Anda di halaman 1dari 44

UNIVERSITAS INDONESIA

TATALAKSANA NUTRISI PADA PASIEN OBESITAS


DENGAN SELULITIS, DIABETES MELITUS

LAPORAN KASUS DAN MODUL OBESITAS


MODUL 2

Olivia Charissa
1606971211
TAHAP 1

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK
JAKARTA
MARET 2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii


DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................. iv
DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................... v
1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3


2.1. Obesitas ................................................................................................... 3
2.1.1 Definisi Obesitas ........................................................................... 3
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Sel Lemak ................................................. 3
2.1.3 Etiologi dan Patofisiologi Obesitas ............................................... 5
2.1.4 Diagnosis dan Klasifikasi Obesitas ............................................... 8
2.1.5 Masalah yang Ditemukan pada Obesitas ....................................... 10
2.1.6 Tatalaksana Nutrisi pada Obesitas ................................................ 11
2.2Obesitas dan Diabetes Melitus .................................................................. 14
2.2.1 Selulitis pada Diabetes Melitus ..................................................... 15
2.2.2Tatalaksana Nutrisi pada Diabetes ................................................. 16
3. LAPORAN KASUS ...................................................................................... 19

4. PEMBAHASAN ........................................................................................... 31
5. KESIMPULAN ............................................................................................. 35

DAFTAR REFERENSI ...................................................................................... 36

ii
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.Struktur Sel Lemak ............................................................................ 4


Gambar 2.2 Pengaruh Obesitas terhadap resistensi insulin dan komplikasi lain .. 11

Universitas Indonesia
iii
DAFTAR TABEL

Tabel2.1Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh ...................... 9


Tabel 2.2Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Lingkar pinggang .......................... 10
Tabel 2.3 Klasifikasi Obesitas ............................................................................... 10

Universitas Indonesia
iv
iii
DAFTAR SINGKATAN

AgRP :Agouti protein


ATP : Adenosintrifosfat
BIA :Analisisbioelektrik bio-impedansi
DXA :Dual energy x-ray absorptiometry
TG : Trigliserida
FFM : Fat free mass
FM : Fat mass
GLUT 4 : Transporter insulin glukosa 4
GLP-1 :Glucagon-like peptide-1
CCK : Cholecystokinin
IMT : Indeksmassa tubuh
MNA : Mini Nutritional Assessment
MRI :Magnet resonance imaging
MST :Malnutrition Screening Tool
MUST :Malnutrition Universal Screening Tool
NEFA : Non-esterified fatty acids
NPY :Neuropeptide Y
NRS-2002 :Nutritional Risk Screening-2002
PEM : Malnutrisi energi protein
SGA :Subjective Global Assessment
SNAQ : Short Nutrition Assessment Questionnaire
TNF- ɑ : Tumor necrosis factor-α
UCP :Uncouple protein
VLCD :Very low calorie diets
WHO : World Health Organization

v Universitas Indonesia
iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Obesitas saat ini menjadi permasalahan dunia bahkan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) mendeklarasikan sebagai epidemik global. Lebih dari 1 milyar orang
dewasa mengalami kelebihan berat badan atau overweight dan dimana 300 juta
diantaranya mengalami obesitas.1 Angka kejadian obesitas di negara berkembang
semakin meningkat. Berdasarkan data WHO pada tahun 2013 terdapat 400 juta
orang dewasa yang obesitas. Bahkan Negara maju seperti Amerika Serikat
diperkirakan obesitas mencapai 45-50%, di Australia dan Inggris 30-40%. Di
negara berkembang, seperti di Indonesia berdasarkan hasil Riskesdas 2013
penduduk yang mengalami obesitas mengalami peningkatan dari 13,9% dan
15,5% pada laki-laki dan wanita di tahun 2007 menjadi 19,7% dan 32,9% di tahun
2013.2 Masalah obesitas patut jadi perhatian yang penting karena jumlah yang
terus meningkat dari tahun ke tahun terlebih di kota besar seperti DKI Jakarta.
Berdasarkan Renstra Kemenkes 2015-2019, prevalensi obesitas 39,7% yang
menunjukan 2,5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan prevalensi di NTT yang
hanya 15,2% dengan prevalensi terendah di Indonesia.3

Obesitas adalah suatu keadaan adanya akumulasi lemak yang berlebihan di


dalam tubuh yang merupakan faktor risiko utama untuk berbagai macam penyakit.
Orang dengan obes lebih rentan terhadap terjadinya penyakit metabolik seperti
diabetes melitus tipe 2, hiperlipidemia, dan penyakit kardiovaskular. Obes dan
diabetes memiliki hubungan yang kompleks. Seorang yang menderita obes
berisiko tinggi mengalami resistensi insulin. Keadaan obes sebaiknya ditangani
dengan tepat untuk mencegah terjadinya penyakit-penyakit metabolik.4

Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam melihat


pengaruh obes terhadap terjadinya berbagai risiko penyakit. Dalam penelitiannya
Braunschweig, dkk5 mendapatkan dari 90 anak yang menjadi subjek 13,8%
menderita sindrom metabolik dan memiliki persentil diatas 95, dibandingkan
dengan 0% pada anak dengan persentil < 95. Penelitian lain oleh Han,dkk 6
menemukan bahwa 30-40% orang menderita sindrom metabolik pada usia 65
tahun dan memiliki berat berlebih. Dari penelitian yang ada dikatakan penurunan

1 Universitas Indonesia
2

5-10% berat badan, dapat menurunkan risiko rejadinya simdrom metabolik.


Oleh karena itu, modul ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui
hubungan obes dengan diabetes melitus. Selain itu juga agar diketahui peran dan
tatalaksana nutrisi pada obes dan penyakit penyertanya, dalam modul ini adalah
DM.

Universitas Indonesia
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obesitas
2.1.1Definisi Obesitas
Obesitas merupakan suatu keadaan terjadinya penumpukan lemak tubuh yang
berlebih. Overweight adalah kondisi seseorang yang memiliki berat badan lebih
dari normal. Kedua hal ini akan menyebabkan terjadi akumulasi lemak tubuh
secara berlebihan sehingga terjadi peningkatan berat badan dan memiliki risiko
kesehatan. Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan dan energi
yang dikeluarkan.7

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Sel Lemak


Lemak terdiri dari dari jaringan lemak putih dan jaringan lemak cokelat, terletak
di bawah lapisan kulit, keduanya merupakan sel lemak yang matang dan berperan
dalam homeostasis tubuh.7,8 Hanya sepertiga dari komposisi jaringan lemak yang
berisi adiposit matang, dua pertiga sisanya merupakan kombinasi dari pembuluh
darah kecil, jaringan saraf, fibroblas, dan prekursor sel adiposit, yang dikenal
sebagai preadiposit. Perbedaan kedua jenis sel ini terletak pada warna dan fungsi
mereka. Sel lemak putih yang berwarna kuning atau gading, didominasi oleh sel
lemak putih , secara histologi sel lemak putih berukuran besar dan unilokuler.
Bentuk sel lemak putih yang sferis memungkinkan untuk berkembang menjadi
ukuran maksimal dalam tempat yang kecil, diameter sel ini bervariasi antara 30
sampai 70 mm. Sel ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan energi dalam
bentuk trigliserida, pelindung organ abdomen, dan menyediakan panas bagi
tubuh.8, 9
Sel lemak cokelat yang didominasi oleh warna cokelat memiliki struktur
yang lebih kecil dan bersifat multilokuler, sebagian besar terletak dalam ruang
intraselular. Droplet sel cokelat berukuran relatif lebih kecil dari sel lemak putih,
yaitu mulai dari 20 sampai 40 mm. Sel lemak cokelat berisi banyak pembuluh
darah yang berfungsi dalam distribusi energi dan produksi panas tubuh.8
Pada obesitas, dimana berat badan meningkat terjadi perubahan jumlah

3
Universitas Indonesia
4

dan ukuran dari sel lemak ataupun keduanya. Peningkatan jumlah (hiperplasia)
normal terjadi dalam masa pertumbuhan selama bayi ataupun remaja yang akan
mencapai 25% dari total lemak tubuh, jumlah ini akan menurun pada anak dengan
berat badan normal, akan tetapi pada obes hal ini tidak terjadi. Peningkatan
ukuran sel (hipertrofi) dapat mencapai 1000 kali dari ukuran normalnya. Pada
penurunan berat badan ukuran sel dapat menurun, akan tetapi jumlah akan tetap.9

Gambar 2.1 Struktur Sel Lemak


Sumber : dari referensi no. 10

Rata-rata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan


pria. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah
sekitar 25-30% pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh
lebih dari 30% dan pria dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami
obesitas. Seseorang yang memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah
kisaran berat badannya yang normal dianggap mengalami obesitas. 7
Secara fisiologi sel lemak putih berperan dalam metabolisme lemak,
metabolisme glukosa, dan endokrin. Setelah makan, lemak akan disimpan dalam
bentuk triasilgliserol/ trigliserida (TG) didalam jaringan lemak yang bermanfaat
sebagai sumber energi pada saat terbatasnya asupan. Makanan yang masuk akan
dicerna dalam bentuk asam lemak dan disimpan sebagai TG. Sel lemak dapat
menyimpan TG hingga melebihi 50 mm. Pada saat keadaan kelaparan TG akan
dihidrolisis menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak akan masuk ke
dalam sirkulasi dan digunakan sebagai bahan bakar untuk jaringan melalui
oksidasi asam lemak dan pelepasan adenosin trifosfat (ATP). β-Oksidasi, yang
menghasilkan koenzim asetil A (CoA) dan ATP dari asam lemak dalam
mitokondria, adalah proses yang paling penting yang digunakan oleh sel untuk
mendapatkan energi dari asam lemak. Gliserol yang dihasilkan dari hidrolisis asm

Universitas Indonesia
5

lemak diubah melalui gliserol kinase di hati ke menjadi gliserol yang diperlukan
untuk sintesis TG.8
Peran sel lemak lain adalah dalam metabolisme glukosa, terdapat
beberapa mekanisme peran lemak dalam metabolisme glukosa. Pertama, jaringan
adiposa, dalam hubungannya dengan hati dan otot rangka, lemak adalah satu-
satunya jaringan yang mengatur transporter insulin glukosa 4 (GLUT 4) yang
menengahi transportasi glukosa postprandial ke dalam sel untuk dimanfaatkan dan
disimpan melalui jalur glikolisis. Kedua, aktivitas metabolik lemak sangat
mempengaruhi metabolisme glukosa dalam jaringan lain. Mekanisme yang terjadi
adalah peningkatan lipolisis dari TG yang menghasilkan peningkatan tingkat asam
lemak bebas di peredaran darah. Asam lemak bebas juga memiliki peran regulasi
negatif pada sensitivitas insulin dalam otot rangka, dengan menginduksi
penurunan penggunaan insulin ketika produksi glukosa berlebih sehingga dapat
memivu terjadinya resistensi insulin.8
Jaringan adiposa bukan hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan
cadangan lemak yang merupakan sumber energi, tetapi juga berperan sebagai
organ endokrin/parakrin yang menghasilkan berbagai macam senyawa yang
memiliki peranan dalam fungsi tubuh, yang dikenal sebagai adipokin.8
Sel lemak cokelat berperan dalam regulasi hormon seperti leptin, insulin
dan glukokortikoid. Sel lemak cokelat juga berperan dalam aktivasi uncouple
protein-1 yang berperan dalam perubahan energi menjadi panas.8

2.1.3 Etiologi dan Patofisiologi Obesitas


Obesitas dapat terjadi karena perubahan keseimbangan energi pada tubuh dalam
jangka waktu yang lama, ketidakseimbangan ini terjadi karena interaksi yang
kompleks antara genetik seseorang dengan faktor metabolik, faktor biokimiawi,
faktor lingkungan, sehingga dapat mempengaruhi asupan makanan dan aktivitas
fisik. Aktivitas fisik dan latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan massa otot
dan mengurangi massa lemak tubuh, sedangkan aktivitas fisik yang tidak adekuat
dapat menyebabkan pengurangan massa otot dan peningkatan jeringan lemak.4, 11

Universitas Indonesia
6

Faktor lingkungan
Perubahan lingkungan yang menjadi fenomena saat ini adalah industri makanan
berkembang pesat, makanan cepat saji yang mengandung tinggi kalori, lemak,
gula dan rendah serat menyebabkan risiko obesitas meningkat. Peningkatan yang
dramatis juga terdapat pada penggunaan fruktosa yang tinggi pada minuman
kemasan; produk dengan kandungan fruktosa tinggi dapat meningkatkan angka
kejadian obesitas.12,13 Perilaku makan yang tidak baik diakibatkan oleh beberapa
hal, diantaranya adalah karena lingkungan dan sosial. Hal ini terbukti dengan
meningkatnya prevalensi obesitas di negara maju. Psikologis juga berperan dalam
perilaku makan seseorang, yaitu perilaku makan dijadikan sebagai sarana
penyaluran stress. Perilaku makan yang tidak baik pada masa kanak-kanak
sehingga terjadi kelebihan nutrisi juga memiliki kontribusi dalam obesitas, hal ini
didasarkan karena kecepatan pembentukan sel-sel lemak yang baru terutama
meningkat pada tahun-tahun pertama kehidupan, dan makin besar kecepatan
penyimpanan lemak, makin besar pula jumlah sel lemak. Oleh karena itu, obesitas
pada kanak-kanak cenderung mengakibatkan obesitas pada dewasanya nanti14, 4
Gaya hidup sedentary yaitu dimana pengeluaran energi kurang,
dikarenakan gaya hidup yang sedikit aktivitas dan jarang berolahraga merupakan
salah satu penyebab terjadinya obesitas. Perubahan lingkungan merupakan salah
satu faktor yang membuat seseorang lebih banyak menggunakan kendaraan
bermotor dibandingkan berjalan kaki, Teknologi yang semakin maju, acara
televisi yang semakin bervariasi, bermain komputer, peralatan canggih lainnya
yang memudahkan seseorang mendapatkan hiburan tanpa harus beraktivitas fisik
dan membakar kalori.12, 13

Faktor genetik

Telah banyak dikatakan bahwa keturunan merupakan salah satu faktor penyebab
dari obesitas pada anak. Bukti- bukti yang ada seperti pada anak kembar yang
hidup terpisah, anak yang diadopsi memiliki berat yang hampir sama dengan
saudara atau orang tua kandungnya. Dari penelitian yang dilakukan dikatakan
anak yang lahir dari salah satu orang tua yang mengalami obesitas, memiliki
risiko empat kali lebih besar daripada orangtua dengan berat badan normal,

Universitas Indonesia
7

apabila kedua orang tua menderita obesitas risiko akan meningkat 10 kali besar.
12,15

Faktor Asupan dan Hormon Pencernaan


Asupan makan pada obesitas tentunya memegang peranan penting, hormon-
hormon pengendali rasa lapar dan kenyang akan mengalami perubahan pada obes.
Hormon-hormon pencernaan yang memiliki peranan besar dalam rasa lapar dan
kenyang adalah yang menurunkan nafsu makan atau hormon kenyang
(anorexigenic) leptin, insulin, dan hormon saluran gastrointestinal cholecystokinin
(CCK), glucagon-like peptide-1 (GLP-1), peptida YY3-36 (PYY3-36), dan
hormon yang meningkatkan nafsu makan (orexigenic) yaitu ghrelin.7
Leptin adalah sitokin yang menyerupai polipeptida yang dihasilkan oleh
adiposit yang bekerja melalui aktivasi reseptor hipotalamus. Injeksi leptin akan
mengakibatkan penurunan jumlah makanan yang dikonsumsi. Pada obes terjadi
resistensi leptin yaitu peningkatan kadar leptin tanpa peningkatan jumlah reseptor
yang sesuai, sehingga kemampuan kerja leptin sebagai pemberi sinyal di pusat
yang mengatur rasa kenyang mengalami penurunan.16, 17
Insulin merupakan hormon yang disekresi oleh kelenjar pankreas sebagai
respon dari meningkatnya gula darah. Hormon ini berfungsi sebagai pengabsorbsi
glukosa pada otot yaitu sebagai glikogen otot, pada hati untuk mengubah glukosa
menjadi glikogen, pada jaringan lemak berperan dalam sintesis lemak, dan pada
hipotalamus berperan dalam menurunkan nafsu makan. kerja insulin ialah saat
makanan masuk dan terjadi peningkatan glukosa pelepasan insulin akan
meningkat yang akan memberikan signal rasa kenyang ke hipotalamus. Insulin
melewati sawar darah otak mencapai CNS melalui receptor-mediated
transport.18, 19
Hormon saluran gastrointestinal cholecystokinin (CCK), glucagon-like
peptide-1 (GLP-1), peptida YY3-36 (PYY3-36) memiliki peran masing-masing.
Cholecystokinin yang hormon gastrointestinal pertama yang ditemukan untuk
menekan rasa lapar. Hormon ini diproduksi oleh sel L di duodenum dan usus
halus yang menstimulasi pelepasan enzim pankreas dan kandung empedu,
menghambat pengosongan lambung, meningkatkan pergerakan usus. Peptida
YY3-36 suatu rantai peptida yang terdiri dari 36 asam amino yang berhubungan

Universitas Indonesia
8

dengan neuropeptide Y (NPY) dan disekresi bersama glucagon-like peptide (co-


sekresi). Diproduksi oleh sel-L yang terdapat di usus, semakin meningkat dalam
usus besar hingga ke rektum. Jumlah PYY yang disekresikan ke dalam plasma
darah sebanding dengan kandungan energi makanan yang diasup dan mencapai
konsentrasi puncak 1jam setelah makan. Cara kerja dalam hipothalamus, PYY
berikatan dengan reseptor Y2 yang menghambat neuron yang mensekresi NPY
(Neuropeptide Y) yang merupakan stimulator nafsu makan paling poten.
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) diproduksi di L-cells pada bagian distal usus
halus dan usus besar dan sedikit oleh pankreas dan hipotalamus. GLP-1 berperan
sebagai neurotransmitter di SSP di area yang berhubungan dengan regulasi
appetite, dorsovagal complex dan hipofisis. Cara kerja GLP-1 adalah dengan
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon setelah makan,
menghambat sekresi asam lambung, memperlambat pengosongan lambung
sehingga meningkatkan rasa kenyang.19

Hormon orexigenic yang selalu dihubungkan dengan rasa lapar ialah


ghrelin. Hormon ini diproduksi di sel pada fundus gaster, yang merupakan peptida
kecil yg terdiri dari 28 AA dgn rantai acyl n-octanoid acid di serine 3. Ghrelin
berperan dalam memberikan sinyal rasa lapar saat sebelum makan, kadar paling
tingginya tepat sesaat sebelum makan. jumlahnya meningkat ± 2x lipat sebelum
makan dan menurun setelah 1 jam makan. Ghrelin akan menstimulasi hipotalamus
melalui rangsangan neuropeptide (NYP) dan agouti protein (AgRP).19

2.1.4 Diagnosis dan Klasifikasi Obesitas


Obesitas sering memiliki konsekuensi terjadinya risiko berbagai macam penyakit.
Dalam mendiagnosis pasien langkah pertama yang perlu dilakukan adalah
skrining dan penilaian status gizi. Skrining gizi merupakan tahap awal diperlukan
dalam penanganan pasien, sehingga dapat mendeteksi seseorang dengan penyakit
akut ataupun kronis yang memiliki risiko tinggi mengalami gangguan nutrisi.20
Langkah berikutnya adlah anamnesis dan pemeriksaan. Pada obesitas terjadi
peningkatan berat badan yang meliputi massa lemak, massa bebas lemak,
termasuk tulang.Oleh karena itu, diperlukan alat pengukuran yang valid dan
reliabel. Terdapat beberapa alat yang dapat digunakan untuk mengukur massa

Universitas Indonesia
9

lemak dan massa bebas lemak antara lain biompendance analysis (BIA), compute
tomography (CT), dual energy x-ray absorptometry (DEXA).
Secara umum parameter yang sering digunakan untuk penentuan status
obes adalah indeks masssa tubuh (IMT), meskipun masih terdapat kelemahan
akan tetapi IMT merupakan parameter yang berhubungan kuat dengan massa
lemak tubuh. Indeks massa tubuh diperoleh dengan berat badan (kg) dibagi
dengan tinggi badan kuadrat dalam satuan meter. Kelemahan parameter ini adalah
akan menghasilkan hasil overestimate lemak pada orang dengan masa otot tinggi,
dan sebaliknya.20 Pengukuran lainnya adalah dengan parameter lingkar pinggang,
dengan cara Menentukan batas bawah iga paling bawah kemudian menentukan
Crista Iliaca, diambil pertengahannya, melingkari bagian tersebut dengan pita
pengukur, pita pengukur menempel pas tiak longgar, tidak ketat, sebaiknya
pengukuran dilakukan dua kali.21 kombinasi kedua pengukuran tersebut
merupakan evaluasi yang baik unutk melihat status nutrisi dan juga dikaitkan
dengan risiko penyakit metabolik.20 pembagian kriteria status nutrisi berdasarkan
IMT dan lingkar pinggang dapat dilihat pada tabel.2.1 dan 2.2
Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh
Klasifikasi IMT (kg/m2) WHO WHO asia pasifik

Berat badan kurang <18,5 <18,5

Berat badan normal 18,5 – 24,9 18,5–22,9

Berat badan lebih ≥25 ≥23

Berisiko 23–24,9

Obes I 30-34,9 25–29,9

Obes II 35-39,9 ≥30

Obes III ≥30


Sumber : modifikasi dari referensi no. 9

Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Lingkar Pinggang


Jenis Kelamin Lingkar pinggang (cm)
Risiko meningkat Meningkat signifikan
Wanita > 80 > 88
Pria > 90 >102
Sumber: modifikasi dari referensi no. 22

Tabel 2.3 Klasifikasi Obesitas

Universitas Indonesia
10

Klasifikasi IMT (kg/m2) Risiko morbid


Lingkar perut
<102 cm (pria) <90 cm (pria)
<88 cm <80 cm
(wanita) (wanita)
BB Kurang <18,5 randah Rata-rata
Normal 18,5-22,9 Rata-rata Meningkat
BB lebih ≥23
Berisiko 23-24,9 Meningkat Sedang
Obes 1 25-29,9 Sedang Berat
Obes 2 ≥30 Berat Sangat berat
Sumber :modifikasi dari referensi nomer 22.

2.1.5 Masalah yang Ditemukan pada Obesitas

Obesitas ataupun overweight dapat meningkatkan risiko terjadinya masalah


kesehatan baik akut ataupun kronis, juga dapat mempengaruhi kesehatan pada
usia dewasa muda dan kualitas hidup seseorang. Terjadinya obesitas disebabkan
oleh banyak faktor, sehingga terjadi akumulasi energi yang tersimpan sebagai
lemak. Hal ini berakibat pada terganggunya tiga proses penting yaitu : regulasi
asupan makanan yang ditentukan oleh sensasi lapar dan kenyang dari molekul
sinyal sentral seperti leptin, proses termogenesis yang dimediasi oleh uncouple
protein (UCP). Adipogenesis, proses ini akan meningkat pada obesitas, terjadi
pembentukan dan diferensiasi preadiposit menjadi adiposit yang matang dan
disimpan sebagai lemak.23
Lemak berfungsi sebagai tempat penyimpanan energi tubuh, selain itu sel
lemak putih memproduksi lebih dari 50 sitokin yang berpartisipasi dalam berbagai
fungsi endokrin, parakrin, dan autokrin. Pada orang dengan obesitas peningkatan
sel lemak putih dikaitkan sebagai faktor proinflamasi melalui lipotoksik yang
diinduksi inflamasi dengan sekresi agen proinflamasi (Tumor necrosis factor
alpha, IL-6, dan leptin) yang berkontribusi signifikan terhadap terjadinya
inflamasi ringan. Produksi TNF-α dan non-esterified fatty acids (NEFA) oleh
jaringan lemak dapat mengganggu sinyal insulin. Penurunan adiponektin, salah
satu sitokin yang diproduksi oleh jaringan lemak yang berperan penting dalam
sensitisasi insulin dan antiaterogenik. Penemuan tersebut dihubungkan dengan
terjadinya sindrom metabolik seperti resistensi insulin, dislipidemia, dan
komplikasi kardiovaskuler.23

Universitas Indonesia
11

Jaringan lemak

Asam lemak bebas ↑


Adipositokin :
· ↑ TNF-α
· ↑ Leptin
· ↑ Resistin
· ↓ Adiponektin

Resistensi insulin PCOS


NAFLD

Disfungsi
Sindrom Dislipidemia
endotel
metabolik

Gambar 2.2 Pengaruh obesitas terhadap resistensi insulin dan


komplikasi lain
Sumber: modifikasi referensi no.23
2.1.6 Tatalaksana Nutrisi pada Obesitas
Obesitas merupakan dampak dari tidak seimbangnya antara asupan makan
(energy intake) yang berlebih dibandingkan dengan yang dikeluarkan (energy
expenditure) sehingga kelebihan asupan tersebut disimpan dalam bentuk lemak.
Makanan mengandung karbohidrat, protein dan lemak yang merupakan sumber
energi. Apabila asupan berlebih, maka karbohidrat akan disimpan sebagai
glikogen dalam jumlah terbatas dan sisanya dalam bentuk lemak, protein akan
digunakan sebagai protein tubuh, sedangkan lemak akan disimpan sebagai lemak.
Tubuh memiliki kemampuan menyimpan lemak tidak terbatas. 24 Target pada
penatalaksanaan obesitas adalah bertitik berat pada berat badan tidak hanya pada
penurunan, akan tetapi harus memperhatikan maintenance jangka panjangnya.7
Tatalaksana obesitas meliputi modifikasi gaya hidup, aktifitas fisik, dan restriksi
energi.

Modifikasi Gaya Hidup


Modifikasi gaya hidup meliputi perubahan lingkungan, aktifitas fisik, dan
asupan makan telah menjadi hal yang penting dalam tatalaksana obesitas. Strategi

Universitas Indonesia
12

dalam perubahan gaya hidup adalah self-monitoring, penetapan tujuan, kontrol


stimulus, penyelesaian masalah, restrukturisasi kognitif, mencegah stress,
dukungan sosial dan pencegahan kekambuhan. Self-monitoring dapat
menggunakan record, daily planner yang dipakai untuk mencatat apakah kegiatan
atau asupan makan pada hari tersebut. Program modifikasi gaya hidup ini jika
dilakukan secara komprehensif dapat menurunkan berat badan kurang lebih 10%
dalam waktu 4 hingga 26 minggu.7

Pola Latihan Fisik


Latihan fisik bertujuan untuk meningkatkan massa bebas lemak,
membantu menyeimbangkan kehilangan massa bebas lemak dan penurunan
metabolisme basal yang terjadi, walaupun pada program penurunan berat badan
yang baik. Peran lain dari olahraga antara lain memperkuat sistem kardiovaskular,
meningkatkan sensitifitas pada insulin, dan mengeluarkan energi tambahan.
Menurut rekomendasi latihan fisik 60-90 menit perhari, dapat
mempertahankan berat badannya. Pada obes, sebaiknya diawali setidaknya 30
menit perhari untuk memproleh hasil yang baik. Rekomendasi lain, mengatakan
bahwa latihan 20-60 menit/ hari, tiga kali atau lebih dalam seminggu memiliki
manfaat kesehatan jangka panjang. Kombinasi dari latihan aerobik dan ketahanan
dengan intensitas sedang lebih dianjurkan. Latihan ketahanan dapat meningkatkan
massa bebas lemak, kemampuan untuk meningkatkan metabolisme sehingga
meningkatkan penggunaan energi dan meningkatkan kepadatan tulang. Latihan
aerobik penting untuk kesehatan sistem kardiovaskular, serta untuk pengeluaran
energi sehingga cadangan lemak di tubuh akan digunakan. Selain manfaat
fisiologis dari latihan tersebut adalah menghilangkan kebosanan, meningkatkan
kemampuan kontrol, dan meningkatkan rasa kesejahteraan.7

Program Penurunan Berat Badan


Program penurunan berat badan seperti diet pembatasan energi (low calorie diet)
dan very low calorie diets (VLCD) harus dikombinasi dengan aktifitas fisik dan
perubahan gaya hidup untuk dapat memperoleh hasil yang diinginkan.
Diet Pembatasan Energi

Universitas Indonesia
13

Diet pembatasan energi yang seimbang merupakan metode penurunan


berat badan yang paling sering diresepkan. Diet tetap memperhatikan
keseimbangan komposisi nutrisi kecuali untuk energi, yang dikurangi hingga poin
di mana penyimpanan lemak harus dapat dimobilisasi untuk mencapai kebutuhan
energi harian. Defisit kalori dari 500 hingga 1000 kkal setiap harinya dikatakan
dapat mencapai target yang diinginkan. Tingkat energi bervariasi pada setiap
individu menurut ukuran dan aktivitasnya, umumnya berkisar dari 1200 hingga
1800 kkal setiap harinya. Tanpa memerhatikan tingkat restriksi kalori, pola makan
seimbang harus diedukasi, dan rekomendasi untuk peningkatan aktivitas fisik
harus diikutsertakan.
Diet rendah kalori dihitung sesuai dengan kebutuhan setiap individu untuk
karbohidrat (50% hingga 55% dari total kkal), bahan makanan sumber karbohidrat
kompleks seperti sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, dan biji-bijian.
Diet juga meliputi protein, sekitar 15% hingga 23% kkal, untuk mencegah
pemecahan protein menjadi energi. Lemak tidak melebihi 30% dari total kalori.
Tambahan dari serat juga direkomendasikan untuk menurunkan densitas kalori,
untuk memberi rasa kenyang dengan memperlambat waktu pengosongan
lambung, dan untuk sedikit menurunkan efisiensi absorpsi usus.
Jumlah asupan alkohol dan makanan dengan kadar gula tinggi haruslah
dikurangi. Pada peminum alkohol berat, justru akan menyebabkan nafsu makan
menurun pesat hingga bisa terjadi malnutrisi, akan tetapi pada peminum sedang,
akan menaikkan berat badan karena alkohol menambah jumlah kalori yang
masuk. Pemanis buatan atau pengganti lemak tidak terbukti memiliki makna besar
dalam menurunkan berat badan. Dengan mengganti makanan utama atau ringan 2
kali sehari dapat membantu mengurangi berat badan atau menjaga berat badan
secara signifikan.

Very low calorie diet


Yang dimaksud dengan penurunan kalori ekstrim adalah penurunan
masukan secara berlebih yang jumlahnya kurang dari 800 kkal per hari atau
puasa dibawah 200 kkal per hari. Puasa memang bisa menjadi salah satu pilihan

Universitas Indonesia
14

terapi namun terkadang dapat menyebabkan gangguan neurologis, hormonal, dan


efek samping lainnya. Lebih dari 50% jumlah berat badan yang akan berkurang
adalah cairan tubuh yang dapat menyebabkan hipotensi, akumulasi asam urat atau
timbulnya batu empedu.

Yang dimaksud diet kalori sangat rendah adalah apabila masukan kalori
hariannya berkisar antara 200-800 kkal. Umumnya diet ini rendah kalori namun
tinggi protein (0.8-1.5 g/kg BBI per hari). Diet ini termasuk konsumsi vitamin,
mineral, elektrolit, asam lemak. Lama yang dianjurkan untuk diet ini adalah 12-16
minggu karena memiliki efek samping. Dianjurkan untuk pasien dengan IMT
diatas 30. Efek sampingnya antara lain, tidak tahan dingin, pusing, gugup, euforia,
konstipasi atau diare, kulit kering, anemia, menstruasi yang tidak teratur.

2.2 Obesitas dan Diabetes Melitus


Patogenesis terjadinya diabetes melitus tipe 2 (DM) meliputi resistensi insulin,
gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi glukosa oleh hepar.
Resistensi insulin merupakan penurunan kerja insulin terhadap jaringan target
perifer (terutama otot dan hati). Ditandai dengan rusaknya reseptor insulin
sehingga glukosa tidak dapat digunakan oleh jaringan target. Resistensi insulin
mengganggu pemakaian glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin dan
meningkatkan produksi glukosa oleh hati, keduanya berkontribusi pada
hiperglikemia.25 Sekresi dan sensitivitas insulin saling berhubungan. Pada DM
tipe 2, sekresi insulin awalnya meningkat sebagai respon terhadap resistensi
insulin unutk mempertahankan toleransi glukosa normal. Awalnya, defek sekresi
ini ringan (relatif) dan selektif melibatkan hanya sekresi insulin yang terstimulasi
glukosa. Respon terhadap sekretatorik nonglukosa lainnya dipertahankan. Pada
akhirnya defek ini berkembang hingga sekresi insulin tidak mencukupi lagi
(absolut). Pada DM tipe 2, reseptor insulin di hati memberikan gambaran
kegagalan hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis, yang menghasilkan
hiperglikemia puasa dan berkurangnya penyimpanan glikogen pada status
postprandial. 25
Obesitas dan DM tipe 2 saling berhubungan dengan resistensi insulin.
Pada obes terjadi resistensi insulin, akan tetapi, tidak berkembang menjadi

Universitas Indonesia
15

hiperglikemia. Sel-β pankreas dari pulau langerhans melepaskan jumlah yang


cukup insulin yang cukup untuk mengatasi penurunan tingkat insulin dalam
keadaan normal, dengan demikian toleransi glukosa normal dapat dipertahankan.
Disfungsi endotel merupakan mekanisme yang dikaitkan dengan terjadinya DM
tipe 2 dengan obes.. Asam lemak nonesterified (NEFAs) yang disekresikan dari
jaringan adiposa pada obes dikaitkan dengan resistensi insulin dan disfungsi sel β
pankreas.26
Faktor yang mempengaruhi obesitas dan DM adalah tingkat keparahan
obesitas dan jumlah lemak yang terakumulasi. Peningkatan jumlah lemak
terutama pada bagian viseral dikaitkan dengan terjadinya penyakit sindrom
metabolik seperti diabetes tipe 2, dan penyakit kardiovaskular. Pada dewasa
jumlah sel lemak cokelat terbatas,yang memainkan peran dalam thermogenesis
dan berpotensi mempengaruhi pengeluaran energi dan kerentanan terjadinya
obesitas Demikian juga, jaringan lemak terdiri dari jenis sel yang heterogen. Sel-
sel kekebalan dalam jaringan adiposa juga mungkin berkontribusi terhadap proses
metabolisme sistemik. Mekanisme yang mendasari antara lain pertama
peningkatan produksi adipokin / sitokin, termasuk tumor necrosis factor-α (TNF-
ɑ), resistin, dan retinol-binding protein 4, yang berkontribusi terhadap resistensi
insulin. Deposisi ektopik lemak, terutama di hati dan juga di otot rangka.
Mekanisme yang terakhir adalah disfungsi mitokondria, terbukti dengan
penurunan massa dan fungsi mitokondria dikatakan menjadi salah satu dari
banyak kelainan yang menghubungkan obesitas dengan diabetes, baik dengan
mengurangi sensitivitas insulin dan dengan mengorbankan fungsi sel-β.26

2.2.1 Selulitis pada Diabetes Melitus


Pada pasien dengan diabetes, infeksi yang terjadi akan memiliki dampak yang
serius.Infeksi pada kaki penderita diabetes merupakan salah satu komplikasi yang
sering terjadi. Keparahan penyakit berkisar dari paronychia yang ringanl hingga
ulkus yang dalam yang dapat berujung pada amputasi. Infeksi yang terjadi
meliputi selulitis, myositis, abses, necrotizing fasciitis, sepsis, arthritis, tendinitis,
dan osteomyelitis. 27

Universitas Indonesia
16

Infeksi kaki pada penderita DM terutama karena neuropati, insufisiensi


vaskular, dan fungsi netrofil yang menurun. Neuropati perifer memiliki peranan
yang penting dalam perkembangan infeksi kaki dan dialami pada sekitar 30
sampai 50 % pasien dengan diabetes. Pasien dengan diabetes kehilangan sensasi
untuk merasakan suhu dan nyeri. Neuropati dapat mengakibatkan deformitas kaki
yang berkontribusi terhadap tekanan lokal dari alas kaki, membuat terjadinya
ulserasi pada kulit. Setelah kulit rusak, jaringan di bawahnya mudah terkena
kolonisasi oleh organisme patogen. Infeksi luka yang dihasilkan mungkin mulai
dari yang ringan, tetapi lambatnya pengobatan dan gangguan mekanisme
pertahanan tubuh yang disebabkan oleh disfungsi neutrofil dan insufisiensi
vaskular, memudahkan penyebaran ke jaringan subkutan di sekitarnya.27
Mobilisasi leukosit polimorfonuklear (PMN), kemotaksis, dan aktivitas
fagositosis akan mengalami penurunan selama hiperglikemia. Kondisi
hiperglikemik juga akan menghambat fungsi antimikroba dengan menghambat
dehidrogenase glukosa-6-fosfat (G6PD), meningkatkan apoptosis leukosit
polimorfonuklear, dan mengurangi transmigrasi polimorfonuklear leukosit
melalui endotelium. Pada jaringan yang tidak perlu insulin untuk transportasi
glukosa, lingkungan hiperglikemik meningkatkan kadar glukosa intraseluler, yang
kemudian dimetabolisme, menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Penurunan
tingkat NADPH mencegah regenerasi molekul yang memainkan peran kunci
dalam mekanisme antioksidan sel, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap
terjadinya stres oksidatif.28
2.2.2 Tatalaksana Nutrisi pada Diabetes
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu jangka pendek,
hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan rasa nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah. Jangka panjang, mencegah dan
menghambat progresivitas dari komplikasi.29
Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan
pendekatan non farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi
kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau
obesitas. Bila dengan langkah-langkah tesebut sasaran pengendalian belum
tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis.

Universitas Indonesia
17

Terdapat empat pilar penataaksanaan DM yaitu edukasi berupa perubahan pola


gaya hidup dan perilaku. Diperlukan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan
masyarakat. 29
Prinsip penatalaksanaan DM adalah melakukan 3J (jenis, jadwal, dan
jumlah). Pemberian asupan pada penderita DM terbagi dalam 3 kali makan besar
dan 3 kali makan ringan. Komposisi bahan makanan yang direkomendasikan
untuk penderita DM adalah karbohidrat, sebagai sumber energi, diberikan pada
penderita DM tidak boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi dalam
sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasi dengan pemberian asam
lemak tidak jenuh rantai tunggal (Monounsaturated Fatty Acids = MUFA). Jenis
yang dikonsumsi sebaiknya adalah yang mengandung karbohidrat kompleks. Jika
ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat maksimal 70%
dari total kalori perhari. Jumlah serat 25-50 gram per hari. Penderita DM
dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran
serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.23, 29 Jumlah sukrosa dibatasi 5%
dari kebutuhan total kalori per hari. Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh
lebih dari 10 gram per hari dan fruktosa tidakk boleh lebih dari 60 gram per hari.
Protein, jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari
total kalori per hari. Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein
diturunkan sampai 0,85 gram/kgbb/hari dan tidak kurang dari 40 gram. 29
Lemak, mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya.
Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam
lemak seperti vitamin A, D, E, dan K. Pembatasan asupan lemak jenuh dan
kolesterol disarankan bagi penderita DM karena terbukti dapat memperbaiki profil
lipid tidak normal yang sering tidak normal dijumpai pada diabetes. Asam lemak
tidak jenuh rantai tunggal, merupakan salah satu asam lemak yang dapat
memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet
penderita DM dapat menurunkan trigliserida, kolesterol total, Very Low Density
Lipoprotein (VLDL) dan meningkatkan kolesterol High Density Lipoprotein
(HDL). Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (Polyunsaturated Fatty
Acids = PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida,

Universitas Indonesia
18

memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang


dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktifitas enzim
lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer,
sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol Low Density Lipopreotein (LDL).9

BAB 3
LAPORAN KASUS

Universitas Indonesia
19

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. SS
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Binong Permai
No. RM : 00005488
Ruang : Cempaka, RSUT
Tanggal masuk RS : 20 Februari 2017
Tanggal pemeriksaan : 21 Februari 2017

SKRINING GIZI
Skrining gizi pada pasien ini menggunakan lembar skrining gizi RSUT yang
merupakan modifikasi MST.
1. Asupan makanan kurang dari ½ yang biasa dikonsumsi, atau ½ dari kebutuhan
selama 7 hari? Ya (1)
2. Penurunan BB > 10% dalam 6 bulan terakhir? Tidak(0)
3. Albumin < 3,5 g/dl? Tidak (0)

SUBJEKTIF
Anamnesis dilakukan dengan cara autoanamnesis dengan pasien dan
alloanamnesis dengan istri pasien.

Keluhan Utama
Pasien datang ke RS dengan keluhan bengkak pada kaki yang memberat 1 hari
sebelum masuk RS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien merasa nyeri di telapak
kakinya (terutama kanan), seperti ngilu yang tiba-tiba saat menapak ketika sedang
berjalan. Karena nyeri tersebut pasien sempat berhenti untuk beristirahat, akan
tetapi tidak menghilang. Pasien masih bisa berjalan pulang. Setibanya di rumah
kaki diolesi balsam, akan tetapi semakin
19
lama semakin parah, bengkak semakin
bertambah hingga ke punggung kaki. Kaki semakin merah dan terasa panas.

Universitas Indonesia
20

Pasien juga mengeluh badan demam dan terasa menggigil. Trauma atau luka pada
kaki disangkal. Pasien tidak mengonsumsi obat apapun untuk menghilangkan
nyerinya, hanya diistirahatkan.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit pagi hari bengkak semakin meluas
hingga ke betis kedua kaki, terasa sangat nyeri hingga pasien tidak dapat tidur.
Demam dan menggigil masih terasa. Pasien mengonsumsi obat penurun panas
(parasetamol), tetapi tidak memberikan perbaikan. Pasien mengeluh lemas dan
tidak enak makan karena menahan rasa sakit dan mual. Sore harinya keluhan
semakin memberat, pasien tidak dapat berjalan karena sakitnya, lemas dan sedikit
merasa sesak. Kemudian pasien dibawa oleh keluarga ke IGD RSUT , lalu
akhirnya dirawat di ruang Cempaka.
Saat pemeriksaan, masih terdapat bengkak dan merah sampai daerah betis,
tetapi nyeri sudah membaik. Demam dan menggigil sudah tidak ada. Pasien dapat
makan, tetapi tidak banyak. Riwayat trauma, luka, demam sebelumnya disangkal.
Riwayat sakit kencing manis diakui.
Sekitar satu tahun yang lalu, pasien sering merasa lemas. Menurut istri,
pasien sering mengantuk dan keringetan. Waktu tertidur tidak menentu, jika
sedang duduk pasien dapat langsung tertidur. Dalam sehari dapat mengganti
pakaian 6 kali. Pasien mengeluh sering kencing pada malam hari, 6-7 kali, jumlah
banyak ( ¾ gelas aqua),warna kuning muda, tidak terasa nyeri dan panas. Setelah
kencing biasanya pasien akan minum 1 – 1 ½ gelas belimbing karena haus. Untuk
keluhan makan tidak ada, pasien masih dapat makan seperti biasanya. Pasien juga
mengeluhkan kesemutan sesekali. Saat kontrol ke RS dilakukan pemeriksaan gula
darah, didapatkan hasil 400an dan pasien dinyatakan menderita sakit gula. Selama
satu tahun ini, menurut pasien obat diminum teratur ( obat terakhir adalah
acarbose dan glimepirid) Pasien pernah disarankan untuk menggunakan insulin
tetapi menolak. Selama kontrol gula darah tidak puasa naik turun dengan kadar
tertinggi 280 dan terendah 160.

Riwayat Penyakit Terdahulu


Riwayat pernah mengalami keluhan yang sama disangkal
Riwayat penyakit gula diakui (1 tahun yang lalu)

Universitas Indonesia
21

Riwayat darah tinggi diakui (terkontrol)


Riwayat sakit jantung diakui sejak 15 tahun yang lalu. ( kontrol teratur, jarang
kambuh)
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat anggota keluarga mengalami keluhan seperti pasien disangkal.
Riwayat penyakit gula disangkal atau jantung dalam keluarga juga disangkal.
Riwayat penyakit darah tinggi diakui ( ibu pasien)
Riwayat Asupan Nutrisi
Sebelum sakit, pasien biasa makan 2-3 kali sehari. Untuk sarapan pasien
mengonsumsi teh manis dengan gula 2sdm dengan gorengan pisang atau singkong
2 potong sedang. Makan siang pasien biasa mengonsumsi nasi 2,5-3 gelas
belimbing dengan lauk ikan pindang 1 potong sedang, serta sayur satu mangkuk
kecil, tahu goreng 1 potong besar. Malam hari pasien biasa mengonsumsi nasi 2-3
gelas belimbing, lauk ikan 1 potong sedang, sayur ditumis 1 mangkuk kecil, dan
tahu atau tempe 1 potong. Untuk cemilan pasien sering meminta dimasakan mi
goreng ( bukan mi instan). Pasien mengonsumsi gorengan seperti bakwan atau
tempe goreng 5 sampai 6 buah sehari, pasien juga gemar konsumsi kue atau
biskuit coklat.
Saat sakit (DM) pasien diatur makannya oleh istrinya sebanyak 3 kali
sehari, sarapan dan makan siang nasi 1,5 – 2 gelas belimbing, dengan lauk telur 1
butir atau ikan 1 potong sedang, tahu goreng, dan sayur 1 mangkuk kecil. Untuk
makan malam biasanya nasi 1 gelas, lauk ikan atau ayam, sayur bening 1
mangkuk dan buah seperti pisang atau pepaya 1 potong besar. Selama sakit pasien
masih mengonsumsi biskuit coklat atau kue pasar seperti talam yang dibelinya
sendiri, gorengan masih dikonsumsi (4-5 buah).
24 jam terakhir, sarapan pasien mengonsumsi bubur ayam ¾ porsi. makan
siang nasi 1 gelas dengan lauk ikan pindang 1 potong sedang, sayur 1 mangkuk
kecil, sore harinya pasien mengonsumsi nasi 1 gelas belimbing, sayur asem 1
mangkuk sedang, dan telur dadar 1 butir.

Riwayat Penurunan Berat Badan


Menurut pasien berat badan awal adalah 67 kg (sebelum DM).

Universitas Indonesia
22

Berat badan sekarang 79 kg, mengalami kenaikan 11 kg dalam waktu sekitar 1


tahun.
Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi
Pasien dahulu merokok sebanyak 1 – 1 ½ bungkus sehari ( sudah berhenti sejak
terkena sakit jantung), minum kopi hitam dengan 2-3 sdm gula ( berhenti sejak
2008) sekarang sesekali konsumsi kopi tanpa gula. Teh manis dengan gula 2 sdm
2 kali sehari sebelum terkena DM. Minum-minuman beralkohol, minuman
berenergi disangkal. Pasien sudah tidak bekerja sejak 10 tahun yang lalu,
sebelumnya pasien bekerja segai pegawai swasta. Pasien tinggal bersama istri.
Pembiayaan RS saat ini menggunakan jaminan kesehatan nasional.

OBJEKTIF
Keadaan umum : tanpak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (E4M6V5)
Tanda vital :
 Tekanan darah : 130/90 mmHg (minum obat)
 Laju nadi 90 kali/menit, reguler, isi cukup
 Laju nafas 24 kali/menit
 Suhu 36,6ºC per aksiler
Pemeriksaan Fisik
Kepala : normosefali, rambut tipis tersebar merata, beruban dan
tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis dan sklera ikterik tidak ada
Hidung : tidak terpasang NGT, tidak terpasang kanul oksigen
Telinga : tidak terdapat deformitas
Mulut : gigi geligi tidak lengkap, mukosa bibir basah, oral
hygiene baik
Leher : tidak ada pembesaran tiroid atau kelenjar getah bening
Toraks : Tidak tampak iga gambang
Paru:
Inspeksi : gerakan dinding dada simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : vokal fremitus kiri sama dengan kanan

Universitas Indonesia
23

Perkusi : sonor di semua lapangan paru


Auskaltasi : vesikuler, ronkhi dan mengi tidak ada.
Jantung:
Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba
Perkusi : batas kanan jantung di linea parasternalis dekstra, batas
kiri atas jantung di spasium interkostal II linea
midklavikularis sinistra, batas kiri bawah spasium
interkostal V, linea midklavikularis sinistra

Auskultasi : bunyi jantung I-II normal, tidak terdapat murmur atau


gallop
Abdomen:
Inspeksi : tampak membuncit
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : supel, tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : timpani
Ekstremitas : akral hangat, capillary refill time < 2 detik, terdapat
edem pada 1/3 tungkai bawah, merah dan nyeri, tidak
terdapat muscle wasting
Kapasitas : non ambulatory, kekuatan genggam tangan pasien lebih
fungisonal lemah dengan pemeriksa

Pemeriksaan Antropometri
Tinggi badan : 171 cm
LLA : 29,5 cm
Berat badan estimasi : 79 kg
Berat badan ideal : 71 kg

Universitas Indonesia
24

IMT : 27,01 kg/m2


Lingkar perut : 116 cm
Lingkar pinggul : tidak dilakukan

Laboratorium
20/2/17
Pemeriksaan Nilai Normal Hasil
Hemoglobin 11,7–15,5 g/dl 13,1 g/dl
Hematokrit 35–47% 41%
Leukosit 3.600–11.000/μl 14.370/μl
Trombosit 150.000–440.000/μl 380.000/μl
Natrium 135–147 mmol/l 144 mmol/l
Kalium 3,5–5 mmol/l 3,4 mmol/l
Klorida 96–105 mmol/l 105 mmol/l
SGOT 0–35 U/l 34 U/l
SGPT 0–35 U/l 29 U/l
Ureum 10–50 mg/dl 43 mg/dl
Kreatinin < 1,1 mg/dl 1 mg/dl
GDS <180 mg/dl 331 mg/dl

Analisis Asupan
Energi (kkal) Protein (gram) Lemak Karbohidrat
(gram) (gram)
Sebelum sakit 2382 60 28,3 (11%) 431 (73%)
(33,5 (0,84 g/kgbb)
kkal/kgbb) (10 %)
Saat sakit 2090 53 60 291

Universitas Indonesia
25

(29,4kkal/kgbb) (0,75g/kgbb) (26%) (56%)


(10,1%)
24 jam 1025 45,1 22 165
terakhir (14,4 (0,63 g/kgbb) (19,3%) (64%)
kkal/kgbb) (17,5%)

Analisis Cairan
Input Output
Minum 1200 ml Urin 1200 ml
IVFD 1000 ml IWL 790 ml
Total 2200 ml Total 1990 ml
Balance + 210 ml Diuresis 0,63 ml/kg BB/jam

Diagnosis DPJP
Selulitis pedis bilateral, DM tipe II, hipertensi
Terapi DPJP
 Valsartan 2 x 160 mg
 Bisoprolol 1 x 5mg
 Spironolakton 1 x 50mg
 Metformin 3 x 500 mg
 Glimepirid 2x1 mg
 Ceftizoxime 2 x 1 g
 Tramadol 3x100mg
 Ranitidin 2 x 50 mg

ASSESSMENT
Status gizi : Obes I
Status metabolisme : hipermetabolisme sedang ( leukosistosis, hiperglikemi,
hipokalemia)
Status saluran cerna : tidak ada mual dan muntah

Universitas Indonesia
26

Status elektrolit : tidak ada kelainan


Status asam basa : tidak diperiksa
Status cairan : balans positif
Diagnosis medis gizi klinik: obes I (E.66), defisiensi nutrisional (E.46),
hipermetabolisme sedang ( leukosistosis, hiperglikemi, hipokalemia) pada selulitis
pedis bilateral, DM tipe II, hipertensi.

PLANNING
Perhitungan kebutuhan energi dan komposisi makronutrien:
Kebutuhan energi basal (KEB) dengan Harris-Benedict = 1451 kkal
Kebutuhan energi total = 1887 kkal (FS 1,3)
Protein = 1 g/kg BB = 71 gram (15%)
N/NPC = 1/140
Lemak (25%) = 53 gram
Karbohidrat = 280 gram ( 60 %)

Nutrisi diberikan sebesar energi mulai dari 1500 kkal ( 21,1 kkal/kgBB) dengan
komposisi:
a. Protein = 1 g/kg BB = 71 gram (19%)

N/NPC = 1/107

b. Lemak (25%) = 42 gram

c. Karbohidrat = 210 gram (56 %)

d. Bentuk dan jenis diet = nasi biasa


Jalur pemberian = per oral
Frekuensi = 5 kali pemberian

Preskripsi Diet
Jenis diet dan frekuensi Energi Protein Lemak KH
(kkal) (g) (g) (g)
Nasi biasa diet DM
1500 kkal 1573 52 200

Universitas Indonesia
27

- Ekstra putih telur 40 10 44


(2btr)
Total 1613 62 44 140
(22,7 (0,9 g/kg BB) (26%) (54%)
kkal/kgBB) N/NPC= 1/126

Mikronutrien:
- Vitamin B kompleks 3 x 1 tab
- Vitamin C 2 x 50 mg

Monitoring dan evaluasi:


- Klinis: keadaan umum dan tanda vital

- Analisis toleransi asupan

Usulan pemeriksaan:
 Periksa profil lipid
 Periksa HbA1C
 Periksa gula darah

Universitas Indonesia
22 februari 23 Februari 24 februari
S Bengkak dan merah pada tungkai masih, Bengkak dan merah pada masih, Bengkak dan merah pada masih,
tidak ada mual. Malam masih menggigil. sudah membaik. Tidak ada mual. sudah tidak terlalu nyeri. Pasien
Makanan dari RS untuk sarapan dan Makanan dari RS habis. dapat berjalan ke kamar mandi
makan sore habis. Lauk hewani saat dengan bantuan.
makan siang tidak dimakan.

Universitas Indonesia
29

O KU: TSS, CM, hemodinamik stabil KU: TSS, CM, hemodinamik stabil
Mata: konjungtiva dan sklera normal Energi Protein Lemak KH Mata: konjungtiva dan sklera
Leher: tidak ada pembesaran KGB (kkal) (g) (g) (g) normal
Toraks: tidak tampak iga gambang 1740 64 50 260 Leher: tidak ada pembesaran KGB
Jantung: bunyi jantung I dan II normal KU: TSS, CM, hemodinamik stabil Toraks: tidak tampak iga gambang
Paru: bunyi nafas vesikuler, tidak ada Mata: konjungtiva dan sklera normal Jantung: bunyi jantung I dan II
ronki dan mengi Leher: tidak ada pembesaran KGB normal
Toraks: tidak tampak iga gambang Paru: bunyi nafas vesikuler, tidak
Energi Protein Lemak KH Jantung: bunyi jantung I dan II
(kkal) (g) (g) (g)
ada ronki dan mengi
normal Abdomen: supel, timpani. bising
1538 55 39 200 Paru: bunyi nafas vesikuler, tidak
Abdomen: supel, timpani. bising usus usus (+), tidak ada nyeri tekan pada
ada ronki dan mengi perut, hepar dan lien tidak teraba
(+), tidak ada nyeri tekan pada perut, Abdomen: supel, timpani. bising
hepar dan lien tidak teraba membesar. membesar.
usus (+), tidak ada nyeri tekan pada Ekstremitas: akral hangat, terdapat
Ekstremitas: akral hangat, terdapat edem perut, hepar dan lien tidak teraba
pada 1/3 tungkai bawah dan kemerahan. edem, sudah berkurang
membesar. Kapasitas fungsional: non
Kapasitas fungsional: non ambulatory Ekstremitas: akral hangat, terdapat ambulatory
edem pada 1/3 tungkai bawah dan
kemerahan. Analisa asupan
Analisa asupan Kapasitas fungsional: non Protein Lemak KH
ambulatory Energi (g) (g) (g)
(kkal)
Analisa asupan
1740 64 50 260

Balans cairan: + 10 ml Balans cairan: + 210 ml


Diuresis: 0,73 cc/kgBB/jam Balans cairan: + 110 ml Diuresis: 0,52 cc/kgBB/jam
Lab (22/2/17): Diuresis: 0,58 cc/kgBB/jam
GDS : 298 mg/dl Lab (23/2/17): Terapi DPJP
GDS : 234 mg/dl • Valsartan 2 x 160 mg

Universitas Indonesia
30

Terapi DPJP: Terapi DPJP: • Bisoprolol 1 x 5mg


 Valsartan 2 x 160 mg  Valsartan 2 x 160 mg • Spironolakton 1 x 50mg
 Bisoprolol 1 x 5mg  Bisoprolol 1 x 5mg • Metformin 3 x 500 mg
 Spironolakton 1 x 50mg  Spironolakton 1 x 50mg • Glimepirid 2x1 mg
 Metformin 3 x 500 mg  Metformin 3 x 500 mg • Ceftizoxime 2 x 1 g
 Glimepirid 2x1 mg  Glimepirid 2x1 mg • Tramadol 3x100mg
 Ceftizoxime 2 x 1 g  Ceftizoxime 2 x 1 g • Ranitidin 2 x 50 mg
 Tramadol 3x100mg  Tramadol 3x100mg
 Ranitidin 2 x 50 mg  Ranitidin 2 x 50 mg

Obes I (E.66), defisiensi nutrisional (E.46), obes I (E.66), defisiensi nutrisional obes I (E.66), defisiensi nutrisional
hipermetabolisme sedang ( leukosistosis, (E.46), hipermetabolisme sedang
A (E.46), hipermetabolisme sedang
hiperglikemi, hipokalemia) pada selulitis ( leukosistosis, hiperglikemi,
pedis bilateral, DM tipe II, hipertensi. ( leukosistosis, hiperglikemi, hipokalemia) pada selulitis pedis
hipokalemia) pada selulitis pedis bilateral, DM tipe II, hipertensi.
bilateral, DM tipe II, hipertensi.

P Target: KEB 1451 kkal, KET 1887 kkal, P 71 Target: KEB 1451 kkal, KET 1887 kkal, Target: KEB 1451 kkal, KET 1887
g,L 53 g, KH 280 g P 71 g,L 53 g, KH 280 g kkal, P 71 g,L 53 g, KH 280 g
Nutrisi 1700 kkal, P 71 g, L 47 g, KH 246 g Nutrisi 1700 kkal, P 71 g, L 47 g, KH Nutrisi 1900 kkal, P 69 g, L 53 g, KH
melalui oral, berupa: 246 g 280 g
Nasi biasa diet DM 1700 kkal, ekstra putel 2 melalui oral, berupa: melalui oral, berupa:
butir Nasi biasa diet DM 1700 kkal, ekstra Nasi biasa diet DM 1900 kkal
putel 2 butir

M - keadaan umum dan tanda vital - keadaan umum dan tanda - keadaan umum dan tanda

Universitas Indonesia
31

& - Analisis toleransi asupan vital vital


E - Analisis toleransi asupan - Analisis toleransi asupan

Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN

Seorang pasien pria berusia 65 tahun dirawat di Rumah Sakit Umum


Tangerang (RSUT). Datang dengan keluhan utama bengkak pada tungkai bawah
yang memberat 1 hari SMRS. Keluhan awal terjadi tiga hari sebelum masuk
rumah sakit, pasien merasa nyeri di telapak kakinya. Terdapat demam dan mual.
Pasien memiliki riwayat DM sejak 1 tahun yang lalu dan hipertensi.
Dilakukan skrining gizi pada pasien dengan menggunakan alat skrining di
RSUT yang sudah dimodifikasi. Petanyaan pada skrining meliputi apakah terdapat
perubahan asupan makan kurang dari ½ yang biasa dikonsumsi dalam 7 hari,
penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan terakhir, dan kadar albumin serum
<3,5 g/dl.
Alat skrining yang baik harus memiliki nilai validitas yang tinggi,
sederhana, cepat, dan mudah digunakan. Telah banyak alat skrining yang telah
dikembangkan akhir-akhir ini. Alat skrining tersebut memiliki parameter-
parameter yang bertujuan untuk mengetahui status nutrisi seseorang apakah
memiliki risiko malnutrisi atau tidak Skrining di RSUT menggunakan modifikasi
dari MST dan ditambahkan parameter albumin. Skrining yang dilakukan ini lebih
dapat menggambarkan mengenai risiko malnutrisi seseorang. Modifikasi alat
skrining yang digunakan ini sudah cukup baik sebagai skrining gizi di rumah sakit
ditambah dengan parameter albumin.30 Pada pasien ini berdasarkan skrining
didapatkan riwayat penurunan asupan makan kurang dari ½ yang dikonsumsi
selama lebih dari 7 hari, untuk penurunan berat badan tidak didapatkan , untuk
serum albumin tidak diperiksa. Sehingga pasien memiliki nilai 1, tidak masuk
dalam risiko malnutrisi. Alat skrining ini lebih memberi gambaran status
malnutrisi seseorang kurang sesuai untuk pasien obes.
Skrining untuk pasien obes menurut rekomendasi United State Preventive
Services Task Force (USPSTF) tahun 2003 adalah menggunakan IMT.
Pengukuran IMT dianggap memiliki korelasi yang cukup dengan massa lemak
tubuh. Paramater lain yang dapat digunakan untuk skrining pasien dengan obes
adalah lingkar pinggang dan ratio lingkar pinggang dan panggul.31

31 Universitas Indonesia
33

Tahapan selanjutnya yaitu penilaian, pada pasien ini dilakukan anamnesis


tentang riwayat perjalanan penyakit dan analisis asupan makan. Pada pasien ini
didapatkan keluhan berupa infeksi pada kaki yang diakibatkan karena tidak
terkontrolnya kadar gula darah. Gejala yang timbul khas pada penyakit DM yaitu
adanya peningkatan arasa haus, frekuensi kencing, frekuensi makan. Pada pasien
timbul keluhan berupa infeksi pada kaki yang merupakan komplikasi dari DM.
Komplikasi yang terjadi diakibatkan oleh tingginya kadar gula darah, hal ini
tampak dari pernyataan pasien yang masih memiliki kadar gula darah diatas 200
27
meskipun kontrol ke dokter secara teratur. Pada analisis asupan didapatkan pola
makan pasien yang berlebih, selain itu komposisi makanan yang dimakan
mengandung tinggi lemak seperti konsumsi gorengan yang cukup banyak dalam
sehari. Kebiasaan pasien yang sering mengonsumsi cemilan, ataupun minuman
dengan gula. Hal-hal ini dapat menjadi dasar terjadinya obes pada pasien.
Pada pemeriksaan fisik dan antropometri didapatkan kaki yang
membengkak dan kemerahan, tekanan darah yang sedikit meningkat dengan
konsumsi obat, kapasitas fungsional yang lebih lemah dibandingkan pemeriksa.
Pada pengukuran antropometri ditemukan IMT yg > 25 kg/m 2 yaitu 27,1 kg/m2.
Berdasarkan kriteria WHO asia pasifik berdasarkan IMT pasien mengalami obes .
1
Selain kriteria IMT , parameter lain yang digunakan adalah lingkar perut, pada
pasien ini memiliki LP 116 cm. Hal ini memberi gambaran bahwa pasien
memiliki risiko untuk menderita penyakit metabolik. 22
Obesitas dan DM tipe 2 saling berhubungan, orang dengan obes
memiliki risiko tinggi untuk menderita DM. Hal ini dikaitkan dengan resistensi
insulin. Disfungsi endotel merupakan mekanisme yang dikaitkan dengan
terjadinya DM tipe 2 dengan obes, disertai dengan resistensi insulin pada diabetes
dan pradiabetes, sehingga menyebabkan sel-β tidak mampu mengkompensasi
sepenuhnya untuk penurunan sensitivitas insulin. Asam lemak nonesterified
(NEFAs) yang disekresikan dari jaringan adiposa pada obes dikaitkan dengan
resistensi insulin dan disfungsi sel β pankreas.26
Faktor lain yang mempengaruhi obesitas dan DM adalah tingkat
keparahan obesitas dan jumlah lemak yang terakumulasi. Peningkatan produksi
adipokin / sitokin, termasuk tumor necrosis factor-α (TNF-ɑ), resistin, dan retinol-

Universitas Indonesia
34

binding protein 4, yang berkontribusi terhadap resistensi insulin.26 Kadar gula


darah yang tinggi dikaitkan dengan terjadinya berbagai komplikasi, salahsatunya
ialah infeksi pada penderita DM tidak terkontrol. Pada pasien ini ditemukan obes
yang mencetuskan terjadinya DM dan beberapa sindrom metabolik lainnya seperti
hipertensi dan jantung.5
Tatalaksana nutrisi pada pasien ini adalah dengan menghitung kebutuhan
basal dan kebutuhan total sesuai dengan kondisi penyakit pasien. Pada pasien ini
kebutuhan basal (KEB) dihitung menggunakan rumus Harris Benedict dan
kebutuhan total (KET) dengan mengalikan faktor stress (1,3) dan aktivitas (1,1).
Didapatkan KEB 1451 kkal dan KET sebesar 1887 kkal. Dilihat dari asupan
pasien selama sakit yang hanya mengalami penurunan asupan 2 hari dibandingkan
asupan biasanya.Untuk rencana pemberian nutrisi awal diberikan sebesar KEB.
Pemberian nutrisi pada pasien dengan obes perlu memperhatikan kebutuhan yang
sesuai dan target terapi apakah perlu menurunkan berat badan dihubungkan
dengan kondisi penyakitnya. Pemberian lemak pada pasien ini tidak melebihi
25%, dan harus memperhatikan jenis dan komposisi dari lemak yang diberikan,
pada pasien dengan obes dan DM berisiko tinggi untuk mengalami gangguan
metabolisme lemak seperti kolesterol dan trigliseridemia. Selain itu diperlukan
pemberian tambahan mikronutrien seperti vitamin B, vitamin A, dan C sesuai
dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang diperlukan. Untuk memenuhi
kebutuhan vitamin D dapat dilakukan dengan pemaparan sinar matahari pagi
kurang lebih 30 menit atau dengan pemberian suplementasi.9, 29
Evaluasi perlu dilakukan setiap hari meliputi tanda-tanda vital dan
toleransi asupan makan, dan pemantauan kadar gula darah sewaktu harian. Untuk
mengetahui apakah terapi yang diberikan dapat dikonsumsi dan diharapkan dapat
memperbaiki hasil keluaran pasien.
Pada pemantauan hari pertama hingga ketiga didapatkan perbaikan
keadaan pasien baik keadaan klinis dan asupan pasien. Pasien dapat hampir
menghabiskan asupan hari pertama. Prekripsi ditingkatkan sesuai dengan
bertahap.
Pada hari kedua, nafsu makan baik dan klinis sudah membaik. Preskripsi
masih tetap 1700 kkal. Pada hari pemantauan ketiga analisis asupan tetap baik,

Universitas Indonesia
35

sehingga prekripsi ditingkatkan sesuai dengan KET. Toleransi asupan pasien baik,
pada pasien dengan obes dan DM tanpa gangguan asupan yang parah yang perlu
dilakukan adalah edukasi. Edukasi bagaimana cara mengonsumsi asupan sehari-
hari termasuk jenis dan jumlah yang harus dikonsumsi, diharapkan dengan
pemberian terapi nutrisi yang sesuai komplikasi seperti yang terjadi pada apasien
saat ini dpat dihindari dan dicegah.29

Universitas Indonesia
36

BAB 5
KESIMPULAN

Obesitas juga merupakan masalah gizi yang patut diberi perhatian, obes dapat
mencetuskan komplikasi berbagai macam penyakit. Skrining yang dilakukan di
rumah sakit lebih banyak menitikberatkan pada kondisi malnutrisi, sehingga jika
berdasarkan hasil skrining yang ada pasien dengan obes tidak terjaring untuk
dilakukan tatalaksana nutrisi.
IMT yang merupakan skrining umum dalam mendiagnosa
obesitas.Lembar penilaian status gizi di RSUT terdapat data mengenai IMT
pasien, dari data ini diharapkan pasien yang menderita obes dapat terpantau dan
mendapatkan tatalaksana yang sesuai.
Pemberian terapi nutrisi pada pasien obes dengan DM, selulitis dan
hipertensi perlu diperhitungkan sebaik-baiknya dengan mempertimbangkan
faktor-faktor yang terkait dengan penyakit penyertanya. Pada pasien obes dengan
DM penurunan berat badan bukanlah target utama, yang perlu diperhatikan adalah
bagaimana mengontrol kadar gula darah dengan pemberian nutrisi yang sesuai
dengan kebutuhannya. Pada pasien ini yang tidak memiliki masalah pada asupan
makan, bahkan cenderung untuk mengonsumsi makanan yang tidak seharusnya,
tatalaksana diprioritaskan pada mengatur jumlah dan jenis, serta jadwal pemberian
sehingga pasien tidak merasa lapar dan mencari cemilan diluar jadwal makan.
Pemberian tatalaksana yang tepat, diharapkan dapat membantu mencegah
komplikasi yang terjadi.

35 Universitas Indonesia
37

DAFTAR REFERENSI

1. WHO Media Centre. Overweight and obesity.


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/# (diakses pada1 maret
2017)

2. Badan Pelatihan dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar


2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan, 2013.

3. Kementerian Kesehatan Nasional. Rencana aksi program pengendalian


penyakit dan penyehatan lingkungan tahun 2015-2019. 2016 (diakses 1 maret
2017). Available from: http://www.pppl.kemkes.go.id/
4. Weinsier, R. L., Hunter, G. R., Heini, A. F., Goran, M. I. & Sell, S. M. The
etiology of obesity: relative contribution of metabolic factors, diet, and
physical activity. Am. J. Med. 105, 145–150 (1998).

5. Braunschweig, C. L. et al. Obesity and risk factors for the metabolic


syndrome among low-income, urban, African American schoolchildren: the
rule rather than the exception? Am. J. Clin. Nutr. 81, 970–975 (2005).

6. Han, T. S. & Lean, M. E. A clinical perspective of obesity, metabolic


syndrome and cardiovascular disease. JRSM Cardiovasc. Dis. 5, (2016).

7. Lysen LK, Israel DA. Nutrition in weight management. Dalam: Mahan LK,
Escott-Stump S, editor. Krause’s food and the nutrition care process. Edisi
ke-13. Missouri: Elsevier, 2012. hal 462–88.

8. Avram AS, Avram MM, James WD. Subcutaneous fat in normal and
diseased states. J Am Acad Dermatol 2005;53:671–83.

9. Lysen LK, Israel DA. Nutrition and Diabetes Mellitus. Dalam: Mahan LK,
Escott-Stump S, editor. Krause’s food and the nutrition care process. Edisi
ke-13. Missouri: Elsevier, 2012.

10. Sandra Hsu Hnin Mon. Macrophages: The Future of Easy Weight-Loss?

11. Serra-Majem, L. & Bautista-Castaño, I. Etiology of obesity: two ‘key issues’


and other emerging factors. Nutr. Hosp. 28 Suppl 5, 32–43 (2013).

12. Nutritional Deficiencies Of The Obese Child And Adolescent. The Free
Obesity eBook Available at: http://ebook.ecog-obesity.eu/chapter-clinics-

Universitas Indonesia
38

complications/nutritional-deficiencies-obese-child-adolescent/. (Accessed: 4th


March 2017)

13. Jacobs, D. R. Fast food and sedentary lifestyle: a combination that leads to
obesity. Am. J. Clin. Nutr. 83, 189–190 (2006).

14. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology - 12th Edition. Available
at: https://www.elsevier.com/books/guyton-and-hall-textbook-of-medical-
physiology/hall/978-0-8089-2400-5. (Accessed: 4th March 2017)

15. Walley, A. J., Blakemore, A. I. F. & Froguel, P. Genetics of obesity and the
prediction of risk for health. Hum. Mol. Genet. 15, R124–R130 (2006).

16. Myers, M. G., Leibel, R. L., Seeley, R. J. & Schwartz, M. W. Obesity and
Leptin Resistance: Distinguishing Cause from Effect. Trends Endocrinol.
Metab. TEM 21, 643–651 (2010).

17. Klok, M. D., Jakobsdottir, S. & Drent, M. L. The role of leptin and ghrelin in
the regulation of food intake and body weight in humans: a review. Obes.
Rev. Off. J. Int. Assoc. Study Obes. 8, 21–34 (2007).

18. Zhang Y, Liu J, Yao J, Ji G, Qian L, Wang J, et al. Obesity: pathophysiology


and intervention. Nutrients. 2014; 6(11): 5153–83.

19. Adamska, E., Ostrowska, L., Górska, M. & Krętowski, A. The role of
gastrointestinal hormones in the pathogenesis of obesity and type 2 diabetes.
Przeglad Gastroenterol. 9, 69–76 (2014).

20. Ard JD. Obesity. Dalam: Heimburger DC, Ard JD, editor. Handbook of
clinical nutrtition. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2006. hal
371–400.

21. Gibson, R. S. Principles of Nutritional Assessment. (Oxford University Press,


2005).

22. World Health Organization. Waist Circumference and Waist-Hip Ratio,


Report of a WHO Expert Consultation. Geneva: World Health Organization
2008.

23. Functions of Adipose Tissue and Adipokines in Health and Disease.


ResearchGate Available at:
https://www.researchgate.net/publication/221918508_Functions_of_Adipose_

Universitas Indonesia
39

Tissue_and_Adipokines_in_Health_and_Disease. (Accessed: 4th March


2017)

24. Cheskin LJ, Poddar KH. Obesity management. Dalam: Ross AC, Caballero
B, Cousins RJ, Tucker KL, Ziegler TR, editor. Modern nutrition in health
and disease. Edisi ke-11. Baltimore: Lippincott William & Wilkins, 2014.
hal. 786–99.

25. Harrison’s Principles of Internal Medicine: 18th Edition - AbeBooks -


Anthony Fauci; Dan Longo; Dennis Kasper; J. Jameson; Joseph Loscalzo;
Stephen Hauser: Available at:
https://www.abebooks.com/9780071748896/Harrisons-Principles-Internal-
Medicine-Volumes-007174889X/plp. (Accessed: 5th March 2017)

26. Eckel, R. H. et al. Obesity and Type 2 Diabetes: What Can Be Unified and
What Needs to Be Individualized? J. Clin. Endocrinol. Metab. 96, 1654–1663
(2011).

27. Diabetic Foot Infection - American Family Physician. Available at:


http://www.aafp.org/afp/2008/0701/p71.html. (diakses pada: 3 maret 2017)

28. Casqueiro, J., Casqueiro, J. & Alves, C. Infections in patients with diabetes
mellitus: A review of pathogenesis. Indian J. Endocrinol. Metab. 16, S27–S36
(2012).

29. Perkeni.Konsensus Pengelolaan & Pencegahan Diabetes Miletus Tipe 2 di


Indonesia 2015.

30. Bharadwaj, S. et al. Malnutrition: laboratory markers vs nutritional


assessment. Gastroenterol. Rep. 4, 272–280 (2016).

31. Final Update Summary: Obesity in Adults: Screening and Management - US


Preventive Services Task Force. Available at:
https://www.uspreventiveservicestaskforce.org/Page/Document/UpdateSumm
aryFinal/obesity-in-adults-screening-and-management. (diakses pada : 3 maret
2017)

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai