Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

MIOPIA & MIOPIA ASTIGMATISME


KOMPOSITUS

Oleh:
Ni Ketut Cintya Riska Prathiwi (1302006056)
Ida Ayu Shinta Nadia Utami (1302006156)

Pembimbing:
dr. Ni Made Ayu Surasmiati, M. Biomed, Sp. M

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI LAB/SMF ILMU KESEHATAN MATA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017

KATA PENGANTAR

i
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rakhmatnya maka laporan kasus yang mengambil topik “Miopia & Miopia
Astigmatisme Kompositus” ini dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini. Laporan kasus
ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di
bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. dr. Ni Made Ayu Surasmiati, M. Biomed, Sp. M, selaku pembimbing
sekaligus penguji dalam pembuatan laporan kasus ini,
2. dr. Ngurah selaku residen pembimbing yang telah memberi masukan
dalam penyelesaian laporan ini, serta
3. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan laporan
kasus ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, September 2017

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ii

ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I Pendahuluan
1
BAB II Tinjauan Pustaka
3
2.1 Anatomi Media Refraksi
..........................................................................................
3
2.2 Fisiologi Refraksi
5
2.3 Miopia
6
2.3.1 Definisi
6
2.3.2 Epidemiologi
7
2.3.3 Faktor Risiko
7
2.3.4 Etiologi
8
2.3.5 Patogenesis
9
2.3.6 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi
10
2.3.7 Diagnosis
11
2.3.8 Diagnosis Banding
12
2.3.9 Tatalaksana
13
2.3.10 Pencegahan
14

iii
2.3.11 Prognosis
15
2.4 Astigmatisme
15
2.4.1 Definisi
15
2.4.2 Epidemiologi
15
2.4.3 Etiopatogenesis
16
2.4.4 Manifestasi Klinis
16
2.4.5 Klasifikasi
17
2.4.6 Diagnosis
18
2.4.7 Diagnosis Banding
20
2.4.8 Tatalaksana
20
2.4.9 Pencegahan
21
2.4.10 Prognosis
21
BAB III Laporan Kasus
22
BAB IV Pembahasan
27
BAB V Kesimpulan
30
DAFTAR PUSTAKA
31

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Mata adalah organ refraksi yang memiliki fungsi sangat krusial bagi
manusia yang mana berfungsi untuk membiaskan cahaya masuk ke retina agar
dapat diproses oleh otak untuk membentuk sebuah gambar. Struktur mata yang
berkontribusi dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, humor aqueous dan
corpus vitreous. Cahaya yang masuk akan direfraksikan ke retina, yang kemudian
akan dilanjutkan ke otak berupa impuls melalui saraf optik agar dapat diproses
oleh otak. Suatu hal yang sering menjadi masalah pada mata yakni kelainanan
refraksi.1
Kelainan refraksi merupakan hal yang paling sering terjadi pada era
globalisasi seperti sekarang ini. Keadaan ini terjadi ketika cahaya tidak dibiaskan
tepat pada retina sehingga menyebabkan penglihatan kabur. Kelainan refraksi
secara umum dapat dibagi menjadi miopia, hipermetropia, dan astigmatisme.
Miopia dikenal sebagai rabun jauh dengan kemampuan refraktif mata yang terlalu
kuat sehingga sinar datang sejajar sumbu mata tanpa akomodasi difokuskan di
depan retina. Sementara, pada astigmatisme mata menghasilkan suatu bayangan
dengan titik atau garis fokus multipel.1,2
Penelitian oleh World Health Organization selama 5 tahun mendapatkan
lebih dari 153 juta orang menderita kelainan refraksi dan diprediksi jumlahnya
terus meningkat. Kelainan refraksi menempati urutan pertama penyakit mata
tersering di Indonesia.3 Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Jumlah pasien yang menderita kelainan refraksi di Indonesia hampir
25% dari populasi atau sekitar 55 juta jiwa. Penelitian tahun 2011 di RSUP
Sanglah menunjukkan bahwa dari kasus kelainan refraksi yang ada, didapatkan
miopia merupakan kelainan refraksi tertinggi kedua sebesar 39,2%.4 Sementara
itu, penelitian terbaru di Singapura menunjukkan bahwa dalam 1 dekade terakhir
terdapat peningkatan prevalensi yang signifikan pada kasus astigmatisme dimana
70% dari total kasus seiringan dengan meningkatnya kondisi miopia
astigmatisme. Hubungan antara gangguan refraksi miopia dan astigmatisme
sendiri sudah banyak menjadi fokus utama dalam penelitian.5
Penanganan pasien dengan kelainan refraksi sangatlah penting diantaranya
adalah membenahi penglihatan dengan cara koreksi kacamata, penggunaan lensa

1
kontak, pembedahan dan laser. Hasil akhir yang diinginkan adalah tajam
penglihatan terbaik yang mampu dikoreksi. Kelainan refraksi memiliki prognosis
yang baik apabila belum terjadi kelainan pada segmen posterior.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Media Refraksi


a. Kornea
Kornea merupakan jaringan transparan pada bagian anterior lapisan
eksternal jaringan ikat bulbus okuli. Pembiasan cahaya yang memasuki mata
terutama terjadi pada kornea. Kornea bersifat tembus cahaya, tidak berpembuluh
darah, dan sensitif terhadap sentuhan.5 Kornea dewasa rata-rata memiliki
ketebalan 550 µm di pusatnya. Kornea memiliki lima lapisan yang berbeda dari
anterior ke posterior, yaitu lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran
Descemet, dan lapisan endotel.2
Lapisan epitel kornea mempunyai lima atau enam lapis sel. Lapisan
Bowman merupakan lapisan jernih aselular yang merupakan bagian stroma yang

2
berubah. Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma tersusun
atas jalinan lamella serat-serat kolagen dengan lebar sekitar 10-250 µm dan tinggi
1-2 µm yang mencakup hampir seluruh diameter kornea. Lamella terletak di
dalam suatu zat dasar proteoglikan terhidrasi bersama keratosit yang
menghasilkan kolagen dan zat dasar.2 Membran Descemet merupakan lamina
basalis endotel kornea, bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur
hidup.1,2 Endotel kornea hanya memiliki satu lapis sel, tetapi lapisan ini berperan
besar dalam mempertahankan deturgesensi stroma kornea.2
Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah
limbus, humor aqueous, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatakan
sebagian besar oksigen dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari
cabang pertama (opthalmicus) nervus kranialis V (trigeminus). Transparansi
kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitas, dan
deturgesensinya.2 Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 45
dioptri dari 60 dioptri pembiasan sinar yang masuk ke mata dilakukan oleh
kornea.2

Gambar 2.1. Anatomi Bola


Mata.3

b. Humor Aqueous
Humor aqueous
terdapat pada kamera okuli anterior dan kamera okuli posterior, humor aqueous
dihasilkan oleh prosesus siliaris. Larutan yang jernih dan menyerupai air ini
memberikan zat gizi bagi kornea dan lensa yang tidak berpembuluh darah. Humor
aqueous mengalir dari kamera okuli posterior, setelah itu humor aqueous melewati
pupil dan memasuki kamera okuli anterior, kemudian disalurkan ke dalam sinus
vena sklera (kanal Schlemm).5
c. Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tidak berwarna, dan
hampir transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dengan diameter 9 mm. 2
Lensa dapat menebal dan menipis saat terjadinya akomodasi untuk memfokuskan

3
objek pada retina.1 Total kekuatan refraksi mata adalah sekitar 60 dioptri, kornea
berkontribusi untuk sekitar 45 dioptri dan lensa sekitar 15 dioptri. 2 Kapsul lensa
adalah suatu membran semipermeabel yang memperbolehkan air dan elektrolit
masuk.2 Lensa akan dibentuk oleh sel epitel lensa yang membentuk serat lensa di
dalam kapsul lensa. Epitel lensa akan membentuk serat lensa terus menerus
sehingga mengakibatkan memadatnya serat lensa di bagian sentral lensa sehingga
membentuk nukleus lensa. Korteks lensa terdapat di bagian luar nukleus dan
tersusun dari serat lensa yang lebih muda. Zonula Zinn terdapat pada bagian
perifer kapsul lensa dan berfungsi untuk menggantungkan lensa di seluruh
ekuatornya pada badan siliar.1
Lensa terdiri dari sekitar 65% air, 35% protein (kandungan protein lensa
merupakan yang tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit mineral
yang umum dijumpai pada jaringan lain di tubuh. Kalium lebih terkonsentrasi di
lensa dibandingkan dengan kebanyakan jaringan yang lainnya. Asam askorbat dan
glutation ada dalam bentuk teroksidasi maupun yang tereduksi.2
Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu.1
 Kenyal atau lentur karena memegang peranan penting dalam
akomodasi untuk menjadi cembung.
 Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan.
d. Corpus Vitreous
Vitreous merupakan suatu badan gelatin yang bersifat jernih, avaskular, dan
menyusun dua pertiga dari volume dan berat bola mata. 2 Vitreous berperan untuk
meneruskan sinar dari lensa ke retina.1 Vitreous mengisi ruangan yang dibatasi
oleh lensa, retina, dan diskus optikus. Vitreous terdiri dari 99% air dan 1% sisanya
tersusun atas dua komponen, yaitu kolagen dan asam hialuronat, yang
memberikan bentuk dan konsistensi mirip gel pada vitreous karena
kemampuannya untuk mengikat banyak air.2

2.2 Fisiologi Refraksi


Sewaktu menuju ke retina, gelombang cahaya melewati media pembias
mata yaitu kornea, humor aqueous, lensa, dan corpus vitreous. 5 Mata secara optik
dapat disamakan dengan kamera. Mata mempunyai sistem lensa, sistem apertura
yang dapat berubah-ubah (pupil), dan retina yang disamakan dengan sebuah film.
Mata memiliki empat perbatasan refraksi yang terdiri dari: (1) perbatasan antara
permukaan anterior kornea dan udara, (2) perbatasan antara permukaan posterior

4
kornea dengan humor aqueous, (3) perbatasan antara humor aqueous dan
permukaan anterior lensa mata, dan (4) perbatasan antara permukaan posterior
lensa dan corpus vitreous. Indeks bias udara adalah 1; kornea 1,38; humor
aqueous 1,33; lensa kristalina (rata-rata) 1,40; dan corpus vitreous 1,34.
Pembiasan akan meningkat sesuai dengan rasio indeks bias dari kedua media
transparan dan derajat kemiringan antara bidang peralihan dan permukaan
gelombang yang datang.4 Total kekuatan refraksi mata adalah sekitar 60 dioptri,
kornea berkontribusi untuk sekitar 45 dioptri dan lensa sekitar 15 dioptri. 2 Alasan
utama dari pemikiran ini adalah karena indeks bias kornea sangat berbeda dari
indeks bias udara, sementara indeks bias lensa mata tidak jauh berbeda dengan
indeks bias humor aqueous dan corpus vitreous.4
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media refraksi yang
terdiri atas kornea; humor aqueous; lensa; corpus vitreous; dan panjangnya bola
mata. Orang normal memiliki susunan pembiasan oleh media refraksi dan panjang
bola mata yang demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui
media refraksi dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut
sebagai emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retina pada
keadaan mata tidak melakukan akomodasi. Kelainan yang meliputi kelainan
pembiasan sinar oleh kornea (kornea mendatar atau mencembung) atau adanya
perubahan panjang bola mata (lebih panjang, lebih pendek), menyebabkan sinar
normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia
yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisme.1

2.3 Miopia
2.3.1 Definisi
Miopia adalah anomali refraksi pada mata dimana bayangan difokuskan di
depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi. Miopia juga dapat
dijelaskan sebagai kondisi refraktif dimana cahaya yang sejajar dari suatu objek
yang masuk ke mata akan jatuh di depan retina pada mata yang tidak akomodasi.
Miopia merupakan manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah populernya adalah
“nearsightedness” atau rabun jauh.6
Miopia adalah penyebab umum yang menyebabkan pandangan kabur.
Miopia merupakan kelainan refraksi pada mata yang umum terjadi dengan
prevalensi yang meningkat setiap tahunnya. Miopia yang tidak dikoreksi

5
menggangu individu tersebut melihat benda jauh dengan jelas, hal ini disebabkan
mata memiliki kekuatan optik yang terlalu tinggi karena kornea yang terlalu
cembung atau panjang aksial bola mata yang terlalu besar. 7 Miopia adalah masalah
yang sangat signifikan, bukan hanya karena tingginya prevalensi, tetapi juga
karena dapat berkontribusi terhadap morbiditas visual dan meningkatkan risiko
kondisi yang mengancam penglihatan misalnya ablasio retina dan glaukoma.6

2.3.2 Epidemiologi
Insiden miopia telah meningkat secara signifikan pada 50 tahun terakhir.
Miopia diperkirakan terjadi pada 1,6 milyar orang di seluruh dunia. Perhitungan
secara global telah memperkirakan bahwa pada tahun 2020 sekitar 2,5 milyar
orang, yang merupakan 1/3 populasi penduduk dunia, akan mengalami miopia.
Penduduk Amerika Serikat dan Eropa Barat yang berusia lebih dari 40 tahun,
diperkirakan 1/4 nya akan mengalami miopia.13
Prevalensi dan insiden miopia bervariasi berdasarkan usia, negara, jenis
kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan dan faktor lainnya. Miopia terjadi pada
sekitar 33% orang dewasa di Amerika Serikat dan 85 %- 90 % di Asia. Tidak
seperti anak-anak di Barat dimana prevalensi mengalami miopia sangat rendah
(kurang dari 5 %), anak-anak di Asia memiliki prevalensi yang tinggi sekitar 29%
pada anak usia 7 tahun.8 Negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara seperti
Singapura, Cina, Taiwan, Hong Kong, Jepang dan Korea Selatan, telah mengamati
adanya peningkatan insiden miopia. Telah ditemukan bahwa 80% -90% siswa
yang lulus dari sekolah menengah atas mengalami miopia, pada grup ini, antara
10% -20% siswa mengalami miopia berat.9
Global Burden of Disease menyatakan kelainan refraksi yang tidak
terkoreksi merupakan penyebab kebutaan nomor dua terbesar (21%) dan
penyebab utama gangguan penglihatan sedang hingga berat (53%). Perkiraan dan
tren demografi tersebut menunjukkan bahwa miopia merupakan penyebab utama
kelainan refraksi dan dapat terus berlanjut di masa depan.9 Penelitian tahun 2011
di RSUP Sanglah, mendapatkan miopia merupakan kelainan refraksi tertinggi
kedua sebesar 39,2%. Prevalensi penderita perempuan lebih tinggi (69,7%)
dibanding laki-laki, dan lebih tinggi pada usia 11-20 tahun (57%).4

2.3.3 Faktor Risiko

6
Faktor risiko miopia dapat meningkat apabila melakukan sejumlah besar
pekerjaan dengan jarak dekat. Miopia berhubungan dengan waktu yang
dihabiskan untuk membaca dan mengerjakan pekerjaan jarak dekat, pendidikan
bertahun-tahun, kemampuan akademis yang lebih tinggi.6 Faktor lingkungan yang
paling berperan dalam terjadinya miopia adalah pekerjaan intensif dengan jarak
dekat seperti membaca, menulis atau bekerja dengan komputer. Tingginya insiden
miopia pada orang yang bekerja intensif pada jarak dekat disebabkan spasme
akomodatif. Selama bekerja dengan jarak yang dekat, gambar yang terlihat sedikit
difokuskan di depan retina yang dapat menginduksi spasme akomodatif,
deformasi gambaran pada retina dan meningkatnya panjang aksial bola mata.9
Faktor risiko yang berperan penting dalam munculnya miopia adalah
riwayat miopia pada keluarga. Penelitian telah menunjukkan prevalensi miopia
pada anak yang kedua orang tuanya mengalami miopia adalah sebesar 33% -60%,
pada anak yang hanya salah satu orang tuanya mengalami miopia, prevalensinya
adalah sebesar 23% -40%. Penelitian lain menunjukkan bahwa ketika orang tua
tidak memiliki miopia, hanya 6% -15% anak yang mengalami miopia. Penelitian
menunjukkan bahwa kelainan refraksi saat anak masuk sekolah adalah prediktor
yang baik tentang siapa yang akan mengalami miopia pada masa anak-anak
dibanding riwayat miopia orang tua atau adanya miopia saat bayi.6

2.3.4 Etiologi
Penyebab miopia sampai saat ini belum diketahui pasti, diperkirakan
bersifat multifaktorial dan berhubungan dengan faktor genetik (internal) serta
lingkungan (eksternal). Faktor internal meliputi genetik, riwayat keluarga, panjang
bola mata, usia, jenis kelamin, dan etnik. Faktor eksternal meliputi pencahayaan
saat tidur, membaca, pendidikan dan penghasilan orang tua serta aktivitas melihat
dekat.10
Miopia pada dasarnya dapat terjadi oleh karena pertambahan panjang aksis
bola mata tanpa diikuti oleh perubahan pada komponen refraksi yang lain, hal ini
menyebabkan sinar cahaya fokus pada satu titik di depan retina, tidak langsung di
permukaannya. Perubahan kekuatan refraksi kornea, lensa, dan humor aqueous
akan menimbulkan miopia bila tidak dikompensasi oleh perubahan panjang aksis
bola mata, beberapa kasus miopia disebabkan oleh kombinasi faktor tersebut.
Miopia biasanya dimulai pada masa kanak-kanak dan mungkin memiliki risiko

7
lebih tinggi jika orang tuanya mengalami miopia. Sebagian besar kasus
menunjukkan bahwa miopia stabil pada awal masa dewasa tetapi kadang terus
berkembang seiring bertambahnya usia.7,10
2.3.5 Patogenesis
Insiden miopia bergantung pada faktor genetik dan lingkungan. Miopia
bersifat inherediter monogenik atau poligenik, inherediter monogenik jarang
terjadi sedangkan inherediter poligenik terjadi lebih sering. Penelitian saat ini
mengidentifikasi gen yang bertanggung jawab untuk miopia lebih dari -6.00
dioptri ditemukan pada kromosom 1-5, 7,8, 10-12, 14, 17-22. Gen yang
bertanggung jawab untuk miopia kurang dari -6.00 dioptri ditemukan pada
kromosom 7.9
Mata emetropik menunjukkan bahwa sinar cahaya paralel jatuh pada titik
fokus pada retina, sedangkan pada mata miopia, sinar cahaya paralel jatuh pada
titik fokus di depan retina, hal ini menyebabkan tidak munculnya gambar tajam
pada retina ketika pasien menatap ke kejauhan. Mata miopia menunjukkan
gambar yang tajam hanya dapat dihasilkan oleh objek dengan jarak yang dekat
dimana sinar cahaya menyebar sebelum masuk ke mata.11
Penyebabnya antara lain bola mata yang terlalu panjang dengan daya
refraksi normal (miopia aksial, gambar 2.2 c), dan daya refraksi yang terlalu kuat
pada panjang bola mata yang normal (miopia refraktif, gambar 2.2 d).11
Dikenal bentuk miopia:
1. Miopia refraktif merupakan bertambahnya indeks bias media penglihatan
dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat.
Miopia jenis ini di kenal dengan miopia bias atau miopia indeks, miopia
yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan (kornea dan lensa) yang
terlalu kuat.
2. Miopia aksial merupakan miopia akibat panjangnya sumbu bola mata,
dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal.

8
Gambar 2.2. Refraksi pada miopia. a) bayangan sinar yang datang sejajar
jatuh pada satu titik di depan retina, (b) hanya objek dekat dimana arah sinar
datang secara divergen yang jatuh di satu titik pada retina, c) miopia aksial
akibat dari ukuran bola mata yang terlalu panjang, d) miopia refraktif
kekuatan refraksi yang berlebihan, e) miopia pada katarak nuklear dengan
titik fokus ganda (pasien melihat dobel).11

2.3.6 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi


Kecurigaan adanya rabun jauh pada pasien bisa bergantung pada
anamnesis keluhan subjektif pasien dan temuan objektif penderita. Keluhan
tersering pasien berupa penglihatan kabur saat melihat jauh dan harus melihat
dekat apabila melihat benda-benda yang kecil, juga cepat lelah bila membaca
jauh. Seseorang yang mengalami miopia akan menyipitkan mata atau
mengerutkan kening dan sering mengalami sakit kepala. Derajat beratnya miopia
dibagi dalam.7
a. Miopia ringan, dimana miopia lebih kecil daripada 1-3 dioptri.
b. Miopia sedang, dimana miopia antara 3-6 dioptri.
c. Miopia berat, dimana miopia lebih besar daripada 6 dioptri.
Temuan gejala objektif miopia tergantung pada gangguan miopia yang
didapat, yang digolongkan menjadi sederhana (simpleks) atau patologis.
1. Miopia simpleks:
Miopia yang sering ditemukan pada usia sekolah, dengan onset pada usia 10-12
tahun. Biasanya miopia jenis ini tidak berkembang lebih jauh setelah usia 20
tahun. Refraksi jarang melebihi -6.00 dioptri. Adapun temuan klinisnya antara
lain.11
 Segmen anterior ditemukan bilik mata yang dalam dan pupil yang relatif
lebar.
 Segmen posterior biasanya terdapat gambaran yang normal.
2. Miopia patologik:
Miopia jenis ini secara umum herediter dan akan berkembang lebih jauh secara
kontinyu dan insdependen dari pengaruh eksternal.11 Miopia patologi adalah
miopia tinggi yang terkait dengan perubahan patologi terutama di segmen
posterior mata. Miopia jenis ini termasuk penyakit yang cukup berat dan
mempunyai konsekuensi menurunnya tajam penglihatan serta penyakit mata
yang serius. Temuan klinisnya antara lain.12

9
 Gambaran pada segmen anterior serupa dengan miopia simpleks.
 Papil saraf optik terlihat pigmentasi peripapil, kresen miopia, papil terlihat
lebih pucat yang meluas terutama ke bagian temporal.
 Pemanjangan bola mata seluruh lapisan fundus yang tersebar luas berupa
penipisan koroid dan retina. Penipisan ini membuat bayangan koroid
tampak lebih jelas dan disebut sebagai fundus tigroid.

2.3.7 Diagnosis
Diagnosis miopia ditegakkan melalui evaluasi dengan melakukan
pemeriksaan yang komprehensif terhadap mata. Dimulai dari menanyakan riwayat
pasien didapatkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik untuk menilai refraksi.
1. Riwayat Pasien
Komponen dari riwayat pasien termasuk keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang (sacred seven), riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit
keluarga, riwayat sosial, penggunaan obat-obatan, dan riwayat alergi. 11 Pasien
dengan miopia akan mengatakan melihat jelas bila dekat, sedangkan
penglihatan kabur saat melihat jauh sehingga disebut rabun jauh. Pasien
dengan miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai dengan
juling dan celah kelopak yang sempit. Pasien miopia mempunyai kebiasaan
memicingkan matanya untuk mendapatkan efek lubang kecil.7
2. Pemeriksaan Fisik
Beberapa pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan antara lain:7,11
a. Pemeriksaan tajam penglihatan dinilai dengan tajam penglihatan
binokuler dan tajam penglihatan satu mata. Tajam penglihatan
binokuler menilai kemampuan melihat dengan kedua mata secara
bersamaan untuk memfokuskan sebuah benda dan terjadinya fusi dari
kedua bayangan menjadi bentuknya di dalam ruang. Sedangkan tajam
penglihatan satu mata dilakukan pada mata tanpa atau dengan kaca
mata di mana setiap mata diperiksa secara terpisah. Mata yang tidak
sedang diperiksa harus ditutup. Pemeriksaan ini dilakukan pada kedua
mata dari jarak 6 meter dengan Snellen chart dan jarak dekat dengan
Jaeger test.

10
b. Refraksi, retinoskopi merupakan alat yang objektif dalam mengukur
kelainan refraksi. Autorefraktor juga dapat digunakan untuk
menggantikan retinoskopi walaupun tidak dapat memberikan
informasi kualitatif.
c. Pergerakan bola mata dan pandangan dobel.
d. Pemeriksaan lapang pandang.
e. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter atau pen light.
f. Pemeriksaan funduskopi dan tekanan intraokular, dilakukan karena
pasien dengan miopia berisiko tinggi untuk mengalami glaukoma, dan
ablasio retina. Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen
yaitu gambaran bulan sabit yang terlihat pada polus posterior fundus
mata miopia, yang terdapat pada daerah papil saraf optik akibat tidak
tertutupnya sklera oleh koroid. Mata dengan miopia tinggi akan
terdapat pula kelainan pada fundus okuli seperti degenerasi makula
dan degenerasi retina bagian perifer.
2.3.8 Diagnosis Banding
a. Hipermetropi atau rabun dekat, merupakan gangguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan
sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Biasanya gejala
yang ditemukan, yaitu penglihatan buram pada jarak dekat, sakit di
sekitar mata, dan gejala asthenopia (penglihatan yang tidak nyaman,
mudah lelah). Pasien hipermetropi dapat diberikan lensa sferis positif
terbesar yang memberi penglihatan jauh sebaik-baiknya.
b. Astigmatisme, terjadinya berkas sinar yang tidak difokuskan pada satu
titik dengan tajam pada retina tetapi ada 2 garis titik api yang saling
tegak lurus yang terjadi akibat kelainan lengkungan permukaan
kornea. Pada pemeriksaan visus, apabila didapatkan perbaikan tajam
penglihatan terbaik dengan lensa sferis kurang dari 6/6 dan masih
membaik dengan pemasangan lubang kecil dapat dicurigai
astigmatisme.
2.3.9 Tatalaksana

11
Koreksi miopia dengan menggunakan kacamata lensa konkaf atau lensa
negatif terkecil yang memberikan tajam penglihatan maksimal. Biasanya
digunakan untuk mengkoreksi bayangan pada miopia dan lensa ini berguna untuk
memundurkan bayangan ke retina.2 Permukaan refraksi mata yang mempunyai
daya bias terlalu besar, seperti pada miopia, mengakibatkan kelebihan daya bias
ini dapat dinetralisasi dengan meletakkan lensa sferis konkaf di depan mata.
Besarnya kekuatan lensa yang digunakan untuk mengoreksi mata miopia
ditentukan dengan cara trial and error, yaitu dengan mula-mula meletakkan
sebuah lensa kuat dan kemudian diganti dengan lensa yang lebih kuat atau lebih
lemah sampai memberikan tajam penglihatan yang terbaik.10 Pemeriksaan dimulai
dengan memberikan lensa sferis -0,25 dioptri. Pemeriksaan tajam penglihatan
diulang dengan meminta penderita membaca semua deretan huruf snellen chart
apabila tidak memberikan tajam penglihatan yang membaik berikan lensa negatif
dimulai dari -0,25 dioptri, ditambahakan berturut-turut -0,25 dioptri sampai pada
lensa negatif terlemah penderita dapat membaca deretan huruf 6/6 pada snellen
chart. Pasien yang dikoreksi dengan -2.00 dioptri memberikan tajam penglihatan
6/6, demikian juga bila diberi sferis -2.50 dioptri mendapat tajam penglihatan
yang sama, maka sebaiknya diberikan koreksi -2.00 dioptri untuk memberikan
istirahat mata yang baik setelah dikoreksi.7 Koreksi miopia juga dapat
menggunakan lensa kontak, lensa kontak adalah lensa tipis yang diletakkan di atas
kornea untuk memperbaiki kelainan refraksi. Lensa ini memiliki diameter 8-10
mm, dan memiliki daya kohesi sehingga tetap menempel pada kornea. Hal ini
bertujuan untuk memperbesar bayangan yang jatuh di retina. Lensa kontak dapat
menempel dengan baik pada permukaan kornea, maka permukaan belakang
berbentuk sama dengan permukaan belakang kornea yang dibuat cembung kuat,
dan datar supaya dapat menempel secara longgar sesuai dengan kecembungan
kornea. Kelebihan dari penggunaan kaca mata biasa, yaitu lapang pandangan
menjadi lebih luas karena tidak banyak terdapat gangguan dari tepi bingkai kaca
mata. Adapun kerugian menggunakan lensa kontak adalah lebih mudah terkena
infeksi, apabila pemakaiannya kurang memperhatikan kebersihan, dan lebih
mudah terjadi erosi kornea, terutama apabila dipakai terlalu lama.15

12
Miopia yang agak berat dapat dilakukan koreksi dengan LASEK (Laser
Epithelial Keratomileusis), dimana dilakukan untuk koreksi miopia -6.00 dioptri,
umumnya sampai -8.00 dioptri. Kekurangan dari prosedur ini adalah nyeri paska
operasi. Selain itu dapat dilakukan LASIK (Laser In Situ Keratomileusis) dimana
dilakukan untuk koreksi miopia -8.00 dioptri, umumnya sampai -10.0 dioptri.
Komplikasi paska operasi adalah dry eye, sebab banyak saraf kornea yang
terpotong. Kasus miopi yang berat bisa dilakukan tindakan operasi berupa Clear
Lens Extraction (CLE) yang diikuti penanaman lensa intraokuler.11

2.3.10 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan untuk mencegah kelainan mata sejak anak-anak
dan menjaga jangan sampai kelainan mata menjadi parah. Tindakan pencegahan
seperti dengan cara.11
a. Ambillah waktu istirahat setiap 30 menit ketika membaca atau melakukan
pekerjaan dekat yang intensif. Berdiri dan melihat keluar
jendela saat beristirahat.
b. Pertahankan jarak yang benar dari buku ke mata yaitu 40 - 45 cm.
c. Pastikan pencahayaan sudah cukup untuk membaca.
d. Membaca atau melakukan pekerjaan visual lainnya dengan menggunakan
postur tegak yang santai.
e. Tentukan batas waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi dan
bermain video game. Duduk 5-6 meter dari televisi.

2.3.11 Prognosis
Miopia sangat dipengaruhi oleh usia. Setiap derajat miopia pada usia
kurang dari 4 tahun harus dianggap serius. Pada usia lebih dari 4 tahun dan
terutama 8-10 tahun, miopia sampai dengan -6 D harus diawasi dengan hati-hati.
Jika telah melewati usia 21 tahun tanpa progresivitas serius maka kondisi miopia
dapat diharapkan telah menetap dan prognosis dianggap baik. Faktor genetik juga
mempengaruhi perkembangan dan derajat keparahan miopia, tetapi pengaruh
faktor lingkungan juga dapat sebagai sebab timbulnya miopia. Pada derajat lebih
tinggi, prognosis harus dipertimbangkan dengan hati-hati berdasarkan gambaran

13
fundus dan tajam penglihatan setelah koreksi. Pada semua kasus harus
diperhatikan kemungkinan ablasio retina.2,7
Penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan miopia adalah terjadinya
ablasi retina dan juling. Juling biasanya esotropia atau juling ke dalam akibat mata
berkonvergensi terus-menerus. Bila terdapat juling keluar mungkin fungsi satu
mata telah berkurang atau terdapat ambliopia.7

2.4 Astigmatisme
2.4.1 Definisi
Astigmatisme ialah suatu kelainan refraksi yang terjadi karena berkas sinar
tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina, akan tetapi pada 2 garis
titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan di
kornea. Pada nilai koreksi astigmatisme kecil, hanya terasa pandangan kabur, tapi
terkadang pada astigmatisme yang tidak dikoreksi, menyebabkan sakit kepala atau
kelelahan mata (silau), dan mengaburkan pandangan ke segala arah.18

2.4.2 Epidemiologi
Astigmatisme merupakan suatu kondisi yang umum terjadi dengan
prevalensi mencapai 85% pada populasi umum dengan komposisi 20-30%
merupakan kelompok lanjut usia (>60 tahun) dengan kondisi yang cukup berat
(>1 Dioptri).19
Berdasarkan 2 penelitian terbaru dari Singapura, dalam 12 tahun terakhir
ditemukan prevalensi astigmatisme yang meningkat secara signifikan pada
populasi umum dan lebih tinggi lagi pada kelompok usia di atas 65 tahun. 5,22
Ditemukan pula hasil bahwa prevalensi astigmatisme lebih banyak pada pria
dibanding wanita dan hasil ini sesuai dengan penelitian serupa pada tahun 1999-
2004.20 Tren peningkatan prevalensi astigmatisme dalam penelitian tersebut masih
belum dapat dijelaskan. Namun, pada penelitian tampak faktor yang berkontribusi
adalah adanya peningkatan pada jumlah kasus miopia astigmatisme yang
mempengaruhi total 70% dari keseluruhan peningkatan prevalensi astigmatisme.5
2.4.3 Etio-patogenesis
Salah satu penjelasan yang dapat menjadi etiologi dari astigmatisme
sebagai gangguan refraksi adalah masalah genetik. Sejumlah penelitian telah
dilakukan untuk mengidentifikasi pengaruh genetik terhadap perkembangan
astigmatisme. Beberapa penelitian menunjukkan keterkaitan penurunan

14
astigmatisme melalui gen autosomal dominan sementara penelitian lain
menunjukkan hasil bahwa pengaruh lingkungan jauh lebih besar dalam terjadinya
astigmatisme. Riwayat alamiah dari penyakit ini sendiri masih belum dapat
dipahami dengan baik. Kemungkinan penyebab lain termasuk interaksi mekanis
antara kornea dan kelopak mata atau otot mata ekstraokuler atau feedback visual
dimana astigmatisme berkembang sebagai respon dari rangsangan visual.21
Astigmatisme dapat dibedakan menjadi kongenital dan didapat. Apabila
didapat, kondisi tersebut bisa jadi merupakan sekunder dari penyakit tertentu atau
akibat dari operasi mata atau trauma. Astigmatisme memiliki penyebab
ultifaktorial dan bisa muncul dari kornea, lensa, dan bahkan retina. Corneal
astigmatism biasanya ditemukan sebagai penyebab utama dari gangguan refraksi
silindris.21

2.4.4 Manifestasi Klinis


Distorsi atau pandangan kabur pada segala jarak merupakan salah satu
gejala astigmatisme yang paling umum. Keluhan ini dapat terjadi secara vertikal,
horizontal, atau diagonal. Bisa terdapat keluhan sulit mengenali objek atau benda,
bentuk lingkaran memanjang menjadi oval, dan gambar atau bentuk titik mulai
tampak memanjang seperti berekor. Beberapa keluhan ketegangan mata seperti
sakit kepala, fotofobia, dan mata lelah juga merupakan gejala umum
astigmatisme. Membaca tulisan yang kecil juga sulit pada orang dengan
astigmatism. Gejala lainnya dapat berupa rasa tidak nyaman pada mata, iritasi,
mata lelah, kabur pada lapang pandang, diplopia monokuler, silau, dan sulit
berkendara pada malam hari.21
2.4.5 Klasifikasi
Astigmatisme dapat diklasifikasikan berdasarkan orientasai dapn posisi
relative dari 2 garis fokus ini, yakni sebagai berikut:21,22
1. Simple Myopic Astigmatism, yakni jika satu garis fokus berada di
depan retina dan yang lainnya berada di retina.
2. Compound Myopic Astigmatism, yakni jika kedua garis fokus berada di
depan retina.
3. Simple Hyperopic Astigmatism, jika satu garis fokus berada di
belakang retina dan yang lainnya berada di retina,
4. Compund Hyperopic Astigmatism, jika kedua garis fokus berada di
belakang retina.

15
5. Mixed Astigmatism, jika satu garis fokus berada di depan retina dan
yang lainnya berada di belakang retina.

Gambar 2.3. Klasifikasi Astigmatisme. Lokasi dari garis fokal terhadap


retina menentukan tipe astigmatisme. Perbedaan utama antara tipe
astigmatisme yang tergambat pada ilustrasi di atas merupakan equivalent
dengan gangguan refraksi spherical. Semua astigmatisme yang
digambarkan diatas merupakan with- the-rule astigmatism yang dikoreksi
dengan lensa silinder dengan axis vertikal. Apabila jenis astigmatisme
merupakan against- the-rule astigmatism, posisi garis fokal vertikal dan
horizontalnya harus dibalik. (AAO)
With-the-rule astigmatism dikoreksi dengan penambahan pada axis 90
derajat sementara against-the-rule astigmatism dikoreksi dengan penambahan
pada axis 180 atau sama dengan 0 derajat. Oblique astigmatism merupakan
penambahan pada axis selain derajat 90 atau 180; seringkali asimetris.22

2.4.6 Diagnosis
Evaluasi astigmatisme memerlukan penilaian secara komprehensif
terhadap mata dengan menanyakan riwayat pasien dan pemeriksaan fisik.21,22
1. Riwayat Pasien
Pasien dengan nilai koreksi astigmatisme yang kecil, hanya terasa
penglihatan kabur. Terkadang pada pasien astigmatisme yang tidak dikoreksi
menyebabkan sakit kepala, kelelahan mata, penglihatan kabur dan sulit
melihat di malam hari. Pada anak-anak, keadaan ini sebagian besar tidak
diketahui, oleh karena pasien anak-anak tidak menyadari dan tidak mau
mengeluh tentang kaburnya pandangan. Bila dikoreksi dengan kacamata,

16
kekuatan refraksi yang berbeda di dua meridian utama dapat menyebabkan
distorsi gambar pada retina. Pasien juga memiliki kebiasaan menyipitkan
mata untuk mendapatkan efek lubang kecil dan sering memiringkan kepala
atau disebut dengan head tilting, pada umumnya keluhan ini sering terjadi
pada pasien astigmatisme oblique yang tinggi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan tajam penglihatan, apabila didapatkan perbaikan tajam
penglihatan terbaik dengan lensa sferis kurang dari 6/6 dan masih
membaik dengan pemasangan lubang kecil dapat dicurigai
astigmatisme.
b. Retinoskopi
Retinoskopi merupakan langkah awal dalam refraktometri. Hal ini
digunakan untuk menentukan jenis dan kekuatan lensa yang diperlukan
unuk memperbaiki refraksi.
c. Keratometer
Keratometer adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur
lengkungan jari-jari kornea anterior. Pemeriksaan ini dilakukan secara
objektif dengan menggunakan alat yang disebut keratometer atau
oftalmometer akan didapatkan hasil kuantitatif. Perubahan astigmatisme
kornea dapat diketahui dengan mengukur lengkungan jari-jari kornea
anterior, meridian vertikal dan horizontal, sebelum dan sesudah operasi.
d. Topografi
Topografi dilakukan dengan menggunakan komputer yang
menghasilkan data peta warna mengenai kelengkungan kornea.
Pengukuran ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mengoreksi
astigmatisme, memantau penyakit kornea, dan mendeteksi
penyimpangan pada kornea. Peta tersebut ditafsirkan seperti peta
topografi lainnya. Nuansa biru dan hijau yang sejuk mewakili daerah
datar kornea, sedangkan nuansa oranye dan merah yang hangat
mewakili daerah curam. Peta kornea ini bertujuan untuk merumuskan
perspektif tiga dimensi bentuk kornea, yang bermanfaat untuk

17
perencanaan bedah refraktif, mengepaskan lensa kontak, dan
menghitung kekuatan lensa intraokular.
e. Juring atau kipas astigmat
Terdapat garis berwarna hitam yang disusun radial dengan bentuk
semisirkular dengan dasar yang putih, dipergunakan untuk pemeriksaan
subyektif dan besarnya kelainan refraksi astigmatisme.

2.4.7 Diagnosis Banding


1. Miopia
Miopia yang tidak dikoreksi dapat menyebabkan berkurangnya
tajam penglihatan dan dapat dijadikan sebagai diagnosis banding yang
sama dengan gejala penglihatan kabur. Penyebab penglihatan kabur tidak
hanya dengan membedakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
visus, melainkan dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan funduskopi
terdapat miopik. Mata dengan miopia tinggi akan terdapat pula kelainan
pada fundus okuli seperti degenerasi makula dan degenerasi retina bagian
perifer.12,25
2. Hipermetropi atau rabun dekat
Hipermetropia merupakan gangguan kekuatan pembiasan mata
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya
terletak di belakang retina. Biasanya gejala yang ditemukan, yaitu
penglihatan buram pada jarak dekat, sakit di sekitar mata, dan gejala
asthenopia (penglihatan yang tidak nyaman, mudah lelah). Pasien
hipermetropi dapat diberikan lensa sferis positif terbesar yang memberi
penglihatan jauh sebaik-baiknya.

2.4.8 Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat dilakukan pada pasien dengan astigmatisme,
diantaranya:21
1. Kacamata

18
Kacamata merupakan alat yang paling sederhana dan aman untuk
memperbaiki kelainan refraksi, oleh karena itu penggunaan kacamata
harus dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum penggunaan lensa kontak
atau operasi refraksi. Kelainan astigmatisme dapat dikoreksi dengan lensa
silindris, sering kali dikombinasi dengan lensa sferis. Karena tak mampu
beradaptasi terhadap distorsi penglihatan yang disebabkan oleh kelainan
astigmatisme yang tidak terkoreksi, kacamata baru yang memperbaiki
kelainan dapat menyebabkan disorentasi temporer, terutama akibat
bayangan yang tampak miring. Astigmatisme dapat dikoreksi
kelainannya dengan bantuan lensa silinder. Karena dengan koreksi lensa
silinder, penderita astigmatisme akan dapat membiaskan sinar sejajar tepat
diretina, sehingga penglihatan akan bertambah jelas.
2. Lensa kontak
3. Pengobatan astigmatisme dapat dilakukan sesuai dengan penyebab atau
kondisi yang terkait.

2.4.9 Pencegahan
Hingga saat ini, belum ada pencegahan yang berarti untuk
astigmatisme karena belum ditemukan penyebab yang mendasari kelainan
pada bentuk kornea atau lensa, kelainan posisi lensa dan kelainan indeks
refraksi lensa. Astigmatisme juga sulit dicegah karena faktor genetik yang
diduga ikut berperan.24

2.4.10 Prognosis
Sekitar 30% dari semua orang memiliki astigmatisme, sebagian besar
kondisinya tidak banyak berubah setelah berusia 25 tahun. Astigmatisme
progresif dapat terjadi pada trauma kornea, infeksi berulang pada kornea,
dan penyakit degeneratif seperti keratokonus.26

19
20
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama :M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir : Sleman, 13 Maret 1978
Umur : 39 tahun 5 bulan 20 hari
Alamat : Jalan Kartika Plasa Gang Puspa Ayu
Agama : Islam
Kebangsaan : WNI
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Pendidikan : Diploma 1
Status Perkawinan : Belum Menikah
No Rekam Medik : 15041013
Tanggal Pemeriksaan : 31 Agustus 2017

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Penglihatan kabur
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik Mata RSUP Sanglah pada tanggal 31 Agustus
2017 pukul 11.02 WITA, pasien datang dengan keluhan kedua mata kabur sejak 4
hari yang lalu. Pasien merasakan penglihatan pada kedua matanya kabur baik saat
melihat jauh maupun saat melihat dekat. Keluhan penglihatan kabur tersebut
dirasakan terjadi perlahan-lahan sejak 3 bulan yang lalu, keluhan dirasakan setiap
saat dan semakin memberat. Ketika pasien ingin melihat objek yang jauh, pasien
seringkali memicingkan mata untuk bisa memperjelas penglihatannya. Ketika
pasien melakukan aktivitas yang mengharuskan pasien untuk melihat dalam jarak
yang dekat seperti membaca, mata pasien sering terasa lelah. Pasien juga
merasakan nyeri kepala yang hilang timbul dan muntah 1x sejak sehari sebelum
datang ke poliklinik. Namun, keluhan lain seperti mata merah, gatal, terasa silau
dan melihat bintik-bintik disangkal oleh pasien. Keluhan yang dialami pasien
dikatakan cukup mengganggu pekerjaan pasien, namun pasien masih dapat
melakukan aktivitas sehari-sehari sendiri. Keluhan ini dirasakan memberat saat
pasien memaksa untuk membaca dalam waktu yang lama, dan keluhan dikatakan
membaik saat istirahat.

Riwayat Penyakit Dahulu, Alergi, dan Pengobatan


Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan penglihatan kabur
seperti saat ini sebelumnya. Pasien mengatakan sebelumnya pernah menggunakan

21
kacamata silinder, namun pasien tidak pernah memakainya karena sering lupa dan
tidak nyaman untuk memakainya. dan riwayat menggunakan kacamata ataupun
obat-obatan untuk memperbaiki penglihatan disangkal oleh pasien. Riwayat
penyakit sistemik seperti hipertensi dan diabetes mellitus disangkal oleh pasien.
Pasien mengatakan memiliki riwayat alergi terhadap makanan laut dan telur
sedangkan riwayat alergi terhadap obat-obatan disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. Kakak pasien dikatakan
mengalami miopia.

Riwayat Sosial
Pasien sehari-hari bekerja sebagai kasir di mall dan biasanya melihat layar
monitor kasir kurang lebih selama 5-6 jam sehari. Pasien juga sering mengeluh
lelah pada mata karena memaksa matanya untuk tetap melihat layar monitor saat
bekerja. Saat di rumah, pasien juga memiliki kebiasaan menonton televisi di
ruangan yang agak gelap dan terkadang dengan posisi berbaring di tempat tidur.
Pasien tidak memiliki riwayat merokok maupun meminum alkohol.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik Umum
Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,2°C
VAS :0
Status General
Mata : dijelaskan pada status ophthalmology
THT : kesan tenang
Mulut : sianosis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-)
Thoraks : simetris (+)
Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas :
hangat edema - -
- -

22
Pemeriksaan Fisik Khusus
Status Ophthalmology
OD OS
UCVA 6/12, PH 6/7,5
UCVA 6/24, PH 6/7,5
Visus BCVA S -0,75
BCVA S -0,75 6/6
C-0.50 x 180° 6/6
Posisi: Orthophoria
Normal Palpebra Normal
Tenang Konjungtiva Tenang
Jernih Kornea Jernih
Dalam Bilik mata depan Dalam
Bulat, regular Iris Bulat, regular
RP (+) RAPD (-) Pupil RP (+) RAPD (-)
Jernih Lensa Jernih
Jernih Vitreous Jernih
Papil N II bulat, batas Papil N II bulat, batas
tegas tegas
CDR 0,3 Funduskopi CDR 0,3
aa/vv 2/3 aa/vv 2/3
Retina: baik Retina: baik
Makula: refleks (+) Makula: refleks (+)
10,2 Tekanan Intraokuler 10,2
Baik ke segala arah Baik ke segala arah
Gerakan Bola Mata

OD OS

REFRAKSI SUBJEKTIF
OD : S -0,75
OS : S -0,75 C-0.50 x 180°
PD : 64/62 mm

3.4 Diagnosis Kerja


OD Miopia Simpleks

23
OS Miopia Astigmatisme Kompositus

3.5 Penatalaksanaan
a. Terapi non-farmakologi
Miopia dapat dikoreksi dengan kacamata lensa konkaf saja untuk mata
kanan serta dikombinasi dengan lensa silindris untuk koreksi astigmatisme
pada mata kiri.
b. Monitoring
Kontrol ke poliklinik RSUP Sanglah setelah 6 bulan.

3.6 KIE
1. Penggunaan kacamata dengan kontrol ukuran kacamata setiap 6 bulan.
2. Menjelaskan untuk menggunakan kacamata terus menerus dengan koreksi
penuh, baik untuk penglihatan jauh maupun dekat supaya mata dalam
keadaan normal.
3. Diusahakan cukup tidur, pekerjaan dekat dikurangi dan memperbanyak
bekerja diluar.
4. Sebaiknya tidak membaca terus menerus dan gunakan penerangan lampu
yang baik.

3.8 Prognosis
Ad vitam : bonam.
Ad fungsionam : bonam.
Ad sanationam : bonam.

BAB IV
PEMBAHASAN

Miopia adalah anomali refraksi pada mata dimana bayangan difokuskan di


depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi. Miopia adalah
penyebab umum yang menyebabkan pandangan kabur. Penelitian tahun 2011 di

24
RSUP Sanglah mendapatkan prevalensi penderita perempuan lebih tinggi (69,7%)
dibanding laki-laki, dan lebih tinggi pada usia 11-20 tahun (57%). Data
epidemiologi tersebut tidak sesuai dengan keadaan pasien dimana pasien berjenis
kelamin laki-laki.
Melakukan sejumlah besar pekerjaan dengan jarak dekat dapat
meningkatkan risiko miopia. Miopia berhubungan dengan waktu yang dihabiskan
untuk mengerjakan pekerjaan dengan jarak dekat, penggunaan layar komputer
yang cukup lama, hal ini sesuai dengan pekerjaan pasien sebagai kasir di
swalayan. Pasien memiliki kebiasaan menonton televisi di ruangan yang agak
gelap dan terkadang dengan posisi berbaring di tempat tidur. Pasien memiliki
tingkat pendidikan yang cukup tinggi yaitu Diploma 1 yang mengindikasikan
pasien menjalani pendidikan bertahun-tahun dan mungkin menghabiskan waktu
untuk membaca ataupun menggunakan komputer.
Penyebab miopia sampai saat ini belum diketahui pasti, diperkirakan
bersifat multifaktorial dan berhubungan dengan faktor genetik (internal) serta
lingkungan (eksternal). Faktor internal meliputi genetik, riwayat keluarga, panjang
bola mata, usia, jenis kelamin, dan etnik. Faktor eksternal meliputi pencahayaan
saat tidur, membaca, pendidikan, penghasilan, dan aktivitas melihat dekat. Faktor
internal pada pasien yang mungkin menjadi penyebab miopia yaitu faktor genetik.
Pasien merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. Kakak pasien dikatakan
mengalami miopia. Faktor eksternal yang mungkin menjadi penyebab miopia
pada pasien ini yaitu pekerjaan pasien yang membuatnya harus melihat layar 5-6
jam sehari dan kebiasaan menonton televisi di ruangan yang agak gelap.
Keluhan tersering pasien dengan kelainan refraksi miopia berupa
penglihatan kabur saat melihat jauh dan harus melihat dekat apabila melihat
benda-benda yang kecil, juga cepat lelah bila membaca jauh. Seseorang yang
mengalami miopia akan menyipitkan mata atau mengerutkan kening dan sering
mengalami sakit kepala. Pasien ini mengeluh kedua mata kabur sejak sekitar 3
bulan yang lalu saat melihat jauh dan seringkali memicingkan mata untuk bisa
memperjelas penglihatan saat melihat benda jauh sehingga mengarahkan
diagnosis menuju miopia. Miopia berdasarkan derajat beratnya dibagi dalam
miopia ringan, dimana miopia lebih kecil daripada 1-3 dioptri; miopia sedang,
dimana miopia antara 3-6 dioptri; miopia berat, dimana miopia lebih besar dari 6

25
dioptri. Hasil pemeriksaan mata kanan pasien memiliki kuat lensa 0,75 dioptri dan
mata kiri memiliki kuat lensa 0,75 dioptri sehingga digolongkan ke dalam miopia
ringan.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis miopia berupa
pemeriksaan tajam penglihatan dari jarak jauh dengan snellen chart dan jarak
dekat dengan Jaeger, retinoskopi, pergerakan bola mata dan pandangan dobel,
lapang pandang, segmen anterior dengan senter atau pen light, funduskopi dan
tekanan intraokular. Pasien ini dilakukan pemeriksaan mata berupa pemeriksaan
tajam penglihatan jarak jauh dengan snellen chart, pergerakan bola mata, segmen
anterior dengan pen light, tekanan intraokular, dan funduskopi, sesuai dengan
teori. Pemeriksaan tajam penglihatan jarak jauh dengan snellen chart
mendapatkan penurunan tajam penglihatan pada mata kanan 6/24 dan mata kiri
6/12 yang kemudian membaik setelah koreksi menggunakan pin hole menjadi
6/7,5 pada kedua mata mengarahkan pada diagnosis kelainan refraksi.
Koreksi miopia dapat dilakukan dengan menggunakan lensa konkaf atau
lensa negatif, besarnya kekuatan lensa yang digunakan untuk mengoreksi mata
miopia ditentukan dengan cara trial and error, yaitu dengan mula-mula
meletakkan sebuah lensa kuat dan kemudian diganti dengan lensa yang lebih kuat
atau lebih lemah sampai memberikan tajam penglihatan yang terbaik. Pasien yang
dikoreksi dengan -2.00 dioptri dan memberikan tajam penglihatan 6/6, demikian
juga bila diberi sferis -2.50 dioptri mendapat tajam penglihatan yang sama, maka
sebaiknya diberikan koreksi -2.00 dioptri untuk memberikan istirahat mata yang
baik setelah dikoreksi. Koreksi miopia dapat berupa menggunakan lensa kacamata
dan dapat menggunakan lensa kontak. Miopia yang berat dapat dilakukan koreksi
dengan LASEK (Laser Epithelial Keratomileusis), LASIK (Laser In Situ
Keratomileusis), atau tindakan operasi berupa Clear Lens Extraction (CLE) yang
diikuti penananam lensa intraokuler. Pasien ini dilakukan koreksi dengan
pemberian kacamata dengan lensa konkaf atau lensa negatif pada mata kanan
-0,75 dioptri dan mata kiri -0,75 dioptri yang dapat memberikan tajam penglihatan
6/6.
Astigmatisme ialah suatu kelainan refraksi yang terjadi karena berkas sinar
tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina, akan tetapi pada 2 garis
titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan di

26
kornea. Pada nilai koreksi astigmatisme kecil, hanya terasa pandangan kabur, tapi
terkadang pada astigmatisme yang tidak dikoreksi, menyebabkan sakit kepala atau
kelelahan mata, silau, dan mengaburkan pandangan ke segala arah. Pasien ini
mengeluhkan pandangan kabur pada kedua mata baik melihat jauh ataupun dekat,
sering merasa kelelahan pada mata, dan nyeri kepala sehingga sesuai dengan
diagnosis astigmatisme. Koreksi astigmatisme dengan memberikan tambahan
lensa silinder sesuai dengan axis pasien dimana pada pasien ini yaitu di mata kiri
diberikan tambahan silinder -0,50 dioptri pada axis 180 derajat (against-the-rule-
astigmatism) yang lebih sering ditemukan pada pasien berusia tua.

BAB V
KESIMPULAN

Miopia adalah anomali refraksi pada mata dimana bayangan difokuskan di


depan retina ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi. Astigmatisme ialah
suatu kelainan refraksi yang terjadi karena berkas sinar tidak difokuskan pada satu
titik dengan tajam pada retina, akan tetapi pada 2 garis fokus yang saling tegak
lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan di kornea. Pada kondisi dimana

27
pada kedua garis fokus bayangan terjatuh di depan retina disebut miopia
astigmatisme kompositus.
Insiden miopia telah meningkat secara signifikan dalam 50 tahun terakhir,
saat ini diperkirakan 1,6 milyar orang di seluruh dunia mengalami miopia.
Penelitian terbaru juga menunjukkan peningkatan prevalensi astigmatisme yang
meningkat seiring dengan peningkatan kasus miopia astigmatisme. Sementara itu,
penyebab myopia dan astigmatisme sampai saat ini belum dapat dijelaskan
dengan pasti, diperkirakan bersifat multifaktorial dan berhubungan dengan faktor
genetik (internal) serta lingkungan (eksternal).
Tatalaksana miopia dapat dilakukan dengan koreksi menggunakan lensa
konkaf atau lensa negatif, sedangkan untuk astigmatisme bisa dikoreksi dengan
memberikan lensa silinder dengan axis tertentu. Selain itu, penggunaan lensa
kontak juga dapat dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan refraksi yang
kurang nyaman dengan penggunaan kacamata.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. Refractive Errors. 2014. Tersedia


dalam http://eyesightandsurgery.com/Data/forpatients/patienteducation/
Refractive_Errors.pdf (diakses 1 September 2017).
2. Riordan-Eva P dan Whitcher JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Jakarta : EGC. 2012.
3. Resnikoff S. Global magnitude of visual impairment caused by
uncorrected refractive errors in 2004. Bulletin of the World Health
Organization. 2008;86(1):63-70.

28
4. Handayani AT , I GN Anom S, and C.I. Dewayani P. Characteristic of
patients with refractive disorder At eye clinic of sanglah general hospital
denpasar,bali-indonesia. Bali Medical Journal (BMJ). 2012;1(3):101-107.
5. Pan CW, Zheng YF, Anuar AR, Chew M, Gazzard G, Aung T, Cheng CY,
Wong TY, Saw SM. Prevalence of Refractive Errors in a Multiethnic Asian
Population: The Singapore Epidemiology of Eye Disease Study. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 2013;54:2590-8.
6. Moore KL dan Agur AM. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates.
2013.
7. Ilyas HS. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2010.
8. Azar DT dan Koch DD. Lasik Fundamentals, Surgical Techniques, and
Complications. New York : Marcel Dekker, Inc. 2002.
9. Wu S. Layers of the Human Eye. Tersedia dalam :
www.studenthealth.ucla.edu/.../Layers%20of%20the%20Human
%20Eye.pdf (diakses 1 September 2017).
10. Guyton AC dan Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta : EGC. 2012.
11. American ilmetric Association. Optometric clinical practice guideline:
Care of the patient with myopia. United States. 2006:7-8.
12. Upadhyay, S. Myopia, hyperopia and astigmatism: A complete review with
view of differentiation. International Journal of Science and Research.
2015;5(8):125-129.
13. Yu L, Li Z, Gao J, Liu J, Xu C. 2011. Epidemiology, genetics and
treatments for myopia. Int J Ophthalmol. 2011;4(6).
14. Czepita, D. Myopia: incidence, pathogenesis, management and new
possibilities of treatment. Russian Ophthalmological Journal. 2014:1;96-
101.
15. Hayatillah. Prevalensi miopia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
pada mahasiswa program studi pendidikan dokter Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta. UIN Hidayatullah: Jakarta. 2011.

29
16. Lang, G. A short textbook of ophtalmology. Thieme Stuttgart: New York.
2000.
17. Goss, DA, et all. Care of the patient with myopia. American Optometric
Association. 2006;5(7):21-22.
18. Ilyas, S. Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2009.
19. Wolffsohn JS, Bhogal G, Shah S. Effect of uncorrected astigmatism on
vision. Journal of Cataract & Refractive Surgery. 2011 Mar 31;37(3):454-
60.
20. Koh V, Yang A, Saw SM, Chan YH, Lin ST, Tan MM, Tey F, Nah G,
Ikram MK. Differences in prevalence of refractive errors in young Asian
males in Singapore between 1996–1997 and 2009–2010. Ophthalmic
epidemiology. 2014 Aug 1;21(4):247-55.
21. Kaimbo DK. Astigmatism–Definition, Etiology, Classification, Diagnosis
and Non-Surgical Treatment. InAstigmatism-Optics, Physiology and
Management. 2012. InTech.
22. Kolker, Richard J. Subjective Refraction and Prescribing Glasses: Guide to
Practical Techniques and Principles. JCAHPO. 2014;pp.15-18.
23. Varssano, D. 2013. Etiology and Clinical Presentation of Astigmatism
Department of Ophthalmology, Tel Aviv Medical Center, Tel Aviv
University Israel, pp. 14-32.
24. Dahl, A. 2016. Astigmatism Prevention. [online] eMedicineHealth. 2017
[diakses pada: 5 September 2017]. Tersedia pada:
http://www.emedicinehealth.com/astigmatism/page3em.htm#astigmatismp
revention.
25. Differential Diagnosis of Astigmatism. [online]. BMJ Best Practice. 2017.
[diakses pada: 5 September 2017]. Tersedia pada:
http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/762/diagnosis/differe
ntial.html
26. Overview Astigmatism. [online]. eMedicineHealth. 2017 [diakses pada: 5
September 2017]. Tersedia pada:
http://www.medicinenet.com/astigmatism_overview/article.htm

30

Anda mungkin juga menyukai