramin justru dapat menyebabkan eksaserbasi

steatorrhea dan malabsorpsi lemak. Selain itu, kolestiramin juga dapat berikatan

dengan obat lain, termasuk loperamid, sehingga penggunaan bersamaan dapat

menurunkan efektivitas loperamid.7,19

Hipersekresi gaster terjadi pada lebih dari setengah pasien yang mengalami

reseksi usus. Inhibitor pompa proton atau PPI merupakan lini pertama karena

efektivitasnya dalam mensupresi sekresi asam lambung. Hipersekresi gaster tidak

menetap namun bisa muncul hingga 12 bulan sehingga pasien harus dimonitor

ketat untuk melihat timbulnya rebound setelah pengobatan dihentikan.7,19

Pada pasien dengan komplikasi small intestinal bacterial overgrowth

(SIBO) dan asidosis asam D-laktat (DLA), terapi nutrisi tidak kalah penting

dengan terapi farmakologis. Modifikasi diet diharapkan dapat menurunkan jumlah

feses dan tetap menjaga hidrasi yang cukup. Untuk terapi farmakologis,

9
kebanyakan kasus DLA timbul pada pasien dengan SIBO, sehingga pencegahan

pertumbuhan bakteri yang berlebihan akan sekaligus mencegah munculnya DLA.

Kesulitan yang dapat dihadapi dalam terapi SIBO adalah anjuran penghentian

obat-obatan yang dapat menginhibisi motilitas intestinal dan sekresi asam

lambung, dimana kedua golongan obat tersebut merupakan terapi simptomatis

utama pada tahap awal SBS namun dapat meningkatkan risiko timbulnya SIBO.

Oleh karena itu, dibutuhkan pemantauan ketat untuk menilai apakah adaptasi

intestinal pasien sudah membaik dan tidak lagi membutuhkan obat-obatan

antimotilitas dan antisekretorik.11

Tujuan terapi farmakologis pada pasien SIBO adalah mengembalikan

keseimbangan jumlah bakteria di usus. Hal ini dapat tercapai dengan pemberian

antibotik untuk mengurangi kelebihan patogen pro-inflamasi, suplementasi

probiotik atau prebiotik, serta repopulasi flora normal usus melalui transplan

mikrobiota feses. Belum ada konsensus yang menyatakan pilihan utama terapi

antibiotik pada pasien SIBO, sehingga rekomendasi yang tersedia saat ini

cenderung berdasarkan pengalaman klinis dan merupakan pendekatan empiris. 11

Terapi antibiotik yang dianjurkan adalah regimen tunggal selama 7-14 hari,

sebisa mungkin antibiotik yang tidak diabsorpsi dan memiliki efek terhadap

bakteri aerob dan anaerob. Beberapa antibiotik yang dapat dipakai adalah

metronidazol, rifaksimin, neomisin, klindamisin, dan siprofloksasin. Ketika pasien

mengalami kekambuhan gejala, ulangi pemberian regimen antibiotik. Pemilihan

regimen antibiotik yang berbeda-beda direkomendasikan untuk mencegah

terjadinya resistensi.7,11

10
Pemberian probiotik diduga dapat membantu repopulasi usus dengan cara

berkompetisi dengan bakteri patogen dalam pengambilan nutrisi dan penempelan

pada mukosa. Meskipun terbukti aman digunakan untuk mencegah necrotizing

enterocolitis dan mengurangi durasi pemberian nutrisi parenteral pada pasien bayi

dengan berat badan lahir sangat rendah, belum ada bukti terkait penggunaannya

pada pasien dengan SBS dimana absorpsi usus berkurang drastis. Beberapa klinisi

menghindari penggunaan probiotik Lactobacillus karena meyakini ada risiko

timbulnya DLA.11,12

Pemberian teduglutide, agen analog rekombinan GLP-2 dapat meningkatkan

absorpsi usus dengan cara membantu pertumbuhan mukosa dan pada akhirnya

akan mempercepat proses adaptasi intestinal. Teduglutide memiliki half-life yang

lebih lama dibandingkan dengan GLP-2 yang diproduksi oleh tubuh. Studi oleh

Carter et al. tahun 2016 menyimpulkan pemberian teduglutide dapat ditoleransi

dengan baik oleh pasien anak dengan kegagalan usus terkait SBS, dengan dosis

0,025 atau 0,05 mg/kgBB/hari berasosiasi dengan reduksi pemberian nutrisi

parenteral dan transisi menjadi nutrisi enteral. 13

Manajemen Diet dan Nutrisi Parenteral

Pemberian nutrisi parenteral merupakan terapi utama yang harus segera

dilakukan pasca operasi yang menyebabkan timbulnya SBS. Tujuan terapi nutrisi

parenteral adalah untuk mengembalikan kalori dan nutrisi secara intravena, tanpa

melewati sirkuit enteral agar usus mengalami penyembuhan terlebih dahulu.

Kebutuhan karbohidrat, lipid, dan protein harus dihitung untuk masing-masing

pasien. Kebutuhan nutrisi parenteral untuk bayi adalah antara 60-80

11
mL/kgBB/hari, sedangkan pada bayi preterm, khususnya dengan berat badan lahir

sangat rendah (BBLSR), dibutuhkan volume yang lebih besar yaitu sekitar 100-

120 mL/kgBB/hari.6

Nutrisi parenteral sebaiknya diberikan melalui kateter vena sentral karena

konsentrasi yang tinggi sehingga pemberian lewat vena perifer berisiko

menimbulkan tromboflebitis atau kerusakan pada pembuluh darah. Apabila

osmolalitas larutan rendah, yakni < 900 mOsm, dapat dipertimbangkan pemberian

melalui vena perifer jika akses sentral sulit didapatkan. Larutan untuk nutrisi

parenteral anak sebaiknya disesuaikan dengan berat badan dan kondisi anak

sehingga sediaan yang sudah siap pakai kurang direkomendasikan. Komponen

nutrisi parenteral yang sering digunakan terdiri dari 2 jenis larutan, yaitu larutan

asam amino/dekstrosa dan larutan emulsi lipid. Kebutuhan dekstrosa adalah 5-7

mg/kgBB/menit dan dapat bertambah hingga 12-14 mg/kgBB/menit. Hindari

pemberian karbohidrat yang berlebihan untuk meminimalisir steatosis hepar.

Lipid dimulai dari 1 gr/kgBB/hari hingga 1-2 gr/kgBB/hari pada anak-anak atau 3

gr/kgBB/hari pada bayi. Asam amino dimulai dari 1,5-2 gr/kgBB/hari hingga 2-3

gr/kgBB/hari. Dalam pelaksanaan pemberian nutrisi parenteral, sebaiknya dokter

berdiskusi pula dengan ahli gizi dan farmasi mengenai pilihan larutan nutrisi

parenteral yang tepat. 6,14

Pemberian nutrisi enteral harus sesegera mungkin dimulai setelah kondisi

pasien stabil agar proses adaptasi intestinal dapat berlangsung dengan baik.

Nutrisi yang dipilih bagi bayi adalah ASI, karena mengandung asam amino bebas

(seperti glutamin), asam lemak rantai panjang, immunoglobulin, dan growth

12
factors yang dapat membantu proses adaptasi intestinal. Apabila ASI tidak

tersedia, formula berbasis asam amino dapat menjadi sumber nutrisi pilihan.

Formula ini sebaiknya dipilih yang mengandung lebih banyak trigliserid rantai

medium karena mudah diabsorpsi karena tidak membutuhkan emulsifikasi oleh

empedu dan langsung diabsorpsi oleh usus halus tanpa melewati sistem porta

hepar. Trigliserida rantai panjang bagus untuk membantu proses adaptasi dan

sebagai sumber asam lemak esensial. 6

Suplementasi zat besi, vitamin, dan mikronutrien lain juga penting. Pada

pasien dengan diare kronis, kekurangan zink dan selenium yang signifikan dapat

terjadi. Keseimbangan elektrolit juga harus diperhatikan, khususnya pada pasien

yang mengalami reseksi kolon karena absorpsi air dan sodium tertinggi terjadi di

kolon. Kebutuhan sodium hairan bisa mencapai 8-10 mEq/kgBB/hari bergantung

dari volume produk stoma atau gejala diare yang dialami pasien. 6

Nutrisi enteral dapat diinisiasi sesuai dengan penilaian respon klinis pasien

terhadap pemberian nutrisi parenteral, antara lain monitoring intake, output

(produk stoma/feses), serta berat badan harian. Evaluasi intake dan output harus

dibandingkan dengan baseline output selama 24 jam mencakup urin dan feses.

Pastikan pasien dapat mencapai output urin minimal 1200 mL/hari untuk menjaga

hidrasi yang adekuat. Output sebaiknya dievaluasi setiap minggu untuk menilai

efektivitas terapi hingga kondisi klinis stabil. Secara umum, produk stoma/feses

sebaiknya <40 mL/kgBB/hari untuk menjaga pertumbuhan yang adekuat dan

cairan serta elektrolit yang seimbang. Pasien dengan volume produk stoma/feses >

40 mL/kgBB/hari berisiko mengalami dehidrasi dan abnormalitas elektrolit dan

13
pertambahan berat badan cenderung buruk. Berat badan dinilai setiap hari untuk

mengevaluasi pemberian nutrisi apakah sudah adekuat untuk menjaga

pertumbuhan pada anak. Pemberian nutrisi parenteral harus ditambah apabila

terdapat penurunan berat badan sebesar 1 kg/minggu karena kebutuhan kalori

berarti tidak tercukupi.

Pemberian nutrisi enteral harus dilakukan bertahap sesuai dengan volume

produk stoma atau feses pasien. Nutrisi enteral sebaiknya mulai diberikan melalui

infus kontinyu via NGT atau OGT bersamaan dengan nutrisi parenteral.

Kecepatan pemberian nutrisi enteral dinaikkan perlahan sesuai respon klinis

pasien yaitu produk stoma/feses yang meningkat tinggi sekitar ≥ 50%, emesis,

serta distensi abdomen. Apabila nutrisi enteral sudah dapat ditoleransi dengan

baik, nutrisi parenteral bisa diberikan dengan siklus siklik, misal 2-4 jam sekali,

kemudian diturunkan lagi menjadi 8-12 jam sekali.14,15

Apabila pemberian nutrisi enteral telah ditoleransi dengan baik pula dan

nutrisi parenteral sudah mulai dilepas, bolus ASI atau susu formula peroral untuk

menstimulasi perkembangan motorik oral. Diet padat peroral dapat dimulai sesuai

dengan usia tumbuh kembang anak dan harus mencakup karbohidrat kompleks

serta protein dan lipid yang sesuai kebutuhan. Apabila kolon dipertahankan,

dianjurkan pemberian karbohidrat kadar tinggi (50-60% dari total kalori) dan lipid

yang lebih rendah (20-30% dari total kalori). Namun, jika kolon juga ikut

direseksi, anjuran diet lipid lebih tinggi (30-40%) dibanding karbohidrat (40-

50%).6

14
Pasien SBS harus menghindari asupan karbohidrat simpleks karena

meningkatkan risiko terjadinya diare osmosis, serta dapat menyebabkan asidosis

laktat pada pasien dengan komplikasi SIBO. Karbohidrat kompleks yang paling

baik sebagai sumber energi adalah yang mengandung amilum seperti nasi,

kentang, dan bahan makanan yang terbuat dari tepung. Pemberian suplementasi

serat seperti pectin dapat membantu mengeraskan tinja dan membantu absorpsi

asam lemak rantai pendek hasil fermentasi bakteri terhadap karbohidrat yang tidak

terabsorpsi dan mencapai kolon. Pasien yang telah mengalami asidosis asam D-

laktat sebaiknya tidak diberikan asupan karbohidrat lewat enteral hingga gejala

neurologis berkurang. Jika pasien berisiko mengalami malnutrisi, berikan nutrisi

parenteral untuk sementara.13,16

B. Diare Persisten

1. Definisi

Diare merupakan suatu kondisi hilangnya cairan dan elektrolit dalam

jumlah besar dalam feses. Diare akut didefinisikan sebagain onset mendadak

keluarnya feses berlebihan >10mL/kg/hari pada bayi dan >200g/24 jam pada

anak-anak yang berlangsung selama <14 hari. Ketika episode diare berlangsung

>14 hari maka disebut sebagai diare kronik atau persisten.10

2. Epidemiologi

Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada

balita. Insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-

15% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari seluruh

kematian akibat diare. Hal ini menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis

15
menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak di

dunia. Di Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1%, dengan angka

kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11 bulan.17,19

3. Etiologi

Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam kondisi. Di

negara maju, sebagian besar membahas penyebab non-infeksi, umunya meliputi

intoleransi protein susu sapi/kedeai (pada anak usia < 6bulan, tinja sering disertai

dengan darah); celiac disease (gluten-sensitive enteropathy), dan cystic fibrosis.

Namun, perhatian global seringkali tertuju pada diare berkepanjangan yang

bermula dari diare akut akibat infeksi saluran cerna. Diare jenis ini banyak terjadi

di negara-negara berkembang.17

4. Patogenesis

Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat

kompleks. Pertemuan Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal

and Nutrition (CAPGAN) menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis

yang menjelaskan bahwa paparan berbagai faktor predisposisi, baik infeksi

maupun non-infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang pada akhirnya

memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Seringkali diare

kronis dan diare persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga beberapa referensi

hanya menggunakan salah atau istilah untuk menerangkan kedua jenis diare

tersebut. Meskipun sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis berbeda,

namun, kedua jenis diare tersebut lebih sering dianggap sebagai diare oleh karena

infeksi.18

16
Secara umum, patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas

dengan membagi menjadi lima mekanisme, yakni:10,18

1. Sekretoris

Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel

kripta akibat mediator intraseluler cAMP, cGMP, dan ca2+. Mediator tersebut

juga mencegah terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal

ini berakibat cairan tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan secara

masif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu

volume tinja yang banyak (>200ml/24jam), konsistensi tinja sangat cair,

konsentrasi Ba= dan Cl- > 70mEq, dan tidak berespon terhadap penghentian

makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae di mana

bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan mekanisme yang

telah disebutkan sebelumnya.

2. Osmotik

Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi kegagalan

proses pencernaan dan/atau penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat

tersebut akan langsung memasuki kolon. Hal ini mengakibatkan peningkatan

tekanan osmotik di lumen usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus.

Absorpsi usus tidak hanya tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga

pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak

dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai dengan

penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan gangguan

absorpsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi

17
laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi maupun non

infeksi, yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa

terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak

terserap ini kemungkinan akan difermentasikan oleh mikroflora sehingga

terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala khas

yaitu pH<5, bereaksi positif terhadap substansi reduksi, dan berhenti dengan

penghentian konsumsi makanan yang memicu diare.

3. Mutasi protein transport

Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur

pertukaran ion Cl-/HCO3- pada sel brush border apical usus ileo-colon,

berdampak pada gangguan absorpsi Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak dapat

tersekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis metabolik dan pengasaman isi usus

yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na+. Kadar Cl- dan Na+ yang tinggi

di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik. Pada kelainan

ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi polihidramnion,

kelahiran prematur dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum rendah,

sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah dilaporkan di berbagai

daerah di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, hampir seluruh negara di Eropa,

Timur Tengah, Jepang dan Vietnam. Selain mutasi pada penukar Cl-/HCO3-,

didapat juga mutasi pada penukar Na+/H+ dan Na+-protein pengangkut asam

empedu.

4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus

18
Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu

seperti necrotizing enterocolitis, volvulus, intususepsi/invaginasi, atresia

intestinal, penyakit Crohn, dan lain-lain, diperlukan pembedahan, bahkan

pemotongan bagian usus yang kemudian menyebabkan short bowel syndrome.

Diare dengan pathogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit

yang masif, serta malabsorpsi makro dan mikronutrien.

5. Perubahan pada gerakan usus

Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi, skleroderma,

obstruksi usus, dan diabetes mellitus mengakibatkan pertumbuhan bakteri

berlebih di usus. Pertumbuhan bakteri yang berlebihan menyebabkan dekonjugasi

garam empedu yang berdampak meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti

pada mekanisme diare sekretorik. Perubahan gerakan usus pada diabetes mellitus

terjadi akibat neuropati saraf otonom, misalnya saraf adrenergik, yang pada

kondisi normal berperan sebagai antisekretori dan atau proabsortif cairan usus,

sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu terjadinya diare.10,18

5. Manifestasi Klinis

Anak dengan diare persisten lebih banyak menunjukkan manifestasi diare

cair dibandingkan diare disentriform. Selain itu, malnutrisi merupakan gambaran

umum anak-anak dengan diare persisten. Studi kohort di Amerika menunjukkan

bahwa gejala penurunan nafsu makan, muntah, demam, adanya lendir dalam tinja,

dan gejala-gejala flu, lebih banyak ditemukan pada diare persisten dibandingkan

diare akut. Gejala lain yang mungkin timbul tidak khas, karena sangat terkait

dengan penyakit yang mendasarinya.19

19
6. Diagnosis

Evaluasi pada pasien dengan diare kronis/persisten, meliputi:19

1. Anamnesis

Anamnesis harus dapat menjelaskan perjalanan penyakit diare, antara lain saat

mulainya diare, frekuensi diare, kondisi tinja meliputi penampakan konsistensi,

adanya darah atau lendir, gejala ekstraintestinal seperti gejala infeksi saluran

pernafasan bagian atas, failure to thrive sejak lahir (fibrosis kistik), terjadinya

diare sesudah diberikan susu atau makanan tambahan, buah-buahan (defisiensi

sukrase-isomerase), hubungan dengan serangan sakit perut dan muntah

(malrotasi), diare sesudah gangguan emosi atau kecemasan (irritable colon

syndrome), riwayat pengobatan antibiotika sebelumnya (antibiotic associated

diarrhea).

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan yang cermat keadaan umum pasien, status dehidrasi, pemeriksaan

abdomen, ekskoriasi pada bokong, manifestasi kulit, juga penting untuk mengukur

berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, perbandingan berat badan terhadap

tinggi badan, gejala kehilangan berat badan, menilai kurva pertumbuhan, dan

sebagainya

3. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit,

ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12 folat, kalsium, feritin, laju endap darah,

dan protein C-reaktif.

20
b. Pemeriksaan tinja

i. Makroskopis : warna , konsistensi, adanya darah, lendir

ii. Mikroskopis :

1. Darah samar dan leukosit yang positif (>10/lpb) menunjukkan

kemungkinan adanya peradangan pada kolon bagian bawah.

2. pH tinja yang rendah menunjukkan adanya maldigesti dan malabsorbsi

karbohidrat di dalam usus kecil yang diikuti fermentasi oleh bakteri yang

ada di dalam kolon

3. Clini test, untuk memeriksa adanya substansi reduksi dalam sample tinja

yang masih baru, yang menunjukkan adanya malabsorbsi karbohidrat

4. Breath hydrogen test digunakan untuk evaluasi malabsorbsi karbohidrat

5. Uji kualitatif ekskresi lemak di dalam tinja dengan pengecatan butir

lemak, merupakan skrining yang cepat dan sederhana untuk menentukan

adanya malabsorbsi lemak

6. Biakan kuman dalam tinja untuk mendapat informasi tentang flora usus

dan kontaminasi

7. Pemeriksaan parasit (Giardia lamblia, cacing)

c. Pemeriksaan radiologi/endoskopi:

Pada saluran gastrointestinal membantu mengidentifikasi cacat bawaan (malrotasi,

stenosis) dan kelainan-kelainan seperti limfangiektasis, inflammatory bowel

disease, penyakit Hirschsprung, enterokolitis nekrotikans.19

7. Tatalaksana

Manajemen diare persisten harus dilakukan secara bertahap meliputi:10,19

21
1. Penilaian awal, resusitasi, dan stabilisasi

Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi

secepatnya. Diare persisten seringkali disertai gangguan elektrolit sehingga perlu

dilakukan koreksi elektrolit, khususnya pada kondisi hipokalemia dan asidosis.

Pemberian antibiotik spektrum luas harus dipertimbangkan pada anak-anak yang

menunjukkan gambaran kondisi kegawatan atau infeksi sistemik sebelum hasil

kultur diperoleh.

2. Pemberian nutrisi

a. Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten/kronis

Kebutuhan energi dan protein pada diare persisten/kronis berturut-turut sebesar

100kcal/kg/hari dan 2-3 g/kg/hari, sehingga diperlukan asupan yang mengandung

energi 1kcal/g. Pilihan terapi nutrisi dapat meliputi:

i. Diet elemental

Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental terdiri atas asam

amino kristalin atau protein hidrosilat, mono- atau disakarida, dan kombinasi

trigliserida rantai panjang atau sedang. Kelemahan diet elemental ini adalah

harganya mahal. Selain itu, rasanya yang tidak enak membuat diet ini sulit

diterima oleh anak-anak sehingga membutuhkan pemasangan pipa nasogastrik

untuk mendapatkan hasil maksimal. Oleh karena itu, diet elemental mayoritas

hanya digunakan di negara maju.

ii. Diet berbahan dasar susu

Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI. ASI memiliki keunggulan

dalam mengatasi dan mencegah diare persisten, antara lain mengandung nutrisi

22
dalam jumlah yang mencukupi, kadar laktosa yang tinggi (7 gram laktosa/100

gram ASI, pada susu non-ASI sebanyak 4,8 gram laktosa/100 gram) namun

mudah diserap oleh sistem pencernaan bayi, serta membantu pertahanan tubuh

dalam mencegah infeksi.

Proses pencernaan ASI di lambung berlangsung lebih cepat dibandingkan susu

non-ASI, sehingga lambung cepat kembali ke kondisi pH rendah, dengan

demikian dapat mencegah invasi bakteri ke dalam saluran pencernaan. ASI juga

membantu mempercepat pemulihan jaringan usus pasca infeksi karena

mengandung epidermal growth factors.

iii. Diet berbahan dasar daging ayam

Keunggulan makanan berbahan dasar ayam antara lain bebas laktosa,

hipoosmolar, dan lebih murah. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa

pemberian diet berbahan dasar unggas pada diare persisten memberikan hasil

perbaikan yang signifikan. Tesis S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi

Masyarakat FK UGM dengan single blind, randomized-controlled trial

menunjukkan durasi diare yang mendapat bubur ayam dibandingkan yang

mendapat bubur tempe (1,92±0,66 vs 2,64 ± 0,89, p 0,034). Namun demikian,

mengingat harga bubur refeeding ayam empat kali lebih tinggi daripada bubur

refeeding tempe, penggunaan bubur tempe dapat menjadi pilihan tatalaksana diare

pada situasi keterbatasan kondisi ekonomi.

b. Pemberian mikronutrien

Defisiensi zinc, vitamin A, dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan

asupan nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui defekasi.

23
Suplementasi multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA

(Recommended Daily Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak

umur 1 tahun meliputi asam folat 50mikrogram, zinc 10mg. WHO (2006)

merekomendasikan suplementasi zinc untuk anak berusia ≤ 6 bulan sebesar 10 mg

(½ tablet) dan untuk anak berusia > 6 bulan sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa

pemberian 10-14 hari. Meta-analisis yang dilakukan The Zinc Investigor

Collaborative Group menunjukkan bahwa pemberian zinc menurunkan probabilitas

pemanjangan diare akut sebesar 24% dan mencegah kegagalan terapi diare persisten

sebesar 42%.

c. Probiotik

Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung

Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophilus dan Saccharomyces boulardii pada

penderita diare persisten selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi diare, dan

durasi muntah yang menyertai. Meta-analisis yang dilakukan Johnston et al. (2006)

menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat mencegah terjadinya antibiotic-

associated diarrhea.

d. Tempe

Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti diare setelah

2,39 ± 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak yang mendapat

bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 ± 0,33 hari). Sebuah studi uji

klinis randomized controlled double-blind yang berbahan dasar tempe dapat

mempersingkat durasi diare akut serta mempercepat pertambahan berat badan setelah

menderita satu episode diare akut.10,19

Nutrisi enteral

24
Kandungan formula yang ditetapkan meliputi:10,19

i. Karbohidrat

Karbohidrat akan dipecah oleh enzim oligosakaridase dalam mikrovili menjadi

monosakarida yang akan diabsorbsi ke dalam enterosit. Terdapat 4 enzim

oligosakaridase yang berbeda dalam mikrovili yaitu maltase (glukosa), amylase

(glukosa a-dekstrinase), lactase, dan trehalase. Semua enzim ini berkurang pada

penyakit yang mengenai mukosa usus halus. Lactase merupakan enzim yang paling

peka dan paling akhir pulih apabila terjadi kerusakan mukosa.

ii. Lemak

Lemak merupakan mikronutrien yang paling padat kandungan kalorinya.

Pemberian lemak pada penderita diare kronik sangat penting karena sering disertai

keterbatasan pemasukan kalori.

iii. Protein

Kebutuhan anak akan protein dapat dipenuhi dengan penggunaan protein utuh,

protein hidrosilat, asam amino, atau gabungan.

iv. Vitamin dan mineral

Kekurangan vitamin dan mineral dapat terjadi pada anak dan pemasukan kalori

yang cukup apabila terdapat malabsorbsi lemak atau terjadi interaksi obat/nutrient

dengan diet yang sangat khusus.

Formula yang paling baik diberikan pada diare kronik ialah yang

mengandung glukosa primer, bebas laktosa mengandung protein hidrolisat,

medium chain triglyceride, osmolaritas kurang sedikit dari 600 mOsm/l dan

bersiat hipoalergik atau yang mengandung short chain peptide.

25
Menaikkan jumlah formula dilakukan perlahan-lahan, mula-mula

dianjurkan konsentrasi 1/3 IV, selanjutnya dinaikkan menjadi 2/3 oral : 1/3 IV dan

bila keadaan sudah cukup baik (kenaikan BB minimal 1kg) diberikan pregistimil

dalam konsentrasi penuh.

Pemberian melalui pipa nasogastrik diperlukan apabila bayi/anak tidak

mampu atau tidak mau menerima makanan secara oral, namun keadaan saluran

gastrointestinalnya masih berfungsi. Pemberian nutrisi dilakukan dengan

meningkatkan kecepatan dan kadar formula secara bertahap sampai mencapai

kebutuhan nutrisi anak.19

26
BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas

Nama : An. M. T

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat &
tanggal lahir : Negara, 12 April 2019

Umur : 8 Bulan

Nama Ayah : Tn. D Nama Ibu : Ny. DH

Pekerjaan : Swasta Pekerjaan : Tata Usaha di SD

Pendidikan : SD Pendidikan : S1 Administrasi

Alamat : Jl. Tambak Bitin RT 01 No 01 Nagara

Agama : Islam

Suku : Banjar

Bangsa : Indonesia

II. Anamnesis

Aloanamnesis dengan ibu kandung penderita, pada tanggal 2 Januari 2020,

jam 12.30 WITA.

1. Keluhan Utama : Diare terus-menerus

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang atas rujukan dari RS Hasan Basry Kandangan pada tanggal

26 November 2019 ke RSUD Ulin Banjarmasin. Pasien telah dirawat selama 3

bulan di RSUD Hasan Basry Kandangan karena operasi laparotomi reseksi usus

27
dengan anastomosis et causa intususepsi pada bagian usus jejunum, ileum hingga

colon. Setelah dioperasi menurut pengakuan ibu pasien, pasien mengalami diare

>15x sehari disertai lendir dan darah. BAB cair berwarna kuning, kadang

berdarah tergantung susu yang diminum. BAB juga terkadang tampak seperti susu

yang belum dicerna. Pasien juga mengeluhkan lemas dan dehidrasi berulang.

Keluhan intususepsi diawali pada 24 Agustus 2019 lalu, pasien mengalami

BAB darah disertai lendir dan muntah berwarna hijau. Ibu pasien mengaku 2 hari

sebelum BAB darah dan lendir pasien mengalami demam. Ibu pasien langsung

membawa pasien berobat ke RS Negara Daha Sejahtera. Pasien dirawat selama 4

hari di sana dan mengeluh BAB cair dan lendir disertai muntah-muntah selama

dirawat. Pada 28 Agustus 2019 pasien dirujuk ke RS Hasan Basry Kandangan dan

dilakukan foto babygram didapatkan adanya intususepsi. Pada 29 Agustus 2019

pasien menjalani operasi reseksi usus.

Setelah dioperasi, pasien mengeluh diare terus-menerus sebanyak lebih

dari 15 kali sehari. Ibu pasien mengaku berat badan anaknya turun selama 3 bulan,

dari 8 kg menjadi 5 kg. Pada 27 Desember 2019, pasien dilakukan pemasangan

CVC (Central Vein Catheter) dengan sebagai jalur nutrisi parenteral.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada

4. Riwayat Antenatal

Ibu pasien mengaku cukup sering memeriksakan kehamilannya ke petugas

kesehatan yaitu 9 kali selama kehamilan (tiap bulan 1 kali) dan melakukan

28
pemeriksaan USG sebanyak 3 kali yaitu pada usia kehamilan 4 bulan, 7 bulan, dan

9 bulan.

5. Riwayat Natal

Anak lahir dengan cara spontan pervaginam. Berat badan lahir 3100 gram dan

panjang lahir 50 cm. Anak lahir cukup bulan ditolong oleh dokter umum dan

bidan di Puskesmas Negara.

6. Riwayat Neonatal

Saat lahir langsung menangis.

7. Riwayat Perkembangan

Riwayat perkembangan anak saat ini sudah bisa tiarap. Anak juga bisa duduk

ketika didudukkan oleh orangtuanya. Anak juga bisa merespon perkataan dan bisa

bicara mama dan papa.

8. Riwayat Imunisasi

Riwayat imunisasi pasien sesuai jadwal usianya

Nama Dasar (umur dalam bulan) Ulangan (umur dalam bulan)


BCG 1 -
Polio 1 2 3 4 -
Hepatitis B 2 3 4 -
DPT 2 3 4 -
Campak - -

9. Riwayat Makanan

Usia 0-4 bulan : diberikan ASI eksklusif dan diselingi susu formula khusus. Ibu

pasien mengaku menyusui pasien setiap 2 jam dan pada saat bayinya ingin

menyusui.

29
Usia 4 bulan – 8 bulan: diberikan susu formula 6 sampai 8 kali sehari sebanyak

90-120 ml. Ibu pasien mengaku tidak menyusui pasien lagi karena ASI nya tidak

keluar pasca stress karena sang anak sakit.

10. Riwayat Keluarga

Ikhtisar keturunan:
Garis Ayah Garis Ibu

Ket :

: Perempuan : Laki-laki

: Pasien

Susunan keluarga :

No. Nama Umur L/P Keterangan

1. Tn. D 30 tahun L Sehat

2. Ny. DH 29 tahun P Sehat

3. An. K 11 tahun L Sehat

4. An. MT 8 bulan L Sakit

30
11. Riwayat Sosial Lingkungan

Rumah dihuni oleh 8 orang anggota keluarga, 1 ayah, 1 ibu , 2 orang anak,

kakek, nenek dan 2 saudara ibu pasien. Rumah jauh dari tempat pembuangan

sampah. Rumah dekat dengan tetangga. Sumber air yang digunakan keluarga

untuk kebutuhan sehari-hari menggunakan air PDAM.

III. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

2. Kesadaran : Compos mentis, GCS E4-V5-M6

3. Tanda Vital : CRT : 2 detik

Nadi : 125 kali/menit, regular, kuat


angkat

Suhu : 37,2°C

Respirasi : 31 kali/menit

4. Antropometri : Berat badan : 5.2 kg

Tinggi badan : 62 cm

Lingkar lengan atas : 11 cm

Lingkar kepala : 40,5 cm

5. Kulit: Kulit berwarna sawo matang, sianosis tidak ada,

hemangioma tidak ada, turgor cepat kembali, kulit di

area kedua paha kendor.

6. Kepala/leher:

Rambut: Rambut berwarna hitam, tipis, distribusi merata,

dan tidak ada alopesia.

31
Kepala: Bentuk kepala mesosefali, ubun-ubun besar dan

ubun-ubun kecil belum menutup dan tidak ada

benjolan. UUB cekung.

Mata: Palpebra tidak edema, alis dan bulu mata

distribusi merata, konjungtiva tidak pucat, sklera

tidak ikterik, ptosis (-/-), pupil berdiameter 3

mm/3 mm, isokor, reflek cahaya +/+, kornea

jernih.

Telinga: Bentuk simetris, sekret (-/-), serumen minimal.

Hidung: Hidung berbentuk normal, simetris, pernapasan

cuping hidung tidak ada, epistaksis tidak ada,

sekret tidak ada.

Mulut: Bibir kering, mukosa bibir lembap, tidak sianosis.

Lidah: Normoglosus, pucat tidak ada, tremor tidak ada,

kotor tidak ada, atrofi papil lidah tidak ada.

Faring: Tidak ada hiperemi, tidak ada edem, tidak ada

membran/pseudomembran.

Tonsil: Berwarna merah muda, tidak ada pembesaran,

tidak ada abses.

Leher: Pada vena jugularis teraba pulsasi, tekanan tidak

meningkat, pembesaran KGB leher tidak ada,

kuduk kaku tidak ada.

7. Toraks:

32
Inspeksi :

a. Dinding dada/ paru

Inspeksi : bentuk simetris, retraksi tidak ada, dispneu tidak

ada, pernapasan simetris

Palpasi : fremitus vokal simetris.

Perkusi : suara ketok sonor

Auskultasi : suara nafas vesikular, suara nafas tambahan tidak

ada.

b. Jantung

Inspeksi : tidak terlihat iktus cordis.

Palpasi : tidak ditemukan adanya thrill, apeks teraba lokasi

dua jari dibawah papilla mammae kiri (ICS 5 linea

midclavicular sinistra).

Perkusi : Batas kanan : ICS 4 linea parasternalis kanan

Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula kiri

Batas atas : ICS 2 linea parasternalis kiri

Auskultasi : S1-S2 tunggal, frekuensi: 129 kali/menit, irama

regular, murmur (-).

8. Abdomen

Inspeksi : bentuk cembung, tampak bekas jahitan operasi di

atas pusat bayi

Palpasi : teraba tegang, tidak teraba pembesaran hati dan

limpa, teraba adanya massa berbentuk bulat lonjong

33
di regio umbilicus, permukaan rata, konsistensi

tidak keras dan tidak nyeri.

Perkusi : timpani, tidak ditemukan adanya asites

Auskultasi : bising usus (+)

9. Ekstremitas

Ekstremitas atas dan bawah hangat dan tidak ada edema. Gerakan

cukup aktif, tonus normal, atrofi otot ada, klonus tidak ada, refleks

fisiologis normal, reflex patologis tidak ada, tanda meningeal tidak

ada. Terlihat tidak pucat, dan tidak ikterik.

10. Susunan Saraf

Tidak didapatkan defisit neurologis.

11. Genitalia

Laki-laki, testis bayi turun kanan dan kiri.

12. Anus

Paten

13. Status Gizi

34
BB/U : 5,1 (< -3 SD% Standar BB/U) = Severely Underweight

PB/U : 62 cm (< -3 SD% standar PB/U) = Severely Stunted

35
IV. Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium darah tanggal 26 November 2019 (16.02.50)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.2 14.0 – 18.0 g/dL
Leukosit 13.1 4.0 – 10.5 rb/μL
Eritrosit 5.30 4.10 – 6.00 juta/μL
Hematokrit 39.5 42.0 – 52.0 Vol%
Trombosit 374 150 – 450 ribu/μL
RDW-CV 20.1 12.1 – 14.0 %
MCV.MCH.MCHC
MCV 74.5 75.0 – 96.0 Fl
MCH 26.8 28.0 – 32.0 Pg
MCHC 35.9 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.2 0.0-1.0 %
Eosinofil% 1.1 1.0-3.0 %
Gran% 60.0 50.0-81.0 %
Limfosit% 26.4 20.0-40.0 %
Monosit% 12.3 2.0-8.0 %
Basofil# 0.03 <1.00 ribu/ul
Eosinofil# 0.15 <3.00 ribu/ul
Gran# 7.87 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit# 3.47 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit# 1.61 0.30-1.00 ribu/ul
KIMIA
DIABETES
Glukosa Darah 437 <200.00 mg/dl
Sewaktu
HATI DAN PANKREAS
Total Protein 8.3 4.6-7.0 g/dL
Albumin 4.1 3.8-5.4 g/dl
GINJAL
Ureum 25 0-50 mg/dL
Kreatinin 0.46 0.72-1.25 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium 128 136-145 Meq/L
Kalium 2.5 3.5-5.1 Meq/L
Chlorida 108 98-107 Meq/L

36
Hasil pemeriksaan laboratorium darah tanggal 26 November 2019 (22:15:42)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


KIMIA
Glukosa Darah Sewaktu 65 <200.00 mg/dl

Hasil pemeriksaan laboratorium darah tanggal 28 November 2018 (07:33:01)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.8 14.0 – 18.0 g/dL
Leukosit 15.5 4.0 – 10.5 rb/μL
Eritrosit 4.17 4.10 – 6.00 juta/μL
Hematokrit 32.6 42.0 – 52.0 Vol%
Trombosit 356 150 – 450 ribu/μL
RDW-CV 21.2 12.1 – 14.0 %
MCV.MCH.MCHC
MCV 78.2 75.0 – 96.0 fl
MCH 25.9 28.0 – 32.0 pg
MCHC 33.1 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.5 0.0-1.0 %
Eosinofil% 3.7 1.0-3.0 %
Gran% 52.4 50.0-81.0 %
Limfosit% 35.1 20.0-40.0 %
Monosit% 8.3 2.0-8.0 %
Basofil# 0.07 <1.00 ribu/ul
Eosinofil# 0.58 <3.00 ribu/ul
Gran# 8.10 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit# 5.43 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit# 1.29 0.30-1.00 ribu/ul
KIMIA
DIABETES
Glukosa Darah 78 <200.00 mg/dl
Sewaktu
HATI DAN PANKREAS
Total Protein 6.0 4.6-7.0 g/dL
Albumin 3.6 3.8-5.4 g/dl
Globulin 2.4 2.2-2.6 g/dl

37
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
GINJAL
Ureum 9 0-50 mg/dL
Kreatinin 0.47 0.72-1.25 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium 139 136-145 Meq/L
Kalium 4.0 3.5-5.1 Meq/L
Chlorida 115 98-107 Meq/L

Hasil pemeriksaan laboratorium darah tanggal 3 Desember 2019 (07:39:31)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 12.4 14.0 – 18.0 g/dL
Leukosit 9.2 4.0 – 10.5 rb/μL
Eritrosit 4.78 4.10 – 6.00 juta/μL
Hematokrit 38.2 42.0 – 52.0 Vol%
Trombosit 354 150 – 450 ribu/μL
RDW-CV 20.2 12.1 – 14.0 %
MCV.MCH.MCHC
MCV 79.9 75.0 – 96.0 fl
MCH 25.9 28.0 – 32.0 pg
MCHC 32.5 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.3 0.0-1.0 %
Eosinofil% 6.8 1.0-3.0 %
Gran% 57.6 50.0-81.0 %
Limfosit% 26.8 20.0-40.0 %
Monosit% 8.5 2.0-8.0 %
Basofil# 0.03 <1.00 ribu/ul
Eosinofil# 0.62 <3.00 ribu/ul
Gran# 5.29 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit# 2.46 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit# 0.78 0.30-1.00 ribu/ul
KIMIA
HATI DAN PANKREAS
Albumin 3.5 3.8-5.4 g/dl
ELEKTROLIT
Natrium 138 136-145 Meq/L
Kalium 4.4 3.5-5.1 Meq/L

38
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Chlorida 107 98-107 Meq/L

Hasil pemeriksaan laboratorium darah tanggal 10 Desember 2019 (07:45:03)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.8 14.0 – 18.0 g/dL
Leukosit 6.3 4.0 – 10.5 rb/μL
Eritrosit 4.68 4.10 – 6.00 juta/μL
Hematokrit 37.7 42.0 – 52.0 Vol%
Trombosit 345 150 – 450 ribu/μL
RDW-CV 17.8 12.1 – 14.0 %
MCV.MCH.MCHC
MCV 80.6 75.0 – 96.0 fl
MCH 25.2 28.0 – 32.0 pg
MCHC 31.3 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.2 0.0-1.0 %
Eosinofil% 3.5 1.0-3.0 %
Gran% 51.5 50.0-81.0 %
Limfosit% 31.7 20.0-40.0 %
Monosit% 13.1 2.0-8.0 %
Basofil# 0.01 <1.00 ribu/ul
Eosinofil# 0.22 <3.00 ribu/ul
Gran# 3.24 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit# 1.99 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit# 0.82 0.30-1.00 ribu/ul
KIMIA
HATI DAN PANKREAS
Albumin 3.4 3.8-5.4 g/dl

Hasil pemeriksaan laboratorium darah tanggal 26 Desember 2019 (20:57:54)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hasil PT 11.0 9.9-13.5 detik
INR 1.02 -

39
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Control Normal PT 10.8 -
Hasil APTT 25.0 22.2 - 37.0 detik
Control Normal APTT 24.8 -

Hasil pemeriksaan laboratorium darah tanggal 1 Januari 2020 (10:13:27)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.3 14.0 – 18.0 g/dL
Leukosit 11.3 4.0 – 10.5 rb/μL
Eritrosit 4.10 4.10 – 6.00 juta/μL
Hematokrit 32.5 42.0 – 52.0 Vol%
Trombosit 356 150 – 450 ribu/μL
RDW-CV 16.8 12.1 – 14.0 %
MCV.MCH.MCHC
MCV 79.3 75.0 – 96.0 fl
MCH 27.6 28.0 – 32.0 pg
MCHC 34.8 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.5 0.0-1.0 %
Eosinofil% 5.2 1.0-3.0 %
Gran% 37.0 50.0-81.0 %
Limfosit% 45.9 20.0-40.0 %
Monosit% 11.4 2.0-8.0 %
Basofil# 0.06 <1.00 ribu/ul
Eosinofil# 0.59 <3.00 ribu/ul
Gran# 4.17 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit# 5.17 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit# 1.28 0.30-1.00 ribu/ul
KIMIA
DIABETES
Glukosa Darah 171 <200.00 mg/dl
Sewaktu
ELEKTROLIT
Natrium 136 136-145 Meq/L
Kalium 3.2 3.5-5.1 Meq/L
Chlorida 114 98-107 Meq/L
IMUNO-SEROLOGI

40
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
REMATIK
CRP <6.0 <6.00 mg/L

Hasil pemeriksaan laboratorium darah tanggal 10 Januari 2020 (08:24:58)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.6 14.0 – 18.0 g/dL
Leukosit 9.1 4.0 – 10.5 rb/μL
Eritrosit 3.56 4.10 – 6.00 juta/μL
Hematokrit 29.0 42.0 – 52.0 Vol%
Trombosit 337 150 – 450 ribu/μL
RDW-CV 17.4 12.1 – 14.0 %
MCV.MCH.MCHC
MCV 81.5 75.0 – 96.0 fl
MCH 29.8 28.0 – 32.0 pg
MCHC 36.6 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.2 0.0-1.0 %
Eosinofil% 0.0 1.0-3.0 %
Gran% 47.1 50.0-81.0 %
Limfosit% 37.0 20.0-40.0 %
Monosit% 15.7 2.0-8.0 %
Basofil# 0.02 <1.00 ribu/ul
Eosinofil# 0.00 <3.00 ribu/ul
Gran# 4.27 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit# 3.36 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit# 1.43 0.30-1.00 ribu/ul
IMUNO-SEROLOGI
REMATIK
CRP 12.0 <6.00 mg/L

Hasil pemeriksaan laboratorium darah tanggal 13 Januari 2020 (21:56:36)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 9.5 14.0 – 18.0 g/dL

41
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Leukosit 10.5 4.0 – 10.5 rb/μL
Eritrosit 3.48 4.10 – 6.00 juta/μL
Hematokrit 28.5 42.0 – 52.0 Vol%
Trombosit 386 150 – 450 ribu/μL
RDW-CV 17.0 12.1 – 14.0 %
MCV.MCH.MCHC
MCV 81.9 75.0 – 96.0 fl
MCH 27.3 28.0 – 32.0 pg
MCHC 33.3 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.2 0.0-1.0 %
Eosinofil% 0.2 1.0-3.0 %
Gran% 66.4 50.0-81.0 %
Limfosit% 25.6 20.0-40.0 %
Monosit% 7.6 2.0-8.0 %
Basofil# 0.02 <1.00 ribu/ul
Eosinofil# 0.02 <3.00 ribu/ul
Gran# 6.95 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit# 2.68 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit# 0.79 0.30-1.00 ribu/ul
HEMOSTASIS
Hasil PT 14.0 9.9 – 13.5 detik
INR 1.32 -
Control Normal PT 10.8 -
Hasil APTT 29.4 22.2 – 37.0 detik
Control Normal APTT 24.8 -
KIMIA
ELEKTROLIT
Natrium 134 136-145 Meq/L
Kalium 3.7 3.5-5.1 Meq/L
Chlorida 107 98-107 Meq/L

Hasil pemeriksaan laboratorium darah tanggal 15 Januari 2020 (13:09:21)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.1 14.0 – 18.0 g/dL
Leukosit 8.5 4.0 – 10.5 rb/μL
Eritrosit 3.79 4.10 – 6.00 juta/μL

42
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematokrit 30.6 42.0 – 52.0 Vol%
Trombosit 411 150 – 450 ribu/μL
RDW-CV 18.0 12.1 – 14.0 %
MCV.MCH.MCHC
MCV 80.7 75.0 – 96.0 fl
MCH 26.6 28.0 – 32.0 pg
MCHC 33.0 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.2 0.0-1.0 %
Eosinofil% 3.1 1.0-3.0 %
Gran% 35.4 50.0-81.0 %
Limfosit% 48.6 20.0-40.0 %
Monosit% 12.7 2.0-8.0 %
Basofil# 0.02 <1.00 ribu/ul
Eosinofil# 0.25 <3.00 ribu/ul
Gran# 2.87 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit# 3.94 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit# 1.03 0.30-1.00 ribu/ul

Hasil pemeriksaan Feses Lengkap tanggal 28 November 2019 (10:42:40)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


ANALISA FAECES
MAKROSKOPIS
Benzidin Negatif -
Bakteri (Batang Gram +) Negatif -
Bakteri (Batang Gram -) Positif -
Bakteri (Coccus Gram +) Negatif -
Bakteri (Coccus Gram -) Negatif -
Warna Kuning
Konsistensi Lembek
Darah Negatif Negatif
Lendir Negatif Negatif
MIKROSKOPIS
Amilum Negatif Negatif -
Entamoeba histolytica Negatif -
Entamoeba coli Negatif -

43
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Sisa Pencernaan Negatif -
Reduksi Negatif -
Eritrosit Negatif
Leukosit Negatif -
pH 6.0 -
Telur Cacing Negatif Negatif

Hasil pemeriksaan Feses Lengkap tanggal 10 Desember 2019 (07:45:03)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


ANALISA FAECES
MAKROSKOPIS
Benzidin Negatif -
Bakteri (Batang Gram +) Negatif -
Bakteri (Batang Gram -) Positif -
Bakteri (Coccus Gram +) Negatif -
Bakteri (Coccus Gram -) Negatif -
Warna Kuning
Konsistensi Lembek
Darah Negatif Negatif
Lendir Negatif Negatif
MIKROSKOPIS
Amilum Negatif Negatif -
Entamoeba histolytica Negatif -
Entamoeba coli Negatif -
Sisa Pencernaan Negatif -
Reduksi Negatif -
Eritrosit Negatif
Leukosit Negatif -
pH 6.0 -
Telur Cacing Negatif Negatif

Hasil pemeriksaan Feses Lengkap tanggal 19 Desember 2019 (08:50:13)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

44
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
ANALISA FAECES
MAKROSKOPIS
Benzidin Negatif -
Bakteri (Batang Gram +) Negatif -
Bakteri (Batang Gram -) Positif -
Bakteri (Coccus Gram +) Negatif -
Bakteri (Coccus Gram -) Negatif -
Warna Kuning
Konsistensi Cair
Darah Negatif Negatif
Lendir Negatif Negatif
MIKROSKOPIS
Amilum Negatif Negatif -
Entamoeba histolytica Negatif -
Entamoeba coli Negatif -
Sisa Pencernaan Negatif -
Reduksi Negatif -
Eritrosit Negatif
Leukosit Negatif -
pH 6.0 -
Telur Cacing Negatif Negatif

Hasil pemeriksaan Feses Lengkap tanggal 10 Januari 2020 (08:24:58)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


ANALISA FAECES
MAKROSKOPIS
Benzidin Negatif -
Bakteri (Batang Gram +) Negatif -
Bakteri (Batang Gram -) Positif -
Bakteri (Coccus Gram +) Negatif -
Bakteri (Coccus Gram -) Negatif -
Warna Cokelat

45
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Konsistensi Lembek
Darah Negatif Negatif
Lendir Negatif Negatif
MIKROSKOPIS
Amilum Negatif Negatif -
Entamoeba histolytica Negatif -
Entamoeba coli Negatif -
Sisa Pencernaan Negatif -
Reduksi Negatif -
Eritrosit Negatif
Leukosit Negatif -
pH 6.0 -
Telur Cacing Negatif Negatif

46
Pemeriksaan Foto Babygram (29 Agustus 2019)

Hasil Pemeriksaan Foto Babygram :

Cor : Besar dan bentuk normal


Pulmo : Tak tampak infiltrate
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Bayangan gas dalam usus tampak berlebih
Tampak bayangan coil spring di abdomen kanan
Bayangan hepar dan lien sulit dievaluasi
Bayangan kontur ginjal kanan kiri sulit dievaluasi
Tak tampak bayangan radiopaque di sepanjang tr urinarius
Psoas shadow kanan sulit dievaluasi
Tulang-tulang tampak normal

Kesimpulan :

Mengesankan meteorismus dd/ sub ileus

47
Pemeriksaan Foto BNO (28 November 2019)

Foto BNO

Terpasang drain catheter

Dilatasi sistem colon, posisi ke medial. Tak tampak udara bebas

Kesimpulan

Dilatasi colon ec?

48
Pemeriksaan Foto Rontgen Dada (8 Januari 2020)

Hasil Pemeriksaan

Foto thorax:

 Cor: Ukuran dan bentuk normal

 Pulmo: tampak patchy infiltrate paru bilateral, corakan bronkovaskular

normal

 Sinus tajam

 Diafragma normal

Kesimpulan:

 Secara radiologi cor dalam batas normal

 Bronchopneumonia

49
V. Resume

Nama : An. MT

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 8 bulan

Keluhan utama : Diare terus-menerus

Uraian :

Pasien datang atas rujukan dari RS Hasan Basry Kandangan pada tanggal

26 November 2019 ke RSUD Ulin Banjarmasin. Pasien sebelumnya telah dirawat

selama 3 bulan di RSUD Hasan Basry Kandangan karena operasi reseksi usus

dengan anastomosis et causa intususepsi bagian usus jejunum hingga colon.

Setelah dioperasi menurut pengakuan ibu pasien, pasien mengalami diare >15x

sehari disertai lendir dan darah. BAB cair berwarna kuning, kadang berdarah

tergantung susu yang diminum. BAB juga terkadang tampak seperti susu yang

belum dicerna. Pasien juga mengeluhkan lemas dan dehidrasi berulang. Pasien

saat ini berusia 8 bulan, pasien lahir di Puskesmas Negara, ditolong oleh bidan

dan dokter, bayi cukup bulan dan berat lahir 3100 gram.

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis (GCS E4 V5 M6)

CRT : 2 detik

Nadi : 129 kali/ menit

Suhu : 37,2°C

Pernapasan : 31 kali/menit

50
Kulit : Sawo matang, kulit tampak kendor di kedua paha

Kepala : normosefali, UUB cekung (+).

Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Telinga : Simetris, sekret (-/-), serumen minimal.

Hidung : Pernafasan cuping hidung (-/-)

Mulut : Sianosis (-).

Toraks

- Paru : Simetris, retraksi (-), rh (-/-), wh (-/-).

- Jantung : S1-S2 tunggal, regular, murmur (-).

Abdomen : Cembung, teraba tegang, teraba massa di region

umbilikus dengan permukaan rata dan konsistensi

kenyal

Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)

Susunan saraf : Defisit neurologis (-).

Genitalia : Laki-laki, testis lengkap

Anus : Paten

VI. Diagnosa Kerja

Short bowel syndrome ec post laparotomi reseksi usus + diare persisten

VII. Status Gizi

BB/U WHO Z-Score <-3SD  Severely underweight


TB/U WHO Z-Score <-3SD  Severely stunted
BB/TB WHO Z-Score <-3 SD  Sangat kurus

51
VIII. Prognosis

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad malam

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

IX. Usulan/Saran

- Cek FL, serum elektrolit

XI. Penatalaksanaan

1. IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + KCL (5 ml) + NaCl 3% (20 ml) 

200ml/hr (20 jam)

2. Aminofusin 5% 200 ml/hr

3. IV Lipid 20% 75 ml/hari

4. Inj. Cefotaxime 3 x 200mg

5. Inj. Omeprazole 2x5mg

6. Kolestiramin 2x1/3 sachet

7. Supralysin drop 1x1 ml

8. Zinc 1x1/2 cth

9. Lacto B 2x1 sach

10. Ambroxol 1,5 mg dan Salbutamol 0,5 mg (3 x 1 pulv)

XII. Follow Up

SOAP Keterangan
2 Januari 2020
Subjective BAB cair (+) 7x sehari, muntah (-), demam (-)
Objective HR: 114x/menit
RR: 26x/menit, Suhu: 36,6oC SpO2: 95% tanpa O2, BB: 5,2kg

52
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), ubun-ubun cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilikus
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten
Planning  CVC
 IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCL (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam
 IV Lipid 20% 75 ml/hari
 Diet PG 8x45 ml
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Lacto B 2x1 sachet
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Loperamid 4x2 mg
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Ranivel syr 2x1,5 UI
Supralysine 1x1 ml
3 Januari 2020
Subjective BAB Cair (+) 3x sehari, nafsu makan dan minum (+), muntah (-)
Objective HR: 114x/menit
RR: 26x/menit, Suhu: 36,6oC SpO2: 95% tanpa O2, BB: 5,2 kg
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), ubun-ubun cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilikus
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten
Planning  CVC
 IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCL (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam
 IV Lipid 20% 75 ml/hari
 Diet PG 8x45 ml
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Lacto B 2x1 sachet
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Loperamid 4x2 mg

53
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Ranivel syr 2x1,5 UI
 Supralysine 1x1 ml
4 Januari 2020
Subjective BAB (+) 8x lembek berampas warna hijau, muntah (-), demam (-)
Objective HR: 109x/menit ; BB: 5,2 kg
RR: 24/menit, Suhu: 37,0oC SpO2: 95% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), ubun-ubun cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilikus
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten
Planning  CVC
 IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCL (5 ml)  250 ml/hari (24 jam).
 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam
 IV Lipid 20% 75 ml/hari
 Diet PG 8x45 ml
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Lacto B 2x1 sachet
Zinc 1x1/2 cth
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Supralysine drop 1x1 ml
Metronidazole syrup 3x4 ml (H1)
 Inj. Omeprazole 2x5 mg
5 Januari 2020
Subjective BAB cair (+) 7 kali, BAB berampas dan berwarna kehijauan, muntah
(-), demam (-)
Objective HR: 128x/menit ; BB: 5,2 kg
RR: 36x/menit, Suhu: 36,6oC SpO2: 97% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), mata cekung (-),
UUB cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilicus, turgor cepat kembali
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten

54
Planning  CVC +
 IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCL (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam
 IV Lipid 20% 75 ml/hari  2 jam
 Diet PG 8x45 ml
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Loperamid 4x2 mg
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Ranivel syr 2x1,5 UI
Supralysine 1x1 ml
Metronidazole syrup 3x4 ml (H2)
 Inj. Omeprazole 2x5 mg
6 Januari 2020
Subjective BAB cair (+), muntah (+) 3 kali, demam (-)
Objective HR: 106x/menit ; BB : 5,2 kg
RR: 24x/menit, Suhu: 36,8oC SpO2: 96% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), mata cekung (-),
UUB cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilicus, turgor cepat kembali
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten
Planning  CVC
 IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCL (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam
 IV Lipid 20% 75 ml/hari
 Diet PG 8x45 ml
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Zinc 1x1/2 cth
Lacto B 2x1 sach
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Metronidazole syr 3x4 ml (H3)
 Inj. Omeprazole 2x5 mg
 Supralysine drop 1x1 ml
7 Januari 2020
Subjective BAB cair (+) hijau, muntah (+) hijau, demam (+), batuk (+), makan

55
dan minum (+)
Objective HR: 106x/menit, BB: 5,2 kg
RR: 32x/menit, Suhu: 37oC SpO2: 96% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), mata cekung (-),
UUB cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilicus, turgor cepat kembali
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten
Planning  CVC
 IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCL (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam
 IV Lipid 20% 75 ml/hari
 Diet PG 8x45 ml
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Zinc 1x1/2 cth
Lacto B 2x1 sach
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Metronidazole syr 3x4 ml (H4)
 Inj. Omeprazole 2x5 mg
 Supralysine drop 1x1 ml

SOAP Keterangan
8 Januari 2020
Subjective BAB cair (+), muntah (+), demam (+), batuk (+)
Objective HR: 96x/menit, BB: 5,2 kg
RR: 34x/menit, Suhu: 38,2oC SpO2: 95% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), UUB cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilikus
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten

56
Planning  CVC
 IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCL (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam
 IV Lipid 20% 75 ml/hari
 Diet PG konsentrat 8x50 ml
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Lacto B 2x1 sachet
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Metronidazole 3x4ml (H5)
Ranivel syr 2x1,5 UI
Supralysine 1x1 ml
Zinc 1x1/2 cth
 Inj. OMZ 2x5mg
9 Januari 2020
Subjective BAB Cair (+) 5xsehari ampas hijau, nafsu makan dan minum (+),
muntah (+) 1x, demam (+), batuk (+)
Objective HR: 138x/menit, BB: 5 kg
RR: 36x/menit, Suhu: 37,3oC SpO2: 95% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), UUB cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilikus
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten
3. Pneumonia
Planning  CVC
 IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCL (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam
 IV Lipid 20% 75 ml/hari
 Diet PG konsentrat 8x50 ml
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Lacto B 2x1 sachet
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Metronidazole 3x4ml (H7)
Supralysine drop 1x1 ml
Zinc 1x1/2 cth
 Inj. OMZ 2x5mg
 Inj. Cefotaxime 3x200mg (H1)

57
10 Januari 2020
Subjective BAB (+) cair warna kuning dan berampas, muntah (-), demam (+),
batuk (+)
Objective HR: 103x/menit, BB: 5 kg
RR: 40x/menit, Suhu: 36,3oC SpO2: 98% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), UUB cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilikus
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten
3. Pneumonia
Planning  CVC
 IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCL (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam
 IV Lipid 20% 75 ml/hari
 Diet PG 8x45 ml
 Inj. Cefotaxime 3x200 mg (H2)
OMZ 2x5 mg
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Lacto B 2x1 sachet
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Supralysine drop 1x1 ml
Metronidazole 3x4 ml (H8)
Zinc 1x1/2 cth
Ambroxol 1,5 mg dan Salbutamol 0,5 mg (3 x 1 pulv)
11 Januari 2020
Subjective BAB cair (+) warna kuning dan berampas, batuk berkurang, muntah
(-), demam (-)
Objective HR: 115x/menit, BB: 5,1 kg
RR: 26x/menit, Suhu: 36,5oC SpO2: 97% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), mata cekung (-),
UUB cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilicus, turgor cepat kembali
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome

58
2. Diare Persisten
3. Pneumonia
Planning  CVC
 IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCL (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam
 IV Lipid 20% 75 ml/hari
 Diet PG 8x45 ml
 Inj. Cefotaxime 3x200 mg (H3)
OMZ 2x5 mg
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Lacto B 2x1 sachet
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Supralysine drop 1x1 ml
Metronidazole 3x4 ml (H9)
Zinc 1x1/2 cth
Ambroxol 1,5 mg dan Salbutamol 0,5 mg (3 x 1 pulv)
12 Januari 2020
Subjective BAB cair (+) berkurang dan berampas warna kuning, muntah (-),
demam (-)
Objective HR: 94x/menit, BB: 5,1 kg
RR: 23x/menit, Suhu: 36,8oC SpO2: 96% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), mata cekung (-),
UUB cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilicus, turgor cepat kembali
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten
3. Pneumonia
Planning  CVC
 IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCL (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam
 IV Lipid 20% 75 ml/hari
 Diet PG 8x45 ml
 Inj. Cefotaxime 3x200 mg (H4)
OMZ 2x5 mg
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Lacto B 2x1 sachet
PCT 3x1/2 cth (k/p)

59
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Supralysine drop 1x1 ml
Metronidazole 3x4 ml (H10)
Zinc 1x1/2 cth
Ambroxol 1,5 mg dan Salbutamol 0,5 mg (3 x 1 pulv)
13 Januari 2020
Subjective BAB cair (+) warna kuning, muntah (+) berlendir, demam (+), batuk
berkurang
Objective HR: 112x/menit, BB: 5,7 kg
RR: 20x/menit, Suhu: 38,1oC SpO2: 96% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), mata cekung (-),
UUB cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilicus, turgor cepat kembali
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten
3. Pneumonia
Planning  CVC
 IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCL (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam
 IV Lipid 20% 75 ml/hari
 Diet PG 8x45 ml
 Inj. Cefotaxime 3x200 mg (H5)
OMZ 2x5 mg
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Lacto B 2x1 sachet
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Supralysine drop 1x1 ml
Metronidazole 3x4 ml (H11)
Zinc 1x1/2 cth
Ambroxol 1,5 mg dan Salbutamol 0,5 mg (3 x 1 pulv)

SOAP Keterangan
14 Januari 2020
Subjective BAB cair (+), muntah (-), demam (-), batuk berkurang
Objective HR: 110x/menit, BB: 5,7 kg
RR: 24x/menit, Suhu: 36,7oC SpO2: 95% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), UUB cekung

60
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilikus
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten
3. Pneumonia (Perbaikan)
Planning  CVC  terlepas
 IVFD D40 (65 ml) + D10 (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCl (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam
 IV Lipid 20% 75 ml/hari
 Diet PG 8x45 ml
 Inj. Cefotaxime 3x200 mg (H6)
OMZ 2x5 mg
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Lacto B 2x1 sachet
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Supralysine drop 1x1 ml
Zinc 1x1/2 cth
Ambroxol 1,5 mg dan Salbutamol 0,5 mg (3 x 1 pulv)
15 Januari 2020
Subjective BAB Cair (+) ampas kuning, nafsu makan dan minum (+), muntah (-
), demam (-), batuk berkurang
Objective HR: 104x/menit
RR: 24x/menit, Suhu: 36,5oC SpO2: 95% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), UUB cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilikus
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten
3. Pneumonia (Perbaikan)
Planning  CVC  gagal terpasang
 IVFD D10% (340 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCl (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 115 ml/24 jam (selama 3 jam)
 IV Lipid 20% 20 ml/hari (selama 1 jam)
 Diet PG 8x60 ml

61
 Inj. Cefotaxime 3x200 mg (H8)
OMZ 2x5 mg
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Lacto B 2x1 sachet
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Supralysine drop 1x1 ml
Zinc 1x1/2 cth
 Ambroxol 1,5 mg dan Salbutamol 0,5 mg (3 x 1 pulv)
16 Januari 2020
Subjective BAB (+) cair 10x warna kuning dan berampas, muntah (-), demam
(+), batuk (berkurang)
Objective HR: 116x/menit, BB: 5,1 kg
RR: 40x/menit, Suhu: 36,3oC SpO2: 99% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), UUB cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilikus
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten
3. Pneumonia (Perbaikan)
Planning  CVC  gagal terpasang
 IVFD D10% (340 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCl (5 ml)  200 ml/hari (20 jam).
 Aminofusin 5% 115 ml/24 jam (selama 3 jam)
 IV Lipid 20% 20 ml/hari (selama 1 jam)
 Diet PG 8x60 ml
 Inj. Cefotaxime 3x200 mg (H9)
OMZ 2x5 mg
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Lacto B 2x1 sachet
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Supralysine drop 1x1 ml
Zinc 1x1/2 cth
Ambroxol 1,5 mg dan Salbutamol 0,5 mg (3 x 1 pulv)
17 Januari 2020
Subjective BAB cair (+) 12x warna kuning dan berampas, batuk berkurang,
muntah (-), demam (-)
Objective HR: 110x/menit, BB: 5,2 kg
RR: 36x/menit, Suhu: 36oC SpO2: 99% tanpa O2
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), mata cekung (-),

62
UUB cekung
Pulmo : Retraksi (-), Suara nafas vesikuler, Rhonki : (-)
Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Supel (+), ikterik (-), BU (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (+), teraba massa kenyal berbatas tegas di atas
umbilicus, turgor cepat kembali
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
Assesment 1. Short Bowel Syndrome
2. Diare Persisten
3. Pneumonia (Perbaikan)
Planning  CVC  gagal terpasang
 IVFD D10% (340 ml) + NaCl 3% (20 ml) +
KCl (60 ml)  (20 jam).
 Aminofusin 5% 150 ml/24 jam (selama 2 jam)
 IV Lipid 20% 50 ml/hari (selama 2 jam)
 Diet PG 8x60 ml
 Inj. Cefotaxime 3x200 mg (H10)
OMZ 2x5 mg
 PO. Oralit 50 ml/BAB cair
Lacto B 2x1 sachet
PCT 3x1/2 cth (k/p)
Kolestiramin 2x1/3 sachet
Supralysine drop 1x1 ml
Zinc 1x1/2 cth
Ambroxol 1,5 mg dan Salbutamol 0,5 mg (3 x 1 pulv)

63
BAB IV

DISKUSI KASUS

Pasien ini didiagnosis dengan short bowel syndrome ec post operasi reseksi

usus halus ec intususepsi + diare persisten yang ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini, pasien MT seorang

anak berusia 8 bulan, berjenis kelamin laki-laki dibawa orang tuanya ke RSUD Ulin

Banjarmasin rujukan dari RSUD Hasan Basry Kandangan dengan keluhan diare

terus-menerus selama 3 bulan terakhir pasca operasi reseksi usus halus ec intususepsi.

Keluhan awal pasien terjadi pada 24 Agustus 2019 adalah BAB bercampur darah

disertai lendir disertai muntah berwarna hijau. Ibu pasien mengaku 2 hari sebelum

BAB darah lendir dan muntah hijau, pasien mengalami demam. Setelah dilakukan

pemeriksaan foto babygram didapatkan adanya intususepsi. Saat keluhan terjadi

pasien berusia 4 bulan dengan berat badan 8 kg. Penderita kemudian menjadi rewel

dan menangis terus menerus.

Intususepsi adalah suatu keadaan inversi segmen usus ke segmen usus lainya.

Intususepsi menjadi penyebab tersering obstruksi intestinal pada bayi dan anak-anak.

Puncak insidensi tertinggi pada anak usia 4 sampai 9 bulan. 20 Pada kasus ini, dilihat

dari segi usia pasien memiliki risiko mengalami intususepsi dimana pada kasus ini

pasien mengalami intususepsi pada usia 4 bulan.

Trias gejala klasik terdiri dari nyeri perut, muntah dan darah pada feses atau

sering disebut currant jelly. Jika ketiga gejala klasik in ada, nilai prediktif diagnosis

64
intutusepsi menjadi 93%. Namun, ketiga gejala ini hanya muncul pada kurang dari

1/3 anak dengan intususepsi.21,22 Berdasarkan anamnesis, ditemukan 3 gejala klasik

intususepsi pada pasien ini yaitu nyeri perut, darah pada feses dan muntah hijau.

Gambaran anak yang bergantian antara rewel dan tenang juga mendukung

diagnosis intususepsi karena merupakan gejala yang khas. Setelah intususepsi

berlangsung cukup lama, muncul gejala obstruksi seperti muntah hijau. Riwayat

demam juga ditanyakan karena terdapat hubungan antara intususepsi dengan infeksi

virus. Bising usus yang meningkat dan ditemukannya lendir, feses, dan darah

mendukung diagnosis intususepsi.22

Pemeriksaan radiologis yang dilakukan pada kasus ini adalah foto babygram

dan foto BNO. Gambaran obstruksi yang ditemukan berupa dilatasi usus halus dan

adanya air-fluid levels. Alasan dilakukannya pemeriksaan ini adalah pemeriksaan

pertama untuk menyingkirkan penyebab abdomen akut lainnya dan untuk melihat jika

terdapat gambaran udara bebas yang terdapat pada kasus perforasi usus. Pemeriksaan

laboratorium dilakukan untuk memantau tanda syok dan ketidakseimbangan elektrolit

akibat dehidrasi.22

Setelah diagnosis ditegakkan, intususepsi harus segera ditangani. Resusitasi

cairan dan antibiotik spektrum luas segera diberikan. Reduksi intususepsi dilakukan

dengan reduksi manual (milking) pada laparatomi. Alasan dilakukan pembedahan

karena keterbatasan tenaga ahli untuk reduksi radiologik dan tingkat keberhasilan

reduksi yang rendah pada intususepsi ileokolik.24

65
Setelah dilakukan reseksi usus jejunum, ileum hingga colon transversum,

pasien mengalami diare >15 kali selama 3 bulan. Kondisi yang dialami pada pasien

dalam kasus ini dikenal dengan istilah short bowel syndrome (SBS) yang merupakan

kumpulan gejala akibat kondisi malabsorpsi berat yang terjadi setelah dilakukannya

tindakan reseksi luas pada usus halus. Permukaan mukosa usus yang berkurang akibat

direseksi selanjutnya mengakibatkan diare, dehidrasi, ketidakseimbangan air serta

elektrolit dan malnutrisi.6

Pasien dalam kasus ini mengalami diare lebih dari 3 bulan. Diare merupakan

hilangnya cairan dan elektrolit dalam jumlah besar yaitu >10mL/kg/hari pada bayi

dan >200g/24 jam pada anak-anak. Ketika episode diare berlangsung >14 hari maka

disebut sebagai diare kronik atau persisten. Pada pasien ini diare berlangsung selama

3 bulan. Pasien mengalami diare persisten.10

Berat badan pasien mengalami penurunan dari 8 kg menjadi 5,3 kg dalam

kurun waktu 3 bulan. Menurut kurva BB/U dari WHO, pasien dikategorikan < -3SD

% yaitu severely underweight atau gizi buruk. Pada kurva PB/U pasien dikategorikan

< - 3 SD% untuk usianya saat ini yaitu severely stunted.4

Pasien dalam kasus ini berisiko mengalami gagal tumbuh (FTT, failure to

thrive). Suatu istilah yang digunakan dalam menyatakan bahwa bayi atau anak yang

tidak mengalami penambahan berat badan yang sesuai dengan kurva pertumbuhan

normal atau mengalami penurunan berat badan. Gagal tumbuh lebih merupakan tanda

atau gejala dari suatu masalah pada pasien dan bukan merupakan suatu diagnosis atau

derajat suatu penyakit. Gagal tumbuh menyatakan suatu pengamatan antropometrik

66
jadi bukan berarti gizi kurang atau gizi buruk, yang merupakan suatu keadaan yang

ditentukan pada satu titik pengamatan. Penyebab gagal tumbuh dapat diklasifikasikan

sebagai asupan kalori yang tidak adekuat, absorpsi kalori yang tidak adekuat dan

kebutuhan kalori.26 Pada pasien ini penyebab gagal tumbuh adalah absorbsi makanan

yang tidak adekuat karena diare persisten.

Tatalaksana farmakologis pada short bowel syndrome (SBS) berfokus pada

penggantian cairan, manajemen elektrolit dan nutrisi yang hilang, mengurangi diare,

dan menjaga pertambahan berat badan yang adekuat untuk tumbuh kembang anak.

Asuhan nutrisi pediatric adalah suatu pelayanan kesehatan pencegahan berupa asuhan

nutrisi yang diberikan kepada setiap pasien rawat jalan dan rawat inap untuk

mencegah terjadinya malnutrisi, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat

masalah nutrisi dan mencegah malnutrisi pada rumah sakit. Langkah-langkah asuhan

nutrisi pediatrik:26

1, Assessment (Penilaian)

Penilaian meliputi penentuan status gizi, masalah yang berhubungan dengan

proses pemberian makanan dan diagnosis klinis pasien. Penentuan status gizi

berdasarkan berat badan (BB) menurut panjang badan (PB) atau BB/PB. Grafik

pertumbuhan yang digunakan pada kasus ini adalah grafik WHO 2006 karena pasien

di kasus ini berusia di bawah 5 tahun. Pada kasus ini, status gizi anak pasien adalah

gizi buruk (< - 3 SD standar BB/PB). Diagnosis klinis pada pasien ini adalah short

bowel syndrome + diare persisten.

2. Penentuan Kebutuhan

67
Kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan berat badan ideal (BBI) dikalikan

RDA (Recommended Daily Allowance) menurut usia tinggi (height age). Usia tinggi

adalah usia saat tinggi badan anak tersebut merupakan P 50 pada grafik. Berdasarkan

perhitungan target BB ideal: BB ideal x RDA menurut usia tinggi dengan pemberian

kalori awal sebesar 50-75% dari target untuk menghindari sindrom refeeding. Pada

pasien kasus ini, BBI nya adalah 6,5 kg.

Data Pasien

RMK : 1-44-59-06

Nama: An. MT BBS: 5.2 kg BBI: 6,5 kg PB: 61 cm

Umur: 8 bulan (HA: 3 bulan) LILA: 11 cm LP: 36 cm LK: 40 cm

Kebutuhan nutrisi menurut RDA : E = 120 x 6,5 = 780 kkal

P = 2,5 x 6,5 = 16,25 gram

Range Cairan = (140 – 160) x 5,2 = 728 – 832 ml

3. Penentuan cara pemberian

Pemberian nutrisi melalui oral atau enteral merupakan pilihan utama. Jalur

parenteral hanya digunakan pada situasi tertentu saja. Pemberian nutrisi enteral untuk

jangka panjang dapat dilakukan melalui pipa nasogastrik. Untuk nutrisi parenteral

jangka pendek (< 14 hari) dapat digunakan akses perifer dan untuk jangka panjang (>

14 hari) harus menggunakan akses sentral. Pada pasien ini pemberian nutrisi melalui

oral, enteral (pipa nasogastrik) dan parenteral (CVC). Pada tanggal 28 Desember

2019 dilakukan pemasangan CVC pada pasien. Berat badan pasien pada saat itu

68
adalah 5,2 kg. Pada pasien ini dilakukan pemasangan CVC (Central Vein Catheter)

sebagai jalur nutrisi akses vena sentral untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.

4. Penentuan jenis makanan

Pada pemberian makanan melalui oral, bentuk makanan disesuaikan dengan

usia dan kemampuan oromotor pasien, misalnya usia 0-6 bulan ASI dan/atau formula,

6 bulan-1 tahun ASI dan/atau formula ditambah makanan pendamping. Jenis sediaan

makanan untuk enteral disesuaikan dengan fungsi gastrointestinal dan dapat dibagi

dalam beberapa jenis yaitu polimerik (untuk fungsi GI normal, makronutrien intak

dengan formula standar atau formula makanan padat kalori), oligomerik dan modular.

Pada pasien ini diberikan susu pregestimil yang tergolong oligomerik. Pada

pemberian parenteral, pemberian jenis preparat sesuai dengan usia, perhitungan

kebutuhan dan jalur akses vena.

5. Evaluasi dan monitoring

Tahap ini meliputi pemantauan terhadap penerimaan makanan, toleransi

makanan (reaksi simpang makanan). Reaksi simpang yang dapat timbul pada

pemberian enteral adalah mual/muntah, konstipasi dan diare. Pada pemberian

parenteral dapat terjadi reaksi infeksi, metabolik, dan mekanis. Diperlukan

pemantauan efektivitas berupa monitoring pertumbuhan.26

Pada tanggal 28 Desember 2019 dilakukan pemasangan CVC pada pasien.

Berat badan pasien pada saat itu adalah 5,2 kg. Pada pasien ini dilakukan pemasangan

CVC (Central Vein Catheter) sebagai jalur nutrisi akses vena sentral untuk

memenuhi kebutuhan nutrisinya. Nutrisi parenteral diberikan sebagai dukungan

69
nutrisi bagi pasien yang tidak dapat mengonsumsi atau menyerap sejumlah makanan

melalui traktus gastrointestinal selama paling sedikit 5-7 hari. Akses vena sentral

digunakan bila nutrisi parenteral direncanakan diberikan >14 hari. Pada akses ini

dimungkinkan untuk memberikan larutan dengan konsentrasi tinggi yaitu dekstrosa

25-30% yang merupakan larutan hipersomoler karena memberikan osmolalitas

sebesar 1200-1500 mOsm/L.25

Pasien diberikan nutrisi berupa nutrisi enteral dan parenteral. Nutrisi enteral

yang diberikan adalah susu pregistimil 8x45 ml per hari. Nutrisi parenteralnya adalah

IVFD D40%, IVFD D10%, NaCl 3%, KCL, aminofusin 5% dan IV lipid 20%. Pada

kasus ini, nutrisi parenteral bersifat parsial dimana pemberian makanan tidak

sepenuhnya melalui pembuluh vena tetapi juga diusahakan melalui enteral. Hal ini

bertujuan agar fungsi saluran pencernaan bagian atas tetap berfungsi dengan baik.

Komponen nutrisi parenteral adalah berupa cairan, makronutrien (karbohidrat

dekstrosa, protein asam amino, dan lemak), dan mikronutrien (elektrolit, trace

elements dan vitamin).25

Berat badan pasien saat pertama kali diberikan nutrisi parenteral adalah 5,2

kg. Berikut jumlah kebutuhan cairan, kalori, protein pada pasien ini:

a. Total kebutuhan cairan menurut RDA = 750 ml/hari (728 – 832 ml)

b. Total kebutuhan kalori menurut RDA = 715 kkal/hari (780 kkal)

c. Total kebutuhan ion Na+ = 10 mEq/hari (2-3 mEq/kgBB/hari = 10 – 15 mEq/hari)

d. Total kebutuhan ion K+ = 5 mEq/hari (1-2 mEq/kgBBhari = 5-10 mEq/hari)

e. Total kebutuhan protein = 10 gr/hari (1-3 gr/kgBB/hari = 5-15 gr/hari)

70
f. Total kebutuhan lemak = 15 gr/hari (1-3 gr/kgBB/hari = 5-15 gr/hari)

Pasien juga diberikan nutrisi enteral berupa susu pregistimil sebanyak 8 x 45

ml yang setara dengan 360 ml/hari. Nutrisi enteral yang diserap dan masuk ke dalam

darah diketahui sebanyak 70% dari 360 ml susu yaitu 250 ml/hari. Sisa cairan yang

dapat dijadikan patokan untuk pemberian nutrisi parenteral adalah kebutuhan cairan

total dikurangi nutrisi enteral yang masuk dalam darah yaitu 500 ml/hari. 26

Kebutuhan protein (10 gram/hari) terpenuhi dari 200 ml aminofusin fed 5%.

Kebutuhan lipid (15 gram/hari) terpenuhi dari 75 ml IV lipid 20%. Kebutuhan NaCl

terpenuhi dari 20 ml infus NaCl 3% dan kebutuhan kalium terpenuhi dari 5 ml infus

kalium. Sisa cairan yang ada adalah 200 ml.

Cairan 200 ml yang tersisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan

karbohidrat. Untuk memenuhi itu, digunakan infus dextrose. Infus dextrose yang

diberikan adalah infus D40% sebanyak 85 ml dan infus D10% sebanyak 135 ml.

Asupan kalori yang terpenuhi:

a. Protein (1 gram = 4 kkal) : 200 ml setara dengan 10 gram protein = 40 kkal

b. Lemak (1 gram = 9 kkal) : 75 ml setara dengan 15 gram lemak = 135 kkal

c. Karbohidrat : D40% diberikan 65 ml setara dengan 104 kkal dan D10% diberikan

135 ml setara dengan 54 kkal.

d. Pregestimil 8x45 ml setara dengan 288 kkal

Total asupan kalori yang terpenuhi: 40 + 135 + 104 + 54 + 288 = 621 kkal

Kebutuhan RDA : 621/715 x 100% = 86% terpenuhi

Nutrisi parenteral pasien ini

71
 IVFD D40% (65 ml) + D10% (135 ml) + NaCl 3% (20 ml) + KCl (5 ml) 

200 ml/hari selama 20 jam

 Aminofusin 5% 200 ml/24 jam selama 3 jam

 IV Lipid 20% 75 ml/hari selama 2 jam

Pasien BAB cair hingga saat ini. Fungsi pencernaan pasien berubah. Waktu

pemulihan dan masa adaptasi usus pasien diperlukan waktu yang lama (1-2 tahun).9

Pasien dalam kondisi baik tetapi belum dapat dipulangkan karena masih

mempertimbangkan jalur nutrisi yang dapat diberikan untuk pasien.

Setelah dilakukan follow up, pada hari Minggu hingga Jumat, 5-10 Januari

2020, pasien mengalami demam tinggi dan rewel. Setelah dilakukan pemeriksaan

foto rontgen dada pada 8 Januari 2020 didapatkan bahwa pasien mengalami

pneumonia. Pada kasus ini, kejadian infeksi memiliki risiko terjadi lebih tinggi,

Kejadian pneumonia terjadi lebih berisiko terjadi pada anak yang memiliki faktor

risiko. Beberapa faktor risiko yang ada dan terdapat pada pasien ini adalah usia 0-24

bulan, jenis kelamin laki-laki, pemberian ASI yang tidak eksklusif, dan status gizi

buruk. Pada anak yang berusia 0-24 bulan imunitas belum sempurna dan saluran

pernapasan relatif sempit. Status gizi buruk dapat menurunkan kapasitas kekebalan

untuk merespon infeksi termasuk gangguan fungsi granulosit, penurunan fungsi

komplemen dan juga menyebabkan kekurangan mikronutrien.27

Pada pasien ini diberikan terapi farmakologis berupa oralit, lacto B,

loperamid, kolestiramin, ranivel dan supralisin. Pemberian oralit diberikan segera bila

72
anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi. Pemberian zinc dapat

mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan

anak. Dasar pemberian zinc dalam pengobatan diare didasarkan pada efektivitasnya

terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap

proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat

meningkatkan absorpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan

regenerasi sel epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical dan

meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus. 19

Lacto B merupakan suatu probiotik bentuk bubuk yang dapat diberikan untuk

memperbaiki fungsi normal dari saluran pencernaan dan untuk memperbaiki kondisi

seperti diare. Lacto B mengandung komponen bakteri baik untuk saluran pencernaan

seperti Lactobacillus sp. Loperamid merupakan antimotilitas yang efektif untuk

mengurangi motilitas usus dan meningkatkan waktu transit. Kolestiramin, golongan

resin yang dapat mengikat asam empedu, juga dapat membantu dalam terapi diare

koleretik. Meskipun begitu, penggunaannya harus diperhatikan karena pada pasien

dengan reseksi ileal masif terjadi kekurangan asam empedu akibat ekskresi yang

melebihi sintesis oleh hepar sehingga pemberian kolestiramin justru dapat

menyebabkan eksaserbasi steatorrhea dan malabsorpsi lemak. Selain itu, kolestiramin

juga dapat berikatan dengan obat lain, termasuk loperamid, sehingga penggunaan

bersamaan dapat menurunkan efektivitas loperamid. 7

Ranivel berisi ranitidine yang digunakan untuk pengobatan kondisi

hipersekresi asam lambung yang bersifat patologis. Hipersekresi gaster terjadi pada

73
lebih dari setengah pasien yang mengalami reseksi usus. Inhibitor pompa proton atau

PPI merupakan lini pertama karena efektivitasnya dalam mensupresi sekresi asam

lambung. Hipersekresi gaster tidak menetap namun bisa muncul hingga 12 bulan

sehingga pasien harus dimonitor ketat untuk melihat timbulnya rebound setelah

pengobatan dihentikan.7 Supralysin merupakan kombinasi multivitamin dan lysine

yang terdiri dari vitamin B-complex, vitamin A, D C. Obat ini membantu memenuhi

kebutuhan vitamin dan lysine pada masa pertumbuhan pada bayi dan anak-anak.

74
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan kasus short bowel syndrome post laparotomi reseksi usus

halus ec intususepsi + diare persisten pada seorang anak berusia delapan bulan.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan

penunjang. Tatalaksana farmakologis pada short bowel syndrome (SBS) berfokus

pada penggantian cairan, manajemen elektrolit dan nutrisi yang hilang, mengurangi

diare, dan menjaga pertambahan berat badan yang adekuat untuk tumbuh kembang

anak. Pasien diberikan nutrisi berupa nutrisi enteral dan parenteral. Nutrisi enteral

yang diberikan adalah susu pregestimil 8x45 ml per hari. Nutrisi parenteralnya

adalah IVFD D40%, IVFD D10%, NaCl 3%, KCL, aminofusin 5% dan IV lipid

20%. Pada kasus ini, nutrisi parenteral bersifat parsial dimana pemberian makanan

tidak sepenuhnya melalui pembuluh vena tetapi juga diusahakan melalui enteral.

Hal ini bertujuan agar fungsi saluran pencernaan bagian atas tetap berfungsi dengan

baik. Pasien hingga saat ini masih dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin.

75
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansueto P, Seidita A, Iacono S, Carroccio A. Clinical case and short review


of extreme short bowel syndrome: an update 21 years after. Italian Journal of
Medicine 2016;10:45-51.

2. Sampul M, Ismanto AY, Pondang L. Hubungan diare dengan kejadian


malnutrisi pada balita di RSUP Prof.Dr. R. D. Kandou Manado. ejournal
Keperawatan 2015;3(1):1-7.

3. Kemenkes RI. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Kementerian


Kesehatan RI Direktorat Bina Gizi. 2011.

4. Krisnansari D. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. 2010;4(1).

5. World Health Organization (WHO). Guideline updates on the management of


severe acute malnutrition in infants and children. Geneva: WHO. 2013. 2.
Departemen Kesehatan RI. Rencana aksi nasional pencegahan dan
penanggulangan gizi buruk 2005-2009. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;
2005.

6. Goulet O, Nader EA, Pigneur B, Lambe C. Short Bowel Syndrome as the


Leading Cause of Intestinal Failure in Early Life: Some Insights into the
Management. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr. 2019 Jul;22(4):303-329.

7. Chandra R, Kesavan A. Current treatment paradigms in pediatric short bowel


syndrome. Clinical Journal of Gastroenterology 2017;11(2):103–112.

8. Wales PW, Christison-Lagay ER. Short bowel syndrome: epidemiology and


etiology. Seminars in Pediatric Surgery 2010;19:3-9.

9. Pironi L. Definitions of intestinal failure and the short bowel syndrome. Best
Practice & Research Clinical Gastroenterology. 2016;30:173-185.

10. Kliegman RM. Nelson Textbook of Pediatrics. Elsevier: Philadelphia; 2016.

11. Johnson E, Vu L, Matarese LE. Bacteria, Bones, and Stones: Managing


Complications of Short Bowel Syndrome. Nutrition in Clinical Practice.
2018;33(4):454-466.

12. Piper HG. Intestinal microbiota in short bowel syndrome. In Seminars in


pediatric surgery. 2018. 27(4):223-228.

13. Carter BA, Cohran VC, Cole CR., Corkins MR, Dimmitt RA, Duggan, Merrit
RJ. Outcomes from a 12-week, open-label, multicenter clinical trial of

76
teduglutide in pediatric short bowel syndrome. The Journal of pediatrics.
2017. 181:102-111.

14. Austin K, Bonnes S, Daniel H. (2019). Controversy in Nutrition


Recommendations for Short Bowel Syndrome: How Type of SBS Impacts
Response. Current Gastroenterology Reports. 2019;21(12):64.

15. Belza C, Fitzgerald K, de Silva N, Avitzur Y, Wales PW. Early Predictors of


Enteral Autonomy in Pediatric Intestinal Failure Resulting From Short Bowel
Syndrome: Development of a Disease Severity Scoring Tool. Journal of
Parenteral and Enteral Nutrition. 2019.

16. Carroll RE, Benedetti E, Schowalter JP, Buchman AL. Management and
complications of short bowel syndrome: an updated review. Current
gastroenterology reports. 2016. 18(7), 40.

17. Bhutta ZA. Persistent diarrhea in developing countries. Ann Nestle. 2006; 64:
39-47

18. Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. J. Clin
Invest. 2003; 111(7): 931-943

19. Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY,
Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar
Gastroentero-hepatologi:jilid 1. Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi IDAI
2011; 121-136.

20. Caruso AM, Pane A, Scanu A, Muscas A, Garau R, Caddeo F, et al.


Intussusception in children: Not only surgical treatment. J Pediatr Neonatal
Individualized Medicine.2017;6(1):1-6.

21. Aydin N, Roth A, Misra S. Surgical versus conservative management of adult


intussusception: Case series and review. J Surg Case Report. 2016;20:142-6.

22. Ramsey KW, Halm BM. Diagnosis of intussusception using bedside


ultrasound by a pediatric resident in the emergency department. Hawai’i J
Med Publ Health. 2014;73(2):58-60.

23. Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. Dalam: Holcomb III GW, Murphy JP,
penyunting. Aschraft’s pediatric surgery. Ed ke-5. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2010. h. 508-16.

24. Peh WCG, Khong PL, Lam C, Chan KL, Saing H, Cheng W, et al.
Ileoileocolic intussusception in children: diagnosis and significance. The
British Journal of Radiology. 1997; 70:891-6.

77
25. Hendarto A, Nasar SS. Aspek Praktis Nutrisi Parenteral pada Anak. Sari
Pediatri. 2002;3(4):227-234.

26. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK ULM RSUD Ulin Banjarmasin.


Panduan praktik klinis pediatri. Yogyakarta: OCEANIA PRESS;2017.h.39-51.

27. Hartati S, Nurhaeni N, Gayatri D. Faktor risiko terjadinya pneumonia pada


anak balita. Jurnal Keperawatan Indonesia. 2012;15(1):13-20.

78

Anda mungkin juga menyukai