Anda di halaman 1dari 42

Accelerat ing t he world's research.

FARMAKOTERAPI TERAPAN
PENYAKIT DIABETES MELITUS
Iman Firmansyah

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Makalah Diabet es Melit us Cont oh Kasus Pasien Dewasa


Alsya Rahayu

Lap t erapi dm
manusia manusia

Farmakot erapi Diabet es Melit us


print ed madness
FARMAKOTERAPI TERAPAN
PENYAKIT DIABETES MELITUS

Disusun oleh:
Iman Firmansyah
260112170068

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2017
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v
BAB I DIABETES MELITUS .................................................................. 1
1.1 Definisi ................................................................................. 1
1.2 Patofisiologi .......................................................................... 1
1.3 Manifestasi Klinis ................................................................. 2
1.4 Diagnosis Diabetes ............................................................... 4
1.5 Hasil Terapi yang Diinginkan .............................................. 7
1.6 Penanganan Diabetes Melitus ............................................... 7
1.6.1 Terapi Non Farmakologi .......................................... 7
1.6.2 Terapi Farmakologi .................................................. 9
1.7 Evaluasi Hasil Terapi ........................................................... 27
BAB II STUDI KASUS .............................................................................. 29
2.1 Kasus .................................................................................... 29
2.2 Subjektif ............................................................................... 29
2.3 Objektif ................................................................................. 29
2.4 Assesment ............................................................................. 29
2.5 Analisis DRP (Drug Related Problem) ................................. 30
2.5.1 Indikasi tanpa obat ................................................... 30
2.5.2 Obat tanpa indikasi .................................................. 30
2.5.3 Dosis kurang ............................................................ 30
2.5.4 Dosis lebih ............................................................... 31
2.5.5 Pemilihan obat yang kurang tepat ........................... 31
2.5.6 Interaksi obat ........................................................... 33
2.5.7 Gagal mendapatkan obat ......................................... 33

ii
2.5.8 Plan .......................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 35

iii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1 Level glukosa plasma dan darah lengkap serta hemoglobin
terglikosilasi (HbA1C) ................................................................. 7
Tabel 2 Obat Hipoglikemik Oral Golongan Sulfonilurea ......................... 12
Tabel 3 Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja ....... 23

iv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1 Alogaritme pemakaian obat hipoglikemik ................................. 27

v
BAB I
DIABETES MELITUS

1.1 DEFINISI
Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik
yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Dipiro, et. al., 2015).
Diabetes Melitus adalah sindrom klinis yang ditandai dengan hiperglikemia
karena defisiensi insulin yang absolut maupun relatif. Kurangnya hormon insulin
dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel β pankreas mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak menyebabkan gangguan signifikan. Kadar glukosa
darah erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme. Hati
sebagai organ utama dalam transport glukosa yang menyimpan glukosa sebagai
glikogen dan kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika dibutuhkan (American
Diabetes Association, 2012).

1.2 PATOFISIOLOGI
Diabetes melitus tipe 1 (5 - 10% kasus) biasanya terdapat pada masa anak-
anak atau awal memasuki usia dewasa dan menghasilkan kerusakan yang
dimediasi oleh autoimun pada sel β pankreas, menghasilkan defisiensi insulin.
Proses autoimun dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi
terhadap antigen sel β (contoh: sel antibodi, antibodi insulin) (Dipiro, et. al.,
2015). Pada patofisiologi diabetes mellitus tipe 1, yang terjadi adalah tidak adanya
insulin yang dikeluarkan oleh sel yang berbentuk seperti peta pada pankreas yang
terletak di belakang lambung. Dengan tidak adanya insulin, glukosa dalam darah
tidak dapat masuk ke dalam sel untuk dirubah menjadi tenaga. Karena tidak bisa
diserap oleh insulin, glukosa ini terjebak dalam darah dan kadar glukosa dalam
darah menjadi naik (Homenta, 2012).

1
Diabetes melitus tipe 2 sebanyak 90% kasus diabetes dan biasanya ditandai
dengan kombinasi resistensi insulin dan defisiensi insulin. Resistensi insulin
dimanifestasikan oleh peningkatan lipolysis dan produksi asam lemak bebas,
peningkatan produksi glukosa hepatik, dan penurunan serapan otot rangka
glukosa. Sel β mengalami disfungsi progresif dan menyebabkan memburuknya
kontrol glukosa darah. DM tipe 2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenic (kalori
yang berlebihan, olahraga tidak memadai, dan obesitas) ditumpangkan di atas
rentan genotip. Pada DM tipe 2 terjadi ganguan pengikatan glukosa oleh
reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehinga penderita
tidak tergantung pada pemberian insulin (Dipiro, et. al., 2015).
Kejadian lainnya pada diabetes melitus (1 - 2% kasus) mencakup penyakit
endokrin (contoh: akromegali, cushing syndrome), diabetes gestasional (GDM)
atau diabetes pada ibu hamil, dan obat-obatan (glukokortikoid, niasin, α-
interferon) (Dipiro, et. al., 2015).

1.3 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik


defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa
setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang
ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan
diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) jika melewati
ambang ginjal untuk ekskresi glukosa yaitu ± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus
(polidipsia). Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul
sebagai akibat kehilangan kalori (Price Sylvia Anderson 2005). Selain itu,
menurut Hans Tandra (2008), manifestasi klinis Diabetes Melitus yaitu:
1. Berat Badan Turun
Sebagai kompensasi dari dehidrasi dan banyak minum, seseorang akan
mulai banyak makan. Memang pada mulanya berat badan makin meningkat,
tetapi lama kelamaan otot tidak mendapat cukup glukosa untuk tumbuh dan

2
mendapatkan energi. Maka jaringan otot dan lemak harus dipecah untuk
memenuhi kebutuhan energi. Berat badan menjadi turun, meskipun banyak
makan. Keadaan ini makin diperburuk oleh adanya komplikasi yang timbul
kemudian.
2. Lemah
Keluhan diabetes dapat berupa rasa capek, lemah, dan nafsu makan
menurun. Pada diabetes, gula bukan lagi sumber energi karena glukosa tidak
dapat diangkut kedalam sel untuk menjadi energi.
3. Mata kabur
Glukosa darah yang tinggi akan menarik pula cairan dari dalam lensa mata
sehingga lensa menjadi tipis. Mata seseorang pun mengalami kesulitan untuk
fokus dan penglihatan jadi kabur. Apabila seseorang bisa mengontrol glukosa
darah dengan baik, penglihatan bisa membaik karena lensa kembali normal.
4. Luka yang sukar sembuh
Penyebab luka yang sukar sembuh adalah:
a. infeksi yang hebat, kuman, atau jamur yang mudah tumbuh pada
kondisi gula darah yang tinggi.
b. kerusakan dinding pembuluh darah, aliran darah yang tidak lancar pada
kapiler (pembuluh darah kecil) yang menghambat penyembuhan luka.
c. kerusakan saraf dan luka yang tidak terasa menyebabkan penderita
diabetes tidak menaruh perhatian pada luka dan membiarkannya makin
membusuk.
5. Rasa kesemutan
Kerusakan saraf yang disebabkan oleh glukosa yang tinggi merusak
dinding pembuluh darah dan akan mengganggu nutrisi pada saraf. Karena
yang rusak adalah saraf sensoris, keluhan yang paling sering muncul adalah
rasa semutan atau tidak berasa, terutama pada tangan dan kaki. Selanjutnya
bisa timbul rasa nyeri pada anggota tubuh, betis, kaki, tangan, dan lengan.
6. Gusi merah dan bengkak

3
Kemampuan rongga mulut seseorang menjadi lemah untuk melawan
infeksi. Maka gusi membengkak dan menjadi merah, muncul infeksi, dan gigi
tampak tidak rata dan mudah tanggal.
7. Kulit terasa kering dan gatal
Kulit terasa kering, sering gatal, infeksi. Keluhan ini biasanya menjadi
penyebab seseorang datang memeriksakan diri ke dokter kulit, lalu baru
ditemukan adanya diabetes.
8. Mudah kena infeksi
Leukosit (sel darah putih) yang biasa dipakai untuk melawan infeksi tidak
dapat berfungsi dengan baik jika glukosa darah tinggi.
9. Gatal pada kemaluan
Infeksi jamur juga “menyukai” suasana glukosa tinggi. Vagina mudah
terkena infeksi jamur, mengeluarkan cairan kental putih kekuningan, serta
timbul rasa gatal.

1.4 DIAGNOSIS DIABETES

Diabetes dapat didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma, baik


glukosa plasma puasa atau fasting plasma glucose (FPG) atau nilai 2 jam plasma
glukosa atau 2-h plasma glucose (2-h PG) setelah tes toleransi glukosa 75 gram
atau oral glucose tolerance test (OGTT) atau kriteria A1C (Umpierrez et al.,
2014).

1. FPG ≥126 mg/dL (7 mmol/L). Fasting didefinisikan sebagai tidak adanya


pemasukan kalori sedikitnya 8 jam
2. 2 jam PG ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L) selama OGTT, menggunakan
glukosa yang mengandung 75 gram glukosa anhidrat yang terlarut dalam
air
3. A1C ≥ 6.5 % (48 mmol/mol). Pengujian dilakukan di laboratorium
dengan metode NGSP dan dengan standar DCCT assay
4. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik,

4
gula plasma acak ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

FPG, 2-hPG setelah 75-g OGTT dan A1C sesuai untuk pengujian
diagnostik, akan tetapi tidak semua individu perlu dilakukan test tersebut. Efikasi
dari intervensi untuk pencegahan diabetes tipe 2 terutama telah ditunjukkan pada
individu dengan toleransi glukosa terganggu atau impaired glucose tolerance
(IGT), tidak untuk individu dengan isolated impaired fasting glucose (IFG) atau
pasien prediabetes berdasarkan A1C (Cefalu et al., 2017)

Test yang sama dapat digunakan untuk skrining dan diagnosis diabetes dan
untuk mendeteksi individu prediabetes. Diabetes dapat diidentifikasi sepanjang
spektrum skenario klinis pada individu yang berisiko rendah yang kebetulan
melakukan tes glukosa, pada individu yang diuji berdasarkan penilaian risiko
diabetes, dan pada pasien simtomatik (Cefalu et al., 2017).

1. Fasting dan 2-Hour Plasma Glucose


FPG dan PG 2 jam dapat digunakan untuk mendiagnosis diabetes.
Kesesuaian antara FPG dan PG 2-jam tidak selalu sesuai, sama halnya
antara A1C dan tes glukosa. Sejumlah penelitian telah mengungkapkan
bahwa, dibandingkan dengan FPG dan A1C, nilai PG 2-jam mendiagnosis
lebih banyak penderita diabetes (Cefalu et al., 2017)
2. A1C
A1C memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan FPG dan
OGTT, termasuk kenyamanan yang lebih besar (puasa tidak diperlukan),
stabilitas preanalitik yang lebih baik, dan gangguan sehari-hari yang lebih
sedikit selama stres dan penyakit. Namun, sensitivitas A1C yang lebih
rendah, memerlukan biaya yang lebih besar, keterbatasan tes A1C terbatas
di daerah tertentu dan korelasi yang tidak sempurna antara A1C dan
glukosa rata-rata pada individu tertentu (Gillaizeau et al, 2013).
Saat menggunakan A1C untuk mendiagnosis diabetes, penting untuk
mengenali bahwa A1C adalah ukuran tidak langsung dari kadar glukosa

5
darah rata-rata dan mempertimbangkan faktor lain yang dapat
mempengaruhi glikemia hemoglobin secara tidak langsung, seperti usia,
ras atau etnis, dan anemia atau hemoglobinopati (Cefalu et al., 2017).
3. Umur
Studi epidemiologi yang menjadi dasar untuk mendiagnosis diabetes
menggunakan A1C hanya pada populasi dewasa. Oleh karena itu, masih
belum jelas apakah A1C dapat digunakan untuk mendiagnosis diabetes
pada anak-anak dan remaja (Gillaizeau et al, 2013).
4. Ras atau Etnik
Tingkat A1C dapat bervariasi dengan ras / etnis secara independen dari
glikemia. Sebagai contoh, orang Afrika Amerika mungkin memiliki kadar
A1C yang lebih tinggi daripada orang kulit putih non-Hispanik meskipun
kadar glukosa puasa dan total glukosa sama. Meskipun ada beberapa data
yang saling bertentangan, orang Afrika Amerika mungkin juga memiliki
kadar albumin fruktosamin dan albumin yang lebih tinggi dan kadar 1,5-
anhidroglukitol lebih rendah, menunjukkan bahwa muatan glikemiknya
(terutama secara postprandial) mungkin lebih tinggi. Asosiasi A1C dengan
risiko komplikasi tampak serupa di Afrika, Amerika dan kulit putih non-
Hispanik (Draznin et al., 2013 dan Arnold et al., 2016).
5. Hemoglobinopathies/Red Blood Cell Turnover

Menafsirkan kadar A1C dengan adanya hemoglobinopati tertentu mungkin
bermasalah. Untuk pasien dengan hemoglobin abnormal tapi perputaran
normal red blood cell turnover, seperti sickle cell trait, tes A1C tanpa
gangguan dari hemoglobin abnormal harus digunakan. Dalam kondisi
yang terkait dengan peningkatan red blood cell turnover, seperti kehamilan
(trimester kedua dan ketiga), hemodialisis, kehilangan darah atau transfusi
baru-baru ini, atau terapi eritropoietin, hanya kriteria glukosa darah yang
dapat digunakan untuk mendiagnosis diabetes (Cefalu et al., 2017)

6
1.5 HASIL TERAPI YANG DIINGINKAN
Tujuan terapi pada DM mengurangi simtom hiperglisemia, mengurangi
onset dan perkembangan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular,
mengurangi mortalitas, dan meningkatkan kualitas hidup (Dipiro, 2015). Level
glukosa plasma dan darah lengkap serta hemoglobin terglikosilasi (HbA1C) yang
diinginkan pada Tabel berikut (Dipiro, 2015).
Tabel 1. Level glukosa plasma dan darah lengkap serta hemoglobin
terglikosilasi (HbA1C)

1.6 PENANGANAN DIABETES MELITUS

Tujuan akhir penatalaksanaan diabetes adalah untuk menurunkan morbiditas


dan mortalitas DM, yang secara spesifik untuk mencapai 2 target utama, yaitu
menjaga kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal dan mencegah atau
meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes (DEPKES RI, 2005).

1.6.1 Terapi non farmakologi


1. Terapi Nutrisi dan Pengaturan diet
Terapi nutrisi medis dianjurkan untuk semua pasien. Untuk tipe 1 DM,
fokusnya adalah pada fisiologis yang mengatur pemberian insulin dengan
diet seimbang untuk mencapai dan mempertahankan berat badan yang sehat.
Merencanakan makan dengan jumlah karbohidrat yang moderat dan rendah
lemak jenuh, dengan fokus pada makanan seimbang. Pasien dengan DM

7
tipe 2 sering membutuhkan keseimbangan kalori untuk meningkatkan berat
badan (DiPiro, 2015). Dianjurkan diet dengan komposisi makanan yang
seimbang dalam hal karbohidrat, lemak dan protein sesuai dengan
kecukupan gizi yang baik sebagai berikut:

❖ Karbohidrat : 60-70%
❖ Protein : 10-15%
❖ Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal (DEPKES RI, 2005).
2. Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan
asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Disarankan olah raga yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran
75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan
dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara
lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga
aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari
didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-
10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan
aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan
glukosa (DEPKES RI, 2005). Selain itu latihan aerobik dapat meningkatkan
sensitivitas insulin dan kontrol glikemik dan dapat mengurangi faktor risiko
kardiovaskular, membantu untuk penurunan berat badan atau pemeliharaan,
dan meningkatkan kesehatan (DiPiro, 2015).

8
1.6.2 Terapi Farmakologi
Apabila terapi non farmakolgi belum berhasil mengendalikan kadar glukosa
darah penderita, maka perlu dilakukan terapi farmakologi, baik dalam bentuk
terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
a) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid
❖ Sulfonilurea
Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu
ditemukan. Sampai beberapa tahun yang lalu, dapat dikatakan
hampir semua obat hipoglikemik oral merupakan golongan
sulfonilurea. Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk penderita diabetes
dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak
pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Senyawa-senyawa
sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penderita gangguan hati,
ginjal dan tiroid.
Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di
kelenjar pancreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β
Langerhans pankreas masih dapat berproduksi. Penurunan kadar
glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa
sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh
kelenjar pancreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan
perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat glukosa (atau
kondisi hiperglikemia) gagal merangsang sekresi insulin, senyawa-
senyawa obat ini masih mampu meningkatkan sekresi insulin. Oleh
sebab itu, obat-obat golongan sulfonilurea sangat bermanfaat untuk
penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya masih mampu
memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu hal terhambat sekresinya.
Pada penderita dengan kerusakan sel-sel β Langerhans kelenjar

9
pancreas, pemberian obat-obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea tidak bermanfaat. Pada dosis tinggi, sulfonilurea
menghambat degradasi insulin oleh hati.
Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus cukup baik,
sehingga dapat diberikan per oral. Setelah diabsorpsi, obat ini
tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian terikat
pada protein plasma terutama albumin (70-90%).
Efek samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan
saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan saluran
cerna berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung dan
sakit kepala. Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo,
bingung, ataksia dan lain sebagainya. Gejala hematologik termasuk
leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan anemia aplastik
dapat terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida dapat
meningkatkan ADH (Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat
terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada
gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia
sering diakibatkan oleh obat-obat hipoglikemik oral dengan masa
kerja panjang.
Banyak obat yang dapat berinteraksi dengan obat-obat
sulfonilurea, sehingga risiko terjadinya hipoglikemia harus
diwaspadai. Obat atau senyawasenyawa yang dapat meningkatkan
risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat-obat hipoglikemik
sulfonilurea antara lain: alkohol, insulin, fenformin, sulfonamida,
salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, probenezida,
dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO (Mono Amin
Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan
klofibrat.
Penggunaan obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
harus hatihati pada pasien usia lanjut, wanita hamil, pasien dengan

10
gangguan fungsi hati, dan atau gangguan fungsi ginjal.
Klorpropamida dan glibenklamida tidak disarankan untuk pasien
usia lanjut dan pasien insufisiensi ginjal. Untuk pasien dengan
gangguan fungsi ginjal masih dapat digunakan glikuidon, gliklazida,
atau tolbutamida yang kerjanya singkat.
➢ Wanita hamil dan menyusui, porfiria, dan ketoasidosis merupakan
kontra indikasi bagi sulfonilurea.
➢ Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada penderita
diabetes yuvenil, penderita yang kebutuhan insulinnya tidak
stabil, dan diabetes melitus berat.
➢ Obat-obat golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat
badan. Ada beberapa senyawa obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea yang saat ini. Obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea generasi pertama yang dipasarkan sebelum 1984 dan
sekarang sudah hampir tidak dipergunakan lagi antara lain
asetoheksamida, klorpropamida, tolazamida dan tolbutamida.
Yang saat ini beredar adalah obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea generasi kedua yang dipasarkan setelah 1984, antara
lain gliburida (glibenklamida), glipizida, glikazida, glimepirida,
dan glikuidon. Senyawa-senyawa ini umumnya tidak terlalu
berbeda efektivitasnya, namun berbeda dalam
farmakokinetikanya, yang harus dipertimbangkan dengan cermat
dalam pemilihan obat yang cocok untuk masing-masing pasien
dikaitkan dengan kondisi kesehatan dan terapi lain yang tengah
dijalani pasien (DEPKES RI, 2005).

11
Tabel 2. Obat Hipoglikemik Oral Golongan Sulfonilurea
Obat Hipoglikemik Oral Keterangan

Gliburida Memiliki efek hipoglikemik


yang poten sehingga pasien perlu
(Glibenklamida)
diingatkan untuk melakukan jadwal
makan yang ketat. Gliburida
dimetabolisme dalam hati, hanya
25% metabolit diekskresi melalui
Contoh Sediaan:
ginjal, sebagian besar diekskresi
➢ Glibenclamide (generik) melalui empedu dan dikeluarkan
➢ Abenon (Heroic) bersama tinja. Gliburida efektif
➢ Clamega (Emba Megafarma) dengan pemberian dosis tunggal.
➢ Condiabet (Armoxindo) Bila pemberian dihentikan, obat akan
➢ Daonil (Aventis) bersih keluar dari serum setelah 36
➢ Diacella (Rocella) jam. Diperkirakan mempunyai efek
➢ Euglucon (Boehringer terhadap agregasi trombosit. Dalam
Mannheim, Phapros) batas-batas tertentu masih dapat
➢ Fimediab (First Medipharma) diberikan pada beberapa pasien
➢ Glidanil (Mersi) dengan kelainan fungsi hati dan
➢ Gluconic (Nicholas) ginjal.
➢ Glimel (Merck)
➢ Hisacha (Yekatria Farma)
➢ Latibet (Ifars)
➢ Libronil (Hexpharm Jaya)
➢ Prodiabet (Bernofarm)
➢ Prodiamel (Corsa)
➢ Renabetic (Fahrenheit)
➢ Semi Euglucon (Phapros,
Boeh. Mannheim)
➢ Tiabet (Tunggal IA)

12
Glipizida Mempunyai masa kerja yang
lebih lama dibandingkan dengan
glibenklamid tetapi

lebih pendek dari pada


Contoh Sediaan: klorpropamid. Kekuatan

➢ Aldiab (Merck) hipoglikemiknya jauh lebih besar

➢ Glucotrol (Pfizer) dibandingkan dengan tolbutamida.

➢ Glyzid (Sunthi Sepuri) Mempunyai efek menekan produksi

➢ Minidiab (Kalbe Farma) glukosa hati dan meningkatkan

➢ Glucotrol jumlah reseptor insulin. Glipizida


diabsorpsi lengkap sesudah
pemberian per oral dan dengan cepat
dimetabolisme dalam hati menjadi
metabolit yang tidak aktif. Metabolit
dan kira-kira 10% glipizida utuh
diekskresikan melalui ginjal.

Glikazida Mempunyai efek hipoglikemik


sedang sehingga tidak begitu sering
menyebabkan efek hipoglikemik.
Mempunyai efek anti agregasi

Contoh Sediaan: trombosit yang lebih poten. Dapat

➢ Diamicron (Darya Varia)


diberikan pada penderita gangguan

➢ Glibet (Dankos)
fungsi hati dan ginjal yang ringan.

➢ Glicab (Tempo Scan Pacific)


➢ Glidabet (Kalbe Farma)
➢ Glikatab (Rocella Lab)
➢ Glucodex (Dexa Medica)
➢ Glumeco (Mecosin)
➢ Gored (Bernofarm)

13
➢ Linodiab (Pyridam)
➢ Nufamicron (Nufarindo)
➢ Pedab (Otto)
➢ Tiaglip (Tunggal IA)
➢ Xepabet (Metiska Farma)
➢ Zibet (Meprofarm)
➢ Zumadiac (Prima Hexal)
Glimepirida Memiliki waktu mula kerja
yang pendek dan waktu kerja yang
lama, sehingga umum diberikan
dengan cara pemberian dosis
tunggal. Untuk pasien yang berisiko
tinggi, yaitu pasien usia lanjut,
Contoh Sediaan:
pasien dengan gangguan ginjal atau
➢ Amaryl yang melakukan aktivitas berat dapat
diberikan obat ini. Dibandingkan
dengan glibenklamid, glimepirid
lebih jarang menimbulkan efek
hipoglikemik pada awal pengobatan

Glikuidon Mempunyai efek hipoglikemik


sedang dan jarang menimbulkan
Contoh Sediaan:
serangan hipoglikemik. Karena
➢ Glurenorm (Boehringer hampir seluruhnya diekskresi
Ingelheim) melalui empedu dan usus, maka
dapat diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi hati dan ginjal yang
agak berat

14
❖ Glinid
Mirip dengan sulfonilurea, glinid menurunkan glukosa lebih
rendah dengan merangsang sekresi insulin pankreas, tetapi pelepasan
insulin tergantung glukosa dan akan hilang pada konsentrasi glukosa
darah rendah. Ini bisa mengurangi potensi untuk hipoglisemi parah.
Agen ini menghasilkan pelepasan insulin fisiologis lebih banyak dan
lebih hebat menurunkan glukosa post-prandial dibandingkan dengan
sulfonilurea durasi panjang. Pengurangan A1C rata-rata 0,8% menjadi
1%. Obat-obatan ini dapat digunakan untuk memberikan peningkatan
sekresi insulin saat makan (bila diperlukan) dengan tujuan glikemik.
Obat-obat ini sebaiknya diberikan sebelum makan (sampai 30 menit
sebelumnya).. Jika ada waktu makan yang dilewatkan, maka obat ini
juga tidak diminum. Saat ini tidak ada penyesuaian dosis yang
diperlukan untuk lansia.
1 Repaglinide (Prandin): dimulai pada 0,5-2 mg secara oral dengan
dosis maksimum 4 mg tiap makan (Sampai empat kali sehari atau
16 mg / hari).
2 Nateglinide (Starlix): diberikan 120 mg secara oral tiga kali sehari
sebelum makan. dosis awal dapat diturunkan sampai 60 mg tiap
makan pada pasien yang A1C mendekati target terapi ketika terapi
dimulai.

b) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion


(TZD)
❖ Metformin
Metformin meningkatkan sensitivitas insulin dari hati dan jaringan
perifer (otot) untuk meningkatkan penyerapan glukosa. Hal ini
mengurangi tingkat A1C 1,5% menjadi 2%, tingkat FPG 60 sampai 80
mg / dL (3,3-4,4 mmol / L), dan mempertahankan kemampuan untuk
mengurangi tingkat FPG sangat tinggi yaitu (> 300 mg / dL atau> 16,7
mmol / L). Metformin mengurangi trigliserida plasma dan low-density

15
lipoprotein (LDL) kolesterol sebesar 8% menjadi 15% dan sederhana
meningkatkan high-density lipoprotein (HDL) kolesterol (2%).
Metformin tidak menyebabkan hipoglisemia ketika digunakan sendirian
Metformin digunakan dalam obesitas / kelebihan berat badan DM
tipe 2 pasien (jika ditoleransi dan tidak kontraindikasi) karena satu-
satunya obat antihiperglikemik oral yang terbukti mengurangi risiko
kematian total.
Efek samping yang paling umum adalah abdominal discomfort,
stomach upset, diare, dan anoreksia. Efek ini dapat diminimalkan
dengan mentitrasi dosis perlahan dan menggunakannya bersama
makanan. Extended-release metformin (Glucophage XR) dapat
mengurangi efek samping GI. Asidosis laktat jarang terjadi dan dapat
diminimalkan dengan menghindari penggunaan pada pasien dengan
insufisiensi ginjal (kreatinin serum 1,4 mg / dL atau lebih [ ≥124 μmol /
L] pada wanita dan 1,5 mg / dL atau lebih [ ≥133 μmol / L] pada laki-
laki), gagal jantung kongestif atau kondisi predisposisi hipoksemia atau
asidosis laktat bawaan.
a. Metformin aksi cepat (Glucophage) diberikan 500 mg dua kali
sehari dengan makanan (atau 850 mg sekali sehari) dan
ditingkatkan 500 mg tiap minggu (atau 850 mg tiap 2 minggu)
sampai dicapai total 2000 mg/hari. Dosis harian maksimum yang
dianjurkan adalah 2550 mg/hari.
b. Metformin lepas lambat (Glucophage XR) bisa dimulai dengan 500
mg dengan makanan sore hari dan ditingkatkan 500 mg tiap
minggu sampai total 2000 mg/hari. Jika kontrol suboptimal bisa
didapat dengan dosis sekali sehari pada dosis maksimum, bisa
diberikan dosis 100 mg dua kali sehari.
❖ Tiazolidindion (TZD)
Obat ini meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan otot, hati,
dan lemak secara tidak langsung.. Ketika diberikan selama 6 bulan
dengan dosis maksimal, pioglitazone dan rosiglitazone mengurangi

16
A1C oleh ~ 1,5% dan FPG dari 60 menjadi 70 mg / dL (3,3-3,9 mmol /
L). Efek maksimum tidak dapat dilihat sampai 3 sampai 4 bulan terapi.
Pioglitazone menurunkan trigliserida plasma sebesar 10% sampai
20%, sedangkan rosiglitazone cenderung tidak berpengaruh.
Pioglitazone tidak menyebabkan peningkatan yang signifikan pada
LDL kolesterol, sedangkan kolesterol LDL dapat meningkat 5% sampai
15% dengan rosiglitazone.
Retensi cairan dapat terjadi, dan edema perifer dilaporkan dalam
4% sampai 5% pasien. Ketika digunakan dengan insulin, angka
kejadian edema adalah ~ 15%. Glitazones merupakan kontraindikasi
pada pasien dengan kelas New York Heart Association III atau gagal
jantung IV dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan
kelas I atau gagal jantung II atau lainnya yang mendasari penyakit
jantung.
Berat badan 1,5 sampai 4 kg tidak lazim. Jarang terjadi, kenaikan
yang cepat dari sejumlah berat badan sehingga bila terjadi dimungkin
memerlukan penghentian terapi. Glitazones juga telah dikaitkan dengan
kerusakan hati, peningkatan patah tulang, dan sedikit peningkatan risiko
kanker kandung kemih.
a. Pioglitazone (Actos): dimulai dengan dosis 15 mg per oral sekali
sehari; dosis maksimum 45 mg / hari.
b. Rosiglitazone (Avandia): dimulai dengan dosis 2 sampai 4 mg oral
sekali sehari; dosis maksimum 8 mg / hari dan dosis 4 mg dua kali
sehari dapat mengurangi A1C sebesar 0,2% hingga 0,3% lebih atau
8 mg diminum sekali sehari.

3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.


Agen-agen ini mencegah pemecahan sukrosa dan karbohidrat
kompleks di intestinal kecil, sehingga memperlama absorpsi
karbohidrat. Ini berefek langsung pada berkurangnya konsentrasi
glukosa post prandial (40–50 mg/dL; 2.2–2.8 mmol/L) sementara

17
glukosa puasa relatif tidak berubah GDP (~ 10% pengurangan). Efek
pada kontrol glikemi cukup moderat, dengan rerata pengurangan
HbA1C 0,3-1%.
Efek samping paling umum adalah perut kembung, diare, dan
kejang abdominal, yang bisa dikurangi dengan memperlambat titrasi
dosis. Jika hipoglikemia terjadi ketika digunakan bersama dengan agen
hipoglikemi (sulfonilurea atau insulin), produk glukosa oral atau
parenteral (dextrosa) atau glukagon harus diberikan karena obat akan
menginhibit pemecahan dan absrpsi molekul gula yang lebih komplek
(seperti, sukrosa).
Acarbose (Precose) dan miglitol (Glyset) didosiskan serupa. Terapi
dimulai dengan dosis sangat rendah (25 mg dengan satu sehari) dan
ditingkatkan bertahap (selama sebulan) sampai maksimal 50 mg tiga
kali sehari untuk pasien 60 kg atau lebih, dan 100 mg tiga kali sehari
untuk pasien diatas 60 kg. Obat ini digunakan secara bersamaan dengan
makanan untuk menghambat aktivitas enzim.

4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)


DPP-4 inhibitor sebagian mengurangi glukagon postprandially
tidak tepat ditinggikan dan merangsang sekresi insulin glukosa
tergantung. pengurangan A1C rata-rata 0,7% sampai 1% pada dosis
maksimum.
Obat-obatan yang ditoleransi dengan baik, berat badan netral, dan
tidak menimbulkan efek samping GI. hipoglikemia ringan
mungkin terjadi, tapi DPP-4 inhibitor tidak meningkatkan risiko
hipoglikemia sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan obat
yang memiliki insiden rendah hipoglikemia. Urtikaria dan / atau
edema wajah dapat terjadi pada 1% dari pasien, dan penghentian
dibenarkan. kasus yang jarang terjadi sindrom Stevens-Johnson telah
dilaporkan. Saxagliptin menyebabkan pengurangan terkait dosis di

18
jumlah limfosit mutlak; pemberhentian harus dipertimbangkan jika
infeksi berkepanjangan terjadi.
a. Sitagliptin (Januvia): Biasa dosis 100 mg per oral sekali sehari.
Gunakan 50 mg setiap hari jika ClCr 30 sampai 50 mL / menit dan
25 mg setiap hari jika ClCr kurang dari 30 mL / menit.
b. Saxagliptin (Onglyza): Usual dosis 5 mg secara oral setiap hari.
Mengurangi 2,5 mg setiap hari jika ClCr kurang dari 50 mL / menit
atau kuat CYP-3A4 / 5 inhibitor yang digunakan secara bersamaan.
c. linagliptin (Tradjenta): 5 mg oral sehari-hari; penyesuaian dosis
tidak diperlukan di insufisiensi ginjal atau dengan terapi obat
bersamaan.
d. Alogliptin (Nesina): Biasa dosis 25 mg sekali sehari. Penurunan
untuk 12,5 mg sehari ketika ClCr kurang dari 60 mL / menit dan
6,25 mg ketika ClCr kurang dari 30 mL / menit.

5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes
oral jenis baru yang menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal
ginjal dengan cara menghambat transporter glukosa SGLT-2. Obat yang
termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin.

Tabel 1. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

Efek Samping Penurunan


Golongan Obat Cara Kerja Utama
Utama HbA1c

Meningkatkan sekresi BB naik


Sulfonilurea insulin 1,0-2,0%
hipoglikemia

19
Meningkatkan sekresi BB naik
Glinid insulin 0,5-1,5%
hipoglikemia

Menekan produksi Dispepsia,


glukosa hati & diare,
Metformin 1,0-2,0%
menambah sensitifitas
terhadap insulin asidosis laktat

Penghambat Menghambat absorpsi Flatulen, tinja


glukosa 0,5-0,8%
Alfa-Glukosidase lembek

Menambah sensitifitas
Tiazolidindion terhadap insulin Edema 0,5-1,4%

Meningkatkan sekresi
Penghambat insulin,
Sebah, muntah 0,5-0,8%
menghambat sekresi
DPP-IV glukagon

Nenghambat
Penghambat reabsorpsi glukosa di
ISK 0,5-0,9%
SGLT-2 tubuli distal ginjal

(PERKENI,2015)

6) Obat Antihiperglikemia Suntik


A. Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe
1. Pada DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita

20
rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai
penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin
eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam
tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita
DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30%
ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.
❖ Mekanisme Kerja Insulin
Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan
langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang
kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah.
Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu
transpor glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin
menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke
dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya
sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat
memproduksi energi sebagaimana seharusnya.
Disamping fungsinya membantu transport glukosa masuk ke
dalam sel, insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap
metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun
metabolisme protein dan mineral.insulin akan meningkatkan
lipogenesis, menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam
amino masuk ke dalam sel. Insulin juga mempunyai peran dalam
modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya,
gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negatif dan
komplikasi yang sangat luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh.
❖ Prinsip Terapi Insulin
Indikasi
❖ Semua penderita DM Tipe 1 memerlukan insulin eksogen
karena produksi insulin endogen oleh sel-sel β kelenjar pankreas
tidak ada atau hampir tidak ada

21
❖ Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan
terapi insulin apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat
mengendalikan kadar glukosa darah
❖ Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat, tindakan
pembedahan, infark miokard akut atau stroke
❖ DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan
terapi insulin, apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar
glukosa darah.
❖ Ketoasidosis diabetik
❖ Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma
hiperglikemia hiperosmolar non-ketotik.
❖ Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang
memerlukan suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan
energi yang meningkat, secara bertahap memerlukan insulin
eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
normal selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi
peningkatan kebutuhan insulin.
❖ Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
❖ Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO
(DEPKES RI, 2005)
❖ Penggolongan Sediaan Insulin
Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia,
yang terutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa
kerjanya (duration). Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan
menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga
insulin reguler
2. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)
3. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat
4. Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin)

22
Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam, oleh
sebab itu jenis sediaan insulin mana yang diberikan kepada seorang
penderita dan berapa frekuensi penyuntikannya ditentukan secara
individual, bahkan seringkali memerlukan penyesuaian dosis terlebih
dahulu. Umumnya, pada tahap awal diberikan sediaan insulin
dengan kerja sedang, kemudian ditambahkan insulin dengan kerja
singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan. Insulin kerja
singkat diberikan sebelum makan, sedangkan Insulin kerja sedang
umumnya diberikan satu atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan
subkutan. Namun, karena tidak mudah bagi penderita untuk
mencampurnya sendiri, maka tersedia sediaan campuran tetap dari
kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja sedang (NPH).
Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6 menit,
tetapi memanjang pada penderita diabetes yang membentuk antibodi
terhadap insulin. Insulin dimetabolisme terutama di hati, ginjal dan
otot. Gangguan fungsi ginjal yang berat akan mempengaruhi kadar
insulin di dalam darah (IONI, 2000).
Tabel 3. Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja (PERKENI,
2015)

Puncak Lama
Jenis Insulin Awitan (onset) Kemasan
Efek Kerja

Kerja Cepat (Rapid-Acting) (Insulin Analog)

Insulin Lispro

(Humalog®)
Pen/cartridge
Insulin Aspart
5-15 menit 1-2 jam 4-6 jam Pen, vial
(Novorapid®)
Pen
Insulin Glulisin

23
(Apidra®)

Kerja Pendek (Short-Acting) (Insulin Manusia, Insulin Reguler )

Humulin® R
Vial,
Actrapid® 30-60 menit 2-4 jam 6-8 jam
pen/cartridge
Sansulin®

Kerja Menengah (Intermediate-Acting) (Insulin Manusia, NPH)

Humulin N®
Vial,
Insulatard® 1,5–4 jam 4-10 jam 8-12 jam
pen/cartridge
Insuman Basal®

Kerja Panjang (Long-Acting) (Insulin Analog)

Insulin Glargine

Hampir
(Lantus®) 1–3 jam tanpa
12-24 jam Pen
Insulin Detemir puncak

(Levemir®)

Kerja Ultra Panjang (Ultra Long-Acting) (Insulin


Analog)

Hampir Sampai
Degludec (Tresiba®)* 30-60 menit tanpa 48

24
puncak jam

Campuran (Premixed) (Insulin Manusia)

70/30 Humulin® (70%

NPH, 30% reguler) 30-60 menit 3–12 jam

70/30 Mixtard® (70%

NPH, 30% reguler)

Campuran (Premixed, Insulin Analog)

75/25 Humalogmix®

(75% protamin lispro, 12-30 menit 1-4 jam

25% lispro)

70/30 Novomix® (70%

NPH:neutral protamine Hagedorn; NPL:neutral protamine lispro. Nama obat disesuaikan dengan
yang tersedia di Indonesia. [Dimodifikasi dari Mooradian et al. Ann Intern Med. 2006;145:125-
34].

7) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
pengelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan insulin
ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat
badan. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa
sebah dan muntah (PERKENI,2015).

25
8) Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara
terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus
menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada
keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa darah yang belum
tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia
oral dari kelompok yang berbeda atau kombinasi obat antihiperglikemia oral
dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga
obat antihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan.

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak


dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin
basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya
dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang
diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut
dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Pada keadaaan
dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun
sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin
basal dan prandial, serta pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan.

26
Gambar 1. Alogaritme pemakaian obat hipoglikemik

1.7 EVALUASI HASIL TERAPI


Untuk mengikuti kontrol kadar glikemik jangka panjang selama 3 bulan
terakhir, mengukur kadar A1C setidaknya dua kali dalam setahun pada pasien
yang memenuhi tujuan pengobatan dengan rejimen terapi yang stabil.
Terlepas dari rejimen insulin yang dipilih, buat penyesuaian pada total dosis
insulin harian berdasarkan pengukuran kadar A1C dan gejala seperti poliuria,
polidipsia, dan penambahan atau kehilangan berat badan. Penyesuaian insulin
yang lebih baik dapat ditentukan berdasarkan hasil pengukuran SMBG (Self
Monitoring of Blood Glucose) yang sering dilakukan.Tanyakan kepada pasien
yang menerima insulin tentang pemahaman mengenai gejala hipoglikemia paling
sedikit setiap setahun sekali. Dokumentasikan frekuensi hipoglikemia dan
perawatan yang diperlukan.

27
Pantau pasien yang menerima insulin sebelum tidur untuk hipoglikemia
dengan menanyakan adanya keringat pada malam hari, palpitasi, mimpi buruk,
serta hasil SMBG.
Untuk pasien dengan DM tipe 2, dapatkan urinalisis rutin saat didiagnosis
sebagai tes skrining awal untuk albuminuria. Jika positif, tes urine 24 jam dapat
digunakan sebagai penilaian kuantitatif yang membantu dalam mengembangkan
rencana perawatan. Jika urinalisis negatif untuk protein, tes untuk mengevaluasi
keberadaan mikroalbuminuria dianjurkan.
Dapatkan profil lipid pada setiap tindak lanjut kunjungan jika tidak pada
sasaran, setiap tahun jika stabil dan sesuai sasaran, atau setiap 2 tahun jika profil
tersebut menunjukkan risiko rendah.
Lakukan dan catat ujian kaki biasa (setiap kunjungan), penilaian albumin
urin (setiap tahun), dan pemeriksaan mata yang meluas (tahunan atau lebih sering
bila disertai dengan kelainan).
Memberikan vaksin influenza tahunan dan menilai pemberian vaksin
pneumokokus dan vaksin hepatitis B bersamaan dengan pengelolaan faktor risiko
kardiovaskular lainnya (misalnya, merokok dan terapi antiplatelet) (Dipiro et al.,
2015).

28
BAB II
STUDI KASUS

2.1 Kasus
Seorang pasien perempuan usia 47 tahun menderita DM hiperglikemia
dengan kadar glukosa darah sewaktu 420 mg/dL. Riwayat penyakit hipertensi
170/110 mmHg. Riwayat pengobatan glukodex 2 kali sehari, untuk hipertensi
diltiazem 30 mg 3 kali sehari, captopril 25 mg 3 kali sehari, dan aspirin 100 mg 1
kali sehari.

2.2 Subjektif
❖ Jenis kelamin pasien : perempuan
❖ Umur : 47 tahun

2.3 Objektif
1. DM hiperglikemia
2. Riwayat Penyakit : Hipertensi
3. Riwayat Pengobatan :
❖ Glukodex 2 kali sehari
❖ Diltiazem 30 mg 3 kali sehari
❖ Captopril 25 mg 3 kali sehari
❖ Aspirin 100 mg 1 kali sehari
❖ Kadar glukosa darah sewaktu 420 mg/dL
❖ TD 170/110 mmHg

2.4 Assessment
Problem Medis yang dialami pasien adalah diabetes mellitus dan hipertensi
tahap II.

29
2.5 Analisis DRP (Drug Related Problem)
2.5.1 Indikasi tanpa obat

No Problem Medis Obat

1 Diabetes mellitus Glukodex (glikazid)

2 Hipertensi tahap II Captropril, diltiazem

Tidak ditemukan indikasi tanpa obat.

2.5.2 Obat tanpa indikasi

No Obat Indikasi

1 Glukodex NIDDM (Sukandar dkk, 2008). Semua tipe


(Glikazid) DM pada dewasa, kombinasi dengan
biguanida (MIMS, 2012).

2 Kaptopril Hipertensi (Sukandar dkk, 2008).

3 Diltiazem Hipertensi (Priyanto,2009)

4 Aspirin Nyeri ringan-cukup berat, sakit kepala,


(Asetosal) demam, reumatik, antiplatelet (MIMS, 2012).

Pasien tidak membutuhkan asetosal untuk menangani problem medisnya


maupun menangani efek samping obat lainnya, maka terdapat obat tanpa indikasi
pada kasus ini yaitu aspirin.

2.5.3 Dosis kurang

No Nama Obat Dosis dalam resep Kesesuaian dosis

1 Glukodex 80 mg, 2 kali Dosis glukodex


(Glikazid 80 mg) sehari adalah awal 40-80
sebelum makan pagi,
ditingkatkan menjadi

30
40-80mg/hr s/d 320
mg/hr (MIMS,
2012). Dosis sudah
sesuai.

2 Kaptopril 25 mg 3 kali 25 mg 3 kali sehari


sehari (MIMS, 2012).
Dosis sudah sesuai.

3 Diltiazem 30 mg 3 kali Dosis dapat


sehari ditingkatkan sampai
dengan 360 mg/hari
terbagi 3-4 dosis
(MIMS, 2012).
Dosis sudah sesuai.

4 Aspirin 100 mg 1 kali 100 mg/hari untuk


(Asetosal) sehari antiplatelet
(MIMS,2012). Dosis
sesuai.

Tidak ditemukan dosis kurang.

2.5.4 Dosis lebih


Pada kasus ini tidak ditemukan dosis berlebih.

2.5.5 Pemilihan obat yang kurang tepat

No Problem Medis Obat Kesesuaian obat

1 Diabetes mellitus Glukodex Glikazid merupakan golongan


hiperglikemia (Glikazid) sulfonilurea dengan mekanisme
meningkatkan sekresi insulin (Priyanto,
2009).

31
Pengobatan diabetes ini perlu
dimonitoring.

Apabila setelah dimonitoring kadar gula


darah pasien tidak membaik dapat
diberikan kombinasi sulfonilurea
dengan metformin.

2 Hipertensi tahap Captropril, Untuk pasien DM, obat antihipertensi


II Diltiazem yang menguntungkan adalah golongan
ACE-inhibitor, sedangkan antihipertensi
yang perlu dihindari adalah β-blocker
dengan dosis tinggi, Ca-blocker untuk
terapi tunggal (Priyanto, 2009).

Pada kasus ini pasien mengalami


hipertensi tahap II dimana
pengobatannya diperlukan antihipertensi
kombinasi.

Captopril (ACEI) merupakan


antihipertensi lini pertama untuk pasien
diabetes mellitus, dikombinasikan
dengan Diltiazem (Ca-blocker) dapat
dilakukan.

32
2.5.6 Interaksi obat

No Obat Efek Samping

1 Glukodex Mual, muntah, nyeri lambung, sakit kepala, rekasi kulit.


(Glikazid)

2 Captopril Perubahan rasa, batuk kering, stomatis, ruam kulit, demam,


anemia.

3 Diltiazem Bradikardi, pusing, blok AV, rasa panas dan kemerahan pada
wajah, kurang enak badan, sakit kepala, peningkatan SGOT SGPT,
ruam.

4 Aspirin Pendarahan lambung, hipersensitivitas, trombositopenia.


(Asetosal)

❖ Efek samping dari obat-obat yang digunakan pasien perlu disampaikan bahwa
efek samping obat tidak terjadi pada semua pasien. Namun apabila terjadi dan
sudah menggangu aktivitas pasien bisa menghubungi apoteker maupun
dokter.

❖ Terdapat interaksi obat yang berpengaruh pada kasus ini yaitu :


a. Aspirin berinteraksi dengan glukodex, dimana aspirin akan meningkatkan
efek hipoglikemi.
b. Aspirin berinteraksi dengan captopril, dimana aspirin dapat menurunkan
efek hipotensi.

2.5.7 Gagal mendapatkan obat


Pasien diabetes mellitus disertai komplikasi hipertensi perlu diawasi
kepatuhan menelan obatnya, dimana obat antidiabetes dan antihipertensi
merupakan obat yang harus diminum seumur hidup.
Kegagalan mendapatkan obat pada pasien DM komplikasi hipertensi
kemungkinan disebabkan ketidakpatuhan pasien.

33
2.5.8 Plan
1) Memberikan saran kepada dokter:
Pemberian asetosal tidak diperlukan karena tidak ada indikasi untuk
asetosal pada problem medis pasien serta asetosal memiliki interaksi dengan
beberapa obat.
2) Melakukan monitoring penggunaan obat, kepatuhan penggunaan obat, jika
perlu dilakukan konseling oleh apoteker agar meningkatkan kepatuhan pasien
dalam meminum obat.
3) Memberikan saran kepada pasien:
❖ Menjaga pola hidup dan makanan
❖ Mengontrol kadar gula darah dan tekanan darah

34
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2012. Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care volume 35 Supplement 1 : 64-71.
Arnold P, Scheurer D, Dake AW, et al. Hospital Guidelines for Diabetes Management
and the Joint Commission-American Diabetes Association Inpatient Diabetes
Certification. Am J Med Sci 2016;351:333–341
Cefalu, William T., Bakris, George., Blonde, Lawrence., et al. American Diabetes
Association, Standards of Medical Care In Diabetes-2017. The Journal of Clinical
and Applied Research and Education volume 40 supplement 1, 2017; 512-513
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
IndonesiaDirektorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. 2006.
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta : Ditjen
Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan
Dipiro, Cecily V., Barbara G. Wells, Joseph T DiPiro, and Terry L.
Schwinghammer. 2015. Pharmacotherapy Handbook 9th Ed. United States:
McGraw-Hill Education.
Dipiro, J.T, Talbert, R.L, Yee, G.C, Matzke G.R, Wells, B.G, Posey L.M. 2009.
Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 7th Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Draznin B, Gilden J, Golden SH, et al.; PRIDE investigators. Pathways to quality
inpatient man- agement of hyperglycemia and diabetes: a call to action. Diabetes
Care 2013;36:1807–1814
Gillaizeau F, Chan E, Trinquart L, et al. Com- puterized advice on drug dosage to
improve prescribing practice. Cochrane Database Syst Rev 2013;11:CD002894
Homenta, Heriyannis dr. 2012. Diabetes Mellitus Tipe 1. The seventh report of the
Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and
treatment of high blood pressure. Hypertension, 42:1206-52.
Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000 (IONI 2000). Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan. Departeman Kesehatan Republik

35
Indonesia, 2000WHO. 1999. Definition, Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus and its Complications. Report of a WHO
ConsultationPart 1: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.
MIMS. 2012. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer (Kelompok Gramedia)
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan
Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta. 2015
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk Praktis: Terapi Insulin Pada
Pasien Diabetes Melitus, PB. PERKENI. Jakarta. 2015
Price Sylvia Anderson, 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, EGC, Jakarta.
Priyanto. 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Jakarta: Leskonfi.
Sukandar E.Y., Andarjati R., Sigit J.I., Adyana I.K., Setiadi A.A.P., Kusnandar.
2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI.
Tandra, hans. (2008). Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang
Diabetes. PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.
Umpierrez GE,ReyesD,SmileyD,etal.Hospital discharge algorithm based on admission
HbA1c for the management of patients with type 2 di- abetes. Diabetes Care
2014;37:2934–2939

36

Anda mungkin juga menyukai