Anda di halaman 1dari 105

STOP !

DIABETES
(Gaya hidup, Pola makan, & Olahraga)

Oleh:
Achmad Zainul Musthofa
160621613841

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
JURUSAN ILMU KEOLAHRAGAAN
APRIL 2019
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap alhahmdulillah serta puji syukur atas
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah
dan pemahaman kepada umatnya. Sehingga disini penulis
dapat mengerjakan buku dalam memenuhi tugas mata kuliah
Kesehatan Olahraga dengan judul “HIDUP SEHAT DI ERA
MODERN” yang dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa
mengucap sholawat serta salam kepada junjungan kita Nabi
agung Muhammad SAW yang telah memberikan syafaat serta
tauladan dalam kehidupan para umatnya. dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Kepada Kedua Orangtua Saya yang senantiasa


memberikan doa sehingga dapat mengerjakan buku ini.
2. Bapak Dr. Sugiharto, M.S. selaku dosen pembimbing
matakuliah kesehatan olahraga.
3. Ibu Dra. Desiana Merawati, M.S. selaku dosen
pembimbing matakuliah kesehatan olahraga.
4. Kepada seluruh teman satu kelas yang sudah
memberikan motivasi, doa serta membantu dalam
memahami dalam pengerjaan buku.

Dalam penulisan buku ini, penulis menyadari bahwa


masih banyak kekurangan dalam pembuatan buku ini dan
masih jauh dari kesempurnaan, mengingat keterbatasan dan
kemampuan yang dimiliki penulis. Diharapkan buku ini dapat
memberikan informasi baru yang sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi terkini dalam rangka
pencapian target kontrol glikemik yang optimal dan semoga
buku ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Universitas Negeri
Malang pada kususnya dan masyarakat pada umumnya.

Malang, 10 mei 2019

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................... ii
A. Waspadai Penyakit Degeneratif ................................................... 1

B. Diabetes Militus ........................................................................... 4


1. Pengertian ............................................................................... 6
2. Klarifikasi ............................................................................... 6
3. Gejala Diabetes ......................................................................12

C. Penyebab Diabetes .....................................................................16


1. Pola Makan ............................................................................16
2. Obesitas ................................................................................. 18
3. Malas Aktivitas ......................................................................20
4. Merokok ................................................................................20
5. Nutrisi ....................................................................................24
6. Stress ......................................................................................25

D. Penderita Deabetes Militus Beresiko Terkena Penyakit Jantung 26


1. Susunan Organ Kardiovaskuler..............................................26
2. Fungsi Jantung .......................................................................27
3. Fungsi Pembuluh Darah .........................................................29
4. Pengaturan Fungsi Jantung dan Pembuluh Darah ..................32

E. Upaya Pencegahan Diabetes .......................................................35


1. Memperhatikan Asupan Gizi .................................................35
2. Rajin Berolahraga dan Aktif Gerak ....................................... 37
F. Ubah Gaya Hidup ........................................................................40
1. Tidak Merokok.......................................................................40
2. Istirahat Yang Cukup .............................................................41
3. Olahraga Teratur ....................................................................43

G. Ubah Pola Makan .......................................................................44


1. Fungsi Makanan Bagi Tubuh ................................................ 44
2. Kebutuhan Energi ..................................................................45
3. Kebutuhan Karbohidrat ..........................................................49
4. Kebutuhan Lemak ..................................................................50
5. Kebutuhan Protein .................................................................51
6. Kebutuhan Vitamin dan Mineral ............................................51
7. Kebutuhan Cairan .................................................................52
8. Angka Kecukupan Gizi ..........................................................55

H Hubungan Olahraga dan Diabetes. ..............................................56


1. Frekuensi Olahraga ................................................................76
2. Itensitas Olahraga ...................................................................76
3. Waktu atau Durasi Latihan ....................................................77
4. Model Latihan Olahraga ........................................................78

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................80


A. WASPADAI PENYAKIT DEGENERATIF
Akhir-akhir ini, penyakit degeneratif menjadi
pembicaraan hangat di berbagai media massa. Penyakit
ini bahkan bukan hanya menjadi pembicaraan kalangan
praktisi kesehatan, tetapi sudah menjadi pembicaraan bagi
khalayak umum, sangking banyaknnya angka kejadian.
Fenomena ini jugalah yang mendorong masyarakat untuk
mulai memahami lebih jauh mengenai penyakit-penyakit
degeneratif tersebut.
Meningkatnya prevalensi kelebihan berat badan dan
obesitas telah menyebabkan epidemi diabetes mellitus
tipe 2 (T2DM) yang belum pernah terjadi sebelumnya dan
cenderung diikuti oleh epidemi pasien dengan komplikasi
T2DM.
Mengingat peningkatan yang diamati dalam
prevalensi T2DM pada orang dewasa selama beberapa
dekade terakhir di negara-negara maju, upaya berbasis
populasi untuk mengurangi komplikasi kardiovaskular
T2DM sama pentingnya dengan langkah-langkah untuk
mencegah masalah. T2DM adalah penyebab kematian
keenam yang memimpin. , dengan sebagian besar
kematian disebabkan oleh penyakit kardiovaskular (CVD;
hampir 70%) dan dengan penyakit jantung iskemik
bertanggung jawab atas hampir 50% dari kematian ini.9
Biaya ekonomi T2DM diperkirakan mencapai $ 172
miliar pada tahun 2007 di Amerika Serikat. (Thomas H.
2009. Hal. 1).
Penyakit degeneratif dalam istilah medis adalah
suatu jenis penyakit yang muncul akibat dari kemunduran
fungsi sel tubuh. Fungsi tubuh mengalami perubahan dari
yang semulanya normal menjadi buruk. penyakit ini pada
dasarnya bersifat degeneratif, artinya mereka disebabkan
oleh hilangnya sel, fungsi subselular, elemen jaringan,
atau fungsi seluler atau jaringan yang optimal. (Campisia.
J, 2012. Hal. 2).
Pada umumnya penyakit degeneratif ini sangat kuat
dengan bertambahnya umur seseorang. Dalam istilah
umumnya Semakin tua umur seseorang akan semakin
mudah seseorang ia terkena penyakit degeneratif,
meskipun terkadang faktor keturunan juga berperan
cukup besar. Akan tetapi, umur sendiri tidak selalu
menjadi faktor penentu munculnya penyakit degeneratif
ini. Dalam zaman yang semakin maju ini pada usia
produktif yaitu usia 18-45 tahun, sangat rentan sekali
terkena penyakit tidak menular ini ada sekitar 50 penyakit
degeneratif, seperti, kanker, diabetes mellitus, stroke,
jantung coroner, kardiovaskular, obesitas, dislipidemia
dan sebagainya.

Gambar 1 (Division. R. 2009. Hal. 100)


Beberapa faktor risiko yang terlibat dalam
patogenesis T2DM, termasuk risiko genetik klasik
(riwayat keluarga) serta kontribusi yang menonjol dari
berbagai faktor risiko lingkungan. Ini termasuk
lingkungan intrauterin suboptimal, yang dapat berdampak
pada pengembangan jaringan utama dalam homoeostasis
metabolik, seperti serta faktor-faktor postnatal, termasuk
kelebihan gizi, obesitas, tidak aktif dan penuaan.
Bersama-sama, faktor-faktor ini dapat menyebabkan
perkembangan resistensi insulin dan disfungsi sel β,
keduanya diperlukan untuk akhirnya menghasilkan
T2DM klinis. Mengungkap patofisiologi kompleks
T2DM dipersulit oleh efek sekunder 'glukolipotoksisitas'
(hiperglikemia dan hiperlipidemia). (JIN. W. 2009. Hal.
100).

B. DIABETES MILITUS
1. PENGERTIAN
Diabetes adalah sekelompok penyakit metabolik
yang ditandai dengan hiperglikemia. hiperglikemia kronik
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi, dan kegagalan berbagai organ tubuh, terutama
otot, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Beberapa
proses patogen yang terlibat dalam perkembangan
diabetes. Ini berkisar dari kerusakan autoimun dari -cells
pankreas dengan kerusakan autoimun dari -cells pankreas
dengan akibat insulin defisiensi kelainan yang ber-efek
resistensi terhadap insulin. Dampak dari kelainan
karbohidrat, lemak, dan protein pada penderita diabetes
pada jaringan target.
Defisiensi hasil dari sekresi insulin yang tidak
memadai atau meresponya maka jaringan akan berkurang
terhadap reseptor insulin pada salah satu titik bagian
hormonnya. Dampak lain dari yang mengalami penurun
sekresi insulin dan yang mengalami kerusakan pada
receptor insulin sering hidup berdampingan bagi para
penderita diabetes. Dari hal ini sudah dapat disimpulkan
bahwa jika salah satu adalah penyebab utama
hiperglikemia tersebut. (Care, 2010. Hal, 1).
Meningkatnya prevalensi T2DM berkontribusi pada
meningkatnya beban keuangan pada perawatan kesehatan
sistem serta menimbulkan beban kesehatan utama bagi
mereka dengan kondisi tersebut.( Sarah M. 2018. Hal. 4).
Sebagian besar kasus diabetes terbagi dalam dua
kategori etiopathogenetic luas (dibahas secara lebih rinci
di bawah). Dalam satu kategori, diabetes tipe 1,
penyebabnya adalah mutlak defisiensi sekresi insulin.
Bagi Individu yang mengalami peningkatan risiko
mengembangkan diabetes tipe 1 dapat di jelaskan melalui
bukti pada proses patologis autoimun yang ada pada
pankreas dan juga dengan tanda-tanda dari faktor genetik.
Di sisi lain, untuk diabetes yang satunya atau tentang
diabetes tipe 2, penyebabnya adalah yaitu terjadina
resistensi insulin dan kompensasi respon sekresi insulin
yang tidak dapat mencukupi kebutuhannya.
2. KLARIFIKASI DIABETES

Gambar 2 (American Diabetes Association. 2010. Hal.


62)
Skema hubungan antara etiologi (mekanisme) dan
tahap patofisiologis (keadaan) diabetes mellitus. Panah
yang menunjuk ke kanan menunjukkan perburukan
gangguan metabolisme glukosa (termasuk timbulnya
diabetes mellitus). Di antara garis panah, menunjukkan
kondisi yang diklasifikasikan sebagai 'diabetes mellitus'.
Panah menunjuk ke kiri mewakili peningkatan gangguan
metabolisme glukosa. Garis putus-putus menunjukkan
peristiwa frekuensi rendah. Misalnya, pada diabetes
mellitus tipe 2, infeksi dapat menyebabkan ketoasidosis
dan memerlukan perawatan insulin sementara untuk
bertahan hidup. Juga, setelah diabetes mellitus telah
berkembang, itu diperlakukan sebagai diabetes mellitus
terlepas dari peningkatan metabolisme glukosa, oleh
karena itu, garis panah yang menunjuk ke kiri diisi dengan
warna hitam. Dalam kasus seperti itu, garis terputus
digunakan, karena normalisasi metabolisme glukosa
jarang terjadi. (Seino. Y, dkk. 2010. Hal 215).
Klasifikasi diabetes mellitus dan gangguan
metabolisme glukosa ditunjukkan pada gambar 1, dan
menggunakan istilah tipe 1 dan tipe 2. Dalam beberapa
tahun terakhir, berbagai bentuk diabetes dengan kelainan
genetik telah diidentifikasi, dan diperlakukan sebagai
kategori terpisah. Seorang pasien mungkin memiliki
diabetes mellitus yang dihasilkan dari beberapa penyebab
etiologi. Mereka yang tidak dapat diklasifikasikan pada
saat ini disebut tidak dapat diklasifikasikan.

Diabetes Melitus tipe 1


Diabetes mellitus disebabkan oleh defisiensi insulin
akibat rusaknya sel-sel p pankreas terutama melalui reaksi
autoimun, yang dengan sendirinya dipicu oleh berbagai
faktor. Diabetes tipe 1 berkembang dalam kaitannya
dengan faktor keturunan tertentu, seperti alel Antigen
Leukosit Manusia (HLA), ditambah bujukan / faktor
lingkungan, seperti infeksi virus. Diabetes dihasilkan
sebagai salah satu manifestasi dari gangguan autoimun
lainnya tidak jarang Sebagai penghancuran pankreas b-
sel berlangsung, mutlak defisiensi insulin jarang. mutlak
defisiensi insulin sering terjadi. Hal ini biasanya dianggap
sebagai berkembang pesat pada orang muda, tetapi dapat
terjadi pada setiap kelompok usia. (Seino. Y, dkk. 2010.
Hal 215).
Dalam banyak kasus, autoantibodi terhadap antigen
islet (antibodi pulau-terkait) adalah veri fi mampu dalam
tahap awal penyakit ini, dan karena pankreas b-
penghancuran sel melibatkan mekanisme autoimun, ini
disebut 'autoimun' diabetes tipe 1 mellitus. Ada juga kasus
yang mencapai negara insulin-dependent tanpa veri fi
autoantibodi mampu, dan ini disebut 'idiopatik' tipe 1
diabetes mellitus. Namun, pasien yang tergantung pada
terapi insulin dan autoantibodi negatif, namun karena
sebuah fi ed penyebab diidentifikasi, seperti kelainan
genetik, dan orang-orang dengan ketergantungan insulin
sementara, seperti ketosis minuman ringan, tidak
termasuk dalam kategori idiopatik. Tergantung pada cara
onset dan perkembangan, itu adalah diklasifikasikan
sebagai fulminan, akut atau progresif lambat. (Seino. Y,
dkk. 2010. Hal 215).

Diabetes Melitus tipe 2


Diabetes mellitus berkembang dalam hubungan
dengan beberapa faktor genetik yang menyebabkan
penurunan sekresi insulin atau resistensi insulin yang
ditambah oleh kebiasaan gaya hidup, seperti makan
berlebih (terutama diet tinggi lemak), kurang olahraga dan
obesitas yang dihasilkan, karena faktor lingkungan dan
hasil dalam aksi insulin tidak cukup. Diperkirakan bahwa
sebagian besar kasus melibatkan beberapa faktor genetik,
dengan beberapa di antaranya sekarang dijelaskan.
Penurunan sekresi insulin dan penurunan sensitivitas
insulin keduanya terlibat dalam timbulnya diabetes
mellitus tipe 2, tetapi proporsi keterlibatan mereka
berbeda menurut pasien. Diabetes mellitus yang tidak
tergantung sebagian besar adalah tipe ini. Fungsi sel-p
pankreas dipertahankan sampai tingkat tertentu, dan
suntikan insulin jarang diperlukan untuk bertahan hidup.
Namun, komplikasi, seperti infeksi, dapat menyebabkan
ketoasidosis sementara. Sekresi insulin secara khusus
menurun pada respons sekretori awal setelah beban
glukosa.
Obesitas atau riwayat obesitas sering terjadi. Onset
umumnya dianggap berada di usia pertengahan atau lebih
lambat, tetapi jenis diabetes mellitus baru-baru ini telah
terbukti meningkat pada anak-anak dan orang muda23.
Sifat diabetes mellitus tipe 2 jelas tidak seragam, tetapi
mungkin dapat dibagi lebih lanjut sesuai dengan ada atau
tidaknya obesitas dan perbedaan dalam tingkat ikut
campur dalam penurunan sekresi insulin dan terjadinya
penurunan terhadap sensitivitas insulin. Metabolic
Syndrome (MetS) adalah patologi yang dikaitkan dengan
kelainan metabolik seperti obesitas, hipertensi, resistensi
insulin, dan dislipidemia yang bersama dengan sitokin
pro-inflamasi dan prothrombotik, mengurangi risiko
pengembangan kardiovaskular. gangguan (CVD), dengan
demikian juga disebut sebagai sindrom kardiometabolik
atau sindrom resistensi insulin. (Rani. M dkk. 2019. Hal.
1).
Diabetes mellitus adalah ganguan sebagian organ
tubuh yang tidak berkerja secara normal atau semestinya,
(ganguan metabolisme) dapat ditinjau juga dari genetik
dan juga secara klinis, dengan tanda tanda secara klinis
diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa
dan postprandial, aterosklerosis dan penyakit vaskular
mikroangiopati. Sedangkan pada Diabetes Mellitus Tipe
2 merupakan penyakit hiperglikemi yaitu akibat ketidak
peka-an receptor insulin terhadap insulin. Hal ini
berakibat volume insulin sedikit menurun atau berbeda
dengan orang yang normal. Dikarena produk dari insulin
tetap diperoleh dari sel-sel beta pankreas, maka diabetes
mellitus tipe 2 secara umum dianggap sebagai non insulin
dependent diabetes mellitus. Diabetes Mellitus Tipe 2
adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh
sel beta.
Dari berbagai cara pengobatan yang dilakukan oleh
peneliti-peneliti dikatakan bahwa Insiden dan prevalensi
diabetes mellitus tipe 2 (T2MD) meningkat di Jepang, di
mana diperkirakan 10 juta orang menderita diabetes [1].
Sebagian besar pasien dalam keadaan tidak tergantung
insulin memulai manajemen T2D dengan diet, olahraga,
dan manajemen berat badan. Dalam kasus kontrol glukosa
yang memburuk, langkah selanjutnya adalah meresepkan
agen penurun glukosa untuk pasien dengan T2D yang
tidak tergantung insulin, dimulai dengan agen
hipoglikemik oral. Jika kadar glukosa masih tidak
terkontrol, tambahan terapi non-insulin dapat digunakan.
Jika target HbA1c masih belum tercapai setelah sekitar 3
bulan, kombinasi agen hipoglikemik oral dan terapi
tambahan dapat ditambahkan, seperti sulfonilurea,
thiazolidinediones (Tzd), penghambat dipeptidyl
peptidase-4 (DPP4i), penghambat ko-transport 2-glukosa,
glukosa-glukosa co-transporter 2 (SGLT2) inhibitor, atau
agonis reseptor (GLP-1) glucagon-like peptide-1 (RA),
kecuali ada kontraindikasi [2]. Namun, urutan perawatan
yang digunakan tergantung pada patofisiologi pasien.
Meskipun ada berbagai alternatif pengobatan, risiko dan
prevalensi penyakit kardiovaskular (CV) pada populasi
pasien T2D tinggi. Penyakit CV dan komplikasi terkait
adalah penyebab utama kematian di antara pasien dengan
T2D, yang dapat mempengaruhi pemilihan perawatan
pasien [3]. Selain itu, mencapai target hemoglobin
terglikasi (HbA1c) dan menghindari penambahan berat
badan yang tidak diinginkan tetap menjadi pertimbangan
pengobatan yang penting, mengingat bahwa mereka
merupakan faktor risiko untuk hasil CV pada pasien
dengan T2D [4]. Dengan demikian, baik risiko CV dan
pertimbangan berat badan termasuk dalam karakteristik
utama pasien yang akan dinilai selama langkah pertama
dalam memutuskan manajemen glikemik yang tepat.
Menurut Pernyataan Konsensus ADA / EASD 2018
untuk Manajemen Hiperglikemia pada T2D. Namun,
sementara intensi fi kasi pengobatan yang tepat dan tepat
waktu telah terbukti menjadi pendekatan yang efektif
untuk mengelola komplikasi HbA1c dan mikrovaskular,
terapi intensif masih mungkin tidak secara signifikan
mengurangi kejadian pankreas dan atau ganguan fungsi
insulin (resistensi insulin). (Anne. B. 2019. Hal 1).

3. GEJALA DIABETES
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi dua
yaitu gejala yang akut dan kronik. Gejala akut diabetes
melitus yaitu : secara tidak sadar akan terasa lapar (banyak
makan), dan juga secara tidak sadar sering minum
(banyak minum), juga akan sering buang air kecil (banyak
kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan
bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg
dalam waktu 2-4 minggu), disamping gejala diatas tubu
akan mengalami sering merasa lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu : pertama
pada bagian tubuh akan mengalami Kesemutan, dan kulit
terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, merasa
kram, mudah sekali kelelahan, sering mengantuk,
pandangan mata mulai kabur, pada bagan gigi mudah
goyang dan mudah lepas, pada ibu hamil sering terjadi
keguguran atau kematian janin dalam kandungan dll.
Menkondusifkan diri atau manajemen diri untuk
banyak mengkondisikan kesehatan kronis melibatkan
perilaku yang diberlakukan secara teratur. Namun,
kepatuhan terhadap diri ini sering terhambat oleh
kesehatan mental yang buruk (Sumlin et al., 2014).
Ketidak patuhan mungkin tidak disengaja (yaitu
melupakan) atau disengaja hal ini sebagai factor gejala
kronis.
Dalam konteks diabetes tipe 2, tekanan diabetes
dan gejala depresi adalah masalah kesehatan mental yang
relatif lazim (Fisher et al., 2008). Diabetes distress
merujuk pada beban psikologis yang berakar pada
kekhawatiran, kekhawatiran, dan ketakutan yang spesifik
untuk diabetes (mis. Potensi komplikasi) (Polonsky et al.,
2005) dan itu berhubungan negatif dengan kepatuhan
minum obat (Gonzalez et al., 2015). Demikian pula,
gejala depresi cenderung berbanding terbalik dengan
kepatuhan pada perilaku manajemen diri, termasuk
minum obat, di antara orang dengan diabetes tipe 2
(Ciechanowski et al., 2000).
Mekanisme yang diajukan untuk hubungan ini
telah bervariasi dan termasuk gangguan memori yang
sering menyertai gejala depresi dan dapat bermanifestasi
sebagai lupa minum obat (DiMatteo et al., 2000). (dalam
artikel. Burns. 2019. Hal 1). selain gejala kronik diatas ada
penelitian lain mengkonfirmasi bahwa diabetes tipe 2
dikaitkan dengan fungsi kognitif awal yang lebih buruk,
menunjukkan dampak pada cadangan kognitif yang
mungkin dimulai sebelum usia yang lebih tua. Selain itu,
bahkan selama periode yang relatif singkat ~ 5 tahun,
kami menemukan bahwa diabetes tipe 2 dikaitkan dengan
penurunan lebih cepat dalam kefasihan verbal (ukuran
kemampuan eksekutif) dan memori. Sebagai contoh, pada
orang tanpa diabetes tipe 2, kelancaran verbal sedikit
meningkat rata-rata setiap tahun, sedangkan pada T2MD
itu menurun lebih dari tiga kali lipat tingkat pada mereka
yang menderita diabetes tipe 2. Penurunan kognitif yang
dipercepat dengan berkontribusi pada kesulitan eksekutif
dalam kegiatan yang dilakukan dalam sehari-hari dan
perilaku kesehatan (seperti kepatuhan pengobatan), yang
pada gilirannya mungkin berdampak buruk terhadap
kesehatan vaskular di masa depan dan penurunan
kognitif]. Temuan sebelumnya telah dicampur, terutama
di usia menengah vs yang lebih tua. (Callisaya. M. 2018.
Hal. 4). Efek yang tetap ditentukan secara spesifik, jenis
kelamin, durasi diabetes, jumlah kelas obat diabetes dan
bulan.( Stuart J. 2018. Hal. 3).
C. PENYEBAB DIABETES

Gambar 3
1. FAKTOR MAKANAN/POLA MAKAN
Pengetahuan tentang makanan yang
direkomendasikan dan pola makan. Pengetahuan peserta
tentang "diet yang direkomendasikan"terdiri dari dua
komponen: (1) pemilihan makanan dan (2) pola makan.
Pilihan makanan berarti membatasi karbohidrat asupan
dan menghindari makanan berlemak tinggi. Peserta tahu
itu makan makanan tinggi karbohidrat meningkatkan
glukosa darah level. Karena itu, konsumsi karbohidrat
terbatas dilaporkan menjadi prioritas tertinggi bagi
sebagian besar individu. (SAVOCA. M. 2011. Hal. 3).
Pola Barat diet selama masa remaja, yang ditandai
dengan intake lebih tinggi dari merah dan daging olahan,
dan konsumsi gula yang berlebih, dikaitkan dengan risiko
lebih tinggi terkena diabetes 2 di usia dewasa jenis.
Konsumsi pati yang lebih tinggi, konsumsi serat yang
rendah, dan rasio pati terhadap sereal yang tinggi
dikaitkan dengan risiko diabetes tipe 2 yang lebih tinggi.
Dari jenis makanan yang di konsumsi baik mengandung
lemak jenuh yang tinggi, protein yang tinggi dan
karbohidrat yang tinggi, tanpa di imbangi dengan aktivitas
fisik yang seimbang maka bisa menyebabkan berbagai
penyakit degenertif yang pertama bisa obesitas karena
kelebihan intake karbohidrat dari pada outputnya untuk
energy dalam melakukan olahraga/aktivitas fisik. Dari
obesitas kemudian akan timbul penyakit degeneratif
lainya yaitu diabetes militus di mana kesurakan pada
receptor insulin mengalami kerusakan, sehinggan glukosa
darah tidak bisa masuk untuk pembentukan energy.
(Sylvia H. 2016. Hal 6).
Asupan yang lebih besar dari kentang, terutama
kentang goreng, dikaitkan dengan resiko diabetes tipe 2
lebih tinggi, sedangkan substitusi 1 porsi biji-bijian untuk
jumlah yang sama dari kentang dikaitkan dengan risiko
yang lebih rendah. Sering konsumsi daging merah,
terutama olahan daging merah seperti daging, sosis, dan
hot dog, sangat terkait dengan resiko diabetes tipe 2 lebih
tinggi di kohort NHS. Selama periode 4 tahun dikaitkan
dengan 4 tahun resiko diabetes tipe 2, asupan daging
merah lebih besar dikaitkan dengan insulin puasa
meningkat, hemoglobin A1c, dan di fl biomarker dengan
insulin puasa meningkat, hemoglobin A1c, dan di fl
biomarker inflamasi antara individu-individu yang sehat.
(Sylvia H. 2016. Hal 6).

2. OBESITAS
Jaringan adiposa coklat (BAT) pada manusia
dewasa menyajikan target terapi baru untuk penyakit
metabolik; Namun, sedikit yang diketahui tentang

regulasi BAT manusia. Kelebihan gambar 4.


Glukokortikoid kronis menyebabkan obesitas pada
manusia. (Lynne. E. 2016. Hal. 1).
Kelebihan berat yang mungkin bisa menyebabkan
obesitas, dan terjadinya kenaikan pada trigliserida sampai
pada tingkat tinggi sebenarnya itu semua adalah
mekanisme perlindungan Proteksi tubuh dari lipotoxicity,
glucotoxicity, dan insulin-toxicity. Untuk mengurangi
atau Meminimalisir kerusakan akibat lemak yang
berlebihan, serta insulin yang meningkatnya secara
kronis, hal ini akan menyebabkan kerusakan pada organ
organ tubuh lainnya kalau dibiarkan tinggi terus menerus
seperti itu. kelebihan berat badan dan trigliserida bagi
tubuh itu tidaklah bagus, badan yang menimbun lemak,
orang yang kegemukan meskipun dalam kehidupan
sehari hari yang termasuk dalam katagori hidup aktif
sebenarnya itu tidaklah sehat dalam organ tubuhnya
apalagi optimal, kelebihan lemak tubuh biasa terjadi
untuk melindungi badan yang diserang inflamasi tinggi,
kebanyakan asupan kalori yang masuk dalam tubuh dari
karbo/gula dan lemak, jadinya gemuk. Tapi jangka
panjangnya orang yang kelebihan lemak atau kegemukan
ini malahan rawan untuk terserangnya penyakit fatal yang
beresiko tinggi. Misalkan diabetes, sakit jantung,
serangan stroke, kanker, dll.

3. MALAS AKTIVITAS
Malas aktivitas atau malah untuk mengeraan
seluruh anggota fisik adalah hal yang kurang baik bagi
tubuh manusia, pada hakikatnya tubuh manusia adalah
suatu sistem metabolisme yang sangat baik bila di
rangsang oleh kontaksi otot, apabila manusia malas untuk
bergerak, padahal konsumsi makanan-makanan yang siap
saji atau mempunyai nilia yang tinggi lemak maka akan
ternjadinya obesitas, perilaku menetap, termasuk
menonton TV, dikaitkan dengan resiko diabetes tipe 2
lebih tinggi. (Sylvia H. 2016. Hal 9). Karena malas
aktivitas menyebabkan otot tidak kontraksi sehingga
kalori masuk tidak terpai untuk energy dan makanan yang
mengandung lemak bisa menyebabkan plak plak di
pembuluh darah, yang berakibat jadi penyakit degeneratif.

4. MEROKOK
Merokok adalah salah satu faktor risiko yang dapat
dimodifikasi untuk berbagai kondisi kronis, seperti
penyakit kardiovaskular (CVD), kanker, penyakit paru-
paru obstruktif kronis, asma dan diabetes. berhenti
merokok adalah salah satu dari beberapa intervensi yang
dapat dengan aman dan efektif biaya direkomendasikan
untuk individu dengan diabetes. Dalam pedoman dari
American Diabetes Association, penghentian merokok
direkomendasikan sebagai salah satu langkah yang paling
penting dalam mencegah komplikasi diabetes. 1 Banyak
penelitian telah menunjukkan bahwa mencegah
komplikasi diabetes.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa efek
buruk merokok pada diabetes mellitus tidak hanya terkait
dengan komplikasi makrovaskuler tetapi juga penyakit
mikrovaskular. Meskipun merokok dikenal untuk
menurunkan berat badan, hal ini terkait dengan obesitas
sentral. Zat hadir dalam asap tembakau diragukan lagi
memicu proses radikal bebas, mengganggu homeostasis
pembuluh darah dan berfungsinya endotel vaskular, dan
juga meningkatkan peradangan / stres oksidatif, selain
langsung merusak meningkatkan peradangan / stres
oksidatif, langsung merusak fungsi sel β. (Mariola. S.
2017. Hal. 1).
Gambar 5 (Mariola. S. 2017. Hal. 2)

Ringkasan dari jalur yang menghubungkan


merokok dengan Gambar 1. Ringkasan dari jalur yang
menghubungkan merokok dengan diabetes patofisiologi.
CO: karbon monoksida; ROS: spesies oksigen reaktif; Cd:
cadmium; Seperti: arsenik; Pb. (Mariola. S. 2017. Hal. 2).
Paparan merokok baik pasif dan aktif dikaitkan
dengan resiko diabetes tipe 2 lebih tinggi, meskipun risiko
tipe insiden 2 diabetes, ada peningkatan waktu sejak
berhenti untuk tidak merokok karena beberapa elevasi
risiko tetap bahkan 20 sampai 29 tahun kemudian (Sylvia

H. 2016. Hal 9).


Gambar 6 (Mandeep. B. 2012. Hal 2)
Hubungan Rokok Dan Diabetes Melitus
Pada rokok terdapat kandungan nikotin yang
dapat menurunkan sensitivitas insulin yang
menyebabkan gangguan glukosa serta gangguan
metabolisme lipid (hiperglikemia, displidemia, dan hal ini
menyebabkan HDL kolesterol menjadi rendah). Nikotin
pada rokok juga dapat mempengaruhi kerja dari sekresi
insulin melalui nAChRs. Nikotin juga dapat
menyebabkan peningkatan apoptosis islet sel β pancreas.

5. NUTRISI
independen dari jumlah sereal fiber dalam diri
seseorang yang rendah diet. Konsumsi karbohidrat pati
yang tinggi, rendah konsumsi seseorang tinggi, Rasio ber,
dikaitkan dengan ber, dan pati-to-cereal- tinggi fi Rasio
dikaitkan dengan minuman ber, dikaitkan dengan resiko
diabetes tipe 2 lebih tinggi. (Sylvia H. 2016. Hal. 10).
6. STRESS

Gambar 7 (Kadenbach. B. 2009. Hal. 144)


Stres sinyal stres dan pemanfaatan ATP seluler
disajikan. Stres disarankan untuk menghasilkan
penghapusan alosterik ATP-penghambatan CCO,
peningkatan potensi membran dan pembentukan ROS.
Hanya ketika ATP pemanfaatan (kerja) dimulai di bawah
kondisi ini akan ROS pembentukan penurunan ke tingkat
berbahaya. Penurunan pemanfaatan ATP (kerja)
menghasilkan lagi dalam peningkatan membran potensial
dan berbahaya pembentukan ROS. Namun, jika
discontinues sinyal stres, fosforilasi CCO dan alosterik
ATP-penghambatan dinyalakan, yang disertai dengan
penurunan potensial themembrane dan dengan demikian
penurunan pembentukan ROS.

D. PENDERITA DEABETES MILITUS BERESIKO


TERKENA PENYAKIT JANTUNG
1. SUSUNAN ORGAN KARDIOVASKULER
sirkulasi darah yang terdiri dari jantung, komponen
darah dan pembuluh darah yang fungsinya memberikan
dan mengalirkan suplai oksigen dan nutrisi-nutrisi ke
semua jaringan tubuuh yang sangat diperlukan dalam
metabolism tubuh.
Sistem kardiovaskuler berperan sangat aktif atau
sangat berat agar fungsi regulasiny dapat merespon
aktivitas tubuh berjalan dengan baik, contoh salah
satunya adalah dapat meningkatkan aktivitas usplai
darah agar aktivitas jaringan dalam tubuh dapat
terpenuhi, pada olahraga yang sifatnya hight darah lebih
banyak diarahkan pada organ-organ vital seperti jantung
dan otak yang dimana fungsinya untuk memelihara dan
memperthankan system sirkulasi itu sendiri.

Gambar 8 : Sistem kardiovaskuler


2. FUNGSI JANTUNG
Sebelum mengenal fungsinya, ada yang di sebut
anatomi jantung yaitu struktur jantung itu sendiri. System
jantung melakukan implus atau mengkoordinasi kontraksi
bilik jantung, dan bertangung jawab mengontrol detak
jantung, berurutan dan berirama dari empat ruang, terdiri
dari urutan berikut komponen anatomi (Mahadevan. V.
2017. Hal. 3).

Gambar 9 (Mahadevan. V. 2017. Hal. 2)


Anatomi Jantung
Jantung berbentuk seperti pir/kerucut seperti
piramida susunan itu sendiri terdiri dari aorta, batang nadi
paru, pembuluh balik atas dan bawah dan juga pembuluh
balik. Fungsi dari Jantung itu sendiri sebagai pusat sistem
kardiovaskuler yang terletak di sebelah rongga dada
(cavum thoraks) sebelah kiri yang dilindung oleh tulang
costae tepatnya pada mediastinum. Cara memeriksa
denyutan jantung, dapat diperiksa dibawah papilla mamae
2 jari setelahnya jadi turun kebawah setelah papilla
mamae. Untuk Berat itu sendiri pada orang dewasa
sekitaran 250-350 gram. Selain dari memeriksa deyutan
jantung adapun factor yang mempengaruhi mekanisme
dari jantung adalah: Umur, bentuk rongga dada, letak
diafragma, Perubahan posisi tubuh.
Fungsi jantung sebagai pompa, Lima fungsi
jantung sebagai pompa yaitu : Fungsi atrium sebagai
pompa, Fungsi ventrikel sebagai pompa, Periode ejeksi,
Diastole, Periode relaksasi isometric.

3. FUNGSI PEMBULUH DARAH


Pembuluh darah adalah bagiam dari system
sirkulasi berfungsi sebagai mengangkut darah ke bagian
seluruh tubuh. Pembuluh darah iini dapat di ibaratkan
seperti selang atau tabung berongga yang terdapat di
semua bagian tubuh.

Ada tiga jenis utama dan fungsi pembuluh darah,


yaitu arteri, yang membawa darah dari jantung; kapiler,
yang memungkinkan pertukaran air dan
bahan kimia antara darah dan jaringan; dan pembuluh
darah vena, yang membawa darah dari jaringan kembali
ke jantung. Sifatnya Pembuluh darah tidak semua sama
seperti selang, yang dimana biasanya ukurannya tetap,
tetapi pembuluh darah arteri dan vena itu secera otomatis
dapat mengatur diameternya mengembang (Vasodilatasi)
dan menyempit (vasokonstriksi) yang di aibatkan adanya
lapisan otot polos di dalamnya. Disamping itu fungsi
pembuluh darah ini diatur oleh sistem saraf otonom yaitu
saraf tak sadar bisa juga dipengaruhi oleh rangsangan
atau sinyal tertentu.
Gambar 10 (Betsholtz. C. 2018. Hal 2)
Pensinyalan sel-sel dalam sprouting angiogenik.
Gambar di atas ini menggambarkan reseptor-ligand
reseptor-dinginangiogenics yang diikutsertakan dalam sel
sel endip tunggal, membentuk sel-sel batang pengikat sel
dan merekrut bahan bakar tertentu. Beberapa reseptor
ligan dan reseptor diindikasikan dengan nama-nama
keluarga bukan anggota khusus. Berbagai fungsi / proses
khusus dimasukkan dalam kotak. (Betsholtz. C. 2018. Hal
2).

4. PENGATURAN FUNGSI JANTUNG dan


PEMBULUH DARAH
Gambar 11 :Note :Biru=kaya CO2, Merah=Kaya
Oksigen
Sebagai bagian dari sistem sirkulasi darah, fungsi
pembuluh darah adalah membantu dalam pertukaran gas.
Oksigen (terikat hemoglobin dalam sel darah merah)
adalah nutrisi yang paling penting yang dibawa oleh
darah. Dalam semua arteri, selain dari arteri pulmonalis,
hemoglobin sangat jenuh (95-100%) dengan oksigen.
Dalam semua pembuluh darah vena, selain vena
pulmonalis, hemoglobin kehilangan oksigen sekitar 75%,
untuk berikatan dengan karbon dioksida.
STRUKTUR FUNGSI
Arteri
Dinding arteri bangian
Membawa darah dari
tengah terdiri dari serat
jantung ke seluruh tubuh.
otot polos.
Darah kaya oksigen (kecuali
Berkontraksi
pada arteri pulomanis/paru-
(menyempit) dan
paru yang kaya CO2).
relaksasi
(melonggar) atas
instruksi dari sistem
saraf simpatik.
Arteriola
merupakan cabang
arteri yang ukurannya
Membawa darah dari arteri
lebih kecil sebelum
ke kapiler
menjaji kaliler.
Menjadi regulator utama
Strus dan fungsinya
aliran darah dan tekanan.
sama seperti arteri
hanya ukurannya saja
lebih kecil
kapiler
Tempat bertukarnya materi
Pembuluh darah yang
darah dengan jaringan dan
sangat kecil, dengan
juga membuang sampah dari
diameter 5-20
sel-sel di sekitarnya.
mikrometer.
Dinding kapiler juga
Pertukaran oksigen, karbon
tipis hanya terdiri dari
dioksida (oksigen ke
satu lapis sel sehingga
jaringan, CO2 ke darah), air,
memungkinkan
garam, dan lain-lain, antara
pertukaran materi
antara isi kapiler dan darah dan jaringan tubuh di
jaringan sekitarnya. sekitarnya.

Venula
Pembuluh darah kecil Mengalirkan darah dari
yang mengalirkan kapiler ke vena, kemudian
darah dari kapiler ke vena akan
vena. Hal ini identik mengalirkannya kembali ke
dengan arteriola. jantung.

Vena
Dinding vena terdiri
dari tiga lapisan seperti Membawa darah dari
arteri, namun lebih jaringan tubuh kembali ke
tipis dan kurang elastis jantung.
dibandingarteri Membawa darah yang kaya
Vena besar CO2 (kecuali pada vena
memiliki katup yang pulmonalis/paru-paru yang
membantu aliran darah kaya O2).
melawan gravitasi.
E. UPAYA PENJEGAHAN DIABETES MILITUS
TIPE 2
1. MEMPERHATIKAN ASUPAN GIZI
Faktor makanan dapat memainkan peran penting
dalam patogenesisnya. Modifikasi diet telah terbukti
mencegah perkembangan diabetes tipe 2. Makanan dari
berbagai jenis sayuran sebagian besar tidak diketahui.
Bila kurang dalam mengkonsumsi makanan yang kaya
serat bisa Meningkatnya, penyakit kardiovaskular,
kanker, stroke, dan diabetes tipe 2. Makanan mengandung
konstituen pelindung yang cukup besar, termasuk kalium,
folat, vitamin, serat, kandungan anti-oksidan dan senyawa
fenolik. Namun, buah dan sayuran belum dijelaskan
dengan tepat. Sampai saat ini, banyak studi epidemiologis
telah meneliti hubungan antara risiko diabetes tipe 2 dan
asupan buah dan sayuran. Temuan dari studi ini secara
mengejutkan tidak konsisten.
Gambar 12 (piramida makanan diabetes)
Ada banyak jenis makanan terutama di negara
Indonesia yang dimana salah satunya makanan dari biji-
bijian utuh atau yagn mengandung karbohidrat kompleks
contohnya seperti nasi merah, kentang panggang,
oatmeal, roti dan sereal dari biji-bijian utuh.
Di sisi lain makanan jenis danging ini dilihat dari
cara pengelolaanya seperti daging tanpa lemak yang
dikukus, direbus, dipanggang, dan dibakar. Kemudian
untuk konsumsi sayuran, sayuran yang cocok untuk
penderita diabetes mengonsumsi seperti brokoli dan
bayam. Kemudian untuk Buah-buahan yang sifatnya
harus segar, mengonsumsi buah-buahan bisa juga
menjadikannya jus, sebaiknya jangan ditambah gula
untuk menghindari glukosa tambah tinggi. Dan kacang-
kacangan misalnya tempe yang di bakar/ di kukus,
Popcorn tawar atau tanpa tambahan gula. Kemudian
produk olahan susu rendah lemak dan telur. Pada intinya
untuk penderita diabetes itu sendiri harus menghindari
ikan dengan kadar merkuri tinggi seperti ikan tongkol.
Dan juga selain nasi putih masih ada beberapa jenis
makanan yang lain untuk dihindari agar gula darah tetap
terjaga. Karena bila mengkonsumsi makanan yang kaya
kadar gula makan akan terjadi komplikasi pada tubuh.

2. RAJIN BEROLAHRAGA DAN AKTIF GERAK


Manfaat latihan dan aktivitas fisik Latihan
Aerobik. Pelatihan aerobik meningkatkan kepadatan
mitokondria, sensitivitas insulin, enzim oksidatif,
kepatuhan dan reaktivitas pembuluh darah, fungsi paru-
paru, fungsi kekebalan tubuh, dan curah jantung. Volume
yang tinggi terhadap aktivitas aerob dikaitkan dengan
risiko kematian kardiovaskular dan keseluruhan yang
secara substansial lebih rendah pada diabetes tipe 1 dan
tipe 2. Pada diabetes tipe 1, pelatihan aerobik
meningkatkan kebugaran kardiorespirasi, menurunkan
resistensi insulin, dan meningkatkan kadar lipid dan
fungsi endotel. Pada individu-individu dengan diabetes
tipe 2, regulartrainingreducesA1C, trigliserida, tekanan
darah, dan resistensi insulin. Atau, pelatihan interval
intensitas tinggi (HIIT) mempromosikan peningkatan
cepat kapasitas oksidatif otot rangka, sensitivitas insulin,
dan kontrol glikemik pada orang dewasa dengan diabetes
tipe 2, dan dapat dilakukan tanpa penurunan kontrol
glikemik pada diabetes tipe 1.
Dalam meta-analisis ini aktivitas fisik tinggi
versus total rendah, aktivitas waktu senggang, aktivitas
intensitas rendah, sedang dan kuat, latihan resistensi,
aktivitas kerja dan berjalan, kebugaran kardiorespirasi
masing-masing dikaitkan dengan pengurangan risiko
risiko diabetes tipe 2 yang signifikan secara statistik. .
Sebagian besar kegiatan ini dikaitkan dengan penurunan
25-40% dalam risiko relatif diabetes tipe 2, sementara
berjalan, aktivitas kerja dan pernapasan kardiorespirasi
dikaitkan dengan penurunan dan 55% dalam risiko relatif
diabetes tipe 2, masing-masing.
Selain itu, subjek yang meningkatkan tingkat
aktivitas mereka atau mereka yang memiliki aktivitas
tingkat tinggi secara konsisten dari waktu ke waktu
memiliki risiko diabetes tipe 2 yang lebih rendah 36 dan
41%. Ada beberapa saran dari hubungan nonlinear dari
aktivitas waktu luang, aktivitas yang kuat, olahraga
berjalan dan resistensi terhadap risiko diabetes tipe 2,
dengan pengurangan yang lebih jelas pada risiko pada
tingkat aktivitas rendah dan pengurangan risiko yang
tidak terlalu mencolok pada tingkat tinggi pada aktivitas
waktu luang dan aktivitas yang kuat dan tidak ada
pengurangan risiko lebih lanjut dengan tingkat tinggi
berjalan. Ini menunjukkan bahwa menargetkan individu
yang sangat tidak aktif mungkin sangat penting dari sudut
pandang kesehatan masyarakat. Namun demikian,
manfaat lebih lanjut juga diamati pada tingkat aktivitas
fisik yang lebih tinggi. Aktivitas yang kuat tampaknya
lebih kuat terkait dengan penurunan risiko diabetes tipe 2
daripada berjalan.
Gambar 13 (macam-macam olahraga dan aktivitas fisik)
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, aktivitas
fisik berarti " segala upaya yang melibatkan sistem otot-
rangka yang memerlukan konsumsi energi yang lebih
tinggi daripada yang diperlukan selama
istirahat ". Karena itu definisi ini tidak hanya mencakup
kegiatan olahraga tetapi juga kegiatan sehari-hari
sederhana seperti berjalan, bersepeda, menari, bermain,
berkebun dan pekerjaan rumah tangga.
F. UBAH GAYA HIDUP
1. TIDAK MEROKOK
Merokok dapat memperburuk resistensi insulin,
meskipun dengan paparan pada perokok pasif juga dapat
beresiko dengan terjadinya sindrom metabolic. Untuk
mencegahnya agar tidak menjadi lebih parah unutk
Diabetes mellitus sangat di sarankan untuk berhenti
merokok. Berdasarkan data dari enam studi kohort
prospektif, metaanalisis ini menemukan bahwa bukan
perokok yang terpapar asap pasif memiliki risiko 21%
lebih tinggi terkena diabetes dibandingkan dengan orang
yang tidak merokok tanpa pajanan asap pasif. Perkiraan
gabungan dari hasil utama kami kuat di seluruh analisis
sensitivitas dan tanpa bias publikasi yang signifikan.
Laporan US Surgeon General baru memiliki diskusi luas
tentang merokok dan diabetes. (Chuan. 2014. Hal 424).
Dan merokok dalam jangka lama akan menyebabkan
kemadian dini, yang di sebabkan oleh kandungan dalam
rokok bagi yang aktif dan juga yang pasif bisa terjadi
karena saat menghirup asap, dan terjadi pertukaran O2
dan kabodioksida.

2. ISTIRAHAT YANG CUKUP


Penderita diabetes sangat dianjurkan untuk
mengkontrol gula darah agar terhindar dari resiko
komplikasi, dan harus juga memperhtikan pola makan dan
yang tak kalah penting, pola tidur. Pola tidur juga dapat
memengaruhi hormon-hormon yang dapat mengatur
nafsu makan dan berat badan. Karena itu, orang dengan
kualitas tidur yang buruk serta kurang tidur cenderung
obesitas.
Ada sebuah penelitian di Jepang pada tahun 2013
bahwa penderita diabetes tipe 2 dengan durasi tidur
kurang dari 7 jam memiliki kadar HbA1c yang lebih
tinggi ketimbang mereka yang durasi tidurnya normal (7,8
jam). Kadar HbA1c itu sendiri merupakan standar baku
menilai baik buruknya kontrol gula darah penderita
diabetes selama 3 bulan terakhir. Yang dilakukan di tahun
2017, hasil meta-analisis berbagai studi mengarah pada
kesimpulan bahwa durasi tidur yang terlalu pendek
maupun terlalu panjang, serta kualitas tidur yang buruk
berhubungan dengan peningkatan kadar HbA1c. Jadi,
baik kualitas maupun kuantitas tidur sangat penting dalam
mendukung kontrol gula darah pada penderita diabetes.
Bila terjadi Gangguan tidur pada pasien dengan
obesitas morbid telah dijelaskan secara rinci dalam ulasan
lain (Akinnusi et al., 2012). Gangguan semacam itu
termasuk apnea tidur obstruktif, sindrom hipoventilasi
obesitas dan apnea tidur sentral, kantuk berlebihan di
siang hari, narkolepsi, dan sindrom makan malam. Apnea
tidur obstruktif telah terbukti berhubungan dengan
resistensi insulin sebagaimana dibuktikan oleh
konsentrasi insulin puasa yang lebih tinggi dan HOMA-
IR pada subjek yang mengalami episode apnea / hipopnea
(Ip et al., 2002). Selain itu, telah dilaporkan bahwa 50%
pasien diabetes dewasa menderita insomnia (Skomro et
al., 2001) dan memiliki tingkat melatonin malam hari
yang lebih rendah. Bahkan, data menunjukkan bahwa
metformin dikaitkan dengan peningkatan efisiensi tidur
pada pasien dengan T2DM. Tingkat melatonin malam
hari yang berkurang telah dikaitkan dengan peningkatan
risiko T2DM, karena melatonin memengaruhi sekresi
insulin, metabolisme glukosa hepatik, dan sensitivitas
insulin (Andrew et al., 2017). Dalam artikel (Kalere. L.
2019. Hal. 155).

3. OLAHRAGA TERATUR
Setiap orang pasti menginginkan tubuh yang
bugar, sehat, dan indah. Hal itu tentu saja, hanya
didapatkan dengan olahraga, olahraga menjadi salah satu
hal yang penting jika ingin mendapatkan semua itu.
Dengan olahraga yang dilakukan secara teratur
merupakan solusi tepat untuk menjaga kesehatan tubuh
dan mengingkatkan kepercayaan diri. Banyak orang
yang berolahraga karena mengetahui manfaatnya yang
beragam. untuk memulai olahraga secara teratur,
bersiaplah untuk ketagihan karena hasil yang didapatkan.
Gambar 14 (time & tipe olahraga)

Berikut yang terjadi pada tubuh saat kita berolahraga


secara teratur.
1. Mengontrol berat badan
2. Membuat tubuh menjadi aktif
3. Memperbaiki mood
4. Memperkuat tulang dan otot
5. Memperbaiki kualitas tidur.

G. UBAH POLA MAKAN


1. FUNGSI MAKANAN BAGI TUBUH
Makanan adalah sumber energi bagi tubuh agar
dapat melakukan berbagai aktivitas, makanan akan di
rubah menjadi sebuah energy ATP. Jika tubuh
kekurangan energi maka tubuh akan lemas dan mudah
lelah bahkan tidak bisa aktifitas fisik dengan normal. Oleh
karena itu, biasakan sarapan pagi sebelum melakukan
aktivitas fisik. Namun makanan yang di maksud harus
dengan GIZI yang seimbang dan juga porsi makanan
harus di sesuaikan, makanan yang masuk ke tubuh
digunakan sebagai energi degang cara olahraga atau
aktivitas fisik, namun bila hanya makan saja hal ini bisa
menyebabkan ketidak seimbangan antara makanan yang
masuk dan yang di keluarkan oleh tubuh, bila tidak di
gunakan untuk aktivitas fisik atau olahraga makanan yang
masuk bisa menyebabkan obesitas atau kelebihan berat
badan. Perlu di perhatikan juga makanan bagi penderita
diabetes harus yang rendah gula, lemak agar terhindar dari
komplikasi pada tubuh, Adapun fungsi makanan adalah :
1. Pertumbuhan dan perkembangan tubuh.
2. Pemeliharaan dan perbaikan sel-sel tubuh yang telah
rusak atau tua.
3. Pengaturan metabolisme tubuh.
4. Penjaga keseimbangan cairan tubuh.
5. Pertahanan tubuh terhadap penyakit.
6. Penghasil energi.

2. KEBUTUHAN ENERGI TUBUH


Energi tubuh adalah suatu makanan yang di rubah
menjadi ATP untuk di jadikannya sebagai kontraksi otot,
lalu Berapakah kebutuhan gizi? Yang sesuai dengan
aktivitas yang di laukan dan sehari hari.
• Kebutuhan Gizi ( Requirement ) Jumlah zat gizi
minimal yang diperlukan seseorang untuk hidup sehat.
• Kecukupan Gizi ( Recommended ) Jumlah zat gizi
yang diperlukan seseorang atau rata-rata kelompok orang
agar hampir semua orang ( 97,5% populasi ) dapat hidup
sehat.
Apa yang dibutuhkan ?
• Energi : Energi dibutuhkan oleh manusia untuk
bergerak atau melakukan aktivitas fisik sehari-hari dan
untuk mempertahankan kehidupan
• Dari mana energi ? Karbohidrat,Lemak dan Protein.
Makanan yang dimakan akan diubah menjadi energi
untuk berbagai aktivitas.
• Energi disebut juga Kalori dengan satuan Kkal
(Kcal,Kal)
• Energi yang masuk dalam tubuh harus harus sesuai
dengan kebutuhan gizi.
• Energi yang masuk dalam tubuh juga harus sesuai
dengan energi yang dikeluarkan.
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah alat sederhana
untuk mengatasi kekurangan dan kelebihan berat badan.
Sebelum mengetahui kebutuhan energi berapa yang harus
di konsumsi tiap harinya. Perlu diketahui apakah berat
tubuh normal atau obesitas, dengan mengunakan tolak
ukur IMT. (CHRISTANTIE. 2018. Hal. 514)

Tabel Status Gizi berdasar IMT untuk orang Indonesia,


(Christantie. A. 2018. Hal. 515).
Status Gizi Katagori IMT
Kurus Sekali Kekurangan BB < 17,0
tk berat
Kurus Kekurangan BB 17,0 – 18,4
tk ringan
Normal Normal 18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan BB tk 25,1 – 27,0
ringan
Obesitas Kelebihan BB tk >27
berat

Kebutuhan energy tubuh harus seimbang dengan


aktivitas fisiknya, agar tidak terjadi kelebihan kalori yang
bisa menyebabkan berbagai penyakit tidak menular,
sebaliknya kekurangan jumlah kalori dengan aktifitas
fisik yang berat, tanpa di di imbangi degan -makanan yang
kalori seimbang, lama –lama bisa menyebabkan
kerusakan pada suatu organ tubuh.
Cara Menghitung Kebutuhan Energi Kebutuhan energi
seseorang ditentukan oleh beberapa faktor :
• Usia
• Jenis kelamin
• Aktivitas fisik
• Kondisi fisiologis tertentu misalnya hamil dan
menyusui.
Ibu hamil dan ibu menyusui membutuhkan energi
lebih banyak dari daripada ibu dengan kondisi fisik
normal.
Rumus BMR menggunakan persamaan Harris
Benedict, yang direvisi oleh Roza dan Shizgal pada tahun
1984, sebagai berikut:
- BMR Pria = 88.362 + (13.397 x berat badan [kg]) +
(4.799 x tinggi badan [cm]) – (5.677 x umur)
- BMR Wanita = 447.593 + (9.247 x berat badan [kg]) +
(3.098 x tinggi badan [cm]) – (4.33 x umur)
Setelah menghitung besar BMR, hasilnya
kemudian dikalikan dengan Level Aktivitas Fisik untuk
memperoleh kebutuhan kalori harian atau total energy
expenditure (TEE).
Level Aktivitas Fisik
- Tidak aktif: TEE = BMR x 1.2
- Cukup aktif, berolahraga 1-3 kali/minggu: TEE = BMR
x 1.375
- Aktif, berolahraga 3-5 kali/minggu: TEE = BMR x
1.55
- Sangat aktif, berolahraga 6-7 kali/minggu: TEE = BMR
x 1.725

Contoh: Seorang pria dengan tinggi badan 180 cm, berat


badan 74 kg, usia 30 tahun dan level aktivitas fisik sangat
aktif, maka kebutuhan kalori hariannya adalah:

BMR pria = 88.362 + (13.397 x 74) + 4.799 x 180) –


(5.677 x 30) = 1773.25 Kcals
TEE Pria = 1773.25 x 1.725 = 3059 kcals
Melalui perhitungan tersebut, maka pria tersebut
membutuhkan 3.059 kalori sehari-harinya. Hal ini tentu
akan berubah jika tingkat aktivitas berubah setiap hari.

3. KEBUTUHAN KARBOHIDRAT
Takaran karbohidrat adalah gram. Berapa gram
kebutuhan karbohidrat masing-masing penderita diabetes
berbeda. Jangan menghindari sama sekali karbohidrat ya,
karena setiap orang perlu mendapatkan cukup karbohidrat
untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan energi, vitamin
dan mineral, serta serat. Para ahli menyarankan bahwa
asupan karbohidrat rata-rata orang tanpa diabetes adalah
antara 45 dan 65 persen dari total kalori. (Sylvia H. 2016.
Hal. 10).
Dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa
asupan karbohidrat untuk penderita diabetes adalah 20-
150 gram per hari atau hanya 5-35 persen karbohidrat dari
asupan kalori total. American Diabetes Association
menyarankan karbohidrat untuk penderita diabetes yang
aman dikonsumsi adalah sekitar 45-60 gram per kali
makan, atau sebesar 135-180 gram karbohidrat per
hari. Diet rendah karbohidrat penting dalam
mengontrol kadar gula darah.
Berikut adalah cara menghitung karbohidrat yang
dikonversikan ke kalori:
Satu gram karbohidrat memiliki sekitar 4 kalori.
Untuk tahu berapa gram karbohidrat yang dibutuhkan,
maka jumlah kalori keseluruhan dalam sehari harus dibagi
4 . Misalnya, jika kebutuhan kalori sehatri adalah 1.800,
dan bagi penderita diabetes 35 persennya adalah kalori
dari karbohidrat, maka kebutuhan karbohidrat Kamu
adalah sekitar 157 gram setiap hari. Perhitungannya :
35% x 1.800 kalori = 630 kalori.
630 ÷ 4 = 157,5 gram karbohidrat.
157,5 gram karbohidrat tersebut harus bagi saat makan
pagi, siang, dan malam.

4. KEBUTUHAN LEMAK
Asam lemak tak jenuh ganda dikaitkan dengan
risiko yang lebih rendah juga, sedangkan asupan yang
lebih besar dari asam lemak trans dikaitkan dengan risiko
yang lebih tinggi independen lemak lainnya. (Sylvia H.
2016. Hal. 9)
lemak perhari :20 % x 3059 kkal = 611.8 kkal
= 611.8 / 3x perhari
= 203 gram lemak

5. KEBUTUHAN PROTEIN
asupan protein, baik kuantitas dan kualitas, selama
hidup memiliki efek penting pada pertumbuhan,
perkembangan saraf, dan kesehatan jangka panjang.
Meskipun ada bukti terbatas bahwa yang sehat di negara
tidak menerima cukup protein untuk menutupi kebutuhan
fisiologis. (Greer. 2014. Hal 718)
protein perhari :15% x jumlah kkal=

= 15% x 3059 = 458.8 total konsumsi tiap hari.


= 458.8 / 3x perhari = 153 gram protein

6. KEBUTUHAN VITAMIN DAN MINERAL


Asupan lebih tinggi dari magnesium dan seng
dikaitkan dengan risiko diabetes tipe 2 lebih rendah,
sedangkan asupan zat besi heme lebih tinggi dikaitkan
dengan risiko yang lebih besar. tingkat yang lebih tinggi
plasma 25-hydroxyvitamin D dan kuku selenium
dikaitkan dengan tipe 2 diabetes insiden lebih rendah.
Makanan yang kaya vitamin dan mineral seperti sayur,
jenis : bayam, brokoli dll dimana kandungan vitamin dan
mineralnya lebih tinggi dari makanan yang siap saji atau
makanan ala barat. (Sylvia H. 2016. Hal. 1625). Penelitian
telah menunjukkan bahwa vitamin A, C, D, dan B12;
kalsium; besi; seng; dan trace mineral lainnya sering
kurang pada populasi yang lebih tua, bahkan tanpa adanya
kondisi seperti anemia pernisiosa atau malabsorpsi.12
Ada empat komponen khusus untuk penilaian nutrisi
geriatric. (ELSAWY. B. 2011. Hal 52)

7. KEBUTUHAN CAIRAN
Asupan lebih besar dari minuman manis (SSBs)
telah dikaitkan dengan resiko diabetes tipe 2 lebih tinggi
(Gambar 2). 20 Dalam analisis kami, asosiasi ini tetap
(Gambar 2). 20 Dalam analisis kami, asosiasi ini tetap,
signifikan bahkan setelah penyesuaian untuk BMI,
menunjukkan bahwa efek buruk dari SSBs tidak
sepenuhnya dimediasi oleh berat badan. Pergantian air
putih, kopi, atau teh untuk SSBs dikaitkan dengan risiko
diabetes tipe 2 lebih rendah. Konsumsi kopi secara teratur
juga dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah. Berbeda
untuk antara konsumsi alkohol dan risiko diabetes tipe 2
diamati, dengan risiko terendah dalam themoderate
kisaran konsumsi alkohol moderat dapat melemahkan
hubungan positif antara kadar glikemik makanan dan
risiko diabetes tipe2. (Andres V. 2016. Hal. 1626).
Berapa banyak air yang butuhkan?
Setiap hari tubuh kehilangan air melalui berbagai jalus
atau system ataranya melalui napas, keringat, urin, dan
buang air besar. Agar tubuh berfungsi dengan baik, harus
mengisi kembali persediaan airnya dengan mengonsumsi
minuman dan makanan yang mengandung air.
Lalu berapa banyak cairan yang dibutuhkan oleh orang
dewasa yang sehat dan rata-rata yang hidup di iklim
sedang? Dalam sebuah penelitian yang di
lakukan Akademi Ilmu Pengetahuan, Teknik, dan
Kedokteran Nasional menetapkan bahwa asupan cairan
harian yang memadai adalah:
 Sekitar 15,5 gelas (3,7 liter) cairan untuk pria
 Sekitar 11,5 gelas (2,7 liter) cairan sehari untuk
wanita
Rekomendasi ini mencakup cairan dari air, minuman lain,
dan makanan. Sekitar 20 persen dari asupan cairan harian
biasanya berasal dari makanan dan sisanya dari minuman.
Faktor-faktor yang memengaruhi kebutuhan air
Anda mungkin perlu memodifikasi asupan cairan total
berdasarkan beberapa faktor:
Olahraga. Jika melakukan aktivitas yang membuat tubuh
akan mengalami berkeringat, perlu minum air ekstra
untuk menutupi kehilangan cairan. Penting untuk minum
air sebelum, selama dan setelah latihan. Jika olahraga
intens dan berlangsung lebih dari satu jam, minuman
olahraga dapat menggantikan mineral dalam darah
(elektrolit) yang hilang melalui keringat.
Lingkungan Hidup.
Cuaca panas atau lembab bisa membuat berkeringat
dan membutuhkan asupan cairan tambahan.
Dehidrasi juga dapat terjadi pada ketinggian tinggi.
Kesehatan secara keseluruhan. Tubuh kehilangan
cairan saat demam, muntah, atau diare. Minumlah lebih
banyak air atau ikuti anjuran dokter untuk minum larutan
rehidrasi oral.
Kondisi lain yang mungkin memerlukan peningkatan
asupan cairan termasuk infeksi kandung kemih dan batu
saluran kemih.
Kehamilan atau menyusui. Wanita yang sedang hamil
atau menyusui membutuhkan cairan tambahan agar tetap
terhidrasi. Kantor Kesehatan Wanita merekomendasikan
bahwa wanita hamil minum sekitar 10 gelas (2,4 liter)
cairan setiap hari dan wanita yang menyusui
mengkonsumsi sekitar 13 gelas (3,1 liter) cairan sehari.

8. ANGKA KECUKUPAN GIZI


Angka Kecukupan Gizi (AKG) atau Recommended
Dietary Allowances (DRA) merupakan kecukupan rata-
rata zat gizi sehari bagi hampir semua orang sehat (97,5%)
menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh
aktifitas fisik, genetik dan keadaan fisiologis untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimal. Angka
Kecukupan Gizi (AKG) disusun dalam Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) setiap 5 tahun sekali
sejak tahun 1978. AKG ini mencerminkan asupan rata-
rata sehari yang dikonsumsi oleh populasi dan bukan
merupakan perorangan/individu. Berbeda dengan
kebutuhan gizi ( requirement), menggambarkan
banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan oleh masing-
masing individu sehingga ada yang rendah dan tinggi
yang dipengaruhi oleh faktor genetik. Acuan untuk
menentukan gizi seseorang dengan mengunakan atau
menghitung kebutuhan energy kita dalam sehari-hari
kaitan dengan (karbohidrat, protein, lemak).

H. HUBUNGAN OLAHRAGA DAN DIABETES


Olahraga merupakan istilah umum untuk segala
pergerakan tubuh karena aktivitas otot yang akan
meningkatkan penggunaan energi. Olahraga dapat
mengontrol gula darah. Glukosa akan diubah menjadi
energi pada saat berolahraga. Olahraga mengakibatkan
insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam
darah akan berkurang. Pada orang yang jarang
berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh
tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak
dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah
glukosa menjadi energi maka akan timbul DM
(Kemenkes, 2010).
Hal ini diperkuat dengan teori Ilyas (2009), pada
DM Tipe II olahraga berperan utama dalam pengaturan
kadar glukosa darah. Pada saat berolahraga resistensi
insulin berkurang, sebaliknya sensitifitas insulin
meningkat, hal ini menyebabkan kebutuhan insulin pada
diabetisi tipe II akan berkurang. Sensitifitas insulin pada
saat berolahraga dapat meningkat karena pada saat
berolahraga terjadi peningkatan aliran darah, hal ini
menyebabkan jala-jala kapiler terbuka sehingga lebih
banyak reseptor insulin yang tersedia dan aktif. Respon
ini hanya pada saat berolahraga, tidak merupakan efek
yang menetap atau berlangsung lama, oleh karena itu
olahraga harus dilakukan secara terus menerus dan
teratur. (Ikhtiyarotul. 2015. Hal. 8).
Gambar 15 ( Verboven1. M. 2019. Hal. 265).
Latihan mempengaruhi fungsi kardiomiosit itu
sendiri dan faktor sirkulasi dalam DCM. Konsentrasi
peredaran darah dalam sitokin pro-inflamasi, serta FFA,
berkurang selama intervensi latihan, yang berhubungan
dengan jaringan fibrotik yang kurang di jantung.
Keseimbangan metabolisme substrat antara FFA dan
oksidasi glukosa dipulihkan setelah intervensi olahraga.
Fungsi mitokondria ditingkatkan, dengan fisi mitokondria
yang lebih sedikit dan stres oksidatif yang lebih sedikit.
Penanganan kalsium dalam kardiomiosit ditingkatkan dan
komunikasi antar sel melalui peningkatan gap junction
diubah secara signifikan setelah berolahraga intervensi.
Kardiomiopati diabetes DCM, asam lemak bebas FFA,
TNF-α tumor necrosis factor alpha, PLB fosfolamban,
SERCA retikulum sarkoplasma / endoplasma Ca (2+)
ATPase 2a, retikulum sarkoplasma SR, penukar natrium-
kalsium NCX, GLUT-4 transporter glukosa tipe 4, PGC-
α peroksisom proliferator-diaktifkan reseptor gamma
coactivator diaktifkan 1-α, Dramin-terkait dengan
dinamin protein 1, mtDNA DNA mitokondria, SOD
superoksida dismutase, Cyt-c sitokrom-c, spesies oksigen
reaktif ROS, IL-10 interleukin-10, P terfosforilasi,? tidak
ada pengungkapan tentang efek antar kelompok.
(Verboven. M. 2018. Hal 265).
Analisis berdasarkan secretome-medium kultur
miosit manusia telah mengungkapkan lebih dari 600
myokines sampai tanggal ( Gorgens et al., 2015 ). Namun,
mayoritas myokines ini masih belum ditandai.

Hanya sedikit dari mereka telah dipelajari untuk


aktivitas biologis mereka dan fungsi dan telah
menyediakan beberapa bukti yang jelas sebagai
dibebaskan langsung dari kontraksi otot. Selain itu, studi
yang berpotensi terkait dengan atrofi otot hampir tidak
ada. Memahami peran biologis dan fisiologis. (Han Lee.
J. 2019. Hal 4). Seperti pada gambar di atas bahwa
kontraksi otot akan mengeluarkan bebagai macam-
macam myokine dalam otot, yang di mana setiap jenis
myokine mempunyai peran dan tugas masing-masing.
myostatin

 Myostatin faktor pertumbuhan 8, merupakan myokine


pertama pada tahun 1997 oleh Se-Jin Lee dan rekan-
rekannya (McPherron et al., 1997). Ini dikodekan oleh
gen myostatin dan dikenal sebagai anggota keluarga
protein beta TGF yang sangat terkonservasi (McPherron
et al., 1997). Hal ini banyak diekspresikan dalam otot
rangka, tetapi juga diekspresikan ke otot jantung dan
jaringan lemak (McPherron et al., 1997; Sharma et al.,
1999). Kadar myostatin dalam plasma pria muda yang
sehat telah terbukti menurun secara signifikan dalam 24
jam pasca latihan jika dibandingkan dengan pra-latihan
dan juga telah terbukti berkorelasi positif dengan
plasma IL-6 (Kazemi, 2016). Sebaliknya, myostatin
serum harus diperlihatkan untuk meningkatkan rawat
inap dengan cedera tulang belakang setelah latihan
aerobik (Han et al., 2016). Meskipun laporan yang
sangat bertentangan ada di kedua sisi, beredar
myostatin menunjukkan peningkatan yang jelas pada
perempuan dari pada laki-laki selama sarkopenia
(Bergenetal., 2015), transkripsi yang bergantung pada
FoxO dan mengatur transkripsi gen yang terkait dengan
proliferasi dan perbedaan dalam sel-sel prekursor otot
rangka serta proses degradasi protein di tempat lain
(seperti protein di tempat lain). , dan autophagy) pada
serat-serat dewasa (Burks dan Cohn, 2011; Han et al.,
2013). Selain itu, aktivasi pensinyalan Smad yang
dimediasi myostatin menghambat sintesis protein
dalam jaringan otot dengan menekan jalur pensinyalan
mTOR yang dimediasi Akt (Han et al., 2013).
Secara fungsional, myostatin adalah pengatur negatif
pertumbuhan otot sehingga mengarah pada
penghambatan miogenesis melalui diferensiasi dan
pertumbuhan sel otot. Pada manusia, individu dengan
mutasi pada kedua salinan gen myostatin menunjukkan
peningkatan massa otot dan kekuatan otot secara
signifikan dibandingkan dengan yang diamati pada
individu normal (Schuelke et al., 2004). Bukti yang
berkembang menunjukkan bahwa peningkatan
myostatin dan aktivin analognya A berkontribusi pada
kejadian atrofi otot (Morvan et al., 2017). Dengan
demikian, myostatin dianggap sebagai molekul target
yang menjanjikan untuk pengobatan pengecilan otot.
Dalam dua dekade terakhir, beberapa agen, seperti
follistatin (antagonis myostatin), dan pendekatan
berbasis antibodi selektif yang menargetkan ActR-IIB,
myostatin, dan aktivin A dikembangkan untuk
memusuhi / menekan pensinyalan myostatin. Molekul-
molekul ini dievaluasi dalam berbagai kondisi patologis
seperti pengecilan otot atau atrofi. Sebagai contoh,
antibodi myostatin, MYO-029 / stamulumab, diuji
dalam model dystrophic otot yang luas, termasuk
musculardystrophy (BMD) Becker dan
facioscapulohumeraldystrophy, tetapi gagal
menunjukkan efektivitas klinis dalam meningkatkan
kekuatan otot (Leung et al., 2015).
 Irisin, Irisin adalah sebuah hormon yang diproduksi
selama olahraga dan mampu membantu sel lemak putih
berubah menjadi sel lemak coklat. Irisin dibentuk oleh
Fibronectin tipeIII yang mengandung domain protein 5
(FNDC5), yang secara bersamaan ditemukan oleh dua
kelompok independen pada tahun 2002 ( Colaianni.
2014. Hal 4 ) Ini pertama kali dilaporkan sebagai
mediator potensial dari efek manfaat latihan. Awalnya,
ekspresi PGC1α dalam otot menstimulasi ekspresi
FNDC5, yang menghasilkan pengembangan lemak yang
menyerupai lemak dari sel putih krem yang dinamai sel
krem dan meningkatkan termogenesis (Bostrom, 2012.
Hal 1). Meskipun peningkatan irisin dalam darah yang
diinduksi oleh olah raga sudah dinetralkan, banyak
laporan yang terus-menerus menunjukkan peningkatan
ekspresi mRNA FNDC5 saat berolahraga dalam model
tikus (Dun et al., 2013; Roberts et al., 2013) ) dan
manusia (Huh et al., 2012; Lecker et al., 2012), sehingga
memicu minat baru dalam miokin yang disebabkan oleh
olahraga. Sejalan dengan pengamatan ini, ekspresi
faktor-faktor transkripsi spesifik mitokondria, seperti
PGC-1α dan faktor transkripsi miniochondrial A,
meningkatkan paparan myotub C2C12 ke irisin
rekombinan selama 24 jam. Mereka semua terlibat
dalam peningkatan mitokondria dan konsumsi oksigen
(Vaughanetal. 2015. Hal 4). Selain itu, irisin dan
myostatin disekresikan secara terbalik dari otot rangka
setelah latihan fisik (MacKenzie et al., 2013), dengan
demikian menunjukkan peran miogenik potensinya.
melaporkan bahwa irisin menginduksi hipertrofi otot
rangka dan atrofi yang diinduksi denervasi dengan
mengaktifkan pensinyalan IL-6 pada tikus. Efek irisin
pada hipertrofi ditunjukkan untuk ditegakkan oleh
aktivasi sel-sel satelit otot dan peningkatan sintesis
protein. Penelitian ini secara terbuka meningkatkan
potensi penelitian jalan pada irisin sehubungan dengan
atrofi otot. penelitian terbaru menunjukkan bahwa
kadar irisin yang bersirkulasi lebih rendah pada wanita
dengan sarkopenia postmenopause bila dibandingkan
dengan mereka yang memiliki sarkopenia dan mereka
berkorelasi negatif dengan luas penampang quadricep
(Park et al., 2018), menunjukkan bahwa irisin dapat juga
berfungsi sebagai faktor promyogenik potensial dalam
kondisi patologis manusia. Studi-studi lebih lanjut
diperlukan untuk mempelajari aspek biologis dari
manusia dan mekanismenya yang mendasari otot-otot
tubuh.
 Interleukin6, (IL-6) telah diidentifikasi pada tahun 2000
dan harus dipantau miokin (Pedersen dan Febbraio,
2008). Ini dikeluarkan dari otot ke dalam pembuluh
darah sebagai respons terhadap kontraksi otot
(Pedersen dan Febbraio, 2008), di mana otot rangka
berkomunikasi dengan pusat dan peripheralorgans
(Pedersenetal., 2003). Helge et al., 2003). Menariknya,
IL-6 sangat diproduksi dan dilepaskan setelah latihan
setelah aksi insulin ditingkatkan. Namun, IL-6 juga
terkait dengan obesitas dan resistensi insulin (Pedersen
dan Debraio, 2008) .IL-6 memiliki efek seperti insulin
pada metabolisme glukosa. IL-6 meningkatkan
pembuangan glukosa yang distimulasi insulin pada
manusia serta pengambilan glukosa dan oksidasi asam
lemak secara in vitro melalui protein kinase teraktivasi-
AMP dan jalur pensinyalan PI3K-Akt (Al-Khalili et al.,
2006; Carey et al., 2006). Individu dengan cedera tulang
belakang (SCI) cenderung mengembangkan penyakit
metabolik karena kurangnya respons IL-6 yang dapat
berolahraga, menunjukkan bahwa IL-6 memainkan
peran penting dalam mengatur homeostasis glukosa
(Koudaetal., 2012). Di sisi lain, peran IL-6 pada atrofi
otot tampaknya menjadi efek negatif daripada efek
manfaat. Peningkatan sirkulasi angiotensin II (AngII)
mengurangi massa tubuh tanpa lemak pada penyakit
ginjal kronis. Pada tikus, infus AngII menghasilkan
peningkatan sirkulasi IL-6 dan produksi hepatiknya,
menunjukkan bahwa peradangan yang diinduksi AngII
mungkin menjadi pemicu hilangnya otot (Zhang et al.,
2009). Sebaliknya, atrofi otot yang diinduksi AngII
ditekan pada tikus defisien IL-6 (Zhang et al., 2009).
Aktivitas aktivitas dalam xxmale menghambat respon
anti-inflamasi dan perbaikan dalam perbaikan otot
(Pelosi et al., 2015). Oleh karena itu, penghambatan IL-
6 mungkin bisa menjadi fasa untuk mencegah
mekcleloss.

 Interleukin-15 (IL-15) adalah sitokin dengan struktur


yang mirip dengan interleukin-2 (IL-2). Itu ditemukan
oleh dua kelompok penelitian yang berbeda pada tahun
1994 dan dicirikan sebagai faktor pertumbuhan sel T.
Kemudian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
IL15 terakumulasi di otot sebagai hasil dari latihan
olahraga teratur, menunjukkan bahwa thoritis
amyokine (Pedersen. 2015. Hal 2). Selain itu, ekspresi
mRNA IL-15 diregulasi bersamaan dengan diferensiasi
myoblast (Pedersen dan Febbraio, 2008). Secara
suportif, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
overekspresi IL-15 atau IL-15 yang dirawat secara
eksogen meningkatkan diferensiasi mioblas dan
meningkatkan massa otot dalam garis sel myogenik
kerangka tikus C2 Pada tikus dengan kanker cachexia,
perawatan IL-15 melemahkan pemborosan otot rangka
dengan menekan degradasi protein melalui
penghambatan jalur proteolitik ubiquitin yang
bergantung pada ATP (Carbo et al., 2000).
Pemberian IL-15 ditemukan untuk meningkatkan
kekuatan diafragma dengan peningkatan luas
penampang serat otot dan penurunan akumulasi
kolagen pada dystrophicmdxmice. Infus kontras IL-15
sistemik menginduksi atrofi otot pada otot rangka.
Pengobatan IL-15 meningkatkan pengambilan glukosa
dalam sel otot rangka melalui aktivasi jalur pensinyalan
Jak3 / STAT3 atau jalur pensinyalan AMPK. Selain itu,
Quinn L et al. dan rekan kerja melaporkan bahwa tikus
transgenik IL15 menunjukkan peningkatan oksidasi
lemak, pengeluaran energi dan daya tahan berlari
bahkan dengan massa otot yang lebih rendah
dibandingkan dengan tikus tipe liar. Menariknya, tikus-
tikus ini juga menyatakan isoform troponin I dan myosin
rantai berat mRNA yang menunjukkan konversi otot
menjadi fenotip yang lebih oksidatif (Quinn et al., 2013;
Chalkiadaki et al., 2014). Secara bersama-sama, laporan
kontroversial di atas menunjukkan bahwa IL-15
bertindak berbeda sesuai dengan kondisi normal dan
patologis. Oleh karena itu, lebih baik mereka harus
fokus pada mengklarifikasi faktor-faktor yang berbeda
dalam memengaruhi berbagai peran IL-15 antara
kondisi yang berbeda antara kondisi yang berbeda.

 MYONECTIN (CTRP15), Myonectin adalah miokin yang


termasuk dalam keluarga C1q / TNF-related protein
(CTRP), dan ditemukan oleh Methinetal. (2012). Ini
adalah miokin yang responsif terhadap nutrisi yang
dikeluarkan dari tulang otot (Seldin et al., 2012;
Peterson et al., 2014). Myonectin dilepaskan ke dalam
aliran darah dengan kontraksi otot, dan berfungsi
dengan baik melalui sel-sel lemak sebagai pengganti sel-
sel lemak melalui peningkatan pengekspresian asam
lemak (CD36, FATP1, Fabp1, dan Fabp4)
(SeldinandWong, 2012; terlalu banyak tekanan yang
dapatdisebabkan oleh tekanan yang lebih tinggi). Selain
itu, kemampuan myonectin untuk menekan autophagy
dihapuskan oleh penghambatan jalur pensinyalan PI3K
/ Akt / mTOR (Seldin et al., 2013). Autophagy dianggap
sebagai mekanisme yang menginduksi atrofi otot.
Selain itu, jalur pensinyalan PI3K / Akt terlibat dalam
respons anabolik dalam tubuh. Oleh karena itu,
pengamatan ini menunjukkan bahwa saya dapat
memilih untuk meningkatkan massa otot dengan
meningkatkan sintesis protein dan menghambat
degradasi protein. Pada catatan yang terkait,
kandungan mitokondria pada otot merupakan penentu
penting untuk jenis dan fungsi otot. Secara signifikan,
peningkatan mengikuti mtDNA dan peningkatan
penumpukan glukosa terjadi melalui aktivasi lemak
myocytes (Park. 2009. Hal 99). Yang menarik, tipe serat
otot oksidatif yang bergerak lambat menyatakan tingkat
yang lebih tinggi dari serat analitik dan serat glikolitik
cepat, yang menunjukkan bahwa ia mungkin terlibat
dalam biogenesis mitokondria dan penginderaan
keadaan energi seluler. Namun, ada fungsi yang terkait
dengan fungsi biologis dan mekanisme pada massa otot
dan biogenesis mitokondria ototnormal fisiologis dan
keadaan yang meningkat.(Lee. H. 2019. Hal. 6).

 Decorin adalah proteoglikan kaya leusin yang


diidentifikasi sebagai miokin oleh Kanzleiter et al.
(2014). Ini disekresikan di otot rangka selama kontraksi
otot dan memainkan peran penting dalam
pertumbuhan otot. Decorin secara langsung mengikat
dan menonaktifkan myostatin (penghambat potensial
pertumbuhan otot) dengan cara yang tergantung pada
seng, dan menghambat efek anti-myogeniknya. Perkasa
diekspresikan di mana-mana tetapi tampaknya diatur
secara negatif oleh myostatin pada otot rangka.
Ekspresi berlebihan Decorin meningkatkan ekspresi
Myod1 dan follistatin, sedangkan itu mengurangi ligases
ubiquitin spesifik otot atrogin1 dan MuRF1 (Marshall et
al., 2008). Dengan demikian, Decorin dapat bertindak
sebagai faktor miogenik dan mungkin merupakan
metode pengobatan yang layak untuk perawatan awal
dari pencemaran air. (Lee. H. 2019. Hal. 6).

 Fibroblast growth factor (FGFs) adalah protein pemberi


sinyal dengan fungsi biologis yang beragam dalam
pengembangan dan metabolisme. FGF diklasifikasikan
sebagai para, intra, dan endokrin sesuai dengan
tindakan mereka. FGF paracrine sebagian besar
berfungsi sebagai molekul pensinyalan lokal dalam
proses perkembangan sedangkan FGF intrakrin
terutama berfungsi sebagai molekul intraseluler dalam
proses neuronal (Itoh dan Ornitz, 2011). FGF21
berfungsi sebagai molekul pensinyalan seperti hormon
endokrin atau lokal dalam metabolisme. FGF21 tidak
memiliki aktivitas proliferatif seperti keluarga FGF
parakrin dan endokrin lainnya dan hanya terkait dengan
metabolisme (Itoh, 2014). FGF mengaktifkan beberapa
jalur pensinyalan intraseluler termasuk
fosfatidylinositol 3-kinase (PI3K) / serin-treonin protein
kinase AKT, pensinyalan transduser dan aktivator
transkripsi (STAT), aktivasi protein kinase kinase
(MAPK), dan phosphoinositide phospholipase C (PLC) γ
(Itoh , 2014). Secara khusus, FGF21 bertindak melalui
reseptor FGF 1c dengan β-Klotho sebagai kofaktor.
Skeletal otot-spesifik Akt1 tikus transgenik
menunjukkan otot skeletal
berhypertrophywithmeningkatkanFgf21ekspresiuntuk
musik dan dalam serum yang menunjukkan bahwa
FGF21 memainkan peran penting
dalammengaturkelemmer (Izumiyaetal., 2008) .Selain
itu, ekspresi FGF21 digabungkan dengan berbagai otot
yang berbeda dalam beberapa lokasi. Defisiensi
autophagy dan disfungsi mitokondria selanjutnya
meningkatkan tingkat FGF21 sebagai miokin, sehingga
melindungi terhadap obesitas yang disebabkan oleh
diet dan resistensi insulin (Kim et al., 2013; Keipert et
al., 2014). Dalam myoblasts yang dikultur, pengobatan
inhibitor kompleks mitokondria meningkatkan ekspresi
dengan mempromosikan pengikatan faktor transkripsi
pengaktif 2 (ATF2) untuk wilayah promotor gen Fgf21
(Ribas et al., 2014). Selain itu, dalam sel-sel otak
vascularsmoothmusclecell, FGF21 melindungi terhadap
penuaan serebrovaskular imbas II terinduksi dengan
meningkatkan biogenesis mitokondria (Wang et al.,
2016). Semua studi di atas menunjukkan bahwa FGF21
mungkin berpotensi terlibat dalam beralih tipe otot dan
mengatur mitofag, sehingga mengatur massa dan
fungsi otot. Dengan demikian, penargetan FGF21
mungkin merupakan pendekatan yang menarik untuk
mengobati miopati berbasis mitokondria dan disfungsi
otot.

 SPARC / osteonectinasanovel myokine, yang dilepaskan


dari otot rangka manusia dan tikus setelah latihan,
meskipun diidentifikasi sebelumnya (Aoi et al., 2013).
Sekresi SPARC yang dipicu oleh latihan terbukti
menghambat tumorigenesis usus besar dengan
meningkatkan apoptosis pada sel kanker usus besar
(Aoi et al., 2013). SPARC juga terbukti diregulasi dalam
penyakit otot bawaan dan idiopatik seperti Duchenne
muscular dystrophy dan congenital muscular dystrophy
(Jorgensenetal., 2009).
Aktivitas fisik secara teratur dan pelatihan olahraga
telah lama diketahui menyebabkan adaptasi ke jaringan
adiposa putih (WAT), termasuk penurunan ukuran sel dan
konten lipid dan peningkatan protein mitokondria.
(Stanford. K. 2015. Hal. 1). WAT diregulasi di adipokine,
efek metabolic dilatih jaringan adipose metabolic system.
WAT berperan dalam penyimpanan lipid, produksi
hormon, fungsi kekebalan tubuh, dan arsitektur jaringan
lokal dan diklarifikasi menjadi kekebalan tubuh, dan
arsitektur jaringan lokal utama: visceral (vWAT) dan
subkutan (scWAT). vWAT mengacu pada jaringan
adiposa yang mengelilingi organ internal, sedangkan
scWAT terutama ditemukan di sekitar paha dan bokong.
Akumulasi vWAT dikaitkan dengan resistensi insulin,
peningkatan risiko diabetes tipe 2, dislipidemia,
perkembangan aterosklerosis, dan kematian (3 - 5),
dislipidemia, perkembangan aterosklerosis, dan kematian,
dislipidemia, perkembangan aterosklerosis, dan kematian,
sedangkan akumulasi scWAT dikaitkan dengan
peningkatan sensitivitas insulin dan mengurangi risiko
untuk mengembangkan diabetes tipe 2. (Stanford. K.
2015. Hal. 1).

Gambar 16 (Stanford. K. 2015. Hal. 5)


Adipokin yang diinduksi oleh pelatihan olahraga
memiliki efek endokrin dan meningkatkan metabolisme
seluruh tubuh. Dalam penelitian Stanford., 2015
mengusulkan sebuah model di mana latihan menyebabkan
WAT melepaskan adipokin, yang dapat bertindak secara
endokrin untuk meningkatkan metabolisme pada otot
rangka, hati, dan BAT atau dalam cara otokrin atau
parakrin untuk meningkatkan fungsi WAT. (Stanford. K.
2015. Hal. 5).
Temuan (Marie-Eve Piche. 2018. Hal.5) dari penelitian
ini adalah sebagai berikut: (1) program modifikasi gaya
hidup berbasis latihan 1 tahun di samping perawatan
standar pada pria dengan LVDD dan CAD dikaitkan
dengan manfaat yang signifikan pada kapasitas olahraga;
(2) setengah dari pasien dengan berbagai tingkat toleransi
glukosa meningkatkan fungsi diastolik LV setelah
program modifikasi gaya hidup; di antara mereka, 13%
fungsi diastolik LV dinormalisasi; dan (3) meskipun
kapasitas olahraga yang lebih buruk dan fungsi diastolik
LV sebelum intervensi gaya hidup, pasien dengan T2DM
menunjukkan manfaat yang sebanding dari intervensi
gaya hidup berbasis pelatihan olahraga dengan mereka
yang tidak memiliki T2DM.
Olahraga aerobik lebih berfaedah pada penderita
diabetes. Olahraga aerobik dilakukan sekurangnya 3-5
hari seminggu, selama 20-60 menit pada 55%-90% detak
jantung maksimal. Sebelum olahraga diprogramkan pada
penderita DM perlu dilakukan penilaian uji gradasi pra-
olahraga. Penderita DM tidak boleh berolahraga apabila
gula darahnya tidak terkendali ( > 250 mg/dl atau < 100
mg/dl).
Latihan biasanya salah satu strategi manajemen
pertama disarankan untuk pasien yang baru didiagnosis
dengan diabetes tipe 2. Bersama-sama dengan diet dan
perilaku modi fi kasi, olahraga merupakan komponen
penting dari semua diabetes dan program pencegahan
obesitas dan intervensi gaya hidup. pelatihan olahraga,
apakah pelatihan aerobik atau resistensi atau kombinasi,
memfasilitasi peningkatan regulasi glukosa. -Pelatihan
interval intensitas tinggi juga efektif dan memiliki
menambahkan manfaat t menjadi sangat waktu-yang
efisien. Sementara efficacy, skalabilitas, dan
keterjangkauan latihan untuk pencegahan dan
pengelolaan diabetes tipe 2 yang mapan, keberlanjutan
rekomendasi latihan untuk pasien tetap sulit dipahami.
(Jonh. P. 2017. Hal. 1).

Rekomendasi American Diabetes Association


untuk latihan pada diabetes tipe 2. (Jonh. P. 2017. Hal.
1).
Latihan aerobik: Setidaknya 150 menit / minggu moderat
untuk olahraga berat • lebih dari 3 sampai 7 hari / minggu,
dengan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut antara
serangan olahraga • latihan sehari-hari disarankan untuk
memaksimalkan aksi insulin • durasi yang lebih pendek
(setidaknya 75 menit / minggu) dari intensitas vigorous-
atau latihan interval dapat mencukupi untuk pasien lebih
muda dan lebih secara fisik dilakukan secara terus
menerus, atau sebagai-pelatihan interval intensitas tinggi

Latihan resistensi: Progresif moderat untuk pelatihan


resistensi yang kuat harus diselesaikan 2 sampai 3 kali /
minggu pada hari berurutan

• Setidaknya 8 sampai 10 latihan, dengan selesainya 1


sampai 3 set 10 sampai 15 pengulangan

Fleksibilitas dan keseimbangan pelatihan


dianjurkan 2 sampai 3 kali / minggu untuk orang dewasa
yang lebih tua Partisipasi dalam program pelatihan
diawasi saja dilakukan untuk memaksimalkan manfaat
kesehatan fi latihan pada diabetes tipe 2. (Jonh. P. 2017.
Hal. 2).
1. FREKUENSI OLAHRAGA
Frekuensi diartikan sebagai jumlah pengulangan
latihan dalam waktu tertentu contohnya seperti 3 sampai
5 kali dalam satu minggu, 3 kali sudah cukup baik dengan
catatan durasi latihan di tambah 5-10 menit. Jangan
sampai 7 kali seminggu, karena tidak ada hari untuk
istirahat, lagi pula kurang baik untuk metabolisme tubuh.
(Rika, 2016. Hal. 21).

2. ITENSITAS OLAHRAGA
Penting untuk mengetahui intensitas latihan, karena
Latihan yang berlebihan akan merugikan kesehatan,
sedangkan dengan latihan yang terlalu sedikit tidak begitu
bermanfaat. Untuk itu Penentuan porsi latihan harus
memperhatikan intensitas latihan, lama latihan, dan
frekuensi latihan. Intensitas latihan Untuk mencapai
kesegaran kardiovaskuler yang optimal, maka idealnya
latihan berada pada VO2 max, berkisar antara 50 - 85 %
ternyata tidak memperburuk komplikasi DM dan tidak
menaikkan tekanan darah sampai 180 mmHg. Intensitas
latihan dapat dinilai dengan:
1) Target nadi/area latihan.
Sebagai contoh penderita DMT2 tidak tergantung
insulin umur 40 tahun, interval nadi yang
diperbolehkan adalah 60 % kali (220 – 40) dan 79
% kali (220 - 40) dan hasilnya interval nadi antara
108 sampai dengan 142 permenit. Jadi area latihan
antara 108 – 142 denyut nadi permenit.
2) Kadar gula darah Sesudah latihan jasmani kadar
gula darah 140 – 180 mg% pada usia lanjut
dianggap cukup baik, sedang usia muda sampai
140 mg%.
3) Tekanan darah sebelum dan sesudah latihan
Sebelum latihan tekanan tidak melebihi 140
mmHg dan setelah latihan maksimal tidak lebih
dari 180 mmHg.

3. WAKTU DAN DURASI


Lama latihan Untuk mencapai efek metabolik, maka
latihan inti berkisar antara 30-40 menit dengan
pemanasan dan pendinginan masing-masing 5 - 10 menit.
Bila kurang, maka efek metabolik sangat rendah,
sebaliknya bila berlebihan menimbulkan efek buruk
terhadap sistem muskuloskeletal dan kardiovaskuler serta
sistem respirasi, dan juga berkemungkinan akan
mengalami komplikasi. (Rika, 2016. Hal. 21).

4. MODEL LATIHAN OLAHRAGA


Program latihan yang dianjurkan bagi penderita DM
untuk meningkatkan kesegaran jasmani adalah CRIPE,
karena program ini dianggap memenuhi kebutuhan.
CRIPE adalah kepanjangan dari:
a. Continuous, artinya latihan yang
dilakukandengan terus menerus tidak berhenti pada
waktu lama dan berhenti pada pertenggahan
latihan, kemudian aktif lagi dan seterusnya
intensitas dikurangi lagi. Artinya latihan
continuous dilakukan dengan terjadwal atau
terprogram.
b. Rhytmical, adalah latihan yang harus dilakukan
dengan berirama, atau latihan otot kontraksi dan
relaksasi. Jadi gerakan berirama tersebut diatur dan
terus menerus tanpa kehilangan energi yang
berlebihan.
c. Interval, adalah latihan dilakukan dengan selang
seling, atau dengan irama kadang cepat, kadang
lambat tetapi kontinyu selama periode latihan.
d. Progresif, dapat diartikan latihan harus
dilakukan peningkatan secara bertahap dan beban
latihan juga ditingkatkan secara perlahan-lahan
agar otot yang dilatihnya tidak mengalami
kerusakan bila dilakukan langsung latihan berat.
e. Endurance, adalah latihan ketahanan yang
dimana artinya latihan untuk meningkatkan
kesegaran dan ketahanan system kardiovaskuler
dan kebutuhan tubuh penderita DM (Rika, 2016.
Hal 25). Disini yang dimaksud adalah latihan
dengan ketahanan system kardiovaskuler atau
system jantung dan paru-paru untuk mensuplai
oksigen ke jaringan otot agar terus berkontraksi.
DAFTAR PUSTAKA

Lee, J. H., & Jun, H. S. (2019). Role Of Myokines In


Regulating Skeletal Muscle Mass And
Function. Frontiers In Physiology, 10.

Burns, R. J., Deschênes, S. S., Knäuper, B., & Schmitz, N.


(2019). Habit Strength As A Moderator Of The
Association Between Symptoms Of Poor Mental Health
And Unintentional Non-Adherence To Oral
Hypoglycemic Medication In Adults With Type 2
Diabetes. Journal Of Health Psychology, 24(3), 321-
326.

Powers, M. A., Bardsley, J., Cypress, M., Duker, P., Funnell,


M. M., Fischl, A. H., ... & Vivian, E. (2017). Diabetes
Self-Management Education And Support In Type 2
Diabetes: A Joint Position Statement Of The American
Diabetes Association, The American Association Of
Diabetes Educators, And The Academy Of Nutrition
And Dietetics. The Diabetes Educator, 43(1), 40-53.

Colberg, S. R., Sigal, R. J., Yardley, J. E., Riddell, M. C.,


Dunstan, D. W., Dempsey, P. C., ... & Tate, D. F.
(2016). Physical Activity/Exercise And Diabetes: A
Position Statement Of The American Diabetes
Association. Diabetes Care, 39(11), 2065-2079.

Kadenbach, B., Ramzan, R., & Vogt, S. (2009). Degenerative


Diseases, Oxidative Stress And Cytochrome C Oxidase
Function. Trends In Molecular Medicine, 15(4), 139-
147.

Michaelsen, K. F., & Greer, F. R. (2014). Protein Needs Early


In Life And Long-Term Health. The American Journal
Of Clinical Nutrition, 99(3), 718S-722S.

Christantie, A. A. (2019). STUDY OF FOOD


RECOMMENDATIONS TO MEET NUTRITIONAL
NEEDS BASED ON DIVERSITY OF IDEAL
WEIGHT CALCULATION METHODS. JOURNAL
OF ELECTRICAL ENGINEERING AND
COMPUTER SCIENCES, VOL 3 NUMBER 2, DEC
2018, 3(2).

Piché, M. E., Poirier, P., Marette, A., Mathieu, P., Lévesque,


V., Bibeau, K., ... & Després, J. P. (2019). Benefits Of
1-Year Lifestyle Modification Program On Exercise
Capacity And Diastolic Function Among Coronary
Artery Disease Men With And Without Type 2
Diabetes. Metabolic Syndrome And Related Disorders.
Ramage, L. E., Akyol, M., Fletcher, A. M., Forsythe, J.,
Nixon, M., Carter, R. N., ... & Stimson, R. H. (2016).
Glucocorticoids Acutely Increase Brown Adipose
Tissue Activity In Humans, Revealing Species-Specific
Differences In UCP-1 Regulation. Cell
Metabolism, 24(1), 130-141.

American Diabetes Association. (2010). Diagnosis And


Classification Of Diabetes Mellitus. Diabetes
Care, 33(Supplement 1), S62-S69.

Verboven, M., Van Ryckeghem, L., Belkhouribchia, J.,


Dendale, P., Eijnde, B. O., Hansen, D., & Bito, V.
(2019). Effect Of Exercise Intervention On Cardiac
Function In Type 2 Diabetes Mellitus: A Systematic
Review. Sports Medicine, 49(2), 255-268.

Kalere, I., Konrāde, I., Proskurina, A., Upmale, S., Zaķe, T.,
Limba, N., ... & Tretjakovs, P. (2019, May). Melatonin
Concentrations And Sleep Quality In Patients With
Type 2 Diabetes And Obesity. In Proceedings Of The
Latvian Academy Of Sciences. Section B. Natural,
Exact, And Applied Sciences.(Vol. 73, No. 2, Pp. 152-
157).
Sciendo. Mcgurnaghan, S. J., Brierley, L., Caparrotta, T. M.,
Mckeigue, P. M., Blackbourn, L. A., Wild, S. H., ... &
Petrie, J. R. (2019). The Effect Of Dapagliflozin On
Glycaemic Control And Other Cardiovascular Disease
Risk Factors In Type 2 Diabetes Mellitus: A Real-
World Observational Study. Diabetologia, 62(4), 621-
632.

Sun, K., Liu, D., Wang, C., Ren, M., Yang, C., & Yan, L.
(2014). Passive Smoke Exposure And Risk Of
Diabetes: A Meta-Analysis Of Prospective Studies.

Savoca, M., & Miller, C. (2001). Food Selection And Eating


Patterns: Themes Found Among People With Type 2
Diabetes Mellitus. Journal Of Nutrition
Education, 33(4), 224-233.

Rani, M., Kumar, R., & Krishan, P. (2019). Serum Level Of


Orexin A And Its Correlation With Metabolic Risk
Factors In Type 2 Diabetes Mellitus
Patients. International Journal Of Diabetes In
Developing Countries, 1-7.

Elsawy, B., & Higgins, K. E. (2011). The Geriatric


Assessment. Am Fam Physician, 83(1), 48-56.
Campisi, J., Andersen, J. K., Kapahi, P., & Melov, S. (2011,
December). Cellular Senescence: A Link Between
Cancer And Age-Related Degenerative Disease?.
In Seminars In Cancer Biology (Vol. 21, No. 6, Pp.
354-359). Academic Press.

Arofah, I. (2015). Hubungan Olahraga Dengan Kejadian


Diabetes Melitus Tipe II Di Wilayah Kerja Puskesmas
Purwosari Surakarta (Doctoral Dissertation,
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA).

Mahadevan, V. (2012). Anatomy Of The Heart. Surgery


(Oxford), 30(1), 5-8.

Yang, S. H., Lin, C. C., Hu, M. H., Shih, T. T. F., Sun, Y. H.,
& Lin, F. H. (2010). Influence Of Age‐ Related
Degeneration On Regenerative Potential Of Human
Nucleus Pulposus Cells. Journal Of Orthopaedic
Research, 28(3), 379-383.

Jin, W., & Patti, M. E. (2009). Genetic Determinants And


Molecular Pathways In The Pathogenesis Of Type 2
Diabetes. Clinical Science, 116(2), 99-111.
Wang, P. Y., Fang, J. C., Gao, Z. H., Zhang, C., & Xie, S. Y.
(2016). Higher Intake Of Fruits, Vegetables Or Their
Fiber Reduces The Risk Of Type 2 Diabetes: A Meta‐
Analysis. Journal Of Diabetes Investigation, 7(1), 56-
69.

Gu, Y., Dennis, S. M., Kiernan, M. C., & Harmer, A. R.


(2019). Aerobic Exercise Training May Improve Nerve
Function In Type 2 Diabetes And Pre‐ Diabetes: A
Systematic Review. Diabetes/Metabolism Research
And Reviews, 35(2), E3099.

KIRWAN, J. P., SACKS, J., & NIEUWOUDT, S. (2017). The


Essential Role Of Exercise In The Management Of Type
2 Diabetes. Cleveland Clinic Journal Of Medicine, 84(7
Suppl 1), S15.

Betsholtz, C. (2018). Cell–Cell Signaling In Blood Vessel


Development And Function. EMBO Molecular
Medicine, 10(3), E8610.

Seferović, P. M., Petrie, M. C., Filippatos, G. S., Anker, S. D.,


Rosano, G., Bauersachs, J., ... & Farmakis, D. (2018).
Type 2 Diabetes Mellitus And Heart Failure: A Position
Statement From The Heart Failure Association Of The
European Society Of Cardiology. European Journal Of
Heart Failure, 20(5), 853-872.

Cooper, A. J., Brage, S., Ekelund, U., Wareham, N. J.,


Griffin, S. J., & Simmons, R. K. (2014). Association
Between Objectively Assessed Sedentary Time And
Physical Activity With Metabolic Risk Factors Among
People With Recently Diagnosed Type 2
Diabetes. Diabetologia, 57(1), 73-82.

Marwick, T. H., Hordern, M. D., Miller, T., Chyun, D. A.,


Bertoni, A. G., Blumenthal, R. S., ... & Rocchini, A.
(2009). Exercise Training For Type 2 Diabetes
Mellitus: Impact On Cardiovascular Risk: A Scientific
Statement From The American Heart
Association. Circulation, 119(25), 3244-3262.

Callisaya, M. L., Beare, R., Moran, C., Phan, T., Wang, W., &
Srikanth, V. K. (2019). Type 2 Diabetes Mellitus, Brain
Atrophy And Cognitive Decline In Older People: A
Longitudinal Study. Diabetologia, 62(3), 448-458.

Brooks, A., Langer, J., Tervonen, T., Hemmingsen, M. P.,


Eguchi, K., & Bacci, E. D. (2019). Patient Preferences
For GLP-1 Receptor Agonist Treatment Of Type 2
Diabetes Mellitus In Japan: A Discrete Choice
Experiment. Diabetes Therapy, 1-15.

Physical Activity And The Risk Of Type 2 Diabetes: A


Systematic Review And Dose–Response Meta-
Analysis.

Stanford, K. I., Middelbeek, R. J., & Goodyear, L. J. (2015).


Exercise Effects On White Adipose Tissue: Beiging
And Metabolic Adaptations. Diabetes, 64(7), 2361-
2368.

Ley, S. H., Ardisson Korat, A. V., Sun, Q., Tobias, D. K.,


Zhang, C., Qi, L., ... & Hu, F. B. (2016). Contribution
Of The Nurses’ Health Studies To Uncovering Risk
Factors For Type 2 Diabetes: Diet, Lifestyle,
Biomarkers, And Genetics. American Journal Of Public
Health, 106(9), 1624-1630.

Committee Of The Japan Diabetes Society On The Diagnostic


Criteria Of Diabetes Mellitus, Seino, Y., Nanjo, K.,
Tajima, N., Kadowaki, T., Kashiwagi, A., ... & Kasuga,
M. (2010). Report Of The Committee On The
Classification And Diagnostic Criteria Of Diabetes
Mellitus. Journal Of Diabetes Investigation, 1(5), 212-
228.

Śliwińska-Mossoń, M., & Milnerowicz, H. (2017). The


Impact Of Smoking On The Development Of Diabetes
And Its Complications. Diabetes And Vascular Disease
Research, 14(4), 265-276.

Anda mungkin juga menyukai