Oleh :
Pembimbing:
dr. Teguh Rahayu Sartono, SpP (K)
1
2
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Isi............................................................................................................. 2
Daftar Tabel.......................................................................................................5
Bab I Pendahuluan
2.1.1 Definisi................................................................................................10
2.1.2 Patogenesis........................................................................................10
2.1.3 Kalsifikasi...........................................................................................11
2.1.5 Diagnosis............................................................................................12
2.1.6 Tatalaksana........................................................................................13
2.2.1 Definisi................................................................................................16
2.2.2 Etiologi................................................................................................16
2.2.3 Patofisiologi........................................................................................17
2.2.4 Klasifikasi...........................................................................................19
Resisten Obat....................................................................................21
3
Obat.................................................................................................25
2.3 Pyopneumothoraks...................................................................................30
2.3.1 Definisi................................................................................................30
2.3.2 Klasifikasi...........................................................................................31
2.3.3 Patofisiologi........................................................................................31
2.3.6 Tatalaksana........................................................................................33
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................50
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................54
4
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.8 Ilustrasi Evakuasi cairan pleura dengan kateter thoraks dan WSD 34
5
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.7 Kelompok dan Golongan OAT untuk Pasien TB Resisten Obat..........27
BAB I
PENDAHULUAN
kelompok usia produktif tersebut kehilangan rata – rata waktu kerja 3 – 4 bulan
dan mengakibatkan pendapatan tahunan rumah tangga menurun sebesar 20 –
30% (Depkes RI, 2014).
Terdapat beberapa penyebab meningkatnya kasus TB di masyarakat
antara lain, kemiskinan terutama pada negara – negara berkembang,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun dengan disparitas yang lebar, beban
determinan sosial yang berat seperti angka pengangguran, tingkat pendidikan,
dan pendapatan per kapita yang masih rendah, kegagalan program TB, tidak
memadainya organisasi pelayanan TB, tidak memadainya tatalaksana kasus TB,
salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG, infrastruktur pelayanan
kesehatan yang buruk pada negara – negara yang mengalami krisis ekonomi
atau pergolakan masyarakat, dan belum terdapat sistem jaminan kesehatan
yang luas (Depkes RI, 2014).
Dalam menangani peningkatan kasus TB didunia, WHO membuat
program pengendalian TB sejak tahun 1990-an yang disebut dengan DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course) dengan 5 komponen kunci yaitu
komitmen politis, penemuan kasus melalu pemeriksaan dahak mikroskopis,
pengobatan yang standar, sistem pengadaan dan pengelolaan OAT yang efektif,
dan sistem monitoring yang baik. Di Indonesia sendiri, pemerintah telah
membuat Strategi Nasional Pengendalian TB terdiri dari memperluas dan
meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu, menghadapi tantangan TB/HIV,
TB MDR, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin, melibatkan seluruh
penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat, perusahaan, dan swasta,
memberdayakan masyarakat dan pasien TB, memberikan kontribusi dalam
penguatan sistem kesehatan dan manajemen program pengendalian TB,
mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB, dan
mendorong penelitian, pengembangan, dan pemanfaat informasi strategis.
(Depkes RI, 2014; Permenkes, 2016)
Indonesia memiliki beban tinggi diabetes dan merupakan endemis TB.
Hubungan dua arah antara TB dan DM adalah salah satu keprihatinan signifikan
di seluruh dunia dengan korelasi antara diabetes dan tuberkulosis yang semakin
diakui dan dikelola. Adanya peningkatan gangguan toleransi gula ini terhadap
peningkatan prevalensi infeksi TB. Pada pasien DM efek hiperglikemia akan
memudahkan pasien rentan terhadap infeksi. Pasien dengan diabetes
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
2.1.2 Patogenesis
Diabetes melitus memiliki tanda dan gejala berupa keluhan klasik seperti
poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Dan ada keluhan lain seperti lemah badan, kesemutan,
gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pria, serta adanya pruritus vulva pada
wanita.
2.1.5 Diagnosis
Anamnesis
Perlu dilakukan evaluasi yang lengkap sejak pertama kali bertemu dengan
pasien dengan anamnesis yang meliputi riwayat penyakit saat muda sampai
sekarang, riwayat pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara
lengkap, pola makan, status nutrisi dan status aktifitas fisik, riwayat penyakit
keluarga termasuk DM, faktor risiko sosial seperti merokok, hipertensi, obesitas
dan lain-lain.
Pemeriksaan Fisik
Melakukan pemeriksaan mulai dari pengukuran tinggi dan berat badan
untuk menentukan indeks massa tubuh (IMT) untuk menentukan risiko obesitas
atau tidak, pengukuran tekanan darah posisi berdiri untuk mencari kemungkinan
adanya hipotensi ortostatik, pemeriksaan funduskopi, pemeriksaan rongga mulut
dan kelenjar tiroid, pemeriksaan jantung, evaluasi nadi, pemeriksaan kaki (ada
deformitas, neuropati atau kelainan vaskular), pemeriksaan kulit (akantosis
nigrikans, bekas luka, bekas lokasi suntikan insulin).
Evaluasi Laboratorium
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah
dengan pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan
bahan plasma darah vena.
13
Selain pemeriksaan glukosa darah juga perlu dilakukan pemeriksaan fisik lain
seperti TB & BB, tekanan darah & nadi, funduskopi, kelenjar tiroid, rongga mulut,
jantung, pemeriksaan kaki (neuropati, deformitas), kulit (bekas lokasi suntikan
insulin, bekas luka, hiperpigmentasi).
Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi dilakukan pada semua penderita DM yang baru
terdiagnosis DM Tipe 2 untuk mencegah komplikasi slanjutan akibat DM melalui
pemeriksaan profil lipid keadaan puasa, kolesterol total (HDL), LDL, dan
trigliserida, tes fungsi hati/fungsi ginjal, tes urin, tes albumin, elektrokardiogram,
foro thorax xray, pemeriksaan kaki, dan pemeriksaan funduskopi untuk melihat
retinopati diabetik.
Terapi Farmakologis
Obat Anti hiperglikemia suntik yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi insulin
dan agonis GLP-1. Insulin digunakan pada keadaan HbA1c ≥7,5% dan sudah
menggunakan satu atau 2 obat antidiabetes, penurunan berat badan cepat,
hiperglikemia berat dengan ketosis, krisis hi[erglikemia, gagal obat kombinasi
OHO dosis optimal, kehamilan dengan DM/DM gestasional, gangguan fungsi
ginjal/hati, kontraindikasi atau alergi terhadap OHO.
2.2.1 Definisi
Port d’entry dari infeksi tuberkulosis sebesar 98% adalah paru. Karena
ukuran bakteri tuberkulosis yang sangat kecil dan terhirup dalam bentuk droplet
nuclei, bakteri mampu mencapai alveolus paru yang kemudian akan
mengaktivasi sistem imun non spesifik seperti makrofag. Makrofag alveoli dapat
menghancurkan sebagian besar bakteri tuberkulosis yang masuk, akan tetapi
pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan bakteri TB
dan bakteri mampu berkembang didalam makrofag. Bakteri TB yang terus
berkembang lama kelamaan akan membentuk koloni pada jaringan paru yang
disebut Fokus Primer GOHN. (Werdhani, R.A., 2002)
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer pada jaringan paru dan
kelenjar limfe regional akan mengalami resolusi secara sempurna ditandai
dengan terbentuknya fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
kaseosa dan enkapsulasi, tetapi pada kelenjar limfe regional biasanya tidak
mengalami resolusi sesempurna jaringan paru, sehingga bakteri TB akan hidup
bertahun – tahun di dalam kelenjar. (Werdhani, R.A., 2002)
Diagnosis TB paru
1. Diagnosa TB paru pada orang dewasa ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis melalui pemeriksaan mikroskopik langsung,
biakan, dan tes cepat.
2. Jika pemeriksaan bakteriologis negatif, maka penegakkan diagnosis
dapat ditegakkan secara klinis melalui pemeriksaan klinisi dan penunjang
23
(setidaknya foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang
telah terlatih TB.
3. Jika sarana terbatas, penegakkan diagnosis dapat dilakukan setelah
pemberian antibiotik spektrum luas yang tidak memberikan perbaikan
klinis.
4. Tidak dibenarkan mendiagnosa TB dengan pemeriksaan
serologis/pemeriksaan foto toraks saja (karena tidak spesifik TB dan
dapat menimbulkan overdiagnosis atau underdiagnosis)/pemeriksaan uji
tuberkulin.
Pemeriksaan Penunjang :
1. Metode konvensional : kultur menggunakan media padat (Lowenstein
Jensen/LJ) atau media cair (MGIT) dengan tujuan untuk uji kepekaan
terhadap OAT lini pertama dan OAT lini kedua.
2. Tes cepat (rapid test) : MenggunakanXpert MTB/RIF (GeneXpert) atau
Line probe assay (LPA).
25
Tabel 2.7. Kelompok dan Golongan OAT untuk Pasien TB Resisten Obat
(Rumende,2018)
28
1. Rejimen Standar
a. Rejimen TB RO standar (20-26 bulan)
Pasien Baru
8-12 Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)-H / 12-14 Mfx-Eto-Cs-PAS-
Z-(E)-H
Pasien Baru
8-12 Cm-Lfx-Eto-Cs-Z-(E)-H / 12-14 Lfx-Eto-Cs-Z-(E)-H
2.3 Pyopneumothoraks
2.3.1 Definisi
2.3.2 Klasifikasi
1. Hidroneumothorax spontan
1.1 Primer : Terjadi tanpa adanya penyakit yang mendasari, secara tiba-tiba.
Terjadi akibat pecahnya bleb subpleura
1.2 Sekunder : Memiliki riwayat penyakit paru yang mendasari, seperti PPOK,
cystic fibrosis, TB, kanker paru, dan penyakit paru lainnya.
2. Hidropneumothorax traumatik
Terjadi akibat cedera traumatik pada dinding dada, baik iatrogenik maupun non
iatrogenik. (Noppen, 2010)
2.3.3 Patofisiologi
Komplikasi ini umumnya disebabkan oleh ruptur dari nidus parenkim atau
kavitas ke rongga pleura. Ruptur ini menyebabkan protein M.tb memasuki rongga
pleura dan memicu reaksi hipersensitivitas. Peningkatan kadar protein pada
cairan pleura memicu pembentukan cairan pleura yang lebih banyak. Tingginya
kadar protein dapat menyebabkan obstruksi pada sistem limfatik pleura dan
penurunan kecepatan klirens cairan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
akumulasi cairan pada rongga pleura. Pada Tb dengan efusi pleura masif
dengan lesi parenkim paru yang berat, dapat menimbulkan komplikasi fistula
alveolus atau bronchopleua, yang memicu kondisi pneumothoraks dan emfiema.
Secara klinis, terdapat resiko menurunnya penetrasi OAT melewati pleura yang
menebal, sehingga dapat meningkatkan resiko insufisiensi pengobatan hingga
resistensi obat (Kataloglu et al., 2006 ; Maranatha & Bahri, 2020).
Manifestasi klinis paling sering adalah sesak, disertai dengan nyeri dada
yang memberat saat bernafas, penurunan berat badan, dan kehilangan nafsu
makan, serta hipoksemia dan hipercapnia yang dapat mengakibatkan kondisi
32
gagal nafas akut. Penderita memiliki riwayat TB Paru, serta memiliki kebiasaan
merokok.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan pyopneumothoraks akan ditemukan:
Pemeriksaan Diagnostik
1. Bakteriologis -> Ditemukannya basil TB pada sputum, cairan pleura,
spesimen biopsi pleura dan isolasi M. Tb pada kultur.
2. CXR Pada posisi PA dijumpai air-fluid level, garis mendatar yang
menandakan batas antara udara dengan cairan bebas. Tampak ruang
pleura yang translusen dengan tidak tampak pembuluh darah paru (clear
zone). Tampak pleural visceral line serta sudut costophrenicus yang
tumpul.
3. USG Deteksi cairan, ditemukan hydro-point sign yang menandakan air
fluid level, rekomendasi 3 titik lokasi pungsi plera, deteksi septa, dan
perkiraan jumlah (Kasargod & Awad, 2016).
4. Analisis Cairan Pleura -> diagnostik dan terapetik
- Kriteria Light’s adalah cara yang berguna untuk membedakan antara
transudat dan eksudat, yang kemudian dapat dievaluasi lebih lanjut
dengan tes laboratorium dan dalam konteks presentasi klinis pasien.
Cairan pleura merupakan eksudat jika terdapat 1 atau lebih kriteria
berikut:
Protein cairan pleura dibagi serum protein > 0,5
33
2.3.6 Tatalaksana
Prinsip manajemen yaitu :
a) Thoracentesis diagnostik atau terapeutik atau drainase kateter
Bertujuan untuk membuang cairan & udara secepat mungkin,
mencegah drainase udara & cairan kembali ke rongga pleura,
mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura untuk melebarkan
paru kembali. Dilakukan dengan teknik invasif yaitu pemasangan
catheter thorax, dapat disambungkan dengan Water Sealed
Drainage(WSD) atau Negative Pressure Suction
34
Gambar 2.8 Ilustrasi Evakuasi cairan pleura dengan kateter thoraks dan
WSD (D'Agostino & Edens, 2020).
35
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan Heteroanamnesis dengan anak kandung pasien
Keluhan utama: Sesak nafas
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Karsa Husada Batu dengan
Suspek TBC MDR+Hydropneumothorax+Hiperglikemia. Pasien dengan diabetes
melitus tipe 2 yang terdiagnosis sejak 5 tahun yang lalu dengan gula darah
puasa saat itu 240 mg/dL. Pasien sering mengkonsumsi madu 2 sendok makan
setiap hari dan teh manis setiap pagi hari. Pasien merasa sering haus dan nafsu
makan meningkat namun tidak terjadi kenaikan berat badan.
Pasien mengeluhkan sesak sejak 1 bulan yang lalu. Sesak muncul
terutama saat aktivitas berat dan istirahat. Sesak yang dirasakan disertai dengan
nyeri dada seperti ditekan.
Pasien mengeluhkan batuk sejak 5 bulan yang lalu. Batuk dirasakan
hampir setiap hari. Batuk disertai dengan dahak berwarna kehijauan sebanyak
kurang lebih 1 sendok makan. Pasien mengatakan tidak ada darah pada dahak.
Pasien memiliki riwayat konsumsi cefadroxil, namun gejala tidak membaik.
36
Hasil Laboratorium
Metabolisme Karbohidrat (04/11/2020)
Gula darah puasa 156 mg/dL 60 – 100 mg/dL
Imunoserologi (04/11/2020) Thyroid
TSH 0,80 uU/mL 0,27 – 4,2
Kimia Klinik
Total protein 4,80 g/dL <3
Glukosa 2 mg/dL >60
LDH 12480 IU/L Transudat ( <320 IU/L)
Eksudat ( >320
IU/L)
Hasil Laboratorium
39
Cairan Tubuh
Analisa Cairan Pleura(13/11/2020)
Makroskopik
Warna Kuning
Bekuan Negatif
Kejernihan Keruh
Mikroskopik
Eritrosit 5000/µL
Leukosit 38000/µL
PMN sel 95%
MN sel 5%
Interpretasi
Pneumonia
Hydropneumothorax sinistra
Interpretasi
Posisi: PA, KV cukup, simetris
Soft tissue: Normal
Tulang: tidak ada fraktur/lesi osteolitik/osteoblastik.
Trakea: tertarik ke arah sinistra
Hilus: D/S terangkat dan tertarik ke arah sinistra
Jantung: bentuk, ukuran, dan posisi normal
Hemidiafragma : D/S dome shape
Sudut Kostofrenikus : D/S tajam
Paru D: corakan vaskular normal,. Tampak infiltrat, fibrosis, dan multiple
cavitas pada lapang paru atas. ICS D normal.
Paru S: corakan vaskuler menurun pada lapang tengah basal paru.
Tampak infiltrat, fibrosis, dan multiple cavitas pada lapang atas paru.
Tampak terpasang chest tube pada hemithorax kiri dengan ujung distal
mengarah ke inferior setinggi V. Thoracal 11 . ICS S normal.
43
Kesimpulan:
TB paru far advanced lesions
Pneumonia
Hydropneumothorax sinistra
Interpretasi
Posisi: PA, KV cukup, simetris
Soft tissue: Normal
Tulang: tidak ada fraktur/lesi osteolitik/osteoblastik.
Trakea: tertarik ke arah sinistra
Hilus: D/S terangkat dan tertarik ke arah sinistra
Jantung: bentuk, ukuran, dan posisi normal
Hemidiafragma : D/S dome shape
Sudut Kostofrenikus : D/S tajam
Paru D: corakan vaskular normal,. Tampak infiltrat, fibrosis, dan multiple
cavitas pada lapang paru atas. ICS D normal.
Paru S: corakan vaskuler menurun pada lapang tengah basal paru.
Tampak infiltrat, fibrosis, dan multiple cavitas pada lapang atas paru.
Tampak terpasang chest tube pada hemithorax kiri dengan ujung distal
mengarah ke inferior setinggi V. Thoracal 11 . ICS S normal.
44
Kesimpulan:
TB paru far advanced lesions
Pneumonia
Hydropneumothorax sinistra
Emphysema Subkutis shoulder kiri.
BGA on 5 lpm NC
pH 7.37
Kesimpulan: Asidosis metabolik terkompensasi penuh dengan alkalosis
respiratorik
45
BAB IV
PEMBAHASAN
• Tatalaksana invasif dengan menggunakan chest tube Pada pasien, didapatkan adanya air fluid level, clear zone,
dan WSD sejak 13/11/20 serta visceral pleural line pada lobus paru sinistra.
Pada analisis cairan pleura, pasien dicurigai mengarah ke
eksudat. Kondisi ini dapat diakibatkan oleh adanya proses
inflamasi, serta memiliki kadar protein yang tinggi.
Pada pasien ini telah dilakukan pemasangan WSD dan
didapatkan perbaikan baik secara klinis maupun radiologis.
54
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Jany, B., & Welte, T. (2019). Pleural Effusion in Adults-Etiology, Diagnosis, and
Treatment. Deutsches Arzteblatt international, 116(21), 377–386.
Kartaloglu, Z., Okutan, O., Işitmangil, T., Kunter, E., Sebit, S., Apaydin, M., &
Ilvan, A. (2006). Pyo-pneumothorax in patients with active pulmonary
tuberculosis: an analysis of 17 cases without intrapleural fibrinolytic
treatment. Medical Principles and Practice, 15(1), 33-38.
Kasargod, V., & Awad, N. T. (2016). Clinical profile, etiology, and management of
hydropneumothorax: An Indian experience. Lung India: Official Organ of
Indian Chest Society, 33(3), 278.